SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  29
SOAL KASUS 4 TUTORIAL BHBP 7




       Seorang dokter gigi dipanggil dari pihak reskrim polwitabes setempat. Setelah
tiba dilokasi petugas kepolisian meminta bantuan untuk mengidentifikasi korban yang
telah dievakuasi ke ruang bareskrim dengan menggunakan kantong jenazah, setelah
kantong jenazah dibuka terlihatlah beberapa bagian potongan tubuh, dibagian potongan
tubuh tersebut maka terdapat beberapa luka memar dengan bentuk atau pola yang
teratur, didalam kantong tersebut juga ditemukan beberapa tulang dan beberapa gigi
bahkan tambalan dari potongan tubuh tersebut terlihat beberapa sobekan ada kulit
dan otot yang menunjukan karakteristik tertentu, apa yang harus dilakukan dokter gigi
tersebut.


Instruksi :
Apa yang menjadi permasalahan pada kasus ini ?
Berikan hipotesis dari permasalahan ini !
Apakah topik utama dalam permasalahan ini ?




                                                                                   1
TINJAUAN PUSTAKA




I. PRINSIP PROSES IDENTIFIKASI
            Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik
   hidup ataupun mati / meninggal, yang dilakukan melalui pembandingan data-data
   antemortem dan postmortem. Adapun prinsip-prinsip umum dalam proses identifikasi
   adalah sebagai berikut.
1. Pada identifikasi, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin
   metode identifikasi.
2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut
   dapat disingkirkan (eksklusi).
3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi.


II. METODE IDENTIFIKASI
            Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode
   pemeriksaan        perlu   diusahakan   dilakukan     dan    satu    sama     lain   saling
   melengkapi. Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan
   beberapa metode identifikasi. Ada 9 macam metode identifikasi, yaitu :
1. Visual
   Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual,
   misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian
   tubuh tersebut masih utuh.


2. Perhiasan
   Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb
   dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai
   yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, dan
   lain sebagainya.




                                                                                             2
3. Pakaian
   Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk
   menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label
   tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat
   mempersempit kemungkinan tersangka.


4. Dokumen
   Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa
   dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan
   tidak palsu.


5. Identifikasi secara medis
   Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu
   berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum
   dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah
   dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna
   kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu
   atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto
   ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi,
   tehnik rekonstruksi wajah, dsb.


6. Odontologi forensik
   Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat
   perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan.


7. Serologi forensik
   Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan
   terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein
   serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas
   dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit
   serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA). Pada saat ini dengan

                                                                                           3
berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena
   bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini
   memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah
   hemereologi yang mencakup semua hal diatas.


8. Sidik jari
   Telah lama diketahui bahwa sidik jari setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga
   pemeriksaan sidik jari dapat digunakan untuk identifikasi individu.


9. Eksklusi
   Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama-
   namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai), maka jika (n-1)
   individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan
   (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut.




III. PEMERIKSAAN LUAR
   Adapun sistematika pemeriksaan luar adalah sebagai berikut.
1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada jempol kaki
   mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna,
   bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi
   di kamar jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/kotoran) dari
   penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta serta kondisi (ada tidaknya bercak/ kotoran)
   dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai bawah,
   dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan
   corak   tekstil,   bentuk/model   pakaian,    ukuran,   merk     penjahit,   cap   binatu,
   monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila
   ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya.

                                                                                           4
5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran
   nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi, berupa :
a. Lebam mayat : letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
b. Kaku mayat : distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya spasme
   kadaverik.
c. Suhu tubuh mayat : memakai termometer rektal dan dicatat juga suhu ruangan pada saat
   tersebut.
d. Pembusukan.
e. Lain-lain : misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit,
   status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding
   perut.
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi
   rajah/tattoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali, dan cacat pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan.
   Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah yang
   melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan
   fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat
   ukuran pupil, badingkan kanan dan kiri.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap,
   termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan
   sebagainya.
14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang
   ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput dara
   dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang
   pelepasan.



                                                                                           5
15. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis,
   edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh.
16. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap:
a. Letak luka: regio anatomis dan koordinat terhadap garis/titik anatomis terdekat.
b. Jenis luka: luka lecet, memar, atau terbuka.
c. Bentuk luka: termasuk bentuk luka terbuka setelah dirapatkan.
d. Arah luka: melintang, membujur, atau miring.
e. Tepi luka: rata atau tidak beraturan.
f. Sudut luka: runcing, membulat, atau bentuk lain.
g. Dasar luka: jaringan bawah kulit, otot, tulang, atau rongga badan.
h. Sekitar luka: pengotoran atau luka/tanda kekerasan lain di sekitarnya.
i. Ukuran luka: untuk luka terbukajuga diukur setelah dirapatkan.
j. Saluran luka: penentuan in situ mengenai perjalanan serta panjang luka baru dapat
   ditentukan pada saat pembedahan mayat.
k. Lain-lain: misalnya pada luka lecet jenis serut diperiksa pola penumpukan kulit ari untuk
   menentukan arah kekerasannya, pada memar dicatat warnanya.
17. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya


IV. TANDA GIGITAN (BITEMARK)
   Definisi
   Bitemark didefinisikan sebagai cetakan pola sebagai hasil kontak suatu objek atau gigi-
   geligi (gigitan) pada kulit.

   Objek Pemeriksaan

   Sebagai objek pemeriksaan dalam suatu penyelidikan secara garis besar dapat ditentukan
   antara lain:

1. Korban hidup
2. Korban mati
3. Manusia sebagai pelaku
4. Benda-benda mati yang terdapat di sekitar tempat kejadian perkara yaitu:
a. Bekas pola gigitan pada tubuh mayat.

                                                                                          6
b. Air liur di sekitar bekas pola gigitan dan bekas gigitan makanan tertentu.
c. Bercak-bercak darah korban.
d. Bercak-bercak darah pelaku.
5. Benda mati yang secara fisik dianggap sebagai barang bukti, antara lain:
a. Gigi palsu lepasan sebagian/ partial denture
b. Gigi palsu penuh/ full denture
c. Mahkota dan jembatan/ crown and bridge
6. Semua jaringan rongga mulut yaitu pipi bagian dalam dan bibir yang lepas yang terdapat
   di tempat kejadian perkara.
       Objek-objek tersebut dicatat ke dalam formulir pemeriksaan awal karena terdapat
   pemeriksaan lanjutan baik untuk kepentingan rekonstruksi dan baik pula untuk
   kepentingan laboratoris khususnya dalam penentuan golongan darah dan DNA baik
   korban maupun pelaku yang nantinya dicatat pula ke dalam suatu formulir pemeriksaan
   laboratoris yang berguna untuk kelengkapan penyidikan yang kesemuanya itu disebut
   sebagai oral and dental identification record.



   Keuntungan gigi sebgai objek pemeriksaan.
   Keuntungan gigi sebgai objek pemeriksaan antara lain:

1. Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis dan
   morfologis mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi.
2. Gigi-geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami nekrotik atau
   ganggren, meskipun dikubur, umumnya organ-organ tubuh lain bahkan tulang telah
   hancur tetapi gigi tidak (masih utuh).
3. Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama karena menurut SIMS dan Furnes bahwa gigi
   manusia kemungkinan sama adalah satu dibanding dua milyar.
4. Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau berubah
   maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras
   mempunyai ciri yang berbeda.
5. Gigi-geligi tahan asam keras.



                                                                                          7
6. Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 oC gigi tidak akan
    hancur. Gigi menjadi abu sekitar suhu lebih dari 649oC. Apabila gigi tersebut ditambal
    menggunakan amalgam maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar di atas 871oC,
    sedangkan bila gigi tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloy emas maka bila
    terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-1093oC.




7. Gigi-geligi dan tulang     rahang pada rontgenogramnya dapat dilihat kadang-kadang
    terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang khas.
8. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakia gigi palsu dengan
    berbagai macam      model gigi palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau
    diidentifikasi.
9. Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana lain atau organ
    tubuh lain tidak ditemukan.


A. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku

            Menurut William Eckert (1992), pola gigitan adalah bekas gigitan dari pelaku
    yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di
    bawah kulit sebagai pola akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui
    kulit korban.

            Menurut Bowers dan Bell (1955) mengatakan bahwa pola gigitan merupakan
    suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi
    antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi
    manusia maupun hewan.




                                                                                           8
Menurut Sopher (1976) mengatakan bahwa pola gigitan yang ditimbulkan oleh
hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi
serta bentuk rahangnya.

       Menurut Curran et al (1680) mengatakan bahwa pola gigitan pada hewan buas
yang dominan membuat perlukaan adalah gigi kaninus atau taring yang berbentuk
kerucut.

       Menurut Levine (1976) mengatakan bahwa pola gigitan baik pola permukaan
kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dan
dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan tertentu
misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun yang sudah meninggal.

       Sedangkan menurut Soderman dan O’Connel pada tahun 1952 mengatakan bahwa
yang paling sering terdapat pola gigitan pada buah-buahan yaitu buah apel,pear dan
bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark.

       Sedangkan menurut Lukman (2003) mengatakan bahwa pola gigitan mempunyai
suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola
gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang
masing-masing individu sangat berbeda.




                                                                                    9
B. Klasifikasi pola gigitan

           Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada
   pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu:

1. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus.
2. Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola gigitan cusp
   bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat pola
   gigitannya masih sedikit.
3. Kelas III : pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu permukaan
   gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih
   parah dari pola gigitan kelas II.
4. Kelas IV : pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang
   sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola gigitan irreguler.
5. Kelas V : pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan insisive, kaninus
   dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah.
6. Kelas VI : pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari rahang
   atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan
   kekerasan oklusi dan pembukaan mulut.




                                                                                               10
C. Berbagai jenis pola gigitan pada manusia.

           Pola gigitan pada jaringan manusia sangatlah berbeda tergantung organ tubuh
   mana yang terkena. Adapun beberapa pola gigitan tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pola gigitan heteroseksual.
   Pola gigitan pada pelaku-pelaku hubungan intim antar lawan jenis dengan perkataan lain
   hubungan seksual antara pria dan wanita terdapat penyimpangan yang sifatnya sedikit
   melakukan penyiksaan yang menyebabkan lawan jenis sedikit kesakitan atau
   menimbulkan rasa sakit.
a. Pola gigitan dengan keterlibatan lidah dan bibir.
   Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan birahi antara pria dan wanita.
b. Pola gigitan pada organ genital

                                                                                      11
c. Pola gigitan pada sekitar organ genital
d. Pola gigitan pada mammae.




