Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1) Petani tembakau Madura menghadapi berbagai masalah internal dan eksternal yang menyebabkan harga tembakau terus menurun
2) Aktor seperti tengkulak, grader, dan tauke sering kurang adil dalam bertransaksi dengan petani
3) Pemerintah dianggap kurang peduli dengan kondisi petani dan tidak mampu mengendalikan fluktuasi harga
Beginners Guide to TikTok for Search - Rachel Pearson - We are Tilt __ Bright...
Pilihan Dilematis Petani Madura
1. 1
Pilihan Dilematis Petani Madura1
oleh: Akhmad Jayadi2
Pengantar
Tembakau ditanam di Madura sejak tahun 1800-an, sebagai hasil kiriman dari
Puger, Jember (lihat Jonge, 1989, Madura dalam Empat Zaman: 143-201). Petani di
Madura menikmati tingginya harga tembakau terutama pada tahun 1980-1990-an.
Antara bulan Juni-Oktober (kadang bergeser hingga satu bulan) setiap tahunnya
merupakan bulan penanaman, panen dan penjualan tembakau. Pada minggu-
minggu pasca panen di tiap kota di Madura diselenggarakan pasar malam. Puncak
acara pasar malam adalah lomba karapan sapi se-Madura memperebutkan piala
Presiden. Kota yang paling sering menjadi tuan rumah karapan sapi adalah
Pamekasan dan Sumenep, daerah di Madura yang paling banyak ditanami
tembakau.
Kemeriahan, keceriaan dan kesejahteraan petani tembakau tampak dalam
perilaku konsumsi masyarakat pada bulan-bulan tersebut. Depot makanan penuh
dengan mobil pick-up atau truck pengangkut tembakau. Antrian panjang di SPBU
maupun di depan gudang penampungan tembakau. Toko emas ramai dikunjungi
ibu-ibu petani. Minggu terakhir pasar malam tumpah oleh warga desa. Dealer
sepedamotor ramai pembeli.
Namun kemeriahan di atas sudah tidak tampak lagi sejak awal tahun 2000-
an. Harga tembakau terjun bebas hingga ke titik yang tidak masuk akal. Biaya
produksi tembakau yang mencapai 20ribu perkilogram hanya dihargai hingga 7ribu,
bahkan pernah 4ribu. Pada awal deflasi tembakau banyak petani maupun tengkulak
shock dengan melakukan aksi ekstrim seperti membakar tembakau mereka.
Nasib petani tembakau Madura semakin terpuruk setelah era otonomi daerah
dan pilkada langsung. Diakui atau tidak, pilkada langsung memberi kontribusi positif
bagi rendahnya harga tembakau dan lemahnya posisi tawar petani (juga
pemerintah). Jamak diketahui bahwa kandidat yang maju dalam pilkada
membutuhkan modal dari pengusaha lokal. Jika di Kalimantan penguasa dekat
dengan pengusaha sawit dan batubara, di Sumatera dengan pengusaha karet dan
sawit, maka di Madura penguasa dekat dengan pengusaha tembakau.
Secara umum, puncak piramida kesejahteraan masyarakat Madura diisi oleh
para pengusaha tembakau, baik dari pribumi (sebagai tengkulak), maupun
peranakan (sebagai pemilik gudang atau perpanjangan tangan pabrik rokok). Dari
merekalah para kandidat biasanya mendapatkan suntikan dana kampanye.
Para pemodal umumnya bermain dua kaki, mendukung dua kandidat yang
paling potensial. Siapapun yang menang, tetap masih dalam lingkaran pengusaha
tembakau. Akibatnya, setiap tahun harga tembakau tidak dapat dikendalikan
pemerintah. Perda harga minimal tembakau hanya menjadi tulisan dan himbauan.
Harga tetap menjadi wilayah pengusaha. Pemerintah tersandera. Petani tembakau
tak berdaya menerima harga.
