1. Romo Magnis mendukung kebijakan pemerintah Jokowi yang memungkinkan pernikahan beda agama.
2. Ia meminta negara memberikan legalitas pernikahan meskipun tidak sesuai aturan agama.
3. Negara tidak mengatur agama tetapi memberi ruang kebebasan beragama bagi warganya.
1. ROMO MAGNIS SERU PEMERINTAH JOKOWI SAHKAN NIKAH BEDA AGAMA
Rimanews - Tokoh umat Katolik Franz Magnis Suzeno (Romo Magnis) menyerukan
pemerintah Joko Widodo membuat kebijakan yang memungkinkan nikah beda agama.
Magnis meminta negara memberikan legalitas meskipun perkawinan tidak mengkuti
aturan salah satu aturan agama.
"Ada kemungkinan untuk menikah beda agama dari sudut pandangan negara," kata
Romo Magnis saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang pengujian Pasal 2
ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi di
Jakarta, Kamis (4/12).
Menurut dia, perlu ada perbaikan dalam UU Perkawinan, karena dalam negara
Pancasila, agama dan kepercayaan harus dijunjung tinggi.
"Hubungan suami istri merupakan sel inti di masyarakat, sehingga dengan ini
diharapkan dapat menghasilkan keturunan adalah sesuatu yang diyakini erat sekali
hubungan dengan sang Pencipta," kata Romo Magnis Dia mengungkapkan
perkawinan sah dan hubungan suami istri dianggap baik dan terpuji sesuai dengan
beberapa aturan Gereja Katolik.
Namun, lanjut Romo Magnis, kalau negara mengakui perkawinan yang sah, namun
bukan tugas negara untuk memaksakan warga negara ke salah satu aturan agama.
"Negara tidak mengatur agama tapi memberi ruang, perlindungan bagi masing-masing
warga untuk menjalankan kegiatan keagamaan," katanya.
Pengujian UU perkawinan ini digugat oleh sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, yakni Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda,
Varida Megawati Simarmata, Anbar Jayadi dan Luthfi Sahputra.
Mereka menilai pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan yang berbunyi: "Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan
itu" telah menyebabkan ketidakpastian hukum bagi yang akan melakukan perkawinan
beda agama di Indonesia.
Para Pemohon mengatakan ketentuan tersebut berimplikasi tidak sahnya perkawinan
di luar hukum agama, sehingga mengandung unsur "pemaksaan" warga negara untuk
mematuhi agama dan kepercayaannya di bidang perkawinan.
Pemohon beralasan beberapa kasus kawin beda agama menimbulkan ekses
penyelundupan hukum.
Pemohon mengungkapkan pasangan kawin beda agama ini kerap menyiasati
berbagai cara agar perkawinan mereka sah di mata hukum, misalnya perkawinan di
luar negeri, secara adat, atau pindah agama sesaat.
Untuk itu mereka meminta MK membuat tafsir agar perkawinan beda agama menjadi
legal dengan cara mengesampingkan syarat agama dan kepercayaan dalam
pernikahan.