Ringkasan singkat dokumen tersebut adalah:
1. Dokumen tersebut membahas hubungan antara retorika politik dengan karakter yang tercermin dalam retorika tersebut.
2. Retorika politik seringkali hanya berupa slogan tanpa tindak lanjut nyata, sehingga karakter yang tercermin dalam retorika tersebut hanya berupa "karakter di atas kertas".
3. Diperlukan pemahaman retorika secara kontekstual dan tindakan ny
1. Retorika Politik yang Berkarakter
Oleh : Yusrita Yanti
Kandidat Doktor Linguistik Terapan/Pragma-Retorik Unika Atma Jaya Jakarta
Padang Ekspres • Sabtu, 19/11/2011 11:42 WIB • 1169 klik
Tiada hari tanpa retorika itulah yang ditemui dalam wacana
politik. Secara umum retorika didefinisikan sebagai seni
menggunakan bahasa secara efektif dan persuasif; suatu
seni dalam sebuah wacana yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan pembicara atau penulis dalam
menyampaikan informasi, memberikan motivasi,
membujuk dan mempengaruhi pikiran masyarakat dalam
situasi tertentu.
Ada sejumlah retorika politik yang kita dengar dan baca
baik di media cetak maupun yang tertayang di media
elektronik, misalnya memberantas korupsi, pemberantasan
korupsi, memerangi korupsi, kejahatan korupsi, demokrasi
dan kebebasan, pertumbuhan ekonomi, mencegah dan
memberantas terorisme, menuntaskan kasus hukum Gayus
Tambunan, Indonesia yang bersih dan sejahtera. Retorika
politik ini sekilas terlihat biasa, namun sesungguhnya jika
dimaknai secara sungguh-sungguh retorika ini punya
„maksud‟ yang begitu luas dan dalam.
Di sini, penulis mengajak pembaca untuk mengutak-atik
kata tersebut secara ilmu bahasa, mari kita berpikir secara
linguistik atau lebih tepatnya secara pragmatik. Artinya,
bagaimana melihat sebuah wacana politik seperti pidato
presiden, slogan politisi dalam menyampaikan suatu topik
dari sudut pandang sosiolinguistik dan pragmatik. Ujaran
atau tuturan itu tidak hanya di dengar dan dimengerti
begitu saja dari tataran makna lokusi (locutionary act) tapi
ada suatu pemahaman maksud (illocutionary act)
kemudian dilanjutkan dengan adanya suatu tindakan perlokusi sebagai efek dari maksud ujaran tersebut
(perlocutionary act).
Sebuah retorika politik yang tercipta dari seorang pemimpin hendaknya dipahami sebagai suatu
tindak tutur ilokusi dan perlokusi. Namun, kecenderungan masyarakat hanya menikmati dan
melihat retorika tersebut hanya pada tataran lokusi, misalnya, tuntaskan kasus Gayus, perangi
korupsi atau berantas korupsi, kata “tuntas”, “perangi” tidak dipahami maksudnya secara
pragmatik. Artinya, ada suatu tindakan yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan itu. Apa yang
terjadi selama ini? Retorika itu hanya diulang-ulang dan kasus demi kasus masih saja terjadi,
kata tuntas artinya menjadi tidak tuntas.
Namun, retorika yang bertaburan dikala pesta demokrasi itu terkadang hanya untuk dibaca,
diulang-ulang, untuk membujuk dan mempengaruhi pikiran masyarakat namun realisasinya
perlu dipertanyakan. Apakah benar-benar sudah dimaknai secara pragmatik berdasarkan
konteks yang ada dan diikuti oleh perilaku yang berkarakter seperti keinginan yang dituangkan
dalam retorika itu atau masih sebatas “retorika politik”? Tentunya, semua cerminan karakter
dalam retorika itu diharapkan tidak hanya tertulis di atas kertas saja sehingga dianggap
sebagai “Karakter di dalam Retorika” atau “Karakter di atas Kertas”. Harusnya, semua itu perlu
pembuktian, konsekuensi, konsistensi, dan komitmen serta langkah-langkah konkrit untuk
mewujudkannya. Penerapan nilai-nilai karakter inilah yang akan menjadi tiang atau pilar-pilar
kemajuan bangsa dan Negara.
Menarik jika
2. dikaji lebih lanjut retorika politik yang diungkapkan dalam pidato presiden, slogan-slogan para
caleg, capres/cawapres, dan slogan-slogan pilkada, semua mempunyai kekuatan yang
bermuatan positif untuk ditindaklanjuti secara serius. Tidak hanya itu, retorika politik tersebut
mencerminkan sejumlah karakter yang menjadi pilar untuk membangun Negara ini lebih baik.
Perhatikan contoh, “Terus Berjuang untuk Rakyat, Lanjutkan!”, “Bersama Kita Lanjutkan
Perubahan”, “Saatnya hati nurani bicara”, “Pro Rakyat”, “Mari membangun Indonesia dengan
Akhlakul Karimah”. “Lebih cepat lebih baik”, “Bangkit Ekonomi Rakyat”, dan banyak lagi slogan
politik yang diciptakan sebagai letupan emosi untuk menarik perhatian dan menyentuh hati
rakyat.
