SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  23
Télécharger pour lire hors ligne
1
EDISI #17 AGUSTUS 2015
MERAYAKAN
AGUSTUS
Source: https://pendoasion.files.wordpress.com/2014/08/hut-indonesia.jpg
2
DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS
DENGAN DOA DAN DANA
Kunjungi kami di sini:
Bank Nasional Indonesia
Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy
/LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM
daftarisi
Tajuk Redaksi3
Telisik
4
7 Lentera khusus
10 Embun Katekese
12
Opini
20 Ilham sehat
Merayakan Agustus
18
Rumah Joss
14
Sastra
RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin
Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan]
Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107
Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com ,
beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news
REDAKSI
Korupsi Kini Menjadi Mode (II)
Pelanggaran Liturgi
Dalam Perayaan
­Ekaristi (bag. III)
Celoteh Merdeka
di Ruang Publik
­Pengurbanan &
Pelayanan
Sinta (bag. III)
23 Lapo Aksara
Menghalau Singa
3
Redaksi
3
TAJUK REDAKSI
Bulan Agustus merupakan momentum
­istimewa bagi Warga Negara Indonesia. Bulan
dimana kita merayakan Hari Kemerdakaan
Republik Indonesia. Sebab telah terlepas dari
penjajahan di masa silam.
Redaksi Lentera News juga hendak berbagi
g­agasan dan ilham yang lekat dengan ­makna
Hari Kemerdekaan ini. Untuk tidak melulu
­mengingatkan dendam penjajahan di masa
l­ampau. Namun, lebih kepada bagaimana kita
menyapukan warna baru di kanvas bangsa kita
ini.
Redaksi sungguh dilimpahi berkat, sebab
bung Dian Purba ikhlas kolom ‘Pollung’ - nya
­direlokasi ke ‘Lentera Khusus’. Kisah pelari ­nir-alas
dari ­Pakkat, Reka Pane, sungguh mengena
­dengan ­semangat Lentera bahwa setiap cerita
­mewariskan pesan moralnya dengan bingkai
­kisahnya masing-masing.
Siapa Reka? Mengapa kisahnya dalam
­merayakan Hari Kemerdekaan RI, juga bisa
menyampirkan nilai kehidupannya secara unik.
Bergegaslah ­menelusur kolom Lentera Khusus
­untuk­memuaskanrasapenasaranAnda,­sahabat
pembaca Lentera.
Tidak hanya bung Dian Purba yang ­mengakhiri
karya cerpennya dalam kolom ‘Sastra’,
p­ermenungan akhir Pater Hubertus Lidi OSC­
t­entang korupsi juga dapat disingkap dalam
­kolom khususnya di ‘Telisik’. Namun, Pater
­Hubert juga menyempatkan berbagi gagasannya
­tentang kemerdakan dalam edisi ini untuk kolom
‘Opini’.
Tidak setiap insan dapat menemukan
­kemerdekaan-nyasendiri.NamunRedaksi­Lentera
Newsmenyediakanwadahbagisetiapinsanyang
hendak berbagi gagasan dan kisah sebagaimana
para penulis di Lentera News.
Kami yakin, setiap rajut aksara dari insan yang
merdeka, tentu memuat nilai-nilai yang tak
ternilai harganya. Kita tidak mesti menjadi yang
teratas untuk membuat perubahan, namun apa
yang kita beri sebagai pencerahan bagi sesama.
Merdeka!!!
4
RP Hubertus Lidi, OSC
hubertuslidiosc@gmail.com
KORUPSI
KINI MENJADI MODE (II)
TELISIK | KORUPSI
K
ita harus akui bahwa Korupsi
itu bak virus yang sudah lama
berkembang, bahkan sebelum
jaman Zakeus sang Pemungut Cukai.
Virus itu siap menyerang siapa saja
dan kapan saja. Ga peduli ­agamanya,
kaum berjubah, ber jas, dan ­berjeans
bahkan kaum jelata. Virus ini siap
­mengembangkan sayapnya ke
­semua lini ­kehidupan. Korupsi tidak
­selamanya harus uang dan harta.
Korupsi yang sering kita lakukan dan
­kemungkinan besar tidak disadari
­sebagai korupsi, dan dilihat ­sebagai hal
yang ‘biasa-biasa saja’ ­adalah berkaitan
­disiplin waktu. Misalnya ­telat, ­tarik-ulur,
dan absensi kehadiran ­merupakan
­bagian dari korupsi waktu. Secara
­mentalitas menguntungkan ­secara
negatif salah satu pihak dan tentu
merugikan pihak yang lain. Kawanku
yang suka berseloro itu berkomentar:
Ya itu sih wajar, ­karena ­Indonesiakan
­penghasil Karet, jadi soal tarik-ulur ­waktu
itu ­sudah pasti.” ­“Maksudnya?” “ Wan,
soalnya, kala aku menggugatnya saat ia
­terlambat ­jawabnya ialah: ‘ah kau ­seperti
orang Barat saja!” “Ya….ya….repot, dan
­memprihatinkan, lagi-lagi ­Indonesia
­menjadi daerah ­endemi ­korupsi,”
­tanggapku serius.
Satu sisi orang-orang Indonesia ­dikenal
sebagai orang yang ­religiositasnya tinggi.
Orang agamais, bumi yang ­dihuni oleh
para alim-ulama. ­Sejak SD orang-orang
­Indonesia ­sudah ­biasa ­diperhadapkan
­dengan­ungkapan:­Berimandan­Bertaqwa.
Iman kaitan ­dengan ­bagaimana ‘saya’
­percayaakanAllah,danTakwa­bagaimana
‘saya’ ­menjalankan ­perintahNya dan
­menjauhi ­larangan-laranganNya. Anda
tentu ­sepakat, kalau saya mengatakan
5
bahwa Korupsi adalah perbuatan
yang dilarang oleh Agama.
Realitas ­bahwa Indonesia adalah
daerah endemi ­korupsi, tentu hal ini
sangat Paradoks, dalam arti: ­Ortodoksi
tidak sesuai, atau belum menjadi
­bagian dari ­Ortopraksis atau dengan
kata lain ajaran tidak sesuai dengan
perbuatan.
Kalau kita merujuk pada salah surat
dalam Alkitab: Iman tanpa perbuatan
adalah mati. Orang menjadi ­munafik,
secara lahiria nampaknya baik, soleh,
dan soleha tapi ‘mentalnya’ ­busuk.
Dalamhalini­Agama­bukannya­menjadi
cermintetapi­sebaliknya­dimanfaatkan
­sebagai topeng. Ibaratnya negara
agraris yang ­mengimpor beras dan
kedele dari ­negara lain. Apakah kita
yang ­religiositasnya tinggi harus
­mengimpor etika dan moral dari
­belahan dunia lain? Paradoks.
Rumah:TempatBelajarTidak­Korupsi
Korupsi itu pada prinsipnya merupa-
kan perbuatan memperkaya diri den-
gan mengambil bagian yang bukan
bagianya, mengambil hak orang lain.
Dampak dari perbuatan itu menim-
bulkan kerugian dan penderitaan bagi
orang lain. Mari kita merunut kembali
ke belakang, terutama saat-saat masih
di rumah asal kita; bersama orang tua
dan sank-saudara.
Saya yakin bahwa Iklim menghargai
hak orang, secara khusus terhadap
saudara-saudari di dalam rumah, pada
prinsipnya telah mendapat perhatian
semenjak masih dalam usia balita.
Pembinaan dasar agar menghormati
danmenghargaibagiandarioranglain
tentu sudah dilatih semenjak masih
berusia dini. Umpamanya: Merampas
‘bombon <sweets candy>’ adik atau
kakanya, baik secara langsung mau-
pun tak langsung pasti langsung di
tegur bahkan telinganya bisa ­dijewer
oleh orang tuanya.
Jangan-jangan para Koruptor itu
semenjak balita sudah biasa main
rampas-rampasan bombon adik atau
kakaknya dan berusaha kabur dari
jeweran orang tuanya.
Nilai-nilai hidup yang ­berbarengan
dengan pembaharuan mental di
­rumah, sejak dini diturun-alihkan
­kepada penghuni rumah adalah
­bersikap jujur mengakui kesalahan
danmempunyairasamaluatas­sesuatu
perbuatan yang tidak ­berkenan.
Pembenaran diri, tidak ada
­penyesalan, dan tidak ­­menunjukan
­gelagat malu merupakan
­pemandangan yang biasa yang
ditampilkan oleh para Koruptor yang
nongol di Media massa, baik cetak
maupun elektrik. Jangan-jangan ­sejak
kecil rasa malunya sudah rontok.
Kawanku mengusulkan:Wan, ­sebelum
duduk di kursi kekuasaan baiklah
kamu terapi kembali rasa malumu,
biar ada budaya malumu, kalau tidak
nanti main hantam tanpa tata-kromo,
alias main serobot saja.”“Benar juga!”
Mari kita benahi mentalitas kita, mu-
lai dari diri, rumah, paguyuban profan
dan peribadatan. Yang pasti dampak
perbaikan itu akan mempengaruhi
baik atas kehidupan.
Say no to Corruption sebagai iklan
sudah banyak dipertontonkan secara
visual yang penting adalah ­bagaimana
iklan itu menjadi darah dan ­daging
anak bangsa ini, dan melahirkan
­sebuah generasi yang tidak korup.
Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com
Wan, ­sebelum duduk
di kursi ­kekuasaan
baiklah kamu
­terapi kembali rasa
­malumu, biar ada
budaya malumu,
­kalau tidak nanti
main hantam tanpa
tata-kromo, alias
main serobot saja
“
6
RP Hubertus Lidi, OSC
Pemimpin Umum/ Redaksi
Ananta Bangun
Redaktur Tulis
Jansudin Shemy Saragih
Redaktur Foto
Segenap Keluarga Besar
Majalah LENTERA News
Turut Bangga Mengucapkan:
DIRGAHAYU
REPUBLIK INDONESIA
KE- 70
[ 17 Agustus 2015 ]
7
LENTERA KHUSUS | HUT KEMERDEKAAN RI
MERAYAKAN
AGUSTUS
B
ilaAgustussudahmenghampiri,diatahudiaakan
kembali merinding. Bila Agustus sudah tiba, dia
tahu dia akan membuat dirinya dan ­keluarganya
dan sekolahnya dan satu ­kampungnya dan bekas
­sekolahnya akan tersenyum bangga ­padanya. Bila
Agustus sudah sampai dia tahu dia akan terharu.
Bila Agustus sudah datang, dia tahu “takdir” akan
­memanggilnya. Takdir itu adalah berlari.
Image: Blogspot.com
8
Namanya Reka Pane. Dia ­lahir
di Merak, Lampung, 13 Juli
1997. Sebelum dia ­beranjak
sekolah ­orangtuanya ­pindah
ke ­kampung halaman, Purba
Baringin ­Kecamatan ­Pakkat
Humbang ­Hasundutan.
Segera setelah dia sudah
bisa ­memilih mata ­pelajaran
­favorit, dia ­menjatuhkan pili-
han: ­matematika adalah mu-
suhnya. Entah bagaimana ini
bermula, saat dia kelas empat
SD, dia ­
mendapati dirinya
­berada di ­puncak kebosanan
­bermatematika di kelas. Dia lalu
menemukan dirinya ­berada
pada kebetulan yang akan
­membebaskannya—paling
tidak untuk sementara—dari
­dunia hitung-menghitung itu.
Dia ­memutuskan ikut seleksi
pelari dari sekolahnya. Dan:
dia ­menang. Dan, ternyata,
­kebetulan yang bersumber dari
kebosanan itu mendatangkan
kebanggaan bagi ­sekolahnya.
Namanya dipanggil dari
­podium utama perayaan hari
kemerdekaan di kota kecamatan
Pakkat sebagai pemenang lari.
Semenjak itu, saban tahun
­takkan dia biarkan Agustus
berlalu tanpa namanya ­dipanggil
di podium utama sebagai
­pemenang lari.
Setelah dia tamat SMP, dua
guru olahraga SMA di ­Pakkat
­berlomba memintanya
­mendaftar di sekolahnya. Dia
­memilih SMA Negeri 1 Pakkat.
“Kalau di SMK letaknya terlalu
jauh dari sini,”ujar ibunya. Selain
itu,“Banyak sekali uang akan
keluar. Uang PKL (praktek kerja
lapangan), uang dinas.”
Tahun 2014 silam boleh jadi
akan tahun yang paling dikenang
Reka. Ceritanya begini. ­Ibunya
pergi ke pasar sudah agak
siang. Jarak dari rumah ke pasar
­tujuh kilometer. Baru saja tiba
di pasar, ibunya terima telepon
dari adik Reka. Sebelum telepon
ditutup ibunya jatuh pingsan di
­tengah keramaian. Sontak orang
berkerumun. Setelah dia sadar
sembari menangis histeris dia
berteriak,“Anakku ­meninggal.
Reka meninggal.”Beberapa
saat kemudian dia sudah di
atas ­motor yang lajunya ­sangat
­kencang. Ibunya lupa siapa
saat itu yang ­memboncengnya.
Sepanjang perjalanan dia
­menangis histeris. Tiba di rumah,
“Mana anakku? Mana anakku?
Rekaaaa....!”Yang dia temui
di sana bukanlah jasad Reka,
­namun wajah tetangga yang
terheran-heran. Teriakannya
mengundang keramaian. Dan
keramaian itu tampak bingung.
Siapa yang meninggal?
Reka yang dianggapnya
­meninggal itu pun muncul. Dia
tidak meninggal. Selidik punya
selidik, saat adik Reka menel-
epon ­ibunya yang sedang di
pasar yang sangat ramai, kalimat
inilah yang didengar ibunya,“Si
Reka mate (mati).”Sementara
pesan aslinya,“Boan sate di si
Reka ­(Belikan sate untuk Reka).”
Reka yang sangat doyan sate itu
­meminta adiknya menghubungi
ibunya untuk ­dibawakan sate
dari pasar. Ibunya dengan
­cepatnya ­menganggap“sate”
sebagai“mate”karena dia
­meninggalkan Reka sedang sakit
di rumah. Cerita ini menyebar
dengan sangat cepat ke seantero
kampung dan selalu membuat
orang tertawa.
Dalam keadaan sakit itu pulalah
Reka memutuskan tetap berlari
untuk sekolahnya. Kesehatan-
nya belum begitu pulih mulai
9
dari latihan jelang kejuaraan
hingga di hari kejuaraan. Dia
hanya memakan satu kuning
telur saja penambah tenaga
di malam hari jelang lomba.
Dia berlari dan berlari. Jarak
10 kilometer ditempuhnya
tak lebih dari setengah jam.
Mari saya beritahu ke Anda:
lintasan larinya bukanlah
di dalam stadion, tapi di
jalan raya Pakkat-Dolok
Sanggul yang konturnya
­berlembah berbukit. Di
beberapa ­titik ­tanjakannya
hampir mendekati 50 ­derajat.
Lagi-lagi dia ­membuktikan
diri jadi penguasa ­lintasan.
Dia ­mencatat rekor
­mengagumkan di tingkat
kecamatan: ­pemegang lari
10 kilometer tujuh tahun
­berturut-turut.“Aku ­sangat
bangga bisa membuat
­sekolahku terkenal. Itulah
motivasi utamaku,”ujar Reka.
Dia dicetak sempurna oleh
alam Pakkat. Setelah pulang
sekolah, dia akan berlari-lari
ke ladang. Dari ladang dia
akan membawa sekarung
padi kering.”Ibunya sangat
membanggakan Reka.“Dia
pekerja hebat. Dia sangat
­rajin. Dia sangat suka nyuci,
nyetrika, dan bekerja di
sawah.”Tapi, lanjut ibunya,
“dia tidak suka cuci piring.”
Adakah faktor lain yang
membuat kaki dan nafasnya
sangat kuat?“Aku suka
­berenang. Aku juga jago
­menyelam,”terang Reka.
Setelah namanya
­diumumkan ­sebagai
­pemenang, dan setelah dia
­mengantongi hadiah lomba
itu, tanpa ragu dia berjalan di
tengah keramaian ­perayaan
17-an sembari mencari
tukang sate. Persis seperti
Sukarno yang makan sate
setelah memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia,
Reka memerdekakan ­dirinya
di hari kemerdekaan itu
menyantap sate sepuasnya.
Apakah tahun ini dia kembali
akan mendapatkan hadiah
lomba dengan begitu akan
menyantap sate lebih banyak
lagi? Yahh... Tahun ini takdir
kembali memanggilnya. Bila
tahun lalu dia sedang sakit
saat berlomba dan menjadi
juara, tahun ini dia tetap
menguasai lintasan namun
dengan jarak antara dia dan
pelari di belakangnya terpaut
lebih jauh dari tahun silam.
Reka Pane |
Credit Photo:
Dian Purba
10
EMBUN KATAKESE | LITURGI
PELANGGARAN LITURGI
DALAM PERAYAAN EKARISTI
(III)
OLEH:
Katolisitas.org
11
Adalah baik jika
sesaat ­sebelum
­menyambut
Komuni umat
­menundukkan
kepala, tanda
­penghormatan
kepada Kristus
Tuhan yang hadir
di dalamnya
“
Pada edisi Juli lalu, telah ­dipaparkan
beberapa pelanggaran dalam bagian-
bagian Misa Kudus. Dalam edisi bulan
ini, Pembaca bisa mendapati kelanju-
tan dari sorotan tentang pelanggaran
dalam penerimaan Komuni.
3. Umat yang menerima Komuni
­dengan tangan, tidak melaku-
kan ­sikap penghormatan sebelum
­menerimanya.
Seharusnya:
PUMR 160 ….Tetapi, kalau menyambut
sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum
menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan
mereka menyatakan tanda hormat yang
serasi, sebagaimana ditentukan dalam
kaidah- kaidah mengenai komuni.
Adalah baik jika sesaat ­sebelum
­menyambut Komuni umat
­menundukkan kepala, tanda
