2. Sanksi pelanggaran pasal 44: Undang-undang No. 7 Tahun 1987 tentang Hery Suryadi
Perubahan atas Undang-undang No. 6 Tahun 1982 tentang hak cipta.
Menggugat Sentralisasi Kekuasaan yang Berlebihan
1. Barangs iapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,
atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran
hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
GERAKAN
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
RIAU
MERDEKA
Penerbit Pustaka Pelajar
Yogyakarta
2008
2 P en g a nt a r Pe nu li s GERAKAN RIAU MERDEKA 3
3. GERAKAN RIAU MERDEKA
Menggugat Sentralisasi Kekuasaan yang Berlebihan
Hery Suryadi
Editor
ZULKARNAIN
Sampul
DAS_UKI
“Berlaku dan bertindak adil itu dimulai sejak dalam pikiran”
Perwajahan (Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Tetraloginya)
ARNAIN ’99
CETAKAN I
Desember 2008
Penerbit:
Pustaka Pelejara
Celeban Timu UH III, Yogyakarta, Indonesia
Telp. (0274) 22961 Fax. (0274) 857397
e-mail: unripress@hotmail
ISBN 979-0000-09-0
4 P en g a nt a r Pe nu li s GERAKAN RIAU MERDEKA 5
4. Pengantar Penulis
iau pada masa lalu memiliki sejarah yang gilang
R gemilang. Daerah ini merupakan bagian dari
kejayaan sebuah imperium Melayu yang mem-
bentang dari Semenanjung Melayu (Malaysia sekarang)
hingga pesisir Timur Sumatera. Namun sejarah panjang
bangsa Melayu yang selalu dipecah-belah oleh kekuatan
eksternal, dalam hal ini kolonialisme dan imperialisme,
membuat nama Riau secara perlahan-lahan mengabur di
tengah persaingan zaman.
Terusirnya penjajah dari tanah air, setelah proklamasi
kemerdekaan, mendatangkan harapan akan bangkitnya
kembali nama Riau. Harapan itu sepertinya tidak pernah
terwujud, malahan di bawah pemerintahan segelintir elite
bangsa yang congkak, marwah Riau semakin diketepikan.
Berbagai kebijakan sepihak dan arogan tidak hentinya
diterapkan pemerintah pusat ke daerah ini. Sumberdaya
alam yang melimpah tidak sedikitpun bisa dinikmati
6 P en g a nt a r Pe nu li s GERAKAN RIAU MERDEKA 7
5. masyarakat. Semuanya dikuras habis untuk kepentingan Sekali lagi, munculnya gerakan menuntut Riau
penguasa semenjak merdeka hingga runtuhnya rezim Merdeka adalah akumulasi persoalan selama ini terutama
Orde Baru. pembagian rezeki yang kurang adil sebagai akibat politik
Riau bisa dikatakan hanya dijadikan “ladang per- sentralisasi. Kekecewaan tersebut termanifestasi dalam
buruan” oleh sekelompok elit yang mengatasnamakan bentuk perlawanan daerah. Per-lawanan ini karena daerah
negara. Sebagai daerah modal yang menyumbangkan lebih merasa kekayaan sumberdaya alamnya dirampas oleh
dari 60 persen pendapatan negara dari sektor migas, pusat tanpa mendapatkan hak yang layak bagi daerah
kondisi Riau sangatlah ironi. Perampasan hak-hak masya- (deprivasi relatif). Seperti halnya gerakan berbasis ke-
rakat Riau, tidak saja di bidang ekonomi, tetapi juga di daerahan pada masa Orde Lama, munculnya Gerakan Riau
bidang politik yang dilakukan secara sistematis. Peram- Merdeka dipicu oleh kriris politik nasional sebagai akibat
pasan hak-hak yang dilakukan membuat posisi masyarakat krisis ekonomi yang berke-panjangan. Meluasnya tuntutan
tempatan terpinggirkan. yang dimotori oleh gerakan mahasiswa untuk melakukan
Akumulasi dari persoalan selama inilah, di saat perubahan di segala bidang berakhir dengan runtuhnya
momentum perubahan (reformasi) tahun 1998 berde- rezim autoritarian Orde Baru. Momentum di mana negara
ngung, muncul gerakan menuntut Riau Merdeka yang dalam keadaan lemah ini dimanfaatkan oleh aktor-aktor
dipelopori oleh kalangan intelektual kritis di Riau dengan gerakan di Riau untuk menuntut bagi hasil minyak antara
basis pendukung utamanya adalah mahasiswa. Menguat- pusat-daerah.
nya perlawanan tersebut juga disebabkan lambannya Tuntutan bagi hasil minyak tersebut mendapat respon
pemerintah pusat merespon tuntutan masyarakat Riau positif dari Presiden Habibie dan berjanji akan dikabulkan
terhadap penjualan bagi hasil minyak bumi. Kondisi di dalam masa dua bulan. Sampai dengan tenggat waktu yang
mana pada saat bersamaan terjadi krisis politik nasional dijanjikan tuntutan tersebut tidak dikabulkan sehingga
sehingga negara dalam keadaan lemah. membuat aktoraktor gerakan yang mengatasnamakan
Gerakan ini berawal dari respon atas tuntutan bagi Gerakan Pers Kampus dan beberapa intelektual mencetus-
hasil minyak dari masyarakat Riau terhadap pemerintah kan ide memerdekakan Riau. Militer sebagai representasi
pusat di bawah Pemerintahan Habibie. Ketika itu, Habibie negara cenderung hati-hati dalam menangani isu disinte-
dianggap ingkar janji dengan mengulur-ulur waktu dalam grasi karena posisinya yang kurang menguntungkan.
memutuskan diterima atau tidaknya tuntutan tersebut. Untuk konteks Riau, Kol (inf) Muhammad Gadillah, orang
Dalam konteks itu, gerakan selalu berasosiasi dengan Riau pertama yang menjadi Danrem, sehingga memiliki
tindakan yang dilakukan untuk memberikan respon atau ikatan emosional karena ia tahu keadaan Riau sebenarnya
reaksi atas kondisi tertentu (realitas sosial) di masyarakat. justru selama bertugas di Riau. Ia selalu memberi dukung-
8 P en g a nt a r Pe nu li s GERAKAN RIAU MERDEKA 9
6. an secara pasif (sekutu) sehingga gerakan ini menjadi an pusat-daerah akan terus mengalami pasang surut selama
luas.Gerakan menuntut Riau Merdeka bukanlah sesuatu cara pandang antara Pusat dan Daerah terhadap format
yang muncul begitu saja, tanpa ada faktor penyebab yang politik nasional terutama menyangkut otonomi daerah
paling signifikan. memiliki perbedaan yang tajam.
Tidak berbeda jauh dengan periode 1950-1960, Untuk keperluan penerbitan dari tesis ke buku,
menguatnya perlawanan daerah setelah reformasi juga beberapa materi direvisi dan sistematikanya disesuaikan
dilingkupi oleh krisis politik nasional pasca tumbangnya dengan kaidah buku pada umumnya. Akhir kata, saya
Orde Baru. Pada tahap ini, dipahami ada sesuatu yang salah menyadari buku ini mungkin saja masih jauh dari kesem-
dari hubungan pemerintah pusat dan daerah yang hanya purnaan, karena itu penulis bertanggung jawab jika ada
memarjinalkan peran masyarakat lokal baik secara eko- yang memberikan masukan ataupun kritikan. Semoga ber-
nomi maupun politik. Pada saat bersamaan, melemahnya manfaat adanya.
negara secara resiprokal memperkuat civil society. Variabel
lain munculnya gerakan Riau Merdeka –sebagai akibat Pekanbaru, Desember 2008
menguatnya civil society— adalah peran dari aktor-aktor
sebagai crafter dalam memanfaatkan momentum ketika Hery Suryadi
struktur penopang negara, yakni Golkar, militer, dan biro-
krasi, mengendur.
Gerakan Riau Merdeka memang agak unik. Sejak
awal, oleh para penggagasnya sudah ditegaskan bahwa
gerakan ini adalah sebuah gerakan damai (peaceful freedom).
Pada sisi lain, gerakan ini sudah pada tahap membuat
semacam teks proklamasi yang diberi judul teks “Deklarasi
Riau Berdaulat”. Dari pemahaman tersebut, gerakan me-
nuntut Riau Merdeka secara substansi lebih tepat dikate-
gorisasikan gerakan sosial.
Buku ini merupakan metamorfosis dari tesis saya pada
Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik Universitas
Gajah Mada (UGM) Yogyakarta yang menganalisis tentang
Kemunculan Gerakan Riau Merdeka (1998-2001). Fokus
perhatiannya lebih memandang bahwa persoalan hubung-
10 P en g a nt a r Pe nu li s GERAKAN RIAU MERDEKA 11
7. Kenangan & Penghargaan
uji syukur saya panjatkan kehadirat Allah
P Subhanahu Wata’ala karena berkat dan rahmat-
Nya jualah akhirnya saya dapat merampungkan
karya intelektual ini. Saya merasakan pekerjaan pembuat-
an tesis ini cukup melelahkan, penuh tantangan, dan sekali-
gus mengasah perjalanan intelektual saya.
Bermula pada awal September 1999, keberangkatan
saya ke Yogyakarta untuk menuntut ilmu di Universitas
Gadjah Mada. Semua itu ditempuh dalam suka maupun
duka sebagai upaya mengarungi rimba ilmiah di tengah
kegalauan dan gonjang-ganjing perpolitikan di Indonesia
kala itu. Bebekal nekad—karena itulah petuah dari seorang
rekan sekiranya mau melanjutkan studi—penulis berang-
kat menuju Yogyakarta bersama anak pertamanya (umur
enam bulan ketika itu), istri, mertua perempuan, dan
kakak ipar dengan bus Lorena. Perjalanan lebih kurang
memakan waktu 2 hari 3 malam karena harus transit di
12 P en g a nt a r Pe nu li s GERAKAN RIAU MERDEKA 13
8. Bogor. University Australia dengan karya monumentalnya The
Di katakan nekad karena surat panggilan dari UGM Decline or Constitutional Democracy ini Indonesia dan Prof.
tiba tanggal 30 Agustus 1999, sementara pendaftaran ulang Dwigh Y. King dari Northen Illinos University, USA. Prof
berakhir 4 September 1999. Ketika itu, saya sungguh tidak King adalah teman sekelas Prof Amien Rais ketika studi
punya sepersen pun persiapan biaya untuk berangkat. doktoral di Universitas Chicago. Apa yang dapat dipetik
Mujur, seorang sohib, yakni Bang Syarifudin mengulurkan dari mereka adalah rendah hati, mencintai pekerjaan,
pinjaman lunak sebesar Rp. 1 juta. Terima kasih yang serius, menghargai pendapat orang, dan bersahabat.
setulus-tulusnya, bang. Pada kesempatan ini, saya juga Teman-teman seangkatan terdiri dari pelbagai latar
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada ibu Hj. belakang, ada yang free lance, dosen, staf kedubes Jepang
Azlaini Agus yang telah memberikan finansial untuk test di Jakarta, birokrat, aktivis dengan beragam latar belakang
potensi akademik dan TOEFL. disiplin ilmu, yakni ada yang sarjana hubungan inter-
Tanggal 4 September 1999 dini hari pukul 04.00 WIB nasional, ilmu peme-rintahan, hukum, sejarah, sosiologi,
kami tiba di terminal Tirtonadi Solo. Dari Solo, kami men- STPDN, administrasi negara, komunikasi dll. Semua
cater mobil Suzuki Carry menuju Yogyakarta dengan tarif mereka menyenangkan, sepertinya masa-masa indah
Rp. 80.000.- Tepat di depan Candi Prambanan, mobil yang terutama tahun-tahun pertama itu sulit untuk diulang.
kami tumpangi menabrak tembok pembatas jalan antara Memasuki tahun kedua, satu persatu ada yang serius meng-
mobil dan becak karena sopirnya mengantuk. Syukur garap tesis, santai-santai, ada yang hilang entah kemana.