Hal paling ironi dari petani tembakau Madura adalah kontradiksi antara
kualitas tembakau Madura dengan harganya. Tembakau Madura merupakan salah
1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pertanian Tembakau, Fakultas Pertanian, Universitas
Muhammadiyah Jakarta, 8 Januari 2014
2
Peneliti Rumah Gemilang Indonesia
2. 2
satu tembakau nusantara yang terbaik (mungkin yang terbaik). Salah satu merek
rokok terbaik di Indonesia produksi PT S menggunakan tembakau Madura sebagai
campuran utamanya. Namun demikian ternyata harga tembakau Madura masih
kalah dari tembakau Jawa (Jember misalnya).
Ada sesuatu yang salah dari kontradiksi di atas. Makalah ini mengurai secara
singkat masalah yang dihadapi petani tembakau Madura, sekaligus mencoba
memberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Makalah ini merupakan hasil
dua penelitian penulis. Penelitian pertama dilakukan pertengahan tahun 20113
di tiga
kota, yaitu Pamekasan, Sumenep dan Jember, dengan metode indepth interview.
Penelitian kedua dilakukan akhir tahun 2013 di Pamekasan, Sumenep dan Sampang
dengan metode survey.
Responden penelitian ini adalah petani, tengkulak dan kepala desa dan tokoh
masyarakat (ulama). Jumlah total responden adalah 30 orang. Metode pengambilan
sampelnya acak proporsional dengan snowball. Instrumen penelitian adalah
kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan terbuka.
Permasalahan
Petani di beberapa daerah memiliki persoalan yang berbeda. Di Jember
misalnya, petani menghadapi masalah sistem sewa lahan dan bagi untung saja
(tidak bagi rugi) dengan pemilik tanah. Namun demikian petani Jember masih lebih
beruntung daripada petani Madura. Petani Jember mendapat kontrak dari PTPN
untuk menanam jenis dan jumlah tembakau tertentu. Produk tembakau yang dijual
kepada pabrik pun berbeda. Jember menjual daun tembakau per ikat (satu ikat
terdiri atas beberapa lembar daun), sedangkan di Madura dijual dalam bentuk
rajangan. Tembakau Jember digunakan untuk cerutu, sedangkan tembakau Madura
digunakan untuk rokok.
Ada dua masalah yang dihadapi petani Madura, yakni masalah internal dan
masalah eksternal. Masalah internal berasal dari kaum petani sendiri seperti
keyakinan akan selalu tingginya harga tembakau, ketidakberanian mencoba
tanaman baru, dan sikap penerimaan petani bahwa menanam tembakau adalah
tradisi. Adapun masalah eksternal seperti permainan harga dari pabrik, adanya aktor
yang merugikan petani, ketidakpedulian pemerintah dan asosiasi petani.
1. Tidak Ada Tanaman yang Lebih Prospektif
Umumnya petani tembakau Madura percaya bahwa tidak ada tanaman lain
yang lebih prospektif ditanam pada musim tembakau daripada tembakau. Nandi
(46thn) misalnya mengungkapkan bahwa ia mencoba menanam tomat 3 tahun lalu,
tapi ketika panen tomatnya tidak terjual karena harga sangat murah. Akibatnya
tomat hasil panennya dibagikan pada tetangga dan kerabatnya. Beda dengan
tembakau yang lebih tahan lama, sehingga dia masih bisa menyimpan tembakau
rajangnya hingga 2 bulan ke depan.
Herman (36thn) pernah mencoba menanam jagung pada saat musim
tembakau, namun hasil penjualan jagung masih kalah dibanding tembakau.
3
Hasil riset tahun 2011 bersama Hendi Johari dan Fatlur Rozi ditulis dalam narasi panjang berjudul “Balada
Pemburu Daun Emas: Kisah Para Petani di Jember, Pamekasan, dan Sumenep Menghadapi Kemiskinan dan
Tataniaga yang Menindas”, RGI, 2012
3. 3
Demikian pula Anton (27thn) yang tidak berani lagi menanam jagung kecuali
mendapat kontrak dengan produsen jagung hibrida tertentu.