   D. Pola gigitan pada kasus penyiksaan anak / child abuse

           Pola gigitan ini dapat terjadi pada seluruh lokasi atau di sekeliling tubuh anak-
   anak. Hal ini disebabkan oleh suatu aplikasi dari pelampiasan gangguan psikis pelaku.
   Lokasi pola gigitan pada bagian tubuh tertentu yaitu daerah punggung, bahu atas, leher.




   E. Pola gigitan hewan

           Pola gigitan hewan umumnya terjadi sebagai akibat dari penyerangan hewan
   kepada korban. Kejadian tersebut dapat terjadi tanpa instruksi dari pemeliharanya atau
   dengan instruksi dari pemeliharanya. Beberapa hewan yang menyerang korban karena


                                                                                         12
instruksi dari pemeliharanya biasanya berjenis herder atau doberman yang memang
   secara khusus dipelihara pawang anjing di jajaran kepolisian untuk menangkap pelaku
   atau tersangka. Pola gigitan hewan juga disebabkan sebagai mekanisme pertahanan diri
   maupun sebagai pola penyerangan terhadap mangsanya.

a. Pola gigitan anjing biasanya terjadi pada serangan atau atas perintah pawangnya atau
   induk semangnya. Misalnya dijajaran kepolisian, untuk mengejar tersangka atau pelaku.
b. Pola gigitan hewan pesisir pantai.
   Pola gigitan ini terjadi apabila korban meninggal di tepi pantai atau korban meninggal
   dibuang di pesisir pantai, sehingga dalam beberapa hari atau beberapa minggu korban
   tersebut digerogoti oleh hewan-hewan laut antara lain kerang, tiram.
c. Pola gigitan hewan peliharaan, misalnya gigitan anjing atau kucing.



             Identifikasi pelaku dapat dibuat dengan pertolongan odontologis forensik. Foto
   serial, dimulai sejak luka teridentifikasi, harus diambil dalam waktu 24 jam dalam ukuran
   milimeter. Golongan darah pelaku dapat ditentukan dari pemeriksaan saliva washing
   yang diambil dari kulit bekas gigitan. Pada daerah tersebut terdapat sekitar 0,3 ml saliva
   dan sulit mendapatkan jumlah yang cukup dengan menggunakan swab.

   Bekas gigitan yang dapat menimbulkan luka, yaitu:

1) Kejahatan seksual seperti pemerkosaan.
2) Kekerasan dalam rumah tangga dan penyiksaan anak (oleh orang tua).
3) Kasus kriminal lain, dimana korban menyerang pelaku untuk melindungi dirinya dengan
   cara menggigit.
4) Modus kriminal lainnya.

   Tipe-tipe gigitan ada beberapa macam,yaitu:

1) Haemorage = titik perdarahan kecil.
2) Abrasi = tidak ada bekas kerusakan kulit.
3) Luka memar = pembuluh darah putus, memar, biru, lebam.
4) Luka laserasi = tertusuk/sobek pada kulit.


                                                                                          13
5) Pengirisan = tusukan yang rapi pada kulit.
6) Avulsi = kulit terlepas.
7) Artifact = digigit hingga bagian tubuh menjadi terpotong.




   1                             2                             3




   4                      5                            6




   7

   Gambar. Tipe-tipe gigitan

                                                                   14
Kuatnya suatu gigitan, dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1) Clearly Defined = Tekanan tergambar pada kulit.
2) Obviously Defined = Tekanan gigitan tingkat satu (terdapat lekukan jelas pada kulit).
3) Quite Noticeable = tekanan penuh kekerasan (terjadi luka).
4) Lacerated = kulit ditekan dengan kasar sehingga rusak dari tubuh.




   1                     2




   3                             4




                                                                                           15
Identifikasi Bitemark

          Bitemark merupakan pola yang dibuat oleh gigi pada kulit, makanan atau substrat
   yang lembut tetapi dapat tertekan. Kebanyakan bitemark pada bagian forensik adalah
   kontak antara gigi manusia dengan kulit dan analisis memperlihatkan keunikan gigi yang
   tercatat secara akurat pada kulit. Perempuan lebih sering digigit dibandingkan pada pria,
   dengan kebanyakan gigitan terjadi pada payudara (33%) dan lengan (19%).

          Terdapat beberapa prosedur yang dapat dilakukan untuk menjaga dan melindungi
   informasi dental forensik yaitu dengan melihat luka tersebut sebagai bitemark yang
   potensial; melakukan fotografi, membuat cetakan, dan dapat juga dilakukan eksisi serta
   mengawetkan bitemark tersebut. Kejelasan dan bentuk dari bitemark dapat berubah
   dalam waktu yang sangat singkat baik pada korban yang masih hidup maupun korban
   mati. Fotografi dapat dilakukan untuk mendokumentasikan bitemark karena fotografi
   menghasilkan informasi yang dapat dipercaya, tetapi fotografi memiliki kekurangan
   karena menggambarkan objek tiga dimensi dalam film dua dimensi.

          American Board of Forensik Odontology (ABFO) merekomendasikan untuk
   membuat cetakan pada daerah yang tergigit; bahan cetakan yang digunakan harus
   memenuhi spesifikasiADA dan harus dipersiapkan berdasarkan instruksi pabrik. Bahan
   cetak yang biasa digunakan adalah hidrokoloid dan light-body vinyl polysiloxane (VPS).
   Polieter, dilaporkan memiliki keakuratan yang sangat baik, stabilitas jangka panjangnya
   baik, good elastic recovery, dan resisten terhadap basah. Hydrophilicity yang baik
   menjamin hasil cetakannya memiliki detail reproduksi yang baik pada permukaan basah,
   termasuk daerah yang sulit diakses.

   Prosedur identifikasi:

1. Kumpulkan bukti
   Misalkan terdapat 20 buah bitemark dan kemudian difoto dengan satu orang operator
   dengan menggunakan kamera digital (coolpix 2100 nikon) menggunakan skala ABFO
   No.2 dengan resolusi 300 dpi.
2. Pilih bahan cetak yang akan digunakan


                                                                                         16
Bahan cetak yang digunakan biasanya polieter denngan konsistensi light-bodied dan
   heavy-bodied. Hanya satu cetakan dari bitemark yang diambil, untuk mencegah
   manipulasi, distorsi atau kehilangan barang bukti. Prosedur ini dilakukan untuk
   mempertahankan bekas gigitan karena bitemark memiliki kecenderungan untuk
   menghilang secara alami dikarenakan oleh regenerasi jaringan (pada korban yang masih
   hidup) atau membusuk (pada korban meninggal).
   Teknik monophase dilakukan berdasarkan rekomendasi pabrik dan sendok cetaknya
   dapat bertahan dalam air panas (60°C) dengan lilin pink extra-hard. Dikarenakan ini
   adalah desain eksperimental, tidak dilakukan apusan DNA.


3. Cetak rahang pelaku yang dicurigai
   Buat model studi rahang pelaku yang dicurigai dengan menggunakan gips stone kuning
   tipe IV. Kemudian cetakan discan dengan menggunakan flatbed scanner dengan skala
   yang sama pada tiap rahangnya.
   Model cetak pertama (dental stone) : digunakan gips stone kuning tipe IV karena sifat
   fisiknya yang baik, seperti kemampuan untuk ekspansinya yang rendah, kekuatan
   kompresinya meningkat dari 55 menjadi 117 MPa hanya dalam 48 jam. Sifat inilah yang
   menjamin stabilitas dimensional dan daya tahannya. Rahang pelaku dicetak dua kali,
   cetakan yang pertama digunakan sebagai examination cast sedangkan setakan kedua
   sebagai untouched cast, yang diletakkan di daerah yang aman). Pemeriksaan model
   cetakan ini dengan menggunakan skala ABFO No.2.
   Model cetak kedua (model polyether) : cetakan positif dicampur dengan polieter yang
   berkonsistensi light-bodied dengan menggunakan kuas cat dan digetarkan sedikit untuk
   memastikan bergeraknya aliran polieter.
4. Membandingkan bitemark
   Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk membandingkan bitemark, yaitu :
a. Metode digital
   Fotografi digital pada bitemark kulit dan gambar dari model cetakan yang pertama dan
   kedua discan dan kemudian dibandingkan dengan menggunakan Adobe Photoshop 8.0
   software dengan metode superimpose. Kemudian setelah dibandingkan, didapatkan



                                                                                     17
kesimpulan apakah kedua cetakannya extreme-degree match, high-degree match,
   probable-degree match, poor-degree match, dan dissimilar-degree match.
b. Metode manual
   Model cetakannya diposisikan pada bitemark yang telah dicetak dengan gips maupun
   polieter. Prosedur ini dilakukan untuk meminimalisasi pola penyimpangan pada kulit.
   Tekanan dengan jari dilakukan pada model polieter pada sisi lawan dari bitemark,
   sehingga melemahkan daerah yang luas. Pencocokan harus dapat dilakukan dengan
   mudah dan sebaiknya tidak ditekan (faktor akurasi).



   Metode lain untuk menganalisis bitemark

          Terdapat banyak metode tambahan untuk menganalisis bitemark. Salah satu
   metodenya adalah penemuan bakteri DNA. Penemuan DNA tidak selalu terjamin.
   Adanya nucleic acid-degrading enzyme dalam saliva dapat dengan cepat merusak DNA,
   terutama jika hal ini terjadi pada korban yang masih hidup. Kita bias menggunakan
   teknik Sweet’s double swab, teknik ini mengumpulkan DNA dalam sel epitel oral sebagai
   hasil rehidrasi, dibandingkan dengan hanya berdasarkan DNA pada saliva saja. Mulut
   manusia memiliki lebih dari 500 spesies bakteri, dan setiap individu memiliku kombinasi
   yang sangat berbeda, tergantung pada, sebagai contoh, status kesehatan mulut, status gigi
   geligi, dan adanya atau tidak adanya protesa.


          Teknik fotografi dapat digunakan untuk menganalisis, menyesuaikan, dan
   mengabadikan gambar gigi.. Dan teknik ini cukup akurat dengan menggunakan bantuan
   computer. Metode ini membandingkan langsung antara cetakan studi pelaku dengan
   fotografi teraan gigitan, dan membandingkantes gigitan yang dilakukan pelaku dengan
   teraan gigitan yang sebenarnya.

