Akad memiliki peranan penting dalam fiqh muamalah karena menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Makalah ini membahas konsep akad meliputi asal-usul, pengertian, rukun dan syarat akad, serta jenis-jenis akad dan implikasinya terhadap transaksi."
1. 0
KONSEP AKAD DALAM KAJIAN FIQH MUAMALAH
Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Dra. Uswatun Hasanah. M.Ag.
Sholahuddin al-Aiyubi. M.Si.
Disusun oleh:
Elif Pardiansyah (1606968620)
EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH
KAJIAN TIMUR TENGAH DAN ISLAM
SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL
UNIVERSITAS INDONESIA
2017
2. 1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................................................. 1
ABSTRAK ................................................................................................. 2
1. PENDAHULUAN.................................................................................. 2
Latar Belakang Masalah .................................................................. 2
A. PEMBAHASAN.................................................................................... 2
1. Asal-muasal Akad ............................................................................ 2
2. Pengertian Akad ............................................................................... 3
3. Rukun-rukun Akad .......................................................................... 4
4. Syarat-syarat Akad .......................................................................... 4
5. Macam-macam Akad ...................................................................... 7
B. PENUTUP ............................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 10
3. 2
Konsep Akad Dalam Kajian Fiqh Muamalah
Abstrak
Mempelajari fiqh muamalah tidak akan terlepas dari pembahasan mengenai
konsep akad, karena kedudukan akad menempati posisi yang penting dalam ruang
lingkup fiqh muamalah. Melalui akad suatu transaksi dapat diketahui hukumnya
baik sah, fasid, maupun bathal. Dalam dunia usaha dan bisnis akad (perjanjian)
usaha menduduki posisi yang amat penting. Karena akad itulah yang membatasi
hubungan hak dan kewajiban antara dua pihak yang terlibat dalam pengelolaan
usaha atau bisnis, dan dengan adanya akad ini akan mengikat pihak-pihak yang
menandatangani akad sampai dengan berakhirnya akad tersebut. Karena dasar dari
adanya hubungan itu adalah pelaksanaan apa yang menjadi orientasi kedua orang
yang melakukan perjanjian, dijelaskan dalam perjanjian oleh keduanya. Konsep
akad yang dimaksud dalam makalah ini mencakup: asal muasal akad, pengertian
akad, rukun-rukun akad, syarat-syarat akad, macam-macam akad dan
implikasinya terhadap transaksi.
Kata Kunci: fiqh muamalah, akad, syarat akad, rukun akad, perjanjian usaha.
A. Pendahuluan
Akad bila ditinjau dari fungsi dan
pengaruhnya memiliki kedudukan yang penting
dalam ruang dan lingkup fiqh muamalah.
Sehingga suatu transaksi dapat dikatakan sah
jika akad yang dilaksanakan itu terpenuhi
syarat dan rukunnya. Pengaruh-pengaruh
umum yang berlaku pada semua akad transaksi
muamalah terbagi dua yaitu :
Pada dasarnya akad tidak berbeda
dengan transaksi (serah terima) pada
umumnya. Semua perikatan (transaksi) yang
dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak
boleh menyimpang dari kehendak syariah
Islam. Artinya dalam suatu akad harus
terpenuhi rukun dan syaratnya. Konsekuensi
dari tidak terpenuhinya rukun suatu akad
menyebabkan bathal (tidak sah) nya suatu akad
atau transksi. Begitupun dengan tidak
terpenuhinya syarat akad baik satu ataupun
lebih menyebabkan fasid (rusak) suatu akad.
Oleh sebab itu pembahasan mengenai
materi ini menjadi sangat penting, karena akad
menjadi dasar sah atau tidaknya suatu
transaksi. Akad menjadi landasan dan memiliki
konsekuensi hukum tidak hanya bagi transaksi
yang klasik seperti jual beli, perdagangan,
upah, sewa, kerjasama usaha, maupun
kerjasama pertanian, melainkan juga pada
semua sektor lembaga keuangan seperti
perbankan syariah, pasar modal syariah, dan
industri keuangan non bank harus taat dan
sesuai dengan akad-akad syariah ini.
B. Pembahasan
1. Asal-muasal Akad
Akad merupakan bagian dari tasharruf
( .)تصرف Menurut Mustafa Az-Zarqa’, tasharruf
( )تصف adalah:
الشفع عليه ويفتة تأرادته شخص من يصذر ما كل
حقوقيته نتاتح
Segala yang keluar dari seorang manusia
dengan iradat-nya (kehendaknya) dan syariat
menetap-kan sejumlah akibat hukum terhadap
hak dan kewajibannya.1
1
Mustafa Az-Zarqa’. al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm.
(Bairut: Daarul Fikri, 1968). Juz I. hlm. 291.
