1. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
DI INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi tugas Matakuliah IDI 1
Dosen : Ristianti Azharita S.Pd
Disusun Oleh :
Nur Aisyah Kusmayanti D
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2012
2. KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
meilmpahkan rahmat serta hidayahnya kepada kita semua, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia ini tepat
pada waktunya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjunan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan kita semua sebagai umatnya.
Makalah ini di buat sebagai salahsatu syarat untuk memenuhi tugas
semester ganjil mata kuliah IDI 1, dan sebagai tambahan referensi mengenai
Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.
Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna maka penulis berharap masukan berupa kritik dan saran
yang bersifat membangun guna perbaikan makalah ini untuk kedepannya.
Besar harapan penulis semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis pada
khusunya dan bagi pembaca pada uumumnya.
Jakarta, November 2012
Penulis
3. DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang masalah…........................................................ 1
B. Perumusan Masalah.................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Pra Kemerdekaan......................................... 3
1. Pendidikan Zaman Kerajaan Islam………………………. .. 3
2. Pendidikan Islam di Zaman penjajahan Belanda..………… 7
3. Pendidikan Islam di zaman penjajahan Jepang……………. 9
4. Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia……………… 9
5. Tokoh-tokoh pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia... 12
B. Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan...................................... 15
1. Perkembangan Pesantren Modern di Indonesia…………… 15
2. Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam………….20
a. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional……20
b. Pendidikan Agama di Sekolah Umum………………….23
c. SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Madrasah………….24
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………. . . 27
B. Saran………………………………………………………...... 28
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah pendidikan islam dimulai sejak agama islam masuk ke
Indonesia, yaitu kira-kira pada abad ke-12 Masehi. Ahli sejarah umumnya
sependapat, bahwa agama islam mula-mula masuk ialah ke pulau Sumatera
bagian utara di daerah Aceh.
Umumnya ahli sejarah memastikan bahwa masuknya islam ke daerah
Aceh itu dengan perjalanan Marco Polo. Dalam perjalananya pulang dari
Tiongkok, ia singggah di Aceh pada tahun 1922 M. menurut keterangannya, di
Perlak telah di dapatnya rakyat yang beragama islam. Perlak adalah pelabuhan
besar di Aceh pada masa itu yang menghadap ke selat Malaka.
Dengan keterangan tersebut ahli sejarah menetapkan dengan pasti,
bahwa agama islam mulanya masuk dari daerah Aceh dan dari sanalah islam
memancarkan cahayanya ke Malaka dan Sumatera Barat (Minangkabau). Dari
Minangkabau islam berkembang ke Sulawesi,Ambon dan sampai ke Pilipina.
Kemudian islam tersiar ke Jawa Timur kemudia ke Jawa Tengah sampai ke
Banten, lalu ke Lampung dan Palembang hingga ke seluruh kepulauan
Indonesia. Bukan saja agama islam di anut dan di dukung oleh rakyat umum,
bahkan berdiri pula kerajaan-kerajaan islam di Indonesia.
Sesungguhnya mempelajari Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam
di Indonesia sangatlah penting, terutama bagi pelajar sebagai generasi penerus
bangsa. Dengan mempelajari sejarah perkembangan pendidikan islam kita
dapat mengetahui factor penyebab kemajuan islam juga factor penyebab
kemundurannya karena salah dalam cara didikannya ataupun sistemnya.
Dengan mempelajari sejarah perkembangan pendidikan islam kita dapat
5. mengetahui penyebab terang benderangnnya pendidikan islam juga gelap
gulitanya.
Apabila kita mengetahui dalam sejarah perkembangan pendidikan
islam penyebab kemajuan islam, tentu kita akan mengupayakan sebab-sebab
kemajuan itu lalu mengembangkannya. Dan apabila kita mengetahui penyebab
kemundurannya, disinilah peran kita di butuhkan untuk menemukan terobosan
baru guna memperbaiki kesalahan yang ada dan mengembalikan pendidikan
islam ke masa terang benderang.
Pendidikan islam dalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
bertujuan akhlak yang mulia dengan tidak melupakan kemajuan dunia dan
ilmu pengetahuan yang berguna untuk perseorangan dan kemasyarakatan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada masa
pra kemerdekaan?
2. Bagaimanakah perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada masa
pasca kemerdekaan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada
masa pra kemerdekaan.
2. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan islam di Indonesia pada
masa pasca kemerdekaan.
6. BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Islam Pra Kemerdekaan
1. Pendidikan Zaman Kerajaan Islam
Samudera Pasai merupakan tempat studi Islam yang paling tua
yang dilakukan oleh sebuah kerajaan. Sementara itu, untuk di luar kerajaan
halaqah ajaran islam di duga sudah dilakukan di koloni-koloni tempat
pedagang islam berdatangan di pelabuhan-pelabuhan. Dari halaqah
semacam itu nanti berkembang menjadi lembaga pendidikan.
Setelah kerajaan Samudera Pasai mundur dalam bidang politik,
tradisi pendidikan agama islam terus berlanjut. Samudera Pasai terus
berfungsi sebagai pusat studi islam di Asia Tenggara. Lalu kemudian
muncul Kerajaan Malaka sebagai pusat politik yang juga berkembang
menjadi pusat pendidikan islam. Kerajaan Malaka giat melaksanakan
pengajian dan pendidikan Islam.
Selain sebagai tempat pemerintahan istana juga berfungsi sebagai
mudzakarah masalah-maslah ilmu pengetahuan dan sebagai perpustakaan
dan juga berfungsi sebagai pusat-pusat penerjemahan dan penyalinan
kitab-kitab terutama kitab-kitab keislaman. Mata pelajaran yang diberikan
di lembaga-lembaga pendidikan islam dibagi menjadi dua tingkatan :
a. Tingkat dasar terdiri atas pelajaran membaca, menulis bahasa arab,
pengajian Alquran, dan ibadah peraktis.
b. Tingkat yang lebih tinggi dengan materi-materi ilmu fiqih, tasawuf,
ilmu kalam dsb.
