[Ringkasan]
Pengkajian ini bertujuan untuk mengembangkan budidaya kedelai di lahan kering pasang surut Sumatera Selatan dengan meningkatkan produktivitas. Pengkajian akan dilaksanakan di Kabupaten Banyuasin pada lahan seluas 5 ha dengan melibatkan petani sebagai kooperator. Teknologi yang akan ditingkatkan meliputi varietas, pemupukan, dan alat tanam. Hasil diharapkan berupa paket teknologi budidaya kedelai yang adaptif unt
SE Sekjen Nomor 1829 tentang penyesuaian sistem kerja ASN dalam New Normal (3...
Rptp kajian kedelai lahan kering masam
1. KAJIAN PERBAIKAN PAKET TEKNOLOGI
BUDIDAYA DAN PENGEMBANGAN KEDELAI
DI LAHAN KERING MASAM
SUMATERA SELATAN
Tumarlan Thamrin, SP, MP.
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN SUMATERA SELATAN
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2018
2. LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP : Kajian Perbaikan Paket Teknologi Budidaya dan
Pengembangan Kedelai di Lahan Kering Sumatera
Selatan
Judul ROPP : Kajian Perbaikan Paket Teknologi Budidaya dan
Pengembangan Kedelai di Lahan Kering Sumatera
Selatan
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera
Selatan
3. Alamat Unit Kerja : Jl. Kol. H. Burlian No. 83 Km. 6 Palembang
4. Sumber Dana : DIPA BPTP Sumsel TA. 2018
5. Status Penelitian : Baru
6. Penanggung Jawab :
a. Nama : Tumarlan Thamrin, SP., MP.
b. Pangkat / Golongan : Penata Tingkat I/ III d
c. Jabatan : Peneliti Muda
7. Lokasi : Kabupaten OKI dan Banyuasin Sumatera Selatan
8. Agroekosistem : Lahan Kering
9. Tahun dimulai : 2018
10. Tahun selesai : 2019
11. Out put tahunan : 1. Intensifikasi teknologi Eksesting petani untuk
budidaya kedelai pada lahan kering masam di
Sumsel
2. Empat (4) varietas kedelai yang adaptip pada
lahan kering masam di Sumsel
3. Dosis Pemupukan N, P, K dan Amelioran pada
Tanaman Kedelai di Lahan kering masam di
Sumsel
4. Pengenalan pestisida nabati pada tanaman
kedelai di lahan kering masam di Sumsel
5. Pengenalan alat tanam kedelai pada lahan
kering masam di Sumsel
6. 1 (satu) paket teknologi budidaya Kedelai di
lahan kering masam di Sumsel
7. Produktivitas Kedelai di lahan kering masam
dan tidak masam di Sumsel meningkat sebesar
50 %
3. 1
12. Out put akhir : • Didapatkan satu paket teknologi pengelolaan
lahan kering masam untuk budidaya kedelai
di Sumsel
• Didapatkan teknologi peningkatan
produktivitas kedelai di lahan kering masam
Sumsel.
Koordinator Program Penanggung Jawab Kegiatan
Budi Raharjo, STP, M.Si
NIP. 19710828 200003 1001
Tumarlan Thamrin, SP.MP.
NIP 19690317 199703 1 001
Mengetahui,
Kepala Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian
Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA
NIP. 19680415 199203 1 001
Menyetujui
Kepala BPTP Sumsel
Dr. Ir. Priatna Sasmita
NIP. 19641104 199203 1001
4. 2
RINGKASAN
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah mencanangkan 4 target
sukses yaitu (1) swasembada berkelanjutan dan pencapaian swasembada,
(2) diversifikasi pangan, (3) peningkatan daya saing nilai tambah ekspor, dan
(4) kesejahteraan petani. Salah satu wujud dari pelaksanaan sukses Kementan
tersebut adalah dengan program swasembada berkelanjutan dan pencapaian
swasembada pada tanaman pangan termasuk kedelai. Pengkajian ini akan
dilaksanakan pada musim tanam 2018 di Kabupaten Banyuasin pada agroekosistem di
daerah pasang surut. Petani sebagai kooperator yang berada pada satu hamparan,
luas pengkajian direncanakan 5,0 ha, pengkajian dilakukan dalam bentuk On Farm
Research (OFR). Data yang akan dikumpulkan terdiri dari: (i) data agronomis tanaman,
(ii) data kondisi lahan; (iii) data sosial ekonomi. Sedangkan data primer dikumpulkan
dengan cara pencatatan melalui observasi terhadap kondisi pertanaman dan
pengamatan langsung terhadap pertumbuhan dan produksi. Data input dan output
usahatani diliput dari dinas/instansi terkait. melalui catatan petani dan wawancara
terhadap petani kooperator secara perorangan. Sementara itu data sekunder
dikumpulkan dengan cara mengompilasi data dan informasi pendukung. BPTP
Sumatera Selatan merencanakan mengembangkan pertanaman jagung dan
kedelai di lahan pasang surut Sumatera Selatan. Salah satu upaya untuk
memacu produksi jagung dan kedelai secara nasional dapat dilakukan dengan
meningkatkan program perluasan areal (ekstensifikasi) diarahkan pada lahan
kering daerah pasang surut. Pengkajian akan dilaksanakan pada Januari
hingga Desemeber 2018 di lahan kering daerah pasang surut Kabupaten
Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan. Tujuan pengkajian adalah Intentifikasi
teknologi Eksesting petani untuk budidaya kedelai pada lahan kering masam di
Sumsel, Empat (4) varietas kedelai yang adaptip pada lahan kering masam di Sumsel,
Dosis Pemupukan N, P, K dan Amelioran pada Tanaman Kedelai di Lahan kering
masam di Sumsel, Pengenalan pestisida nabati pada tanaman kedelai di lahan kering
masam di Sumsel, Pengenalan alat tanam kedelai pada lahan kering masam di Sumsel,
1 (satu) paket teknologi budidaya Kedelai di lahan kering masam di Sumsel dan
Produktivitas Kedelai di lahan kering masam dan tidak masam di Sumsel meningkat
sebesar 50 %. Petani yang terlibat atau kooperator dipilih pada satu hamparan
dengan luasan 5 ha pada lahan pasang surut. Data komponen pertumbuhan
dan produksi tanaman yang diperoleh dianalisis dengan paired t-test antara dua
peubah yakni komponen teknologi introduksi dan teknologi petani (eksisting).