4. 3
Dengan demikian, pembahasan tasharruf
mencakup ucapan (qauli) yang keluar dari diri
seseorang seperti jual beli, hibah, wakaf, iqrar
dan perbuatan (fi’li) seperti mengambil hal-hal
yang mubah, mengkonsumsi dan mengambil
manfaatnya.2
Mustafa az-Zarqa dalam Dahlan,
menyatakan bahwa tindakan hukum yang
dilakukan manusia terdiri dari dua bentuk
yaitu, pertama, tindakan dalam bentuk
perbuatan (tasharruf fi’li); kedua, tindakan
dalam bentuk perkataan (tasharruf qauli).3
Tasharruf fi’li ( للل)فع ialah usaha yang
dilakukan manusia dengan tenaga dan
badannya selain lidah, sebagai contohnya
adalah, memanfatkan tanah yang tandus,
menerima barang-barang dalam jual beli, atau
merusak benda orang lain.4
Sedangkan, tasharruf qauli ()قول adalah
sesuatu yang keluar dari lidah manusia.
Tasharruf jenis ini dapat dibagi menjadi dua
jenis, yaitu yang bersifat akad (tasharruf aqdi)
dan yang tidak bersifat akad (ghairu aqdi).
Tasharruf qauli ialah sesuatu yang dibentuk
dari dua ucapan kedua belah pihak yang saling
berkaitan. Sedangkan tasharruf qauli ghairu
aqdi merupakan pernyataan yang melahirkan
suatu hak atau mencabut suatu hak, dan tidak
menyatakan suatu kehendak untuk
mewujudkan tuntutan hak tersebut, seperti
gugatan cerai.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum
ini, menurut az-Zarqa dalam Dahlan, suatu
tindakan hukum lebih umum dari akad. Oleh
sebab itu, setiap akad dapat dikategorikan
sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa
pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum
tidak dapat disebut sebagai akad.5
2
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
cet. III (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1996). Jilid IV. hlm. 83.
3
Abdul Aziz Dahlan (ed.) et.al., Ensiklopedi Hukum
Islam, cet.1, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996).
jilid. I. hlm. 63.
4
Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah (Jakarta: PT
RajaGranfindo Persada, 2010). hlm. 43.
5
Abdul Aziz Dahlan (ed.) et.al., Ensiklopedi Hukum
Islam, cet.1, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996).
jilid. I. hlm. 63.
2. Pengertian Akad
Secara etimologi, akad berasal dari bahasa
Arab yang lazimnya di sebut ‘aqada atau
jamaknya ‘uqud dari kata ‘aqada-ya’qidu-
‘aqdan, yang berarti al-rabth (mengikat,
mengumpulkan dan janji).6
Yaitu menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan
mengikatkan salah satu pada yang lainnya
hingga keduanya bersambung dan menjadi
seutas tali yang satu.7
Sedangkan, secara terminologi hukum
Islam, akad berarti pertalian antara ijab dan
qabul dengan sukarela (ridha) yang dibenarkan
oleh syariat yang menimbulkan akibat hukum
(hak-dan kewajiban) kepada para pihak yang
berakad.8
Wahbah Zuhaily mendefinisikan akad
sebagai berikut:
ا ارتثاطمشفوع وجه على تقثول يجابفي اثفه يثثت
محله
Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul
yang dibenarkan oleh syara’ yang
menimbulkan akibat hukum terhadap
objeknya.9
yang dimaksud ijab dalam hal ini adalah
ungkapan atau pernyataan kehendak untuk
melakukan suatu perikatan (akad) leh suatu
pihak, biasanya pihak pertama. sedangkan
qabul adalah ungkapan atau pernyataan yang
menggambarkan kehendak pihak lainnya,
biasanya pihak kedua dengan maksud
menerima, menyetujui atau menyepakati
pernyataan ijab.10
Adapun Abdul Razak As-Sanhury
pengarang kitab Nazariyyah al-‘Aqd Syarh al-
Qanun dalam Syahnan, mengemukakan bahwa
yang di maksud dengan akad (perjanjian)
adalah suatu perbuatan hukum dimana seorang
6
Ahmad Warson Munawir. Al-Munawir Kamus Bahasa
Arab. (Yogyakarta: Ponpes Al Munawir Krapyak, 1984).
hlm. 1023.
7
Ghufron A. Mas’adi. Op.Cit., hlm. 75.
8
ibid. hal. 75. Lihat juga, Ahmad Azhar Basyir. Asas-
asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam.
(Yogyakarta: UII Press, 2000). hlm. 66.
9
Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
cet. III (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1996). Jilid IV. hlm. 81.
10
Ghufron A. Mas’adi. Op.Cit., hlm. 76-77.
5. 4
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang
lain untuk menimbulkan iltizam (hak dan
kewajiban), mengalihkan atau
mengakhirinya.11
Berdasarkan definisi akad diatas, dapat
disimpulkan bahwa akad adalah kehendak
(iradat) untuk saling mengikatkan antara dua
pihak atau lebih (shighatul ‘aqdi) yang
dibenar-kan syariat dan menimbulkan
konsekuensi hukum (hak dan kewajiban)
terhadap subjek (‘aqidain) dan objek akad
(mahallul ‘aqdi/ ma’qud alaih).
3. Rukun-rukun Akad
Setelah diketahui bahwa akad merupakan
perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua pihak
atau lebih berdasarkan keridhoan masing-
masing, maka timbulbagi kedua phak tersebut
hak dan kewajiban yang diwujudkan oleh akad.