Tanaman lain yang bisa ditanam pada musim kemarau adalah singkong,
cabe, mentimun dan semangka. Namun beberapa petani mengungkapkan
kekecewaan mereka atas jenis tanaman tersebut. Salah satu alasan mereka tidak
mau menanam jenis tanaman di atas adalah daya tahannya yang pendek, cepat
busuk.
Syaiful (30thn) dan Sufiyanto (36thn) memiliki alasan lain untuk tetap
menanam tembakau yakni karena sudah menjadi tradisi tahunan. Bagi mereka,
untung atau rugi adalah bagian dari teka-teki nasib. Musim tembakau pasnya
memang hanya untuk tanam tembakau.
2. Aktor dalam Tata Niaga Tembakau
Aktor dalam tata niaga tembakau juga menjadi masalah bagi petani. Aktor
yang dimaksud adalah bandul, tengkulak, grader dan tauke. Pada beberapa sisi
petani mengaku bahwa keberadaan mereka membantu petani. Namun tidak jarang
keempat aktor tersebut juga merugikan petani. Bandul yang merugi biasanya tidak
membayar uang tembakau petani yang telah dibelinya. Saniman (43thn) mengaku
bahwa uang tembakaunya (sekitar 1 juta) hingga kini belum dilunasi oleh bandul
tetangganya.
Grader dirasa berlaku tidak adil pada petani dalam hal penilaian kualitas
tembakau. Ada tiga kriteria penilaian yang dijadikan standar harga tembakau, yaitu
warna, kelengketan dan keharuman. Tembakau yang baik berwarna kuning
kecokelatan, lengket dan harum. Petani meragukan objektivitas grader ketika
menilai keharuman tembakau. Sidiq menilai bahwa tingkat keharuman tembakau
merupakan subjektivitas murni grader.
Tengkulak ikut andil dalam merusak harga tembakau. Misalnya mencampur
tembakau Madura dengan tembakau jawa (Besuki, Jember, Bojonegoro dll.) yang
kualitasnya di bawah tembakau Madura. Pencampuran tembakau tersebut membuat
marah pihak pabrik dengan menurunkan harga tembakau. Kecurangan lainnya
misalnya mencampur tembakau dengan serbuk gula untuk menambah harum dan
lengket tembakau. Bahkan ada yang nekad menaburi tembakau rajang dengan
bubuk semen untuk menambah berat timbangan tembakau. Aziz (39thn) yang
pernah bekerja di gudang penyimpanan tembakau, serta pernah ikut bekerja dengan
tengkulak menyaksikan sendiri bagaimana para tengkulak ingin meraup untung
dengan cara tidak elok.
Walaupun sebagian petani mengaku bahwa pemilik gudang (tauke) cukup adil
dalam tataniaga tembaku, namun ada juga petani yang melihat kecurangan tauke,
misalnya dalam pengambilan sampel. Menurut KH Affan (42thn) gudang mengambil
sampel tembakau dalam jumlah yang tidak wajar. Dari satu bal tembakau (ukuran
1x1m, seberat +-50kg), gudang mengambil sampel seukuran paha orang dewasa
(sekitar 1/2kg). Dalam sehari ada ratusan bal yang masuk ke gudang, maka
keuntungan gudang dari hanya sampel saja bisa dilipatgandakan.
3. Pengabaian Pemerintah
Petani menilai pemerintah selama ini abai terhadap kondisi petani. Hal ini
dibuktikan dengan tidak efektifnya perda tentang harga minimal tembakau. Herman
(44th) mengakui bahwa pemerintah sudah mengeluarkan perda harga tembakau,
4. 4
namun dalam praktik di pasar (pabrik) aturan tersebut tidak berlaku. Penentu harga
adalah pabrik, dan petani sebagai penerima harga (price taker).
