Dokumen tersebut membahas tentang kebakaran hutan di Indonesia dari perspektif Islam. Islam melarang tindakan pengrusakan lingkungan termasuk hutan karena manusia diciptakan sebagai khalifah untuk menjaga bumi. Kebakaran hutan disebabkan oleh faktor manusia seperti pembakaran hutan untuk membuka lahan. Fatwa MUI menyatakan bahwa pembakaran hutan hukumnya haram karena merusak lingkungan.
1. 0
TUGAS
STUDI KEISLAMAN 2
KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Dosen Pengampu: Andi Luqmanul Qosim, Lc., M.Pd.I.
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas UTS Studi KeIslaman 2
Oleh:
Aida Dwi Rahmawati 111-13-042
Kelas C
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015
2. 1
Kebakaran Hutan dalam Perspektif Islam
Hutan sebagai salah satu bagian dari lingkungan hidup merupakan karunia Allah Swt. dan
merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi umat manusia. Banyaknya manfaat
yang didapat dari keberadaan hutan di bumi ini. Al-Qur'an menjelaskan bahwa manusia diciptakan
sebagai khalifah di bumi. Kewajiban manusia sebagai khalifah di bumi adalah dengan menjaga dan
mengurus bumi dan segala yang ada di dalamnya untuk dikelola sebagaimana mestinya. Dalam hal
ini kekhalifahan sebagai tugas dari Allah Swt. untuk mengurus bumi harus dijalankan sesuai dengan
kehendak penciptanya dan tujuan penciptaannya.1
Namun, beberapa waktu belakangan ini Indonesia disibukkan dengan pemberitaan mengenai
upaya pemadaman yang dilakukan pihak setempat di berbagai daerah di Indonesia akibat adanya
kebakaran hutan. Hutan di Indonesia mengalami kerusakan terus-menerus, kebakaran hutan menjadi
musibah rutin. Apabila hal ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin di Indonesia dalam beberapa
tahun kedepan akan kehilangan hutannya. Bukan hanya itu saja, keberadaan seluruh penghuni hutan
baik flora maupun fauna akan terancam kelestariannya akibat hilangnya hutan sebagai habitat asli
mereka. Selain itu, akibat hilangnya hutan maka akan menimbulkan berbagai bencana lain yang
datang secara bertubi-tubi pada saat musim kemarau ataupun ketika musim hujan tiba. Seperti
halnya tanah longsor, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, tanaman pertanian yang rusak karena
diserang hama, dan semuanya adalah karena ulah manusia sendiri. Dampak lainnya yaitu seperti
kabut asap yang ditimbulkan akibat terjadinya kebakaran hutan dan mengganggu aktivitas
masyarakat serta berdampak pula terhadap kesehatan masyarakat. Jika hal seperti ini terus terjadi
akibat jangka panjang lainnya yang ditimbulkan adalah generasi berikutnya tidak akan bisa
menikmati kekayaan alam yang ada karena ketamakan dan keserakahan yang terjadi saat ini.
Dalam padangan Islam dikenal tiga macam bentuk pelestarian lingkungan. Pertama, dengan
cara ihya'. Yakni pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh individu. Dalam hal ini seseorang
mematok lahan untuk dapat digarap dan difungsikan untuk kepentingan pribadinya. Orang yang
telah melakukannya dapat memiliki tanah tersebut. Mazhab Syafi’i menyatakan siapapun berhak
mengambil manfaat atau memilikinya, meskipun tidak mendapat izin dari pemerintah. Lain halnya
dengan Imam Abu Hanifah, beliau berpendapat, Ihya' boleh dilakukan dengan catatan mendapat
izin dari pemerintah yang sah. Imam Malik juga berpendapat hampir sama dengan Imam Abu
Hanifah. Akan tetapi, beliau menengahi dua pendapat itu dengan cara membedakan dari letak
daerahnya.
Kedua, dengan proses igta'. Yakni pemerintah memberi jatah pada orang-orang tertentu untuk
menempati dan memanfaatkan sebuah lahan. Adakalanya untuk dimiliki atau hanya untuk
dimanfaatkan dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga, adalah dengan cara hima. Dalam hal ini pemerintah menetapkan suatu area untuk
dijadikan sebagai kawasan lindung yang difungsikan untuk kemaslahatan umum. Dalam konteks
dulu, hima difungsikan untuk tempat penggembalaan kuda-kuda milik negara, hewan, zakat dan
lainnya. Setelah pemerintah menentukan sebuah lahan sebagai hima, maka lahan tersebut menjadi
milik negara. Tidak seorang pun dibenarkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya
(melakukan ihya'), apalagi sampai merusaknya.
Menurut Ali Yafie, ada dua landasan dasar dalam Fiqh Al-Bi'ah (pemahaman masalah
lingkungan hidup) yaitu:
1 Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1992. h 542.
3. 2
Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya adalah bagian dari
iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitivitas dan
kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup.
Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang
berakal dan baligh (dewasa). Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk bakti manusia
kepada Tuhan. Sementara penanggung jawab utama menjalankan kewajiban pemeliharaan dan
pencegahan kerusakan lingkungan hidup ini terletak di pundak pemerintah. Ia telah diamanati
memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya
mengeksploitasi dan merusaknya.2
Didalam Islam, tidak dijelaskan secara eksplisit dan terperinci berbagai hal tentang kebakaran
hutan. Namun, secara umum hukum Islam telah mengatur tentang pelarangan tindakan pengrusakan
hutan dan tindakan pengrusakan lingkungan. Islam mengatur pengelolaan hidup, meliputi berbagai
aspek, yakni pengelolaan sumber daya alam yang menyangkut bidang kehutanan, pemeliharaan,
larangan dan ancaman-ancaman dalam pengrusakan hutan termasuk didalamnya tentang
pengrusakan hutan. Untuk saat ini, kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh
faktor manusia yang tidak bertanggung jawab untuk membuka lahan pertanian dan mengambil
keuntungan untuk dirinya saja.
Fatwa MUI tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam (Fatwa Islamic Council on Natural
Resouces Management), fatwa MUI Wil. IV Kalimantan tentang Pembakaran Hutan dan Kabut
Asap (Edicts of Indonesia Islamic Council on Forest Fire and Haze) dan fatwa Penebangan Liar
dan Pertambangan Tanpa Izin Illegal Logging dan Illegal Mining (Edict on Illegal Logging and
Illegal Mining). Dalam fatwa MUI tersebut memutuskan dan menetapkan bahwa pembakaran hutan
dan lahan untuk kegiatan kehutanan, pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain yang
mengakibatkan kabut asap, kerusakan lingkungan serta mengganggu kehidupan manusia hukumnya
haram. Keputusan ini dipertimbangkan berdasarkan dampak dari pembakaran hutan di musim
kemarau untuk memperluas areal perkebunan merusak lingkungan, karena hutan menjadi gundul
berubah menjadi padang ilalang dan pada musim hujan terjadi banjir; bahwa dampak pembakaran
hutan menimbulkan kabut asap yang mengganggu transportasi laut, darat dan udara, mengganggu
kesehatan masyarakat dan mengganggu proses belajar mengajar, bukan hanya di wilayah
Kalimantan bahkan kabut asap meluas ke wilayah negara-negara tetangga bahwa untuk mengatasi
kebakaran hutan dan kabut asap, MUI merasa perlu menetapkan fatwa tentang hukum membakar
hutan, dan lahan untuk memperluas perkebunan yang menyebabkan tersebar kabut asap yang sangat
mengganggu aktifitas masyarakat, untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Penegak hukum sebagai garda depan dalam menjaga keamanan Negara seharusnya dapat
menjalankan kinerjanya dengan baik. Menerapkan sangsi yang berat terhadap semua pihak yang
terlibat sekiranya akan membuat para pelaku jera dan tindak-tanduk para pengusaha tersebut dapat
dibatasi agar tidak kelewatan batas. Meskipun latar belakang hutan di Indonesia yang didominasi
oleh lahan gambut dan rentan akan timbulnya percikan api namun sebenarnya sebagian besar dari
penyebab kebakaran hutan di Indonesia saat ini adalah karena human error.
Menurut Asma Nadia, seorang penulis, melalui tulisannya yang berjudul “Tanggung Jawab
Kebakaran Hutan” yang dimuat dalam kolom opini Republika.co.id bahwa sekalipun sering
dianggap berlangsung alamiah, sebenarnya kebakaran ini pun diawali ulah manusia (baca:
pengusaha). Kebakaran karena human error – sebetulnya lebih tepat ketamakan dan kelalaian
manusia – biasanya disebabkan pembakaran hutan secara sengaja untuk penghematan biaya, atau
yang diakibatkan puntung rokok. Terlepas dari asal penyebabnya, penting sekali bagi Pemerintah
2 Ali Yafie. Merintis Fiqh Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Amanah. 2006.
4. 3
untuk memberlakukan sangsi, mulai dari denda hingga tindakan lebih berat lagi agar para
pengusaha dan para pelaku pembakaran hutan tidak semata mengambil keuntungan namun juga
bertanggung jawab.
Agama Islam sendiri sudah menjelaskan bahwa bersikap serakah dan tamak merupakan
perilaku tercela yang dibenci oleh Allah Swt. Seandainya saja para pelaku pengrusakan hutan
terutama pelaku kebakaran paham tentang hal ini tentunya tidak ada lagi kabut asap dan gangguan
lain akibat musibah tersebut.
Maulana Unan dalam kajian skripsinya yang berjudul “Tindak Pidana Kebakaran Hutan
dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Perspektif Hukum Islam”
mengemukakan mengenai masalah pembakaran hutan (pengrusakan lingkungan) bahwa dalam
hukum Islam harus terus digali dan dikembangkan keberadaannya. Karena agama, terutama agama
Islam memiliki peran penting dalam menuntun perilaku masyarakat. Dengan ajaran-ajaran yang
yang diyakini oleh pemeluknya sebagai way of life diharapkan dapat mencegah pengrusakan
lingkungan hidup khususnya bidang kehutanan.
Menurut saya sendiri, tanggung jawab menjaga kelestarian alam adalah bagian penting yang
harus diterapkan dalam ranah pendidikan. Karena para pelaku pembakaran hutan saat ini adalah
mereka yang tidak mengerti atau bahkan tidak tahu apapun mengenai arti tanggung jawab menjaga
kelestarian lingkungan. Selain itu, Islam juga telah mengajarkan kepada umat-Nya untuk selalu
berbuat baik kepada semua makhluk ciptaan Allah terutama lingkungan yang ia jadikan tempat
tinggalnya.