Suatu akad dapat dikatakan sah apabila
memenuhi rukun akad. Rukun adalah suatu
unsur yang mutlak harus ada dalam suatu hal,
peristiwa, atau tindakan.12
Namun demikian,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama
(fuqaha) mengenai rukun akad. Menurut
jumhur fuqaha rukun akad terdiri atas:
1) ‘Aqid atau ‘aqidain, yaitu orang yang
berakad atau para pihak yang terlibat
langsung dengan akad;
2) Mahallul ‘aqdi atau ma’qud alaih, yaitu
objek akad atau sesuatu yang hendak
diakadkan;
3) Shighatul ‘aqdi, yakni pernyataak
kalimat akad, yang lazimnya disebut
pernyataan ijab dan pernyataan qabul.13
Menurut fuqaha Hanafiyah, rukun akad
hanya satu, yaitu shigatul ‘aqdi (ijab dan
qabul). menurut mereka ‘aqidain dan mahallul
‘aqdi /ma’qud alaih bukan merupakan rukun
akad tapi lebih tepat sebagai syarat akad.
11
Mhd. Syahnan. Modernization of Islamic Law of
Contract. (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI, 2009), hlm. 124.
12
Ahmad Azhar Basyir. Asas-asas Hukum Muamalat:
Hukum Perdata Islam. (Yogyakarta: UII Press, 2000).
hlm. 66.
13
Ghufron A. Mas’adi. Op.Cit., hlm. 78.
Pendapat diatas berbeda dengan fuqaha
mazhab Syafi’iyah, seperti al-Ghazali yang
menyatakan ‘aqid merupakan bagian dari
rukun akad, dalam pengertian karena ia
merupakan salah satu dari pilar utama tegaknya
akad. Demikian juga pendapat Syihab al-
Karakhi dari kalangan fuqaha Malikiyah.14
Mustafa Ahmad Az-Zarqa’ menawarkan
istilah lain atas sejumlah hal yang dipandang
rukun oleh fuqaha jumhur. az-Zarqa’
menyebutnya dengan istila muqawwimatul
‘aqdi (unsur penegak akad) yang terdiri dari al-
‘Aqidain (pihak yang berakad); Mahallul ‘aqdi
(objek akad); Maudhu’ul ‘aqdi (tujuan akad);
dan Shighatul ‘aqdi (ijab dan qabul).15
Syarat umum, tiga unsur pertama dari
muqawwimat al-‘aqdi berlaku syarat-syarat
yang harus dipenuhi dalam setiap akad, yaitu:
1) Para pihak yang melakukan akad
(‘aqidain) harus memenuhi persyaratan
kecakapan bertindak hukum (mukallaf).
2) Objek akad (mahallul ‘aqdi) dapat
menerima hukum akad, artinya pada
setiap akad berlaku ketentuan-ketentuan
khusus yang berkenaan dengan objek
akad, apakah dapat dikenakan hukum
atau tidak.
3) Tujuan akad (maudhu’ul ‘aqdi) secara
syariat diperbolehkan atau tidak
bertentangan dengannya.
4) Setiap akad harus mengandung
manfaat.
4. Syarat-syarat Akad
Syarat-syarat akad secara umum dapat dilihar
dari syarat setiap unsur yang membentuk akad
itu sendiri. Artinya syarat akad berarti terdiri
dari syarat al-‘aqidain, syarat mahallul aqdi,
syarat maudhu’ul ‘aqdi, dan syarat shighatul
‘aqdi. Untuk lebih jelasnya berikut adalah
syarat-syarat akad pada unsur muqawwimatul
‘aqdi.
1) al-‘Aqidain (pihak yang berakad)
14
Mustafa Ahmad Az-Zarqa’. Op.Cit., hlm. 301.
15
Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islam fi
Tsaubihi al-Jadid (Damaskus: Maktabi Alifba al-Adib,
1968). hlm. 322.
6. 5
ijab dan qabul merupak esensi akad, namun
demikian tidak akan terpenuhi apabila tidak
ada aqidain (para pihak yang berakad).
Apabila dilihat dari kecakapan
melakukan akad, terbagi menjadi tiga yatiu:
pertama, orang yang tidak dapat melakukan
akad seperti orang cacat jiwa (gila), cacat
mental, dan anak yang belum mumayyiz;
kedua, orang yang bisa melakukan akad
tertentu namun terbatas, seperti akad anak
yang sudah mumayyiz naumn belum
mecapai batas akil baligh dapat melakukan
tasharruf yang bermanfaat, menerim
hadiah, wasiat dll.
Oleh sebab itu, tasharruf yang dapat
menimbulkan risiko kerugian seperti jual-
beli, sewa-menyewa, utang-piutang dll,
tidak dapat dilakukan oleh anak mumayyiz,
atau dapat dilakukan dengan syarat ada
pendampingnya. Dalam hal ini seorang
aqid harus memenuhi prinsip kecakapan
(ahliyah) melakukan akad untuk dirinya
sendiri atau karena mendapat kewenangan
(wilayah) melakukan akad menggantikan
orang lain atau berdasarkan perwakilan
(wakalah).
2) Mahallul ‘aqdi (objek akad)
Terjadinya akad karena ada objek yang
menjadi sasaran yang hendak dicapai oleh
para pihak melalui penutupan akad. Objek
akad dapat berupa benda, manfaat benda.