­penghormatan kepada Kristus Tuhan
yang hadir di dalamnya.
4. Patena sudah jarang digunakan.
Seharusnya:
RS 93 Patena Komuni untuk umat
hendaknya dipertahankan, demi
­menghindarkan bahaya jatuhnya hosti
kudus atau pecahannya.
5. Umat tidak menjawab “Amin” pada
perkataan Romo, “Tubuh Kristus”
­sebelum menerima hosti.
Seharusnya:
PUMR 287 Kalau komuni dua rupa
­dilaksanakan dengan ­mencelupkan
hosti ke dalam anggur, tiap ­penyambut,
­sambil memegang patena di bawah
dagu, menghadap imam yang
­memegang ­piala. Di samping imam
berdiri ­pelayan yang ­memegang bejana
­kudus ­berisi ­hosti. Imam mengambil
­hosti, ­mencelupkan ­sebagian ke dalam
piala, ­
memperlihatkannya ­kepada
­penyambut sambil berkata: Tubuh dan
Darah ­Kristus. Penyambut menjawab:
Amin,lalu­menerimahostidenganmulut,
dan ­kemudian kembali ke tempat duduk.
6. Petugas Pembagi Komuni Tak ­Lazim
(atau dikenal umat dengan istilah
pro-diakon) membagi Komuni, Pastor
malah duduk.
Seharusnya:
RS 154 Seperti sudah dinyatakan,
­“pelayan yang selaku pribadi Kristus
­dapat melaksanakan sakramen ­Ekaristi,
hanyalah Imam yang ditahbiskan ­secara
sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu,
­istilah “pelayan Ekaristi: hanya ­dapat
­diterapkan pada seorang Imam. Di
samping itu, berdasarkan pentahbisan
suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk
memberi komuni adalah Uskup, Imam
dan Diakon….
RS 151 Hanya kalau sungguh perlu,
boleh diminta bantuan ­pelayan-pelayan
tak ­lazim dalam perayaan liturgi.
­Permohonan akan bantuan yang
­demikian bukannya dimaksudkan demi
menunjang partisipasi umat, melainkan,
karena kodratnya, bersifat pelengkap
dan darurat…..
RS 152 Jabatan- jabatan yang semata-
matapelengkapinijangan­dipergunakan
untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh
para Imam demikian rupa…..
RS 157 ….Tidak dapat dibenarkan
­kebiasaan para Imam yang, walaupun
hadir pada perayaan itu, tidak membagi
komuni dan menyerahkan tugas ini ke-
pada orang-orang awam.
12
KOLOM “RUMAH JOSS” | PENGURBANAN & PELAYANAN
Yoseph Tien
Wakil Ketua ­KomIsi
Kepemudaan di
­Keuskupan Agung
Medan
14
Pengurbanan & Pelayanan
Pengurbanan dan pelayanan
­merupakan dua kata yang sangat
akrab dengan kehidupan kita sehari-
hari. Kata-kata ini sering kita ­gunakan,
­seringkitapakai.Hariini,sejak­bangun
tidur sampai saat saya membuat
­catatan ini, kata pengurbanan dan
­pelayanan seperti terngiang-ngiang
di teliga saya. Sempat saya ­berpikir,
apakah saya mengalami positive
­auditory halusination? Hehehe….
Mari kita cermati makna dari dua
kata tersebut, menurut Kamus
­Besar ­Bahasa Indonesia, terbitan
­Departemen ­Pendidikan ­Nasional -
Balai Pustaka, 1990.
Kurban
Pengurbanan berasal dari ‘kurban’.
Berikut ini beberapa makna kata
­‘kurban’.
1) Persembahan kepada Tuhan
­(seperti biri-biri, sapi, unta yang
­disembelih pada hari Lebaran Haji).
Contoh kalimat: Mereka ­menyembelih
kerbau untuk kurban.
2) Pujaan atau persembahan
­kepada dewa-dewa. Contoh ­kalimat:
­Setahun sekali diadakan upacara
­mempersembahkan kurban kepada
Batara Brahma.
‘kurban misa’ mengandung makna:
upacara mempersembahkan roti suci
dan air anggur.
‘berkurban’ mengandung makna:
mempersembahkan kurban.
‘mengurbankan’ mengandung
­makna: mempersembahkan sesuatu
sebagai kurban: lembu, buah-buahan,
dsb.
Layan
Pelayanan berasal dari kata ‘layan’.
Berikut ini beberapa makna kata
‘layan’.
‘melayani’mengandung makna:
1) Membantu menyiapkan
­(mengurus) apa-apa yang ­diperlukan
seseorang.
2) Menerima (menyambut) ajakan
(tantangan, serangan, dsb).
3) Mengendalikan: melaksanakan
penggunaannya (senjata, mesin, dsb).
‘melayankan’ mengandung ­makna:
menghidangkan (menyajikan,
­menyuguhkan) santapan (minuman).
‘layanan’mengandung makna: ­perihal
atau cara melayani.
‘pelayanan’mengandung makna:
1) perihal atau cara melayani;
2) servis, jasa;
3) kemudahan yang diberikan
­sehubungan dengan jual beli barang
atau jasa.
Dalam kehidupan kita sehari-hari,
­seringkalikitamelakukan­banyaksalah
kaprah terkait dengan ­pengorbanan
dan pelayanan.
1315
Beberapa salah kaprah terkait
­pengorbanan:
1) Seorang gadis yang rela
­mengorbankan tubuhnya bagi sang
kekasih hanya karena cinta
2) Seorang professional rela
­mengorbankan keyakinannya demi
profesi dan kehormatan
3) Pengorbanan yang dilakukan
­dengan motif demi uang, jabatan,
nama baik, penghormatan, pujian dan
penghargaan
Beberapa salah kaprah terkait
­pelayanan:
1) Orang yang tugas utamanya
­memang melayani tetapi selalu minta
dilayani.
2) Orang yang melayani dengan
­memandang warna baju, warna bulu,
warna kulit juga warna isi kantong;
3) Orang yang melakukan ­pelayanan
dengan motif uang, jabatan, nama
baik, penghormatan, pujian dan
­penghargaan
Panggilan tugas kenabian ­siapapun,
untuk melakukan pelayanan dan
­pengorbanan secara bertanggung
jawab, dewasa, pada tempatnya
dalam tataran kehidupan sosial kita,
kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara, hemat saya memang
sedang berada pada titik kritis. Inilah
tantangan bagi kita sekalian.
Saya jadi teringat dengan kata-kata
Bunda Teresa berikut ini:
“Bila engkau baik hati, bisa saja orang
lain menuduhmu punya pamrih. Tapi
bagaimanapun, berbaik hatilah. Bila
engkau jujur, mungkin saja orang lain
akan menipumu, tapi ­bagaimanapun
berbuatlah jujur. ­Kebaikan yang
­engkau lakukan hari ini, mungkin
saja besok sudah dilupakan orang,
tapi bagaimanapun berbuat ­baiklah.
Bagaimanapun, berikan yang terbaik
dari dirimu. Pada akhirnya ­engkau
akan tahu, bahwa ini adalah ­urusan
antara engkau dan Tuhanmu. Ini
­bukan urusan antara engkau dan
mereka.”
Sahabat Joss Yang Terkasih…
Mari tebarkanlah senyuman manis,
dengan pengorbanan dan pelayanan
yang harmonis demi hidup yang
­berbuah manis. Semoga saya tidak
­sedang berhalusinasi dalam refleksi
ini. Salam Joss...!
---------
Credit Photo: Ananta Bangun
14
OPINII | POLITIK
CELOTEH MERDEKA
DI RUANG PUBLIK
M
erdeka!……merde -
k a ! … … m e r d e k a !
Sambil berteriak ia
mengacungkan bogemnya.
Orang-orangyangdi­hadapinya,
ribuan, diam seribuh baha-
sa, tertunduk, membisu. Ia
berteriak lagi: “Merdeka…
merdeka…merdeka,” suaranya
­membahana, membela jagat
mengejar angkasa. Lagi-lagi,
tidak ada tanggapan. Diam.
Merokok. Tak mau tahu.
Ia geram : “Mengapa kalian, yang
di arah mata angin sana, ­berteriak
merdeka saja takut?” Suaranya
­lantang bergetar, sambil ­menunjuk
ke arah salah satu mata angin.
“Saudara-saudaraku, supaya kamu
tahu, kamu sudah merdeka, sudah
merdeka,sudah merdeka; mengapa
mengekspresikan melalaui kata-
kata saja , kamu tidak bisa. Ini tanda
apa ini….,” ia mengerutu. Massa
yang di hadapnya senyum-senyum
­memperhatikannya, menikmati
­geramnya.
“Apakah mereka takut ­berteriak
merdeka? Belum tentu! Apakah
­mereka segan ­mengekspresikan
­dengan raut wajah yang
­berbinar-binar?Tidak juga! Lalu apa?”
Ia bertanya dalam diri. Lalu Dari arah
kerumunan massa itu, terdengar
­suara-suara, mmmmmmmmmm,
seperti lebah. Samar-samar
­terdengar: “ah ­retorika……
­panggung doang……… ko itu itu
saja, sandiwara saja. Dari ­panggung
kehormatan ‘hatinya’ ­menangkap
sesuatu dari gelagat massa itu.
Source: http://www.seasite.niu.edu/indonesian/percakapan/indonesia/suharto/pasikom-20mei98.jpg
RP Hubertus Lidi, OSC
hubertuslidiosc@gmail.com
15
Kalau kita
melihat bahwa
­tantangan dan
­kesulitan itu
­adalah ­beban,
maka kita
­menjadikan
­kemanusian
­sejajar dengan
keledai. Kita
­‘mendudukan’
di atas bahu
­kemanusiaan kita,
secara terpisah,
bukan lagi bagian
dari kemanusiaan
itu.
“
Ia turun menuju alun-alun publik,
­menerobos jauh ke dalam; berdesak –
desakan, ­berhimpit-himpitan, ­sambil
menyendengkan telingahnya, ke
mulut orang- orang itu. Ia ­mengitari
­busana-busana kusam, yang ­tercabik, di
lenganya, bahunya. Tidak di pantatnya,
karena bagaimanapun ­sederhananya,
mereka tetap ­menjaga ­kehormatan.
Ia membaur dalam aroma-aroma
­tubuh petani, kaum buru, pengemis
jalan dan jutaan para pencari sesuap
nasi. Dari sana ia insaf. ­Mereka be-
lum merdeka, masih ­berjuang dan
­berjuang, demi ­perutnya juga ­perut dan
masa depan ­anak-anaknya. ­Terhimpit
dalam ­keniscayaan, ingin tapi tak
­berdaya. Dibungkam oleh sesama
warga ­kemerdekaan yang punya uang,
kedudukan, dan bedil.
“Sohib sohib sekarang saya ­mengerti
mengapa kalian tidak berminat
­berteriak merdeka, kata yang ­mahal
dan mengandung sejuta makna itu.
Aku mengerti…….aku mengerti!”
­“Alahhhhh, baru nongol, sok tahu tahu,
pasti ada maunya,” kata mereka, agak
mencibir! “Benarkan….benarkan!”
mereka terus mendesak. Ia tetap berdiri
dalam kerumunan itu, menganguk-
angguk. Serius mendengar, sekali-sekali
ia menggoreskan kalimat-kalimat yang
tidak jelas dalam note booknya. Sedang
menampung aspirasi, bibirnya bergerak
gerak. “Ya sohib-sohib saya mengerti,
dan berusaha menampung keluh – ke-
sah kalian.”
“Walahhhhhhhhh, pake tampung
­segala, yang dibawanya pasti karung
kosong untuk menampung dan
­mengisi ­aspirasi kita. Dompetnya juga
pasti ­kosong, mana mau ‘barteran’
­dengan ­suara kita,”tanggap massa agak
­mengejek.“Pak kami butuh karung yang
ada isi, berassssssssssss. Kami butuh
dompet yang ada isi, uanggggggggggg,
massa melanjutkan celoteh ejekan-
nya. “Semakin jelas, pasti ada maunya,”
massa mulai berani mencercanya! “Ya
tidak apa apa, boleh kamu marah saya,
keluarkan unek-unekmu, aku akan
memprosesnya dan menemukan jalan
keluarnya, asal ………….”“Asal apa……
pak?”Tanya mereka. “Ah saya tidak akan
­memberitahukan sekarang, kamu lagi
emosi, nalarmu tidak jalan. Kurang pas
kalau saya memberikan penjelasan
­kepada orang yang hanya ­mempunyai
naluri saja, tanpa nalar. Pada saat yang
tepat, akan saya jelaskan,” ­katannya
­dengan tenang. “Pak , biar pak tidak
memberitahukan alasannya, tetapi
­sebenarnya alasanya sudah jelas, agar
kami memilihmu!” “Ah bukan soal itu,
ngaco kamu. Saya tahu kamu berada
dalam ‘kesesakan’ membutuhkan yang
namanya kemerdekaan, biar hidup
kamu lebih manusiawi.
Mengapa saya katakan lebih
­manusiawi, sebenarnya saya bisa
­mengunakan kata- kata, agar beban
hidupmu ­semakin ringan?” Ia bertanya
kepada ­beberapa orang di ­sampingnya.
“Tidak tahu, pak,” jawab mereka. Ia
memberikan ­penjelasan: “Maksudku
selama ini ­banyak bebanmu dipundak
kehidupanmu, jadi kamu merasa mirip
Keledai, keledai beban. Jadi kalau saya
­menggunakan istilah biar bebanmu
­semakinberkurang,berarti­orientasisaya
kepadamu, terarah kepada ­bebannya
saja, tetapi ‘perspektif’ saya terahadap
kamu, tetap keledai, yang siap ­memikul
beban berikut. Ya singkatnya kamu
jangan mengkeledaikan diri. Kalau
saya menggunakan istilah ‘manusiawi’,
­berarti memang secara esensial, kamu
manusia, sama dengan saya. Rintangan,
tantangan, dan ­kesulitan itu wajar, dan
merupakan bagian dari roda ­kehidupan
ini, bukan beban; biar kita lebih kre-
atif, inovatif, dan tegar meramunya.
Setiap manusia dengan anugerah indra
keenamnya, maksud saya intuisi, harus
mampu melihat bahwa di balik tantan-
gan dan kesulitan itu selalu ada peluang
dan kesempatan. Bahasa teologisnya: Di
balik Salib ada Kebangkitan.
Tantangan dan kesulitan itu, sebagai
pemicu agar kita bergerak maju, meraih
peluang dan kesempatan itu. Kalau kita
melihat bahwa tantangan dan kesulitan
itu adalah beban, maka kita menjadikan
kemanusian sejajar dengan keledai. Kita
‘mendudukan’diatasbahu­kemanusiaan
kita, secara terpisah, bukan lagi bagian
dari kemanusiaan itu. Tidak usah heran
litani kehidupan yang kalian daraskan
bernada keluh dan kesah saja, bukan
upaya dan penemuan baru.”
16
Mereka, mengangguk-angguk, dan
­insaf bahwa proses ‘Pemerdekaan’ mesti
­mulai dari pembebasan akan paham,
definsi, ­penilaian, dan perspektif yang
­membelenggu diri. “Ya tapi bagaimana
dengan realitas ­kesulitan seperti: tidak
tahu makan apa hari ini, ­biaya sekolah,
adat, dan ­sumbangan ini itu, ­termasuk
yang berkeliaran di jalan raya yang sudah
menjadi bagian kehidupan kami.”
Mereka bertanya. “Ya itu benar, lagi-lagi
ini dampak dari ‘pemahaman kermerdaan’
yang keliru juga, dan celakanya terlanjur
menjadi tabiat. Mahkluk manusia jenis
ini, dengan ‘akal bulusnya’ merelativir
­segala-galanya. Dia yang seharusnya salah
menjadi ­benar, dan sebaliknya yang benar
­disalahkan. Atribut-atribut ‘rasa malunya’
­sudah ­rontok. Jumlah orang-orang macam
ini terus ­bertambah, tampil di Koran atau
di TV ­dengan senyum ramah pembenaran
diri,”sejenak Ia berhenti, untuk berdehem.
“Sohib-sohib saya mau melanjut-
kan lagi…….Manusia yang akal bu-
lusnya ­seperti itu, tadi pada dasarnya
­menafisirkan ­kemerdekaan berarti ber-
buat seenak bokongnya. Contohnya ban-
yak dari ­mereka yang ‘membuncitkan
perutnya’ dengan ­jatah yang seharusnya
menjadi hak orang lain. ­Lebih heboh
lagi ­‘buncitnya ­berjemaah’ ­sehingga
proses ­untuk ­menangkap, ­mengadili
dan ­memenjarahkan ­mereka men-
jadi lebih ­kompleks dan makan ­waktu
yang lama. Seenak ­bokongnya kan? Ya
kalau kita melihat dengan kaca mata
­kemanusiaan, kasihan juga! Mereka
­belum merdeka, ­membiarkan harga diri
­kemanusiannya, dkuasai dan ­dikukung
oleh ­keinginan-keinginan yang ­bukan
haknya. Zat zat rasa malu mereka men-
jadi tawar oleh nikmat dan nafsu. ­Mereka
hanyalah ­seonggok daging menta yang
tak punya rasa, yang menyebarkan ­aroma
derita bagi dirinya dan orang lain. Manusia
yang bernurani hewani, di jaman google
ini.”
“Bagaimana dengan saudara? Jangan-
jangan saudara“melempar batu sembunyi
tangan,” tanya beberapa orang. “Ya……
ya, aku….. masih belum terlalu parah,
kategori baik. Aku akan mencoba tidak
­mengikuti arus orang-orang itu. Ah aku
masih mau bicara tentang ada ada ga-
gasan ­untuk ­mengembangkan kembali
budaya ‘rasa malu’ jadi kalian jangan ber-
tanya dulu.”“Okey bercelotehlah! Para So-
hib, kemerdekaan yang liar, alias menem-
bus koridor etika, ­moral, dan tata krama
bisa , membentuk watak dan kepribadian
yang ‘tuna sosial’. Ia menjadi pribadi yang
egois, dan tidak tahu malu. Ini sebenarnya
musibah, yang sedang ­melanda bangsa
kita. Sejak jaman Sriwijaya dan ­Majapahit,
seantero jagat telah ­mengenal kita seba-