Alhamdulillah tidak ada luka. Akan tetapi ban mobil ter- Saya masuk kategori yang kedua. Di luar dugaan, teman-
sebut pecah. Itu pengalaman pertama. teman yang dalam persepsi saya serius dalam perkuliahan
Pengalaman kedua, yakni tepat dua minggu berada ternyata ketinggalan kereta dari teman-teman yang
di Yogya, tetangga kos saya membacok pacarnya. Penye- dianggap biasa-biasa saja.
babnya tak etis saya kemukakan di sini. Tak lama berselang, Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun
tersiar kabar bahwa si cowok memiliki trak record psiko- berganti tahun, tepat tanggal 9 Agustus 2001, saya ujian
logis yang kurang baik. Saya pun diminta menjadi saksi seminar proposal bersama dengan Munafrizal, Indah, dan
pada kasus ini. Entah bagaimana ceritanya, kasus ini tidak Nasirudin di hadapan penguji, yakni Dr. Pratikno (Pem-
dilanjutkan. Artinya, saya batal bersaksi di pengadilan. bimbing), Prof. Riswandha Imawan, dan Dr. Purwo
Memasuki masa-masa perkuliahan, sepertinya Santoso. Semestinya Prof. Afan Gaffar (alm) masuk dalam
angkatan ’99 Program Studi Ilmu Politik termasuk ber- tim penguji tapi berhalangan hadir karena kesibukannya
untung karena diajar oleh dua orang Indonesia yang cukup menjadi staf ahli Mendagri. Dari empat orang yang telah
ternama, yakni Prof. Hebert Feith (alm) dari Monash mengikuti seminar, Munafrizal (saya selalu memanggilnya
14 Ke na ng a n & Pe ng h a rg a a n GERAKAN RIAU MERDEKA 15
9. dengan “pustaka berjalan” karena koleksi bukunya sekitar hardik kedua orang tua, terkhusus ibu. Saya percaya, sekali
4.000 buah) dan Indah menyelesaikan ujian tesisnya pada kita durhaka pada orang tua dan mereka tersinggung dari
Juli 2002. sementara pasca seminar, praktis tesis saya lubuk hati yang paling dalam sehingga keluar sumpah
terbengkalai. Ini karena saya terlibat dalam Proyek Penyu- seranah, niscaya hidup kita tidak akan selamat. Jadi, selamat
sunan Master Plan Riau 2020 selama satu tahun enam berbakti dan pandai-pandailah menjaga hati kedua orang
bulan. Ketika itu, saya agak sulit mengambil keputusan tua!
apakah ikut dalam proyek ini atau mengerjakan tesis. Tak lupa pula tentunya saya persembahkan tesis ini
Akhirnya, saya sampai pada kesimpulan bahwa ini juga kepada istri tercinta, Kartini Rosadi, yang dalam suka
bagian dari kerja besar buat daerah dan tentunya sekali maupun duka selalu setia mendampingi dengan penuh
seumur hidup. Meskipun harus saya akui, ada rasa penye- keikhlasan. Kepada kedua ananda tercinta, buah hati
salan sediki karena pengerjaan tesis menjadi terhambat. belabuhan jantung, Alifia Dayang Maisuri dan Ahmad
Yah, itulah hidup punya pilihan-pilihan yang harus Taqiyudin Zallum Qazvini, yang ketika memandang
diputuskan meskipun itu pahit. mereka semua kelelahan sirna seketika, pembangkit
Tesis ini mulai dikerjakan dimotivasi oleh tekad untuk inspirasi. Dari merawat merekalah sejak dari kandungan
membahagiakan Ayahnda Muhammad Afis Daud (alm) hingga tumbuh besar, saya menyadari betapa pentingnya
tercinta, meskipun beliau tidak sempat menyaksikannya. menghargai hak-hak asasi manusia. Menyaksikan istri
Pesan itu terngiang-ngiang selalu agar saya secepatnya mabuk karena hamil, mencari barang yang diinginkan
menyelesaikan studi supaya ia bisa hadir ketika wisuda (ngidam), ke bidan dan dokter, yang semuanya mem-
kelak. Kalau mengingatnya, air mata ini pun menetes butuhkan biaya, proses persalinan dengan taruhan nyawa,
karena ada sesuatu yang saya tidak bisa per-sembahkan masa perawatan bayi yang membuat siklus tidur dan
kepadanya. Sebagai anak, saya hanya bisa mendoakan istirahat kita terganggu, imunisasi, menjaga mutu nutrisi
semoga arwah beliau mendapat tempat yang pantas di sisi- agar tumbuh sehat dan cerdas, masa pertumbuhan yang
Nya. Amin yaa rabbal ‘aalamin. butuh perhatian ekstra, masa nakal-nakalnya...ough sangat
Karya ini dedikasikan untuk Ibunda tercinta, Hj. melelahkan dan pada saat bersamaan mengasyikkan.
Tengku Salmiah, yang dengan keringat dan tulang depan Karenanya, saya selalu memanjatkan doa pada ilahi semoga
kerat (baca: tenaga) dengan gigih membantu ayah menam- anak-anakku kelak menjadi anak yang sehat, cerdas, taat
bah penghasilan keluarga sehingga kami kakak beradik beragama, menemukan jodoh yang baik. Berbakti kepada
dapat melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Sungguh, orang tua, serta berguna bagi agama, masyarakat, bangsa,
sentuhan dan didikan seorang ibu begitu sangat berarti dan negara.
dalam sebuah keluarga, karenanya jangan pernah meng- Kepada saudara-saudara: Bang Syafri dan Kak Azizah
16 Ke na ng a n & Pe ng h a rg a a n GERAKAN RIAU MERDEKA 17
10. beserta kemenakan, Ayi (Akong), Wanda (Dulkarim), Cornelis Lay, MA yang wawasan ilmu politik sangat baik,
Zirham (Candil), dan Dara (budak kecik tak bisa dikasih- Sugiono, MA (alm), Prof. Sunyoto Usman, dan Dr Purwo
tahu) atas bantuan moril maupun materil. Kak Yanti dan Santoso, Mas Purwo—yang menurut saya adalah bibit
Bang Muji serta keponakan saya, Pandu (Van Damme) dan unggul muda yang dimiliki FISIP UGM, rendah hati dan
Farhan, yang selalu digedor ketika kesulitan likuiditas dan serius. Terima kasih juga saya ucapkan kepada Eric Hiariej,
karenanya rekening BCA saya tidak ditutup karena selalu M. Phil, yang bersedia menjadi salah satu dewan penguji
tidak ada saldo. Kelik yang entah mau jadi apa karena tak tesis. Kepada Mbak Rus dan Pak Suparman yang selalu
mau kuliah dan kerja. Kami sekeluarga pernah menya- sabar melayani urusan administrasi mahasiswa serta Bapak/
rankan agar ia jadi Mbah Dukun karena senang klenik tapi Ibu/Saudara/i yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
dengan tegas ditampiknya. Serba tanggung sehingga apa Terima kasih juga kepada masyarakat Riau c.q. peme-
yang dikerjakannya selalu gagal di tengah jalan. Umi, si rintah Provinsi yang uangnya ada saya nikmati selama dua
bungsu yang boros dan hanya puas dengan ijazah diplo- tahun untuk uang buku. Terima kasih juga kepada Drs.
manya. H. Wan Abubakar MS, M. Si (Wakil Gubernur Riau) atas
Tak lupa kepada Dr. Pratikno, pembimbing penulis. bantuan pribadinya secara material. Kepada masyarakat
Orangnya bersahaja, rendah hati, tipikal ilmuwan yang Kabupaten Bengkalis c.q. Riza Pahlevi (mantan Wakil
senang berbagi ilmu, dan tidak merasa lebih pintar dari Bupati) yang baik hati dan friendly, rendah hati, dan
mahasiswa. Padahal ketika berdiskusi dengannya, saya seorang politisi handal yang sangat paham bagaimana
semakin merasa bahlul. Ia punya pemikiran yang jernih menjaga konstituen. Kepada masyarakat Kabupaten
dan cemerlang sehingga membuat saraf kejut saya Kepulauan Riau c.q. Andi Anhar Chalid (mantan Ketua
tersentak. Sarannya selalu kontekstual hal mana tidak DPRD Kepri) yang memberi jalan bagi saya untuk
pernah saya pikirkan sebelumnya. Yah, saya merasa tidak mendapatkan bantuan dana. Kepada seluruh awak Pusat
ada apa-apa. Terima kasih atas bimbingannya Mas Tik Penelitian Industri dan Perkotaan (PPIP) Universitas Riau,
(begitu kami selalu memanggilnya). Semoga Allah selalu Dr. Ashaluddin Jalil, MS, Drs. Ali Yusri, MS, Dr. Aras
memberkati anda. Amin. Mulyadi, DEA, Bang Icap, Nadhra, Simon, Meyzi, April,
Kepada dosen-dosen selama saya menuntut ilmu: Prof Ismail, dan Rusli yang selalu membersihkan head printer
Afan Gaffar (alm), Prof. Riswanda Imawan yang sangat yang selalu trouble, tempat dimana wadah saya untuk
kocak dan sangat menguasai bidang ilmunya terutama mengarungi lautan ilmiah sekaligus menambah income,
sistem kepartaian dan pemilu. Mas Ris sangat berhavioralis suka duka selalu kami arungi bersama.
karena senang bermain dengan angka-angka ketika Kepada teman-teman angkatan ’99 Munafrizal, Arif,
menganalisis perilaku politik dan seorang insomnia sejati. Arjul, Nasiruddin, La Bilu, Edwin, Indah, Rindu, Kang Yaya,
18 Ke na ng a n & Pe ng h a rg a a n GERAKAN RIAU MERDEKA 19
11. Mas Anto, Nasyiwan, Mas Hisyam, Mbak Retno, Mbak FISIP Unri dan Drs. Ishak, M. Si, Ketua Program Non
Susi, Teh Ida, Tiwi, Iman, Dian, Mas Dwi, Ono san, Reguler FISIP Unri yang selalu meng-handle tugas-tugas
Sachiko, Izzul, Mas Saptoso, Mbak Susi, Hermie, Mbak saya ketika saya harus berangkat ke Yogyakarta untuk
Ratna, Falzah, Puji, dan teman-teman lain yang tidak bisa bimbingan dan konsultasi tesis. Tak lupa saya ucapkan
penulis sebutkan satu persatu, semoga perjalanan mencari terima kasih kepada Drs. Muhammad Ridwan, M. Si,
ilmu kita tidak sia-sia. mantan Wakil Dekan II FISIP Unri. Thanks for everything.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Akhirul kalam, saya ucapkan terima kasih kepada
Syafa’atun binti Kariadi yang telah memberikan pelajaran para ilmuwan yang pemikirannya penulis kutip meskipun
berharga kepada saya arti pentingnya sebuah perjuangan tidak dikenal orangnya, narasumber, key informan, serta
dalam menggapai kehidupan. Kepada bapak kos, Pak pihak-pihak yang turut serta membantu selesainya karya
Djemiko dan keluarga yang tidak pernah menaikkan sewa ini, baik langsung maupun tidak langsung.
kamar selama penulis tinggal lebih kurang dua tahun.