7. Banyak ulama mancanegara datang ke Malaka dari Afghanistan,
Malabar, Hindustan, terutama dari Arab untuk mengambil peran dalam
penyiaran pendidikan islam. Para penuntut ilmu berdatangan dari berbagai
Negara Asia Tenggara. Dari Jawa, Sunan Bonang dan Sunan Giri datang
ke Malaka untuk menuntut ilmu dan setelah mereka selesai menjalani
pendidikan agama, mereka mendirikan tempat pendidikan di tempat
masing-masing.
Di kerajaan Aceh Darussalam, Sulatan Iskandar Muda juga sangat
memperhatikan pengembangan agama dengan mendirikan mesjid-mesjid
seperti Mesjid Bait al-Rahman di Banda Aceh dan pusat-pusat pendidikan
Islam yang di sebut dayah. Di Aceh terdapat ulama-ulama besar yang
ternama yang telah berjasa mengembangkan lembaga pendidikan seperti
dayah ini menjadi semacam perguruan tinggi. Nuruddin al-Raniri dan
Abd. Rauf Singkel adalah ulama-ulama yang mengajar di lembaga
pendidikan ini. Para penuntut ilmu yang datang dari luar Aceh belajar
mereka seperti Syekh Burhanuddin yang berasal dari ulakan-
Minangkabau. Setelah tamat ia pulang dan mendirikan lembaga
pendidikan islam yang di sebut surau. Kemajuan pesat lembaga
pendidikan islam di Aceh ini menyebabkan orang menjulukinya Serambi
Makkah. Murid dari kerajaan lain belajar kepada gurunya masing-masing,
kemudian meningkat belajar lebih tinggi di Aceh, kemudian setelah itu
belajar ke Mekkah.
Sistem pengajaran bagi umat islam sebagaimana di negeri-negeri
muslim, adalah pengajian Alquran. Pada tahap awal lapal bacaan bahasa
Arab (huruf-huruf hijaiyah), setelah itu menghapal surat-surat pendek (juz
‘Amma) beserta tajwidnya yang diperlukan untuk shalat. Pelajaran lebih
lanjut berkenaan dengan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
hukum-hukum islam (fiqih) dan tasawuf (membersihkan hati dan anggota
badan dari dosa-dosa, kesalahan dan kehilapan). Yang memberi pelajaran
pada tahap awal di sebut alim, sedangkan untuk pelajaran lebih lanjut
8. diberikan oleh seorang ulama besar terutama yang pernah belajar ke
Makkah.
Pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat setelah para ulama
mengarang buku-buku pelajaran keislaman bebahasa Melayu, seperti
karya-karya Hamzah Fansuri, Nururddin al-Raniri, Abd. Rauf Singkel di
Aceh.
Di Minangkabau lembaga pendidikan disebut surau. Surau
sebelum islam datang merupakan tempat menginap anak-anak bujang, lalu
Syaikh Burhanuddin merubah fungsi surau menjadi tempat pendidikan
Islam. Suarau inilah cikal bakal lembaga pendidikan Islam yang lebih
teratur di masa berikutnya.
Lembaga Pendidikan Islam di Jawa dikenal dengan nama
pesantren. Menurut sumber lokal pesantren pertama di pulau Jawa adalah
Pesantren Giri dan Pesantren Gresik di Jawa Timur. Pesantren Gresik
didirikan oleh Maulana Malik Ibrahim yang mendidik Mubaligh-mubaligh
yang nantinya menyiarkan agama islam ke seluruh Nusantara. sedangkan
Pesantren Giri didirikan oleh Sunan Giri.
Terdapat pula pendidikan agama di Ampel-Surabaya-Jawa Timur,
dibangun oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel Denta). Berawal dari Giri
dan Ampel berikutnya semakin banyak pusat-pusat pendidikan islam di
Jawa seperti Tembayat, Prawoto (Demak), dan Gunung Jati Cirebon.
Di kerajaan islam Banjar Kalsel, Lembaga Pendidikan Islam
pertama dikenal dengan nama Langgar. Orang pertama yang mendirikan
Langgar adalah Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari. Semua ilmu yang
diberikan di lembaga pendidikan islam di Nusantara ditulis dalam huruf
Arab Melayu atau Pegon.
Di Sulawesi adalah raja Gowa XIV, Sultan Alauddin yang pertama
mendirikan masjid di Bantaolo, Masjid ini berfungsi sebagai tempat shalat,
9. juga sebagai pusat pengajian, pendidikan dan pengajaran Islam. Yang
bertindak sebagai guru adalah Datu Ri Bandang seorang ulama dari
Minangkabau yang menuntut ilmu di Pesantren Giri. Selanjutnya masjid
berkembang menjadi pesantren. Dan di lembaga pendidikan inilah ulama
Makassar Syaikh Yusuf al-Makassari menuntut ilmu agama dasar sebelum
melanjutkan ke Aceh dan kemudian ke Makkah. Pelajaran yang diberikan
di pesantren Bantoalo adalah fiqih, tassawuf, tafsir, hadist, balaghah, dan
mantiq (logika).