Tanpa disadari semua retorika itu sebenarnya mencerminkan nilai-nilai luhur dari beberapa sifat
atau karakter. Dari beberapa contoh tersebut terdapat gambaran karakter seperti kepedulian,
tanggung jawab, kejujuran, keadilan, dan sifat nasionalisme atau kewarganegaraan (Indonesia).
Gambaran karakter ini dikumandangkan begitu „heboh‟ namun setelah itu lupa menggali dan
menerapkan di dalam keseharian bekerja dan berkarya, semua itu hanya sebagai slogan dan
retorika itu hanya di atas „kertas‟. Kalau retorika yang berkarakter tadi hanya sebatas “kata”
tanpa tindakan perilaku siap-siaplah Negara kita ini (maaf) penuh dengan manusia-manusia
yang tidak berkarakter. Orientasi kerja akan terfokus untuk individu atau kelompok, kesantunan,
dan kejujuran akan dianggap tidak penting. Menurunnya karakter bangsa inilah yang menjadi isu
terhangat akhir-akhir ini.
Jika kita melongok ke Negara lain, pendidikan karakter begitu penting sehingga ada sebuah institusi yang
menyediakan program pendidikan karakter untuk anak-anak muda dan masyarakat umum, karena mereka
menganggap karakter itu penting, Character Counts. Ada enam pilar karakter yang ditawarkan dalam
pendidikan itu dan dapat dipedomani dalam melakukan penidikan karakter. Pendekatan pendidikan karakter
tidak mengecualikan siapa pun, setiap orang dapat menyetujui - nilai-nilai yang tidak politis, religius, atau
bias budaya. Secara umum enam pilar ini dapat disetujui oleh semua orang karena tidak mengandung
unsur politis. Enam pilar tersebut adalah (1) kepercayaan (trustworthiness), (2) menghormati (respect), (3)
tanggung jawab (responsiblility), (4) keadilan (fairness), (5) perhatian/peduli (caring),(6) kewarganegaraan
(citizenship). Masing-masing pilar ini memayungi beberapa sifat seperti kejujuran, keberanian untuk
melakukan hal yang benar, membangun reputasi yang baik, sikap patuh, berbakti kepada keluarga, teman,
dan Negara, kemudian sifat toleran, disiplin, dan sikap kasih sayang. Lalu, apa hubungan karakter
dengan retorika yang sering kita nikmati sehari-hari?
Dari beberapa penelitian sederhana penulis terhadap
sejumlah retorika politik terlihat beberapa cerminan karakter. Pilihan kata yang digunakan
cenderung merupakan ungkapan emosi terhadap ketidakpuasan, kejengkelan, keinginan,
perhatian, keoptimisan, dan kebanggaan, sehingga melahirkan sindiran dan kritikan-kritikan
terhadap fenomena sosial yang terjadi. Secara pragmatis, retorika ini mencerminkan sifat atau
sikap si penutur (individu dan/atau kelompok/partai). Perhatikan contoh retorika berikut,
“Bersama kita lakukan Perubahan”, “Selangkah telah Berbuat”, di sini terlihat ungkapan emosi,
“ingin dan harap”, yang mencerminkan karakter tanggung jawab (responsibility), untuk
membangun reputasi yang bagus dalam bernegara.
Lebih lanjut, tidak hanya emosi dasar yang tercermin tapi juga tergambar beberapa sifat yang dipayungi
oleh enam pilar karakter tadi, seperti empati, peduli, tanggung jawab. Sifat yang tergambar dalam slogan
tersebut dapat membentuk imej yang baik pada caleg dan/atau partainya sehingga retorika yang dilahirkan
dapat menarik perhatian dan menyentuh emosi masyarakat yang membacanya. Tentunya, “makna” dari
slogan ini akan dipahami jika masyarakat mengerti konteks yang ada. Sebuah wacana apalagi wacana
politik dipengaruhi oleh berbagai konteks, seperti konteks linguistik, epistemik, dan kontek sosial/kultural.
Pada pemilihan para caleg beberapa waktu yang lalu, retorika yang digunakan sebagai slogan
mencerminkan kritikan untuk mengemukakan pentingnya karakter kejujuran, tanggung jawab, toleran,
kepedulian, rasa kebangsaan/kewargaan untuk dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa dan pembuat
kebijakan di Negara ini (Indonesia). Karakter-karakter baik tampak ditonjolkan agar mereka dipilih.
Sejumlah karakter yang tergambar cenderung mengemukakan karakter yang idealis sebagai pilar untuk
majunya sebuah bangsa.
