Kolom Lenter Khusus merayakan Hari Kemerdekaan RI dengan menampilkan kisah Reka Pane, pelari dari Pakkat yang setiap tahun hadir di perayaan HUT RI untuk meraih kemenangan. Kisahnya menginspirasi dengan semangat juang dan cinta tanah air melalui olahraga yang dibawanya.
1. 1
EDISI #17 AGUSTUS 2015
MERAYAKAN
AGUSTUS
Source: https://pendoasion.files.wordpress.com/2014/08/hut-indonesia.jpg
2. 2
DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS
DENGAN DOA DAN DANA
Kunjungi kami di sini:
Bank Nasional Indonesia
Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy
/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM
daftarisi
Tajuk Redaksi3
Telisik
4
7 Lentera khusus
10 Embun Katekese
12
Opini
20 Ilham sehat
Merayakan Agustus
18
Rumah Joss
14
Sastra
RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], Jansudin
Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]
Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) Jalan S.Parman No. 107
Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | redaksi@majalahlentera.com ,
beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news
REDAKSI
Korupsi Kini Menjadi Mode (II)
Pelanggaran Liturgi
Dalam Perayaan
Ekaristi (bag. III)
Celoteh Merdeka
di Ruang Publik
Pengurbanan &
Pelayanan
Sinta (bag. III)
23 Lapo Aksara
Menghalau Singa
3. 3
Redaksi
3
TAJUK REDAKSI
Bulan Agustus merupakan momentum
istimewa bagi Warga Negara Indonesia. Bulan
dimana kita merayakan Hari Kemerdakaan
Republik Indonesia. Sebab telah terlepas dari
penjajahan di masa silam.
Redaksi Lentera News juga hendak berbagi
gagasan dan ilham yang lekat dengan makna
Hari Kemerdekaan ini. Untuk tidak melulu
mengingatkan dendam penjajahan di masa
lampau. Namun, lebih kepada bagaimana kita
menyapukan warna baru di kanvas bangsa kita
ini.
Redaksi sungguh dilimpahi berkat, sebab
bung Dian Purba ikhlas kolom ‘Pollung’ - nya
direlokasi ke ‘Lentera Khusus’. Kisah pelari nir-alas
dari Pakkat, Reka Pane, sungguh mengena
dengan semangat Lentera bahwa setiap cerita
mewariskan pesan moralnya dengan bingkai
kisahnya masing-masing.
Siapa Reka? Mengapa kisahnya dalam
merayakan Hari Kemerdekaan RI, juga bisa
menyampirkan nilai kehidupannya secara unik.
Bergegaslah menelusur kolom Lentera Khusus
untukmemuaskanrasapenasaranAnda,sahabat
pembaca Lentera.
Tidak hanya bung Dian Purba yang mengakhiri
karya cerpennya dalam kolom ‘Sastra’,
permenungan akhir Pater Hubertus Lidi OSC
tentang korupsi juga dapat disingkap dalam
kolom khususnya di ‘Telisik’. Namun, Pater
Hubert juga menyempatkan berbagi gagasannya
tentang kemerdakan dalam edisi ini untuk kolom
‘Opini’.
Tidak setiap insan dapat menemukan
kemerdekaan-nyasendiri.NamunRedaksiLentera
Newsmenyediakanwadahbagisetiapinsanyang
hendak berbagi gagasan dan kisah sebagaimana
para penulis di Lentera News.
Kami yakin, setiap rajut aksara dari insan yang
merdeka, tentu memuat nilai-nilai yang tak
ternilai harganya. Kita tidak mesti menjadi yang
teratas untuk membuat perubahan, namun apa
yang kita beri sebagai pencerahan bagi sesama.
Merdeka!!!
4. 4
RP Hubertus Lidi, OSC
hubertuslidiosc@gmail.com
KORUPSI
KINI MENJADI MODE (II)
TELISIK | KORUPSI
K
ita harus akui bahwa Korupsi
itu bak virus yang sudah lama
berkembang, bahkan sebelum
jaman Zakeus sang Pemungut Cukai.
Virus itu siap menyerang siapa saja
dan kapan saja. Ga peduli agamanya,
kaum berjubah, ber jas, dan berjeans
bahkan kaum jelata. Virus ini siap
mengembangkan sayapnya ke
semua lini kehidupan. Korupsi tidak
selamanya harus uang dan harta.
Korupsi yang sering kita lakukan dan
kemungkinan besar tidak disadari
sebagai korupsi, dan dilihat sebagai hal
yang ‘biasa-biasa saja’ adalah berkaitan
disiplin waktu. Misalnya telat, tarik-ulur,
dan absensi kehadiran merupakan
bagian dari korupsi waktu. Secara
mentalitas menguntungkan secara
negatif salah satu pihak dan tentu
merugikan pihak yang lain. Kawanku
yang suka berseloro itu berkomentar:
Ya itu sih wajar, karena Indonesiakan
penghasil Karet, jadi soal tarik-ulur waktu
itu sudah pasti.” “Maksudnya?” “ Wan,
soalnya, kala aku menggugatnya saat ia
terlambat jawabnya ialah: ‘ah kau seperti
orang Barat saja!” “Ya….ya….repot, dan
memprihatinkan, lagi-lagi Indonesia
menjadi daerah endemi korupsi,”
tanggapku serius.
Satu sisi orang-orang Indonesia dikenal
sebagai orang yang religiositasnya tinggi.
Orang agamais, bumi yang dihuni oleh
para alim-ulama. Sejak SD orang-orang
Indonesia sudah biasa diperhadapkan
denganungkapan:BerimandanBertaqwa.
Iman kaitan dengan bagaimana ‘saya’
percayaakanAllah,danTakwabagaimana
‘saya’ menjalankan perintahNya dan
menjauhi larangan-laranganNya. Anda
tentu sepakat, kalau saya mengatakan
5. 5
bahwa Korupsi adalah perbuatan
yang dilarang oleh Agama.
Realitas bahwa Indonesia adalah
daerah endemi korupsi, tentu hal ini
sangat Paradoks, dalam arti: Ortodoksi
tidak sesuai, atau belum menjadi
bagian dari Ortopraksis atau dengan
kata lain ajaran tidak sesuai dengan
perbuatan.
Kalau kita merujuk pada salah surat
dalam Alkitab: Iman tanpa perbuatan
adalah mati. Orang menjadi munafik,
secara lahiria nampaknya baik, soleh,
dan soleha tapi ‘mentalnya’ busuk.
DalamhaliniAgamabukannyamenjadi
cermintetapisebaliknyadimanfaatkan
sebagai topeng. Ibaratnya negara
agraris yang mengimpor beras dan
kedele dari negara lain. Apakah kita
yang religiositasnya tinggi harus
mengimpor etika dan moral dari
belahan dunia lain? Paradoks.