Metode pengajaran di lembaga-lembaga pendidikan itu adalah
sorogan dan bandungan. Sorogan adalah system pengajaran bersifat
individual, biasanya bagi murid pemula. metode ini digunakan yang
berlangsung di rumah-rumah, masjid-masjid dan langgar secara
perorangan. Sedangkan metode bandungan (weton atau halaqah) adalah
sekelompok santri mendengarkan seorang guru membaca,menerjemahkan,
menerangkan, mengulas buku-buku islam dalam bahsa Arab. Dalam
pesantren tidak ada kurikulum, tiap pesantren biasanya punya spesialisasi
sendiri sesuai dengan keahlian kiai besarnya.
Di Jawa setelah berdirinya kerajaan Demak, pendidikan Islam
bertambah maju karena telah ada pemerintah yang menyelenggarakannya
dan pembesar-pembesar islam membelanya. Pada tahun 1476 di Bintoro
dibentuk organisasi Bayankare Islah (angkatan pelopor perbaikan) untuk
mempergiat usaha pendidikan dan pengajaran islam. Dalam rencana
pekerjaannya disebutkan sebagai berikut :
a. Tanah Jawa-Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan
pendidikan/pengajaran. Pimpinan pekerjaan di tiap-tiap bagian
dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal).
b. Supaya mudah dipahami dan diterima masyarakat, didikan dan ajaran
islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat, asal tidak menyalahi hukum syara.
10. c. Para wali/badal selain harus pandai ilmu agama sertab memelihara
budi pekerti supaya menjadi suri tauladan bagi masyarakat.
d. Di Bintoro segera didirikan mesjid agung untuk menjai sumber ilmu,
pusat kegiatan pendidikan dan pengajaran islam.
Berdasarkan rencana itu, di tempat sentral suatu daerah didirikan
mesjid, dipimpin oleh wali atau badal untuk menjadi sumber pendidikan
islam yang sampai sekarang di beberapa tempat masih ada.
2. Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan Belanda
Awalnya pendidikan Islam dibiarkan saja tetap diajarkan, namun
lambat laun mereka mengubah ajaran sedikit demi sedikit. Belanda mulai
berusaha menghilangkan pengaruh islam, dimulai dari daerah yang
dikuasai yaitu Yogya dan Surakarta. Setelah itu mereka menyingkirkan
jabatan gubernur dan membinasakan organisasi-organisasi islam resmi.
Kemudian hadirlah sekolah-sekolah Belanda sebagai ganti
pendidikan baru, di setiap daerah keresidenan didirikan satu sekolah
agama Kristen.
Van Den Capellen tahun 1819 merencanakan berdirinya sekolah
dasar bagi pribumi agar dapat membantu pemerintahan Belanda karena
Belanda menganggapn pendidikan islam yang diselenggarakan di
pesantren-pesantren dianggap tidak membantu pemerintah Belanda. Para
santri dianggap buta huruf latin dan tingkatan pendidikannya rendah
sehingga dianggap tidak berguna. Oleh karena itu Belanda mendirikan
sekolah di desa-desa untuk menyaingi pesantren.
Kemunduran pendidikan Islam itu mencapai puncaknya sebelum
tahun 1900 M yang meliputi seluruh Indonesia. Bahkan pada tahun 1882
Belanda membuat badan khusus yang bertugas mengawasi kehidupan
beragama dan Pendidikan Islam. Tahun 1925 Belanda mengeluarkan
peraturan yang lebih ketat lagi bahwa tidak semua kiai boleh memberikan
pelajaran mengaji. Tahun 1932 keluar pula peraturan yang dapat
11. memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya
yang disebut Ordonansi sekolah Liar. Peraturan ini dikeluarkan setelah
muncul gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 berupa Sumpah
Pemuda. Untuk mencegah masuknya pelajaran agama islam di sekolah
umum pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang disebut “Netral
Agama”.
Pada tahun 1901 Belanda melakukan politik etis, yaitu mendirikan
pendidikan rakyat sampai ke desa yang memberikan hak-hak pendidikan
pada pribumi dengan tujuan untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang
bekerja untuk Belanda juaga untuk menghambat pendidikan tradisional. Di
luar dugaan, berdirinya sekolah-sekolah rakyat di desa dimana orang
pribumi sekolah membuat mereka mengenal system pendidikan modern:
sistim kelas, pemakaian meja, metode belajar modern, dan pengetahuan
umum. Mereka juda menjadi mengenal surat kabar dan majalah untuk
mengikuti perkembangan zaman. Pandangan rasional ini menjadi
pendorong untuk melakukan pembaharuan.
Munculnya sekolah-sekolah Belanda menjadi perhatian besar para
Ulama dan santri karena pendidikan itu menjadi penetrasi kebudayaan
barat yang akan melahirkan intelektual pribumi secular dan menjadikan
umat islam jauh dari agamanya. Oleh sebab itu, lahirlah gerakan
pembaharuan pendidikan Islam yang nantinya akan membawa kemajuan
pendidikan Islam Indonesia ke taraf yang lebih baik. Sebenarnya
kesadaran ini juga akibatnya terpengaruh oleh ide-ide Pan islamisme dan
reformasi di Mesir ketika beberapa pelajar Indonesia menuntut ilmu
agama disana. Itulah sebabnya kenapa kemudian para pembaru islam
mengadopsi pendidikan colonial, padahal sebelumnya mengecam.
Dengan demikian pembaharuan pendidikan Indonesia sudah
dimulai sejak zaman koloial Belanda. Hal ini ditandai dengan berdirinya
organisasi-organisasi Islam yang mendirikan sekolah-sekolah Islam,
dimana system pengajarannya tidak lagi surau dengan system tradisional
12. melainkan sudah menggunakan system klasik dengan krikulum pengajaran
agama dan pngetahuan umum, walaupun kondisinya masih sederhana.
3. Pendidikan Islam di Zaman Penjajahan Jepang
Jepang menjajah Indonesia setelah mengalahkan Belanda dalam
Perang Dunia II pada tahun 1942 dengan semboyan Asia timur Raya atau
Asia untuk Asia.