Sufiyanto mengharap peran aktif pemerintah dalam berbagai hal, baik
penetapan harga maupun pemberian subsidi bagi petani. Menurutnya, pemerintah
juga tidak memberi subsidi pada petani. Pupuk untuk tembakau masih dirasa mahal,
bahkan kadang sulit didapat.
Menurut Sahawar (52thn) sistem tataniaga tembakau di jaman orde baru jauh
lebih baik karena harga lebih stabil. Pemerintah memiliki kontrol yang jelas terhadap
harga tembakau di pasaran. Saat ini menurutnya pemerintah tidak tegas terhadap
gudang tembakau. Siaran radio pemda tentang harga tembakau hanya menjadi
himbauan kosong.
4. Permainan Harga Perusahaan
Pabrik rokok menetapkan harga tidak konsisten berdasarkan kualitas, namun
berdasarkan waktu. Kualitas tembakau dibedakan berdasarkan tiga jenis harga.
Misalnya, daun bagian bawah, kualitas A (yang paling tua) dihargai 30 ribu, daun
bagian tengah, kualitas B dihargai 25 ribu, dan daun bagian atas, kualitas C (paling
muda) dihargai 20 ribu.
Harga tersebut tidak bertahan seterusnya hingga 2 bulan kemudian, namun
semakin lama semakin menurun. Pada bulan kedua musim beli, harga tembakau
kualitas A turun menjadi 25 ribu dan seterusnya, sehingga pada bulan ketiga musim
beli, tembakau kualitas A seharga 20 ribu atau sama dengan tembakau muda pada
bulan pertama musim beli.
Akibatnya, petani beramai-ramai memetik dan merajang semua tembakaunya
walau masih muda, karena menunggu daun muda tersebut hingga tua akan
menghadapi harga yang sama dengan saat ini. Dengan banyaknya petani yang siap
menjual tembakau pada bulan pertama, maka penawaran tembakau membludak,
antrian truk di depan pabrik mengular hingga 2km. Hal inilah yang disayangkan Sidiq
karena menjadi alasan pabrik untuk menurunkan harga kembali.
5. Tidak ada Persaingan antar Pabrik
Saat ini antar pabrik rokok tidak ada persaingan pembelian tembakau. Mereka
menggunakan sistem gantian (shift). Misalnya jika pabrik PT D mulai membeli
tembakau pada bulan Juli, maka pabrik lainnya belum membeli. Menjelang sebulan
PT D membeli tembakau (dengan demikian harganya juga sudah mulai turun),
gantian PT G membuka dengan harga akhir di atas PT D. Antrian truk berpindah ke
PT G. Menjelang sebulan PT G beroperasi (dengan harga yang terus turun) giliran
PT S mulai membeli dengan harga terakhir di atas PT G. Demikian seterusnya.
Berbeda dengan sistem pembelian 10 tahun silam, dimana semua pabrik
beroperasi bersamaan, sehingga antrian truk tersebar dan harga bersaing. Sidiq
menilai ini adalah permainan antar pabrik. Ada saling kerjasama antara mereka.
Pabrik yang membuka lebih dulu (membeli tembakau dengan harga tinggi) akan
mendapatkan kompensasi dari pabrik yang buka di akhir.
Sidiq menduga pihak pabrik rokok induk (di Malang, Kediri, Kudus dan
Surabaya) tidak tahu, atau tidak mau tahu, atau bahkan menerapkan sistem ini
secara terstruktur dan rapi untuk memberikan keuntungan pada pihak mereka.
5. 5
6. Ketidak-kompakan Petani atau Asosiasi
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya adalah tidak adanya kekompakan
antar petani. Antar petani saling berebut untung secara individu, tidak bersuara atas
nama kelompok. Keberadaan asosiasi petani tembakau (APTI/AMTI dsb) tidak
dirasakan manfaatnya oleh petani (sampel di daerah penelitian). Holis (36thn)
mengaku pernah mendengar APTI, tapi tidak pernah mengetahui siapa pengurus
dan apa perjuangannya.