Rumah:TempatBelajarTidakKorupsi
Korupsi itu pada prinsipnya merupa-
kan perbuatan memperkaya diri den-
gan mengambil bagian yang bukan
bagianya, mengambil hak orang lain.
Dampak dari perbuatan itu menim-
bulkan kerugian dan penderitaan bagi
orang lain. Mari kita merunut kembali
ke belakang, terutama saat-saat masih
di rumah asal kita; bersama orang tua
dan sank-saudara.
Saya yakin bahwa Iklim menghargai
hak orang, secara khusus terhadap
saudara-saudari di dalam rumah, pada
prinsipnya telah mendapat perhatian
semenjak masih dalam usia balita.
Pembinaan dasar agar menghormati
danmenghargaibagiandarioranglain
tentu sudah dilatih semenjak masih
berusia dini. Umpamanya: Merampas
‘bombon <sweets candy>’ adik atau
kakanya, baik secara langsung mau-
pun tak langsung pasti langsung di
tegur bahkan telinganya bisa dijewer
oleh orang tuanya.
Jangan-jangan para Koruptor itu
semenjak balita sudah biasa main
rampas-rampasan bombon adik atau
kakaknya dan berusaha kabur dari
jeweran orang tuanya.
Nilai-nilai hidup yang berbarengan
dengan pembaharuan mental di
rumah, sejak dini diturun-alihkan
kepada penghuni rumah adalah
bersikap jujur mengakui kesalahan
danmempunyairasamaluatassesuatu
perbuatan yang tidak berkenan.
Pembenaran diri, tidak ada
penyesalan, dan tidak menunjukan
gelagat malu merupakan
pemandangan yang biasa yang
ditampilkan oleh para Koruptor yang
nongol di Media massa, baik cetak
maupun elektrik. Jangan-jangan sejak
kecil rasa malunya sudah rontok.
Kawanku mengusulkan:Wan, sebelum
duduk di kursi kekuasaan baiklah
kamu terapi kembali rasa malumu,
biar ada budaya malumu, kalau tidak
nanti main hantam tanpa tata-kromo,
alias main serobot saja.”“Benar juga!”
Mari kita benahi mentalitas kita, mu-
lai dari diri, rumah, paguyuban profan
dan peribadatan. Yang pasti dampak
perbaikan itu akan mempengaruhi
baik atas kehidupan.
Say no to Corruption sebagai iklan
sudah banyak dipertontonkan secara
visual yang penting adalah bagaimana
iklan itu menjadi darah dan daging
anak bangsa ini, dan melahirkan
sebuah generasi yang tidak korup.
Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com
Wan, sebelum duduk
di kursi kekuasaan
baiklah kamu
terapi kembali rasa
malumu, biar ada
budaya malumu,
kalau tidak nanti
main hantam tanpa
tata-kromo, alias
main serobot saja
“
6. 6
RP Hubertus Lidi, OSC
Pemimpin Umum/ Redaksi
Ananta Bangun
Redaktur Tulis
Jansudin Shemy Saragih
Redaktur Foto
Segenap Keluarga Besar
Majalah LENTERA News
Turut Bangga Mengucapkan:
DIRGAHAYU
REPUBLIK INDONESIA
KE- 70
[ 17 Agustus 2015 ]
7. 7
LENTERA KHUSUS | HUT KEMERDEKAAN RI
MERAYAKAN
AGUSTUS
B
ilaAgustussudahmenghampiri,diatahudiaakan
kembali merinding. Bila Agustus sudah tiba, dia
tahu dia akan membuat dirinya dan keluarganya
dan sekolahnya dan satu kampungnya dan bekas
sekolahnya akan tersenyum bangga padanya. Bila
Agustus sudah sampai dia tahu dia akan terharu.
Bila Agustus sudah datang, dia tahu “takdir” akan
memanggilnya. Takdir itu adalah berlari.
Image: Blogspot.com
8. 8
Namanya Reka Pane. Dia lahir
di Merak, Lampung, 13 Juli
1997. Sebelum dia beranjak
sekolah orangtuanya pindah
ke kampung halaman, Purba
Baringin Kecamatan Pakkat
Humbang Hasundutan.
Segera setelah dia sudah
bisa memilih mata pelajaran
favorit, dia menjatuhkan pili-
han: matematika adalah mu-
suhnya. Entah bagaimana ini
bermula, saat dia kelas empat
SD, dia
mendapati dirinya
berada di puncak kebosanan
bermatematika di kelas. Dia lalu
menemukan dirinya berada
pada kebetulan yang akan
membebaskannya—paling
tidak untuk sementara—dari
dunia hitung-menghitung itu.
Dia memutuskan ikut seleksi
pelari dari sekolahnya. Dan:
dia menang. Dan, ternyata,
kebetulan yang bersumber dari
kebosanan itu mendatangkan
kebanggaan bagi sekolahnya.
Namanya dipanggil dari
podium utama perayaan hari
kemerdekaan di kota kecamatan
Pakkat sebagai pemenang lari.
Semenjak itu, saban tahun
takkan dia biarkan Agustus
berlalu tanpa namanya dipanggil
di podium utama sebagai
pemenang lari.
Setelah dia tamat SMP, dua
guru olahraga SMA di Pakkat
berlomba memintanya
mendaftar di sekolahnya. Dia
memilih SMA Negeri 1 Pakkat.
“Kalau di SMK letaknya terlalu
jauh dari sini,”ujar ibunya. Selain
itu,“Banyak sekali uang akan
keluar. Uang PKL (praktek kerja
lapangan), uang dinas.”
Tahun 2014 silam boleh jadi
akan tahun yang paling dikenang
Reka. Ceritanya begini. Ibunya
pergi ke pasar sudah agak
siang. Jarak dari rumah ke pasar
tujuh kilometer. Baru saja tiba
di pasar, ibunya terima telepon
dari adik Reka. Sebelum telepon
ditutup ibunya jatuh pingsan di
tengah keramaian. Sontak orang
berkerumun. Setelah dia sadar
sembari menangis histeris dia
berteriak,“Anakku meninggal.
Reka meninggal.”Beberapa
saat kemudian dia sudah di
atas motor yang lajunya sangat
kencang. Ibunya lupa siapa
saat itu yang memboncengnya.
Sepanjang perjalanan dia
menangis histeris. Tiba di rumah,
“Mana anakku? Mana anakku?
Rekaaaa....!”Yang dia temui
di sana bukanlah jasad Reka,
namun wajah tetangga yang
terheran-heran. Teriakannya
mengundang keramaian. Dan
keramaian itu tampak bingung.
