3. KERAJAAN PAJAJARAN
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari
Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di
Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan
yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia
Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan
dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan
menyebutkan bahwa kerajaan ini didirikan tahun
923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan
dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di
kampung Pangcalikan dan Bantarmuncang, tepi
Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
4. Awal Pakuan Pajajaran
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun
1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan,
saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-
kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi
(Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari
kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan
Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu
Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima
dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan
dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang
putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang
Raja juga menikah dengan salah satu keluarga
pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
5. Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal
dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang
seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan
bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah
besan. Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah
menantu dari Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya
dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus
menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.
Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus
kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah,
akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian
bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun
1482.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama
kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha
berkuasa, yakni tahun 1482.
6. Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik
dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa
asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini;
antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota
Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan
Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan
Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara
naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita
Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
7. Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga
meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu,
seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu,
Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya
Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
8. Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan
sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres
(1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia
menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda
disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh
dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran
(Kondisi POLISOSBUD), yaitu Kondisi Politik
(Politik-Pemerintahan). Kerajaan Pajajaran
terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada
abad ke 8-16.
9. Penelitian Lokasi Bekas
Pakuan Pajajaran
Naskah kuno
Salinan gambar "Lokasi dan Tempat Ibu Kota Pakuan
Pajajaran" dari buku Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran
Jilid 2, 2005)
Dalam kropak (tulisan pada lontar atau daun nipah) yang
diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk
yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian
telah diterbitkan khusus dengan nama Carita
Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa
disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai
kisah pendirian keraton Sri Bima, Punta,
10. Narayana Madura Suradipati:
“ Di inya urut kadatwan, ku Bujangga Sedamanah ngaran Sri
Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus ta tuluy
diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar
ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga
Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah diberi
nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah
selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda
Majayati. Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja
Tarusbawa. ”
Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak
akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di
dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian
hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa
sejak zaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah
juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam
bahasa Sunda Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti
"peucang".
11. Daftar Raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor
sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena
serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
• Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana,
memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-
Sunda)
• Rahyang Niskala Wastu Kencana
• Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
• Sri Baduga MahaRaja
• Hyang Wuni Sora
• Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
• dan Prabu Ratu Dewata.
12. Puncak Kejayaan atau Keemasan
Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga
Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat
dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau
Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi
dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh
aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam
Carita Parahyangan.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga
besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke
ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota,
memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya
untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan
rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama
prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan
(tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang
kerajaan
13. Pembangunan yang bersifat material
tersebut terlacak pula didalam Prasasti
Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru
Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa
terjejaki, namun tak kurang yang musnah
termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan
Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri
Baduga telah memerintahkan untuk membuat
wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena
Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat
Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan,
memperkuat angkatan perang, mengatur
pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan
menyusun undang-undang kerajaan.
14. Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat
serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya
Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan ke
Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten
karena tradisi politik agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan
raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus
kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi II). Palangka Sriman
Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas
Keraton Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya Watu
Gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan
kata Sriman.
Saat itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang
meninggalkan kraton lalu menetap di wilayah yang mereka namakan
Cibeo Lebak Banten. Mereka menerapkan tata cara kehidupan
lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang
Baduy.
15. Di bawah ini adalah urutan raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati, yang
berjumlah 14 orang :
Raja-raja Sunda-Galuh setelah Sri Jayabupati
No Raja Masa pemerintahan Keterangan
1 Darmaraja (1042-1065)
2 Langlangbumi (1065-1155)
3 Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155-1157)
4 Darmakusuma (1157-1175)
5 Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175-1297)
6 Ragasuci (1297-1303)
7 Citraganda (1303-1311)
8 Prabu Linggadéwata (1311-1333)
9 Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
menantu no. 8
10 Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
11 Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357)
tewas dalam Perang Bubat
12 Prabu Bunisora (1357-1371)
paman no. 13
13 Prabu Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
anak no. 11
14 Prabu Susuktunggal (1475-1482)
16. Penyatuan kembali Sunda-Galuh
Saat Wastu Kancana wafat, kerajaan sempat
kembali terpecah dua dalam pemerintahan anak-
anaknya, yaitu Susuktunggal yang berkuasa di
Pakuan (Sunda) dan Dewa Niskala yang berkuasa di
Kawali (Galuh).
Sri Baduga Maharaja (1482-1521) yang
merupakan anak Dewa Niskala sekaligus menantu
Susuktunggal menyatukan kembali Kerajaan Sunda
dan Kerajaan Galuh.
Setelah runtuhnya Sunda Galuh oleh
Kesultanan Banten, bekas kerajaan ini banyak
disebut sebagai Kerajaan Pajajaran.
17. Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan
Pajajaran hidup dari pertanian, terutama
perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga
mengembangkan pelayaran dan perdagangan.
Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan
penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede,
Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk
(Pamanukan)
18. Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di
golongan menjadi golongan seniman (pemain
gamelan, penari, dan badut), golongan petani,
golongan perdagangan, golongan yang di anggap
jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling,
prampok, dll)
19. Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran
sangat di pengaruhi oleh agama Hindu.
Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita
Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda,
prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
20. Kesimpulan
• Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari
Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di
kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di
Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
• Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu
perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan
berita asing.
• Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri
Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/
kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada
tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda
lainnya, yaitu Kesultanan Banten.