          Menurut Nandy, data-data yang penting untuk didapatkan pada proses identifikasi
   korban adalah: ras, etnis, kebangsaan, agama, jenis kelamin, perawakan, warna kulit
   muka, corak kulit, rupa, rambut, mata, kelainan kongenital, tanda lahir, tahi lalat, bekas
   luka, tato, cacat, penyakit lain, gigi, pengukuran antropometri, (tinggi dan lebar badan,
   ukuran lingkar kepala), sidik jari, pakaian dan ornamen lain        yang dipakai korban

                                                                                          18
(Nandy, 2001). Dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemukan berbagai kasus yang
memerlukan bantuan Kedokteran Forensik. Tidak jarang juga ditemukan kasuskasus
dimana hanya ditemukan beberapa tulang saja untuk diidentifikasi. Pada proses
identifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, dan jenis kelamin korban merupakan hal
yang penting. Dalam kasus seperti hanya ditemukan beberapa tulang             saja untuk
diidentifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, etnis dan jenis kelamin dapat diketahui salah
satunya melalui perhitungan sefaliks indeks (Nandy, 2001).




V. ANTROPOLOGI FORENSIK
       Antropologi merupakan bidang studi sains tentang asal usul, prilaku, fisik, sosial
dan pengembangan lingkungan manusia. Antropologi forensik merupakan bidang ilmu
untuk physical anthropologists yang mengaplikasikan ilmunya dalam bidang biologi,
sains, dan budaya dalam proses hukum.
       Antropologi forensik merupakan aplikasi dari ilmu fisik atau biologi antropologi
dalam proses hukum. Merupakan pemeriksaan pada sisa – sisa rangka untuk membantu
menentukan identitas dari jasad. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai langkah
pertama untuk menentukan apakah sisa-sisa tersebut berasal dari manusia dan selanjutnya

                                                                                       19
dapat menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras.
   Pemeriksaan dapat juga memperkirakan waktu kematian, penyebab kematian dan riwayat
   penyakit dahulu atau luka yang saat hidup menimbulkan jejas pada struktur tulang.
          Identifikasi dalam forensik berdasarkan antropologi sering disebut dengan
   antropometri forensik. Antropometri berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti
   pengukuran manusia. Dalam antropologi fisik, antropometri berperan penting dalam
   perancangan industri, perancangan pakaian, ergonomis, bahkan artsitektur. Dalam
   bidang-bidang tersebut, data statistik tentang distribusi dimensi tubuh dari suatu
   poopulasi diperlukan untuk menghasilkan produk yang optimal. Perubahan dalam gaya
   kehidupan sehari-hari, nutrisi, dan komposisi etnis dari masyarakat dapat membuat
   perubahan dalam distribusi ukuran tubuh, dan membuat perlunya penyesuaian berkala
   dari koleksi data antropometrik.
          Dalam odontologi forensik sendiri, identifikasi korban dapat diklasifikasi ke
   dalam beberapa bagian, sebagai berikut.


A. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui antropometri kraniofasial




          Kranium atau tengkorak kepala manusia merupakan tulang yang berguna untuk
   menentukan jenis kelamin korban. Seperti yang akan dijabarkan lebih lanjut, diketahui
   bahwa dagu pada pria cenderung lebih bersegi (kotak) dan lebih lancip pada wanita. Dahi
   pada pria cenderung lebih landai, sedangkan pada wanita dahinya lebih lurus. Pria
   memiliki lengkungan alis yang lebih tinggi dibanding wanita.



                                                                                       20
Pengukuran pembanding kraniofasial untuk identifikasi ras belum ditetapkan
   syarat-syarat mutlaknya, karena walaupun klasifikasi ras memiliki komponen biologis
   yang sama, namun tetap didasari adanya hubungan sosial dan lingkungan. Walaupun
   demikian, beberapa rincian anatomis, terutama di wajah sering menunjukkan ras
   individual. Pada ras kulit putih, biasanya terdapat wajah yang menyempit dengan hidung
   yang agak meninggi serta dagu yang lebih menonjol. Pada ras kulit hitam / negroid,
   biasanya hidug lebih lebar dengan subnasal yang berlekuk. Kaum Kaukasian (Amerika
   Indian) dan Asia memiliki bentuk tulang pipi yang menonjol disertai tekstur gigi yang
   khas.




B. Identifikasi jenis kelamin korban berdasarkan gigi-geligi
           Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi
   geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson
   mencatat bahwa pada 75% kasus, mesiodistal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7

                                                                                      21
mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini masih terus dikembangkan penelitian
tentang pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin. Selain
berdasarkan gigi geligi, ukuran dan tipe rahang pria dan wanita mempunyai banyak
perbedaan yang spesifik.
       Menurut Cotton (1982), identifikasi gigi-geligi pria dan wanita dapat
didefinisikan sebagai berikut.
               Gigi Geligi                  Wanita                      Pria
               Outline gigi            Relatif lebih kecil       Relatif lebih besar
       Lapisan email dan dentin        Relatif lebih tipis       Relatif lebih tebal
           Bentuk lengkung gigi         Cenderung oval                Tapered
      Ukuran cervico incisal dan          Lebih kecil               Lebih besar
       mesio distal gigi caninus
                  bawah
     Outline incisivus pertama atas       Lebih bulat              Lebih persegi
           Ukuran lengkung gigi        Relatif lebih kecil       Relatif lebih besar


       Identifikasi perbedaan ukuran, bentuk dan tipe tulang rahang adalah sebagai
berikut.
                 Perbedaan                  Wanita                     Pria
            Lengkung rahang atas      Lebih sempit, bentuk          Lebih lebar
                                        seperti huruf “V”        (lateral), bentuk
                                                                 seperti huruf “U”
           Lengkung rahang bawah       Relatif lebih sempit     Relatif lebih lebar
                 Sudut gonion              Lebih besar              Lebih kecil
            Tinggi dan lebar ramus         Lebih kecil             Lebih besar
                  ascendens
             Jarak inter-processus      Lebih kecil/lebih        Lebih besar/lebih
                   koronoid                  pendek                  panjang
            Tinggi tulang processus       Lebih pendek             Lebih tinggi
                   koronoid



                                                                                       22
Tulang menton                     ><                 Lebih tebal dan
                                                                      lebih ke anterior.
             Pars basalis mandibula        Jarak lebih pendek       Jarak lebih panjang
               (secara horizontal)




C. Penentuan usia dari gigi-geligi.
          Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi
   melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang yang lebih baik daripada
   pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua
   diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 – 16 minggu dan
   berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
   mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis
   yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini
   akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan
   mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan
   sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan
   teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line.
   Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar
   pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada
   usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan
   umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan
   perkembangan gigi.




                                                                                           23
Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar
tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi
dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti
ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.

                                                                                    24
Menurut Gusstafson (1996), identifikasi umur dari gigi tetap terdapat enam
   criteria yang disebut “six changes of the physiological age – process in teeth”, yaitu :

1. Derajat atrisi / Degrees of attrition
           Umur menentukan derajat keparahan dari atrisi pada permukaan kunyah gigi baik
   incisal maupun oclusal sesuai dengan penggunaannya. Makin lanjut usia maka derajat
   atrisi makin parah.
2. Perubahan perlekatan gingiva / Alteration in the level of the gingival attatchment
           Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari perlekatan epitel ditandai
   dengan dalamnya sulkus gingiva yang melebihi 2 mm sesuai dengan pertambahan usia,
   sehingga terkesan bahwa seakan-akan mahkota gigi lebih panjang.
3. Formasi dentin sekunder (fisiologis) / The amount of secondary dentine
           Dentin sekunder biasanya terbentuk di atas atap pulpa sehingga makin lanjut usia
   pulpa seakan-akan terlihat menyempit serta email terlihat seakan-akan semakin
   radiolusen secara roentgenografis/radiolografis. Hal ini disebabkan karena pembentukan
   dentin sekunder tersebut.
4. Ketebalan sementum di periapikal / The thickness of cementum around the root
           Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah ketebalan jaringan sementum
   pada akar gigi. Pembentukan ini oleh karena pelekatan serat-serat periodontal dengan
   aposisi yang terus-menerus dari gigi tersebut selama hidup.




5. Translusensi akar / Translucency of the root
           Pertambahan usia menyebabkan terjadinya proses kristalisasi dari bahan-bahan
   mineral akar gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi berangsur-angsur mulai dari akar
   gigi kearah servikal menjadi translusen. Translusensi dentin ini dimulai sekitar dekade
   ketiga usia pertumbuhan.


6. Resorpsi akar (pada periapikal) / Root resorption
           Menurut Gusstaffon (1950) resorpsi akar gigi tetap akibat tekanan fisiologis
   seiring dengan pertambahan usia. Usia yang semakin bertambah menyebabkan membran
   periodontal pada periapikal terlihat menebal (pada foto radiografis).

                                                                                              25
D. Penentuan Ras dari Gigi-Geligi
          Identifikasi ras dapat dilakukan dengan melihat anatomi cingulum gigi incisivus
   dan jarak mesiodistal dengan buccopalatal atau buccolingual gigi premolar serta anatomi
   fisur, jumlah pit, ada atau tidaknya tuberculum carabeli, dan jumlah gigi molar.

   Ras Mongoloid




          Gambaran gigi untuk ras mongoloid adalah sebagai berikut:
1. Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop
   pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid
   memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas.


2. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah
   pada 1-4% ras mongoloid.


3. Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid.


4. Lengkungan palatum berbentuk elips.


5. Batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus.




                                                                                       26
Ras Kaukasoid




Gambaran gigi untuk Ras kaukasoid adalah sebagai berikut:
1.    Cusp carabelli pada gigi molar pertama biasanya selalu ada.


2.    Pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua mandibula.


3.    Maloklusi gigi anterior.


4.    Palatum sempit, mengalami elongasi, berbentuk lengkungan parabola.


5.    Dagu menonjol.


             Ras Negroid




                                                                                 27
Gambaran gigi untuk ras negroid adalah sebagai berikut:
          1.     Pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan.
          2.     Sering terdapat open bite.
          3.     Palatum berbentuk lebar.
          4.     Protrusi bimaksila.