Misjo (40thn) mencontohkan petani di Besuki yang kompak tidak menjual
tembakau pada pabrik sehingga stok langka, dan dengan demikian harga naik. Misjo
juga berharap bahwa antara petani saling bekerjasama membuat gudang
penyimpanan tembakau sehingga manakala harga turun petani dapat
menyimpannya hingga tahun depan.
Ketidakkompakan petani juga diungkapkan oleh Ahmad (39thn). Dia sering
melihat konflik antar petani atau antara petani dengan bandul, tapi tidak pernah ada
ada konflik antara petani dengan tengkulak atau tauke. Inferioritas petani dan
bandul membuat kedua pihak inilah yang sering menjadi korban. Seharusnya, jika
antar petani kompak, mereka bisa menekan gudang dan pemerintah untuk
menerapkan harga minimal yang layak.
Solusi
1. Peraturan Tegas tentang Harga Tembakau
Solusi pertama adalah peraturan yang tegas diterapkan pada seluruh
stakeholders tataniaga tembakau, utamanya pabrik, bandul dan tengkulak. Pada
2012 Kepolisian Resort Sumenep menangkap oknum bandul yang bermain curang
dalam timbangan dan pembayaran harga ke petani. Tindakan tegas juga harusnya
diberikan pada pabrik, tengkulak atau petani jika mengganggu sistem tataniaga
tembakau yang fair.
Pemerintah juga dihimbau melakukan pengawasan dalam persaingan usaha
pabrik rokok di daerah. Jika ditemukan praktek kartel yang merugikan petani maka
pemerintah dapat menindak kartel tersebut. Sistem shift dalam pembelian tembakau
dari petani merupakan salah satu bentuk persaingan tidak sehat antar pabrik.
Subsidi bahan dan alat pertanian juga dirasa mampu menyelesaikan
rendahnya harga tembakau. Pupuk, air, sewa alat, pestisida merupakan biaya yang
harus ditanggung petani disamping biaya upah pekerja. Dengan ditekannya biaya
produksi tembakau diharapkan petani mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
2. Sistem Kontrak Tanam Tembakau
Sistem kontrak tanam juga merupakan solusi bagi instabilitas harga.
Sebagaimana petani di Jember, maka petani di Madura perlu mendapat kejelasan
harga dan kepastian pembelian, baik dari pemerintah maupun dari pabrik. Beberapa
petani tembakau di Madura mengaku siap beralih tanam jika ada tanaman yang
lebih menjanjikan.
Pada tahun 2011 lalu Sidiq mendapatkan kontrak tanam tembakau dari PT G.
Tujuan kontrak tersebut adalah mengujicoba varietas tembakau baru untuk ditanam
di wilayah Pamekasan. Sidiq merasa senang dengan kontrak tersebut karena adanya
jaminan biaya dan pembelian. Namun sayang pada tahun berikutnya kontrak
tersebut tidak diperpanjang.
6. 6
Contoh kontrak lainnya adalah para petani tembakau di daerah Prancak dan
Jambangan, Sumenep. Daerah tersebut terkenal dengan kualitas tembakaunya yang
harum. Harga per kilogram tembakau Prancak dan Jambangan mencapai ratusan
ribu, di saat yang lain hanya 20ribu-an. Hingga saat ini tembakau Prancak memang
menjadi primadona. Salah satu sebabnya karena berada di dataran tinggi dan
struktur tanahnya yang bagus. Satu genggam tembakau Prancak dan Jambangan
dicampur dengan satu bal tembakau daerah lain, sebagai “pemanis”. Petani atau
tengkulak tembakau mengistilahkan tembakau Prancak dan Jambangan sebagai
“mustika”.
3. Alternatif Tanaman Lain
Minggu pertama Desember 2013 Presiden SBY berkunjung ke Madura. Salah
satu agendanya adalah menghadiri proses panen jagung hibrida di Pamekasan,
Madura. Panen jagung produksi PT P di Desa Montok tersebut sukses. Beberapa
warga berharap mendapatkan kontrak yang sama seperti Wahed (45thn) pemilik
lahan jagung tersebut.