Namun, retorika yang bertaburan dikala pesta demokrasi itu terkadang hanya untuk dibaca,
diulang-ulang, untuk membujuk dan mempengaruhi pikiran masyarakat namun realisasinya
perlu dipertanyakan. Apakah benar-benar sudah dimaknai secara pragmatik berdasarkan
3. konteks yang ada dan diikuti oleh perilaku yang berkarakter seperti keinginan yang dituangkan
dalam retorika itu atau masih sebatas “retorika politik”? Tentunya, semua cerminan karakter
dalam retorika itu diharapkan tidak hanya tertulis di atas kertas saja sehingga dianggap
sebagai “Karakter di dalam Retorika” atau “Karakter di atas Kertas”. Harusnya, semua itu perlu
pembuktian, konsekuensi, konsistensi, dan komitmen serta langkah-langkah konkrit untuk
mewujudkannya. Penerapan nilai-nilai karakter inilah yang akan menjadi tiang atau pilar-pilar
kemajuan bangsa dan Negara.
Jika dikaji secara metaforis, frasa “membangun karakter” ini berarti karakter sama dengan bangunan
dimana sebuah bangunan memerlukan pondasi dan tiang-tiang untuk berdiri kokoh, begitu juga dengan
karakter diperlukan nilai-nilai seperti kejujuran, kepedulian, tanggung jawab, sikap menghormati, sifat
nasionalis, dan cinta damai sangat diperlukan sebagai pilar-pilar bangsa yang berkarakter. Nah, harapan
selanjutnya, tentu saja retorika politik yang menggambarkan nilai-nilai karakter tersebut jangan hanya enak
didengar dan indah di pandang. Mari tingkatkan daya pragmatis kita untuk memahaminya sehingga dapat
melahirkan sebuah komitmen dan tindakan perlokusi yang nyata. Artinya, semua orang harus bisa
memahami kata-kata tersebut berdasarkan konteks yang ada, masyarakat harus cerdas melihat, dan
menyikapi situasi sehingga pemahaman sebuah retorika akan diikuti oleh sebuah perilaku atau tindakan
yang serius. (*)
PENGERTIAN RETORIKA
Retorika adalah suatu gaya/seni berbicara baik yang dicapai berdasarkan bakat
alami (Talenta) dan keterampilan teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk
berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara
ini bukan hanya berarti berbicara secara lancartampa jalan fikiran yang jelas dan tampa isi,
melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat dan
mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat , daya kreasi dan fantasi yang
tinggi ,teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Ber-
retorika juga harus dapat dipertanggung jawabakan disertai pemilihan kata dan
nada bicara yang sesuai dengan tujuan, ruang, waktu, situasi, dan siapa
lawan bicara yang dihadapi.
Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada
seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberikan
informasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada
manusia. Oleh karena itu pembicaraan setua umur bangsa manusia. Bahasa dan pembicaraan ini
muncul, ketika manusia mengucapkan dan menyampaikan pikirannya kepada manusia lain.
Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, fikiran , kesenian dan
kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada
tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata – kata
yang tepat, benar dan mengesankan . ini berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan
efektif . jelas supaya mudah dimengerti; singkat untuk menghemat waktu dan sebagai tanda
kepintaran ; dan efektif karena apa gunanya berbicara kalau tidak membawa efek ? dalam
konteks ini sebuah pepatah cina mengatakan ,”orang yang menembak banyak, belum tentu
seorang penembak yang baik. Orang yang berbicara banyak tidak selalu berarti seorang yang
pandai bicara.”
4. Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara ini dapat dicapai dengan
mencontoh para rektor atau tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan mempergunakan
hukum – hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang teratur. dalam seni berbicara
dituntut juga penguasaan bahan dan pengungkapan yang tepat melalui bahasa.
DIALETIKA, PUBLIK SPEAKING
Dialektika adalah metode untuk mencari kebenaran lewat diskusi dan
debat. Melalui dialektika yang dimiliki orang dapat menyelami suatu masalah,
mengemukakan pendapat dan menyusun jalan pikiran secara logis.hubungan
retorika dengan dialektika adalah karena diskusi dan debat juga merupakan
bagian dari ilmu retorika.
Public speaking adalah cara berbicara didepan khalayak umum yang
sangat menuntut kelancaran berbicara, control emosi, pemilihan kata dan
nada bicara, kemampuan untuk mengendaliakan suasana, dan juga
penguasaan bahan yang akan dibicarakan. Dalam public speaking juga
dibutuhkan penguasaan medan dan pengenalan terhadap karakter audience
yang diajak berbicara dan bahasa juga menyangkut gaya tubuh yang
menunjang materi pembicaraan.
Ilmu retorika, dialektika, dan public speaking secara umum diperlukan
oleh semua orang, tetapi secara khusus sangat diperlukan oleh mereka yang
bergerak dibidang politik, komunikasi dan juga seorang manajer.
Dalam pengaplikasian dari retorika juga sangat diperlukan kemampuan
berfikir secara cepat dan tepat dalam menganalisa perkataan lawan bicara
serta apa yang diperlukan perkataan lawan bicara serta apa yang akan kita
bicarakan. Jika diskusi dilakukan secara berkelompok maka juga akan
diperlukan kemampuan berkoordinasi secara cepat dengan atau tanpa harus
melakukan perundingan terlebih dahulu.