Keluarga besar Ibu Hj. Eli Kusnaliah (orang tua angkat
penulis) di Yogya dan Reren yang selalu meminjamkan
mobilnya. Kepada Jun Foster, teman setia main biliar ketika
penulis merasa jenuh dengan tugas-tugas rutin. Per-
sahabatan sejati yang telah dibangun semoga selalu abadi.
Ia mulai merintis usaha sendiri, semoga sukseslah,
kamerad!
Kepada Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M. Sc, mantan
Rektor Universitas Riau, yang selalu memberi izin dan moti-
vasi untuk terus menuntut ilmu. Pak Hasanudin dan Aulia
seorang birakrat yang selalu risau dengan keadaan masya-
rakat. Kepada Eddy Mohd. Yatim dan H. Fahrullazi, kedua
teman baik saya yang selalu memberi motivasi ketika
masa-masa dimana saya hampir kehilangan orientasi
karena terbentur biaya untuk menyelesaikan studi ini.
Meskipun terkadang tak jarang kritik mereka membuat
merah kuping agar saya menyelesaikan studi dengan
segera. Kepada Drs. M. Y. Tiyas Tinov, M. Si, Wakil I Dekan
20 Ke na ng a n & Pe ng h a rg a a n GERAKAN RIAU MERDEKA 21
12. Daftar Isi
Pengantar Penulis ~ 5
Kenangan & Penghargaan ~ 11
Daftar Isi ~ 19
Bab 1 Pendahuluan ~ 23
Bab 2 Benih-benih Ketegangan Pusat-Daerah ~ 37
Bab 3 Jejak Riau Menapak Jalan Kebebasan ~ 57
A. Riau sebagai Entitas ~ 58
B. Perjuangan Rakyat Riau untuk Kemerdekaan ~
67
C. Provinsi Riau Masa Orde Lama ~ 69
D. Provinsi Riau Masa Orde Baru ~ 80
E. Historiografi Keinginan Riau untuk Merdeka ~
92
Bab 4 Bersatu dalam Gerak Perjuangan ~ 101
A. Gerakan Mahasiswa di Riau: Bola Salju Gerakan
Reformasi Nasional ~ 101
B. Gerakan Moral Intelektual di Riau: Perjuangan
22 Ke na ng a n & Pe ng h a rg a a n GERAKAN RIAU MERDEKA 23
13. Konsepsional ~ 113
C. Perluasan Gerakan: Bersatunya Kekuatan
Reformasi di Riau ~ 126
Bab 5 Bendera Riau Merdeka Akhirnya Berkibar ~ 135
A. Setting Politik Nasional pasca Orde Baru: Bermula
dari Legitimasi ~ 136 Bab 1
B. Riau Merdeka: Dialektika Hubungan Pusat-
Daerah ~ 140
C. Dinamika Gerakan Riau Merdeka ~ 160
PENDAHULUAN
D. Kongres Rakyat Riau II: Instutisionalisasi yang
Absurd ~ 172
Bab 6 Penutup ~ 183
Daftar Pustaka ~ 191
Biodata Penulis ~ 198 Kegagalan membangun sistem pemerintahan yang kewenangannya
terdesentralisasikan secara lebih bermakna dari waktu ke waktu,
menimbulkan keyakinan baru bagi masyarakat di daerah bahwa pusat bukan
hanya mengeksploitir mereka, tetapi juga mengambil hak mereka untuk
mendapat pelayanan yang baik oleh sebuah pemerintahan yang baik.
Kondisi ini berlangsung sangat lama, sehingga menimbulkan berbagai
ketidakpuasan. Pada puncaknya, muncul gagasan untuk kembali ke bentuk
pemerintahan federal, atau bahkan merdeka.1
epanjang sejarah republik sejak tahun 1945 hingga
S saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa kali
pemberontakan daerah. Pada fase awal kemer-
dekaan, pemberontakan daerah dapat dipahami sebagai
akumulasi permasalahan yang sangat kompleks dan saling
1. Elaborasi dari Andi A. Mallarangeng dan M. Ryaas Rasyid,
Otonomi dan Federalisme, dalam Adnan Buyung Nasution, Harun
Alrasyid, Ichlasul Amal, dkk., 1999, Federalisme untuk Indonesia,
Kompas, Jakarta, h. 21.
24 Da f a r I si GERAKAN RIAU MERDEKA 25
14. tumpang tindih mulai dari polarisasi baik secara individu kebudayaan. 4
maupun kelompok pada level pemerintah pusat yang Diawali oleh pemberontakan Darul Islam di Jawa
dipicu oleh pertentangan ideologi, friksi antarelit, militer Barat tahun 1947, telah diikuti oleh suatu gerakan pemisah-
versus Partai Komunis Indonesia dalam merebut pengaruh an diri di Maluku pada akhir April 1950. Sebelum peme-
kekuasaan (baca: presiden), pertarungan antara sub- rintah mampu mengakhiri perlawanan-perlawanan ter-
budaya politik Jawa dan sub-budaya politik luar Jawa. sebut, gerakan Darul Islam telah diperkuat oleh suatu
Berbeda dengan pemberontakan daerah saat ini di mana pemberontakan di Aceh tahun 1953. Hanya beberapa tahun
para pelakunya tidak terkait dengan struktur kekuasaan, kemudian, pada tahun 1958 meletuslah pemberontakan
pemberontakan daerah periode 1950 hingga 1960-an para lainnya di Sumatera dan Sulawesi Utara yang dicetuskan
pelakunya nyaris orang-orang yang terkait dengan struktur oleh beberapa pemimpin tingkat nasional yang dihormati
kekuasaan baik militer maupun sipil.2 dan perwira-perwira militer daerah. Pemberontakan
Soal ketidakpuasan daerah, Yusril Ihza Mahendra lainnya di Irian Jaya oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)
men-sinyalir sejak Kabinet Wilopo tentang perimbangan meletus akhir Juli 1965 yang diawali penyebaran pamflet
antara pusat dan daerah sudah menjadi masalah. Oleh pada tanggal 19 April 1965 berisi tuntutan Negara Papua
Simbolon dan Kawilarang dijadikan alasan untuk menye- Merdeka. Tantangan-tantangan sentrifugal ini kemudian
lundupkan kopra dan karet karena dianggap sangat Jawa diperkaya lagi pada tahun 1976 dengan munculnya
centris, yang merupakan cikal bakal pemberontakan PRRI/ Gerakan Aceh Merdeka.5
Permesta.3 Sementara itu, Legge (1961), Maryanov (1958), Pemberontakan daerah pada masa itu dapat dipahami
Syamsuddin (1985), dan Harvey (1984) berusaha mema- sebagaimana periode awal masyarakat politik dalam
hami latar belakang pemberontakan daerah pada masa membangun negara-bangsa. Hanya bermula dari suatu
Orde Lama dari perspektif hukum politik maupun revolusi yang dilandasi nasionalisme, persamaan senasib
sepenanggungan, dan patriotisme yang tinggi dalam
mengusir penjajah. Dilandasi oleh beberapa persamaan ter-
sebut, persoalan integrasi nasional tidak mengalami
2 Ini berdasarkan orang-orang yang menggerakkan Permesta dan
PRRI terutama yang berkolaborasi dengan penguasa militer di
daerah. Selain itu, terdapat perbedaan cara pandang antara pusat
dan daerah dalam menentukan politik pemerintahan terutama 4 Pratikno, 1999, Hubungan Pusat-Daerah Gelombang Ketiga: Sosok
menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Otonomi Daerah di Indonesia Pasca Soeharto, Jurnal UNISIA No. 39/
3 Lihat Yusril Ihza Mahendra, Perpolitikan Konsep Federal di Indo- XXII/III/1999, UII, Yogyakarta.
nesia dan Konsekuensinya, dalam Adnan Buyung Nasution dkk., 5 Nazaruddin Syamsuddin, 1989, Integrasi Politik di Indonesia,
Ibid, h. 160-161. Gramedia, Jakarta, h. 1.
26 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 27
15. hambatan yang berarti karena dilakukan secara sukarela. berusaha membangun legitimasi absolut. Developmental-
Bangsa Indonesia ketika itu sedang dihadapkan kepada isme dan fundamentalisme ekonomi yang tangguh, yang
usaha mencari format politik nasional. Persoalan integrasi didengung-dengungkan ternyata menjadi bumerang bagi
nasional biasanya muncul pada suatu bangsa yang baru rezim otoritarian itu sendiri. Orde Baru yang selalu meng-
keluar dari penjajahan ketika negara mulai melakukan atasnamakan kepentingan negara, melalui kebijakannya
pembangunan (state building), yang cenderung menguta- selama ini secara tidak langsung telah mendorong per-
makan pembangunan versi negara sehingga mengganggu lawanan daerah lebih menguat dan meluas ketika rezim
nilai-nilai lokalitas yang telah berabad-abad berlangsung. ini ambruk.
Seperti tidak belajar pada sejarah, memasuki babak Kondisi dengan serta merta akhirnya berbalik arah,
baru hubungan pusat-daerah, Orde Baru menerapkan ketika penopang utama Orde Baru, yakni militer, Golkar,
sistem sentralistik dan represif dalam mengatasi perlawanan birokrasi, dan Soeharto sebagai kosmos berada dalam posisi
daerah seperti diberlakukannya daerah operasi militer yang sangat lemah. Tuntutan perubahan meluas seiring
(DOM) di Aceh. Strategi ini terbukti asubstantif dan kontra- dengan krisis moneter dan ekonomi bermetamorfosis
produktif. Untuk jangka pendek, strategi ini sangat efektif menjadi krisis legitimasi yang berujung dengan mundur-
karena gerakan perlawanan daerah berhasil dilokalisir. nya Soeharto atas desakan general will pada tanggal 21
Inilah salah satu reputasi politik yang berhasil diraih Mei 1998, seiring dengan usianya yang semakin renta.7
pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, yakni keber- Selain itu, munculnya gerakan oposisi di luar struktur
hasilannya meredam pemberontakan daerah yang menjadi kekuasaan terutama dari kalangan intelektual, retaknya
masalah pelik pada periode Orde Lama di bawah aliansi strategis – militer, birokrasi, dan Golkar— sebagai
Soekarno.6 Keberhasilan ini ditopang oleh birokrasi, Golkar penyokong utama Orde Baru sebagai akibat terjadinya
dan militer sebagai motor penggerak dalam mengendalikan regenerasi kepemimpinan politik, juga turut mendorong
dinamika politik lokal. Ianya terbungkus dalam kerangka
desentralisasi (baca: hubungan pusat-daerah) yang semu.