Sedangkan data mengenai penggunaan input, biaya produksi, produksi padi
dan palawija, nilai produksi (penerimaan) dan pendapatan masing-masing pola
dianalisis secara deskriptif dengan menampilkan nilai rata-rata dan B/C.
Kata Kunci: lahan kering masam, kedelai, pasang surut
5. 3
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian telah mencanangkan 4 target
sukses yaitu (1) swasembada berkelanjutan dan pencapaian swasembada,
(2) diversifikasi pangan, (3) peningkatan daya saing nilai tambah ekspor, dan
(4) kesejahteraan petani. Salah satu wujud dari pelaksanaan sukses Kementan
tersebut adalah dengan program swasembada berkelanjutan dan pencapaian
swasembada pada tanaman pangan khususnya kedelai.
Perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) masih didominasi oleh
sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja, yang besarnya 66 % pada tahun
2003, meskipun telah terjadi transformasi ke sektor lain ditinjau dari besarnya
sumbangan sektor ini terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan migas
atas dasar harga konstan. Besarnya PDRB sektor pertanian pada tahun 2004 adalah
19,21 %. Pada sektor pertanian tersebut, maka sub sektor perkebunan merupakan
penyumbang terbesar terhadap PDRB yakni 8,66 %, diikuti oleh sub sektor tanaman
bahan makanan (4,42 %), sub sektor perikanan (2,84 %), sub sektor kehutanan
(1,84 %) dan yang terakhir sub sektor peternakan (1,44 %) (BPS Sumsel, 2005).
Dengan kenyataan tersebut, wajarlah bila pemerintah daerah menempatkan pertanian
sebagai sektor unggulan didasarkan atas argumentasi: (i) Tersedianya lahan yang
cukup luas untuk menunjang kebutuhan kegiatan produksi pertanian, (ii) Sebagian
besar penduduk Sumsel menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, dan (iii)
Provinsi Sumsel diharapkan menjadi daerah pemasok bahan pangan bagi daerah lain di
Indonesia (Lumbung Pangan Sumatera Selatan, 2005).
Potensi lahan pertanian di Sumsel berdasarkan Zona Agroekosistemnya terdiri
dari: lahan rawa pasang surut, rawa lebak, irigasi, lahan kering dan tadah hujan.
Lahan rawa di Sumsel sangat luas, seperti: lahan rawa pasang surut yang potensial
untuk pertanian luasnya mencapai kurang lebih sekitar 980.000 ha, yang baru
direklamasi 360.000 ha dan yang sudah dimanfaatkan kurang lebih seluas 180.000 ha;
lahan rawa lebak seluas 650.000 ha baru dimanfaatkan 190.000 ha; lahan irigasi di
Sumsel relatif luas, diantaranya adalah irigasi teknis Upper Komering (dari 320.000 ha,
baru dimanfaatkan seluas 84.000 ha); dan lahan kering luasnya mencapai kurang lebih
1.462.135 ha dan baru dimanfaatkan seluas 239.244 ha. Potensi tersebut perlu
dikembangkan untuk pertanian khususnya kedelai.
6. 4
Lahan pasang surut mempunyai potensi yang besar untuk menghasilkan
pangan dengan produkstivitas tinggi bila dilakukan dengan menerapkan teknologi
spesifik lokasi dan didukung oleh iklim agribisnis yang kondusif. Luas lahan rawa yang
berpotensi untuk pertanian di propinsi Sumatera Selatan adalah 1.602.490 ha, terdiri
dari lahan rawa pasang surut 961.000 ha dan lahan rawa non pasang surut 641.490 ha
(Widjaja Adhi et al., 2002). Luasan yang berpotensi untuk pertanian 359.250 ha,
sebagian besar diperuntukkan sebagai daerah transmigrasi yang pemanfaatannya
untuk tanaman pangan dan palawija.
Permintaan kedelai dari tahun ketahun meningkat sejalan dengan pertambahan
penduduk dan berkembangnya usaha agroindustri yang membutuhkan bahan baku
kedelai. Perkembangan produksi dalam negeri belum mampu mengimbangi permintaan
sehingga harus melakukan impor dari negara lain. Bahkan areal pertanaman kedelai
cendrung berkurang beberapa tahun terakhir. Peluang peningkatan produksi kedelai di
dalam negeri masih terbuka lebar, baik melalui peningkatan produktivitas maupun
perluasan areal tanaman (Badan Litbang, 2008). Saat ini rata-rata produktivitas
nasional kedelai baru mencapai 1,28 t/ha (BPS, 2005), dengan kisaran rata-rata 0,6-
2,0 t/ha di tingkat petani, sedangkan ditingkat penelitian telah mencapai 1,7-3,2 t/ha
(Subandi, 2007). Angka-angka ini menunjukan bahwa produksi kedelai di tingkat
petani masih bisa ditingkatkan melalui penerapan inovasi teknologi (Badan Litbang,
2008).
Permasalahan yang dihadapi adalah perkembangan produksi dalam negeri
untuk komoditas kedelai belum mampu mengimbangi permintaan sehingga harus
melakukan impor dari negara lain. Bahkan areal pertanaman kedelai cenderung
berkurang beberapa tahun terakhir (Badan Litbang, 2008). Saat ini rata-rata
produktivitas nasional kedelai baru mencapai 1,28 t/ha (BPS, 2005), dengan kisaran
rata-rata 0,6-2,0 t/ha di tingkat petani, sedangkan ditingkat penelitian telah mencapai
1,7-3,2 t/ha (Subandi, 2007). Angka-angka ini menunjukan bahwa produksi kedelai di
tingkat petani masih bisa ditingkatkan melalui penerapan inovasi teknologi
(Badan Litbang, 2008).
Salah satu upaya untuk memacu produksi nasional dapat dilakukan dengan
meningkatkan program perluasan areal (ekstensifikasi) diarahkan pada pasang surut
dan lahan kering yang belum dimanfaatkan untuk usaha pertanian. Kegiatan ini
terutama ditujukan ke areal di luar pulau Jawa.