Tanaman lain yang saat ini marak dibudidayakan di Madura adalah serai
wangi, buah naga, pisang, dan cabe jamu. Harga tanaman jenis ini dipandang lebih
pasti daripada tembakau. Buah naga dan cabe jamu dibudidaya petani Sumenep.
Serai wangi dan pisang banyak ditanam di daerah Pamekasan. Supli (35thn)
merasakan manfaat menanam buah naga. Setiap bulan dia bisa panen buah naga
untuk dipasok ke pasar.
Menurut Kusfandian (35thn), alasannya beralih ke serai wangi saat ini karena
serai merupakan komoditas ekspor potensial Indonesia dengan harga yang lebih
tinggi. Kelebihan serai disbanding tembakau adalah tidak butuh perawatan ekstra,
sekali tanam bibit bisa tumbuh 4 tahun, serai yang dihasilkan perhektarnya per 4
bulan mencapai 5 ton lebih dan tumbuh di semua musim.
Buah pisang banyak dikirim ke Surabaya baik untuk kebutuhan konsumsi
langsung maupun sebagai bahan kripik. Buhrap (54thn) mengaku sudah 3 tahun
mengkonversi sawahnya menjadi kebun pisang. Pisang lebih menjanjikan karena
bisa tumbuh di segala musim.
4. Penguatan Asosiasi Petani Tembakau
Keberadaan asosiasi petani tembakau sebenarnya memberikan daya tawar
tinggi terhadap pabrik, namun dalam kenyataan mereka “tidak hadir” membantu
petani. Imam Mahdi (51thn) mengungkapkan bahwa kenalannya, ketua asosiasi
petani tembakau, tidak konsisten memperjuangkan nasib petani. Awalnya bersuara
keras pada pihak pabrik, tapi ketika pabrik menawarinya untuk menjadi bandul
(perantara), ia lalu menerima posisi tersebut dan perjuangannya kendor.
Salah satu peran yang bisa digagas asosiasi petani tembakau adalah
pembangunan gudang bersama. Gudang tembakau membutuhkan biaya besar,
untuk itu perlu dana dari pemerintah. Informasi tentang DBHCT (dana bagi hasil
cukai tembakau) tidak pernah sampai pada petani. Tidak ada petani (responden)
yang mengetahui (dan merasakan) skema dana sharing tersebut. Jika setiap desa
(atau kecamatan) mendapatkan dana bagi hasil cukai secara memadai, maka
asosiasi petani bisa membangun gudang. Dengan memiliki gudang sendiri kelompok
tani dapat menyimpan tembakaunya saat harga turun dan menjualnya saat harga
tinggi.
7. 7
Kesimpulan
Makalah ini sangat sederhana, namun demikian merangkum fenomena
tataniaga tembakau dan kondisi kesejahteraan petani tembakau di Madura.
Kekurangan penelitian ini setidaknya pada tiga hal; pertama, sampel kurang banyak
dan kurang representative (misal, tidak melibatkan narasumber pemerintah daerah,
asosiasi petani tembakau dan pemilik gudang), kedua, tidak menggunakan banyak
studi pustaka (bahan sekunder), ketiga, metode penulisannya lebih bergaya
reportase, tidak bergaya naskah akademis. Penulis menyadari perlu dilakukan
penelitian yang lebih mendalam.
Upaya peningkatan kesejahteraan petani tembakau di Pamekasan, Sumenep,
dan Sampang Madura perlu dilakukan secara serentak dan kontinyu. Tidak hanya di
aras petani perlu penyadaran tentang terbukanya peluang budidaya jenis tanaman
lain, namun juga pada tingkatan di atasnya seperti asosiasi petani. Petani dengan
asosiasi harus sinergis berkoordinasi merumuskan langkah menghadapi sistem
tataniaga yang cenderung menindas.