gai bangsa yang bertatakrama. Dari balita,
boca-boca mereka dididik oleh orang tu-
anya yang bertatakrama juga.”
Warisan yang tak ternilai harganya, kini
­mulai hilang secara pelan dan pasti, den-
gan penghayatan yang keliru terhadap‘life
style’ post modern. Seiring dengan ber-
tambahnya jumlah ‘asoi man –wati.’ Pent-
ing nikmat! Ya waktu mendengar bahwa
ada upaya bangsa untuk mengembalikan
budaya rasa malu, terutama kepada gen-
erasi penerus, baik juga gagasan itu. Per-
tanyannya adalah siapa yang mendidik
mereka?
Mari kita, para orator kawakan, politisi-
politisi, pengkhotba ulung, dan sejuta
­penggerak massa, serta ­kawakan-kawakan
lain, yang tidak pernah absen muncul
di ­media masa, baik main stream me-
dia ­maupun new ­media, kitalah orang
­pertama yang harus ­mengembalikan rasa
malu dalam diri dan Keluarga serta fam-
ily kita. Para ­pendukung dan ­massa kita,
akan ­berlajar dari gelagat kita yang baik,
dan ­menyebarlah virus rasa malu itu se-
hingga kita kembali ­manusia ­normal,
tahu diri. Kita menjadi orang ­merdeka,
­untuk berbuat baik, ­membebaskan diri
dari ­topeng ­kepalsuan hidup. Merdeka
­berbuat baik ini juga ­merupakan ­arahan
dasar agama kita. Mari kita wariskan,
­sekaligus ­mengembalikan ­jaman kejayaan
tatakrama bangsa yang mau hilang dari
peredaran ­negara kita. ­Merdeka…… be-
bas ­berekspresi, menampakan kebaikan
kepada sesama.
Source: http://pre15.
deviantart.net/4c92/th/pre/
i/2010/308/b/7/the_pup-
pet_master_by_mini_zilla-
d325mdn.jpg
17
18
SASTRA | SINTA
19
Sinta
Sinta selalu bersemangat
menceritakan ladang ke
Ganup. Itu semata karena
di Tarutung, kata Ganup,
dia hanya ­disibukkan
melayani orang-orang yang
makan di restoran mereka.
“Bapak sudah ­mempekerjakan
aku di sana semenjak kelas 2 SMP,”
ujarnya ke Sinta. Seperti hari itu Sinta
juga cerita tentang ­tahap-tahap
mangordang[vi]. Sehari sebelum man-
gordang ibunya sudah menumbuk
beras menjadi tepung. Pagi-pagi benar
Sinta sudah dibanguni memaruti kelapa.
Kelapa terparut itu kemudian dicampur
dengan tepung. Kalau sudah selesai
giliran bapaklah memainkan peran.
Kepalan tangan bapak yang besar sangat
cocok dijadikan cetakan pohul-pohul[vii].
Setiba di ladang sebelum memulai
mangordang kue ini nanti akan dipecah
dan disiramkan ke lahan yang hendak
diordang.“Mama sering marah karena
kue itu kami makan diam-diam tanpa
sepengetahuannya,”kenang Sinta.
Begitulah. Setiap kali mereka berjalan
bersama setiap kali itu pula cerita-cerita
mengalir deras diceritakan. Tak ada
habis-habisnya. Di sepanjang jalan itu, di
cerita sebanyak itu, tanpa mereka sadari
telah tumbuh benih-benih rasa. Mereka
menyadarinya ketika teman-teman
mereka yang lain menyorak-nyoraki
mereka.“Hei Romeo-Juliet, jalannya jan-
gan seperti keong.”Saat itu mereka ber-
dua berpandang-pandangan ­sebelum
bersama-sama tersipu malu. Bahkan
pernah Togu membuat mereka tersentak
seakan-akan tersengat arus listrik.“Kena-
pa kalian tidak ­memutuskan berpacaran
saja? Cocok. Kalian dua ­sangat cocok.”
Tidak lama setelah peristiwa itu mereka
sudah berjalan bergandengan tangan.
Mereka berpacaran. Sinta tak cukup
kuat menolak ajakan Ganup.“Aku tak
ingin sendiri saja memelihara bunga-
bunga itu. Aku tak cukup kuat ­menyirami
mereka setiap sore. Maukah kamu
bekerja bersamaku dan menjadi pemilik
bersama kebun itu?”Sinta sesungguhnya
mengerti ajakan itu. Dia sudah pernah
mendengar kalimat-kalimat itu di sebuah
sinetron.
“Aku tidak mengerti.”
“Iya, kebun. Ummm…,”Ganup
­memain-mainkan jemarinya pertanda
kegugupannya.
“Ummm…,”
“Ummm, pacar. Aku bersedia menjadi
pacarmu,”seru Ganup memberanikan
diri.
***
Langkah-langkah Sinta sepanjang enam
kilometer ke sekolah dibaluti perasaan
tak menentu. Dia tahu pagi ini Ganup
pasti tidak akan menemaninya jalan
kaki. Tiap kali mereka bertengkar selalu
saja kekasihnya itu menunggang kuda
­besinya. Sinta hapal betul tingkahnya.
Dari jarak sekitar 20 meter, klakson
motornya pasti sudah memekakkan.
Hampir-hampir tanpa henti jempol
kanannya memencet tombol klakson
di stang kereta. Begitu tepat memapasi
Sinta, Ganup akan memain-mainkan
gasnya.“Kalian bertengkar lagi?”tanya
Togu sahabatnya itu suatu pagi.
Sinta tidak berani menyalahkan
siapa pun, terlebih Ganup. Tapi dia
­sesungguhnya sangat berharap
kekasihnya itu menyisakan sedikit
pengertian di hatinya. Jalinan kisah
(bagian II)
Dian Purba
purbadian@gmail.com
19
mereka barulah sebentar, belum lagi seumur
jagung. Pengertian. Pengertian saja yang
diharapkannya.“Pengertian seperti apa?
Apa Tuhan sudah tidak begitu perkasa lagi
di depan orangtuamu? Apa ibumu tidak
mengerti itu?”bentak Ganup minggu lalu.
Kisah demikian sudah berulang beberapa
kali. Bagi Ganup tindakan ibu Sinta ­melarang
mereka berpacaran sudah berlebihan.
­Sudah melewati keperkasaan Tuhan.“Jangan
libatkan ibuku,”Sinta membela diri.“Sudah
kubilang, inilah aku. Aku anak mamakku.”
Sinta paham betul keluhan Ganup karena
itu dia menunduk tak berani menantang
mata Ganup. Ingin dia ­memecahkan
dilema ini dengan menjalin asmara
­mereka secara ­sembunyi-sembunyi. Setiap
kali dia ­memikirkan itu setiap kali pula
­kebingungannya ­memuncak. Dia tidak akan
menyalahkan Rima yang telah ­melaporkan
setiap detil kisahnya dengan Ganup ke
­ibunya. Dia tahu Rima takkan sudi melakukan
itu tanpa dipaksa ibunya. Dan memang Rima
sudah minta maaf berulang kali untuk itu.
Tak paham dia kenapa cinta mesti
­ditunjukkan seterang-terangnya ke ­semua
orang. Tidakkah hati itu tersembunyi,
­
pikirnya. Ketersembunyian cinta baginya
tidak lebih dari wujud cinta itu sendiri. Dan
pagi ini dia sudah memilih pasti: cinta yang
pantas untuk diterang-terangkanlah yang
mesti dimunculkan. Itulah cinta ibunya.
“Cukuplah ibu yang menanggung begini.
­Bapakmu lebih mencintai tuaknya. Belum
tiba waktumu menimbang cinta.”Ibunya
menggerutu semalam.
Selepas sekolah Sinta tidak berontak
­tangannya ditarik paksa ke belakang satu
gedung. Inilah saat paling tepat baginya
menguji cinta. Ganup yang sangat lembut di
awal-awal pacaran mereka kini beralih rupa
seperti apporik di ladangnya. Gelegar suara
Ganup terbang bebas menghantam hati
Sinta.“Aku menyerah. Sudah berakhir.”Sinta
menghantam balik suara apporik itu.“Antar
aku pulang.”Sinta memaksa.
Hari sudah sore. Awan-awan merah su-
dah berarak. Sinar mentari tidak seganas
tadi siang. Mereka melangkah perlahan
melewati ruang-ruang kelas, kantor guru,
lalu gerbang sekolah. Warung tempat
Ganup ­menitipkan kereta sudah sepi. Tak
sampai habis lima jari tangannya jumlah
Sinta pernah ­diboncengnya. Sinta merasa
­keseimbangannya buyar di atas kereta.
­“Jangan, jangan goyang,”perintah Ganup
tiap kali berboncengan.
Ganup segera menancap gas. ­Dirasakannya
jalan hot mix yang baru saja selesai
­diaspal bulan lalu itu lahan paling tepat
­melampiaskan amarah. Sinta tidak hanya
hilang konsentrasinya lalu bergoyang, dia
berteriak. Dia minta diturunkan.
Tanpa Sinta Ganup kerap memacu
­tunggangannya itu di titik kecepatan
­tertinggi. Jalan yang melintasi kampung itu
sesungguhnya jalan lintas provinsi. Namun,
semenjak jaman kakeknya lalu ke ayahnya
hingga ke generasi berikutnya selalu
saja jalan itu digenangi air setelah hujan
­turun. Itulah pula yang membuat hampir
­semua kereta di kampung itu tidak lagi ada
­berwajah mulus. Dan hari-hari terakhir ini
armada-armada itu dijual untuk diganti yang
baru. Jalan sudah mulus seperti daun pisang.
Sinta merasa dirinya sudah mau jatuh
saja. Barangkali dia sudah setengah sadar.
­Sementara Ganup semakin beringas saja.
Melintas di benaknya pertengkaran barusan.
Dan dia tidak akan menyesali diri karena
sudah berlaku kasar.“Ganuuupppp…..”
teriak Sinta. Sangat keras. Di tikungan itu
­pertengkaran mereka selesai. Kereta itu
terpelanting meninggalkan mereka berdua
di ladang kakao yang lumayan jauh dari
sudut jalan. Sinta meninggal seketika. Dahan
kakao yang baru saja ditebas itu ­menyambut
­kepala Sinta yang tertancap. Ganup tidak
bisa lagi mendengar keramaian orang.
­Nafasnya sudah di hujung hidung. Gelap.
[i] Ladang darat | [ii] Burung kecil pemakan padi.
Kepalanya berwarna putih dan bagian tubuh yang
lain agak kemerah-merahan | [iii] Patung yang dibuat
dari kayu dan dipakaikan baju sehingga sangat mirip
dengan manusia. Patung yang satu dengan patung
lainnya dihubungkan dengan tali. Biasanya di patung
itu dipasangkan bunyi-bunyian yang menghasilkan
suara bising sehingga ketika talinya ditarik serempaklah
bunyi itu membahana | [iv] Pondok kecil di ladang | [v]
Memetik padi menggunakan ari-ari | [vi] Menanam padi
di hauma menggunakan kayu lurus yang diruncingkan
di bagian bawahnya. | [vii] Kue beras mentah yang cara
pembuatannya cukup dengan dimasukkan ke kepalan
tangan lalu mengggemgamnya erat-erat untuk mem-
bentuk cetakan
20
20
ILHAM SEHAT | MATA SEHAT
http://healthierfoodscom.c.presscdn.com/wp-content/uploads/2013/09/healthy-vision.jpg
21
YUK, MILIKI
MATA SEHAT IDAMAN
M
ata merupakan organ pada
tubuh kita yang sangat
berharga. Denga memiliki
mata yang sehat, maka kita dapat
melihat keindahan dunia beserta
isinya. Untuk itulah, kita harus
­menjaga dan merawat ­kesehatan
mata agar tidak mengalami
­berbagai penyakit atau masalah
kesehatan lainnya seperti rabun
jauh, presbiopi, miopi maupun
hipermetropi.
Banyak sekali penyakit mata yang
mungkin tidak asing di telinga
kita seperti miopi atau rabun jauh,
­presbiopi atau tidak dapat melihat
benda yang berjarak jauh maupun
dekat, katarak, hipermetropi atau
rabun dekat, maupun buta warna
yang tidak dapat membedakan aneka
warna.
Berbagai penyebab penyakit ­tersebut
dapat menimpa mata anda. ­Seperti
miopi yang banyak menimpa
­kalangan pelajar dan mereka yang
sangat hobi dalam membaca buku.
Untuk lebih memahami dan mengerti
cara menjaga kesehatan mata yang
benar.
Berikut ini beberapa tips mudah
menjaga kesehatan mata anda :
Perhatikan Jarak Membaca Buku.
­Usahakan membaca buku pada jarak
yang ideal. Jarak ideal yang dimaksud
yaitu membaca buku pada jarak 30
cm dari buku ke mata. Hal ini untuk
mencegah penyakit mata seperti
miopi atau rabun dekat.
Jangan Sambil Tiduran.
Usahakan tidak membaca buku atau
teks apapun dalam kondisi sambil
tiduran. Ini juga dapat membuat
­kesehatan mata ­terganggu seperti
dapat terkena miopi.
Pencahayaan Yang Cukup.
Jangan menggunakan peneran-
gan terlalu redup ketika belajar
atau ­membaca apapun itu, karena
­penerangan yang kurang dapat
­menganggu kesehatan mata.
Istirahatkan Mata.
Usahakan ­mengistirahatkan mata,
ketika sudah terlalu lama di depan
layar komputer atau laptop saat
­mengerjakan tugas atau aktivitas
apapun di komputer atau laptop. Ini
juga sangat penting untuk menjaga
kesehatan mata anda.
Jangan Kucek Mata.
Usahakan tidak mengucek mata,
­ketika tangan dalam keadaan ­kotor
atau habis memegang sesuatu
benda. Karena tangan yang kotor
dapat menginfeksi organ mata yang
akan berakibat sangat buruk untuk
­kesehatan mata anda.
Kedipkan Mata.
Usahakan mengedipkan mata dengan
intensitas agak ditambah, pada saat
fokus melihat sesuatu terlalu lama
seperti komputer ataupun laptop.
Makanan Untuk Mata.
Usahakan memakan makanan yang
sangat baik untuk kesehatan mata.
Dalam hal ini, wortel merupakan jenis
makanan yang paling baik ­untuk
kesehatan mata, karena banyak
­mengandung vitamin A yang sangat
baik untuk kesehatan mata.
22
23
LAPO AKSARA
Ananta Bangun
anantabangun.com
Redaktur Tulis di
­Lentera News
29
MENGHALAU SINGA
Singa. Bagi para penikmat
Safari di Afrika adalah ­lumrah
mendapati karnivora ganas
ini. Umumnya tim penjelajah
­tersebut mengitari alam terbuka
­tersebut dengan ­menaiki mobil
jip. ­Keberadaan di atas ­kendaraan
inilah yang membuat mereka
tidak diterkam langsung oleh
singa. Mengapa?
Dalam sudut pandang singa, insan
pelintas alam dan mobil tersebut
tampak sebagai satu badan. Tidak
terpisah, sebagaimana manusia
melihatnya. Namun, jika satu atau
beberapa penikmat Safari turun dari
mobil; maka singa melihatnya telah
terpisah dari benda besi padat itu.
Hewan itupun lalu tergerak untuk
memangsa. Demikian ­Presiden
Direktur Transjakarta, Steve ­Kosasih
-- dalam satu terbitan Harian
­Kompas -- menuliskan pengalaman
sahabatnya.
Kisah tentang pandangan singa
mengenai kesatuan mobil dengan
turis Safari, menyiratkan ilham
terkait kesatuan. Inspirasi ini bukan
ihwal yang asing. Sedari kanak-
kanak dahulu, kita telah ­memahami
benda lemah seperti lidi akan kuat
bila disatukan dengan jumlah
­banyak. Bukankah pemahaman
itu pula yang menyulut semangat
bapak bangsa kita dahulu dalam
melawan penjajah?
Rasa kesatuan uniknya tidak hanya
dilatari kesamaan. Ia justru kokoh
tatkala dirundung tekanan. Semakin
hebat tekanan tersebut, semangat
kesatuan itu pun kian bergelora. Ini
bisa kita dapati dalam pengalaman
tengah terancam, sebagaimana
menghadapi singa di atas. Ataupun
tatkala bencana (alam) menerpa.
Tidak sedikit insan yang ­turut
­berduka saat mengetahui para
­saudaranya tengah menghadapi
bencana. Wujud kesatuan dan
kepedulian tersebut bisa beragam.
Baik memberi bantuan materiil,
sumbangsih tenaga, atau ­bahkan
berupa doa yang tulus untuk
­kebaikan para korban tersebut.
Dalam kisah Alkitab, kita dapat
­meneladani semangat ­kesatuan
para Jemaat Perdana yang
­dikungkung kekuasaan Kaisar Nero,
kala itu. Walaupun menghadapi
siksaan berat, gelombang jumlah
Jemaat Perdana justru bertambah.
Pedang, terkaman hewan buas dan
api, bukan menghancurkan, justru
menginspirasi lebih banyak orang
pada masa itu untuk semakin yakin
pada Gereja.
Bagaikan emas, kesatuan mestinya
menjadi nilai kehidupan mulia
yang ingin ditempa terus-menerus.
­Tantangannya ialah wajah zaman
yang diisi keegoisan, hidup nyaman,
dan pola fikir dapat hidup tanpa
­insan lain, juga tanpa rasa takluk
pada Allah Yang Maha Kuasa.
Anti-tesis dari wajah zaman ini lah
yang menjadi penyulut ­semangat
dan kesatuan para Jemaat ­Perdana.
Demikian juga hendaknya terus
diwariskan pada kita untuk
­menghalau‘singa-singa’pemangsa
kesatuan.
Image Source: http://hdwall-
papersfit.com/wp-content/
uploads/2015/02/african-
lion-hd-wallpapers.jpg