Siapa yang meninggal?
Reka yang dianggapnya
meninggal itu pun muncul. Dia
tidak meninggal. Selidik punya
selidik, saat adik Reka menel-
epon ibunya yang sedang di
pasar yang sangat ramai, kalimat
inilah yang didengar ibunya,“Si
Reka mate (mati).”Sementara
pesan aslinya,“Boan sate di si
Reka (Belikan sate untuk Reka).”
Reka yang sangat doyan sate itu
meminta adiknya menghubungi
ibunya untuk dibawakan sate
dari pasar. Ibunya dengan
cepatnya menganggap“sate”
sebagai“mate”karena dia
meninggalkan Reka sedang sakit
di rumah. Cerita ini menyebar
dengan sangat cepat ke seantero
kampung dan selalu membuat
orang tertawa.
Dalam keadaan sakit itu pulalah
Reka memutuskan tetap berlari
untuk sekolahnya. Kesehatan-
nya belum begitu pulih mulai
9. 9
dari latihan jelang kejuaraan
hingga di hari kejuaraan. Dia
hanya memakan satu kuning
telur saja penambah tenaga
di malam hari jelang lomba.
Dia berlari dan berlari. Jarak
10 kilometer ditempuhnya
tak lebih dari setengah jam.
Mari saya beritahu ke Anda:
lintasan larinya bukanlah
di dalam stadion, tapi di
jalan raya Pakkat-Dolok
Sanggul yang konturnya
berlembah berbukit. Di
beberapa titik tanjakannya
hampir mendekati 50 derajat.
Lagi-lagi dia membuktikan
diri jadi penguasa lintasan.
Dia mencatat rekor
mengagumkan di tingkat
kecamatan: pemegang lari
10 kilometer tujuh tahun
berturut-turut.“Aku sangat
bangga bisa membuat
sekolahku terkenal. Itulah
motivasi utamaku,”ujar Reka.
Dia dicetak sempurna oleh
alam Pakkat. Setelah pulang
sekolah, dia akan berlari-lari
ke ladang. Dari ladang dia
akan membawa sekarung
padi kering.”Ibunya sangat
membanggakan Reka.“Dia
pekerja hebat. Dia sangat
rajin. Dia sangat suka nyuci,
nyetrika, dan bekerja di
sawah.”Tapi, lanjut ibunya,
“dia tidak suka cuci piring.”
Adakah faktor lain yang
membuat kaki dan nafasnya
sangat kuat?“Aku suka
berenang. Aku juga jago
menyelam,”terang Reka.
Setelah namanya
diumumkan sebagai
pemenang, dan setelah dia
mengantongi hadiah lomba
itu, tanpa ragu dia berjalan di
tengah keramaian perayaan
17-an sembari mencari
tukang sate. Persis seperti
Sukarno yang makan sate
setelah memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia,
Reka memerdekakan dirinya
di hari kemerdekaan itu
menyantap sate sepuasnya.
Apakah tahun ini dia kembali
akan mendapatkan hadiah
lomba dengan begitu akan
menyantap sate lebih banyak
lagi? Yahh... Tahun ini takdir
kembali memanggilnya. Bila
tahun lalu dia sedang sakit
saat berlomba dan menjadi
juara, tahun ini dia tetap
menguasai lintasan namun
dengan jarak antara dia dan
pelari di belakangnya terpaut
lebih jauh dari tahun silam.
Reka Pane |
Credit Photo:
Dian Purba
11. 11
Adalah baik jika
sesaat sebelum
menyambut
Komuni umat
menundukkan
kepala, tanda
penghormatan
kepada Kristus
Tuhan yang hadir
di dalamnya
“
Pada edisi Juli lalu, telah dipaparkan
beberapa pelanggaran dalam bagian-
bagian Misa Kudus. Dalam edisi bulan
ini, Pembaca bisa mendapati kelanju-
tan dari sorotan tentang pelanggaran
dalam penerimaan Komuni.
3. Umat yang menerima Komuni
dengan tangan, tidak melaku-
kan sikap penghormatan sebelum
menerimanya.
Seharusnya:
PUMR 160 ….Tetapi, kalau menyambut
sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum
menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan
mereka menyatakan tanda hormat yang
serasi, sebagaimana ditentukan dalam
kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah baik jika sesaat sebelum
menyambut Komuni umat
menundukkan kepala, tanda
penghormatan kepada Kristus Tuhan
yang hadir di dalamnya.
4. Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS 93 Patena Komuni untuk umat
hendaknya dipertahankan, demi
menghindarkan bahaya jatuhnya hosti
kudus atau pecahannya.
5. Umat tidak menjawab “Amin” pada
perkataan Romo, “Tubuh Kristus”
sebelum menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR 287 Kalau komuni dua rupa
dilaksanakan dengan mencelupkan
hosti ke dalam anggur, tiap penyambut,
sambil memegang patena di bawah
dagu, menghadap imam yang
memegang piala. Di samping imam
berdiri pelayan yang memegang bejana
kudus berisi hosti. Imam mengambil
hosti, mencelupkan sebagian ke dalam
piala,
memperlihatkannya kepada
penyambut sambil berkata: Tubuh dan
Darah Kristus. Penyambut menjawab:
Amin,lalumenerimahostidenganmulut,
dan kemudian kembali ke tempat duduk.
6. Petugas Pembagi Komuni Tak Lazim
(atau dikenal umat dengan istilah
pro-diakon) membagi Komuni, Pastor
malah duduk.
Seharusnya:
RS 154 Seperti sudah dinyatakan,
“pelayan yang selaku pribadi Kristus
dapat melaksanakan sakramen Ekaristi,
hanyalah Imam yang ditahbiskan secara
sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu,
istilah “pelayan Ekaristi: hanya dapat
diterapkan pada seorang Imam. Di
samping itu, berdasarkan pentahbisan
suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk
memberi komuni adalah Uskup, Imam
dan Diakon….
RS 151 Hanya kalau sungguh perlu,
boleh diminta bantuan pelayan-pelayan
tak lazim dalam perayaan liturgi.
Permohonan akan bantuan yang
demikian bukannya dimaksudkan demi
menunjang partisipasi umat, melainkan,
karena kodratnya, bersifat pelengkap
dan darurat…..
RS 152 Jabatan- jabatan yang semata-
matapelengkapinijangandipergunakan
untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh
para Imam demikian rupa…..
RS 157 ….Tidak dapat dibenarkan
kebiasaan para Imam yang, walaupun
hadir pada perayaan itu, tidak membagi
komuni dan menyerahkan tugas ini ke-
pada orang-orang awam.
