Dokumen tersebut membahas tentang qiyas dalam hukum Islam. Secara ringkas, dibahas mengenai pengertian qiyas sebagai perbandingan hukum antara kasus yang sudah diatur dengan yang belum, syarat-syarat qiyas seperti adanya kesamaan ilal hukum, dan perbedaan qiyas dengan ijtihad.
1. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul Fiqh membicarakan tentang indikasi-indikasi dan metode
deduksi hukum-hukum fiqh dari sumbernya. Indikasi ini terutama
ditemukan dalam Al Quran dan Sunnah yang merupakan sumber pokok
syariat Islam. Artinya, hukum-hukum fiqh digali dari Al Qur’an dan
Sunnah atas dasar beberapa prinsip dan metode yang dikenal dalam ushul
fiqh. Beberapa penulis menganggap ushul fiqh sebagai metodologi
hukum.1
Sejarah membuktikan bahwa metode yang dipakai para ulama
terdahulu kebanyakan mempergunakan metode penalaran dalam
menghadapi suatu kasus yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al
Qur’an, Sunnah, ataupun Ijma’. Kemudian mereka menggunakan berbagai
bentuk analisa salah satunya Qiyas. Hadirnya qiyas sebagai sumber hukum
Islam mendapat tanggapan beragam bagi para mukallaf. Disatu sisi, qiyas
dianggap sebagai inovasi baru dalam dunia hukum Islam. Walaupun
demikian, antara satu madzab fiqh dengan yang lain terjadi perbedaan
dalam menyikapi dan masing-masing madzhab memiliki alasannya
sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, unsur, serta kedudukan qiyas dalam hukum syara’?
2. Apa saja syarat, macam dan tempat berlakunya qiyas?
3. Apa perbedaan antara qiyas dengan ijtihad?
C. Tujuan
1
Kamali, Muhammad Hashim.Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam (Ushul Fiqih). terj.
Noorhaidi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Hlm 1.
1
2. 1. Untuk mengetahui tentang pengertian, unsur, serta kedudukan qiyas
dalam hukum syara’.
2. Untuk mengetahui syarat, macam, dan tempat berlakunya qiyas.
3. Untuk memahami perbedaan antara qiyas dengan ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Qiyas
1. Pengertian
Secara etimologis kata “qiyas” berarti “qadar” artinya mengukur,
membandingkan sesuatu dengan semisalnya.2
. Hasby ash Sidieqy
mengartikan qiyas secara bahasa yakni mengukur dan memberi batas.
Menurut istilah ahli ushul ialah: “menghubungkan hukum sesuatu
pekerjaan kepada yang lain, karena kedua pekerjaaan itu sebabnya
sama yang menyebaban hukumnya juga sama”3
. Redaksi yang berbeda
di jelaskan oleh Sulaiman Abdullah mengenai istilah yang
disampaikan oleh ahli ushul yakni: ”qiyas adalah mempersamakan satu
peristiwa hukum yang tidak ditentukan hukumnya oleh nash, dengan
peristiwa hukum yang ditentukan oleh nash bahwa ketentuan
hukumnya sama dengan hukum yang ditentukan nash4
. Tentang arti
qiyas menurut terminology (istilah hukum) terdapat beberapa definisi
berbeda yang saling berdekatan artinya. Diantara definisi-definisi
tersebut yakni:
a) Al-Gazali dalam al-Mustashfa memberi definisi qiyas:
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
2
Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2008. Hlm158.
3
Teungku Muhammd Hasbi Ash Sidieqy. Pengantar Hukum Islam. Semarang;Pustaka
Rizki Putera. 2001. Hlm 200.
4
Sulaiman Abdullah. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya. Jakarta:
Siinar Grafika 2004. Hlm.82.
2
3. diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dan keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hukum atau peniadaan hukum”.
b) Qadhi Abu Bakar memberikan definisi yang mirip dengan definisi
di atas dan disetujui oleh kebanyakan ulama, yaitu:
“menanggungkan sesuatu yang diketahui kepada sesuatu yang
diketahui dalam hal menetapkan hukum pada keduanya atau
meniadakan hukum dari keduanya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya”.
c) Abu Hasan al-Bashri memberikan definisi: “Menghasilkan
(menetapkan)hokum ashal pada “furu” karena keduanya sama
dalam illat hukum menurut mujtahid”5
. Dan masih banyak lagi
pendapat ulama lainnya.
2. Unsur-unsur Qiyas
Mengenai hakikat qiyas terdapat empat unsur (rukun) pada setiap
qiyas, yaitu:
a) Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh
pembuat hukum. Ini disebut “maqis alaihi” atau “ashal” atau
“musyabah bihi”.
b) Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara
jelas dalam nash syara. Ini disebut
“maqis”atau”furu”atau”musyabbah”.
c) Hukum yang disebutkan sendiri pembuat hukum (syari) pada
Ashal. Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu,dalam illatnya
para mujtahid dapat menetapkan hukum pada furu . ini disebut
hukum ashal.