Keberhasilan Orde Baru meredam perlawanan daerah
7 Penyebab krisis ekonomi bukannya tidak ada kontinuitas dari
tidak dengan serta merta mampu meredam munculnya pilihan strategi pembangunan yang diterapkan Orde Baru.
kembali perlawanan daerah terhadap pemerintah pusat. Kebijakan personal Soeharto memberikan konsesi kepada
keluarga dan kroninya turut menyumbang rentannya fundamen-
Melalui kebijakan ekonomi maupun politiknya, Orde Baru tal ekonomi Indonesia terhadap faktor eksternal karena kapital
terpusat pada segelintir orang. Tentang uraian enggannya Orde
Baru mengadakan autokritik terhadap kebijakan pembangunan
ekonomi lihat Zaim Saidi, 1998, Soeharto Menjaring Matahari, Mizan,
6 Lihat Pratikno, Op. Cit. Bandung.
28 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 29
16. percepatan perubahan.8 Dari perspektif lain, perubahan an pusat-daerah dibangun secara tidak demokratis. Selain
yang terjadi sebagai akibat proses modernisasi yang sedang itu, penggunaan asas –desentralisasi, dekonsentrasi, dan
berjalan, yang menyebabkan terjadinya transformasi sosial. tugas pembantuan— secara bersamaan adalah sesuatu
Dalam konteks itu, terciptanya kelas menengah yang relatif yang sangat tidak mendorong upaya otonomisasi di tingkat
otonom terhadap kekuasaan yang berdampak pada lokal. Walaupun tidak secara tegas menyebutkan kata
menguatnya civil society di Indonesia. sentralisasi, dalam implementasinya pendekatan sentralisasi
Perubahan yang begitu cepat dan tiba-tiba (by yang paling menonjol.
accident) salah satu eksesnya berimplikasi kepada per- Pola hubungan pusat-daerah pada masa Orde Baru
lawanan daerah (baca: ancaman disintegrasi) yang semakin secara teoretik tergolong integrated prefectoral system.
menguat dan meluas sebagai akibat ketidakpuasan ter- Sistem ini diterapkan dengan alasan sangat bermanfaat bagi
hadap Pemerintah Pusat selama ini. Aceh, Papua, Riau, masyarakat yang memiliki konsensus rendah, sering
dan Kalimantan Timur yang notabene merupakan daerah mengalami perpecahan, ataupun ketidakstabilan politik.
modal adalah empat daerah yang menunjukkan sikap Dalam sistem ini kepala wilayah mengusahakan tercipta-
melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Pusat dengan nya ketertiban dan kestabilan politik. Selaku wakil peme-
karakteristiknya masing-masing. rintah pusat, kepala wilayah sekaligus merangkap sebagai
Untuk memahami pemberontakan daerah dewasa ini kepala daerah yang menjalankan fungsi mengusahakan
tidak terlepas dari format politik Orde Baru terutama dalam pembinaan bangsa dan menerjemahkan kebijakan nasional
konteks hubungan pusat-daerah dengan UU No. 5 Tahun di wilayah yurisdiksinya.10 Pada perkembangannya, atas
1974 sebagai konstruksi yang mendasarinya. Benyamin nama kepentingan negara, penguasa dapat bertindak
Hoessein mencatat bahwa istilah demokrasi hanya disebut dengan leluasa melalui interpretasi tunggal yang mencakup
sekali di dalam UU No. 5 Tahun 1974.9 Ini berarti hubung- semua sektor kehidupan masyarakat.
8 Uraian lebih lengkap tentang retaknya aliansi strategis harap
periksa Eep Saefullah Fatah, 1998, Menimbang Masa Depan Orde
Baru: Reformasi atau Mati? Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI dan
Mizan, h. 56-66. 10 Bhenyamin Hoessein, Ibid, hal. 60-61. Sistem ini didukung oleh
9 Yang sangat nyata adalah tidak adanya pasal maupun peraturan sentralisasi sumber keuangan, public policy making, dan
pemerintah yang mengatur hubungan keuangan antara pusat perencanaan pembangunan serta sentralisasi rekrutmen dan
dan daerah dalam UU No. 5 Tahun 1974 sehingga alokasi dana ke promosi pegawai. Uraian tentang hal ini periksa juga Pratikno,
daerah lebih ditentukan oleh aksessibilitas politik. Lihat Tragedi Politik Desa 1998-1999: Kelangkaan Kelembagaan Lokal
Bhenyamin Hoessein, Sentralisasi dan Desentralisasi: Masalah dalam Manajemen Krisis, dalam Angger Jati Wijaya dkk. (editor),
dan Prospek, dalam dalam Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi 2000, Reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi, YAPIKA
(ed.), 1996, Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru, Gramedia, dan FORUM LSM DIY bekerja sama dengan Pustaka Pelajar,
Jakarta, h. 63. Yogyakarta, h. 112-113.
30 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 31
17. Fungsi tersebut juga menyebabkan posisi kepala – ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya— hingga
daerah sangat dilematis terutama ketika dihadapkan pada tingkat pemerintahan yang paling rendah.
kepada antara kepentingan daerah dan kepentingan pusat. Pada sisi lain, sistem ini menyebabkan kepala daerah
Dalam praktiknya, kepala daerah lebih mengutamakan lebih berperan sebagai perantara (broker) pemerintah pusat
kepentingan pusat daripada kepentingan daerah. Ada sehingga warna politik nasional sangat kental mewarnai
beban psikologis sekiranya kepala daerah lebih menyuara- politik pada tingkat lokal. Kepala daerah bertanggung
kan kepentingan daerah, yakni akan berhadapan dengan jawab kepada pemerintah pusat bukan kepada masyarakat
kekuasaan pemerintah pusat dan resiko kehilangan lokal. Akibatnya dinamika politik lokal menjadi tidak
jabatan. Dalam kondisi demikian, kepala daerah meng- dinamis, monolitik, dan rigid.
alami conflict of interest sehingga cenderung melakukan Model ini juga yang menuntut monoloyalitas dan
upaya menyelamatkan diri daripada membela kepentingan menyebabkan terjadi hubungan patron-client yang tunggal.
daerah. 11 Implikasinya, faktor-faktor produksi secara mutlak di-
Pola hubungan ini hanya menyebabkan timbulnya kuasai para kroni penguasa. Aksessibilitas kepada kekuasa-
hegemoni pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah an menjadi sangat menentukan dalam segala hal. Pola ini
dengan kepala daerah sebagai aktor yang “wajib” meng- juga menjadi suatu budaya politik yang merambat pada
ikuti skenario yang telah ditentukan dalam segala dimensi struktur birokrasi di daerah sehingga memunculkan rezim
feodal-aristokratik.12 Dalam konteks ini, dapat dikatakan
11 Untuk kasus Riau, hal ini didukung oleh tiga gubernur sebelumnya
bahwa teori otonomi memang ada tetapi pelaksanaan oto-
yang bukan putra daerah. Jabatan gubernur selama Orde Lama nomi tidak pernah dilaksanakan di Indonesia hingga saat
maupun Orde Baru didrop dari pusat, berlatar belakang militer
ini.13 Semua itu dibangun atas dasar rekayasa regulasi yang
(argumentasi Pusat karena Riau dianggap rawan, meskipun
kriteria rawan tidak mempunyai parameter yang jelas) dan etnis canggih yang menempatkan Pemerintah Pusat pada posisi
Jawa. Akibatnya aspirasi masyarakat Riau banyak yang tidak yang sangat menentukan.
terakomodasi. Pada tanggal 2 September 1985, seorang calon
pendamping, Ismail Suko, ketika itu memenangkan pemilihan Bermula dari lepasnya Timor Timur melalui referen-
gubernur. Akan tetapi ia tidak dilantik. Pusat melantik Imam dum adalah merupakan pendulum munculnya permin-
Munandar untuk masa jabatan kedua. Kasus hampir sama juga
terjadi tahun 1993. Ketika itu, Syarwan Hamid, anak jati Riau,
mendapat dukungan luas dari masyarakat untuk menduduki
jabatan gubernur. Akan tetapi tidak disetujui oleh pusat. Akhirnya
Soeripto, mantan Pangkostrad, menjadi gubernur untuk kedua 12 Untuk lebih jelas lihat Priyo Budi Santoso, 1993, Birokrasi Pemerintah
kalinya. Tentang uraian dinamika pemilihan Gubernur Riau 1993- Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural, Rajawali, Jakarta.
1998 harap periksa Zulfan Heri dan Muchid Albintani (peny.), 1998, 13 Lihat Fauzi Kadir, 1999, Seperti Bambu di Tepi Sungai, dalam Tabloid
DPRD Riau Digugat: Kilas Balik Pemilihan Gubernur Riau (1993-1998), Politik WataN No. 10 Tahun I, 24-30 Desember 1999, Pekanbaru,
LS2EPM, Pekanbaru. Riau.
32 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 33
18. taan serupa bagi daerah lainnya. Aceh misalnya, menagih terhadap pemerintah pusat akan sumber dana, sumber-
janji serupa melalui referendum untuk merdeka, Irian Jaya daya manusia, dan wewenang.15
menuntut Papua merdeka, Riau yang telah mendeklarasi- Persistensi sentralisasi kekuasaan dan ekonomi
kan Riau Berdaulat (baca: merdeka) tanggal 15 Maret 1999 berakibat pada ketidakpuasan daerah atas ketimpangan
juga memanfaatkan momentum ini, sementara tersebut. Diskursus otonomi seluas-luasnya, federalisme
Kalimantan Timur melalui DPRD Tingkat I pada awal dan merdeka nyaring terdengar terutama pada daerah yang
Desember 1999, dalam pernyataan sikapnya mengusulkan kaya akan sumberdaya alam. Dalam konteks ini, pembe-
bentuk negara federasi. Potensi disintegrasi mengemuka rontakan daerah dapat dipahami sebagai ketidakadilan atas
dan inilah fase paling spektakuler munculnya perlawanan pembagian hasil keuntungan yang diperoleh pusat kepada
daerah terhadap pemerintah pusat.14 daerah selama ini.
Perlawanan daerah terhadap pusat saat ini bisa Masing-masing daerah tersebut memiliki karakteristik
dipahami yang menjadi penyebabnya antara lain timpang- perjuangan tersendiri dalam menyikapinya. Aceh misal-
nya perimbangan keuangan antara pusat-daerah jika dilihat nya, menempuh jalan mengangkat senjata dan diplomasi
dari empat daerah yang melakukan perlawanan, yang sekaligus, dengan porsi melalui senjata lebih dominan di
merupakan daerah yang kaya akan sumberdaya alam. bawah kendali pasukan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Pembagian rezeki yang kurang adil ini menyebabkan Sementara Papua, meskipun memiliki Organisasi Papua
timpangnya struktur ekonomi dan infrastruktur antara Merdeka (OPM) tetapi perlawanan bersenjata tidak sein-
Jawa dan luar Jawa, kebijakan sentralisasi kekuasaan yang tensif di Aceh. Mereka juga menempuh jalur diplomasi.
ber-lebihan (over-centralized) sehingga mematikan Kongres Rakyat Papua adalah merupakan bukti akan hal
kreativitas sebagai akibat tingginya ketergantungan daerah ini. Kedua gerakan masing-masing di Aceh dan Papua
memiliki sejarah yang panjang dan unik hingga mereka
lebih terorganisir dan dikenal luas di dunia internasional.