Pada awalnya pemerintahan Jepang seolah-olah membela
kepentingan Islam sebagai siasat untuk memenangkan perang. Untuk
menarik perhatian rakyat Indonesia, pemerintah Jepang membolehkan
didirikannya sekolah-sekolah agama dan pesantren-pesantren yang
terbebas dari pengawasan Jepang. Padahal semua itu dilakukan agar
kekuatan umat Islam dan nasionalis bisa diarahkan untuk kepentingan
memenangkan perang yang dipimpin Jepang. Namun pada kenyataannya
pada zaman ini pendidikan mengalami penurunan dibandingkan dengan
jajahan Hindia-belanda. Pada zaman penjajahan Jepang jumlah Sekolah
Dasar menurun dari 21.500 menjadi 13.500, sekolah lanjutan dari 850
menjadi 20, perguruan tinggi terdiri empat buah dan belum dapat
melakukan kegiatan. Jumlah murid merosot 30%, sekolah menengah
merosot 90%. Guru-guru SD berkurang 35%, guru sekolah menengah
tinggal 5%, angka buta huruf tinggi sekali.
Untuk memudahkan pengawasan dalam hal pendidikan pemerintah
jepang menetapkan bahwa sekolah dasar menajdi sekolah dasar enam
tahun, namun ternyata hal tersebut menjadi keuntungan bagi Indonesia
sendiri karena menghapuskan diskriminasi.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar digunakan di semua
sekolah dan menjadi mata pelajaran utama, dan bahasa Jepang menajadi
mata pelajaran wajib, selain itu para pelajar juga harus mempelajari adat
istiadat Jepang.
13. 4. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia
Kira-kira pada abad 19 banyak orang islam Indonesia mulai
menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan
kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda,
penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia
apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisional
dalam menegakan Islam. Mereka mulai menyadari perlunya perubahan-
perubahan.
Daerah Minangkabau memiliki peranan yang sangat penting dalam
penyebaran cita-cita pembaharuan ke daerah-daerah lain. Juga karena di
daerah inilah tanda-tanda pertama daripada pembaharuan itu dapat diamati
pada waktu daerah lain seakan-akan masih merasa puas dengan praktek-
praktek tradisional mereka. kemudian menyusul pembicaraan tentang
pergerakan tersebut di kalangan masyarakat Arab yang mendirikan
organisasi modern pertama di kalangan orang-orang islam di Indonesia.
Persyarikatan ulama yang pada umumnya terbatas pada daerah
Majalengka, merupakan suatu contoh dari gerakan pembaharuan yang
mempunyai sifat ganda. Mereka mengikuti Mazhab tetapi mengintrodusir
pembaharuan-pembaharuan dalam bidang-bidang kegiatan yang bersifat
praktis. Kemudian kita bicarakan Muhammadiyah yang mempunyai
daerah operasi yang jauh lebih luas dibandingkan dengan organisasi
manapun juga di Indonesia, dan akhirnya Persatuan Islam suatu organisasi
yang relative kecil tetapi memiliki pengaruh yang luas disebabkan oleh
publikasi-publikasi yang mereka keluarkan serta tulisan-tulisan dari
pemimpin-pemimpin organisasi ini.
Pembaharu-pembaharu mengakui betapa pentingnya pendidikan
untuk membina dan membangun generasi yang lebih muda. Perubahan
dalam pemikiran dan ide-ide tentu akan mempunyai arti yang besar dan
akan lama bertahan apabila perubahan-perubahan ini mendapat tempat
dalam kalangan generasi muda. Kenyataan bahwa permintaan atau
kebutuhan masyarakat akan sekolah dengan jumlah yang lenih banyak lagi
14. tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, dan juga tidak dapat dipenuhi oleh
golongan tradisi, memnyebabkan golongan pembaharu pun memerlukan
bergerak di bidang pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan yang dibangun oleh para pembaharu
diantaranya adalah sekolah Adabiyah di Padang (1909), Surau Jembatan
Besi yang nantinya memplopori sekolah Thawalib di Minangkabau. Lalu
ikatan alumni yang sudah tidak lagi belajar di sekolah Thawalib
mendirikan sebuah organisasi yang bernama PERMI (Persatuan Muslimin
Indonesia).
Pendidikan putera-puteri dalam rangka pembaharuan di sekolah
Adabiyah yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad telah menjadikan
inisiatif bagi Zainudin Labai untuk mendirikan sekolah Diniyah pada
tahun 1915 yang sebagian merupakan perkembangan dari Surau Jembatan
Besi, dengan menggunakan system ko-edukasi yang dicontoh dari
kebiasaan yang berlaku di sekolah-sekolah pemerintah.
Gerakan pembaharuan di Majalengka Jawa Barat yang di pimpin
oleh KH. Abdul Halim dimulai dengan mendirikan organisasi yang
bernama Hayatul Qulub yang kemudian berkembang menjadi
Persyarikatan Ulama dan diakui secara hukum oleh pemerintah pada tahun
1917 dengan bantuan HOS Tjokroaminoto, Presiden Syarekat Islam.
Gerakan pembaharuan selanjutnya adalah organisasi
Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan, dalam tahun
1909 Dahlan masuk Budi Oetomo dengan maksud memberikan pelajaran
agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akan
dapat memberikan pengajaran di sekolah-sekolah pemerintah karena
anggotanya yang kebanyakan bekerja di sekolah-sekolah pemerintah dan
juga kantor-kantor pemerintah. Pemikirannya inipun berhasil dan ia pun
mendirikan sebuah sekolah sendiri yang diatur dengan rapid an di dukung
oleh organisasi yang bersifat permanen untuk menghindarkan nasib seperti
pesantren-pesantren tradisional yang terpaksa di tutup,maka didirikan lah
Muhammadiyah.