Menurut Taufiq (2010), pada periode tahun 1983-1988 pemerintah
menggalakkan pengembangan kedelai melalui program pengembangan kedelai di
7. 5
lahan masam melalui pengapuran, penerapan anjuran teknologi, dan penggunaan
pupuk bio-hayati. Produksi kedelai di tingkat petani masih bisa ditingkatkan melalui
penerapan inovasi teknologi. Oleh karena itulah, pengkajian ini untuk mengetahui
bagaimana potensi pengembangan kedelai di lahan kering di daerah pasang surut
Sumatera Selatan.
1.2. Dasar Pertimbangan
Persoalan yang dihadapi pada kering, yaitu tingkat kesuburan tanah yang
rendah yang diperparah oleh persoalan keracunan besi. Pada umumnya lahan kering
mengandung oksida-oksida besi yang tinggi dan penggenangan menyebabkan
terjadinya perubahan perilaku dari oksida besi, dari Fe3+
yang tidak larut menjadi Fe2+
yang sangat larut. Penggenangan dapat meningkatkan kelarutan ion Fe menjadi 600
kali lipat dalam tempo 30 hari yang memunculkan masalah keracunan besi. Keracunan
besi merupakan momok yang sangat menakutkan petani sawah bukaan baru kerena
dapat menyebabkan gagal panen. Dengan menggunakan beberapa varietas toleran
terhadap cekaman Fe, maka hal ini dapt diatasi. Rendahnya tingkat produktivitas
lahan kering bukaan baru dapat ditingkatkan dengan pengelolaan hara terpadu melalui
penambaha, P, K dan ameliorasi dengan kapur dan bahan organik, pengolahan tanah
serta pengaturan tata air (Kasno et al., 1999, Kasim, 2009, Widowati et al., 1999 dan
Nursyamsi et al., 2000).
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa Lahan kering bukaan baru
memerlukan waktu yang sangat panjang agar dapat berproduksi optimal. Tanpa
pengelolaan yang tepat, maka lahan tersebut baru akan berproduksi stabil setelah
10-15 tahun. Hasil penelitian Prasetyo et al. (2006), pada lahan kering bukaan baru
yang berumur satu hingga tujuh tahun belum terbentuk warga glei atau tapak bajak.
Penggunaan varietas yang sesuai, merupakan salah satu komponen untuk
meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut. Beragam varietas dapat
ditanam dilahan pasang surut. Hasil peneltian di lahan rawa pasang surut Kayu Agung,
Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan dari lima varietas di-peroleh hasil tertinggi
pada varietas Arjuna dengan hasil 4,9-5,5 ton pipilan kering/ha dan Wiyasa dengan
hasil 4,5-5,5 ton pipilan ke-ring/ha masing-masing ditanam pada lahan potensial dan
lahan sulfat masam dengan pem-berian 1 ton kapur/ha (Ismail et al, 1993).
Lahan kering pada daerah pasang surut mempunyai sifat kemasaman yang
tinggi atau mudah menjadi masam apabila teroksidasi atau terdekomposisi karena
adanya lapisan pirit. Pemberian amelioran (kapur/dolomit) dan pupuk organik/
8. 6
anorganik, merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai dilahan
kering pasang surut. Selain dapat meningkatkan hasil kedelai juga dapat meningkatkan
pH dan status hara di lahan kering di daerah pasang surut. Hasil penelitian di lahan
sulfat masam lahan kering pasang surut Karang Agung, Provinsi Sumatera Selatan
menunjukkan pemberian 1 ton kapur/ha dengan disebar pada larikan/ barisan tanaman
dapat meningkatkan hasil menjadi 4,3-5,5 ton pipilan kering/ha tergantung pada
varietas. (Ismail et al, 1993).
Dalam rangka peningkatan produksi pertanian pada periode lima Tahun ke
depan (2010-2014), dan mendukung 4 (empat) sukses program Kementerian
Pertanian, maka untuk meningkatkan produktivitas lahan kering di daerah pasang
surut di Provinsi Sumatera Selatan, diperlukan kajian penggunaan varietas unggul yang
toleran terhadap kemasaman tanah dan penggunaan amelioran sebagai bahan
pembenah tanah dengan pupuk kandang.
Peranan kedelai dalam mencukupi kebutuhan protein nabati saat ini sangat
diperlukan. Sebenarnya hasil yang diperoleh dari tahun ke tahun terus meningkat,
namun laju peningkatan hasil masih relatif lamban. Pada umumnya petani
mengusahakan palawija termasuk kedelai, setelah panen padi sawah yaitu pada saat
irigasi dihentikan atau saat menjelang kemarau tiba. Untuk tanah didaerah pasang
surut pada umumnya mempunyai lapisan gambut dari berbagai ketebalan dengan
kandungan bahan organik tinggi. Tanah gambut mempunyai kemasaman dengan
ketersediaan N,P dan K rendah serta diikuti dengan kejenuhan Ca dan Mg yang rendah
pula, sehingga keadaan kesuburan tanah tidak menguntungkan dan mengakibatkan
tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik meskipun telah dilakukan pemupukan.
Pemupukan yang dilakukan dibeberapa daerah menunjukkan, bahwa tanah ini
mempunyai masalah posfor, pemakaian pupuk P tidak kalah banyaknya dibandingkan
dengan pemakaian pupuk N, dimana tidak tersedianya P bagi tanaman antaralain
disebabkan adanya fiksasi oleh lapisan logam yang menyebabkan P menjadi tidak
tersedia. Salah satu faktor penghambat dalam memanfaatkan tanah rawa pasang
surut bila dijadikan daerah pertanian lahan kering seperti tanaman palawija, adalah
kemasamannya yang tinggi. Kemasaman ini disebabkan oleh sulfida terutama pirit,
dan akibatnya konsentrasi AL, Fe, dan Mn dalam larutan tanah meningkat sampai
batas meracuni tanaman.
Pemupukan P mutlak diperlukan pada tanah rawa pasang surut dikarenakan
selain kandungan posfornya rendah juga mengandung Al dan Fe yang tinggi, dimana
keadaan seperti ini akan lebih menyebabkan P tidak tersedia bagi tanaman. Dengan
9. 7
ditunjang oleh pengapuran yang baik, maka diharapkan pupuk P yang diberikan pada
tanah pasang surut akan lebih sedikit terikat oleh Al dan Fe sehingga P yang
ditambahkan akan tersedia bagi tanaman. Dengan adanya pengapuran, secara nyata
kelarutan Al dan Fe dapat dikurangi serta ketersediaan P dan hara lainnya akan
meningkat. Sampai saat ini pemborosan dalam pemakaian pupuk P masih merupakan
masalah yang dihadapi oleh petani, karena sebagian besar dari pupuk yang diberikan
kedalam tanah akan dijerap atau diikat oleh tanah.