12. 12
KOLOM “RUMAH JOSS” | PENGURBANAN & PELAYANAN
Yoseph Tien
Wakil Ketua KomIsi
Kepemudaan di
Keuskupan Agung
Medan
14
Pengurbanan & Pelayanan
Pengurbanan dan pelayanan
merupakan dua kata yang sangat
akrab dengan kehidupan kita sehari-
hari. Kata-kata ini sering kita gunakan,
seringkitapakai.Hariini,sejakbangun
tidur sampai saat saya membuat
catatan ini, kata pengurbanan dan
pelayanan seperti terngiang-ngiang
di teliga saya. Sempat saya berpikir,
apakah saya mengalami positive
auditory halusination? Hehehe….
Mari kita cermati makna dari dua
kata tersebut, menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, terbitan
Departemen Pendidikan Nasional -
Balai Pustaka, 1990.
Kurban
Pengurbanan berasal dari ‘kurban’.
Berikut ini beberapa makna kata
‘kurban’.
1) Persembahan kepada Tuhan
(seperti biri-biri, sapi, unta yang
disembelih pada hari Lebaran Haji).
Contoh kalimat: Mereka menyembelih
kerbau untuk kurban.
2) Pujaan atau persembahan
kepada dewa-dewa. Contoh kalimat:
Setahun sekali diadakan upacara
mempersembahkan kurban kepada
Batara Brahma.
‘kurban misa’ mengandung makna:
upacara mempersembahkan roti suci
dan air anggur.
‘berkurban’ mengandung makna:
mempersembahkan kurban.
‘mengurbankan’ mengandung
makna: mempersembahkan sesuatu
sebagai kurban: lembu, buah-buahan,
dsb.
Layan
Pelayanan berasal dari kata ‘layan’.
Berikut ini beberapa makna kata
‘layan’.
‘melayani’mengandung makna:
1) Membantu menyiapkan
(mengurus) apa-apa yang diperlukan
seseorang.
2) Menerima (menyambut) ajakan
(tantangan, serangan, dsb).
3) Mengendalikan: melaksanakan
penggunaannya (senjata, mesin, dsb).
‘melayankan’ mengandung makna:
menghidangkan (menyajikan,
menyuguhkan) santapan (minuman).
‘layanan’mengandung makna: perihal
atau cara melayani.
‘pelayanan’mengandung makna:
1) perihal atau cara melayani;
2) servis, jasa;
3) kemudahan yang diberikan
sehubungan dengan jual beli barang
atau jasa.
Dalam kehidupan kita sehari-hari,
seringkalikitamelakukanbanyaksalah
kaprah terkait dengan pengorbanan
dan pelayanan.
13. 1315
Beberapa salah kaprah terkait
pengorbanan:
1) Seorang gadis yang rela
mengorbankan tubuhnya bagi sang
kekasih hanya karena cinta
2) Seorang professional rela
mengorbankan keyakinannya demi
profesi dan kehormatan
3) Pengorbanan yang dilakukan
dengan motif demi uang, jabatan,
nama baik, penghormatan, pujian dan
penghargaan
Beberapa salah kaprah terkait
pelayanan:
1) Orang yang tugas utamanya
memang melayani tetapi selalu minta
dilayani.
2) Orang yang melayani dengan
memandang warna baju, warna bulu,
warna kulit juga warna isi kantong;
3) Orang yang melakukan pelayanan
dengan motif uang, jabatan, nama
baik, penghormatan, pujian dan
penghargaan
Panggilan tugas kenabian siapapun,
untuk melakukan pelayanan dan
pengorbanan secara bertanggung
jawab, dewasa, pada tempatnya
dalam tataran kehidupan sosial kita,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, hemat saya memang
sedang berada pada titik kritis. Inilah
tantangan bagi kita sekalian.
Saya jadi teringat dengan kata-kata
Bunda Teresa berikut ini:
“Bila engkau baik hati, bisa saja orang
lain menuduhmu punya pamrih. Tapi
bagaimanapun, berbaik hatilah. Bila
engkau jujur, mungkin saja orang lain
akan menipumu, tapi bagaimanapun
berbuatlah jujur. Kebaikan yang
engkau lakukan hari ini, mungkin
saja besok sudah dilupakan orang,
tapi bagaimanapun berbuat baiklah.
Bagaimanapun, berikan yang terbaik
dari dirimu. Pada akhirnya engkau
akan tahu, bahwa ini adalah urusan
antara engkau dan Tuhanmu. Ini
bukan urusan antara engkau dan
mereka.”
Sahabat Joss Yang Terkasih…
Mari tebarkanlah senyuman manis,
dengan pengorbanan dan pelayanan
yang harmonis demi hidup yang
berbuah manis. Semoga saya tidak
sedang berhalusinasi dalam refleksi
ini. Salam Joss...!
---------
Credit Photo: Ananta Bangun
14. 14
OPINII | POLITIK
CELOTEH MERDEKA
DI RUANG PUBLIK
M
erdeka!……merde -
k a ! … … m e r d e k a !
Sambil berteriak ia
mengacungkan bogemnya.
Orang-orangyangdihadapinya,
ribuan, diam seribuh baha-
sa, tertunduk, membisu. Ia
berteriak lagi: “Merdeka…
merdeka…merdeka,” suaranya
membahana, membela jagat
mengejar angkasa. Lagi-lagi,
tidak ada tanggapan. Diam.
Merokok. Tak mau tahu.
Ia geram : “Mengapa kalian, yang
di arah mata angin sana, berteriak
merdeka saja takut?” Suaranya
lantang bergetar, sambil menunjuk
ke arah salah satu mata angin.
“Saudara-saudaraku, supaya kamu
tahu, kamu sudah merdeka, sudah
merdeka,sudah merdeka; mengapa
mengekspresikan melalaui kata-
kata saja , kamu tidak bisa. Ini tanda
apa ini….,” ia mengerutu. Massa
yang di hadapnya senyum-senyum
memperhatikannya, menikmati
geramnya.
“Apakah mereka takut berteriak
merdeka? Belum tentu! Apakah
mereka segan mengekspresikan
dengan raut wajah yang
berbinar-binar?Tidak juga! Lalu apa?”
Ia bertanya dalam diri. Lalu Dari arah
kerumunan massa itu, terdengar
suara-suara, mmmmmmmmmm,
seperti lebah. Samar-samar
terdengar: “ah retorika……
panggung doang……… ko itu itu
saja, sandiwara saja. Dari panggung
kehormatan ‘hatinya’ menangkap
sesuatu dari gelagat massa itu.