14 Menguatnya perlawanan daerah terhadap pusat juga disebabkan Sementara gerakan menuntut Riau Merdeka bergema dan
karena posisi negara dalam keadaan lemah baik secara ekonomi menguat pasca tumbangnya rezim autoritarian Orde Baru.
maupun politik dan pada saat bersamaan hak-hak asasi manusia
menjadi isu krusial serta menjadi sorotan internasional terutama
Kebijakan Habibie dalam mengatasi perlawanan
dalam meloloskan bantuan finansial sehingga penanganan upaya daerah kurang membawa hasil yang memuaskan. Per-
separatis tidak bisa semata-mata dilakukan dengan cara represif
tetapi juga dengan cara persuasif, sesuatu yang hampir tidak
pernah dilakukan oleh rezim Soeharto sebelumnya. Seiring
dengan hal tersebut, peluang ini dimanfaat-kan daerah untuk
memperkuat bargaining position mereka terhadap pemerintah 15 Lihat Tim PPW-LIPI, Menuju Reformasi Hubungan Pusat-Daerah,
pusat. dalam Syamsuddin Haris dan Riza Sihbudi (ed.), Op.Cit., h. 183.
34 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 35
19. masalahan ini akhirnya harus ditangani oleh pemerintahan Buku ini hadir untuk menelaah bagaimana dinamika
Abdurrahman Wahid. Selain itu, Abdurrahman Wahid “pemberontakan” daerah pasca Orde Baru bisa dipahami
dalam banyak hal dianggap tidak konsisten dengan per- yang menjadi penyebabnya antara lain timpangnya per-
nyataan yang telah dibuatnya sendiri, “Jika Timor Timur imbangan keuangan antara pusat-daerah jika dilihat dari
diberi referendum, kenapa Aceh tidak. Itu namanya tidak empat daerah yang melakukan perlawanan, yang merupa-
adil.” Seperti mendapat peluang untuk mengadakan kan daerah yang kaya akan sumberdaya alam. Pembagian
referendum, ucapan presiden tersebut banyak menghiasi rezeki yang kurang adil ini menyebabkan timpangnya
hampir di setiap sudut kota-kota di Aceh. struktur ekonomi dan infrastruktur antara Jawa dan luar
Pernyataan tersebut akhirnya dibantah sendiri oleh Jawa, kebijakan sentralisasi kekuasaan yang berlebihan
Abdurrahman Wahid sehingga membuat masyarakat Aceh (over-centralized) sehingga mematikan kreativitas daerah.
semakin tidak percaya kepada pemerintah pusat. 16 Akumulasi dari persoalan hubungan pusat-daerah
Sementara untuk daerah Riau, persepsi yang berkembang selama ini memunculkan kekecewaan yang mendalam
bahwa pemerintahan Abdurrahman Wahid juga tidak jauh karena me-marjinalkan masyarakat lokal secara sistematis,
berbeda dengan pemerintahan sebelumnya dalam hal baik secara sosial, ekonomi, dan politik. Dan kekecewaan
keadilan. Dan lebih ekstrim lagi, sebagian mahasiswa dan tersebut akhirnya termanifestasikan dalam bentuk per-
pemuda di Riau tidak percaya kepada pemerintahan orang- lawanan daerah terhadap pemerintah pusat.
orang Jawa.17 Fokus pembahasannya adalah munculnya Gerakan
Riau Merdeka selama kurun waktu 1998-2001. Urgensi-
nya, terutama mengungkap fakta maupun peta tentang
16 Kasus Aceh menonjol karena intensitas perlawanan terus
Gerakan Riau Merdeka. Dengan memahami fakta dan peta
meningkat dan banyak memakan korban jiwa. Perlawanan dalam kekuatan Gerakan Riau Merdeka dapat diketahui tipikal
bentuk yang lain juga terjadi di Papua Barat, ada usaha
sekelompok masyarakat mengibarkan bendera Papua Merdeka
dari gerakan tersebut. Karena itu, dalam buku ini dikaji
pada tanggal 1 Desember 1999. Meskipun aksi ini dilakukan tanpa profil dan siapa-siapa aktor di balik gerakan tersebut, faktor
kekerasan, berarti eksistensi Republik Indonesia dipertanyakan. apa yang paling signifikan penyebab munculnya gerakan
Sementara di Riau telah dilaksanakan Kongres Rakyat Riau II
tanggal 29-31 Januari 2000. Kongres Rakyat Riau II memberikan
tiga opsi, yakni otonomi luas, federal, dan merdeka. Akhirnya
mayoritas peserta kongres terutama mahasiswa dan pemuda
sebagai kelompok pro-merdeka memilih opsi merdeka. mahasiswa yang comitted dengan Riau Merdeka. Kalimat yang
17 Pemerintahan orang-orang Jawa di sini maksudnya adalah karena selalu diucapkan adalah “aku tahu maka aku memberontak”. Tahu di
Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati sini artinya mereka mengerti kekayaan Riau yang melimpah
Soekarnoputri kala itu, keduanya berasal dari Jawa. Pendapat ini hanya untuk segelintir orang, sementara untuk masyarakat Riau
berdasarkan percakapan di kalangan akademisi terutama hanya tinggal ampasnya.
36 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 37
20. tersebut, hingga penulis berupaya untuk memprediksi
apakah akan terjadi eskalasi dari gerakan tersebut berdasar-
kan kondisi faktual yang ada.
Fokus pembahasannya berangkat dari pertanyaan;
Pertama, pra-kondisi apa yang menyebabkan munculnya
gerakan menuntut Riau Merdeka. Kedua, faktor apa yang Bab 2
dianggap paling signifikan yang menyebabkan munculnya
gerakan menuntut Riau Merdeka. Ketiga, akankah terjadi
eskalasi dari gerakan tersebut.{} BENIH-BENIH KETEGANGAN
HUBUNGAN PUSAT-DAERAH
eragamnya suku bangsa, agama, ras, antar-
B golongan, dan geografis yang tersebar merupakan
salah satu penyebab sulitnya membangun identitas
politik bersama melalui nation building di Indonesia. Orde
Lama yang lebih mem-prioritaskan pada pembangunan
politik, telah menyebabkan pembangunan ekonomi
cenderung terabaikan. Pengabaian terhadap pembangun-
an ekonomi ini telah mengakibatkan daerah di luar Jawa
sangat merasakan ketertinggalan ketika itu. Ketidakpuasan
ini menimbulkan gerakan berbasis kedaerahan seperti DI/
TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan, kemudian
PRRI di Bukittinggi, dan Permesta di Sulawesi Utara.
Memasuki usia kemerdekaan hampir 59 tahun,
Indonesia masih dihadapkan pada persoalan integrasi
38 Pen d a hul ua n GERAKAN RIAU MERDEKA 39
21. nasional, meskipun permasalahan ini sempat mengalami kan” (inserting) variabel baru, sehingga nuansa penjelasan
interupsi selama rezim Orde Baru selama 32 tahun. Selama yang sudah ada dapat diperkaya lagi. Selain itu, untuk
Orde baru, bukannya persoalan ini sudah dapat dikatakan menunjukkan upaya penjelasan yang telah dilakukan oleh
tuntas karena represivitas yang diterapkan Orde Baru orang lain, review of literature ini juga menjadi petunjuk
dalam menghadapi berbagai gerakan baik itu berupa penting keseriusan peneliti terhadap penelitiannya.18
perlawanan terhadap perlakuan tidak adil penguasa atas Dalam konteks itu, tujuan dilakukannya tinjauan
rakyat maupun gerakan separatisme, telah menyebabkan kepustakaan dalam adalah untuk memudahkan mem-
hancurnya tatanan sosial dan menyimpan amarah dari bangun argumen dalam menjelaskan Gerakan Riau
rakyat yang cenderung tidak terkendali karena telah Merdeka. Untuk itu, dipilih literatur yang ada relevansinya.
kehilangan nalar. Uniformitas dan sentralisasi adalah salah Pemilihan literatur ini berdasarkan asumsi bahwa Gerakan
satu hal yang paling menonjol dari pola pemerintahan Riau Merdeka memiliki persamaan dengan gerakan
rezim Orde Baru dalam menerapkan sistem pemerintahan. berbasis kedaerahan pada masa Orde Lama, yang tidak
Kasus serupa, yakni gerakan berbasis kedaerahan memiliki tradisi separatisme murni di mana tujuan dari
muncul kembali pasca tumbangnya rezim Orde Baru. gerakan tersebut lebih kepada upaya agar diperhatikan
Gerakan berbasis kedaerahan tersebut, meskipun me- oleh pemerintah pusat dengan tuntutan otonomi luas.
miliki karakteristik yang berbeda dengan pada masa Orde Dalam menganalisis penyebab munculnya Permesta,
Lama, tetapi memiliki satu tujuan sebenar-nya, yakni Harvey (1989)19 mulai dari konstalasi perpolitikan nasional
upaya daerah agar lebih diperhatikan oleh pemerintah ketika itu secara komprehensif dengan mengutip dari studi
pusat terutama terhadap pembagian rezeki yang adil bagi para Indonesianis sebelumnya seperti Kahin, Legge,
daerah modal, jika dilihat dari empat daerah yang nyaring Anderson, Maryanov, McVey, Feith, Mackie, dan Schmitt.
menyuarakan federalisme hingga tuntutan merdeka pasca Pertama, kesenjangan Jawa dan luar Jawa sebagai warisan
tumbangnya Orde Baru. kolonial. Ketika itu, kekecewaan didasarkan atas suatu rasa
Karenanya, pada bab ini dilakukan penjelasan akade- ketidaksenangan yang luas terhadap struktur negara yang
mik (riset) terhadap gerakan-gerakan berbasis kedaerahan ada, yang secara luas dikritik sebagai biro-kratis, tidak
dengan melakukan tinjauan kepustakaan (review of
literature), yakni upaya mendeteksi sejauh mana masalah
18 Riswandha Imawan, tanpa tahun, “Research Design”, dalam
yang kita hadapi telah diteliti oleh orang lain. Kegiatan ini Metodologi Penelitian Administrasi, diktat kuliah Program Studi
penting untuk mengetahui celah atau ruang dari bangun Magister Ilmu Administrasi PPS Universitas 17 Agustus, Surabaya,
unpublished.
logika yang sudah dibangun untuk menjelaskan masalah 19 Lihat Barbara Sillars Harvey, 1989, Permesta: Pemberontakan
itu, yang masih bisa kita manfaatkan untuk “memasuk- Setengah Hati (terj.), Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, h. 9-30.