Untuk meningkatkan produksi kedelai dan jagung dapat ditempuh melalui dua
pendekatan. Pertama, menyediakan varietas yang adaptif atau toleran pada kondisi
lingkungan tersebut dan lebih efisien terhadap masukan. Kedua, menyediakan
teknologi perbaikan kesuburan lahan. Beberapa varietas tanaman kedelai maupun
jagung toleran kemasaman tanah telah banyak dihasilkan. Varietas kedelai yang
toleran tanah kering masam telah banyak dicoba di antaranya varietas Tanggamus,
Nanti, Ratai, dan Selawah. Menurut Taufiq (2010), pada periode tahun 1983-1988
pemerintah menggalakkan pengembangan kedelai melalui program pengembangan
kedelai di lahan kering masam di daerah pasang surut melalui pengapuran, penerapan
anjuran teknologi, dan penggunaan pupuk bio-hayati, sehingga penerapan teknologi
budidaya di lahan kering masam dapat menjadi alternatif peningkatan produktivitas
tanaman kedelai.
1.3. Tujuan
1. Intentifikasi teknologi Eksesting petani untuk budidaya kedelai pada lahan
kering masam di Sumsel
2. Empat (4) varietas kedelai yang adaptip pada lahan kering masam di Sumsel
3. Dosis Pemupukan N, P, K dan Amelioran pada Tanaman Kedelai di Lahan
kering masam di Sumsel
4. Pengenalan pestisida nabati pada tanaman kedelai di lahan kering masam di
Sumsel
5. Pengenalan alat tanam kedelai pada lahan kering masam di Sumsel
6. 1 (satu) paket teknologi budidaya Kedelai di lahan kering masam di Sumsel
7. Produktivitas Kedelai di lahan kering masam dan tidak masam di Sumsel
meningkat sebesar 50 %
10. 8
1.4. Output (Keluaran)
1.4.1. Keluaran tahunan
1. Didapatkan teknologi Eksesting petani untuk budidaya kedelai pada lahan
kering masam di Sumsel
2. Didapatkan Empat (4) varietas kedelai yang adaptip pada lahan kering masam
di Sumsel
3. Didapatkan Dosis Pemupukan N, P, K dan Amelioran pada Tanaman Kedelai di
Lahan kering masam di Sumsel
4. Pengenalan pestisida nabati pada tanaman kedelai di lahan kering masam di
Sumsel
5. Pengenalan alat tanam kedelai pada lahan kering masam di Sumsel
6. Didapatkan 1 (satu) paket teknologi budidaya Kedelai di lahan kering masam di
Sumsel
7. Produktivitas Kedelai di lahan kering masam dan tidak masam di Sumsel
meningkat sebesar 50 %.
1.4.2. Keluaran Akhir
1. Didapatkan satu paket teknologi pengelolaan lahan untuk meningkatkan
produktivitas kedelai pada lahan kering masam di daerah rawa pasang surut
2. Didapatkan teknologi budidaya peningkatan produktivitas kedelai pada lahan
kering masam di rawa pasang surut.
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
1.5.1. Manfaat
Meningkatnya produksi dan pendapatan petani di lahan kering di daerah rawa
pasang surut Sumatera Selatan akibat pemanfaatan secara optimal.
1.5.2. Dampak
Meningkatnya produksi dan produktivitas padi, jagung dan kedelai pada lahan
rawa lebak dan pasang surut di Sumatera Selatan.
11. 9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Pengembangan Lahan Kering Masam
Lahan kering dapat didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang tidak
pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan
kering masam adalah lahan yang mempunyai sifat-sifat seperti pH rendah, kapasitas
tukar kation (KTK), kejenuhan basa (KB) dan Corganik rendah, kandungan aluminium
(kejenuhan Al) tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan besi dan mangan mendekati batas
meracuni tanaman, peka erosi, dan miskin unsur biotik.
Data Badan Pusat Statistik (2003), luas lahan kering di Indonesia (tidak
termasuk Maluku dan Papua) adalah 55.010.218 ha (87,65%) jauh lebih luas
dibandingkan dengan lahan sawah yang hanya kurang lebih 7.748.848 ha (12,35%)
dari seluruh luas baku lahan. Di luar Pulau Jawa, lahan kering mendominasi sekitar
90,41% dari total areal lahan yang diusahakan untuk pertanian. Luas lahan kering
yang sesuai dan belum dimanfaatkan untuk usahatani jagung adalah 20,5 juta ha, 2,9
juta ha di antaranya di Sumatera, 7,2 juta ha di Kalimantan, 0,4 juta ha di Sulawesi,
9,9 juta ha di Maluku dan Papua, dan 0,06 juta ha di Bali dan Nusa Tenggara.
BPTP Sumsel dan Balai Besar Sumberdaya Lahan (BBSDL) selama kurun waktu
tahun 1996-2001 telah melakukan identifikasi dan karakterisasi zona agroekologi untuk
memperoleh data dan informasi arahan pengembangan pertanian dan kehutanan di 11
kabupaten/kota Provinsi Sumatera Selatan. Luas lahan kering di Propinsi Sumsel
mencapai 3,9 juta ha. Dari luasan tersebut sekitar 2,8 juta ha (32,3%) berpotensi
untuk pengembangan integrasi tanaman tahunan dan tanaman pangan dalam sistem
pertanian wanatani/agroforestry (Zona IIIax) dan terdapat sekitar 1,1 juta ha
(12,88%), yang berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan monokultur atau
tumpangsari (Zona Ivax2) (Arief et al., 2004).
Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik
tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunan/perkebunan. Pengembangan
berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis
untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional. Secara
umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non masam.