E. Identifikasi Korban Melalui Restorasi dan Protesa yang Digunakan
          Restorasi dan protesa yang digunakan setiap orang bersifat individual dimana
   tidak sama satu dengan yang lainnya dan memiliki ciri-ciri khusus yang tergantung pada
   pemakainya. Restorasi dan protesa yang ditemukan pada korban harus dicatat secara
   teliti. Jika ditemukan adanya restorasi, harus dicatat jenis restorasi yang dipakai, pada
   gigi apa, permukaan yang terkena, dan luasnya restorasi. Pada protesa harus diperhatikan
   gigi sandarannya, jumlah dan bentuk pontik, serta desain protesa.
          Beberapa ciri individu konstruksi dari protesa diketahui melalui :
          •      Bentuk daerah relief di bagian langit-langit
          •      Bentuk dan kedalaman “post-dam”
          •      Disain sayap labial
          •      Penutupan daerah retromolar
          •      Warna akrilik
          •      Bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial
          •      Bentuk dan ukuran lingir alveolar




                                                                                          28
DAFTAR PUSTAKA




   Lukman, Djohansyah. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid II. 2006. Jakarta : CV.
Sagung Seto.

   http://www.scribd.com/doc/54671022/3/IDENTIFIKASI-FORENSIK

   http://wiki.blogbeken.com/teknik-autopsi-forensik

   http://www.freewebs.com/traumatologie2/traumatologi.htm

   http://sulaifi.wordpress.com/2010/01/15/luka-bakar-minor-dan-cara-penanganannya/

   http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/260/Luka_Bakar

   http://royaloakbloods.com/wp-content/uploads/2011/03/bite_mark.jpg

   http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTksYFBRZYXWZQ29WjUYDDDpbe3
   VZBapBlpqA8XTCAli_3GfYRReqGVoLNp7w

   http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23226/4/Chapter%20II.pdf

   http://netdetective.forumotion.net/t2388-antropologi-forensik

   http://yukiicettea.blogspot.com/2009/12/peran-antropologi-forensik-dalam.html

   http://www.forensicmed.co.uk/wounds/bitemarks/

   http://belibis-a17.com/2008/11/23/antropologi-forensik/ (Author : Bayu Fajar
   Wibowo, S.Ked. , dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.)




                                                                                   29

Contenu connexe

Tendances

Atraumatic restorative treatment (art)
Atraumatic restorative treatment (art)Atraumatic restorative treatment (art)
Atraumatic restorative treatment (art)wahyuni majid
 
Laporan lbm 2
Laporan lbm 2Laporan lbm 2
Laporan lbm 2RSIGM
 
Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)
Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)
Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)Citra pharmacist
 
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiAlat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiVina Widya Putri
 
Proses Tumbuh Kembang Gigi
Proses Tumbuh Kembang GigiProses Tumbuh Kembang Gigi
Proses Tumbuh Kembang GigiPSPDG-UNUD
 
Alat scalling manual & elektrik
Alat scalling manual & elektrikAlat scalling manual & elektrik
Alat scalling manual & elektrikERA MULIANA SADARI
 
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIAKODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIAdentalid
 
Odontologi Forensik
Odontologi ForensikOdontologi Forensik
Odontologi Forensikdentalid
 
Makalah konsep perilaku kesehatan gigi
Makalah konsep perilaku kesehatan gigiMakalah konsep perilaku kesehatan gigi
Makalah konsep perilaku kesehatan gigiSeptian Muna Barakati
 
3.pertumbuhan gigi2
3.pertumbuhan gigi23.pertumbuhan gigi2
3.pertumbuhan gigi2asih gahayu
 
9. morfologi gigi permanent rahang atas
9. morfologi gigi permanent rahang atas9. morfologi gigi permanent rahang atas
9. morfologi gigi permanent rahang atashasril hasanuddin
 
Kesehatan Gigi dan Mulut
Kesehatan Gigi dan MulutKesehatan Gigi dan Mulut
Kesehatan Gigi dan MulutAtika Fauziyyah
 
Evidence Based Dentistry
Evidence Based DentistryEvidence Based Dentistry
Evidence Based Dentistryhmpkgums
 
Indikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psaIndikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psaChusna Wardani
 

Tendances (20)

Atraumatic restorative treatment (art)
Atraumatic restorative treatment (art)Atraumatic restorative treatment (art)
Atraumatic restorative treatment (art)
 
Laporan lbm 2
Laporan lbm 2Laporan lbm 2
Laporan lbm 2
 
Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)
Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)
Jarum bedah (SUTURE NEEDLE)
 
Kavitas kelas i rk
Kavitas kelas i rkKavitas kelas i rk
Kavitas kelas i rk
 
Infeksi Odontogenik
Infeksi OdontogenikInfeksi Odontogenik
Infeksi Odontogenik
 
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan GigiAlat & Bahan Penumpatan Gigi
Alat & Bahan Penumpatan Gigi
 
Proses Tumbuh Kembang Gigi
Proses Tumbuh Kembang GigiProses Tumbuh Kembang Gigi
Proses Tumbuh Kembang Gigi
 
Alat scalling manual & elektrik
Alat scalling manual & elektrikAlat scalling manual & elektrik
Alat scalling manual & elektrik
 
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIAKODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA
KODE ETIK KEDOKTERAN GIGI INDONESIA
 
Odontologi Forensik
Odontologi ForensikOdontologi Forensik
Odontologi Forensik
 
Dental asistant ii
Dental asistant iiDental asistant ii
Dental asistant ii
 
Makalah konsep perilaku kesehatan gigi
Makalah konsep perilaku kesehatan gigiMakalah konsep perilaku kesehatan gigi
Makalah konsep perilaku kesehatan gigi
 
Gic
Gic Gic
Gic
 
Intrakoronal (tugas gtc)
Intrakoronal (tugas gtc)Intrakoronal (tugas gtc)
Intrakoronal (tugas gtc)
 
3.pertumbuhan gigi2
3.pertumbuhan gigi23.pertumbuhan gigi2
3.pertumbuhan gigi2
 
9. morfologi gigi permanent rahang atas
9. morfologi gigi permanent rahang atas9. morfologi gigi permanent rahang atas
9. morfologi gigi permanent rahang atas
 
Periodontitis kronis
Periodontitis kronisPeriodontitis kronis
Periodontitis kronis
 
Kesehatan Gigi dan Mulut
Kesehatan Gigi dan MulutKesehatan Gigi dan Mulut
Kesehatan Gigi dan Mulut
 
Evidence Based Dentistry
Evidence Based DentistryEvidence Based Dentistry
Evidence Based Dentistry
 
Indikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psaIndikasi dan kontraindikasi psa
Indikasi dan kontraindikasi psa
 

En vedette

Menentukan jenis kelamin dari kerangka
Menentukan jenis kelamin dari kerangkaMenentukan jenis kelamin dari kerangka
Menentukan jenis kelamin dari kerangkaAnanto Suarbhakti
 
Ciri-ciri gadis masih perawan
Ciri-ciri gadis masih perawanCiri-ciri gadis masih perawan
Ciri-ciri gadis masih perawanAnanda Meilia
 
Urut Batin ( Zakar )
Urut Batin ( Zakar )Urut Batin ( Zakar )
Urut Batin ( Zakar )Urut_Batin
 
Mata Kuliah Blok Forensik
Mata Kuliah Blok ForensikMata Kuliah Blok Forensik
Mata Kuliah Blok Forensikdacilganteng
 
Terapi urutan menghilangkan stres
Terapi urutan   menghilangkan stresTerapi urutan   menghilangkan stres
Terapi urutan menghilangkan stresMohd Noor Noor
 
Sirkumsisi
SirkumsisiSirkumsisi
Sirkumsisiprofzi
 
Perubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahan
Perubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahanPerubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahan
Perubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahanIndra Yu
 
Visum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensik
Visum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensikVisum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensik
Visum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensikReza Oktarama
 
Teknik negosiasi & mediasi
Teknik negosiasi & mediasiTeknik negosiasi & mediasi
Teknik negosiasi & mediasiMulyadi Yusuf
 
Ilmu kedokteran forensik
Ilmu kedokteran forensikIlmu kedokteran forensik
Ilmu kedokteran forensikelriq
 
***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN
***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN
***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDRENBrother K
 
TEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASI
TEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASITEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASI
TEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASIDiana Amelia Bagti
 

En vedette (20)

Sidik bibir editan
Sidik bibir editanSidik bibir editan
Sidik bibir editan
 
Menentukan jenis kelamin dari kerangka
Menentukan jenis kelamin dari kerangkaMenentukan jenis kelamin dari kerangka
Menentukan jenis kelamin dari kerangka
 
Ciri-ciri gadis masih perawan
Ciri-ciri gadis masih perawanCiri-ciri gadis masih perawan
Ciri-ciri gadis masih perawan
 
Urut Batin ( Zakar )
Urut Batin ( Zakar )Urut Batin ( Zakar )
Urut Batin ( Zakar )
 
Mata Kuliah Blok Forensik
Mata Kuliah Blok ForensikMata Kuliah Blok Forensik
Mata Kuliah Blok Forensik
 
Terapi urutan menghilangkan stres
Terapi urutan   menghilangkan stresTerapi urutan   menghilangkan stres
Terapi urutan menghilangkan stres
 
BERKHATAN (CIRCUMCISSION)
BERKHATAN (CIRCUMCISSION)BERKHATAN (CIRCUMCISSION)
BERKHATAN (CIRCUMCISSION)
 
Sirkumsisi
SirkumsisiSirkumsisi
Sirkumsisi
 
Perubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahan
Perubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahanPerubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahan
Perubahan kebijakan akuntansi & koreksi kesalahan
 
Visum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensik
Visum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensikVisum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensik
Visum et repertum dan prosedur pemeriksaan kedokteran forensik
 
Norma, Etika, dan Kasus Pers
Norma, Etika, dan Kasus PersNorma, Etika, dan Kasus Pers
Norma, Etika, dan Kasus Pers
 
Teknik negosiasi & mediasi
Teknik negosiasi & mediasiTeknik negosiasi & mediasi
Teknik negosiasi & mediasi
 
Ilmu kedokteran forensik
Ilmu kedokteran forensikIlmu kedokteran forensik
Ilmu kedokteran forensik
 