40 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 41
22. efisien, dan korup. Belum duduknya format politik Mengutip Feith, Harvey menjelaskan bahwa perbedaan
nasional menyangkut sistem politik terutama struktur afiliasi politik yang sangat kontras antara Jawa dan luar
lembaga-lembaga pemerintah pusat dan daerah serta Jawa mencermin-kan baik perpecahan kedaerahan
hubungan antara keduanya; pernyataan yang tegas tentang maupun perpecahan ideologi. Perbedaan tampak pasca
kontrol nasional atas ekonomi; peranan partai-partai politik Pemilu 1955 di mana PNI, NU, dan PKI menguat di Jawa,
dan tentara; dan kedudukan Islam serta komunisme dalam sementara Masyumi menguat di luar Jawa. Mengerasnya
negara, termasuk perbedaan mendasar terhadap sifat-sifat pertentangan Masyumi dan PKI (baca: Islam vis a vis
ekonomi, kultur, dan sosial Jawa dan luar Jawa. Terhadap komunis), berimplikasi didiskreditkannya Masyumi yang
dimensi ekonomi, Harvey menjelaskan bahwa pada tahun dihubungankan dengan pemberontakan Darul Islam di
1925 bagian terbesar ekspor Hindia Belanda berasal dari Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
luar Jawa terutama dari hasil bumi. Kondisi ini diperburuk Ketiga, kebijakan ekonomi yang Jawa-sentris. Seiring
oleh resesi ekonomi dunia (depresi) pada tahun 1930, nasionalisasi perusahaan Belanda, untuk mengisi banyak-
sehingga gula yang merupakan komoditi andalan Jawa nya pegawai yang berpengalaman mau tidak mau banyak
untuk diekspor mengalami penurunan permintaan. diisi birokrat dari etnis Jawa. Implikasinya, secara tidak
Implikasinya, Jawa sebagai pusat pemerintahan dengan terhindarkan melibatkan kepentingan-kepentingan daerah
penduduknya yang padat menjadi konsumen pokok ke dalam kebijaksanaan ekonomi pemerintah pusat
barang-barang impor. Menurut Harvey, keunggulan Jawa khususnya persoalan alokasi devisa yang menyebabkan
tidak hanya sekadar geografis dan demografis, tetapi juga kepentingan konsumen dan pengusaha bertentangan.
terpaut tradisi politik Jawa yang dipengaruhi konsepsi Alokasi devisa yang berlaku dari tahun 1950-1957 cende-
Hindu tentang negara dan kekuasaan, yakni bahwa negeri rung mementingkan importir dan konsumen, yang
ditentukan oleh pusatnya. Negara dip andang sebagai suatu sebagian besar di Jawa, daripada pengusaha dan eksportir,
rangkaian konsentris: kekuasaan yang sangat ketat di pusat terutama di Sumatera, di samping sebagian di Sulawesi
menjadi semakin lemah di pinggiran. Dalam hal-hal dan Kalimantan. Dalam hal ini pemerintah pusat menyedot
tertentu, orang Jawa merasa superior dari suku-suku hasil daerah tanpa memberikan kembali suatu sumbangan
lainnya di Indonesia. Dengan begitu, sebagian warisan yang pantas bagi kebutuhan keuangan daerah. Implikasi-
kolonial Indonesia adalah ketidakseimbangan struktural nya, muncul tuntutan otonomi daerah untuk suatu pem-
antara Jawa dan luar Jawa, yang secara politis dominan bagian penghasilan yang lebih adil, dari pendapatan ekspor
tetapi secara ekonomi lemah, dan luar Jawa, yang secara pulau-pulau luar Jawa. Perluasan otonomi bagi daerah juga
politis terbatas tetapi secara ekonomi kuat. dilihat sebagai suatu jalan keluar bagi dilema yang ditim-
Kedua, perbedaan afiliasi politik Jawa dan luar Jawa. bulkan kelemahan pemerintahan pusat, dan kehilangan
42 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 43
23. kepercayaan pada sistem parlementer. dan Gorontalo. Tetapi atas nama Indonesis Timur tantangan
Keempat, menegangnya hubungan sipil- militer. terhadap pemerintah pusat yang dikenal dengan Permesta
Lemahnya pemerintahan sipil yang ditandai jatuh bangun- secara resmi dikeluarkan pada 2 Maret 1957 di Makassar.
nya kabinet digunakan oleh militer plus Soekarno untuk Daerah inti Permesta di Sulawesi; di Makassar tempat
menyerang para politisi sipil, yang menimbulkan semangat perencanaan proklamasi itu, dan di Minahasa, di ujung
anti demokrasi liberal. Militer merasa ditelantarkan pasca utara dari pulau, tempat rakyat dalam satu tahun mem-
revolusi kemerdekaan. Pada saat bersamaan terjadi per- persiapkan diri melawan pemerintah pusat.
pecahan di tubuh militer, antara perwira yang setia kepada Pertama, historiografi Sulawesi di mana kopra sebagai
Soekarno vis a vis perwira yang setia kepada Jenderal Abdul penghasil devisa. Secara ekonomi, pada masa itu Sulawesi
Harris Nasution, KSAD ketika itu. Faktor persaingan di ber-gantung kepada kopra. Memasuki pasca revolusi 1945,
lingkungan TNI merupakan faktor yang menentukan Sulawesi dijadikan salah satu dari delapan provinsi
dalam mempercepat pemberontakan. Perpecahan ini Republik Indonesia dengan Makassar sebagai ibukota dan
bermula pada peristiwa 17 Oktober 1952, di mana gubernur dijabat Dr. G.S.S.J. (Sam) Ratulangi asal
Nasution memaksa Soekarno membubarkan par-lemen Minahasa. Pemerintahan tidak efektif karena larangan
karena ketika itu politisi sipil dianggap mencampuri sekutu dan penangkapan terhadap gubernur oleh Belanda.
kebijakan reorganisasi TNI, sehubungan dengan adanya Tahun 1946 terbentuklah Negara Indonesia Timur (13
kebijakan tour of duty Nasution dalam usaha mencegah daerah) yang disponsori Belanda, berpusat di Makassar.
pembangunan basis kekuatan lokal oleh para komandan Sementara Sulawesi dibagi menjadi lima daerah masing
militer di daerah. Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sementara dari konteks lokal, menurut Harvey ketika Minahasa, dan Sangihe-Talaud. Setelah pembubaran NIT
itu sebenarnya Indonesia Timur (pada tahun 1956 terdiri tahun 1950, Sulawesi menjadi provinsi tunggal dengan
dari Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara; di samping Sudiro, seorang Jawa, sebagai gubernur hingga diganti oleh
Irian Barat) secara umum, dan Sulawesi khususnya telah Lanto Daeng Pasewang, seorang Makassar tahun 1954.
terjadi ketegangan dan persaingan. Secara historis, Pengangkatan Sudiro oleh pemerintah pusat dengan alasan
persaingan dan ketegangan telah terjadi semasa penjajahan untuk menghindari persaingan kesukuan menjadi lebih
Belanda. Distrik yang menonjol adalah Keresidenan buruk di Sulawesi.
Manado dan Sangihe-Talaud di utara yang mayoritas Kedua, pemerintahan sipil dan hubungan politik
Kristen dengan tingkat pendidikan yang terbaik di Hindia dilingkupi disparitas utara-selatan. Secara sosial maupun
Belanda pada tahun 1930. Sementara di selatan yang kultural antara Bugis dan Makassar dari selatan dan orang
mayoritas Islam, distrik yang menonjol adalah Makassar Minahasa dari utara sangat berbeda adalah merupakan
44 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 45
24. fakta karena keduanya mengalami revolusi dalam dua cara persaingan ini menjadi penting, bukan saja dalam pembe-
yang amat berbeda. Banyaknya birokrat asal Minahasa rontakan Darul Islam pimpinan Kahar Muzakar, melainkan
yang tetap bekerja dengan Belanda dalam NIT, dan terus juga dalam Permesta dan peristiwa-peristiwa yang men-
memegang kedudukan pasca kemerdekaan, juga menjadi jurus ke proklamasinya. Dan karena Peristiwa 17 Oktober
sebab kecencian dan dendam di antara orang banyak di 1952 di Jakarta, merupakan suatu pendahuluan bagi krisis
selatan. Pada sisi lain, Minahasa merasa perlu memisahkan daerah dalam ketentaraan, reaksi terhadapnya di Makassar
sebagai provinsi sendiri ketika orang-orang Bugis/Makassar merupakan pendahuluan bagi Permesta.
mulai menuntut kedudukan dalam pemerintahan provinsi. Keempat, persoalan-persoalan daerah merupakan
Akhirnya usul ini disetujui Januari 1956. Bagi pimpinan di implikasi krisis politik nasional. Pada pertengahan 1956,
selatan, otonomi dilihat tidak saja sebagai pemberian suatu terjadi krisis politik nasional yang meningkat dan pada saat
lambang kekuasaan setempat dan berguna dalam bersamaan tuntutan-tuntutan daerah pada Jakarta me-
mengimbangi protes para pemimpin pemberontak ter- numpuk, persaingan sipil dan militer di Sulawesi membuat
hadap dominasi Jawa, melainkan juga dilihat sebagai hal keadaan menjadi lebih buruk. Dalam pandangan masya-
yang perlu untuk menghidupkan aktivitas ekonomi dan rakat dua daerah tersebut (utara dan selatan) menafsirkan
menyediakan lapangan kerja, yang bisa menarik kaum tujuan Permesta dalam hubungan kepentingan-kepenting-
pemberontak keluar dari hutan. an yang khusus, yakni di selatan mengakhiri pemberon-
Ketiga, kerja sama dan persaingan dalam militer ada- takan Kahar Muzakkar, dan di utara menguasai hasil
lah revolusi yang belum tuntas. Pada masa revolusi, perdagangan kopra. Dalam Piagam Perjuangan Semesta
hubungan utara dan selatan tertempa dalam Pusat Kese- Alam, salah satu berisi tuntutan bagi hasil antara daerah
lamatan Rakyat (PKR) dan Kebaktian Rakyat Indonesia dan pusat yakni 70:30. Secara umum, tuntutan Permesta
Sulawesi (KRIS) ketika melawan Belanda. Pada akhir dibagi menjadi dua bagian, yakni pada tingkat wilayah dan
revolusi, persaingan pun tidak dapat di-hindarkan. Friksi nasional. Pada tingkat wilayah, tuntutannya adalah pem-
antarelit militer di daerah adalah buah dari kebijakan berian otonomi kepada provinsi; lebih banyak perhatian
pemerintah pusat dalam menempatkan para komandan pada perkembangan wilayah; suatu alokasi yang lebih adil
di Sulawesi. Salah satu yang tersingkir dan kemudian dari peng-hasilan devisa; pengesahan atas perdagangan
melakukan pemberontakan pada tahun 1953 adalah Kahar barter; dan sesuai dengan program TT-VII, pembangunan
Muzakkar. Pola persaingan kesukuan dalam ketentaraan, Indonesia Timur sebagai suatu daerah pertahanan territorial
seperti juga dalam pemerintahan sipil meliputi persaingan dan pemberian suatu mandat –dan bantuan keuangan dan
di dalam tiga kelompok besar, yakni antara orang-orang peralatan- untuk penyelesaian keamanan di daerah. Sedang
Bugis/Makassar, Minahasa, dan Jawa. Persaingan- pada tingkat nasional, dituntut penghapusan sentralisme.