Source: http://www.seasite.niu.edu/indonesian/percakapan/indonesia/suharto/pasikom-20mei98.jpg
RP Hubertus Lidi, OSC
hubertuslidiosc@gmail.com
15. 15
Kalau kita
melihat bahwa
tantangan dan
kesulitan itu
adalah beban,
maka kita
menjadikan
kemanusian
sejajar dengan
keledai. Kita
‘mendudukan’
di atas bahu
kemanusiaan kita,
secara terpisah,
bukan lagi bagian
dari kemanusiaan
itu.
“
Ia turun menuju alun-alun publik,
menerobos jauh ke dalam; berdesak –
desakan, berhimpit-himpitan, sambil
menyendengkan telingahnya, ke
mulut orang- orang itu. Ia mengitari
busana-busana kusam, yang tercabik, di
lenganya, bahunya. Tidak di pantatnya,
karena bagaimanapun sederhananya,
mereka tetap menjaga kehormatan.
Ia membaur dalam aroma-aroma
tubuh petani, kaum buru, pengemis
jalan dan jutaan para pencari sesuap
nasi. Dari sana ia insaf. Mereka be-
lum merdeka, masih berjuang dan
berjuang, demi perutnya juga perut dan
masa depan anak-anaknya. Terhimpit
dalam keniscayaan, ingin tapi tak
berdaya. Dibungkam oleh sesama
warga kemerdekaan yang punya uang,
kedudukan, dan bedil.
“Sohib sohib sekarang saya mengerti
mengapa kalian tidak berminat
berteriak merdeka, kata yang mahal
dan mengandung sejuta makna itu.
Aku mengerti…….aku mengerti!”
“Alahhhhh, baru nongol, sok tahu tahu,
pasti ada maunya,” kata mereka, agak
mencibir! “Benarkan….benarkan!”
mereka terus mendesak. Ia tetap berdiri
dalam kerumunan itu, menganguk-
angguk. Serius mendengar, sekali-sekali
ia menggoreskan kalimat-kalimat yang
tidak jelas dalam note booknya. Sedang
menampung aspirasi, bibirnya bergerak
gerak. “Ya sohib-sohib saya mengerti,
dan berusaha menampung keluh – ke-
sah kalian.”
“Walahhhhhhhhh, pake tampung
segala, yang dibawanya pasti karung
kosong untuk menampung dan
mengisi aspirasi kita. Dompetnya juga
pasti kosong, mana mau ‘barteran’
dengan suara kita,”tanggap massa agak
mengejek.“Pak kami butuh karung yang
ada isi, berassssssssssss. Kami butuh
dompet yang ada isi, uanggggggggggg,
massa melanjutkan celoteh ejekan-
nya. “Semakin jelas, pasti ada maunya,”
massa mulai berani mencercanya! “Ya
tidak apa apa, boleh kamu marah saya,
keluarkan unek-unekmu, aku akan
memprosesnya dan menemukan jalan
keluarnya, asal ………….”“Asal apa……
pak?”Tanya mereka. “Ah saya tidak akan
memberitahukan sekarang, kamu lagi
emosi, nalarmu tidak jalan. Kurang pas
kalau saya memberikan penjelasan
kepada orang yang hanya mempunyai
naluri saja, tanpa nalar. Pada saat yang
tepat, akan saya jelaskan,” katannya
dengan tenang. “Pak , biar pak tidak
memberitahukan alasannya, tetapi
sebenarnya alasanya sudah jelas, agar
kami memilihmu!” “Ah bukan soal itu,
ngaco kamu. Saya tahu kamu berada
dalam ‘kesesakan’ membutuhkan yang
namanya kemerdekaan, biar hidup
kamu lebih manusiawi.
Mengapa saya katakan lebih
manusiawi, sebenarnya saya bisa
mengunakan kata- kata, agar beban
hidupmu semakin ringan?” Ia bertanya
kepada beberapa orang di sampingnya.
“Tidak tahu, pak,” jawab mereka. Ia
memberikan penjelasan: “Maksudku
selama ini banyak bebanmu dipundak
kehidupanmu, jadi kamu merasa mirip
Keledai, keledai beban. Jadi kalau saya
menggunakan istilah biar bebanmu
semakinberkurang,berartiorientasisaya
kepadamu, terarah kepada bebannya
saja, tetapi ‘perspektif’ saya terahadap
kamu, tetap keledai, yang siap memikul
beban berikut. Ya singkatnya kamu
jangan mengkeledaikan diri. Kalau
saya menggunakan istilah ‘manusiawi’,
berarti memang secara esensial, kamu
manusia, sama dengan saya. Rintangan,
tantangan, dan kesulitan itu wajar, dan
merupakan bagian dari roda kehidupan
ini, bukan beban; biar kita lebih kre-
atif, inovatif, dan tegar meramunya.
Setiap manusia dengan anugerah indra
keenamnya, maksud saya intuisi, harus
mampu melihat bahwa di balik tantan-
gan dan kesulitan itu selalu ada peluang
dan kesempatan. Bahasa teologisnya: Di
balik Salib ada Kebangkitan.
Tantangan dan kesulitan itu, sebagai
pemicu agar kita bergerak maju, meraih
peluang dan kesempatan itu. Kalau kita
melihat bahwa tantangan dan kesulitan
itu adalah beban, maka kita menjadikan
kemanusian sejajar dengan keledai. Kita
‘mendudukan’diatasbahukemanusiaan
kita, secara terpisah, bukan lagi bagian
dari kemanusiaan itu. Tidak usah heran
litani kehidupan yang kalian daraskan
bernada keluh dan kesah saja, bukan
upaya dan penemuan baru.”
16. 16
Mereka, mengangguk-angguk, dan
insaf bahwa proses ‘Pemerdekaan’ mesti
mulai dari pembebasan akan paham,
definsi, penilaian, dan perspektif yang
membelenggu diri. “Ya tapi bagaimana
dengan realitas kesulitan seperti: tidak
tahu makan apa hari ini, biaya sekolah,
adat, dan sumbangan ini itu, termasuk
yang berkeliaran di jalan raya yang sudah
menjadi bagian kehidupan kami.”
Mereka bertanya. “Ya itu benar, lagi-lagi
ini dampak dari ‘pemahaman kermerdaan’
yang keliru juga, dan celakanya terlanjur
menjadi tabiat. Mahkluk manusia jenis
ini, dengan ‘akal bulusnya’ merelativir
segala-galanya. Dia yang seharusnya salah
menjadi benar, dan sebaliknya yang benar
disalahkan. Atribut-atribut ‘rasa malunya’
sudah rontok. Jumlah orang-orang macam
ini terus bertambah, tampil di Koran atau
di TV dengan senyum ramah pembenaran
diri,”sejenak Ia berhenti, untuk berdehem.