Tanatologi
TanatologiTanatologi
Tanatologi
 
9 teknik negosiasi
9 teknik negosiasi9 teknik negosiasi
9 teknik negosiasi
 
Macam Macam Delik
Macam Macam DelikMacam Macam Delik
Macam Macam Delik
 
***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN
***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN
***WARNING*** CIRCUMCISION HORROR. NSFW OR CHILDREN
 
Luka
LukaLuka
Luka
 
TEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASI
TEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASITEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASI
TEKNIK NEGOSIASI - MATERI : NEGOSIASI
 
Negosiasi
NegosiasiNegosiasi
Negosiasi
 

Similaire à KASUS GIGI FORENSIK

6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf
6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf
6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdfM Setiawan
 
Buku clinical skill forensik
Buku clinical skill forensikBuku clinical skill forensik
Buku clinical skill forensikrahmadhini ELKRI
 
Forensic odontologist
Forensic odontologist Forensic odontologist
Forensic odontologist Terminal Purba
 
Peran dokter gigi dalam tindak pidana
Peran dokter gigi dalam tindak pidanaPeran dokter gigi dalam tindak pidana
Peran dokter gigi dalam tindak pidanadentalid
 
Peran dokter gigi dlm tindak pidana.pptt
Peran dokter gigi dlm tindak pidana.ppttPeran dokter gigi dlm tindak pidana.pptt
Peran dokter gigi dlm tindak pidana.ppttDellery Usman
 
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto S
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto SPemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto S
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto STotoSiswantoro
 
Pemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesar
Pemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesarPemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesar
Pemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesarPangestu S
 
Ilmu Sidik Jari
Ilmu Sidik JariIlmu Sidik Jari
Ilmu Sidik JariJay Mi
 
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK.ppt
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK.pptILMU KEDOKTERAN FORENSIK.ppt
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK.ppteeeeee35
 
Pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptx
Pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptxPemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptx
Pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptxmuhammadyusufarrozhi
 
KULIAH FORENSIK ok.ppt
KULIAH FORENSIK ok.pptKULIAH FORENSIK ok.ppt
KULIAH FORENSIK ok.ppteeeeee35
 
Kb 2 pengkajian airway, breathing, circulation
Kb 2 pengkajian airway, breathing, circulationKb 2 pengkajian airway, breathing, circulation
Kb 2 pengkajian airway, breathing, circulationpjj_kemenkes
 
Porensik ppt pelajari
Porensik ppt pelajariPorensik ppt pelajari
Porensik ppt pelajariEval Setiawan
 
scribfree.com_head-to-toe.pptx
scribfree.com_head-to-toe.pptxscribfree.com_head-to-toe.pptx
scribfree.com_head-to-toe.pptxmarwanfebrian2
 
luka akibat benda tajam
luka akibat benda tajam luka akibat benda tajam
luka akibat benda tajam erlims
 

Similaire à KASUS GIGI FORENSIK (20)

6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf
6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf
6. Kejahatan Terhadap Nyawa_compressed.pdf
 
Buku clinical skill forensik
Buku clinical skill forensikBuku clinical skill forensik
Buku clinical skill forensik
 
Forensic odontologist
Forensic odontologist Forensic odontologist
Forensic odontologist
 
Makalah
MakalahMakalah
Makalah
 
Peran dokter gigi dalam tindak pidana
Peran dokter gigi dalam tindak pidanaPeran dokter gigi dalam tindak pidana
Peran dokter gigi dalam tindak pidana
 
Peran dokter gigi dlm tindak pidana.pptt
Peran dokter gigi dlm tindak pidana.ppttPeran dokter gigi dlm tindak pidana.pptt
Peran dokter gigi dlm tindak pidana.pptt
 
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto S
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto SPemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto S
Pemeriksaan fisik pengantar (1) dr. Toto S
 
Pemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesar
Pemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesarPemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesar
Pemeriksaan fisik head to toe KDM by Pangestu chaesar
 
Ilmu Sidik Jari
Ilmu Sidik JariIlmu Sidik Jari
Ilmu Sidik Jari
 
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK.ppt
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK.pptILMU KEDOKTERAN FORENSIK.ppt
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK.ppt
 
Askep Cedera kepala
Askep Cedera kepalaAskep Cedera kepala
Askep Cedera kepala
 
Pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptx
Pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptxPemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptx
Pemeriksaan luar, pemeriksaan dalam, pemeriksaan TKP dan Exhumasi.pptx
 
Presentation1
Presentation1Presentation1
Presentation1
 
KULIAH FORENSIK ok.ppt
KULIAH FORENSIK ok.pptKULIAH FORENSIK ok.ppt
KULIAH FORENSIK ok.ppt
 
Pemeriksaan fisik 1
Pemeriksaan fisik 1Pemeriksaan fisik 1
Pemeriksaan fisik 1
 
Kb 2 pengkajian airway, breathing, circulation
Kb 2 pengkajian airway, breathing, circulationKb 2 pengkajian airway, breathing, circulation
Kb 2 pengkajian airway, breathing, circulation
 
Porensik ppt pelajari
Porensik ppt pelajariPorensik ppt pelajari
Porensik ppt pelajari
 
scribfree.com_head-to-toe.pptx
scribfree.com_head-to-toe.pptxscribfree.com_head-to-toe.pptx
scribfree.com_head-to-toe.pptx
 
luka akibat benda tajam
luka akibat benda tajam luka akibat benda tajam
luka akibat benda tajam
 