Lahan kering bertanah masam dicirikan dengan pH < 5,0 dan kejenuhan basa < 50%,
yang tergolong pada tanah-tanah yang mempunyai sifat distrik. Sebaliknya lahan yang
bertanah tidak masam adalah lahan dengan pH > 5,0 dan kejenuhan basa > 50%,
yang tergolong pada tanah-tanah yang bersifat eutrik (Hidayat dan Mulyani, 2002). Di
12. 10
Indonesia, penyebaran lahan kering masam cukup luas, terutama pada wilayah
beriklim basah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Berdasarkan Atlas
Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia skala 1:1.000.000 terbitan Puslitbangtanak
tahun 2000, dari sekitar 148 juta ha lahan kering di Indonesia, 102,8 juta ha (69,4%)
berupa tanah masam. Lahan kering masam seluas 102 juta ha di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua akan menjadi tumpuan harapan di masa datang. Berdasarkan
keadaan curah hujannya, lahan kering dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lahan kering
beriklim basah dan lahan kering beriklim kering. Pembeda keduanya adalah jumlah
bulan basah dan tinggi curah hujan dimana bulan basah adalah tinggi curah hujan >
100 mm/bulan sedangkan bulan kering adalah curah hujan < 100 mm/bulan. Lahan
kering beriklim basah, yaitu daerah-daerah yang mempunyai bulan basah selama 6-7
bulan, dan bulan kering selama 3-4 bulan, atau curah hujan tahunan minimal lebih dari
2.000 mm. Lahan kering beriklim kering, yaitu daerah-daerah yang mempunyai bulan
kering selama 7-9 bulan dan basah 3-4 bulan, atau curah hujan tahunan kurang dari
2.000 mm. Khusus untuk lahan kering beriklim basah, meskipun secara potensial
kuantitas sumberdaya air hujan relatif tinggi, namun secara faktual ketersediaannya
untuk pertanian sangat rendah dan berfluktuasi (Yonky dkk., 2003).
Namun, umumnya sistem pertanian di lahan kering belum dipahami secara
mendalam, sedangkan keragaman ekosistemnya cukup kompleks. Kendala lingkungan,
kondisi sosial ekonomi masyarakat, serta keterbatasan sentuhan teknologi yang adaftif
mengakibatkan kualitas, produktivitas dan stabilitas sistem usaha tani yang ada masih
terbatas (Guritno, 1997). Gangguan penyerapan hara pada tanah masam disebabkan
dua hal yang saling berkaitan yaitu efek langsung dari penghambatan perpanjangan
dan perkembangan sel akar dan adanya pengaruh tidak langsung terhadap
ketersediaan hara melalui pembentukan kompleks-Al, kompetisi hara mineral dan
penutupan “binding site” (Marschner, 1992). Gejala keracunan Al yang paling mudah
dapat dilihat pada penghambatan pertumbuhan akar. Menurut Sumarno (2005) dalam
Atman (2006), pertumbuhan tanaman kedelai pada tanah masam menderita akibat
cekaman abiotik dan biotik, seperti: (a) pertumbuhan vegetatif terhambat sebagai
akibat kekurangan hara makro dan mikro; (b) keracunan Al atau Mn; (c) pembentukan
nodul terhambat; (d) tanaman mudah mendapat cekaman kekeringan; dan (e)
pertumbuhan akarnya terhambat. Gejala yang sangat jelas adalah pertumbuhan yang
sangat kerdil, daun berwarna kuning kecoklatan, pertumbuhan perakaran sangat
terbatas, bunga yang terbentuk minimal dan jumlah polong juga minimal, produktivitas
sangat rendah atau bahkan gagal menghasilkan biji. Begitu pula dengan tanaman
13. 11
jagung, dimana rendahnya pH tanah pada lahan kering masam dapat berakibat pada
tidak optimalnya pertumbuhan tanaman jagung. Hal ini disebabkan karena tanaman
jagung akan tumbuh optimum pada pH tanah antara 5,7-6,8 (Subandi et al., 1988).
Meskipun demikian peluang pengembangan pertanian di lahan kering masam
cukup besar. Kendala teknis dapat diatasi dengan menerapkan teknologi pemupukan,
pengapuran, pengelolaan bahan organik, serta pemilihan komoditas yang sesuai.
Teknologi pengelolaan lahan kering masam akan mudah diterapkan oleh petani yang
mempunyai kemampuan teknis dan modal yang cukup serta pengetahuan maju.
Permasalahannya, petani umumnya kurang mampu dan tidak memiliki modal cukup
untuk menerapkan teknologi tersebut. Kondisi ini terutama terjadi pada wilayah yang
usaha taninya berbasis tanaman pangan. Pemanfaatan air permukaan (kolam,
embung, dam parit, sungai, air irigasi) ataupun air tanah dalam (irigasi suplemen atau
pompanisani) juga dapat meningkatkan indeks pertanaman (Anonim, 2006).
2.1. Kesesuaian Lahan untuk Pengembangan Kedelai di Sumatera Selatan
Di Sumatera Selatan, dengan jumlah penduduk sebanyak 7.121.790 jiwa pada
tahun 2008 dan tingkat konsumsi 6,07 kg/kapita/tahun, maka dibutuhkan sebanyak
43.229,3 ton kedelai. Namun pada tahun 2008 tersebut produksi kedelai di Sumsel
hanya 7.305 ton (Badan Pusat Statistik Sumsel, 2010), dengan demikian terjadi
kekurangan sebanyak 35.924,3 ton sehingga 83,10% kebutuhan akan kedelai di
Sumsel harus diimpor.
Pada tahun 2008, luas panen kedelai 5.352 ha dengan produktivitas rata-rata
biji kering 1,36 t/ha (Badan Pusat Statistik Sumsel, 2010). Pada tahun 2012, luas
tanam kedelai di Sumatera Selatan ditargetkan sebesar 15.706 ha dengan luas panen
sebesar 15.418 ha (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Propinsi
Sumatera Selatan, 2012). Artinya dengan menggunakan potensi produktivitas 2 t/ha,
maka masih terdapat senjang produktivitas sebesar 47%. Untuk meningkatkan
produktivitas kedelai atau memperkecil senjang produktivitas tersebut, salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah dengan perbaikan penggunaan benih yaitu
menggunakan varietas unggul, apalagi jika varietas tersebut adaptif dengan
lingkungan setempat. Sedangkan peluang untuk meningkatkan produksi masih terbuka
luas mengingat potensi lahan yang masih tersedianya luas dan belum dimanfaatkan.