Jasa atau pekerjaan, atau sesuatu yang lain
tidak bertentangan dengan syarat sebagai
rukun yang menjadi sasaran para pihak
menutup akad, maka para ahli hukum Islam
mensyaratkan beberapa halpada objek akad.
a) Objek akad dapat diserahkan atau dapat
dilaksanakan.
Apabila objek tersebut berupa barang
seperti dalam akad jual beli atau dapat
dinikmati, diambil manfaatnya, jika objek
itu berupa manfaat benda seperti sewa-
menyewa benda. Sedangkan objek akad
jika berupa suatu perbedaan seperti
mengajar, melukis atau mengerjakan
sesuatu, maka objek tersebut harus
mungkin dan dapat dilaksanakan.
Mayoritas ahli hukum Islam sependapat,
bahwa syarat umum objek akad harus ada
pada waktu penutupan akad, objek akad
harus jelas dan tertentu. Syarat dimaksud
berdasarkan larangan Nabi Muhammad
Saw dalam jual beli yaitu jangan menjual
barang yang tidak ada padamu (tidak
dimiliki) dan jangan melakukan jual beli
secara garar (objek yang tidak dapat
dipastikan).16
Terdapat beberapa kemungkinan ada
dan tidak adanya objek pada waktu
penutupan akad, yaitu:
(1) Objek akad ada secara sempurna pada
waktu penutupan akad, kemungkinan
ini akad dianggap sah karena telah
sempurna untuk dilakukan penutupan
akad.
(2) Objek akad ada secara tidak sempurna:
pertama, kemungkinan akad belum
sempurna pada waktu penutupan akad
dan baru akan sempurna dikemudian
hari; kedua, objek terdiri atas sejumlah
satuan yang banyak dan tidak terwujud
seluruhnya sekaligus melainkan secara
bertahap dimana sebagainya sudah ada.
Hal itu menimbulkan perbedaan
pendapat ulama terhadap jual beli
barang, baik yang belum jadi, setengah
jadi maupun yang diperkirakan sudah
jadi. Dalam kaitan ini, mazhab Maliki
membolehkan jual beli barang yang
belum muncul. Ulama Hanafiah
menegaskan objek (barang) harus ada
pada waktu penutupan akad.17
(3) Objek akad tidak ada pada waktu
penutupan akad, tetapi dipastikan akan
ada di kemudian hari. Dengan kemung-
kinan itu terbentuk beberapa bentuk
akad, seperti jual beli salam, yaitu akad
jual beli barang yang akan diserahkan
16
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syari’ah, Studi
tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2007). hlm. 192-193.
17
Ibid. hlm. 193.
7. 6
di kemudian hari dengan pembayaran di
muka, jual beli istisna’ yaitu akad jual
beli produk tertentu (pesanan) dibuat
sesuai keinginan pembeli dan akan
diserahkan kemudian.18
(4) Objek akad tidak ada atau sebagian ada,
tetapi tidak dapat dipastikan akan ada
secara sempurna di kemudian hari.
Kemungkinan ini yang menimbulkan
beberapa karakter akad, seperti aad
yang dilarang, akad batil, dan
sebagainya.
b) Objek akad tertentu atau dapat ditentukan
Objek akad tertentu adalah objek akad
diketahui dengan jelas oleh para pihak,
sehingga tidak menimbulkan sengketa,
diperkuat dengan sifat khusus yang dapat
ditentukan untuk membedakan jenis barang
yang dikehendaki dalam akad. Ketidakjelasan
objek akad ber-dampak pada munculnya
pertentangan para pihak, dan jika hal itu terjadi
akan membatalkan akad.
3) Maudhu’ul ‘aqdi (tujuan akad)
Perhatian utama dari akad adalah akibat
hukum yang timbul dari akad. Karena itu
tujuan akad adalah akibat hukum pokok yang
menjadi keinginan bersama yang ingin
diwujudkan oleh para pihak. Dalam kaitan ini
akad merupakan sarana untuk
merealisasikannya. Tujuan akad adalah maksud
para pihak ketika membuat akad, sedangkan
akibat hukum akad adalah hasil yang dicapai
ketika akad direalisasikan.19
Misalnya, jual
beli, tujuan akadnya adalah memindahkan
kepemilikan atas suatu benda dengan imbalan,
sedangkan akibat hukum akad adalah
terjadinya perpindahan pemilikan dari penjual
kepada pembeli.
Tujuan akad dibedakan dengan beberapa
kriteria: (1) bersifat objektif (berada dalam
akad sendiri, tidak berubah-ubah); (2)
menentukan jenis tindakan hukum (tujuan akad
membedakan satu jenis akad dengan jenis akad
yang lain; (3) merupakan fungsi hukum dari
18
Ghufron A. Mas’adi, Op.,Cit., hlm. 141-142.
19
Ibid. hlm. 221.
tindakan hukum (membentuk sasaran hukum,
baik dari sudut pandang ekonomi maupun
sosial yang hendak diwujudkan oleh tindakan
hukum bersangkutan).
4) Shighatul ‘aqdi (ijab dan qabul)
Sighatul ‘aqdi adalah pernyataan kehendak
yang terdiri atas ijab dan qabul. Tindakan
mengikatkan atau mempertemukan kehendak
itu dilakukan melalui ucapan, tulisan, isyarat,
perbuatan atau cara lain yaitu pihak yang satu
menyatakan kehendaknya dan pihak yang lain
menyatakan kehendaknya sebagai tanggapan
kehendak pihak pertama. Pernyataan kehendak
pertama disebut ijab dan pernyataan kehendak
kedua disebut qabul.