Askep tiroid
Askep tiroidAskep tiroid
Askep tiroid
 

KASUS GIGI FORENSIK

  • 1. SOAL KASUS 4 TUTORIAL BHBP 7 Seorang dokter gigi dipanggil dari pihak reskrim polwitabes setempat. Setelah tiba dilokasi petugas kepolisian meminta bantuan untuk mengidentifikasi korban yang telah dievakuasi ke ruang bareskrim dengan menggunakan kantong jenazah, setelah kantong jenazah dibuka terlihatlah beberapa bagian potongan tubuh, dibagian potongan tubuh tersebut maka terdapat beberapa luka memar dengan bentuk atau pola yang teratur, didalam kantong tersebut juga ditemukan beberapa tulang dan beberapa gigi bahkan tambalan dari potongan tubuh tersebut terlihat beberapa sobekan ada kulit dan otot yang menunjukan karakteristik tertentu, apa yang harus dilakukan dokter gigi tersebut. Instruksi : Apa yang menjadi permasalahan pada kasus ini ? Berikan hipotesis dari permasalahan ini ! Apakah topik utama dalam permasalahan ini ? 1
  • 2. TINJAUAN PUSTAKA I. PRINSIP PROSES IDENTIFIKASI Pada prinsipnya identifikasi adalah prosedur penentuan identitas individu, baik hidup ataupun mati / meninggal, yang dilakukan melalui pembandingan data-data antemortem dan postmortem. Adapun prinsip-prinsip umum dalam proses identifikasi adalah sebagai berikut. 1. Pada identifikasi, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan sebanyak mungkin metode identifikasi. 2. Jika ada data yang tidak cocok, maka kemungkinan tersangka sebagai individu tersebut dapat disingkirkan (eksklusi). 3. Setiap kesesuaian data akan menyebabkan ketepatan identifikasi semakin tinggi. II. METODE IDENTIFIKASI Atas dasar itu, maka dalam identifikasi individu, sebanyak mungkin metode pemeriksaan perlu diusahakan dilakukan dan satu sama lain saling melengkapi. Identifikasi personal dilakukan dengan melakukan pemeriksaan berdasarkan beberapa metode identifikasi. Ada 9 macam metode identifikasi, yaitu : 1. Visual Identifikasi dilakukan dengan melihat tubuh atau bagian tubuh korban secara visual, misalnya muka, tungkai dsb. Metode ini hanya dapat dilakukan jika tubuh atau bagian tubuh tersebut masih utuh. 2. Perhiasan Beberapa perhiasan yang dipakai korban, seperti cincin, gelang, rantai, arloji, liontin, dsb dapat mengarahkan kita kepada identitas korban tersebut. Perhiasan mempunyai nilai yang lebih tinggi jika ia mempunyai ciri khas, seperti gravir nama, foto dalam liontin, dan lain sebagainya. 2
  • 3. 3. Pakaian Pakaian luar dan dalam yang dipakai korban merupakan data yang amat berharga untuk menunjukkan identitas si pemakainya, bentuknya yang unik atau yang mempunyai label tertentu (label nama, penjahit, binatu atau merek) memiliki nilai yang lebih karena dapat mempersempit kemungkinan tersangka. 4. Dokumen Dokumen seperti SIM, KTP, Pasport dapat menunjukkan identitas orang yang membawa dokumen tersebut, khususnya jika dokumen tersebut dibawa sendiri oleh pemiliknya dan tidak palsu. 5. Identifikasi secara medis Pemeriksaan medis dilakukan untuk mendapatkan data umum dan data khusus individu berdasarkan pemeriksaan atas fisik individu tersebut. Pada pengumpulan data umum dicari data yang umum diketahui dan dimiliki oleh setiap individu dan mudah dikonfirmasi kepada keluarga, seperti data ras, jenis kelamin, umu, berat badan, warna kulit, rambut, dsb. Data khusus adalah data yang belum tentu dimiliki oleh setiap individu atau data yang tidak dengan mudah dikonfirmasi kepada keluarganya, seperti data foto ronsen, data lab, adanya tattoo, bekas operasi atau jaringan parut, tehnik superimposisi, tehnik rekonstruksi wajah, dsb. 6. Odontologi forensik Pemeriksaan atas gigi geligi dan jaringan sekitarnya serta berbagai perubahan akibat perawatan gigi dapat membantu menunjukkan identitas individu yang bersangkutan. 7. Serologi forensik Pada awalnya yang termasuk dalam kategori pemeriksaan serologi adalah pemeriksaan terhadap polimorfisme protein yaitu pemeriksaan golongan darah dan golongan protein serum. Perkembangan ilmu kedokteran menyebabkan ruang lingkup serologi diperluas dengan pemeriksaan polimorfisme protein lain yaitu pemeriksaan terhadap enzim eritrosit serta pemeriksaan antigen Human Lymphocyte Antigen (HLA). Pada saat ini dengan 3
  • 4. berkembangnya analisis polimorfisme DNA, bidang ini menjadi lebih luas lagi karena bahan pemeriksaan bukan lagi darah, melainkan hampir seluruh sel tubuh kita. Hal ini memberikan dampak kecenderungan penggantian istilah serologi dengan istilah hemereologi yang mencakup semua hal diatas. 8. Sidik jari Telah lama diketahui bahwa sidik jari setiap orang di dunia tidak ada yang sama sehingga pemeriksaan sidik jari dapat digunakan untuk identifikasi individu. 9. Eksklusi Dalam kecelakaan massal yang menyebabkan kematian sejumlah individu, yang nama- namanya ada dalam daftar individu (data penumpang, data pegawai), maka jika (n-1) individu telah teridentifikasi, maka satu individu terakhir diputuskan tanpa pemeriksaan (per ekslusionam) sebagai individu yang tersisa menurut daftar tersebut. III. PEMERIKSAAN LUAR Adapun sistematika pemeriksaan luar adalah sebagai berikut. 1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah, harus tetap ada pada tubuh mayat. 2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya bercak/kotoran) dari penutup mayat. 3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta serta kondisi (ada tidaknya bercak/ kotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada. 4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit, cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku diperiksa dan dicatat isinya. 4
  • 5. 5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut. 6. Mencatat benda di samping mayat. 7. Mencatat perubahan tanatologi, berupa : a. Lebam mayat : letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam. b. Kaku mayat : distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada tidaknya spasme kadaverik. c. Suhu tubuh mayat : memakai termometer rektal dan dicatat juga suhu ruangan pada saat tersebut. d. Pembusukan. e. Lain-lain : misalnya mumifikasi atau adiposera. 8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur, warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae albicantes pada dinding perut. 9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus, meliputi rajah/tattoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali, dan cacat pada tubuh. 10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. 11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna, cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan. Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil, badingkan kanan dan kiri. 12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung. 13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak, pewarnaan, dan sebagainya. 14. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita dicatat keadaan selaput dara dan komisura posterior, periksa sekret liang sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan. 5
  • 6. 15. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus, sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada tubuh. 16. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap: a. Letak luka: regio anatomis dan koordinat terhadap garis/titik anatomis terdekat. b. Jenis luka: luka lecet, memar, atau terbuka. c. Bentuk luka: termasuk bentuk luka terbuka setelah dirapatkan. d. Arah luka: melintang, membujur, atau miring. e. Tepi luka: rata atau tidak beraturan. f. Sudut luka: runcing, membulat, atau bentuk lain. g. Dasar luka: jaringan bawah kulit, otot, tulang, atau rongga badan. h. Sekitar luka: pengotoran atau luka/tanda kekerasan lain di sekitarnya. i. Ukuran luka: untuk luka terbukajuga diukur setelah dirapatkan. j. Saluran luka: penentuan in situ mengenai perjalanan serta panjang luka baru dapat ditentukan pada saat pembedahan mayat. k. Lain-lain: misalnya pada luka lecet jenis serut diperiksa pola penumpukan kulit ari untuk menentukan arah kekerasannya, pada memar dicatat warnanya. 17. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya IV. TANDA GIGITAN (BITEMARK) Definisi Bitemark didefinisikan sebagai cetakan pola sebagai hasil kontak suatu objek atau gigi- geligi (gigitan) pada kulit. Objek Pemeriksaan Sebagai objek pemeriksaan dalam suatu penyelidikan secara garis besar dapat ditentukan antara lain: 1. Korban hidup 2. Korban mati 3. Manusia sebagai pelaku 4. Benda-benda mati yang terdapat di sekitar tempat kejadian perkara yaitu: a. Bekas pola gigitan pada tubuh mayat. 6
  • 7. b. Air liur di sekitar bekas pola gigitan dan bekas gigitan makanan tertentu. c. Bercak-bercak darah korban. d. Bercak-bercak darah pelaku. 5. Benda mati yang secara fisik dianggap sebagai barang bukti, antara lain: a. Gigi palsu lepasan sebagian/ partial denture b. Gigi palsu penuh/ full denture c. Mahkota dan jembatan/ crown and bridge 6. Semua jaringan rongga mulut yaitu pipi bagian dalam dan bibir yang lepas yang terdapat di tempat kejadian perkara. Objek-objek tersebut dicatat ke dalam formulir pemeriksaan awal karena terdapat pemeriksaan lanjutan baik untuk kepentingan rekonstruksi dan baik pula untuk kepentingan laboratoris khususnya dalam penentuan golongan darah dan DNA baik korban maupun pelaku yang nantinya dicatat pula ke dalam suatu formulir pemeriksaan laboratoris yang berguna untuk kelengkapan penyidikan yang kesemuanya itu disebut sebagai oral and dental identification record. Keuntungan gigi sebgai objek pemeriksaan. Keuntungan gigi sebgai objek pemeriksaan antara lain: 1. Gigi-geligi merupakan rangkaian lengkungan secara anatomis, antropologis dan morfologis mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi. 2. Gigi-geligi sukar untuk membusuk kecuali gigi tersebut sudah mengalami nekrotik atau ganggren, meskipun dikubur, umumnya organ-organ tubuh lain bahkan tulang telah hancur tetapi gigi tidak (masih utuh). 3. Gigi-geligi di dunia ini tidak ada yang sama karena menurut SIMS dan Furnes bahwa gigi manusia kemungkinan sama adalah satu dibanding dua milyar. 4. Gigi-geligi mempunyai ciri-ciri khusus apabila ciri-ciri gigi tersebut rusak atau berubah maka sesuai dengan pekerjaan dan kebiasaan menggunakan gigi bahkan setiap ras mempunyai ciri yang berbeda. 5. Gigi-geligi tahan asam keras. 7
  • 8. 6. Gigi-geligi tahan panas, apabila terbakar sampai dengan suhu 400 oC gigi tidak akan hancur. Gigi menjadi abu sekitar suhu lebih dari 649oC. Apabila gigi tersebut ditambal menggunakan amalgam maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar di atas 871oC, sedangkan bila gigi tersebut memakai mahkota logam atau inlay alloy emas maka bila terbakar akan menjadi abu sekitar suhu 871-1093oC. 7. Gigi-geligi dan tulang rahang pada rontgenogramnya dapat dilihat kadang-kadang terdapat anomali dari gigi dan komposisi tulang rahang yang khas. 8. Apabila korban telah dilakukan pencabutan gigi umumnya ia memakia gigi palsu dengan berbagai macam model gigi palsu dan gigi palsu tersebut dapat ditelusuri atau diidentifikasi. 9. Gigi-geligi merupakan sarana terakhir di dalam identifikasi apabila sarana lain atau organ tubuh lain tidak ditemukan. A. Identifikasi korban melalui pola gigitan pelaku Menurut William Eckert (1992), pola gigitan adalah bekas gigitan dari pelaku yang tertera pada kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit sebagai pola akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban. Menurut Bowers dan Bell (1955) mengatakan bahwa pola gigitan merupakan suatu perubahan fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigi atas dengan gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan. 8