Contenu connexe

En vedette

ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...
ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...
ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...David March
 
AGILIS / SCRUM fejlesztés
AGILIS / SCRUM fejlesztésAGILIS / SCRUM fejlesztés
AGILIS / SCRUM fejlesztésOpen Academy
 
Right nextschool2010 11
Right nextschool2010 11Right nextschool2010 11
Right nextschool2010 11kmstech
 
Razvoj i prezentacija na proekt
Razvoj i prezentacija na proektRazvoj i prezentacija na proekt
Razvoj i prezentacija na proektCre8ive8
 
Affiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan SolcerAffiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan SolcerAffiliate Dag
 
Structural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBD
Structural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBDStructural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBD
Structural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBDBen Decker
 
Föräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidan
Föräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidanFöräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidan
Föräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidanVerbala Stigar
 
Vidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisation
Vidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisationVidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisation
Vidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisationAlejandro Tomás Martínez
 
進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析
進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析
進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析Masanori Takano
 
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015Ananta Bangun
 
Re imagining rural land use policy
Re imagining rural land use policyRe imagining rural land use policy
Re imagining rural land use policyruralfringe
 
الكيمياء عند المسلمين
الكيمياء عند المسلمينالكيمياء عند المسلمين
الكيمياء عند المسلمينMotasem Ash
 

En vedette (19)

Proofreading
ProofreadingProofreading
Proofreading
 
College1
College1College1
College1
 
ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...
ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...
ICM and MSP: facilitating tools for solving conflicts and overcoming the scie...
 