Menurut Zaini (2005), pengembangan pertanaman kedelai dapat diarahkan
pada tiga agroekosistem utama, yaitu: lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan,
dan lahan kering. Dengan mempertimbangkan produktivitas yang paling tinggi dan
14. 12
resiko kegagalan yang paling kecil, lahan sawah setelah padi dan lahan kering
mempunyai potensi paling besar untuk pengembangan tanaman kedelai. Untuk
mengoptimalkan produktivitas kedelai di lahan masam, pengapuran umumnya
dilakukan. Pendekatan genetik melalui penyediaan varietas kedelai adaptif lahan
masam memiliki keuntungan yakni biaya murah dan mudah di adopsi oleh petani.
15. 13
III. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Lokasi Pengkajian
Pengkajian dilaksanakan pada Januari hingga Desemeber 2018 di lahan kering
di daerah rawa pasang surut dengan tipologi lahan C/D Provinsi Sumatera Selatan.
Penanaman dilaksanakan pada bulan April 2018 setelah panen padi.
3.2. Pendekatan
Pendekatan yang digunakan yaitu partisipatif artinya petani secara individu
melalui pendekatan kelompok diharapkan berpartisipasi aktif dan dilibatkan sejak tahap
perencanaan sampai akhir kegiatan. Kegiatan kajian dilaksanakan di lahan petani
(on farm research) dengan melibatkan petani secara langsung, mengingat petani
sebagai pelaku utama pada kegiatan usahataninya dan bagian dari komuniltas lokal di
wilayahnya memiliki aset lahan.
Upaya agar teknologi introduksi diterapkan petani secara utuh dilakukan
dengan meningkatkan peran aktif ketua kelompok tani disertai bimbingan peneliti,
penyuluh dan petugas lapang. Selain itu untuk menunjang terlaksananya kegiatan
dilakukan pembimbingan oleh tim multi disiplin yaitu; peneliti, penyuluh, pengamat
hama, teknisi litkayasa dan PPL.
Lokasi pengkajian dipilih atas dasar pertimbangan: (1) lokasi berada dalam satu
unit hamparan yaitu lahan kering pasang surut, (2) lokasi mudah dijangkau guna
memudahkan pelaksanaan pengamatan, supervisi dan pelatihan petani serta
(3) masyarakat setempat bersifat kooperatif dan mau menerima teknologi
baru/teknologi anjuran. Sedangkan penetapan petani/kelompok tani kooperator
sebagai pelaksana kegiatan pengkajian berdasarkan pada kriteria, petani mau dan
mampu menerapkan teknologi introduksi secara utuh.
3.3. Ruang Lingkup Kegiatan
a. Persiapan. Persiapan dalam kegiatan ini meliputi melakukan sosialisasi dan
konsolidasi baik tingkat propinsi, kabupaten dan pertemuan-pertemuan secara
berkala baik dengan tim pelaksana pengkajian maupun dengan kelompok tani
peserta pengkajian dalam rangka pelaksanaan pengkajian serta penyusunan
rancangan/rencana operasional pelaksanaan pengkajian (ROPP).
16. 14
b. Penentuan Calon Petani, Calon Lokasi dan Teknologi Eksisting. Kegiatan
diawali dengan metoda PRA (Participatory Rural Apprasial) oleh tim multi disiplin.
Setelah hamparan dan kelompok sasaran ditetapkan, kemudian dilaksanakan studi
identifikasi dan karakterisasi wilayah pengkajian, selanjutnya kegiatan pembahasan
teknologi introduksi yang akan diterapkan.
c. Pelaksanaan kegiatan di lapangan. Pelaksanaan pengkajian dilakukan oleh satu
tim multidisiplin yang terdiri dari peneliti, penyuluh, teknisi, PPL dan petugas di
lapangan. Lahan kajian masing-masing seluas 5 ha ditanami dengan tanaman
kedelai secara monokultur. Teknologi yang diterapkan pada petak pengkajian yakni
teknologi eksisting (petani) dan teknologi introduksi. Pelaksanaan pengkajian
dilakukan oleh satu tim multidisiplin yang terdiri dari peneliti, penyuluh, teknisi, PPL
dan petugas di lapangan. Adapun rakitan teknologi budidaya yang dilakukan dapat
dilihat pada Tabel 1 sedangkan teknologi yang dilakukan petani (eksisting) dapat di
lihat pada Tabel 2.
Tabel 1. Teknologi introduksi budidaya kedelai di lahan kering pasang surut
Uraian Kedelai
Varietas Anjasmoro, Tanggamus, Nanti, Sinabung dan Grobogan
Persiapan lahan Olah Tanam Minimum (pencangkulan 1 kali dan diratakan), dan
pembuatan saluran drainase setiap 3-4 m
Persiapan benih Pemberian Nodulin 200 g/ha atau 200 g/40 kg benih
Tanam Anam Tanam, dengan jarak tanam 40 x 15 cm
Takaran pupuk 75 kg urea/ha + 100 kg SP 36/ha + 100 kg KCl/ha, pemberian
dolomit dosis 1.500 kg/ha
Waktu dan cara
pemupukan
Pupuk diberikan 5-7 cm dari barisan tanaman dan ditutup tanah,
pemupukan dilakukan paling lambat 2 mst)
Pupuk kandang dosis ; 1, 2, 3 ton/ha
Pemeliharaan Gulma disiang dua kali (3 dan 6 mst)
Pengendalian Hama dan
penyakit
PHT, disesuaikan dengan OPT yang menyerang (penggunaan
feromons trap dan biopestisida) dan bio-festisida nabati yang
ramah lingkungan dan Pestisida sintetik
Panen dan Pasca panen Menggunakan alat panen
17. 15
3.4. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi diperlukan untuk menjaga konsistensi terhadap
pelaksanaan pengkajian di lapangan baik terhadap penerapan teknologinya maupun
terhadap perkembangan pelaksanaan pengkajian. Hasil dari pada kegiatan monitoring
dan evaluasi ini digunakan untuk menyempurnakan pelaksanaan pengkajian.
3.5. Pengumpulan dan analisis data
Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi terhadap kondisi
pertanaman. Pengamatan langsung dilakukan terhadap pertumbuhan dan produksi
tanaman kedelai dan jagung. Data input dan output usahatani dikumpulkan melalui
catatan petani dan wawancara terhadap petani kooperator secara perorangan.