  • 9. Menurut Sopher (1976) mengatakan bahwa pola gigitan yang ditimbulkan oleh hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi serta bentuk rahangnya. Menurut Curran et al (1680) mengatakan bahwa pola gigitan pada hewan buas yang dominan membuat perlukaan adalah gigi kaninus atau taring yang berbentuk kerucut. Menurut Levine (1976) mengatakan bahwa pola gigitan baik pola permukaan kunyah maupun permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dan dibawahnya baik pada jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan baik korban hidup maupun yang sudah meninggal. Sedangkan menurut Soderman dan O’Connel pada tahun 1952 mengatakan bahwa yang paling sering terdapat pola gigitan pada buah-buahan yaitu buah apel,pear dan bengkuang yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark. Sedangkan menurut Lukman (2003) mengatakan bahwa pola gigitan mempunyai suatu gambaran dari anatomi gigi yang sangat karakteristik yang meninggalkan pola gigitan pada jaringan ikat manusia baik disebabkan oleh hewan maupun manusia yang masing-masing individu sangat berbeda. 9
  • 10. B. Klasifikasi pola gigitan Pola gigitan mempunyai derajat perlukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada pola gigitan manusia terdapat 6 kelas yaitu: 1. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi insisive dan kaninus. 2. Kelas II : pola gigitan kelas II seperti pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola gigitan cusp bukalis dan palatalis maupun cusp bukalis dan cusp lingualis tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit. 3. Kelas III : pola gigitan kelas III derajat luka lebih parah dari kelas II yaitu permukaan gigit insisive telah menyatu akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II. 4. Kelas IV : pola gigitan kelas IV terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture sehingga terlihat pola gigitan irreguler. 5. Kelas V : pola gigitan kelas V terlihat luka yang menyatu pola gigitan insisive, kaninus dan premolar baik pada rahang atas maupun bawah. 6. Kelas VI : pola gigitan kelas VI memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari rahang atas, rahang bawah, dan jaringan kulit serta jaringan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut. 10
  • 11. C. Berbagai jenis pola gigitan pada manusia. Pola gigitan pada jaringan manusia sangatlah berbeda tergantung organ tubuh mana yang terkena. Adapun beberapa pola gigitan tersebut adalah sebagai berikut. 1. Pola gigitan heteroseksual. Pola gigitan pada pelaku-pelaku hubungan intim antar lawan jenis dengan perkataan lain hubungan seksual antara pria dan wanita terdapat penyimpangan yang sifatnya sedikit melakukan penyiksaan yang menyebabkan lawan jenis sedikit kesakitan atau menimbulkan rasa sakit. a. Pola gigitan dengan keterlibatan lidah dan bibir. Pola gigitan ini terjadi pada waktu pelaksanaan birahi antara pria dan wanita. b. Pola gigitan pada organ genital 11
  • 12. c. Pola gigitan pada sekitar organ genital d. Pola gigitan pada mammae. D. Pola gigitan pada kasus penyiksaan anak / child abuse Pola gigitan ini dapat terjadi pada seluruh lokasi atau di sekeliling tubuh anak- anak. Hal ini disebabkan oleh suatu aplikasi dari pelampiasan gangguan psikis pelaku. Lokasi pola gigitan pada bagian tubuh tertentu yaitu daerah punggung, bahu atas, leher. E. Pola gigitan hewan Pola gigitan hewan umumnya terjadi sebagai akibat dari penyerangan hewan kepada korban. Kejadian tersebut dapat terjadi tanpa instruksi dari pemeliharanya atau dengan instruksi dari pemeliharanya. Beberapa hewan yang menyerang korban karena 12
  • 13. instruksi dari pemeliharanya biasanya berjenis herder atau doberman yang memang secara khusus dipelihara pawang anjing di jajaran kepolisian untuk menangkap pelaku atau tersangka. Pola gigitan hewan juga disebabkan sebagai mekanisme pertahanan diri maupun sebagai pola penyerangan terhadap mangsanya. a. Pola gigitan anjing biasanya terjadi pada serangan atau atas perintah pawangnya atau induk semangnya. Misalnya dijajaran kepolisian, untuk mengejar tersangka atau pelaku. b. Pola gigitan hewan pesisir pantai. Pola gigitan ini terjadi apabila korban meninggal di tepi pantai atau korban meninggal dibuang di pesisir pantai, sehingga dalam beberapa hari atau beberapa minggu korban tersebut digerogoti oleh hewan-hewan laut antara lain kerang, tiram. c. Pola gigitan hewan peliharaan, misalnya gigitan anjing atau kucing. Identifikasi pelaku dapat dibuat dengan pertolongan odontologis forensik. Foto serial, dimulai sejak luka teridentifikasi, harus diambil dalam waktu 24 jam dalam ukuran milimeter. Golongan darah pelaku dapat ditentukan dari pemeriksaan saliva washing yang diambil dari kulit bekas gigitan. Pada daerah tersebut terdapat sekitar 0,3 ml saliva dan sulit mendapatkan jumlah yang cukup dengan menggunakan swab. Bekas gigitan yang dapat menimbulkan luka, yaitu: 1) Kejahatan seksual seperti pemerkosaan. 2) Kekerasan dalam rumah tangga dan penyiksaan anak (oleh orang tua). 3) Kasus kriminal lain, dimana korban menyerang pelaku untuk melindungi dirinya dengan cara menggigit. 4) Modus kriminal lainnya. Tipe-tipe gigitan ada beberapa macam,yaitu: 1) Haemorage = titik perdarahan kecil. 2) Abrasi = tidak ada bekas kerusakan kulit. 3) Luka memar = pembuluh darah putus, memar, biru, lebam. 4) Luka laserasi = tertusuk/sobek pada kulit. 13
  • 14. 5) Pengirisan = tusukan yang rapi pada kulit. 6) Avulsi = kulit terlepas. 7) Artifact = digigit hingga bagian tubuh menjadi terpotong. 1 2 3 4 5 6 7 Gambar. Tipe-tipe gigitan 14
  • 15. Kuatnya suatu gigitan, dapat diklasifikasikan sebagai berikut 1) Clearly Defined = Tekanan tergambar pada kulit. 2) Obviously Defined = Tekanan gigitan tingkat satu (terdapat lekukan jelas pada kulit). 3) Quite Noticeable = tekanan penuh kekerasan (terjadi luka). 4) Lacerated = kulit ditekan dengan kasar sehingga rusak dari tubuh. 1 2 3 4 15
  • 16. Identifikasi Bitemark Bitemark merupakan pola yang dibuat oleh gigi pada kulit, makanan atau substrat yang lembut tetapi dapat tertekan. Kebanyakan bitemark pada bagian forensik adalah kontak antara gigi manusia dengan kulit dan analisis memperlihatkan keunikan gigi yang tercatat secara akurat pada kulit. Perempuan lebih sering digigit dibandingkan pada pria, dengan kebanyakan gigitan terjadi pada payudara (33%) dan lengan (19%). Terdapat beberapa prosedur yang dapat dilakukan untuk menjaga dan melindungi informasi dental forensik yaitu dengan melihat luka tersebut sebagai bitemark yang potensial; melakukan fotografi, membuat cetakan, dan dapat juga dilakukan eksisi serta mengawetkan bitemark tersebut. Kejelasan dan bentuk dari bitemark dapat berubah dalam waktu yang sangat singkat baik pada korban yang masih hidup maupun korban mati. Fotografi dapat dilakukan untuk mendokumentasikan bitemark karena fotografi menghasilkan informasi yang dapat dipercaya, tetapi fotografi memiliki kekurangan karena menggambarkan objek tiga dimensi dalam film dua dimensi. American Board of Forensik Odontology (ABFO) merekomendasikan untuk membuat cetakan pada daerah yang tergigit; bahan cetakan yang digunakan harus memenuhi spesifikasiADA dan harus dipersiapkan berdasarkan instruksi pabrik. Bahan cetak yang biasa digunakan adalah hidrokoloid dan light-body vinyl polysiloxane (VPS). Polieter, dilaporkan memiliki keakuratan yang sangat baik, stabilitas jangka panjangnya baik, good elastic recovery, dan resisten terhadap basah. Hydrophilicity yang baik menjamin hasil cetakannya memiliki detail reproduksi yang baik pada permukaan basah, termasuk daerah yang sulit diakses. Prosedur identifikasi: 1. Kumpulkan bukti Misalkan terdapat 20 buah bitemark dan kemudian difoto dengan satu orang operator dengan menggunakan kamera digital (coolpix 2100 nikon) menggunakan skala ABFO No.2 dengan resolusi 300 dpi. 2. Pilih bahan cetak yang akan digunakan 16
  • 17. Bahan cetak yang digunakan biasanya polieter denngan konsistensi light-bodied dan heavy-bodied. Hanya satu cetakan dari bitemark yang diambil, untuk mencegah manipulasi, distorsi atau kehilangan barang bukti. Prosedur ini dilakukan untuk mempertahankan bekas gigitan karena bitemark memiliki kecenderungan untuk menghilang secara alami dikarenakan oleh regenerasi jaringan (pada korban yang masih hidup) atau membusuk (pada korban meninggal). Teknik monophase dilakukan berdasarkan rekomendasi pabrik dan sendok cetaknya dapat bertahan dalam air panas (60°C) dengan lilin pink extra-hard. Dikarenakan ini adalah desain eksperimental, tidak dilakukan apusan DNA. 3. Cetak rahang pelaku yang dicurigai Buat model studi rahang pelaku yang dicurigai dengan menggunakan gips stone kuning tipe IV. Kemudian cetakan discan dengan menggunakan flatbed scanner dengan skala yang sama pada tiap rahangnya. Model cetak pertama (dental stone) : digunakan gips stone kuning tipe IV karena sifat fisiknya yang baik, seperti kemampuan untuk ekspansinya yang rendah, kekuatan kompresinya meningkat dari 55 menjadi 117 MPa hanya dalam 48 jam. Sifat inilah yang menjamin stabilitas dimensional dan daya tahannya. Rahang pelaku dicetak dua kali, cetakan yang pertama digunakan sebagai examination cast sedangkan setakan kedua sebagai untouched cast, yang diletakkan di daerah yang aman). Pemeriksaan model cetakan ini dengan menggunakan skala ABFO No.2. Model cetak kedua (model polyether) : cetakan positif dicampur dengan polieter yang berkonsistensi light-bodied dengan menggunakan kuas cat dan digetarkan sedikit untuk memastikan bergeraknya aliran polieter. 4. Membandingkan bitemark Terdapat dua cara yang dapat dilakukan untuk membandingkan bitemark, yaitu : a. Metode digital Fotografi digital pada bitemark kulit dan gambar dari model cetakan yang pertama dan kedua discan dan kemudian dibandingkan dengan menggunakan Adobe Photoshop 8.0 software dengan metode superimpose. Kemudian setelah dibandingkan, didapatkan 17
  • 18. kesimpulan apakah kedua cetakannya extreme-degree match, high-degree match, probable-degree match, poor-degree match, dan dissimilar-degree match. b. Metode manual Model cetakannya diposisikan pada bitemark yang telah dicetak dengan gips maupun polieter. Prosedur ini dilakukan untuk meminimalisasi pola penyimpangan pada kulit. Tekanan dengan jari dilakukan pada model polieter pada sisi lawan dari bitemark, sehingga melemahkan daerah yang luas. Pencocokan harus dapat dilakukan dengan mudah dan sebaiknya tidak ditekan (faktor akurasi). Metode lain untuk menganalisis bitemark Terdapat banyak metode tambahan untuk menganalisis bitemark. Salah satu metodenya adalah penemuan bakteri DNA. Penemuan DNA tidak selalu terjamin. Adanya nucleic acid-degrading enzyme dalam saliva dapat dengan cepat merusak DNA, terutama jika hal ini terjadi pada korban yang masih hidup. Kita bias menggunakan teknik Sweet’s double swab, teknik ini mengumpulkan DNA dalam sel epitel oral sebagai hasil rehidrasi, dibandingkan dengan hanya berdasarkan DNA pada saliva saja. Mulut manusia memiliki lebih dari 500 spesies bakteri, dan setiap individu memiliku kombinasi yang sangat berbeda, tergantung pada, sebagai contoh, status kesehatan mulut, status gigi geligi, dan adanya atau tidak adanya protesa. Teknik fotografi dapat digunakan untuk menganalisis, menyesuaikan, dan mengabadikan gambar gigi.. Dan teknik ini cukup akurat dengan menggunakan bantuan computer. Metode ini membandingkan langsung antara cetakan studi pelaku dengan fotografi teraan gigitan, dan membandingkantes gigitan yang dilakukan pelaku dengan teraan gigitan yang sebenarnya. Menurut Nandy, data-data yang penting untuk didapatkan pada proses identifikasi korban adalah: ras, etnis, kebangsaan, agama, jenis kelamin, perawakan, warna kulit muka, corak kulit, rupa, rambut, mata, kelainan kongenital, tanda lahir, tahi lalat, bekas luka, tato, cacat, penyakit lain, gigi, pengukuran antropometri, (tinggi dan lebar badan, ukuran lingkar kepala), sidik jari, pakaian dan ornamen lain yang dipakai korban 18