AGILIS / SCRUM fejlesztés
AGILIS / SCRUM fejlesztésAGILIS / SCRUM fejlesztés
AGILIS / SCRUM fejlesztés
 
MODXpo 2013 - Fail compilation
MODXpo 2013 - Fail compilationMODXpo 2013 - Fail compilation
MODXpo 2013 - Fail compilation
 
Right nextschool2010 11
Right nextschool2010 11Right nextschool2010 11
Right nextschool2010 11
 
Gastcollege3
Gastcollege3Gastcollege3
Gastcollege3
 
Razvoj i prezentacija na proekt
Razvoj i prezentacija na proektRazvoj i prezentacija na proekt
Razvoj i prezentacija na proekt
 
EBS Caloendar 2013
EBS Caloendar 2013EBS Caloendar 2013
EBS Caloendar 2013
 
Affiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan SolcerAffiliatedag Christiaan Solcer
Affiliatedag Christiaan Solcer
 
Structural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBD
Structural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBDStructural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBD
Structural Studies of Human GBE1 and Relevance to APBD
 
Föräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidan
Föräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidanFöräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidan
Föräldrar föreläsning i årsta 10 maj 2011 hemsidan
 
Vidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisation
Vidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisationVidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisation
Vidimetrics- SAAS video marketing campaign optimisation
 
GallupReport
GallupReportGallupReport
GallupReport
 
進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析
進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析
進化ゲーム理論の枠組みを用いたソーシャルゲームにおけるユーザの利他的行動の分析
 
Interactive scenario
Interactive scenarioInteractive scenario
Interactive scenario
 
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
LENTERA NEWS Edisi #14 Mei 2015
 
Re imagining rural land use policy
Re imagining rural land use policyRe imagining rural land use policy
Re imagining rural land use policy
 
الكيمياء عند المسلمين
الكيمياء عند المسلمينالكيمياء عند المسلمين
الكيمياء عند المسلمين
 

Similaire à Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus

Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Ananta Bangun
 
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiLentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiAnanta Bangun
 
Proposal Laporan akhir
Proposal Laporan akhirProposal Laporan akhir
Proposal Laporan akhirAlvin Fernando
 
Memaknai Nilai-Nilai Keindonesiaan
Memaknai Nilai-Nilai KeindonesiaanMemaknai Nilai-Nilai Keindonesiaan
Memaknai Nilai-Nilai KeindonesiaanLestari Moerdijat
 
Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25Produksi Skor
 
Tugas kelompok character building(1)
Tugas kelompok character building(1)Tugas kelompok character building(1)
Tugas kelompok character building(1)galang piliang
 
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang AdaMempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang AdaThufailah Mujahidah
 
Tabloid reformata edisi 165 juli 2013
Tabloid reformata edisi 165 juli 2013Tabloid reformata edisi 165 juli 2013
Tabloid reformata edisi 165 juli 2013Reformata.com
 
Perjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatPerjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatAni Mahisarani
 

Similaire à Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus (14)

Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015Lentera News edisi #16 Juli 2015
Lentera News edisi #16 Juli 2015
 
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak BerbagiLentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
Lentera News edisi September 2015 | Bijak Kata Bijak Berbagi
 
Wawancara ii
Wawancara iiWawancara ii
Wawancara ii
 
Proposal Laporan akhir
Proposal Laporan akhirProposal Laporan akhir
Proposal Laporan akhir
 
Aku bukan odiseus dan dia bukan penelope
Aku bukan odiseus dan dia bukan penelopeAku bukan odiseus dan dia bukan penelope
Aku bukan odiseus dan dia bukan penelope
 
Memaknai Nilai-Nilai Keindonesiaan
Memaknai Nilai-Nilai KeindonesiaanMemaknai Nilai-Nilai Keindonesiaan
Memaknai Nilai-Nilai Keindonesiaan
 
Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25Tabloid skor edisi ke-25
Tabloid skor edisi ke-25
 
2
22
2
 
2
22
2
 
Tugas kelompok character building(1)
Tugas kelompok character building(1)Tugas kelompok character building(1)
Tugas kelompok character building(1)
 
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang AdaMempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
Mempertahankan Indonesia dengan Menghargai Perbedaan yang Ada
 
Presiden Idaman Masa Depan
Presiden Idaman Masa DepanPresiden Idaman Masa Depan
Presiden Idaman Masa Depan
 
Tabloid reformata edisi 165 juli 2013
Tabloid reformata edisi 165 juli 2013Tabloid reformata edisi 165 juli 2013
Tabloid reformata edisi 165 juli 2013
 
Perjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakatPerjalanan seseorang bermasyarakat
Perjalanan seseorang bermasyarakat
 

Plus de Ananta Bangun

Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Ananta Bangun
 
Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Ananta Bangun
 
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisPresentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisAnanta Bangun
 
Lentera news - mei 2016
Lentera news  - mei 2016Lentera news  - mei 2016
Lentera news - mei 2016Ananta Bangun
 
Lentera news ed.#23 April 2016
Lentera news  ed.#23 April 2016Lentera news  ed.#23 April 2016
Lentera news ed.#23 April 2016Ananta Bangun
 
Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Ananta Bangun
 
Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016Ananta Bangun
 
Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Ananta Bangun
 
Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Ananta Bangun
 
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015Ananta Bangun
 
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Ananta Bangun
 
Mengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailMengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailAnanta Bangun
 
Mengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailMengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailAnanta Bangun
 

Plus de Ananta Bangun (15)

Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
Seminar "Bijak Bermedia Sosial"
 
Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017Lentera #31 edisi juni 2017
Lentera #31 edisi juni 2017
 
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulisPresentasi untuk semiloka aksi umat menulis
Presentasi untuk semiloka aksi umat menulis
 
Lentera news - mei 2016
Lentera news  - mei 2016Lentera news  - mei 2016
Lentera news - mei 2016
 
Lentera news ed.#23 April 2016
Lentera news  ed.#23 April 2016Lentera news  ed.#23 April 2016
Lentera news ed.#23 April 2016
 
Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016Lentera news ed. #22 Maret 2016
Lentera news ed. #22 Maret 2016
 
Lentera news ed. #21 Januari 2016
Lentera news  ed. #21 Januari 2016Lentera news  ed. #21 Januari 2016
Lentera news ed. #21 Januari 2016
 
Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015Lenteranews Oktober 2015
Lenteranews Oktober 2015
 
Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015Lentera News edisi #15 Juni 2015
Lentera News edisi #15 Juni 2015
 
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015majalah online Lentera News edisi Maret 2015
majalah online Lentera News edisi Maret 2015
 
Internet bijak
Internet bijakInternet bijak
Internet bijak
 
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
Pendidikan dan TIK, Jatuh Cinta (lagi)
 
Mengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar GmailMengenal & Mendaftar Gmail
Mengenal & Mendaftar Gmail
 
Mengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di GmailMengenal & Mendaftar di Gmail
Mengenal & Mendaftar di Gmail
 