5
Syarifuddin,Ushul…,hlm.158-159
3
4. d) Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh
mujtahid pada furu.6
3. Qiyas sebagai Dalil Hukum Syara
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum
syara, Muhammad Abu Zahrah membagi tiga kelompok, yaitu:
a) Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil
syara. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat
hukumnya dalam nash al-Quran atau Sunnahdan dalam ijma ulama.
Mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak
melampui batas kewajaran.
b) Kelompok ulama Zahiriyah dan Syiah Imamiyah yang menolak
penggunaan qiyas secara mutlak. Zhahiriyah juga menolak
penemuan illat atas suatu hukum Dan tidak menganggap perlu
mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara.
c) Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.
Mereka pun berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat
kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang memberi
kekuatan yang lebih tinggi kepada qiyas, sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagian ayat Al-quran atau Sunnah7
. Dalil
yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai
dalil syara adalah:
1) Dalil Al-Quran
a. Allah SWT memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas
dengan cara menyamakan dua hal sebagaimana terdapat
dalam surat yasin ayat 78-79
6
Ibid,.hlm.164
7
Ibid.,hlm.164-167
4
6. b. Para sahabat Nabi banyak menetapkan pedapatnya
berdasarkan qiyas. Misalnya contoh yang populer adalah
kesepakatan sahabat menggangkat Abu Bakar menjadi
khalifah pengganti Nabi.8
B. Syarat, Macam, dan tempat berlakunya Qiyas
1. Syarat Qiyas
a) Maqis alaihi (tempat menqiyaskan sesuatu kepadanya). Syarat-
syaratnya.
1) Harus ada dalil atau petunjuk yang membolehkan
mengqiyaskan sesuatu kepadanya, baik secara nau’I atau
syakhsi (lingkungan yang sempit atau terbatas).
2) Harus ada kesepakatn ulama tentang adanya illat pada ashal
maqis alaih itu.
b) Maqis (sesuatu yang akan dipersamakan hukumnya dengan ashal)
1) Illat yang terdapat pada furu memiliki kesamaan dengan illat
yang terdapat pada ashal.
2) Harus ada kesamaan antara furu itu dengan ashal dalam hal ilat
maupun hukuum baik yang menyangkut ain atau jenis dalam
arti sama dalam ain illat atau sejenis illat dan sama dalam ain
hokum atau jenis hukum.
3) Ketetapan pada hukum tidak menyalahi dalil qat’i.
4) Tidak terdapat penentang hukum lain yang lebih kuat terhadap
hukum pada furu dan hukum dalam penentang itu berlawan
dengan illat qiyas itu.
8
Ibid.,hlm.164-172
6
7. 5) Furu itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu.
6) Furu itu tidak mendahului ashal dalam keberadaannya.
c) Hukum Ashal
Hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis alaihi yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang
akan diberlakukan pada furu. Adapu yang menjadi syarat-
syaratnya.
1) Hukum ashal itu adalah hukum syara, karena tujuan qias syari
adalah untuk mengetahui hukum syara pada furu.
2) Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash bukan dengan qiyas.
3) Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan
hukum yang telah di nasakh.
4) Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
5) Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama.
6) Dalil yang menetapkan hukum ashal secara langsung tidak
menjangkau kepada furu.
d) Illat
Illat adalah sifat yang menjadi kaitan bagi adanya suatu hukum.
1) Bentuk-bentuk illat
a. Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan
sendirinya tanpa bergantung kepada urf atau lainnya.
b. Sifat hissy, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati oleh
7
8. alat indra.
c. Sifat urfi, yaitu sifat yang tidak dapat diukur namun dapat
dirasakan bersama.
d. Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari
penamaannya dalam artian bahasa.
e. Sifat syar’i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai bentuk
hukum syar’i dijadikan alasan untuk menetapkan sesuatu
hukum.
f. Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang
menjadi alasan adanya suatu hukum.
2) Fungsi illat
a) Penyebab/penetap yaitu illat yang dalam hubungannya
dengan hukum merupakan penyebab atau penetap adanya
hukum, baik dengan nama mu’arif ,muassir, atau baits.
b) Penolak yaitu illat yang keberadaannya menghalangi hukum
yang akan terjadi, tetapi tuidak mencabut hukum itu
seandainya ilat tersebut terdapat pada saat hukum tengah
beraku.
c) Pencabut, yaitu illat yang mencabut kelangsungan suatu
hukum bila illat itu terjadi dalam masa tersebut.
d) Penolak atau pencegah, yakni illat yang hubungannya
dengan hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan
sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu telah
berlangsung.
3) Syarat-syarat illat
8
9. a) Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong
pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan sebagai
kaitan hukum.
b) Illat itu adalah suatu sifat yang jelas dan dapat disaksikan.
c) Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya
jelas dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang
lainnya.
d) Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara
hukum dengan sifat yang akan menjadi illat.
e) Illat itu harus mempunyai daya rentang.
f) Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak
dipandang untuk menjadi illat.9
2. Macam-macam Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari berbagai segi sebagai berikut:
1) Pembagian qiyas dari segi kekuatan illat yang terdapat pada furu,
dibandingkan pada ilat yang terdapat pada ashal.
a) Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu
lebih kuat dari pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan
illat pada furu.
b) Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu
sama keadannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena
kekuatan illatnya sama.
9
Ibid,.hlm.180-193
9
10. c) Qiyas adwan, yaitu yang yang berlakunya hukum pada furu
lebih lemah dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal
meskipu qiuas tersebut memenuhi persyaratan.
2) Pembagian qiyas dari segi kejelasan illatnya.
a) Qiyas jali, yaitu qiyas yang illlatnya ditetapkan dalam nash
bersamaan dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan
illat itu dalam nash, namun titik pembedaan antara ashal dengan
furu dapat dipastikan tidak ada pengaruhnya.
b) Qiyas khafi, yaitu qiyas yang illatnya tidak disebutkan dalam
nash. Maksudnya diistinbatkan dari hukum ashal yang
memungkinkan kedudukan illatnya bersifat zhanni.
3) Pembagian qiyas dari segi keserasian illatnya dengan hukum.
a) Qiyas muatsir, yang diibaratkan dengan dua definisi:
Pertama, qiyas yang illat penghubung antara ashal dan furu
ditetapkan dengan nash yang syarih atau ijma. Kedua,qiyas yang
ain sifat (sifat itu sendiri) yang menghuubungkan ashaldengan
furu itu berpengaruh terhadap ain hukum.
b) Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang illat hukum ashal dalam
hubungannya dengan hukum haram adalah dalam bentuk
munasib mulaim.
4) Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya illat pada qiyas
itu.
a) Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang
meskipun illatnya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antar
ashal dengan furu tidak dapat dibedakan, sehingga furu itu
seolah-olah ashal itu sendiri.
10
11. b) Qiyas illat, yaitu qiyas yang illatnya dijelaskan dan illat tersebut
merupakan pendorong bagi berlakunya hukum dalam ashal.
c) Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang illatnya bukan pendorong bagi
penerapan hukum itu sendiri namun ia merupakan keharusan
(kelaziman) bagi illat yang memberi petunjuk akan adanya illat.
5) Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam
ashal dan dalam furu.
a) Qiyas ikhalah, yaitu qiyas yang illat hukumnya ditetapkan
melalui metode munasabah dan ikhalah.
b) Qiyas syabah, yaitu qiyas yang hukum ashalnya ditetapkan
melalui metode syabah.
c) Qiyas sabru, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan
melalui metode sabru wa taqsim.
d) Qiyas thard, yaitu qiyas yang illat hukum ashalnya ditetapkan
melalui thard.10
3. Tempat Berlakunya Qiyas
Sebagian ulama diantara Imam Syafi’I berpendapat bahwa qiyas
berlaku pada semua hukum syariah, meskipun dalam perkara hudud,
kafarat, taqditar (hukum-hukum yang telah ditetapkan) dan hukum-
hukum rukhsah, yakni hukum-hukum perkecualian, apabila syarat-
syaratnya sudah terpenuhi. Sebab dalil yang mendukung atas
kehujjahannya tidak membeda-bedakan antara satu macam hukum
dengan hukum-hukum lainnya.
Ulama dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas tidak
berlaku pada masalah hudud (pidana yang telah ditetapkan nash).
10
Ibid.,hlm.219-223, dan Ash Sidieqy, Pengantar.., hlm.203-214
11
12. Sebab ia termasuk batas yang telah ditetapkan Allah yang tidak bisa
diketahui illatnya oleh akal. Seperti seratus cambukan bagi pezina.
Disamping itu ialah karena dapat ditolak atau dihilangkan dengan
kesyubhatan (ketidak jelasan terjadinya). Sedangkan qiyas juga subhat,
sebab ia menunjukan pada hukum dengan cara dzanny bukan qat’i.
Maka uqubat yang telah diwajibkan tidak bisa ditetapkan kecuali
dengan dalil yang qat’i. Adapun soal uqubat yang tidak ditentukan
bentuk pidananya, yang disebut dengan “Ta’zir” maka qiyas dalam
soal ini dapat berlaku. Demikian menurut kesepakatan para ulama
Fiqh.