Ijab sebagai pernyataan kehendak pihak
pertama disyaratkan harus jelas maksudnya dan
tegas isinya. Maksudnya, bahwa ungkapan,
baik lisan, tulisan, isyarat maupun lainnya yang
digunakan untuk menyatakan ijab dalam setiap
akad menunjukkan secara jelas jenis akad yang
dikehendaki.
Berbeda dengan pengumuman dan iklan
yang ditujukan kepada publik yang tidak
disertai penawaran barang atau jasa, pada
dssarnya tidak dianggap sebagai ijab oleh
karena tidak tegas menyatakan kehendak
menciptakan tindakan hukum, melainkan
pengumuman dan iklan yang disertai denga
keterangan tegas dapat dipandang sebagai ijab.
Misalnya, pengumuman pada loket penjualan
karcis masuk arena pertandingan dengan
menyebut harga tiket itu, dalam keadaan seperti
itu dapat dianggap sebagai ijab dan orang yang
dapat membeli dengan sejumlah uang (harga)
yang dimaksud dinyatakan sebagai qabul yang
menutup suatu akad.
Menurut jumhur fuqaha, orang yang
mengajukan ijab pada dasarnya bebas untuk
menarik kembali ijabnya selama belum lahir
kabul dan sebelum majelis akadnya bubar. Bila
majelis akad bubar dan belum ada kabul,
ijabnya juga bubar karena bubarnya majelis
akad. Mazhab Maliki berpendapat bahwa ijab
tidak dapat ditarik kembali, sebab bila ditarik
kembali, sesudah penarikan kembali itu muncul
8. 7
kabul dari seorang yang kepadanya ijab
ditujukan, maka terjadi akad.20
Jumhur ulama selain mazhab Syafi’iah
tidak mengharuskan kabul segera dilaksanakan,
sebab pihak pertama membutuhkan waktu
untuk berpikir dan meneliti semua persoalan
yang berkaitan dengan transaksi. Bahkan
menurut mazhab Maliki, bahwa bila pihak
penerima meminta tenggang waktu untuk
mengucapkan kabul, harus diberikan.21
Qabul adalah pernyataan kehendak yang
menyetujui ijab yang dengannya terwujud
suatu akad, dan disyaratkan kejelasan maksud,
ketegasan isi dan didengar atau ketahui oleh
pihak lain, isi yang terkandung di dalam kabul
harus sesuai dengan ijab dalam arti tidak
menambah, mengurangi atau mengubah ijab.
Orang yang menjadi tujuan ijab mempunyai
kebebasan untuk menolah atau menerima ijab
dan pembuat ijab belum mencabut ijabnya.22
Selain itu, pembagian syarat-syarat akad
dapat dikelompokan menjadi empat (4) macam
sebagai berikut:
1) Syarat in’iqad
Syarat ini adalah persyaratan yang langsung
berkenaan dengan berlangsung atau tidak
berlangsungnya suatu akad. Persyaratan ini
mutlak harus ada dipenuhi untuk eksistensi
(keberadaan suatu akad). Jika tidak terpenuhi
maka adanya menjadi bathal (gagal).
Persyaratan yang dimaksud dalam kategori ini
adalah persyaratan yang umum berlaku pada
pada setiap unsur akad, seperti: saksi dalam
akad nikah, serah terima dalam akad ‘aniniyah
(kebendaan), manfaat pada akad sewa, dll.
2) Syarat syihah
Syarat shihah adalah syarat yang ditetapkan
oleh syariat Islam yang langsung berkaitan
dengan ada atau tidaknya akibat hukum yang
ditimbulkan oleh akad. Apabila tidak terpenuhi
syarat ini, maka akad menjadi fasid (rusak).
Contoh pada jenis syarat ini adalah dalam hal
20
Syamsul Anwar, Op.Cit., hlm. 130-131.
21
Ali Hasan. Berbagai Transaksi dalam Islam (Fiqh
Muamalat). (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
hlm. 108.
22
Syamsul Anwar, Op.Cit., hlm. 133.
jual beli yang sangat popular di kalangan ulama
hanafiyah, yaitu keharusan terhindarnya akad
dari enam perkara: jihalah (tidak transparan),
ikrah, tauqith23
, taghrir, dharar, dan syarat
fasid.
3) Syarat nafadz
Syarat nafadz adalah persyaratan yang
ditetapkan oleh syariat berkenaan dengan
berlaku atau tidak berlakunya suatu akad. Jika
persyaratan ini tidak dipenuhi, maka akadnya
menjadi mauquf (ditangguhkan). Syarat nafadz
terbagi menjadi dua macam, yaitu: 1) milik
atau wilayah, artinya orang yang melakukan
akad (transaksi) adalah benar-benar sebagai
pemilik barang atau dia memiliki otoritas
(kewenangan) atas objek akad tersebut; 2)
objek akad harus terbebas dari hak-hak pihak
ketiga.