Parts of speech
Parts of speechParts of speech
Parts of speech
 

Lentera news #17 Agustus 2015 | Merayakan Agustus

  • 1. 1 EDISI #17 AGUSTUS 2015 MERAYAKAN AGUSTUS Source: https://pendoasion.files.wordpress.com/2014/08/hut-indonesia.jpg
  • 2. 2 DUKUNG MAJALAH LENTERA NEWS DENGAN DOA DAN DANA Kunjungi kami di sini: Bank Nasional Indonesia Rek.No. 0307532799 a.n. Hubertus Agustus Lidy /LENTERA-NEWS MAJALAHLENTERA.COM daftarisi Tajuk Redaksi3 Telisik 4 7 Lentera khusus 10 Embun Katekese 12 Opini 20 Ilham sehat Merayakan Agustus 18 Rumah Joss 14 Sastra RP Hubertus Lidi, OSC [Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi], Ananta Bangun [Redaktur Tulis], ­Jansudin Saragih [Redaktur Foto], Rina Malem Barus [Keuangan] Penerbit: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Medan (KOMSOS-KAM) ­Jalan S.Parman No. 107 Telp. +62614572457 , mp. 085361618545| www.majalahlentera.com | ­redaksi@majalahlentera.com , beritalentera@gmail.com | Facebook Fan Page: facebook.com/lentera-news REDAKSI Korupsi Kini Menjadi Mode (II) Pelanggaran Liturgi Dalam Perayaan ­Ekaristi (bag. III) Celoteh Merdeka di Ruang Publik ­Pengurbanan & Pelayanan Sinta (bag. III) 23 Lapo Aksara Menghalau Singa
  • 3. 3 Redaksi 3 TAJUK REDAKSI Bulan Agustus merupakan momentum ­istimewa bagi Warga Negara Indonesia. Bulan dimana kita merayakan Hari Kemerdakaan Republik Indonesia. Sebab telah terlepas dari penjajahan di masa silam. Redaksi Lentera News juga hendak berbagi g­agasan dan ilham yang lekat dengan ­makna Hari Kemerdekaan ini. Untuk tidak melulu ­mengingatkan dendam penjajahan di masa l­ampau. Namun, lebih kepada bagaimana kita menyapukan warna baru di kanvas bangsa kita ini. Redaksi sungguh dilimpahi berkat, sebab bung Dian Purba ikhlas kolom ‘Pollung’ - nya ­direlokasi ke ‘Lentera Khusus’. Kisah pelari ­nir-alas dari ­Pakkat, Reka Pane, sungguh mengena ­dengan ­semangat Lentera bahwa setiap cerita ­mewariskan pesan moralnya dengan bingkai ­kisahnya masing-masing. Siapa Reka? Mengapa kisahnya dalam ­merayakan Hari Kemerdekaan RI, juga bisa menyampirkan nilai kehidupannya secara unik. Bergegaslah ­menelusur kolom Lentera Khusus ­untuk­memuaskanrasapenasaranAnda,­sahabat pembaca Lentera. Tidak hanya bung Dian Purba yang ­mengakhiri karya cerpennya dalam kolom ‘Sastra’, p­ermenungan akhir Pater Hubertus Lidi OSC­ t­entang korupsi juga dapat disingkap dalam ­kolom khususnya di ‘Telisik’. Namun, Pater ­Hubert juga menyempatkan berbagi gagasannya ­tentang kemerdakan dalam edisi ini untuk kolom ‘Opini’. Tidak setiap insan dapat menemukan ­kemerdekaan-nyasendiri.NamunRedaksi­Lentera Newsmenyediakanwadahbagisetiapinsanyang hendak berbagi gagasan dan kisah sebagaimana para penulis di Lentera News. Kami yakin, setiap rajut aksara dari insan yang merdeka, tentu memuat nilai-nilai yang tak ternilai harganya. Kita tidak mesti menjadi yang teratas untuk membuat perubahan, namun apa yang kita beri sebagai pencerahan bagi sesama. Merdeka!!!
  • 4. 4 RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com KORUPSI KINI MENJADI MODE (II) TELISIK | KORUPSI K ita harus akui bahwa Korupsi itu bak virus yang sudah lama berkembang, bahkan sebelum jaman Zakeus sang Pemungut Cukai. Virus itu siap menyerang siapa saja dan kapan saja. Ga peduli ­agamanya, kaum berjubah, ber jas, dan ­berjeans bahkan kaum jelata. Virus ini siap ­mengembangkan sayapnya ke ­semua lini ­kehidupan. Korupsi tidak ­selamanya harus uang dan harta. Korupsi yang sering kita lakukan dan ­kemungkinan besar tidak disadari ­sebagai korupsi, dan dilihat ­sebagai hal yang ‘biasa-biasa saja’ ­adalah berkaitan ­disiplin waktu. Misalnya ­telat, ­tarik-ulur, dan absensi kehadiran ­merupakan ­bagian dari korupsi waktu. Secara ­mentalitas menguntungkan ­secara negatif salah satu pihak dan tentu merugikan pihak yang lain. Kawanku yang suka berseloro itu berkomentar: Ya itu sih wajar, ­karena ­Indonesiakan ­penghasil Karet, jadi soal tarik-ulur ­waktu itu ­sudah pasti.” ­“Maksudnya?” “ Wan, soalnya, kala aku menggugatnya saat ia ­terlambat ­jawabnya ialah: ‘ah kau ­seperti orang Barat saja!” “Ya….ya….repot, dan ­memprihatinkan, lagi-lagi ­Indonesia ­menjadi daerah ­endemi ­korupsi,” ­tanggapku serius. Satu sisi orang-orang Indonesia ­dikenal sebagai orang yang ­religiositasnya tinggi. Orang agamais, bumi yang ­dihuni oleh para alim-ulama. ­Sejak SD orang-orang ­Indonesia ­sudah ­biasa ­diperhadapkan ­dengan­ungkapan:­Berimandan­Bertaqwa. Iman kaitan ­dengan ­bagaimana ‘saya’ ­percayaakanAllah,danTakwa­bagaimana ‘saya’ ­menjalankan ­perintahNya dan ­menjauhi ­larangan-laranganNya. Anda tentu ­sepakat, kalau saya mengatakan
  • 5. 5 bahwa Korupsi adalah perbuatan yang dilarang oleh Agama. Realitas ­bahwa Indonesia adalah daerah endemi ­korupsi, tentu hal ini sangat Paradoks, dalam arti: ­Ortodoksi tidak sesuai, atau belum menjadi ­bagian dari ­Ortopraksis atau dengan kata lain ajaran tidak sesuai dengan perbuatan. Kalau kita merujuk pada salah surat dalam Alkitab: Iman tanpa perbuatan adalah mati. Orang menjadi ­munafik, secara lahiria nampaknya baik, soleh, dan soleha tapi ‘mentalnya’ ­busuk. Dalamhalini­Agama­bukannya­menjadi cermintetapi­sebaliknya­dimanfaatkan ­sebagai topeng. Ibaratnya negara agraris yang ­mengimpor beras dan kedele dari ­negara lain. Apakah kita yang ­religiositasnya tinggi harus ­mengimpor etika dan moral dari ­belahan dunia lain? Paradoks. Rumah:TempatBelajarTidak­Korupsi Korupsi itu pada prinsipnya merupa- kan perbuatan memperkaya diri den- gan mengambil bagian yang bukan bagianya, mengambil hak orang lain. Dampak dari perbuatan itu menim- bulkan kerugian dan penderitaan bagi orang lain. Mari kita merunut kembali ke belakang, terutama saat-saat masih di rumah asal kita; bersama orang tua dan sank-saudara. Saya yakin bahwa Iklim menghargai hak orang, secara khusus terhadap saudara-saudari di dalam rumah, pada prinsipnya telah mendapat perhatian semenjak masih dalam usia balita. Pembinaan dasar agar menghormati danmenghargaibagiandarioranglain tentu sudah dilatih semenjak masih berusia dini. Umpamanya: Merampas ‘bombon <sweets candy>’ adik atau kakanya, baik secara langsung mau- pun tak langsung pasti langsung di tegur bahkan telinganya bisa ­dijewer oleh orang tuanya. Jangan-jangan para Koruptor itu semenjak balita sudah biasa main rampas-rampasan bombon adik atau kakaknya dan berusaha kabur dari jeweran orang tuanya. Nilai-nilai hidup yang ­berbarengan dengan pembaharuan mental di ­rumah, sejak dini diturun-alihkan ­kepada penghuni rumah adalah ­bersikap jujur mengakui kesalahan danmempunyairasamaluatas­sesuatu perbuatan yang tidak ­berkenan. Pembenaran diri, tidak ada ­penyesalan, dan tidak ­­menunjukan ­gelagat malu merupakan ­pemandangan yang biasa yang ditampilkan oleh para Koruptor yang nongol di Media massa, baik cetak maupun elektrik. Jangan-jangan ­sejak kecil rasa malunya sudah rontok. Kawanku mengusulkan:Wan, ­sebelum duduk di kursi kekuasaan baiklah kamu terapi kembali rasa malumu, biar ada budaya malumu, kalau tidak nanti main hantam tanpa tata-kromo, alias main serobot saja.”“Benar juga!” Mari kita benahi mentalitas kita, mu- lai dari diri, rumah, paguyuban profan dan peribadatan. Yang pasti dampak perbaikan itu akan mempengaruhi baik atas kehidupan. Say no to Corruption sebagai iklan sudah banyak dipertontonkan secara visual yang penting adalah ­bagaimana iklan itu menjadi darah dan ­daging anak bangsa ini, dan melahirkan ­sebuah generasi yang tidak korup. Copyright ilustrasi: HarianTerbit.com Wan, ­sebelum duduk di kursi ­kekuasaan baiklah kamu ­terapi kembali rasa ­malumu, biar ada budaya malumu, ­kalau tidak nanti main hantam tanpa tata-kromo, alias main serobot saja “
  • 6. 6 RP Hubertus Lidi, OSC Pemimpin Umum/ Redaksi Ananta Bangun Redaktur Tulis Jansudin Shemy Saragih Redaktur Foto Segenap Keluarga Besar Majalah LENTERA News Turut Bangga Mengucapkan: DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE- 70 [ 17 Agustus 2015 ]
  • 7. 7 LENTERA KHUSUS | HUT KEMERDEKAAN RI MERAYAKAN AGUSTUS B ilaAgustussudahmenghampiri,diatahudiaakan kembali merinding. Bila Agustus sudah tiba, dia tahu dia akan membuat dirinya dan ­keluarganya dan sekolahnya dan satu ­kampungnya dan bekas ­sekolahnya akan tersenyum bangga ­padanya. Bila Agustus sudah sampai dia tahu dia akan terharu. Bila Agustus sudah datang, dia tahu “takdir” akan ­memanggilnya. Takdir itu adalah berlari. Image: Blogspot.com
  • 8. 8 Namanya Reka Pane. Dia ­lahir di Merak, Lampung, 13 Juli 1997. Sebelum dia ­beranjak sekolah ­orangtuanya ­pindah ke ­kampung halaman, Purba Baringin ­Kecamatan ­Pakkat Humbang ­Hasundutan. Segera setelah dia sudah bisa ­memilih mata ­pelajaran ­favorit, dia ­menjatuhkan pili- han: ­matematika adalah mu- suhnya. Entah bagaimana ini bermula, saat dia kelas empat SD, dia ­ mendapati dirinya ­berada di ­puncak kebosanan ­bermatematika di kelas. Dia lalu menemukan dirinya ­berada pada kebetulan yang akan ­membebaskannya—paling tidak untuk sementara—dari ­dunia hitung-menghitung itu. Dia ­memutuskan ikut seleksi pelari dari sekolahnya. Dan: dia ­menang. Dan, ternyata, ­kebetulan yang bersumber dari kebosanan itu mendatangkan kebanggaan bagi ­sekolahnya. Namanya dipanggil dari ­podium utama perayaan hari kemerdekaan di kota kecamatan Pakkat sebagai pemenang lari. Semenjak itu, saban tahun ­takkan dia biarkan Agustus berlalu tanpa namanya ­dipanggil di podium utama sebagai ­pemenang lari. Setelah dia tamat SMP, dua guru olahraga SMA di ­Pakkat ­berlomba memintanya ­mendaftar di sekolahnya. Dia ­memilih SMA Negeri 1 Pakkat. “Kalau di SMK letaknya terlalu jauh dari sini,”ujar ibunya. Selain itu,“Banyak sekali uang akan keluar. Uang PKL (praktek kerja lapangan), uang dinas.” Tahun 2014 silam boleh jadi akan tahun yang paling dikenang Reka. Ceritanya begini. ­Ibunya pergi ke pasar sudah agak siang. Jarak dari rumah ke pasar ­tujuh kilometer. Baru saja tiba di pasar, ibunya terima telepon dari adik Reka. Sebelum telepon ditutup ibunya jatuh pingsan di ­tengah keramaian. Sontak orang berkerumun. Setelah dia sadar sembari menangis histeris dia berteriak,“Anakku ­meninggal. Reka meninggal.”Beberapa saat kemudian dia sudah di atas ­motor yang lajunya ­sangat ­kencang. Ibunya lupa siapa saat itu yang ­memboncengnya. Sepanjang perjalanan dia ­menangis histeris. Tiba di rumah, “Mana anakku? Mana anakku? Rekaaaa....!”Yang dia temui di sana bukanlah jasad Reka, ­namun wajah tetangga yang terheran-heran. Teriakannya mengundang keramaian. Dan keramaian itu tampak bingung. Siapa yang meninggal? Reka yang dianggapnya ­meninggal itu pun muncul. Dia tidak meninggal. Selidik punya selidik, saat adik Reka menel- epon ­ibunya yang sedang di pasar yang sangat ramai, kalimat inilah yang didengar ibunya,“Si Reka mate (mati).”Sementara pesan aslinya,“Boan sate di si Reka ­(Belikan sate untuk Reka).” Reka yang sangat doyan sate itu ­meminta adiknya menghubungi ibunya untuk ­dibawakan sate dari pasar. Ibunya dengan ­cepatnya ­menganggap“sate” sebagai“mate”karena dia ­meninggalkan Reka sedang sakit di rumah. Cerita ini menyebar dengan sangat cepat ke seantero kampung dan selalu membuat orang tertawa. Dalam keadaan sakit itu pulalah Reka memutuskan tetap berlari untuk sekolahnya. Kesehatan- nya belum begitu pulih mulai
  • 9. 9 dari latihan jelang kejuaraan hingga di hari kejuaraan. Dia hanya memakan satu kuning telur saja penambah tenaga di malam hari jelang lomba. Dia berlari dan berlari. Jarak 10 kilometer ditempuhnya tak lebih dari setengah jam. Mari saya beritahu ke Anda: lintasan larinya bukanlah di dalam stadion, tapi di jalan raya Pakkat-Dolok Sanggul yang konturnya ­berlembah berbukit. Di beberapa ­titik ­tanjakannya hampir mendekati 50 ­derajat. Lagi-lagi dia ­membuktikan diri jadi penguasa ­lintasan. Dia ­mencatat rekor ­mengagumkan di tingkat kecamatan: ­pemegang lari 10 kilometer tujuh tahun ­berturut-turut.“Aku ­sangat bangga bisa membuat ­sekolahku terkenal. Itulah motivasi utamaku,”ujar Reka. Dia dicetak sempurna oleh alam Pakkat. Setelah pulang sekolah, dia akan berlari-lari ke ladang. Dari ladang dia akan membawa sekarung padi kering.”Ibunya sangat membanggakan Reka.“Dia pekerja hebat. Dia sangat ­rajin. Dia sangat suka nyuci, nyetrika, dan bekerja di sawah.”Tapi, lanjut ibunya, “dia tidak suka cuci piring.” Adakah faktor lain yang membuat kaki dan nafasnya sangat kuat?“Aku suka ­berenang. Aku juga jago ­menyelam,”terang Reka. Setelah namanya ­diumumkan ­sebagai ­pemenang, dan setelah dia ­mengantongi hadiah lomba itu, tanpa ragu dia berjalan di tengah keramaian ­perayaan 17-an sembari mencari tukang sate. Persis seperti Sukarno yang makan sate setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Reka memerdekakan ­dirinya di hari kemerdekaan itu menyantap sate sepuasnya. Apakah tahun ini dia kembali akan mendapatkan hadiah lomba dengan begitu akan menyantap sate lebih banyak lagi? Yahh... Tahun ini takdir kembali memanggilnya. Bila tahun lalu dia sedang sakit saat berlomba dan menjadi juara, tahun ini dia tetap menguasai lintasan namun dengan jarak antara dia dan pelari di belakangnya terpaut lebih jauh dari tahun silam. Reka Pane | Credit Photo: Dian Purba
  • 10. 10 EMBUN KATAKESE | LITURGI PELANGGARAN LITURGI DALAM PERAYAAN EKARISTI (III) OLEH: Katolisitas.org