“Sohib-sohib saya mau melanjut-
kan lagi…….Manusia yang akal bu-
lusnya seperti itu, tadi pada dasarnya
menafisirkan kemerdekaan berarti ber-
buat seenak bokongnya. Contohnya ban-
yak dari mereka yang ‘membuncitkan
perutnya’ dengan jatah yang seharusnya
menjadi hak orang lain. Lebih heboh
lagi ‘buncitnya berjemaah’ sehingga
proses untuk menangkap, mengadili
dan memenjarahkan mereka men-
jadi lebih kompleks dan makan waktu
yang lama. Seenak bokongnya kan? Ya
kalau kita melihat dengan kaca mata
kemanusiaan, kasihan juga! Mereka
belum merdeka, membiarkan harga diri
kemanusiannya, dkuasai dan dikukung
oleh keinginan-keinginan yang bukan
haknya. Zat zat rasa malu mereka men-
jadi tawar oleh nikmat dan nafsu. Mereka
hanyalah seonggok daging menta yang
tak punya rasa, yang menyebarkan aroma
derita bagi dirinya dan orang lain. Manusia
yang bernurani hewani, di jaman google
ini.”
“Bagaimana dengan saudara? Jangan-
jangan saudara“melempar batu sembunyi
tangan,” tanya beberapa orang. “Ya……
ya, aku….. masih belum terlalu parah,
kategori baik. Aku akan mencoba tidak
mengikuti arus orang-orang itu. Ah aku
masih mau bicara tentang ada ada ga-
gasan untuk mengembangkan kembali
budaya ‘rasa malu’ jadi kalian jangan ber-
tanya dulu.”“Okey bercelotehlah! Para So-
hib, kemerdekaan yang liar, alias menem-
bus koridor etika, moral, dan tata krama
bisa , membentuk watak dan kepribadian
yang ‘tuna sosial’. Ia menjadi pribadi yang
egois, dan tidak tahu malu. Ini sebenarnya
musibah, yang sedang melanda bangsa
kita. Sejak jaman Sriwijaya dan Majapahit,
seantero jagat telah mengenal kita seba-
gai bangsa yang bertatakrama. Dari balita,
boca-boca mereka dididik oleh orang tu-
anya yang bertatakrama juga.”
Warisan yang tak ternilai harganya, kini
mulai hilang secara pelan dan pasti, den-
gan penghayatan yang keliru terhadap‘life
style’ post modern. Seiring dengan ber-
tambahnya jumlah ‘asoi man –wati.’ Pent-
ing nikmat! Ya waktu mendengar bahwa
ada upaya bangsa untuk mengembalikan
budaya rasa malu, terutama kepada gen-
erasi penerus, baik juga gagasan itu. Per-
tanyannya adalah siapa yang mendidik
mereka?
Mari kita, para orator kawakan, politisi-
politisi, pengkhotba ulung, dan sejuta
penggerak massa, serta kawakan-kawakan
lain, yang tidak pernah absen muncul
di media masa, baik main stream me-
dia maupun new media, kitalah orang
pertama yang harus mengembalikan rasa
malu dalam diri dan Keluarga serta fam-
ily kita. Para pendukung dan massa kita,
akan berlajar dari gelagat kita yang baik,
dan menyebarlah virus rasa malu itu se-
hingga kita kembali manusia normal,
tahu diri. Kita menjadi orang merdeka,
untuk berbuat baik, membebaskan diri
dari topeng kepalsuan hidup. Merdeka
berbuat baik ini juga merupakan arahan
dasar agama kita. Mari kita wariskan,
sekaligus mengembalikan jaman kejayaan
tatakrama bangsa yang mau hilang dari
peredaran negara kita. Merdeka…… be-
bas berekspresi, menampakan kebaikan
kepada sesama.
Source: http://pre15.
deviantart.net/4c92/th/pre/
i/2010/308/b/7/the_pup-
pet_master_by_mini_zilla-
d325mdn.jpg
18. 18
SASTRA | SINTA
19
Sinta
Sinta selalu bersemangat
menceritakan ladang ke
Ganup. Itu semata karena
di Tarutung, kata Ganup,
dia hanya disibukkan
melayani orang-orang yang
makan di restoran mereka.
“Bapak sudah mempekerjakan
aku di sana semenjak kelas 2 SMP,”
ujarnya ke Sinta. Seperti hari itu Sinta
juga cerita tentang tahap-tahap
mangordang[vi]. Sehari sebelum man-
gordang ibunya sudah menumbuk
beras menjadi tepung. Pagi-pagi benar
Sinta sudah dibanguni memaruti kelapa.
Kelapa terparut itu kemudian dicampur
dengan tepung. Kalau sudah selesai
giliran bapaklah memainkan peran.
Kepalan tangan bapak yang besar sangat
cocok dijadikan cetakan pohul-pohul[vii].
Setiba di ladang sebelum memulai
mangordang kue ini nanti akan dipecah
dan disiramkan ke lahan yang hendak
diordang.“Mama sering marah karena
kue itu kami makan diam-diam tanpa
sepengetahuannya,”kenang Sinta.
Begitulah. Setiap kali mereka berjalan
bersama setiap kali itu pula cerita-cerita
mengalir deras diceritakan. Tak ada
habis-habisnya. Di sepanjang jalan itu, di
cerita sebanyak itu, tanpa mereka sadari
telah tumbuh benih-benih rasa. Mereka
menyadarinya ketika teman-teman
mereka yang lain menyorak-nyoraki
mereka.“Hei Romeo-Juliet, jalannya jan-
gan seperti keong.”Saat itu mereka ber-
dua berpandang-pandangan sebelum
bersama-sama tersipu malu. Bahkan
pernah Togu membuat mereka tersentak
seakan-akan tersengat arus listrik.“Kena-
pa kalian tidak memutuskan berpacaran
saja? Cocok. Kalian dua sangat cocok.”
Tidak lama setelah peristiwa itu mereka
sudah berjalan bergandengan tangan.
Mereka berpacaran. Sinta tak cukup
kuat menolak ajakan Ganup.“Aku tak
ingin sendiri saja memelihara bunga-
bunga itu. Aku tak cukup kuat menyirami
mereka setiap sore. Maukah kamu
bekerja bersamaku dan menjadi pemilik
bersama kebun itu?”Sinta sesungguhnya
mengerti ajakan itu. Dia sudah pernah
mendengar kalimat-kalimat itu di sebuah
sinetron.
“Aku tidak mengerti.”
“Iya, kebun. Ummm…,”Ganup
memain-mainkan jemarinya pertanda
kegugupannya.