46 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 47
25. Studi Harvey tentang pemberontakan daerah semasa integrasi minimal karena masa kolonial masyarakat Aceh
Orde Lama masih cukup relevan untuk digunakan sebagai hampir-hampir tidak berhubungan dengan organisasi
alat analisis dalam mengkaji gerakan berbasis kedaerahan nasionalis yang ada di nusantara. Aceh juga memberikan
saat ini terutama dari perspektif hubungan pusat-daerah dukungan finansial bagi pemerintah RI sehingga mem-
menyangkut kesenjangan struktural Jawa- luar Jawa. perkuat posisi tawar yang tinggi terhadap pemerintah
Perbedaannya adalah tentang aktor-aktor yang melakukan nasional. Untuk itu, pemerintah pusat memberi jabatan
gerakan perlawanan terhadap pusat. Jika pada masa Orde tinggi kepada masyarakat Aceh terutama kepada kaum
Lama adalah gerakan dimotori oleh orang-orang yang ulama. Implikasinya, kaum bangsawan (ulebalang) yang
terkait dengan struktur kekuasaan sementara saat ini aktor- pada masa pendudukan mempunyai peran yang besar
aktornya berada di luar struktur kekuasaan. merasa tersingkir. Masalah kemudian muncul ketika
Nazaruddin Sjamsuddin (1990)20 mengkritik pen- revolusi berakhir, tatkala konsolidasi kekuasaan oleh para
dekatan utama yang digunakan oleh para ilmuwan, yang pemimpin pemerintah pusat. Implikasinya, masalah Aceh
lebih menitik-beratkan memahami perlawanan daerah terlupakan sehingga menimbulkan dendam di kalangan
dari perspektif nasional. Dalam menganalisis kasus Darul masyarakat dan memuncak ketika status provinsi mereka
Islam, Sjamsuddin memulai dari sejarah politik dan latar dibatalkan serta dilecehkannya nilai-nilai agama yang
belakang pergolakan dengan menjelaskan banyak hal sangat kuat dianut masyarakat Aceh oleh pemimpin
seperti faktor-faktor regional dan religius, cita-cita men- nasional.
dirikan negara Islam, pertentangan kepentingan internal Kedua, perkembangan politik di Aceh merupakan
pemberontak sendiri serta hubungan gerakan ini dengan kelanjutan dari kehidupan politik masa lalu yang didomi-
Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan dan Kartosuwiryo di nasi pertikaian kaum ulama dan ulebalang. Ulebalang yang
Jawa Barat. tersingkir selama revolusi nasional, merasa di atas angin
Pertama, adanya saling ketergantungan antara peme- ketika pengaruh ulama dipanggung politik melemah tahun
rintah pusat dengan Aceh. Ketika itu, perjuangan Aceh 1950 seiring dengan upaya pengisian jabatan politik formal.
paling menonjol ketika daerah lain di nusantara sudah Para ulama mencoba mencari dukungan pemerintah pusat
berada dalam cengkeraman Belanda semasa revolusi dengan tuntutan otonomi sehingga dominasi ulama dapat
nasional periode 1945-1949. Selain itu, Aceh mengalami dipertahankan. Akan tetapi pemerintah pusat menolak
memberikan dukungan dan membiarkan konflik itu terus
berlangsung. Mengutip Feith, Sjamsuddin mengajukan
20 Lihat Nazaruddin Sjamsuddin, 1990, Pemberontakan Kaum Republik:
argumen lain, yakni penyingkiran Masyumi pada tingkat
Kasus Darul Islam Aceh, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, terutama
h. 1-67. nasional dianggap para ulama sebagai pertanda bahwa
48 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 49
26. pemerintah akan menghadapi para pemimpin setempat kesadaran akan warisan sejarah dan uniknya kebudayaan,
dengan cara lebih keras. Karena khawatir hal yang sama, pendirian psikologis yang diperkuat oleh kepentingan
mereka mendahuluinya dengan melakukan pem- ekonomi dan politik. Pada awal Agustus, pemerintah pusat
berontakan. telah membubarkan Provinsi Aceh dan menggabungkan-
Ketiga, perbedaan kepentingan antara Aceh dan peme- nya ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Ini merupakan
rintah pusat. Kebijakan sentralisasi pemerintah pusat konsekwensi dari kembalinya Indonesia menjadi negara
melalui birokrasi vis a vis perjuangan masyarakat Aceh kesatuan. Hal ini mendapat perlawanan keras dari DPRD
menuntut otonomi. Tuntutan otonomi merupakan ke- dengan alasan sosial ekonomi rakyat Aceh tertinggal dari
inginan para pemimpin Aceh agar dapat dilaksanakannya daerah lainnya dalam Provinsi Sumatera Utara. Perbedaan
pembangunan sosial maupun ekonomi yang tertunda sejak kepentingan pusat dengan Aceh, mendapat dukungan dari
1920. Keinginan ini semakin menguat dan mendapat para pemimpin Sumatera Utara.
dukungan dari segenap masyarakat Aceh termasuk ulama Kedua, kebijakan Jakarta dan pertarungan kekuasaan
seiring dengan datangnya kemerdekaan. lokal. Pembubaran provinsi berjalin dengan aneka macam
Selanjutnya, Sjamsuddin menjelaskan kondisi lokal kepentingan yang terbentuk berdasarkan pembelahan
Aceh sebagai faktor penyebab munculnya pemberontakan yang ada dalam masyarakat Aceh. Sementara kaum ulama
sebagai berikut; pertama, pembubaran provinsi Aceh pada khususnya yang tergabung dalam Persatuan Ulama
Januari 1951. Aceh diberi status provinsi bersamaan dengan Seluruh Aceh (PUSA) menyimpan dendam terhadap pe-
Tapanuli/Sumatera Timur Desember 1949 semasa Kabinet merintah pusat, kaum ulebalang, dan pemimpin ulama
Hatta dan mengangkat gubernur militer kedua daerah non-PUSA memandang Jakarta sebagai sekutu. Keadaan
tersebut menjadi gubernur. Penolakan muncul dari peme- ini dipandang perlu oleh pemerintah pusat dalam rangka
rintah republik yang baru di Yogyakarta semasa PM Abdul memelihara kekuasaan atas Aceh, yang oleh Sjamsuddin
Halim dengan alasan inkonstitusional. Kondisi ini diman- dianggap meniru taktik kolonial Belanda di Jawa. Bedanya
faatkan oleh para pemimpin Sumatera Utara dengan alasan kekuasaan kemudian tidak diberikan kepada kaum
sejarah di mana Sumatera hanya dibagi tiga bagian, yakni ulebalang tetapi dijalankan oleh pemerintah pusat sendiri
utara, tengah, dan selatan. Konflik antara pemerintah pusat dengan mengangkat pejabat dari Jawa atau non-Aceh
dan Aceh diperkuat oleh konflik intraregional. Dari dimensi dalam kedudukan yang tidak berhubungan langsung
politik, lepasnya Aceh membawa implikasi pada hilangnya dengan masyarakat setempat. Kebijakan ini berlangsung
kursi di DPRD. Sedang dari dimensi ekonomi akan mengu- selama Kabinet Sukiman melalui Mendagri Iskak
rangi pendapatan Sumatera Utara. Sementara bagi orang Tjokrodisurjo (PNI) yang mengambil sikap garis keras dari
Aceh sendiri pemisahan ini lebih karena kuatnya sebelumnya. Kebijakan ini disertai dengan pemberhentian
50 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 51
27. Daud Beureuh sebagai gubernur hingga hanya tersisa satu kuasaan Belanda.
orang Aceh yang memegang jawatan teknis ketika itu, Tesis Sjamsuddin tentang pergolakan di Aceh kurang
yakni dinas industri. Program rasionalisasi kemiliteran relevan dalam menjelaskan konteks Riau. Ada beberapa
semasa Kabinet Hatta dengan membubarkan Divisi X hal yang dapat digarisbawahi dari dimensi ekonomi dan
bukan hanya memukul elit militer tetapi juga menelan- politik, apa yang dialami Aceh pada masa awal kemerdeka-
tarkan para bawahannya. an memiliki persamaan dengan kondisi di Riau, yakni
Ketiga, meluasnya dampak sosial ekonomis pem- intervensi pusat dalam mengamankan kepentingan eko-
bubaran propinsi melahirkan frustasi dan alienasi di tengah nomi politiknya. Justru di Riau mengalami masa intervensi
masyarakat umumnya, baik elit sipil maupun militer, tidak pusat yang amat panjang, akan tetapi kurang mendapat
terkecuali melanda rakyat. Kebijakan ini mendorong perlawanan signifikan terutama dari aktor-aktor negara.
sentimen kedaerahan di kalangan masyarakat non-elit Sementara itu, Hardi (1993)21 mencoba melihat faktor
sehingga menimbulkan simpati kepada para pemimpin lain dalam pemberontakan Darul Islam pimpinan Daud
yang disingkirkan oleh Jakarta. Banyaknya pejabat non- Beureuh dari perspektif pelaku utama pemberontak.
Aceh dianggap telah mengganggu nilai-nilai Islami yang Pertama, terjadinya perbedaan pendirian antara Daud
sangat dipegang teguh oleh masyarakat Aceh sehingga Beureuh dan pemerintah pusat terutama ketika tuntutan
mereka cenderung tidak mematuhi para birokrat yang para ulama ditolak. Kedua, persepsi Daud Beureuh ter-
dianggap sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. hadap pemerintah pusat antara lain kurang mem-
Akibat lainnya dari pembubaran provinsi Aceh, menye- perhatikan kepentingan rakyat Aceh, menghalangi
babkan tidak ada pejabat Aceh yang dilibatkan dalam pelaksanaan ajaran Islam. Selain itu, Daud Beureuh
pengambilan keputusan sehingga dirasakan timpangnya menghendaki pelaksanaan piagam Jakarta terutama pada
pem-bangunan terutama di bidang pendidikan yang di- tujuh kata, “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
tandai dengan dibatalkannya subsidi bagi sekolah me- pemeluk-pemeluknya”, menginginkan status otonomi luas
nengah Islam di seluruh daerah tahun 1951, memburuk- di mana sebelumnya dibubarkan provinsi Aceh yang secara
nya kesehatan masyarakat karena keterbatasan fasilitas, otomatis Daud Beureuh diberhentikan sebagai gubernur.
gagalnya perbaikan sistem irigasi, infrastruktur yang buruk, Sedangkan faktor lainnya yang mendorong
dan dikeluarkannya prosedur perdagangan umum dan meningkatnya keresahan adalah; pertama, pembubaran
penghapusan sistem barter yang mematikan aktivitas divisi dan teritorium Aceh dan menggantikan kesatuan-
ekonomi masyarakat Aceh. Menghadapi kenyataan ini,
rakyat Aceh menyadari bahwa situasi sesudah kemerde- 21 Lihat Hardi, 1993, Daerah Istimewa Aceh: Latar Belakang Politik dan
kaan malah lebih buruk daripada pada masa akhir ke- Masa Depannya, Cita Panca Serangkai, Jakarta, h. 109-129.