Pengambilan sampel hasil panen kedelai dan jagung dilakukan pada saat panen untuk
memperoleh data komponen hasil tanaman. Data yang dikumpulkan dalam pengkajian
ini meliputi: (1) Tanaman kedelai meliputi vigor pertumbuhan tanaman, tinggi
tanaman, jumlah cabang, jumlah polong isi, jumlah polong hampa, umur tanaman
berbunga, umur tanaman dapat masak, hasil biji, bobot 100 butir (kadar air 14%),
serangan hama penyakit di lapangan dan data meteorologi selama pelaksanaan
pengkajian. Sedangkan data usaha tani yang dikumpulkan meliputi penggunaan sarana
produksi, benih, pupuk, pestisida dan curahan tenaga kerja (pengolahan tanah, tanam,
penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, panen dan pasca
panen), distribusi tenaga kerja berdasarkan sumber tenaga kerja (keluarga atau
upahan berdasarkan gender) serta data mengenai harga sarana produksi dan produksi
usahatani. Data dikumpulkan dengan cara observasi langsung dan wawancara
terhadap petani kooperator secara perorangan dan Focus Group Discussion. Data
komponen pertumbuhan dan produksi tanaman yang diperoleh selanjutnya dianalisis
dengan paired t-test antara dua peubah yakni komponen teknologi introduksi dan
teknologi petani (eksisting). Sedangkan data mengenai penggunaan input, biaya
produksi, produksi padi dan palawija, nilai produksi (penerimaan) dan pendapatan
masing-masing pola dianalisis secara deskriptif dengan menampilkan nilai rata-rata dan
B/C.
3.6. Pelaporan
Laporan disusun sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap kegiatan
pengkajian yang dilakukan. Laporan terdiri dari laporan tengah tahun dan laporan
akhir tahun.
18. 16
IV. ANALISIS RISIKO
4.1. Kajian Perbaikan Paket Teknologi Budidaya dan Pengembangan Kedelai di
Lahan Kering Sumatera Selatan
No Risiko Penyebab Dampak
1. Petani kurang
koperatif
Salah memilih kelompok Pertanaman menjadi
kurang baik, akibat tidak
mengikuti anjuran
2. Serangan hama dan
penyakit
Anomali iklim Pertumbuhan tanaman
kurang optimal,
penurunan hasil
3. Pertumbuhan
vegetatif kurang baik
kondisi air sulit di
kendalikan, serangan
hapen
Produktivitas menjadi
berkurang
4.2. Daftar Penanganan Risiko
No Risiko Penyebab Dampak Upaya Penanganan
1. Petani kurang
koperatif
Salah memilih
kelompok
Pertanaman
menjadi kurang
baik, akibat tidak
mengikuti anjuran
Memilih petani lokasi /
petani yang memenuhi
syarat
2. Serangan
hama dan
penyakit
Anomali iklim Pertumbuhan
tanaman kurang
optimal,
penurunan hasil
Penerapan
pengelolaan hama dan
penyakit terpadu
(PHT)
3. Pertumbuhan
vegetatif dan
generatif
tanaman
kurang baik
kondisi air sulit
di kendalikan,
serangan hapen
Produktivitas
menjadi
berkurang
Penanaman tepat
waktunya, menanam
varietas yang tahan
dan pemilihan
pestisida yang
tepat/selektif
19. 17
V. TENAGA DAN OGRANISASI PELAKSANA
5.1 Tenaga yang terkait dalam kegiatan Kajian Perbaikan Paket
Teknologi Budidaya dan Pengembangan Kedelai di Lahan Kering
Sumatera Selatan
No Nama/NIP
Jabatan
Fungsional/
Bidang Keahlian
Jabatan
dalam
Kegiatan
Uraian Tugas
Alokasi
Waktu
(Jam/
minggu)
1.
Dr. Ir.Priyatna Sasmita, M.Si
196411041992031001
Peneliti
Madya/Pemulian
Penjab
Program
Mengkoordinir
Penanggung
jawab kegiatan
4
2 Tumarlan Thamrin, SP.MP.
19690317 199703 1 001
Peneliti Madya/
SUP
Penanggung
Jawab
Menyusunan
proposal,
pelaporan,
mengkoordinir
pelaksanaan
kegiatan
6
3. Ir. Yanter Hutapea,M.Si/
19630430 198903 1 001
Peneliti Utama/
Sosek Pertanian
Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
4. Budi Raharjo, STP.M,Si Peneliti Madya/
Pasca Panen
Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
5. Ir. NP. Sri Ratmini, M.Sc Peneliti Madya/
Ilmu Tanah
Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
6. Ir. Dedeh Hadiyanti Penyuluh
Madya /
Agronomi
Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
7. Syahri, SP Peneliti Muda/
SUP
Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
8. Mahdalena, SP Penyuluh Muda/
Agronomi
Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
9. Johanes A., SP., M.Si. Peneliti Pertama Anggota tim Peliput data/
informasi dan
pelaksanaan
pelatihan dan
temu lapang
4
10. Juwedi Teknisi Anggota tim peliput data/
informasi dan
analisis data,
pelaporan
4
11. PM Administrasi Membantu
penyelesaian
administrasi
4
20. 18
5.2. Jadwal waktu kegiatan
No Uraian Kegiatan
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Persiapan pembuatan RPTP/ ROPP x
2. Koordinasi/Sosialisasi x
3. Study PRA x
4. Pertemuan tim dengan stakeholder x
5. Introduksi Tanaman x x x x x x x x
6. Temu lapang x
7. Penyusunan kuesioner x
8. Pengumpulan data/Informasi x x x x x x x
9. Pengolahan data x
10. Penulisan Laporan
• Tengah tahun
• Akhir
x
x
11. Penggandaan, pendistribusian laporan x
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, Made O., Zubachtirodin, Ketut Kariyasa, S. Saenong, Subandi, MS Pabbage.
2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Edisi Kedua.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Agus dan Irawan . 2006. Agricultural land convertion as a threat to food security and
environmental quality. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 25 (3):
90-98
Atman. 2006. Pengelolaan Tanaman Kedelai di Lahan Kering Masam. Jurnal Ilmiah
Tambua V(3): 281-287.
Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan arah pengembangan komoditas
pertanian: Tinjauan Aspek Sumberdaya Lahan. Badan Litbang Pertanian,
jakarta.
Badan Litbang, 2008. Ketersediaan Teknologi Dalam Peningkatan Produksi Kedelai
Menuju Swasembada. Siaran pers. Badan Litbang Pertanian. Tanggal 12 Febuari
2008.