“Ummm…,”
“Ummm, pacar. Aku bersedia menjadi
pacarmu,”seru Ganup memberanikan
diri.
***
Langkah-langkah Sinta sepanjang enam
kilometer ke sekolah dibaluti perasaan
tak menentu. Dia tahu pagi ini Ganup
pasti tidak akan menemaninya jalan
kaki. Tiap kali mereka bertengkar selalu
saja kekasihnya itu menunggang kuda
besinya. Sinta hapal betul tingkahnya.
Dari jarak sekitar 20 meter, klakson
motornya pasti sudah memekakkan.
Hampir-hampir tanpa henti jempol
kanannya memencet tombol klakson
di stang kereta. Begitu tepat memapasi
Sinta, Ganup akan memain-mainkan
gasnya.“Kalian bertengkar lagi?”tanya
Togu sahabatnya itu suatu pagi.
Sinta tidak berani menyalahkan
siapa pun, terlebih Ganup. Tapi dia
sesungguhnya sangat berharap
kekasihnya itu menyisakan sedikit
pengertian di hatinya. Jalinan kisah
(bagian II)
Dian Purba
purbadian@gmail.com
19. 19
mereka barulah sebentar, belum lagi seumur
jagung. Pengertian. Pengertian saja yang
diharapkannya.“Pengertian seperti apa?
Apa Tuhan sudah tidak begitu perkasa lagi
di depan orangtuamu? Apa ibumu tidak
mengerti itu?”bentak Ganup minggu lalu.
Kisah demikian sudah berulang beberapa
kali. Bagi Ganup tindakan ibu Sinta melarang
mereka berpacaran sudah berlebihan.
Sudah melewati keperkasaan Tuhan.“Jangan
libatkan ibuku,”Sinta membela diri.“Sudah
kubilang, inilah aku. Aku anak mamakku.”
Sinta paham betul keluhan Ganup karena
itu dia menunduk tak berani menantang
mata Ganup. Ingin dia memecahkan
dilema ini dengan menjalin asmara
mereka secara sembunyi-sembunyi. Setiap
kali dia memikirkan itu setiap kali pula
kebingungannya memuncak. Dia tidak akan
menyalahkan Rima yang telah melaporkan
setiap detil kisahnya dengan Ganup ke
ibunya. Dia tahu Rima takkan sudi melakukan
itu tanpa dipaksa ibunya. Dan memang Rima
sudah minta maaf berulang kali untuk itu.
Tak paham dia kenapa cinta mesti
ditunjukkan seterang-terangnya ke semua
orang. Tidakkah hati itu tersembunyi,
pikirnya. Ketersembunyian cinta baginya
tidak lebih dari wujud cinta itu sendiri. Dan
pagi ini dia sudah memilih pasti: cinta yang
pantas untuk diterang-terangkanlah yang
mesti dimunculkan. Itulah cinta ibunya.
“Cukuplah ibu yang menanggung begini.
Bapakmu lebih mencintai tuaknya. Belum
tiba waktumu menimbang cinta.”Ibunya
menggerutu semalam.
Selepas sekolah Sinta tidak berontak
tangannya ditarik paksa ke belakang satu
gedung. Inilah saat paling tepat baginya
menguji cinta. Ganup yang sangat lembut di
awal-awal pacaran mereka kini beralih rupa
seperti apporik di ladangnya. Gelegar suara
Ganup terbang bebas menghantam hati
Sinta.“Aku menyerah. Sudah berakhir.”Sinta
menghantam balik suara apporik itu.“Antar
aku pulang.”Sinta memaksa.
Hari sudah sore. Awan-awan merah su-
dah berarak. Sinar mentari tidak seganas
tadi siang. Mereka melangkah perlahan
melewati ruang-ruang kelas, kantor guru,
lalu gerbang sekolah. Warung tempat
Ganup menitipkan kereta sudah sepi. Tak
sampai habis lima jari tangannya jumlah
Sinta pernah diboncengnya. Sinta merasa
keseimbangannya buyar di atas kereta.
“Jangan, jangan goyang,”perintah Ganup
tiap kali berboncengan.
Ganup segera menancap gas. Dirasakannya
jalan hot mix yang baru saja selesai
diaspal bulan lalu itu lahan paling tepat
melampiaskan amarah. Sinta tidak hanya
hilang konsentrasinya lalu bergoyang, dia
berteriak. Dia minta diturunkan.
Tanpa Sinta Ganup kerap memacu
tunggangannya itu di titik kecepatan
tertinggi. Jalan yang melintasi kampung itu
sesungguhnya jalan lintas provinsi. Namun,
semenjak jaman kakeknya lalu ke ayahnya
hingga ke generasi berikutnya selalu
saja jalan itu digenangi air setelah hujan
turun. Itulah pula yang membuat hampir
semua kereta di kampung itu tidak lagi ada
berwajah mulus. Dan hari-hari terakhir ini
armada-armada itu dijual untuk diganti yang
baru. Jalan sudah mulus seperti daun pisang.
Sinta merasa dirinya sudah mau jatuh
saja. Barangkali dia sudah setengah sadar.
Sementara Ganup semakin beringas saja.
Melintas di benaknya pertengkaran barusan.
Dan dia tidak akan menyesali diri karena
sudah berlaku kasar.“Ganuuupppp…..”
teriak Sinta. Sangat keras. Di tikungan itu
pertengkaran mereka selesai. Kereta itu
terpelanting meninggalkan mereka berdua
di ladang kakao yang lumayan jauh dari
sudut jalan. Sinta meninggal seketika. Dahan
kakao yang baru saja ditebas itu menyambut
kepala Sinta yang tertancap. Ganup tidak
bisa lagi mendengar keramaian orang.
Nafasnya sudah di hujung hidung. Gelap.
[i] Ladang darat | [ii] Burung kecil pemakan padi.
Kepalanya berwarna putih dan bagian tubuh yang
lain agak kemerah-merahan | [iii] Patung yang dibuat
dari kayu dan dipakaikan baju sehingga sangat mirip
dengan manusia. Patung yang satu dengan patung
lainnya dihubungkan dengan tali. Biasanya di patung
itu dipasangkan bunyi-bunyian yang menghasilkan
suara bising sehingga ketika talinya ditarik serempaklah
bunyi itu membahana | [iv] Pondok kecil di ladang | [v]
Memetik padi menggunakan ari-ari | [vi] Menanam padi
di hauma menggunakan kayu lurus yang diruncingkan
di bagian bawahnya. | [vii] Kue beras mentah yang cara
pembuatannya cukup dengan dimasukkan ke kepalan
tangan lalu mengggemgamnya erat-erat untuk mem-
bentuk cetakan
20
20. 20
ILHAM SEHAT | MATA SEHAT
http://healthierfoodscom.c.presscdn.com/wp-content/uploads/2013/09/healthy-vision.jpg
21. 21
YUK, MILIKI
MATA SEHAT IDAMAN
M
ata merupakan organ pada
tubuh kita yang sangat
berharga. Denga memiliki
mata yang sehat, maka kita dapat
melihat keindahan dunia beserta
isinya. Untuk itulah, kita harus
menjaga dan merawat kesehatan
mata agar tidak mengalami
berbagai penyakit atau masalah
kesehatan lainnya seperti rabun
jauh, presbiopi, miopi maupun
hipermetropi.