15. Organisai pembaharuan yang terakhir adalah Persatuan Islam
(PERSIS) yang didirikan di Bandung. Perhatian utama Persis adalah
bagaimana menyebarkan cita-cita dan pemikirannya, ini dilakukan dengan
mengadakan pertemuan umum, tabligh, khutbah-khutbah, kelompok-
kelompok studi, mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pamphlet-
pamflet, majalah-majalah serta kitab.
5. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan di Indonesia
a. KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Setelah kembalinya dari tanah suci Makkah cita-cita
pembaharuan keagamaannya makin mantap. Yang mula-mula
dilakukan Dahlan adalah dengan merubah arah kiblat. Untuk
memperluas jangkauan penyiaran ide-ide pembaruannya, Dahlan
masuk Budi Utomo pada tahun 1909 di organisasi ini Dahlan
mengajarkan agama islam.
Ide-ide pembaruannya tertuang dalam gerakan Muhammadiyah
yang didirikan pada tanggal 18 November 1912 M. titik tekan
perjuangannya adalah pemurnian ajaran islam dan bidang pendidikan.
Muhammadiyah memiliki pengaruh yang berakar dalam upaya
pemberantasan bid’ah, khurafat dan tahayul.
Gambaran dalam bidang pendidikan, diketahui bahwa dunia
keilmuan di Indonesia secara tradisional di emban dan dimiliki oleh
pesantren, namun secara pelebaran atau penguasaan ilmu pesantren
lebih mengembangkan ilmu agama ketimbang ilmu umum, bahkan,
penguasaan ilmu agama lebih bersifat tradisional. Pengembangan ilmu
pengetahuan umum secara melebar dengan cara mendirikan sekolah-
sekolah modern yang bersifat memiliki kelas, sarana belajar yang lebih
baik dan terpenting masuknya kurikulum umum dalam madrasah-
madrasah yang dikelola oleh Muhammadiyah. Para siswa dapat
bersama-sama bersekolah tanpa terikat jenis kelamin, artinya siswa
16. dan siswi belajar dalam satu ruang walaupun tempat duduknya
terpisah. Madrasah dan sekolah Muhammadiyah juga sangat berperan
dalam menebarkan gagasan dan garis-garis pendiriannya.
b. K.H. Hasyim Asy’ari dan NU
KH. Hasyim Asy’ari lahir tanggal 14 Februari 1871, Ia adalah
seorang yang memiliki predikat kekiaian yang kental.
Dalam sejarah pendidikan islam tradisional, khususnya di
Jawa, ia digelari Hadrat Asy’Syaikh (Guru besar di lingkungan
pesantren), karena peranannya sangat besar dalam pembentukan kader-
kader ulama pimpinan pesantren, misalnya psantren Asem Bagus di
Situbondo Jawa Timur, pesantren Lirboyo Kediri dan lain-lain.
Nahdatul Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 31
Januari 1926, yang mulanya hanya sebuah kepanitiaan yang disebut
Komite Merembuk Hijaz. Organisasi NU menganut pada salahsatu
mazhab dari empat mazhab yaitu Mazhab Syafi’i. NU banyak
mengadakan kegiatan keislaman yang bermanfaat bagi anggotanya,
seperti memperluas lapangan pendidikan dan mendirikan sekolah-
sekolah serta pemeliharaan anak yatim.
c. Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir di Mojoanyar, Jombang Jawa Timur
pada 17 Maret 1939. Cak Nur merumuskan modernisasi sebagai
rasionalitas. Pengertian yang mudah tentang modernisasi adalah
pengertian yang idientik dengan pengertian rasionalitas. Hal tersebut
berarti proses perombakan pola piker dan tata kerja baru yang akliah,
kegunaannya untuk memperoleh daya guna efisiensi yang maksimal.
Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia
di bidang ilmu pengetahuan.
17. Nurcholish Madjid mengungkap dalam bukunya Islam
Kemodernan dan Keindonesiaan, bahwa modernisasi adalah suatu
keharusan, bahkan suatu kewajiban mutlak. Modernisasi merupakan
pelaksanaan perintah dan ajaran Allah. Hal ini didukung oleh Argumen
berikut: Pertama, Allah menciptakan seluruh alam ini dengan benar
bukan palsu. Kedua, Dia mengatur dengan peraturan Ilahi/sunatullah
yang menguasai dan pasti. Ketiga, sebagai buatan Tuhan Maha
Pencipta, alam ini adalah baik, menyenangkan(mendatangkan
kebahagiaan duniawi) dan harmonis. Keempat, manusia diperintah
oleh Allah untuk mengamati dan menelaah hukum-hukum yang ada
dalam ciptaan-Nya. Kelima, Allah menciptakan seluruh alam raya
untuk kepentingan manusia, kesejahteraan hidup dan kebahagiaannya,
sebagai rahmat dari-Nya. Keenam, karena adanya perintah untuk
mempergunakan akal pikiran/rasio itu, maka Allah melarang segala
sesuatu yang menghambat perkembangan pemikiran, terutama
pewarisan membuta terhadap tradisi-tradisi lama, yang merupakan cara
berfikir dan kerja generasi sebelumnya.
d. Muhammad Amien Rais
Amien Rais lahir di Solo Jawa Tengah pada tanggal 26 April
1944. Pemikiran utamanya adalah mengenai pemurnian akidah islam.
Sedangkan kontribusinya dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari
karya-karyanya yang cukup banyak. Umumnya karya tulisnya
dituangkan dalam bentuk artikel, sebagai editor, dan kata pengantar di
berbagai buku. Ia menyatakan pembaruan dalam bidang pendidikan
suatu masalah yang sangat penting dalam kaitannya dalam masalah
pembaharuan Islam.