52 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 53
28. kesatuan militer Aceh oleh kesatuan-kesatuan militer dari Kedua, gagalnya pembangunan ekonomi sebagai aki-
daerah lain. Kedua, penangkapan terhadap para pemimpin bat dari kondisi politik pada tingkat nasional yang tidak
Aceh karena ada laporan bahwa akan terjadi aksi kondusif. Akibatnya dirasakan oleh masyarakat luas ter-
menentang pemerintah di Aceh dimanfaatkan oleh perwira utama para prajurit akibat program rasionalisasi. Kondisi
infiltran komunis, Mayor Nasir. Ketiga, adanya ajakan ini dimanfaatkan oleh perwira militer daerah mengambil
Kartosuwiryo agar Daud Beureuh mendirikan Negara inisiatif dengan melakukan penjualan komoditi perke-
Islam. bunan secara ilegal.
Fokus kajian Hardi tentang pelaku utama pemberon- Ketiga, ancaman komunisme di Indonesia semakin
takan sangat bertolak belakang dengan pelaku utama menguat berawal dari kebijakan ekonomi. Sikap Hatta
gerakan menuntut Riau Merdeka. Tokoh-tokoh utamanya yang akomodatif terhadap Belanda dan modal asing me-
adalah orang-orang yang terlibat perjuangan kemerdekaan nimbulkan kemarahan PKI dengan menuduhnya sebagai
Indonesia dan masa revolusi. Namun karena kekecewaan komprador (orang yang bekerja sama dengan modal
dengan kebijakan Pusat, mereka melakukan perlawanan. asing). Strategi PKI sangat ampuh ketika berhasil merang-
Sementara konteks Riau, yakni bangkitnya kesadaran kul Soekarno dengan menyokong setiap tindakan politik-
masyarakat Riau yang dimotori oleh intelektual kritis dan nya termasuk diterapkannya demokrasi terpimpin. Meski-
mahasiswa dengan memanfaatkan kondisi negara yang pun Soekarno bukan anggota PKI, akan tetapi kebijakan-
lemah. nya ketika itu yang lebih condong ke negara-negara
Ilmuwan lainnya R.Z. Leiressa (1991), 22 mencoba komunis. Perkembangan ini menyebabkan Hatta mengun-
menjelaskan kondisional munculnya pergolakan daerah durkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956
adalah sebagai akibat; pertama, gagalnya pemerintah dan membuat resah kalangan militer. Fase ini, menurut
nasional membangun sistem politik. Ditandai polarisasi Leiressa sangat mempengaruhi daerah-daerah seperti
secara ideologi politik karena beragamnya suku yang secara Sumatera dan Indonesia Timur.
nyata tercermin pada Pemilu 1955. Sentralisme dan Keempat, guncangan dalam tubuh angkatan darat.
diterapkan sistem spoil sistem berdampak pada banyaknya Friksi antarelit militer berawal dari perbedaan latar bela-
jabatan dipegang oleh etnis Jawa. Tuntutan otonomi luas kang keprajuritan. Nasution vis a vis Bambang Supeno yang
dari daerah dijawab dengan uniformitas. merembet ke partai politik, masing-masing didukung oleh
PSI dan PNI.
Penjelasan Leiressa tentang hubungan pusat-daerah
22 Uraian lebih lengkap periksa R.Z. Leirissa, 1991, PRRI/Permesta:
Strategi Pembangunan Indonesia tanpa Komunis, Pustaka Utama selama Orde Lama dapat digunakan sebagai bahan dalam
Grafiti, Jakarta, h. 7-30. menjelaskan kondisi pasca Orde Baru, yakni kegagalan
54 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 55
29. membangun sistem politik nasional terutama keengganan kepala daerah baik pada tingkat provinsi maupun kabu-
Pusat menerapkan otonomi daerah. Sementara friksi elit paten di luar Jawa. Menyiasati hal ini, pemerintah pusat
yang terjadi pasca Orde Baru tidak memiliki keterkaitan bukannya melakukan upaya persuasif, malah melakukan
secara langsung untuk menjelaskan Gerakan Riau upaya represif terhadap daerah. Alasan pusat diperkuat
Merdeka. dengan dikeluarkannya pengumuman negara dalam
Sementara itu Ichlasul Amal,23 menjelaskan ada empat keadaan darurat pada bulan Maret 1957 yang berarti pe-
penyebab terjadinya perlawanan daerah terhadap peme- mimpin militer senior di tiap daerah menjadi lebih ber-
rintah pusat selama periode antara 1950-1960. Pertama, kuasa daripada kepala daerah.
kesenjangan (baca: dikotomi) ekonomi antara Jawa dan Ketiga, semakin memburuknya hubungan sipil-
luar Jawa berbanding lurus dengan dikotomi afiliasi politik militer bersamaan dengan semakin menguatnya polarisasi
yang sangat kontras antara dua partai besar, di mana PNI baik secara politik maupun budaya. Militer kesulitan
menguat di Jawa sementara Masyumi menguat di luar dalam memainkan peran politik mereka terhadap politisi
Jawa. Ini ditandai jatuh bangunnya kabinet sebagai akibat sipil. Hal ini karena antara tahun 1945 pasca revolusi kemer-
dari inflasi yang tidak terkendali karena Kabinet Ali dekaan hingga tahun 1950, militer masih belum memiliki
Sastroamijoyo I mempertahankan sistem nilai tukar tetap satu komando yang harus ditaati. Ketika itu, tiap-tiap unit
(the system of fixed exchange rate). Implikasinya adalah me- tempur yang terbentuk selama revolusi lebih patuh kepada
nimbulkan kesenjangan antardaerah, 24 baik secara komandan, daerah, dan kelompok etnik mereka masing-
ekonomi maupun politik. masing. Dalam kondisi demikian, militer sangat rentan
Kedua, kegagalan pemerintah pusat mewujudkan terhadap intervensi politisi sipil dan pada saat bersamaan
desentralisasi system pemerintahan lokal dan otonomi telah terjadi penolakan terhadap program reorganisasi dari
daerah secara luas. Kondisi ini diikuti menguatnya perasaan pemerintah. Ini ditandai keterlibatan beberapa pemimpin
menentang dominasi Jawa terutama berkaitan dengan militer daerah dalam pemberontakan PRRI/Permesta.
penempatan pegawai pamongpraja dari etnis Jawa sebagai Keempat, perseteruan antara kubu Islam dengan kubu
nasionalis dalam merumuskan dasar negara, apakah
23 Ichlasul Amal, 1992, Regional and Central Government in Indonesian Politics: berdasarkan Islam atau sekuler. Mengerasnya pertentang-
West Sumatera and South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, an dua kubu ini ditandai dengan pemberontakan Darul
Yogyakarta, h. 1-10.
24 Dari dimensi politik, kesenjangan di sini sebenarnya lebih tepat Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.25
disebut kesenjangan antarelit di pusat menyangkut ideologi,
sebagai representasi daerah dan termanifestasikan dalam bentuk
sentiment etnis yang akibat lebih jauhnya adalah menyeret pada 25 Sebenarnya dari empat alasan yang dikemukakan di atas, alasan
konflik pusat dan daerah. pertama dan kedua saat ini juga merupakan penyebab perlawanan
56 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 57
30. Ilmuwan lain Audrey Kahin dan George McTurnan untuk pembelian senjata.27
Kahin (2001),26 memperkuat analisis terjadinya pergolakan Dari penjelasan akademik di atas, pergolakan daerah
daerah dengan menghubungkan faktor eksternal – tidak bisa dilepaskan dari konteks politik tingkat nasional
pertentangan blok Timur dan Barat— di mana ketika itu ketika itu dan kondisi lokal yang turut mendorong
Amerika Serikat berkepentingan untuk mencegah meluasnya gerakan sebagai akibat revolusi nasional. Dari
komunisme berkembang di Indonesia. Menurut mereka, pelakunya, pemberontakan daerah pada tahun 1950-1960
kesimpulan ini berdasarkan laporan Duta Besar John nyaris melibatkan elit militer maupun sipil di pusat dan
Allison kepada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat daerah, sementara pemberontakan daerah setelah
pada pertengahan Mei 1957, yakni; pertama, konsepsi reformasi dapat dikatakan tidak melibatkan orang-orang
presiden untuk menambahkan “kaki keempat”, yaitu PKI, yang terkait langsung dengan struktur kekuasaan. Selain
dalam kabinet. Dibentuknya Dewan Nasional yang itu, perbedaan cara pandang pemerintah pusat dan daerah
dilukiskan “agak cenderung ke kiri”. Kedua, hasil pemilu dalam hal otonomi juga menjadi persoalan yang rumit dan
lokal di Jawa antara Juni dan Agustus 1957, PKI muncul tidak terpecahkan.{}
sebagai partai satu-satunya yang berhasil meningkat
suaranya secara signifikan. Dukungan finansial pun
diberikan kepada para perwira militer yang memberontak
daerah terhadap pusat terutama kesenjangan ekonomi antara
Jawa dan luar Jawa serta keengganan pemerintah pusat dalam
melaksanakan otonomi daerah dalam arti sesungguhnya.
Sementara alasan ketiga, kondisinya berbanding terbalik dengan
saat ini di mana militer relatif solid, politisi sipil terpecah dan
keempat, untuk dasar negara relatif sudah hampir dapat diterima
meskipun dalam beberapa kasus masih dipersoalkan. Pada kasus
lain, Makassar Merdeka misalnya, lebih pada persoalan sentimen
etnis semata, di mana figur Presiden Habibie ketika itu mendapat
tantangan meluas terutama di Jawa. Fenomena ini menyadarkan
kita bahwa ternyata representasi elit (baca: sentiment etnis) juga
bisa memicu disintegrasi. 27 Studi Kahin dan Kahin ini tidak relevan dalam menjelaskan
26 Lihat Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin (2001), Subversi pergolakan daerah di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru
Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, menyangkut pertentangan ideologi dan campur tangan pihak
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, terutama h. 85-87, 151, dan 154. asing.
58 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 59
31. Bab 3
JEJAK RIAU MENAPAK
JALAN KEMERDEKAAN
ab ini memaparkan sejarah politik kontemporer
B Riau sejak dari munculnya kerajaan-kerajaan besar
maupun kecil yang tersebar hampir merata dalam
wilayah administratif Provinsi Riau.28 Pemaparan ini men-
jadi penting ketika sebagian alasan bagi terbentuknya
Negara Riau Merdeka yang di-dengungkan selalu berdasar-
kan setting sejarah apa yang dikenal dengan kejayaan
Melayu Raya sebagai sebuah entitas. Melayu Raya dimak-
sud adalah sebuah Kemaharajaan (baca: imperium)
Melayu yang membentang dari Semenanjung Melayu
(Malaysia sekarang) hingga pesisir Timur Sumatera mulai
dari wilayah Kuantan di sebelah barat dan Siantan di
28 Studi ini dibatasi 1998-2001 di mana Provinsi Riau belum
mengalami pemekaran.
60 Be ni h-B eni h Ket eg a ng a n Hub un g a n Pu sa t - Da er a h GERAKAN RIAU MERDEKA 61