4) Syarat luzum
Syarat luzum adalah persyaratan yang
ditetapkan oleh syariat yang berkaitan dengan
kepastian sebuah akad. Apabila sebuah akad
belum bisa dipastikan berlakunya seperti ada
unsur tertentu yang menimbulkan hak khiyar,
maka akad seperti ini dalam kondisi ghairu
lazim (belum pasti), Karen masing-masing
pihak berhak membatalkan akad atau tetap
melangsungkan akad tersebut.
5. Macam-macam Akad
Para ahli hukum Islam berbeda pendapat dalam
membagi jenis-jenis akad dalam syari‟at Islam,
perbedaan ini berdasarkan dari segi obyek
akad. Walaupun terdapat perbedaan pendapat,
dapat dikemukakan secara umum jenis-jenis
akad dalam syari‟at Islam, diantaranya:
1) Dilihat dari ada atau tidaknya qismah
(pembagian) pada akad tersebut, maka dari
segi ini akad terbagi pada:
a. Aqad Musamma yaitu akad-akad yang
telah diberikan namanya oleh syara’
dan ditetapkan untuknya hak-hak
tertentu. Aqad Musamma ini ada dua
puluh lima macam diantaranya: jual beli
23
Tauqith adalah pembatasan waktu dalam akad jual beli
seperti menjual atau membeli barang dalam batasan
waktu tertentu.
9. 8
(bai’), ijarah (sewa-menyewa), rahn
(gadai), syirkah, mudharabah,
muzara’ah, dan lain-lain.
b. Aqad Ghairu Musamma yaitu akad-
akad yang tidak diberikan namanya
secara tertentu dan tidak ditentukan
hukum-hukumnya oleh syara’.24
Para ahli hukum Islam, sepakat
membagi akad dengan akad bernama dan
tidak bernama. Menurut Al-Kasani ada
beberapa akad muamalat bernama ada 18,
yaitu: sewa menyewa (ijarah), penempaan
(istishna’), jual beli (bai’), penanggungan
(kafalah), pemindahan hutang (hiwalah),
pemberian kuasa (wakalah), hibah (hibah),
perdamaian (sulh), persekutuan (syirkah),
bagi hasil (mudharabah), gadai (rahn),
penggarapan tanah (muzaraah),
pemeliharaan tanaman (musaqah),
penitipan (wadiah), pinjam pakai (‘ariyah),
pembagian (qismah), wasiat (washaya),
dan utang-piutang (qardh).25
Ahli hukum klasik lainnya
menyebutkan beberapa jenis akad lain lagi
sehingga secara keseluruhan menurut
perhitungan Az-Zarqa’ mencapai 25 akad
khusus.26
Namun demikian, dalam kaidah fiqh,
pada dasarnya akad itu adalah kesepakatan
kedua belah pihak dan akibat hukumnya
adalah apa yang mereka ikatkan diri
mereka melalui janji.27
Kaidah ini jelas
menunjukkan kebebasan berkontrak karena
perjanjian itu dinyatakan berdasarkan
kesepakatan kata sepakat para pihak dan
akibat hukumnya adalah apa yang dibuat
oleh para pihak itu sendiri melalui janji.28
24
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy. Pengantar Fiqh
Muaamalat (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1999).
hlm. 93.
25
Abd ar-Razaq as-Sanhuri. Nadzariyyah al-‘Uqud.
(Beirut: Dar al-Fikr, t.t.). hlm. 87.
26
Mustafa A. Az-Zarqa’. Op.Cit. hlm. 538.
27
Asmuni A. Rahman. Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975). hlm. 44.
28
Kuat Ismanto. Asuransi Syari‟ah: Tinjauan Asas-asas
Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
140-143.
2) Dilihat dari segi sifat dan hukum akad
a. Akad sah (shahih)
Akad sah, yaitu akad yang halal dan
memenuhi rukun serta syaratsyaratnya dan
Juga tidak terdapat satu sifat apapun yang
menyebabkan batalnya akad tersebut.29
Dalam akad sah, ketentuan-ketentuan
yang merupakan akibat hukumnya terjadi
dengan seketika, kecuali jika ada syarat
yang lain. Misalnya, dalam akad jual beli
yang sah; setelah terjadi ijab qabul maka
barang yang di jual menjadi milik pembeli
dan harga penjualan barang menjadi milik
penjual kecuali apabila ada syarat khiyar.30
Akad sah dapat dibagi menjadi
beberapa macam, akad sah yang dapat
dilaksanakan tanpa tergantung kepada hal-
hal lain disebut akad nafiz, dan akad sah
yang pelaksanaannya bergantung kepada
hal-hal lain disebut dengan akad mauquf.
Akad nafiz merupakan akad yang
terjadi antara pihak yang mempunyai
kecakapan dan kekuasaan melakukan akad,
baik kekuasaan itu asli atau atas nama
orang lain. Misalnya akad yang dilakukan
oleh orang yang berakal sehat dan telah
dewasa atas nama diri sendiri menyangkut
harta benda yang dimiliki sendiri pula; atau
akad yang diadakan oleh wali atas nama
orang yang berada di bawah perwaliannya;
atau akad yang dilakukan oleh wakil yang
mendapat kuasa dari orang yang
diwakilkan.
Akad nafiz mempunyai akibat hukum
tanpa bergantung kepada izin orang lain.