Pemikiran Amin Rais yang perlu menjadi renungan adalah
harus menepati keyakinan, kebenaran, dan kemurnian akidah islam,
dengan tidak lagi mencampuradukan akidah dan penyakit syirik,
dengan memurnikan akidah, maka akan tertanam pada jiwa umat islam
18. iman yang sebenarnya pada Allah sehingga akan memancarkan
aktivitas kehidupan yang dinamis.
B. Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan
Setelah merdeka, pendidikan islam mulai mendapat kedudukan yang
sangat penting dalam system pendidikan nasional. Di Sumatera, Mahmud
Yunus sebagai pemeriksa agama pada kantor pengajaran mengusulkan kepada
kepala pengajaran agar pendidikan agama di sekolah-sekolah pemerintah
ditetapkan dengan resmi dan guru-gurunya di gaji seperti guru-guru umum
dan usulnya pun diterima. Selain itu pendidikan agama di sekolah juga
mendapat tempat yang teratur, seksama dan penuh perhatian. Madrasah dan
pesantren juga mendapat perhatian. Untuk itu di bentuk Departemen Agama
pada tanggal 3 Desember 1946 yang bertugas mengurusi penyelenggaraan
pendidikan agama di sekolah umum dan madrasah serta pesantren.
Sekolah agama, termasuk madrasah, ditetapkan sebagai model dan
sumber pendidikan Nasional yang berdasarkan UUD 1945. Eksistensi
pendidikan Agama sebagai komponen pendidikan Nasional dituangkan dalam
Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No 4 tahun 1950, bahwa
belajar di sekolah-sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
Menteri Agama di anggap telah memenuhi kewajiban belajar.
1. Perkembangan Pesantren Modern di Indonesia
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai
pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok
pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid,
rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel
kerja keterampilan.
Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren"
yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2)
19. Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada
agama, masyarakat, dan negara. Merujuk pada Undang-undang Nomor 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan
pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan
ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran
Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia
perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam
sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan
pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut: Dalam Pasal 3
UU RI Nomor 20 tahun 2003 Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di
pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk
watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang
berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak
mulia. Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan
Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan
diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu
proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
20. peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan
dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi
segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan
memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam
penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat
ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren
sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional. Tidak hanya itu,
keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas
peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-
undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat
pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistensi dan keberadaan
pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat
dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi
oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus.
Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di
bidang keagamaan. Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan
keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang
menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi
mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
21. memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau
menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat
diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
(4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan
bentuk lain yang sejenis.
Lebih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya
ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan
nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki
skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para
santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat
dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal
diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan
potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian
profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan
hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan
pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, pendidikan
kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan
kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan
belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang
sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang
memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap
untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha
mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6)
22. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat
dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54
menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran
serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,
dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian
mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai
sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis
Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh
pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1)
Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat
pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2)
Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan
pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana
penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari
penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau
sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat
dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain
secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional
memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya
jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan
meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah
23. telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga
sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1)
meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya
mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan
(governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Dengan adanya dukungan dari pemerintah dan juga adanya
keinginan yang kuat dari sekelompok orang yang menginginkan
pendidikan yang lebih baik yang intensif dan representative maka lahirlah
pesantren-pesantren modern yang memiliki system pendidikan yang
bermutu dengan fasilitas-fasilitas modern seperti Pesantren modern
Darussalam Gontor di Ponorogo Jawa Timur, Pesantren Assalam di
Sukoharjo Jawa Tengah, Pesantren Al Zaytun di Indramayu Jawa Barat
dan masih banyak lagi pesantren-pesantren modern lainnya di berbagai
daerah di Indonesia.
2. Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Islam
a. Posisi Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pada era Orde Lama pengaturan dua system pendidikan
berusaha dihapuskan oleh pemerintah. Hal ini dapat dipahami dari
usaha pemerintah Orde Lama sebagai berikut, pertama, memasukkan
Pendidikan Islam ke dalam kurikulum pendidikan umum di sekolah
negeri maupun swasta melalui pelajaran agama. Kedua, memasukkan
ilmu pengetahuan umum ke dalam kurikulum pendidikan di madrasah.
Ketiga, mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) untuk
menyiapkan guru agama untuk sekolah umum maupun madrasah. Pada
pertengahan tahun 1960-an, terdapat 13.057 Madrasah Ibtidaiyah (MI),
dengan murid 1.927.777 siswa. Tingkat Madrasaah Tsanawiyah (MTS)
terdapat 776 madrasah dengan murid 87.932 siswa. Sedangkan untuk
24. tingkat Madrasah Aliyah(MA) terdapat 16 madrasah dengan jumlah
murid 1.881 siswa.
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007
tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan
dapat membawa perubahan pada sisi menagerial dan proses pendidikan
Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya
pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk
menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan.
Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, ”Pendidikan keagamaan meliputi
pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan
Khonghucu”. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan
ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal
yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola
pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal
tersebut, yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan
dan pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam
menjadi tanggungjawab menteri agama. Tentunya mengingat posisi
menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja, maka beban
menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama
lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan
ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk
seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia.
Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam
penyelenggaraan pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan
tinggi maka posisi menteri agama sebagaimana pasal 7 ayat (1) a
hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan pengambil keputusan.
Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar dan
menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan
diberikan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Sekali lagi hal ini menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya
25. hingga yang paling bawah, tidak memiliki kekuasaan dalam proses
penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.
Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga
penyelenggara pendidikan keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan
MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan lembaga-lembaga tersebut
tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang kemungkinan
perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal
11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga
memang disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts.,
dan Pasal 18 ayat (3) jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan
Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja khusus untuk pendidikan
keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4) ataupun PP No.
55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat
(2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut
dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.
Dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk
pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan
diniyah dasar formal wajib memasukkan muatan pendidikan
kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu
pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib belajar.
Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum
pendidikan diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan
pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, ilmu
pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Sementara itu untuk pendidikan diniyah non-formal disebutkan
dalam pasal 21 ayat (1) yaitu, Pendidikan diniyah nonformal
diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim,
Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang
sejenis. Adapun untuk proses penyelenggaraannya tertuang dalam
pasal yang sama ayat (5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat
26. dilaksanakan secara terpadu dengan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Orientasi pendidikan agama islam ialah pendidikan ini secara
tidak langsung mengharuskan kita untuk menyelenggarakan proses
pendidikan nasional yang konsisten dan secara integralistik menuju
kearah pencapaian tujuan akhir. Terbentuknya manusia Indonesia
seutuhnya yang berkualitas unggul yang berkembang dan tumbuh di
atas pola kehidupan yang seimbang antara lahiriah dan batiniah, antara
jasmania dan rohaniah atau antara kehidupan mental spiritual dan fisik
material. Dalam bahasa islam, membentuk insan kamil yang secara
homeostatic dapat mengembangkan dirinya dalam pola kehidupan
yang kahasanah fiddunnya dan khasanah fil akhirat terhindar dari
siksaan api neraka, secara simultan tidak terpisah-pisah antara kedua
unsurnya.
Jalan menuju ketujuan itu, tidak lain adalah melalui proses
pendidikan yang berorientasi kepada hubungan tiga arah yaitu
hubungan anak didik dengan Tuhannya, dengan masyarakat dan
dengan alam sekitarnya.
b. Pendidikan Agama di Sekolah Umum
Pendidikan secara kultural pada umumnya berada dalam
lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak berbeda. Semuanya hidup
dalam upaya yang bernaksud mengangkat dan menegakkan martabat
manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk
transfer of knowledge dan transfer of values.
Dalam konteks ini secara jelas juga menjadi sasaran jangkauan
pendidikan islam, merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional,
sekalipun dalam kehidupan bangsa Indonesia tampak sekali
eksistensinya secara kultural. Tapi secara kuat ia telah berusaha untuk
mengambil peran yang kompetitif dalam setting sosiologis bangsa,
walaupun tetap saja tidak mampu menyamai pendidikan umum yang
27. ada dengan otonomi dan dukungan yang lebih luas, dalam
mewujudkan tujuan pendidikan secara nyata.
Sebagai pendidikan yang berlebel agama, maka pendidikan
islam memiliki transmisi spritual yang lebih nyata dalam proses
pengajarannya dibanding dengan pendidikan umum, sekalipun
lembaga ini juga memiliki muatan serupa. Kejelasannya terletak pada
keinginan pendidikan islam untuk mengembangkan keseluruhan aspek
dalam diri anak didik secara berimbang, baik aspek intelektual,
imajinasi dan keilmiahan, kultural serta kepribadian. Karena itulah
pendidikan islam memiliki beban yang multi paradigma, sebab
berusaha memadukan unsur profane dan imanen, dimana dengan
pemaduan ini, akan membuka kemungkinan terwujudnya tujuan inti
pendidikan islam yaitu melahirkan manusia-manusia yang beriman dan
berilmu pengetahuan, yang satu sama lainnya saling menunjang.
Antara ilmu pengetahuan dan pendidikan islam tidak dapat
dipisahkan, karena perkembangan masyarakat islam, serta tuntutannya
dalam membangun manusia seutuhnya (jasmani dan rohani) sangat
ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang dicerna
melalui proses pendidikan. Proses pendidikan tidak hanya menggali
dan mengembangkan sains, tetapi juga, lebih penting lagi yaitu dapat
menemukan konsepsi baru ilmu pengetahuan yang utuh, sehingga
dapat membangun masyarakat islam sesuai dengan keinginan dan
kebutuhan yang diperlukan.
c. SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Madrasah
SKB 3 Menteri tahun 1975 (Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Menteri Dalam Negeri) bertujuan untuk meningkatkan
mutu pendidikan madrasah agar tingkat mata pelajaran umum di
madrasah sama dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah
umum. SKB itu menetapkan tiga hal penting; (1) Ijazah madrasah
28. mempunyai nilai yang sama dengan ijazah dari sekolah umum
setingkat, (2) Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke jenjang sekolah
umum jenjang atasnya, dan (3) siswa madrasah dapat berpindah ke
sekolah umum.
Untuk mencapai tingkat standar mata pelajaran umum seperti
yang ada di sekolah umum, pelajaran umum di madrasah disamakan
dengan yang diajarkan di sekolah umum. Proporsi pelajaran di
madrasah dirubah menjadi 70% untuk pelajaran umum dan 30% untuk
mata pelajaran agama. Sebagai implementasi dari SKB 3 Menteri
tahun 1975 tersebut, pemerintah kemudian memberlakukan kurikulum
madrasah tahun 1976 dan juga mendirikan Madrasah Negeri di
berbagai tempat.
Terhadap perubahan ini, tidak semua masyarakat Muslim,
khususnya dari kalangan Muslim tradisionalis, menyambut dengan
gembira. Kalangan Muslim tradisionalis, pada waktu itu masih
memandang madrasah semata-mata sebagai lembaga pendidikan
tempat mencari ilmu agama.