Banyak sekali penyakit mata yang
mungkin tidak asing di telinga
kita seperti miopi atau rabun jauh,
presbiopi atau tidak dapat melihat
benda yang berjarak jauh maupun
dekat, katarak, hipermetropi atau
rabun dekat, maupun buta warna
yang tidak dapat membedakan aneka
warna.
Berbagai penyebab penyakit tersebut
dapat menimpa mata anda. Seperti
miopi yang banyak menimpa
kalangan pelajar dan mereka yang
sangat hobi dalam membaca buku.
Untuk lebih memahami dan mengerti
cara menjaga kesehatan mata yang
benar.
Berikut ini beberapa tips mudah
menjaga kesehatan mata anda :
Perhatikan Jarak Membaca Buku.
Usahakan membaca buku pada jarak
yang ideal. Jarak ideal yang dimaksud
yaitu membaca buku pada jarak 30
cm dari buku ke mata. Hal ini untuk
mencegah penyakit mata seperti
miopi atau rabun dekat.
Jangan Sambil Tiduran.
Usahakan tidak membaca buku atau
teks apapun dalam kondisi sambil
tiduran. Ini juga dapat membuat
kesehatan mata terganggu seperti
dapat terkena miopi.
Pencahayaan Yang Cukup.
Jangan menggunakan peneran-
gan terlalu redup ketika belajar
atau membaca apapun itu, karena
penerangan yang kurang dapat
menganggu kesehatan mata.
Istirahatkan Mata.
Usahakan mengistirahatkan mata,
ketika sudah terlalu lama di depan
layar komputer atau laptop saat
mengerjakan tugas atau aktivitas
apapun di komputer atau laptop. Ini
juga sangat penting untuk menjaga
kesehatan mata anda.
Jangan Kucek Mata.
Usahakan tidak mengucek mata,
ketika tangan dalam keadaan kotor
atau habis memegang sesuatu
benda. Karena tangan yang kotor
dapat menginfeksi organ mata yang
akan berakibat sangat buruk untuk
kesehatan mata anda.
Kedipkan Mata.
Usahakan mengedipkan mata dengan
intensitas agak ditambah, pada saat
fokus melihat sesuatu terlalu lama
seperti komputer ataupun laptop.
Makanan Untuk Mata.
Usahakan memakan makanan yang
sangat baik untuk kesehatan mata.
Dalam hal ini, wortel merupakan jenis
makanan yang paling baik untuk
kesehatan mata, karena banyak
mengandung vitamin A yang sangat
baik untuk kesehatan mata.
23. 23
LAPO AKSARA
Ananta Bangun
anantabangun.com
Redaktur Tulis di
Lentera News
29
MENGHALAU SINGA
Singa. Bagi para penikmat
Safari di Afrika adalah lumrah
mendapati karnivora ganas
ini. Umumnya tim penjelajah
tersebut mengitari alam terbuka
tersebut dengan menaiki mobil
jip. Keberadaan di atas kendaraan
inilah yang membuat mereka
tidak diterkam langsung oleh
singa. Mengapa?
Dalam sudut pandang singa, insan
pelintas alam dan mobil tersebut
tampak sebagai satu badan. Tidak
terpisah, sebagaimana manusia
melihatnya. Namun, jika satu atau
beberapa penikmat Safari turun dari
mobil; maka singa melihatnya telah
terpisah dari benda besi padat itu.
Hewan itupun lalu tergerak untuk
memangsa. Demikian Presiden
Direktur Transjakarta, Steve Kosasih
-- dalam satu terbitan Harian
Kompas -- menuliskan pengalaman
sahabatnya.
Kisah tentang pandangan singa
mengenai kesatuan mobil dengan
turis Safari, menyiratkan ilham
terkait kesatuan. Inspirasi ini bukan
ihwal yang asing. Sedari kanak-
kanak dahulu, kita telah memahami
benda lemah seperti lidi akan kuat
bila disatukan dengan jumlah
banyak. Bukankah pemahaman
itu pula yang menyulut semangat
bapak bangsa kita dahulu dalam
melawan penjajah?
Rasa kesatuan uniknya tidak hanya
dilatari kesamaan. Ia justru kokoh
tatkala dirundung tekanan. Semakin
hebat tekanan tersebut, semangat
kesatuan itu pun kian bergelora. Ini
bisa kita dapati dalam pengalaman
tengah terancam, sebagaimana
menghadapi singa di atas. Ataupun
tatkala bencana (alam) menerpa.
Tidak sedikit insan yang turut
berduka saat mengetahui para
saudaranya tengah menghadapi
bencana. Wujud kesatuan dan
kepedulian tersebut bisa beragam.
Baik memberi bantuan materiil,
sumbangsih tenaga, atau bahkan
berupa doa yang tulus untuk
kebaikan para korban tersebut.
Dalam kisah Alkitab, kita dapat
meneladani semangat kesatuan
para Jemaat Perdana yang
dikungkung kekuasaan Kaisar Nero,
kala itu. Walaupun menghadapi
siksaan berat, gelombang jumlah
Jemaat Perdana justru bertambah.
Pedang, terkaman hewan buas dan
api, bukan menghancurkan, justru
menginspirasi lebih banyak orang
pada masa itu untuk semakin yakin
pada Gereja.
Bagaikan emas, kesatuan mestinya
menjadi nilai kehidupan mulia
yang ingin ditempa terus-menerus.
Tantangannya ialah wajah zaman
yang diisi keegoisan, hidup nyaman,
dan pola fikir dapat hidup tanpa
insan lain, juga tanpa rasa takluk
pada Allah Yang Maha Kuasa.
Anti-tesis dari wajah zaman ini lah
yang menjadi penyulut semangat
dan kesatuan para Jemaat Perdana.
Demikian juga hendaknya terus
diwariskan pada kita untuk
menghalau‘singa-singa’pemangsa
kesatuan.
Image Source: http://hdwall-
papersfit.com/wp-content/
uploads/2015/02/african-
lion-hd-wallpapers.jpg