Badan Pusat Statistik. 2010. Luas Lahan Menurut Penggunaan di Sumatera Selatan.
64 p.
Badan Pusat Statistik, 2005. Statistik Indonesia. 2004. Biro Pusat statistik, Jakarta.
Departemen Pertanian. 2005. Revitalisasi pertanian, perikanan, dan kehutanan 2005-
2025. Departemen Pertanian. Jakarta.
Didik Ardi dan Wiwik Hartatik. 2004. Teknologi pengelolaan hara lahan sawah bukaan
baru. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Direktorat Jendral Bina Produksi Tanaman Pangan, 2002. Program Pengembangan
Produksi Jagung Nasional. Makalah disampaikan pada National Maize
Research and Development Prioritization Workshop 15 – 17 Mei 2002 di Malino
Sulawesi Selatan.
21. 19
Djaenudin, D., Marwan H., Subagyo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk teknis untuk
komoditas pertanian. Balai Penelitian Tanah, Pusat penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34 dalam
Abdurachman et al. (Ed.). Buku Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian
Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah
dan Agroklimat, Bogor.
Ismail, G.I. et al. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa 1985-
1993. Proyek SWAMPS II. Badan Litbang Pertanian, Deptan,
Bogor/Jakarta.
Kasim, A. 2009. Pengaruh dosis pupuk urea, SP 36, KCl, dan ZA terhadap
pertumbuhan dan produksi padi pada lahan sawah bukaan baru di mimika
papua. Jurnal Ilmiah Tambua, Vol. VIII (3): 395-399
Kasno, A., Sulaeman, dan Mulyadi. 1999. Pengaruh pemupukan dan pengairan
terhadap Eh, pH, ketersediaan P dan Fe serta hasil padi pada tanah sawah
bukaan baru, Jurnal Tanah dan Iklim (17): 72-81.
Nursyamsi, D., D. Setyorini, dan J. Sri Adiningsih. 1996. Pengelolaan haara dan
pengaturan drainase untuk menanggulangi kendala produktivitas sawah baru.
Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian dan
Agroklimat. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Bogor.
Prasetyo. 2010. Genesis dan morfologi tanah sawah bukaan baru. Pusat penelitian
dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Prasetyo, B.H. 2006. Evaluasi tanah sawah bukaan baru di daerah Lubuk
Linggau,Sumatera Selatan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 8 (1): 31-43.
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, 2005. Sumatera Selatan Lumbung Pangan.
Sektor Tanaman Pangan dan Hortikultura.
Puslitbangtanak (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2001.
Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional skala 1;1.000.000.
Puslitbangtanak. Bogor.
Subandi, Zubachtirodin, S. Saenong, dan I.U. Firmansyah. 2006. Ketersediaan
teknologi produksi dan program penelitian jagung. Dalam: Prosiding Seminar
dan Lokakarya Nasional Jagung 29-30 September 2005 di Makassar. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p. 11-40.
Subendi, A., Rudy Soehendi, Agung Prabowo, Muzhar, Dedeh Hadiyanti, Imelda M., Budi
Raharjo, Viktor Siagian, IKW Edi. 2010. Laporan Akhir Pendampingan Program
Strategis Departemen Pertanian SL-PTT Jagung Sebanyak 247 Unit di Wilayah
Sumsel dengan Target Peningkatan Produksi > 10%. BPTP Sumatera Selatan
(tidak dipublikasikan).
Susanto, dkk. 2005. Master Plan Lumbung Pangan Propinsi Sumatera Selatan.
Kerjasama Fakultas Pertanian Unsri dan Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Propinsi Sumatera Selatan.
Setyorini, D., L.R. Widowati, dan S. Rochayati. 2004. Teknologi pengelolaan hara taah
sawah intensif. Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat. Bogor
22. 20
Subandi, 2007. Teknologi Produksi dan Strategi Pengembangan Kedelai Pada Lahan
Kering Masam. Dalam Iptek tanaman pangan. Volume 2 No.1. Puslitbang
Tanaman Pangan. Bogor. Hal 12-15.
Sunadi, I. Wahidi, dan M.Z. Harja Utama. 2010. Penapisan varietas padi toleran
cekaman Fe2+ pada sawah bukaan baru dari aspek agronomi dan fisiologi.
Jurnal Akta Agrosia, Vol. 13 (1): 16-23.
Suriadikarta, Agus Sofyan, dan W. Hartatik. 2004. Penelitian pengelolaan hara lahan
sawah mineral masam bukaan baru. Laporan Akhir. Balai Penelitian Tanah,
Pusat Penelitian tanah dan Agroklimat. Bogor.
Sutomo. 2004. Analisa data konversi dan prediksi kebutuhan lahan. Direktorat
Perluasan Areal, Dirjen Bina Produksi Tanaman Pangan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Taufiq, A. 2010. Teknologi budidaya kedelai di berbagai agroekosistem. Makalah
disampaikan pada Pelatihan SL-PTT Kedelai 2010 bagi Tenaga Pemandu
Lapang (PL) I di Balai Besar Pelatihan Pertanian (BBPP) Ketindan-Lawang, 28
Maret-1 April 2010.
Widowati, Sri Rachayati, Sutisni D., Eviati, dan J. Sri Adiningsih. 1999. Peranan hara S,
Ca dan mg dan hara mikro dalam penanggulangan pelandaian produktivitas
lahan-lahan sawah intensifikasi. Laporan Penelitian: Bagian Proyek Penelitian
Sumberdaya Lahan dan Agroklimat.
Widjaja Adhi, IPG, K. Nugroho, D.A. Suriadikarta dan A.S. Karama. 1992. Sumber daya
lahan pasang surut, rawa dan pantai: Potensi, keterbatasan dan pemanfaatan.
Prosiding Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut
dan Rawa. Cisarua.
Zaini, Z. 2005. Prospek pengembangan kedelai di lahan kering masam. Prosiding
Lokakarya Pengembangan Kedelai di Lahan Sub-optimal. Puslitbangtan Bogor,
2005; 47-54 hlm.
Zubachtiroddin, M.S. Pabbage, dan Subandi. 2006. Wilayah Produksi dan Potensi
Pengembangan Jagung. Dalam Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan.
Badan Litbang Pertanian, Puslitbangtan, Hal 462-473.