  • 19. (Nandy, 2001). Dalam kehidupan sehari-hari, sering ditemukan berbagai kasus yang memerlukan bantuan Kedokteran Forensik. Tidak jarang juga ditemukan kasuskasus dimana hanya ditemukan beberapa tulang saja untuk diidentifikasi. Pada proses identifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, dan jenis kelamin korban merupakan hal yang penting. Dalam kasus seperti hanya ditemukan beberapa tulang saja untuk diidentifikasi, mengetahui ras, suku bangsa, etnis dan jenis kelamin dapat diketahui salah satunya melalui perhitungan sefaliks indeks (Nandy, 2001). V. ANTROPOLOGI FORENSIK Antropologi merupakan bidang studi sains tentang asal usul, prilaku, fisik, sosial dan pengembangan lingkungan manusia. Antropologi forensik merupakan bidang ilmu untuk physical anthropologists yang mengaplikasikan ilmunya dalam bidang biologi, sains, dan budaya dalam proses hukum. Antropologi forensik merupakan aplikasi dari ilmu fisik atau biologi antropologi dalam proses hukum. Merupakan pemeriksaan pada sisa – sisa rangka untuk membantu menentukan identitas dari jasad. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sebagai langkah pertama untuk menentukan apakah sisa-sisa tersebut berasal dari manusia dan selanjutnya 19
  • 20. dapat menentukan jenis kelamin, perkiraan usia, bentuk tubuh, dan pertalian ras. Pemeriksaan dapat juga memperkirakan waktu kematian, penyebab kematian dan riwayat penyakit dahulu atau luka yang saat hidup menimbulkan jejas pada struktur tulang. Identifikasi dalam forensik berdasarkan antropologi sering disebut dengan antropometri forensik. Antropometri berasal dari Bahasa Yunani, yang berarti pengukuran manusia. Dalam antropologi fisik, antropometri berperan penting dalam perancangan industri, perancangan pakaian, ergonomis, bahkan artsitektur. Dalam bidang-bidang tersebut, data statistik tentang distribusi dimensi tubuh dari suatu poopulasi diperlukan untuk menghasilkan produk yang optimal. Perubahan dalam gaya kehidupan sehari-hari, nutrisi, dan komposisi etnis dari masyarakat dapat membuat perubahan dalam distribusi ukuran tubuh, dan membuat perlunya penyesuaian berkala dari koleksi data antropometrik. Dalam odontologi forensik sendiri, identifikasi korban dapat diklasifikasi ke dalam beberapa bagian, sebagai berikut. A. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui antropometri kraniofasial Kranium atau tengkorak kepala manusia merupakan tulang yang berguna untuk menentukan jenis kelamin korban. Seperti yang akan dijabarkan lebih lanjut, diketahui bahwa dagu pada pria cenderung lebih bersegi (kotak) dan lebih lancip pada wanita. Dahi pada pria cenderung lebih landai, sedangkan pada wanita dahinya lebih lurus. Pria memiliki lengkungan alis yang lebih tinggi dibanding wanita. 20
  • 21. Pengukuran pembanding kraniofasial untuk identifikasi ras belum ditetapkan syarat-syarat mutlaknya, karena walaupun klasifikasi ras memiliki komponen biologis yang sama, namun tetap didasari adanya hubungan sosial dan lingkungan. Walaupun demikian, beberapa rincian anatomis, terutama di wajah sering menunjukkan ras individual. Pada ras kulit putih, biasanya terdapat wajah yang menyempit dengan hidung yang agak meninggi serta dagu yang lebih menonjol. Pada ras kulit hitam / negroid, biasanya hidug lebih lebar dengan subnasal yang berlekuk. Kaum Kaukasian (Amerika Indian) dan Asia memiliki bentuk tulang pipi yang menonjol disertai tekstur gigi yang khas. B. Identifikasi jenis kelamin korban berdasarkan gigi-geligi Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesiodistal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 21
  • 22. mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini masih terus dikembangkan penelitian tentang pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin. Selain berdasarkan gigi geligi, ukuran dan tipe rahang pria dan wanita mempunyai banyak perbedaan yang spesifik. Menurut Cotton (1982), identifikasi gigi-geligi pria dan wanita dapat didefinisikan sebagai berikut. Gigi Geligi Wanita Pria Outline gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar Lapisan email dan dentin Relatif lebih tipis Relatif lebih tebal Bentuk lengkung gigi Cenderung oval Tapered Ukuran cervico incisal dan Lebih kecil Lebih besar mesio distal gigi caninus bawah Outline incisivus pertama atas Lebih bulat Lebih persegi Ukuran lengkung gigi Relatif lebih kecil Relatif lebih besar Identifikasi perbedaan ukuran, bentuk dan tipe tulang rahang adalah sebagai berikut. Perbedaan Wanita Pria Lengkung rahang atas Lebih sempit, bentuk Lebih lebar seperti huruf “V” (lateral), bentuk seperti huruf “U” Lengkung rahang bawah Relatif lebih sempit Relatif lebih lebar Sudut gonion Lebih besar Lebih kecil Tinggi dan lebar ramus Lebih kecil Lebih besar ascendens Jarak inter-processus Lebih kecil/lebih Lebih besar/lebih koronoid pendek panjang Tinggi tulang processus Lebih pendek Lebih tinggi koronoid 22
  • 23. Tulang menton >< Lebih tebal dan lebih ke anterior. Pars basalis mandibula Jarak lebih pendek Jarak lebih panjang (secara horizontal) C. Penentuan usia dari gigi-geligi. Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang yang lebih baik daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 – 16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 – 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. 23
  • 24. Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik. 24
  • 25. Menurut Gusstafson (1996), identifikasi umur dari gigi tetap terdapat enam criteria yang disebut “six changes of the physiological age – process in teeth”, yaitu : 1. Derajat atrisi / Degrees of attrition Umur menentukan derajat keparahan dari atrisi pada permukaan kunyah gigi baik incisal maupun oclusal sesuai dengan penggunaannya. Makin lanjut usia maka derajat atrisi makin parah. 2. Perubahan perlekatan gingiva / Alteration in the level of the gingival attatchment Perubahan fisiologis akibat penggunaan gigi dari perlekatan epitel ditandai dengan dalamnya sulkus gingiva yang melebihi 2 mm sesuai dengan pertambahan usia, sehingga terkesan bahwa seakan-akan mahkota gigi lebih panjang. 3. Formasi dentin sekunder (fisiologis) / The amount of secondary dentine Dentin sekunder biasanya terbentuk di atas atap pulpa sehingga makin lanjut usia pulpa seakan-akan terlihat menyempit serta email terlihat seakan-akan semakin radiolusen secara roentgenografis/radiolografis. Hal ini disebabkan karena pembentukan dentin sekunder tersebut. 4. Ketebalan sementum di periapikal / The thickness of cementum around the root Dengan bertambahnya usia maka akan bertambah ketebalan jaringan sementum pada akar gigi. Pembentukan ini oleh karena pelekatan serat-serat periodontal dengan aposisi yang terus-menerus dari gigi tersebut selama hidup. 5. Translusensi akar / Translucency of the root Pertambahan usia menyebabkan terjadinya proses kristalisasi dari bahan-bahan mineral akar gigi hingga jaringan dentin pada akar gigi berangsur-angsur mulai dari akar gigi kearah servikal menjadi translusen. Translusensi dentin ini dimulai sekitar dekade ketiga usia pertumbuhan. 6. Resorpsi akar (pada periapikal) / Root resorption Menurut Gusstaffon (1950) resorpsi akar gigi tetap akibat tekanan fisiologis seiring dengan pertambahan usia. Usia yang semakin bertambah menyebabkan membran periodontal pada periapikal terlihat menebal (pada foto radiografis). 25
  • 26. D. Penentuan Ras dari Gigi-Geligi Identifikasi ras dapat dilakukan dengan melihat anatomi cingulum gigi incisivus dan jarak mesiodistal dengan buccopalatal atau buccolingual gigi premolar serta anatomi fisur, jumlah pit, ada atau tidaknya tuberculum carabeli, dan jumlah gigi molar. Ras Mongoloid Gambaran gigi untuk ras mongoloid adalah sebagai berikut: 1. Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. 2. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid. 3. Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid. 4. Lengkungan palatum berbentuk elips. 5. Batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus. 26
  • 27. Ras Kaukasoid Gambaran gigi untuk Ras kaukasoid adalah sebagai berikut: 1. Cusp carabelli pada gigi molar pertama biasanya selalu ada. 2. Pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua mandibula. 3. Maloklusi gigi anterior. 4. Palatum sempit, mengalami elongasi, berbentuk lengkungan parabola. 5. Dagu menonjol. Ras Negroid 27
  • 28. Gambaran gigi untuk ras negroid adalah sebagai berikut: 1. Pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan. 2. Sering terdapat open bite. 3. Palatum berbentuk lebar. 4. Protrusi bimaksila. E. Identifikasi Korban Melalui Restorasi dan Protesa yang Digunakan Restorasi dan protesa yang digunakan setiap orang bersifat individual dimana tidak sama satu dengan yang lainnya dan memiliki ciri-ciri khusus yang tergantung pada pemakainya. Restorasi dan protesa yang ditemukan pada korban harus dicatat secara teliti. Jika ditemukan adanya restorasi, harus dicatat jenis restorasi yang dipakai, pada gigi apa, permukaan yang terkena, dan luasnya restorasi. Pada protesa harus diperhatikan gigi sandarannya, jumlah dan bentuk pontik, serta desain protesa. Beberapa ciri individu konstruksi dari protesa diketahui melalui : • Bentuk daerah relief di bagian langit-langit • Bentuk dan kedalaman “post-dam” • Disain sayap labial • Penutupan daerah retromolar • Warna akrilik • Bentuk, ukuran dan bahan gigi artifisial • Bentuk dan ukuran lingir alveolar 28
  • 29. DAFTAR PUSTAKA Lukman, Djohansyah. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid II. 2006. Jakarta : CV. Sagung Seto. http://www.scribd.com/doc/54671022/3/IDENTIFIKASI-FORENSIK http://wiki.blogbeken.com/teknik-autopsi-forensik http://www.freewebs.com/traumatologie2/traumatologi.htm http://sulaifi.wordpress.com/2010/01/15/luka-bakar-minor-dan-cara-penanganannya/ http://daffodilmuslimah.multiply.com/journal/item/260/Luka_Bakar http://royaloakbloods.com/wp-content/uploads/2011/03/bite_mark.jpg http://t3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTksYFBRZYXWZQ29WjUYDDDpbe3 VZBapBlpqA8XTCAli_3GfYRReqGVoLNp7w http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23226/4/Chapter%20II.pdf http://netdetective.forumotion.net/t2388-antropologi-forensik http://yukiicettea.blogspot.com/2009/12/peran-antropologi-forensik-dalam.html http://www.forensicmed.co.uk/wounds/bitemarks/ http://belibis-a17.com/2008/11/23/antropologi-forensik/ (Author : Bayu Fajar Wibowo, S.Ked. , dkk. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.) 29