Zakiyah Daradjat dalam kata pengantarnya di buku Maksum
(1999: xi) mencatat, ada dua pendapat menanggapi perkembangan
madrasah saat itu. Pertama, kalangan yang menilainya sebagi tonggak
penting integrasi madrasah ke dalam pendidikan nasional. Kedua,
kalangan yang memandang perubahan itu sebagai sikap akomodatif
yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern yang
sekuler, yang dikhawatirkan akan mencabut madrasah dari nilai-nilai
keislaman dan melunturkan nilai-nilai keberagamaan siswa. Porsi
pengetahuan umum yang semakin besar itu, dikhawatirkan akan
menggeser pengetahuan agama yang menjadi spesialisasi madrasah
sejak lama.
29. Oleh karenanya, madrasah-madrasah swasta waktu itu tidak
serta merta mengikuti ketentuan pemerintah. Ada tarik-menarik yang
terjadi di dunia madrasah antara menjadi lembaga pendidikan modern
di satu sisi, dan mempertahankan perannya sebagai lembaga
pendidikan keagamaan sebagaimana dilakukannya di masa lalu. Tarik-
menarik itu kemudian memunculkan pergeseran dan penyesuaian yang
dinamis.
Tarik menarik yang cukup hebat terjadi pada madrasah yang
berasosiasi dengan pesantren atau, lebih singkatnya disebut Madrasah
Pesantren. Madrasah ini didirikan dan dikelola oleh suatu pesantren
sebagai ekstensi dari sistem pendidikan pesantren. Munculnya
madrasah semacam ini, menurut Manfred Ziemek (1986: 104-108)
merupakan bagian dari perkembangan pesantren yang berawal dari
pengajian sederhana di masjid. Lalu karena ada santri yang berasal dari
jauh, dibangunlah pondokan. Perkembangan selanjutnya, didirikanlah
madrasah. Pesantren-pesantren tertentu kemudian ada yang sampai
mendirikan universitas.
Karel A. Steenbrink (1994: 220) mencatat, berdirinya madrasah
di lingkungan pesantren, tidak serta merta menghapus tradisi
pesantren. Justru tradisi-tradisi keilmuan, keagamaan dan
kepemimpinanannya mengadopsi pola pesantren. Dalam tradisi
keilmuan, sebagai contoh, Madrasah Pesantren mengajarkan kitab
kuning dengan berbagai metode khas pesantrennya. Sehingga
madrasah pesantren ini sebenarnya merupakan klassikalisasi dari
pesantren. Orientasi awal dari madrasah ini adalah sebagai lembaga
pendidikan keagamaan. Maka wajar saja jika mata pelajarannya adalah
mata pelajaran agama sebagaimana pesantren.
30. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terjadinya pembaharuan pendidikan di dunia Islam yang muncul dari
pemikir-pemikir Islam sendiri yang dengan krisis menyikapi kondisi soasial
kemasyarakatan dan sikap keberagamaan umat Islam saat itu.
Persinggungan antara dunia Islam dan Barat kembali menyadarkan
para pemikir Islam betapa umat Islam jauh tertinggal dari bangsa-bangsa
Eropa. Keadaan tersebut segera mendapatkan respon yang beragam dari para
cendekiawan muslim dengan tujuan yang sama yaitu kembalinya umat Islam
dalam pentas percaturan dunia seperti pada masa kejayaan Islam masa lampau,
hal itu disepakati dapat dicapai melalui pembaharuan Pendidikan.
Pembaharuan Pendidikan pada dasarnya adalah pembaharuan pemikiran dan
prespektif intelektual yang dapat membentuk pola pemikiran yang beragam,
yaitu pemikiran yang secara murni ingin kembali pada ajaran Islam yang
benar dan menolak segala apa yang datang dari Barat. Mereka adalah
golongan tradisionalis, golongan yang mengadopsi secara besar-besaran
termasuk dalam pendidikan yang pada akhirnya melahirkan dualisme system
pendidikan dalam Islam seperti yang terjadi di Mesir dan Turki dan kelompok
yang pemikirannya berangkat dari perasaan nasionalismenya. Dalam
pergumulannya masing- masing memiliki peranan untuk menghasilkan
perubahan hingga mencapai kemajuan umat.
Pengaruh pembaharuan di Timur Tengah cukup besar terhadap
pembaharuan pendidikan di Indonesia, pembaharuan pendidikan di Indonesia
dari system pesantren yang hanya mengajarkan ilmu keislaman, kemudian
diadakan pembaharuan antara lain oleh KHA Dahlan (1912) dengan
mendirkkan organisasi Muhammadiyah, yang kemudian mendirikan
madrasah-madrasah yang di dalamnya diajarkan ilmu keislaman sekaligus
31. ilmu pengetahuan umum. Pembaharuan lainnya adalah organisasi NU oleh
Hasyim Asy’ari dan organisasi serta tokoh-tokoh lainnya.
B. Saran
Pendidikan agama memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan karakter suatu bangsa karena dalam pendidikan agama manusia
diajarkan mengenai hal yang baik dan buruk maka sudah sepantasnya
pendidikan agama menjadi pendidikan yang wajib ada di semua jenjang
pendidikan baik itu SD, SMP, SMA dan juga Perguruan Tinggi. Sebaiknya
dalam setiap mata pembelajaran di sekolah umum para pengajar selalu
mengaitkan materi pembelajaran dengan nilai-nilai agama sehingga siswa
dapat lebih memahami fungsi dari mempelajari agama dan korelasinya
terhadap kehidupan sehari-hari.
32. DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud. 1957. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara
Sumber Widya
Noer, deliar. 1980. Gerakan Moderen Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES
Taufik, Ahmad dkk. 2005. Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada.
http// Makhmud Syafe‟i
http//docstoc.com