Pemerintah sebagai tumpuan terakhir petani juga harus tegas membuat
regulasi, baik tentang harga, subsidi maupun program alternatif yang solutif bagi
petani tembakau. Pilihan menanam tembakau di musim kemarau bagi petani Madura
saat ini masih menjadi prioritas karena dari proses tanam, panen, rajang dan
pengiriman tembakau rajang ke gudang menciptakan rantai ekonomi yang panjang.
Ada banyak pihak yang terlibat, mulai dari pembajak, penyiram, pemetik,
penggulung, perajang, pengrajin tikar, supir kendaraan, hingga makelar (bandul).
Pilihan tomat, cabe, semangka, mentimun, singkong atau jagung tidak
banyak menciptakan rantai ekonomi seperti tembakau. Mungkin inilah yang menjadi
dilema bagi para petani seperti Syaiful dan Sufiyanto yang tetap memilih menanam
tembakau walau tahu resiko harga yang harus dihadapi. Bagi mereka menanam
tembakau bukan hanya kebutuhan ekonomi atau hobi, lebih dari itu mereka
menganggapnya sebagai tradisi, bagian dari kultur Madura yang selama ini
membesarkannya.
Mengganti kebiasaan petani Madura menanam tembakau dengan tanaman
lain sama sulitnya dengan mengubah keyakinan mereka akan masa depan. Pun
sama tidak mudahnya dengan mengganti kebiasaan mengkonsumsi tembakau
(rokok) dengan kebiasaan yang lebih baik. Sulit dan dilematis, namun dengan
keyakinan dan kerjakeras, semua bukan tidak mungkin.
8. 8
Lampiran
5
7
18
Berapa Lama Menjadi Petani
Tembakau?
< 5 thn
6-10 thn
> 10 thn
5
12
9
4
Berapa Prediksi Tembakau Thn
Ini?
17 Ribu-25 Ribu
26 Ribu-30 Ribu
31 Ribu-40 Ribu
> 40 Ribu
7
23
Tahun Lalu Menanam Tembakau?
Tidak
Ya
3
7
11
4
5
Berapa Harga Minimal
Tembakau
Agar Petani Tidak Rugi?
20 Ribu
25 Ribu
30 Ribu
40 Ribu
50 Ribu
14
5
4
Berapa Harga Tembakau Tahun
Lalu?
< 21 Ribu
21 Ribu-30
Ribu
31 Ribu-40
Ribu
19
11
Berencana Alih Ke Tanaman
Lain?
Ya
Tidak
22
8
Alasan Tahun Depan Masih
Menanam Tembakau?
Harga Tinggi
Siap Modal
7
5
6
3
Alasan Beralih Ke Tanaman Lain?
Harga Tembakau
Tiap Tahun Rendah
Tembakau Banyak
Kecurangan
Cuaca Tidak
Menentu
Coba Peruntungan
Lain
9. 9
3
3
3
Alasan Tidak Beralih ke Tanaman
Lain? Masih Ada
Harapan
Tanaman
Tembakau Tetap
Laku
Tanaman Lain
Lebih Beresiko
3
24
3
Yang Dapat Meningkatkan
Kesejahteraan Petani
Tidak Ada Pihak
Yang Merugikan
Jaminan Harga
Dari Pemerintah
Adanya Asosiasi
Petani
20
10
Fungsi Ideal Pemerintah dalam
Tataniaga Tembakau?
Menentukan
Harga 12
15
3
Apakah Bandul Membantu
Petani?
Ya
Tidak
Sebagian
18
12
Apakah Pemerintah Telah
Menjalankan Fungsinya Idealnya?
Sebagian
Tidak Sama
Sekali
13
5
3
Berbagai Bentuk Kecurangan
Pembeli
Penentuan
Harga
Pengambilan
Sampel
Pembayaran
Uang
6
21
3
Pernah Tahu APTI/AMTI?
Ragu-Ragu
Tidak
Sudah
6
16
Apakah Pembeli Tembakau Adil?
Ya
Tidak