Apabila akibat hukumnya terjadi seketika
setelah akad dilakukan disebut dengan akad
munjaz. Namun, jika akibat hukumnya
terjadi setelah beberapa waktu kemudian
disebut dengan akad bersandar (mudhaf)
kepada waktu mendatang.
29
Zahri Hamid, Asas-asas Muamalah Tentang Fungsi
Akad Dalam Masyarakat. (Yogyakarta: IAIN Sunan
Kalijaga, t.t). hlm. 12.
30
Ahmad Azhar Basyir. Op.Cit., hlm. 114.
10. 9
Sementara itu, akad mauquf ialah akad
yang terjadi dari orang yang memenuhi
syarat kecakapan, tetapi tidak mempu-nyai
kekuasaan melakukan akad, seperti akad
yang dilakukan oleh anak tamyiz. Akad
mauquf akad memiliki implikasi hukum
apabila mendapat izin secara sah dari orang
yang mempunyai kekuasaaan melakukan
akad.31
b. Akad tidak sah (ghairu shahih)
Akad tidak sah, yaitu akad yang tidak
memenuhi rukun dan syaratnya, atau
terdapat sifat yang menyebabkan batalnya
akad tersebut. Akad tidak sah dibagi
menjadi dua; yaitu akad yang rusak (fasid)
dan akad yang batal (batil).32
Akad yang rusak yaitu akad yang tidak
sempurna, yakni terdapat padanya sebagian
syarat yang berpautan bukan dengan hukum
pokok, seperti menjual sesuatu dengan
harga yang tertentu tetapi ditangguhkan
masa pembayarannya pada masa yang tidak
ditentukan.33
Sedangkan akad yang batal adalah yaitu
akad yang dianggap ajaran syariat tidak
diberlakukan padanya segala konsekuensi
yang ada pada akad yang sah, seperti akad
orang gila, anak kecil yang belum baligh,
atau akad usaha terhadap barang yang
haram (daging babi, bangkai, darah dan
31
Ibid. hlm. 117-119. Pembagian akad sah kepada akad
nafiz dan akad mauquf disepakati para ulama mazhab
Hanafi dan Maliki. Para ulama mazhab Syafi’i hanya
memandang akad nafiz sebagai akad sah, sebab sebagian
syarat akad sah menurut ulama mazhab Syafi’i ialah
oang yang melakukan akad harus mempunyai kekuasaan
melakukan akad. Mazhab Syafi’i tidak menyetujui akad
mauquf menjadi bagian dari akad sah.
32
Ahmad Azhar Basyir, Op.Cit., hlm. 113. Lihat juga
Abu Zahrah¸ Al-Milkiyah wa Nazariyyah al-‘Aqdi fi asy-
syariah al-Islamiyyah. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby,
t.t.). hlm. 409. Pembagian akad tidak sah menjadi akad
rusak dan akad batal berdasarkan pendapat dari ulama
mazhab Hanafiyah. Sedangkan para ulama mazhab lain
berpendapat akad tidak sah adalah akad yang sama sekali
tidak pernah dipandang terjadi dan oleh karenanya tidak
mempunyai akibat hukum. Demikian pula akad yang
tidak memenuhi syarat-syarat akad yang sah. Akad tidak
sah sama saja artinya dengan akad yang rusak atau akad
yang batal.
33
T. M. Hasbi ash-Shiddieqy. Op.Cit., hlm. 110.
lain-lain). Atau akad yang secara asal di
syariatkan, tetapi secara aplikatif tidak di
syariatkan seperti akad orang yang di
bawah paksaan.34
3) Dilihat dari segi maksud dan tujuan
akad (hukumnya)
a. Akad al-tamlikiyah
Akad al-tamlikiyah adalah akad yang
dimaksud sebagai proses perpindahan
kepemilikan atas benda atau manfaat, baik
dengan imbalan maupun dengan tanpa
imbalan. Akad yang dilaksanakan dengan
diikuti saling memberi dan menerima
dinamakan akad muawadlah seperti akad
jual-beli, ijarah, dll. Sedangkan akad
tamlikiyah (hak milik) yang dilakukan
tanpa imbalan disebut dengan akad
kebajikan (tabarru).
b. Akad al-Isqath
Akad al-Isqath adalah akad yang berbentuk
melepaskan hak tanpa ataupun dengan
ganti/imbalan. Jika tidak disertai imbalan
dinamakan isqath al-mahdhi, seperti akad
menjatuhkan khulu’ tanpa iwadh,
pembebasan hutang dan pemaafan qishash
tanpa membayar diyat. Apabila disertai
dengan imbalan atau ganti disebut dengan
isqath muawwadhah.
c. Akad al-ithlaq
Akad al-ithlaq adalah akad yang bertujuan
melepaskan/ menyerahkan kekuasaan untuk
melakukan sesuatu perbuatan kepada orang
lain, seperti wakalah (perwakilan) dan
tauliyah (penyerahan kekuasaaan).
d. Akad al-taqyid
Akad al-taqyid adalah akad yang bertujuan
untuk mencegah seseorang bertasharruf
seperti, pencabutan kewenangan atau
menghentikan kuasa wakilnya yang
berkuasa atas namanya.
e. Akad al-tawtsiq
Akad al-tawtsiq yaitu akad akad yang
bertujuan untuk memperkuat atau
34
Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi. Fikih
Ekonomi Keuangan Islam, penerjemah Abu Umar Basyir
(Jakarta: Darul Haq, 2004). hlm. 37.