Qiyas juga tidak berlaku dalam soal kafarat. Sebab, kafarat juga
berarti uqubat, maka hukumnyapun sama dengan uqubat. Demikian
pula qiyas tidak berlaku pada soal rukhsah, sebab ia merupakan hadiah
ari Allah SWT, maka tidak berlaku qiyas padanya.
Begitu juga qiyas tidak berlaku dalam masalah ibadah. Maka
qiyas tidak berlaku pada pokok-pokok ibadah. Dan tidak sah
menciptakan ibadah dengan cara mengqiyaskan pada ibadah yang
sudah ada ketetapannya. Qiyas juga tidak berlaku pada sesuatu yang
akal tidak mengetahui maksud dan tujuannya baik dari segi hukum
maupun bagian-bagiannya, sehingga tidak boleh mensyariatkan
sesuatu ibadah yang tidak diizinkan Allah SWT.11
11
Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1993. hlm.167-
168.
12
13. C. Perbedaan Antara Ijtihad Dengan Qiyas
Ijtihad mengenai kejadia-kejadian baik yang ada nash, tetapi dzanni
wurudnya dan dalalahnya dan yang tak ada nash. Ijtihad yang ada nash
dzanni, adalah untuk menentukan apa yang harus kita pahami dan untuk
mengetahui apakah itu ‘am atau khas. Dan kalau dia ‘am apakah dia masih
tetap ‘am atau mutlaq atau mukayyad. Ijtihad terhadap yang tidak ada nash
ialah menetapkan hukumnya dengan jalan qiyas, istihsan, mashlahah
mursalah, ataupun dengan dalil yang lain yang dibenarkan syara.
Bidang qiyas ialah kejadian-kejadian yang tidak ada nash tetapi
terdapat dalam syara, sesuatu pokok untuk diqiyaskan kepadanya. Maka
qiyas adalah sesuatu sumber ijtihad, sedang ijtihad itu lebih umum dari
pada qiyas. Dan kadang pula ijtihad dengan qiyas dipandang sama.
Diantara perbedaan-perbedaan ijtihad dengan qiyas ialah qiyas yidak dapat
berlaku dalam bidang ibadah, hudud dan kafarat, sementara ijtihad dapat
dilakukan disegala bidang.12
12
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka
Rizki utra. 1997. hlm.201-202.
13
14. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Qiyas adalah suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum
syara dalam hal yang nash Al-Quran dan Sunnah tidak menetapkan
hukumnya secara jelas. Ada dua macam cara penggunaan ra’yu yakni
penggunaan ra’yu yang masih merujuk kapada nash dan penggunaan ra’yu
secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash. Bentuk pertama secara
sederhana disebut qiyas. Dasar qiyas adalah adanya kaitan yang erat antara
hukum dan sebab.
Hal-hal atau kasus yang ditetapkan Allah hukumnya sering
mempunyai kesamaan dengan kasus lain yang tidak ditetapkan hukumnya.
Meskipun asus lain itu tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah, namun
karena adanya kesamaan dalam hal sifatnya dengan kasus yang ditetapkan
hukumnya, maka hukum yang sudah ditetapkan dapat diberlakukan
kepada kasus lain tersebut.
Atas dasar keyakinan bahwa tidak ada yang luput dari hukum
Allah,maka setiap muslim meyakini bahwa setiap peristiwa yang terjadi
pasti ada hukumnya. Sebagian hukum dapat dilihat secara jelas dalam nash
syara namun sebagian lain tidak jelas. Dengan konsep mumatsalah
peristiwa yang tidak jelas hukumnya itu dapat disamakan hukumnya
dengan yang ada hukumnya dalam nash. Usaha meng-istinbath dan
penetapan hukum yang menggunakan metode penyamaan ini disebut
ulama ushul dengan qiyas (analogi).
14
15. B. Saran
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi
masukan dan sumber pengetahuan bagi semua orang dan semoga
bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia
biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat
harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama
dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih
baik.
15
16. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sulaiman. Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya.
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
As Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Semarang:
Pustaka Rizki Putra. 1997 Pengantar Ilmu Fiqh. Semarang: Pustaka Rizki
Putra,1997.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya Al Jumanatul Ali.
Bandung: Penerbit J-ART. 2004.
Hallaq, Wael B. Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Ushul Fiqh
Mazhab Sunni. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2001.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh I. Jakarta: Kencana. 2009.
Syukur, Syarmin. Sumber-Sumber Hukum Islam. Surabaya: Al-Ikhlas. 1993.
16