  • 11. 11 Adalah baik jika sesaat ­sebelum ­menyambut Komuni umat ­menundukkan kepala, tanda ­penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya “ Pada edisi Juli lalu, telah ­dipaparkan beberapa pelanggaran dalam bagian- bagian Misa Kudus. Dalam edisi bulan ini, Pembaca bisa mendapati kelanju- tan dari sorotan tentang pelanggaran dalam penerimaan Komuni. 3. Umat yang menerima Komuni ­dengan tangan, tidak melaku- kan ­sikap penghormatan sebelum ­menerimanya. Seharusnya: PUMR 160 ….Tetapi, kalau menyambut sambil berdiri, dianjurkan agar sebelum menyambut Tubuh (dan Darah) Tuhan mereka menyatakan tanda hormat yang serasi, sebagaimana ditentukan dalam kaidah- kaidah mengenai komuni. Adalah baik jika sesaat ­sebelum ­menyambut Komuni umat ­menundukkan kepala, tanda ­penghormatan kepada Kristus Tuhan yang hadir di dalamnya. 4. Patena sudah jarang digunakan. Seharusnya: RS 93 Patena Komuni untuk umat hendaknya dipertahankan, demi ­menghindarkan bahaya jatuhnya hosti kudus atau pecahannya. 5. Umat tidak menjawab “Amin” pada perkataan Romo, “Tubuh Kristus” ­sebelum menerima hosti. Seharusnya: PUMR 287 Kalau komuni dua rupa ­dilaksanakan dengan ­mencelupkan hosti ke dalam anggur, tiap ­penyambut, ­sambil memegang patena di bawah dagu, menghadap imam yang ­memegang ­piala. Di samping imam berdiri ­pelayan yang ­memegang bejana ­kudus ­berisi ­hosti. Imam mengambil ­hosti, ­mencelupkan ­sebagian ke dalam piala, ­ memperlihatkannya ­kepada ­penyambut sambil berkata: Tubuh dan Darah ­Kristus. Penyambut menjawab: Amin,lalu­menerimahostidenganmulut, dan ­kemudian kembali ke tempat duduk. 6. Petugas Pembagi Komuni Tak ­Lazim (atau dikenal umat dengan istilah pro-diakon) membagi Komuni, Pastor malah duduk. Seharusnya: RS 154 Seperti sudah dinyatakan, ­“pelayan yang selaku pribadi Kristus ­dapat melaksanakan sakramen ­Ekaristi, hanyalah Imam yang ditahbiskan ­secara sah” (lih. KHK Kan 900, 1) Karena itu, ­istilah “pelayan Ekaristi: hanya ­dapat ­diterapkan pada seorang Imam. Di samping itu, berdasarkan pentahbisan suci, pelayan-pelayan yang lazim untuk memberi komuni adalah Uskup, Imam dan Diakon…. RS 151 Hanya kalau sungguh perlu, boleh diminta bantuan ­pelayan-pelayan tak ­lazim dalam perayaan liturgi. ­Permohonan akan bantuan yang ­demikian bukannya dimaksudkan demi menunjang partisipasi umat, melainkan, karena kodratnya, bersifat pelengkap dan darurat….. RS 152 Jabatan- jabatan yang semata- matapelengkapinijangan­dipergunakan untuk menjatuhkan pelayanan asli oleh para Imam demikian rupa….. RS 157 ….Tidak dapat dibenarkan ­kebiasaan para Imam yang, walaupun hadir pada perayaan itu, tidak membagi komuni dan menyerahkan tugas ini ke- pada orang-orang awam.
  • 12. 12 KOLOM “RUMAH JOSS” | PENGURBANAN & PELAYANAN Yoseph Tien Wakil Ketua ­KomIsi Kepemudaan di ­Keuskupan Agung Medan 14 Pengurbanan & Pelayanan Pengurbanan dan pelayanan ­merupakan dua kata yang sangat akrab dengan kehidupan kita sehari- hari. Kata-kata ini sering kita ­gunakan, ­seringkitapakai.Hariini,sejak­bangun tidur sampai saat saya membuat ­catatan ini, kata pengurbanan dan ­pelayanan seperti terngiang-ngiang di teliga saya. Sempat saya ­berpikir, apakah saya mengalami positive ­auditory halusination? Hehehe…. Mari kita cermati makna dari dua kata tersebut, menurut Kamus ­Besar ­Bahasa Indonesia, terbitan ­Departemen ­Pendidikan ­Nasional - Balai Pustaka, 1990. Kurban Pengurbanan berasal dari ‘kurban’. Berikut ini beberapa makna kata ­‘kurban’. 1) Persembahan kepada Tuhan ­(seperti biri-biri, sapi, unta yang ­disembelih pada hari Lebaran Haji). Contoh kalimat: Mereka ­menyembelih kerbau untuk kurban. 2) Pujaan atau persembahan ­kepada dewa-dewa. Contoh ­kalimat: ­Setahun sekali diadakan upacara ­mempersembahkan kurban kepada Batara Brahma. ‘kurban misa’ mengandung makna: upacara mempersembahkan roti suci dan air anggur. ‘berkurban’ mengandung makna: mempersembahkan kurban. ‘mengurbankan’ mengandung ­makna: mempersembahkan sesuatu sebagai kurban: lembu, buah-buahan, dsb. Layan Pelayanan berasal dari kata ‘layan’. Berikut ini beberapa makna kata ‘layan’. ‘melayani’mengandung makna: 1) Membantu menyiapkan ­(mengurus) apa-apa yang ­diperlukan seseorang. 2) Menerima (menyambut) ajakan (tantangan, serangan, dsb). 3) Mengendalikan: melaksanakan penggunaannya (senjata, mesin, dsb). ‘melayankan’ mengandung ­makna: menghidangkan (menyajikan, ­menyuguhkan) santapan (minuman). ‘layanan’mengandung makna: ­perihal atau cara melayani. ‘pelayanan’mengandung makna: 1) perihal atau cara melayani; 2) servis, jasa; 3) kemudahan yang diberikan ­sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Dalam kehidupan kita sehari-hari, ­seringkalikitamelakukan­banyaksalah kaprah terkait dengan ­pengorbanan dan pelayanan.
  • 13. 1315 Beberapa salah kaprah terkait ­pengorbanan: 1) Seorang gadis yang rela ­mengorbankan tubuhnya bagi sang kekasih hanya karena cinta 2) Seorang professional rela ­mengorbankan keyakinannya demi profesi dan kehormatan 3) Pengorbanan yang dilakukan ­dengan motif demi uang, jabatan, nama baik, penghormatan, pujian dan penghargaan Beberapa salah kaprah terkait ­pelayanan: 1) Orang yang tugas utamanya ­memang melayani tetapi selalu minta dilayani. 2) Orang yang melayani dengan ­memandang warna baju, warna bulu, warna kulit juga warna isi kantong; 3) Orang yang melakukan ­pelayanan dengan motif uang, jabatan, nama baik, penghormatan, pujian dan ­penghargaan Panggilan tugas kenabian ­siapapun, untuk melakukan pelayanan dan ­pengorbanan secara bertanggung jawab, dewasa, pada tempatnya dalam tataran kehidupan sosial kita, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, hemat saya memang sedang berada pada titik kritis. Inilah tantangan bagi kita sekalian. Saya jadi teringat dengan kata-kata Bunda Teresa berikut ini: “Bila engkau baik hati, bisa saja orang lain menuduhmu punya pamrih. Tapi bagaimanapun, berbaik hatilah. Bila engkau jujur, mungkin saja orang lain akan menipumu, tapi ­bagaimanapun berbuatlah jujur. ­Kebaikan yang ­engkau lakukan hari ini, mungkin saja besok sudah dilupakan orang, tapi bagaimanapun berbuat ­baiklah. Bagaimanapun, berikan yang terbaik dari dirimu. Pada akhirnya ­engkau akan tahu, bahwa ini adalah ­urusan antara engkau dan Tuhanmu. Ini ­bukan urusan antara engkau dan mereka.” Sahabat Joss Yang Terkasih… Mari tebarkanlah senyuman manis, dengan pengorbanan dan pelayanan yang harmonis demi hidup yang ­berbuah manis. Semoga saya tidak ­sedang berhalusinasi dalam refleksi ini. Salam Joss...! --------- Credit Photo: Ananta Bangun
  • 14. 14 OPINII | POLITIK CELOTEH MERDEKA DI RUANG PUBLIK M erdeka!……merde - k a ! … … m e r d e k a ! Sambil berteriak ia mengacungkan bogemnya. Orang-orangyangdi­hadapinya, ribuan, diam seribuh baha- sa, tertunduk, membisu. Ia berteriak lagi: “Merdeka… merdeka…merdeka,” suaranya ­membahana, membela jagat mengejar angkasa. Lagi-lagi, tidak ada tanggapan. Diam. Merokok. Tak mau tahu. Ia geram : “Mengapa kalian, yang di arah mata angin sana, ­berteriak merdeka saja takut?” Suaranya ­lantang bergetar, sambil ­menunjuk ke arah salah satu mata angin. “Saudara-saudaraku, supaya kamu tahu, kamu sudah merdeka, sudah merdeka,sudah merdeka; mengapa mengekspresikan melalaui kata- kata saja , kamu tidak bisa. Ini tanda apa ini….,” ia mengerutu. Massa yang di hadapnya senyum-senyum ­memperhatikannya, menikmati ­geramnya. “Apakah mereka takut ­berteriak merdeka? Belum tentu! Apakah ­mereka segan ­mengekspresikan ­dengan raut wajah yang ­berbinar-binar?Tidak juga! Lalu apa?” Ia bertanya dalam diri. Lalu Dari arah kerumunan massa itu, terdengar ­suara-suara, mmmmmmmmmm, seperti lebah. Samar-samar ­terdengar: “ah ­retorika…… ­panggung doang……… ko itu itu saja, sandiwara saja. Dari ­panggung kehormatan ‘hatinya’ ­menangkap sesuatu dari gelagat massa itu. Source: http://www.seasite.niu.edu/indonesian/percakapan/indonesia/suharto/pasikom-20mei98.jpg RP Hubertus Lidi, OSC hubertuslidiosc@gmail.com
  • 15. 15 Kalau kita melihat bahwa ­tantangan dan ­kesulitan itu ­adalah ­beban, maka kita ­menjadikan ­kemanusian ­sejajar dengan keledai. Kita ­‘mendudukan’ di atas bahu ­kemanusiaan kita, secara terpisah, bukan lagi bagian dari kemanusiaan itu. “ Ia turun menuju alun-alun publik, ­menerobos jauh ke dalam; berdesak – desakan, ­berhimpit-himpitan, ­sambil menyendengkan telingahnya, ke mulut orang- orang itu. Ia ­mengitari ­busana-busana kusam, yang ­tercabik, di lenganya, bahunya. Tidak di pantatnya, karena bagaimanapun ­sederhananya, mereka tetap ­menjaga ­kehormatan. Ia membaur dalam aroma-aroma ­tubuh petani, kaum buru, pengemis jalan dan jutaan para pencari sesuap nasi. Dari sana ia insaf. ­Mereka be- lum merdeka, masih ­berjuang dan ­berjuang, demi ­perutnya juga ­perut dan masa depan ­anak-anaknya. ­Terhimpit dalam ­keniscayaan, ingin tapi tak ­berdaya. Dibungkam oleh sesama warga ­kemerdekaan yang punya uang, kedudukan, dan bedil. “Sohib sohib sekarang saya ­mengerti mengapa kalian tidak berminat ­berteriak merdeka, kata yang ­mahal dan mengandung sejuta makna itu. Aku mengerti…….aku mengerti!” ­“Alahhhhh, baru nongol, sok tahu tahu, pasti ada maunya,” kata mereka, agak mencibir! “Benarkan….benarkan!” mereka terus mendesak. Ia tetap berdiri dalam kerumunan itu, menganguk- angguk. Serius mendengar, sekali-sekali ia menggoreskan kalimat-kalimat yang tidak jelas dalam note booknya. Sedang menampung aspirasi, bibirnya bergerak gerak. “Ya sohib-sohib saya mengerti, dan berusaha menampung keluh – ke- sah kalian.” “Walahhhhhhhhh, pake tampung ­segala, yang dibawanya pasti karung kosong untuk menampung dan ­mengisi ­aspirasi kita. Dompetnya juga pasti ­kosong, mana mau ‘barteran’ ­dengan ­suara kita,”tanggap massa agak ­mengejek.“Pak kami butuh karung yang ada isi, berassssssssssss. Kami butuh dompet yang ada isi, uanggggggggggg, massa melanjutkan celoteh ejekan- nya. “Semakin jelas, pasti ada maunya,” massa mulai berani mencercanya! “Ya tidak apa apa, boleh kamu marah saya, keluarkan unek-unekmu, aku akan memprosesnya dan menemukan jalan keluarnya, asal ………….”“Asal apa…… pak?”Tanya mereka. “Ah saya tidak akan ­memberitahukan sekarang, kamu lagi emosi, nalarmu tidak jalan. Kurang pas kalau saya memberikan penjelasan ­kepada orang yang hanya ­mempunyai naluri saja, tanpa nalar. Pada saat yang tepat, akan saya jelaskan,” ­katannya ­dengan tenang. “Pak , biar pak tidak memberitahukan alasannya, tetapi ­sebenarnya alasanya sudah jelas, agar kami memilihmu!” “Ah bukan soal itu, ngaco kamu. Saya tahu kamu berada dalam ‘kesesakan’ membutuhkan yang namanya kemerdekaan, biar hidup kamu lebih manusiawi. Mengapa saya katakan lebih ­manusiawi, sebenarnya saya bisa ­mengunakan kata- kata, agar beban hidupmu ­semakin ringan?” Ia bertanya kepada ­beberapa orang di ­sampingnya. “Tidak tahu, pak,” jawab mereka. Ia memberikan ­penjelasan: “Maksudku selama ini ­banyak bebanmu dipundak kehidupanmu, jadi kamu merasa mirip Keledai, keledai beban. Jadi kalau saya ­menggunakan istilah biar bebanmu ­semakinberkurang,berarti­orientasisaya kepadamu, terarah kepada ­bebannya saja, tetapi ‘perspektif’ saya terahadap kamu, tetap keledai, yang siap ­memikul beban berikut. Ya singkatnya kamu jangan mengkeledaikan diri. Kalau saya menggunakan istilah ‘manusiawi’, ­berarti memang secara esensial, kamu manusia, sama dengan saya. Rintangan, tantangan, dan ­kesulitan itu wajar, dan merupakan bagian dari roda ­kehidupan ini, bukan beban; biar kita lebih kre- atif, inovatif, dan tegar meramunya. Setiap manusia dengan anugerah indra keenamnya, maksud saya intuisi, harus mampu melihat bahwa di balik tantan- gan dan kesulitan itu selalu ada peluang dan kesempatan. Bahasa teologisnya: Di balik Salib ada Kebangkitan. Tantangan dan kesulitan itu, sebagai pemicu agar kita bergerak maju, meraih peluang dan kesempatan itu. Kalau kita melihat bahwa tantangan dan kesulitan itu adalah beban, maka kita menjadikan kemanusian sejajar dengan keledai. Kita ‘mendudukan’diatasbahu­kemanusiaan kita, secara terpisah, bukan lagi bagian dari kemanusiaan itu. Tidak usah heran litani kehidupan yang kalian daraskan bernada keluh dan kesah saja, bukan upaya dan penemuan baru.”
  • 16. 16 Mereka, mengangguk-angguk, dan ­insaf bahwa proses ‘Pemerdekaan’ mesti ­mulai dari pembebasan akan paham, definsi, ­penilaian, dan perspektif yang ­membelenggu diri. “Ya tapi bagaimana dengan realitas ­kesulitan seperti: tidak tahu makan apa hari ini, ­biaya sekolah, adat, dan ­sumbangan ini itu, ­termasuk yang berkeliaran di jalan raya yang sudah menjadi bagian kehidupan kami.” Mereka bertanya. “Ya itu benar, lagi-lagi ini dampak dari ‘pemahaman kermerdaan’ yang keliru juga, dan celakanya terlanjur menjadi tabiat. Mahkluk manusia jenis ini, dengan ‘akal bulusnya’ merelativir ­segala-galanya. Dia yang seharusnya salah menjadi ­benar, dan sebaliknya yang benar ­disalahkan. Atribut-atribut ‘rasa malunya’ ­sudah ­rontok. Jumlah orang-orang macam ini terus ­bertambah, tampil di Koran atau di TV ­dengan senyum ramah pembenaran diri,”sejenak Ia berhenti, untuk berdehem. “Sohib-sohib saya mau melanjut- kan lagi…….Manusia yang akal bu- lusnya ­seperti itu, tadi pada dasarnya ­menafisirkan ­kemerdekaan berarti ber- buat seenak bokongnya. Contohnya ban- yak dari ­mereka yang ‘membuncitkan perutnya’ dengan ­jatah yang seharusnya menjadi hak orang lain. ­Lebih heboh lagi ­‘buncitnya ­berjemaah’ ­sehingga proses ­untuk ­menangkap, ­mengadili dan ­memenjarahkan ­mereka men- jadi lebih ­kompleks dan makan ­waktu yang lama. Seenak ­bokongnya kan? Ya kalau kita melihat dengan kaca mata ­kemanusiaan, kasihan juga! Mereka ­belum merdeka, ­membiarkan harga diri ­kemanusiannya, dkuasai dan ­dikukung oleh ­keinginan-keinginan yang ­bukan haknya. Zat zat rasa malu mereka men- jadi tawar oleh nikmat dan nafsu. ­Mereka hanyalah ­seonggok daging menta yang tak punya rasa, yang menyebarkan ­aroma derita bagi dirinya dan orang lain. Manusia yang bernurani hewani, di jaman google ini.” “Bagaimana dengan saudara? Jangan- jangan saudara“melempar batu sembunyi tangan,” tanya beberapa orang. “Ya…… ya, aku….. masih belum terlalu parah, kategori baik. Aku akan mencoba tidak ­mengikuti arus orang-orang itu. Ah aku masih mau bicara tentang ada ada ga- gasan ­untuk ­mengembangkan kembali budaya ‘rasa malu’ jadi kalian jangan ber- tanya dulu.”“Okey bercelotehlah! Para So- hib, kemerdekaan yang liar, alias menem- bus koridor etika, ­moral, dan tata krama bisa , membentuk watak dan kepribadian yang ‘tuna sosial’. Ia menjadi pribadi yang egois, dan tidak tahu malu. Ini sebenarnya musibah, yang sedang ­melanda bangsa kita. Sejak jaman Sriwijaya dan ­Majapahit, seantero jagat telah ­mengenal kita seba- gai bangsa yang bertatakrama. Dari balita, boca-boca mereka dididik oleh orang tu- anya yang bertatakrama juga.” Warisan yang tak ternilai harganya, kini ­mulai hilang secara pelan dan pasti, den- gan penghayatan yang keliru terhadap‘life style’ post modern. Seiring dengan ber- tambahnya jumlah ‘asoi man –wati.’ Pent- ing nikmat! Ya waktu mendengar bahwa ada upaya bangsa untuk mengembalikan budaya rasa malu, terutama kepada gen- erasi penerus, baik juga gagasan itu. Per- tanyannya adalah siapa yang mendidik mereka? Mari kita, para orator kawakan, politisi- politisi, pengkhotba ulung, dan sejuta ­penggerak massa, serta ­kawakan-kawakan lain, yang tidak pernah absen muncul di ­media masa, baik main stream me- dia ­maupun new ­media, kitalah orang ­pertama yang harus ­mengembalikan rasa malu dalam diri dan Keluarga serta fam- ily kita. Para ­pendukung dan ­massa kita, akan ­berlajar dari gelagat kita yang baik, dan ­menyebarlah virus rasa malu itu se- hingga kita kembali ­manusia ­normal, tahu diri. Kita menjadi orang ­merdeka, ­untuk berbuat baik, ­membebaskan diri dari ­topeng ­kepalsuan hidup. Merdeka ­berbuat baik ini juga ­merupakan ­arahan dasar agama kita. Mari kita wariskan, ­sekaligus ­mengembalikan ­jaman kejayaan tatakrama bangsa yang mau hilang dari peredaran ­negara kita. ­Merdeka…… be- bas ­berekspresi, menampakan kebaikan kepada sesama. Source: http://pre15. deviantart.net/4c92/th/pre/ i/2010/308/b/7/the_pup- pet_master_by_mini_zilla- d325mdn.jpg
  • 17. 17
  • 18. 18 SASTRA | SINTA 19 Sinta Sinta selalu bersemangat menceritakan ladang ke Ganup. Itu semata karena di Tarutung, kata Ganup, dia hanya ­disibukkan melayani orang-orang yang makan di restoran mereka. “Bapak sudah ­mempekerjakan aku di sana semenjak kelas 2 SMP,” ujarnya ke Sinta. Seperti hari itu Sinta juga cerita tentang ­tahap-tahap mangordang[vi]. Sehari sebelum man- gordang ibunya sudah menumbuk beras menjadi tepung. Pagi-pagi benar Sinta sudah dibanguni memaruti kelapa. Kelapa terparut itu kemudian dicampur dengan tepung. Kalau sudah selesai giliran bapaklah memainkan peran. Kepalan tangan bapak yang besar sangat cocok dijadikan cetakan pohul-pohul[vii]. Setiba di ladang sebelum memulai mangordang kue ini nanti akan dipecah dan disiramkan ke lahan yang hendak diordang.“Mama sering marah karena kue itu kami makan diam-diam tanpa sepengetahuannya,”kenang Sinta. Begitulah. Setiap kali mereka berjalan bersama setiap kali itu pula cerita-cerita mengalir deras diceritakan. Tak ada habis-habisnya. Di sepanjang jalan itu, di cerita sebanyak itu, tanpa mereka sadari telah tumbuh benih-benih rasa. Mereka menyadarinya ketika teman-teman mereka yang lain menyorak-nyoraki mereka.“Hei Romeo-Juliet, jalannya jan- gan seperti keong.”Saat itu mereka ber- dua berpandang-pandangan ­sebelum bersama-sama tersipu malu. Bahkan pernah Togu membuat mereka tersentak seakan-akan tersengat arus listrik.“Kena- pa kalian tidak ­memutuskan berpacaran saja? Cocok. Kalian dua ­sangat cocok.” Tidak lama setelah peristiwa itu mereka sudah berjalan bergandengan tangan. Mereka berpacaran. Sinta tak cukup kuat menolak ajakan Ganup.“Aku tak ingin sendiri saja memelihara bunga- bunga itu. Aku tak cukup kuat ­menyirami mereka setiap sore. Maukah kamu bekerja bersamaku dan menjadi pemilik bersama kebun itu?”Sinta sesungguhnya mengerti ajakan itu. Dia sudah pernah mendengar kalimat-kalimat itu di sebuah sinetron. “Aku tidak mengerti.” “Iya, kebun. Ummm…,”Ganup ­memain-mainkan jemarinya pertanda kegugupannya. “Ummm…,” “Ummm, pacar. Aku bersedia menjadi pacarmu,”seru Ganup memberanikan diri. *** Langkah-langkah Sinta sepanjang enam kilometer ke sekolah dibaluti perasaan tak menentu. Dia tahu pagi ini Ganup pasti tidak akan menemaninya jalan kaki. Tiap kali mereka bertengkar selalu saja kekasihnya itu menunggang kuda ­besinya. Sinta hapal betul tingkahnya. Dari jarak sekitar 20 meter, klakson motornya pasti sudah memekakkan. Hampir-hampir tanpa henti jempol kanannya memencet tombol klakson di stang kereta. Begitu tepat memapasi Sinta, Ganup akan memain-mainkan gasnya.“Kalian bertengkar lagi?”tanya Togu sahabatnya itu suatu pagi. Sinta tidak berani menyalahkan siapa pun, terlebih Ganup. Tapi dia ­sesungguhnya sangat berharap kekasihnya itu menyisakan sedikit pengertian di hatinya. Jalinan kisah (bagian II) Dian Purba purbadian@gmail.com
  • 19. 19 mereka barulah sebentar, belum lagi seumur jagung. Pengertian. Pengertian saja yang diharapkannya.“Pengertian seperti apa? Apa Tuhan sudah tidak begitu perkasa lagi di depan orangtuamu? Apa ibumu tidak mengerti itu?”bentak Ganup minggu lalu. Kisah demikian sudah berulang beberapa kali. Bagi Ganup tindakan ibu Sinta ­melarang mereka berpacaran sudah berlebihan. ­Sudah melewati keperkasaan Tuhan.“Jangan libatkan ibuku,”Sinta membela diri.“Sudah kubilang, inilah aku. Aku anak mamakku.” Sinta paham betul keluhan Ganup karena itu dia menunduk tak berani menantang mata Ganup. Ingin dia ­memecahkan dilema ini dengan menjalin asmara ­mereka secara ­sembunyi-sembunyi. Setiap kali dia ­memikirkan itu setiap kali pula ­kebingungannya ­memuncak. Dia tidak akan menyalahkan Rima yang telah ­melaporkan setiap detil kisahnya dengan Ganup ke ­ibunya. Dia tahu Rima takkan sudi melakukan itu tanpa dipaksa ibunya. Dan memang Rima sudah minta maaf berulang kali untuk itu. Tak paham dia kenapa cinta mesti ­ditunjukkan seterang-terangnya ke ­semua orang. Tidakkah hati itu tersembunyi, ­ pikirnya. Ketersembunyian cinta baginya tidak lebih dari wujud cinta itu sendiri. Dan pagi ini dia sudah memilih pasti: cinta yang pantas untuk diterang-terangkanlah yang mesti dimunculkan. Itulah cinta ibunya. “Cukuplah ibu yang menanggung begini. ­Bapakmu lebih mencintai tuaknya. Belum tiba waktumu menimbang cinta.”Ibunya menggerutu semalam. Selepas sekolah Sinta tidak berontak ­tangannya ditarik paksa ke belakang satu gedung. Inilah saat paling tepat baginya menguji cinta. Ganup yang sangat lembut di awal-awal pacaran mereka kini beralih rupa seperti apporik di ladangnya. Gelegar suara Ganup terbang bebas menghantam hati Sinta.“Aku menyerah. Sudah berakhir.”Sinta menghantam balik suara apporik itu.“Antar aku pulang.”Sinta memaksa. Hari sudah sore. Awan-awan merah su- dah berarak. Sinar mentari tidak seganas tadi siang. Mereka melangkah perlahan melewati ruang-ruang kelas, kantor guru, lalu gerbang sekolah. Warung tempat Ganup ­menitipkan kereta sudah sepi. Tak sampai habis lima jari tangannya jumlah Sinta pernah ­diboncengnya. Sinta merasa ­keseimbangannya buyar di atas kereta. ­“Jangan, jangan goyang,”perintah Ganup tiap kali berboncengan. Ganup segera menancap gas. ­Dirasakannya jalan hot mix yang baru saja selesai ­diaspal bulan lalu itu lahan paling tepat ­melampiaskan amarah. Sinta tidak hanya hilang konsentrasinya lalu bergoyang, dia berteriak. Dia minta diturunkan. Tanpa Sinta Ganup kerap memacu ­tunggangannya itu di titik kecepatan ­tertinggi. Jalan yang melintasi kampung itu sesungguhnya jalan lintas provinsi. Namun, semenjak jaman kakeknya lalu ke ayahnya hingga ke generasi berikutnya selalu saja jalan itu digenangi air setelah hujan ­turun. Itulah pula yang membuat hampir ­semua kereta di kampung itu tidak lagi ada ­berwajah mulus. Dan hari-hari terakhir ini armada-armada itu dijual untuk diganti yang baru. Jalan sudah mulus seperti daun pisang. Sinta merasa dirinya sudah mau jatuh saja. Barangkali dia sudah setengah sadar. ­Sementara Ganup semakin beringas saja. Melintas di benaknya pertengkaran barusan. Dan dia tidak akan menyesali diri karena sudah berlaku kasar.“Ganuuupppp…..” teriak Sinta. Sangat keras. Di tikungan itu ­pertengkaran mereka selesai. Kereta itu terpelanting meninggalkan mereka berdua di ladang kakao yang lumayan jauh dari sudut jalan. Sinta meninggal seketika. Dahan kakao yang baru saja ditebas itu ­menyambut ­kepala Sinta yang tertancap. Ganup tidak bisa lagi mendengar keramaian orang. ­Nafasnya sudah di hujung hidung. Gelap. [i] Ladang darat | [ii] Burung kecil pemakan padi. Kepalanya berwarna putih dan bagian tubuh yang lain agak kemerah-merahan | [iii] Patung yang dibuat dari kayu dan dipakaikan baju sehingga sangat mirip dengan manusia. Patung yang satu dengan patung lainnya dihubungkan dengan tali. Biasanya di patung itu dipasangkan bunyi-bunyian yang menghasilkan suara bising sehingga ketika talinya ditarik serempaklah bunyi itu membahana | [iv] Pondok kecil di ladang | [v] Memetik padi menggunakan ari-ari | [vi] Menanam padi di hauma menggunakan kayu lurus yang diruncingkan di bagian bawahnya. | [vii] Kue beras mentah yang cara pembuatannya cukup dengan dimasukkan ke kepalan tangan lalu mengggemgamnya erat-erat untuk mem- bentuk cetakan 20
  • 20. 20 ILHAM SEHAT | MATA SEHAT http://healthierfoodscom.c.presscdn.com/wp-content/uploads/2013/09/healthy-vision.jpg
  • 21. 21 YUK, MILIKI MATA SEHAT IDAMAN M ata merupakan organ pada tubuh kita yang sangat berharga. Denga memiliki mata yang sehat, maka kita dapat melihat keindahan dunia beserta isinya. Untuk itulah, kita harus ­menjaga dan merawat ­kesehatan mata agar tidak mengalami ­berbagai penyakit atau masalah kesehatan lainnya seperti rabun jauh, presbiopi, miopi maupun hipermetropi. Banyak sekali penyakit mata yang mungkin tidak asing di telinga kita seperti miopi atau rabun jauh, ­presbiopi atau tidak dapat melihat benda yang berjarak jauh maupun dekat, katarak, hipermetropi atau rabun dekat, maupun buta warna yang tidak dapat membedakan aneka warna. Berbagai penyebab penyakit ­tersebut dapat menimpa mata anda. ­Seperti miopi yang banyak menimpa ­kalangan pelajar dan mereka yang sangat hobi dalam membaca buku. Untuk lebih memahami dan mengerti cara menjaga kesehatan mata yang benar. Berikut ini beberapa tips mudah menjaga kesehatan mata anda : Perhatikan Jarak Membaca Buku. ­Usahakan membaca buku pada jarak yang ideal. Jarak ideal yang dimaksud yaitu membaca buku pada jarak 30 cm dari buku ke mata. Hal ini untuk mencegah penyakit mata seperti miopi atau rabun dekat. Jangan Sambil Tiduran. Usahakan tidak membaca buku atau teks apapun dalam kondisi sambil tiduran. Ini juga dapat membuat ­kesehatan mata ­terganggu seperti dapat terkena miopi. Pencahayaan Yang Cukup. Jangan menggunakan peneran- gan terlalu redup ketika belajar atau ­membaca apapun itu, karena ­penerangan yang kurang dapat ­menganggu kesehatan mata. Istirahatkan Mata. Usahakan ­mengistirahatkan mata, ketika sudah terlalu lama di depan layar komputer atau laptop saat ­mengerjakan tugas atau aktivitas apapun di komputer atau laptop. Ini juga sangat penting untuk menjaga kesehatan mata anda. Jangan Kucek Mata. Usahakan tidak mengucek mata, ­ketika tangan dalam keadaan ­kotor atau habis memegang sesuatu benda. Karena tangan yang kotor dapat menginfeksi organ mata yang akan berakibat sangat buruk untuk ­kesehatan mata anda. Kedipkan Mata. Usahakan mengedipkan mata dengan intensitas agak ditambah, pada saat fokus melihat sesuatu terlalu lama seperti komputer ataupun laptop. Makanan Untuk Mata. Usahakan memakan makanan yang sangat baik untuk kesehatan mata. Dalam hal ini, wortel merupakan jenis makanan yang paling baik ­untuk kesehatan mata, karena banyak ­mengandung vitamin A yang sangat baik untuk kesehatan mata.
  • 22. 22
  • 23. 23 LAPO AKSARA Ananta Bangun anantabangun.com Redaktur Tulis di ­Lentera News 29 MENGHALAU SINGA Singa. Bagi para penikmat Safari di Afrika adalah ­lumrah mendapati karnivora ganas ini. Umumnya tim penjelajah ­tersebut mengitari alam terbuka ­tersebut dengan ­menaiki mobil jip. ­Keberadaan di atas ­kendaraan inilah yang membuat mereka tidak diterkam langsung oleh singa. Mengapa? Dalam sudut pandang singa, insan pelintas alam dan mobil tersebut tampak sebagai satu badan. Tidak terpisah, sebagaimana manusia melihatnya. Namun, jika satu atau beberapa penikmat Safari turun dari mobil; maka singa melihatnya telah terpisah dari benda besi padat itu. Hewan itupun lalu tergerak untuk memangsa. Demikian ­Presiden Direktur Transjakarta, Steve ­Kosasih -- dalam satu terbitan Harian ­Kompas -- menuliskan pengalaman sahabatnya. Kisah tentang pandangan singa mengenai kesatuan mobil dengan turis Safari, menyiratkan ilham terkait kesatuan. Inspirasi ini bukan ihwal yang asing. Sedari kanak- kanak dahulu, kita telah ­memahami benda lemah seperti lidi akan kuat bila disatukan dengan jumlah ­banyak. Bukankah pemahaman itu pula yang menyulut semangat bapak bangsa kita dahulu dalam melawan penjajah? Rasa kesatuan uniknya tidak hanya dilatari kesamaan. Ia justru kokoh tatkala dirundung tekanan. Semakin hebat tekanan tersebut, semangat kesatuan itu pun kian bergelora. Ini bisa kita dapati dalam pengalaman tengah terancam, sebagaimana menghadapi singa di atas. Ataupun tatkala bencana (alam) menerpa. Tidak sedikit insan yang ­turut ­berduka saat mengetahui para ­saudaranya tengah menghadapi bencana. Wujud kesatuan dan kepedulian tersebut bisa beragam. Baik memberi bantuan materiil, sumbangsih tenaga, atau ­bahkan berupa doa yang tulus untuk ­kebaikan para korban tersebut. Dalam kisah Alkitab, kita dapat ­meneladani semangat ­kesatuan para Jemaat Perdana yang ­dikungkung kekuasaan Kaisar Nero, kala itu. Walaupun menghadapi siksaan berat, gelombang jumlah Jemaat Perdana justru bertambah. Pedang, terkaman hewan buas dan api, bukan menghancurkan, justru menginspirasi lebih banyak orang pada masa itu untuk semakin yakin pada Gereja. Bagaikan emas, kesatuan mestinya menjadi nilai kehidupan mulia yang ingin ditempa terus-menerus. ­Tantangannya ialah wajah zaman yang diisi keegoisan, hidup nyaman, dan pola fikir dapat hidup tanpa ­insan lain, juga tanpa rasa takluk pada Allah Yang Maha Kuasa. Anti-tesis dari wajah zaman ini lah yang menjadi penyulut ­semangat dan kesatuan para Jemaat ­Perdana. Demikian juga hendaknya terus diwariskan pada kita untuk ­menghalau‘singa-singa’pemangsa kesatuan. Image Source: http://hdwall- papersfit.com/wp-content/ uploads/2015/02/african- lion-hd-wallpapers.jpg