11. 10
menanggung akad lain, seperti akad gadai
(rahn), akad kafalah dan hawalah.
f. Akad al-isytirak
Akad al-isytirak adalah akad yang
bertujuan untuk bekerjasama untuk
memperoleh sesuatu hasil atau keuntungan.
Misalnya, mudharabah dan syirkah,
musaqah, dan muzara’ah.
g. Akad al-hifdz
Akad al-hifdz akad akad yang dimaksud
untuk menjaga harta benda, seprti akad
wadhi’ah.
4) Dilihat dari ‘ainiyah dan ghairu’ainiyah
Kategori akad in di dasarkan pada sisi
penyempurnaan akad. Akad ‘ainiyah adalah
akad yang harus disempurnakan dengan
penyerahan harta benda objek akad, seperti
akad ‘ariyah, rahn, wadhi’ah, qard, hibah,
bai’ (jual-beli), dll.
Akad ghairu ‘ainiyah adalah akad yang
didasarkan pada kesempurnaan bentuk
akadnya saja dan tidak menuntut adanya
serah terima, yaitu semua jenis akad selain
yang terdapat pada jenis akad ‘ainiyah.
C. Kesimpulan
akad merupakan awal timbulnya suatu
perikatan antara dua orang atau lebih. Jika dua
orang atau lebih sudah melakukan suatu
perjanjian, maka kedua pihak tersebut sudah
mempunyai hubungan hukum yang sama-sama
harus dijaga oleh kedua pihak; karena jika
perjanjian tersebut tidak dipenuhi akan
menimbulkan implikasi hukum akibat
wanprestasi salah satu pihak.
Prinsip-prinsip perjanjian (akad) dalam
hukum Islam pada dasarnya diambil dari
sumber-sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an
dan Hadits yang kemudian diaplikasikan dalam
bidang kehidupan sehingga menimbulkan
berbagai persepsi tentang pembagian perjanjian
(akad) berdasarkan pada obyek perjanjian
(akad) itu sendiri.
Pada dasarnya setiap akad harus
memenuhi syarat, rukun dan ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan syariat. Syarat akad
meliputi syarat kecakapan ‘aqidain, syarat
objek akad, syarat tujuan akad, dan syarat
kehendak akad (sighatul ‘aqdi). Secara umum
dan diakui jumhur ulama, rukun akad terbagi
menjadi empat (4) unsur, yaitu: ‘aqidain
(pihak-pihak yang berakad); mahallul ‘aqdi
(objek akad); maudhu’ul ‘aqdi (tujuan akad);
dan shighatul ‘aqdi (ijab dan qabul).
Kedudukan syarat dan rukun akad ini harus ada
pada setiap akad. Ketidak sempurnaan akad
akan berimplikasi hukum dan berakibat
terhadap hak dan kewajiban masing-masing
pihak yang berakad.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mushlih, Abdullah. at.al. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam, penerjemah
Abu Umar Basyir. (Jakarta: Darul Haq).
Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syari’ah, Studi tentang Teori Akad
dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada).
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. 1999. Pengantar Fiqh Muamalat (Semarang: PT
Pustaka Rizki Putra).
As-Sanhuri, Abd ar-Razaq. t.t. Nadzariyyah al-‘Uqud. (Beirut: Dar al-Fikr).
Az-Zuhaily, Wahbah. 1996. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. cet. III. (Damsyiq:
Dar al-Fikr). Jilid IV.
Az-Zarqa, Mustafa Ahmad. 1968. al-Madkhal al-Fiqh al-‘Amm. (Bairut: Daarul
Fikri).
12. 11
Az-Zarqa, Mustafa Ahmad. 1968. Al-Fiqh al-Islam fi Tsaubihi al-Jadid
(Damaskus: Maktabi Alifba al-Adib).
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam.
(Yogyakarta: UII Press).
Dahlan, Abdul Aziz. et.al. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. cet.1. (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve). Jilid. I.
Hamid, Zahri. t.t. Asas-asas Muamalah Tentang Fungsi Akad Dalam Masyarakat.
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga).
Hasan, Ali. 2003. Berbagai Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat). (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada).
Ismanto, Kuat. 2009. Asuransi Syariah: Tinjauan Asas-asas Hukum Islam
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Mas’adi, Ghufron A. Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada).
Munawir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawir Kamus Bahasa Arab. (Yogyakarta:
Ponpes Al Munawir Krapyak).
Rahman, Asmuni A. 1975. Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: Bulan Bintang).
Syafei’, Rachmat. 2004. Fiqh Muamalah Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum.
(Bandung: Penerbit Angkasa Setia).
Syahnan, Mhd. 2009. Modernization of Islamic Law of Contract. (Jakarta: Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI).
Suhendi, Hendi. 2010. Fiqh Muamalah (Jakarta: PT RajaGranfindo Persada).
Zahrah, Abu. t.t. Al-Milkiyah wa Nazariyyah al-‘Aqdi fi asy-syariah al-
Islamiyyah. (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby).