1. kemiskinan gorontalo (seri pertama)
MEREKONSTRUKSI PENANGANAN KEMISKINAN
DI PROVINSI GORONTALO
Agussalim
Tulisan ini dibuat sebagai masukan bagi Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam merumuskan
kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan. Selama tahun 2010, penulis diangkat
sebagai Tenaga Ahli Bappeda Provinsi Gorontalo.
“Poverty is like heat; you cannot see it; you can only feel it; so, to know poverty you have to go
through it”.
Kemiskinan seperti hawa panas; Anda tidak dapat melihatnya; Anda hanya dapat
merasakannya; jadi, untuk memahami kemiskinan, Anda harus mengalaminya).
A man from Adaboya, Ghana
Prolog
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa fenomena kemiskinan di Provinsi Gorontalo menarik untuk
diamati. Pertama, pada tahun 2009, dari 33 provinsi di Indonesia, hanya tiga provinsi yang
mengalami peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin. Provinsi Gorontalo termasuk
salah satu diantaranya, selain Provinsi Papua dan Papua Barat.
Kedua, sejak provinsi ini terbentuk sekitar sembilan tahun lalu (akhir 2000), jumlah dan
persentase penduduk miskin terus bergerak turun, setidaknya sampai dengan tahun 2008.
Penurunan ini bahkan telah menempatkan Provinsi Gorontalo sebagai daerah yang mengalami
penurunan kemiskinan tercepat secara regional. Namun pada tahun 2009, jumlah dan persentase
penduduk miskin merambat naik. Peningkatan ini, tentu saja, agak mengejutkan, ditengah
berbagai upaya yang dilakukan untuk memerangi kemiskinan di daerah ini.
Ketiga, penanganan kemiskinan di daerah ini, terutama dalam dua-tiga tahun terakhir, telah
mengalami kemajuan signifikan. Dalam catatan penulis, daerah ini telah melakukan berbagai
langkah konstruktif, diantaranya pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (TKPKD), penyusunan Master Plan Penanggulangan Kemiskinan, pembentukan SKPD
dengan nomenklatur penanggulangan kemiskinan, peningkatan alokasi anggaran untuk
pengentasan kemiskinan, seminar tahunan guna me-review dinamika kemiskinan, dan
sebagainya. Namun berbagai upaya ini tampaknya tidak berjalan paralel dengan penurunan
angka kemiskinan, setidaknya untuk tahun 2009.
Fenomena dan realitas empirik di atas, tampaknya menuntut Provinsi Gorontalo untuk
merekonstruksi kembali penanganan kemiskinan di daerahnya. Sudah saatnya Provinsi
Gorontalo mengembangkan perspektif dan pendekatan baru dalam penanggulangan kemiskinan.
Ini penting agar Provinsi Gorontalo tidak mengulang kesalahan dan mengadopsi kelemahan yang
terjadi dalam praktek penanggulangan kemiskinan selama ini.
2. Potret Kemiskinan di Provinsi Gorontalo
Jika mengacu pada data BPS, tampak jelas bahwa, baik jumlah maupun persentase penduduk
miskin di Provinsi Gorontalo, terus mengalami penurunan secara konsisten, setidaknya selama
rentang waktu 2003 s/d 2008. Pada tahun 2003, jumlah penduduk miskin mencapai 257.588
orang atau 29,25% dari total penduduk. Dengan kata lain, setiap tiga penduduk di Provinsi
Gorontalo, satu diantaranya terkategori miskin. Angka tersebut terus bergerak turun hingga
menjadi 221.600 orang atau 24,88% pada tahun 2008. Membaiknya kinerja ekonomi makro,
seperti pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran, serta implementasi pembangunan
daerah berbasis perdesaan telah memberi kontribusi besar terhadap penurunan jumlah penduduk
miskin di Provinsi Gorontalo.
Namun pada tahun 2009, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 224.600 orang atau
25,01% dari total penduduk . Menurut versi BPS, peningkatan tersebut disebabkan oleh fluktuasi
harga terutama harga barang-barang konsumsi rumah tangga serta menurunnya nilai tukar petani.
Meskipun peningkatannya relatif kecil dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu hanya
1,35%, namun peningkatan tersebut telah memberi citra dan persepsi kurang baik bagi efektifitas
penanganan kemiskinan di Provinsi Gorontalo.
Peningkatan jumlah dan persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo menjadi kian
menarik untuk diamati terutama jika dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pengangguran. Menurut data BPS, pada tahun 2009, pertumbuhan ekonomi Provinsi Gorontalo
sebesar 7,54% dan tingkat pengangguran sebesar 5,89%. Secara nasional, indikator makro
ekonomi tersebut tampak sangat bagus, sebab tingkat pertumbuhan ekonomi dan tingkat
pengangguran nasional masing-masing 4,3% dan 8,9%.
Secara relatif, dengan persentase penduduk miskin sebesar 25,01%, Provinsi Gorontalo
menempati urutan keempat jumlah penduduk miskin terbesar, setelah Papua, Papua Barat, dan
Maluku. Posisi relatif ini sesungguhnya tidak mengalami perubahan berarti sejak daerah ini
“memisahkan diri” dari Provinsi Sulawesi Utara. Posisi relatif terbaik yang pernah diraih
Provinsi Gorontalo adalah urutan kelima jumlah penduduk miskin terbesar, setelah Nanggroe
Aceh Darussalam, Papua, Papua Barat, dan Maluku.
Yang sedikit melegakan, meskipun jumlah dan persentase penduduk miskin meningkat, namun
Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) relatif sama atau
tidak mengalami perubahan selama periode 2008-2009, yaitu masing-masing 4,59 dan 1,27. Ini
mengindikasikan bahwa, baik jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin ke garis kemiskinan
maupun ketimpangan (gap) pengeluaran antara penduduk miskin itu sendiri, tidak berubah atau
relatif sama.
Jika diamati secara spasial, daerah yang menjadi konsentrasi penduduk miskin di Provinsi
Gorontalo adalah Kabupaten Gorontalo Utara dan Kabupaten Gorontalo . Setengah dari seluruh
penduduk miskin di Provinsi Gorontalo bermukim di daerah ini. Dari segi proporsi, di atas 30%
dari jumlah penduduk daerah ini tergolong miskin. Tingginya angka penduduk miskin di daerah
itu, disamping karena jumlah penduduknya relatif besar, juga karena garis kemiskinan yang
3. digunakan di daerah ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya.
Jika diamati lebih lanjut dalam perspektif kota-desa, tampak jelas bahwa wilayah perdesaan
merupakan tempat bermukim sebagian besar penduduk miskin, yaitu mencapai 87,5% dari total
penduduk miskin. Artinya, 7 dari 8 penduduk miskin bermukim di perdesaan. Persentase
kemiskinan perdesaan juga relatif besar, yaitu mencapai 32,8% dari total penduduk perdesaan.
Bandingkan dengan perkotaan yang hanya mencatat angka 7.9%. Penurunan jumlah penduduk
miskin di perdesaan juga relatif berjalan lambat dibandingkan dengan di perkotaan. Akibatnya,
proporsi penduduk miskin di perdesaan cenderung semakin membesar dari tahun ke tahun.
Sebuah Perspektif Baru untuk Provinsi Gorontalo
Realitas kemiskinan di Provinsi Gorontalo sebagaimana dikemukakan di atas, melahirkan
banyak implikasi. Pertama, desain perencanaan dan penganggaran yang diperuntukkan bagi
kaum miskin ternyata tidak bekerja efektif, setidaknya untuk tahun 2009. Strategi
penanggulangan kemiskinan yang digagas oleh TKPKD Gorontalo di awal tahun 2009 terbukti
tidak cukup ampuh untuk menurunkan angka kemiskinan. Pembengkakan jumlah penduduk
miskin sekitar 3.000 orang (netto) pada tahun 2009 memberi sinyal kuat atas kegagalan strategi
dan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang diimplementasikan. Dalam dunia perencanaan
dikenal sebuah adagium: “gagal merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan”.
Kedua, paradigma perencanaan dan penganggaran yang dipraktekkan selama ini tampaknya
belum bergeser dari “apa yang akan dilakukan” menuju “apa yang akan dicapai”. Pembahasan
intensif masih terpusat pada grand design dan master plan penanganan, formulasi strategi dan
kebijakan, rumusan program dan kegiatan, yang kesemuanya itu mengarah pada paradigma “apa
yang akan dilakukan”. Sebaliknya, pembahasan mengenai sasaran dan target yang mau dicapai,
validasi kelompok sasaran, ketepatan sasaran, akurasi intervensi, efektifitas penanganan, yang
merupakan bagian dari paradigma “apa yang akan dicapai”, belum mendapat ruang pembahasan
yang memadai. Stephen R. Covey dalam bukunya yang terkenal, The Seven Habits of Highly
Effective People, mengatakan bahwa satu dari tujuh kebiasaan orang yang sangat efektif adalah
bekerja dengan sasaran, sejak dari awal kegiatannya (start with the end in mind).
Ketiga, penanganan kemiskinan sepertinya tidak didasarkan pada hasil “diagnosis” kemiskinan
yang valid dan akurat. Tampak jelas, penanganan kemiskinan masih bertumpu pada “resep”.
Padahal kita semua tahu bahwa mujarabnya “resep” sangat tergantung pada keakuratan
“diagnosis”. Dengan kata lain, tidak mungkin “resep” akan bekerja optimal ketika “diagnosis”
tidak akurat. Mal praktek dalam dunia kedokteran, selalu terjadi karena kesalahan melakukan
diagnosis.
Ulasan di atas kian menegaskan perlunya diinjeksi perspektif dan pendekatan baru dalam
penanganan kemiskinan di Provinsi Gorontalo. Perspektif dan pendekatan baru dimaksud antara
lain:
Pergeseran arah studi. Dalam banyak kasus, kemiskinan selalu dipandang dari perspektif
makro. Studi-studi kemiskinan pada umumnya lebih fokus pada aspek relasional antara
kebijakan makro dan kemiskinan, misalnya dampak subsidi BBM terhadap kemiskinan, dampak
4. BLT terhadap taraf hidup penduduk miskin, dampak kenaikan harga beras terhadap angka
kemiskinan, dan seterusnya. Hasil studi semacam ini potensial melahirkan debat dan polemik.
Kita tidak pernah sepenuhnya yakin hasil studi LPEM-UI beberapa waktu lalu, yang
menyimpulkan bahwa kenaikan harga BBM tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap
peningkatan angka kemiskinan. Kita juga tetap menyangsikan kesimpulan Bank Dunia yang
menyatakan bahwa kenaikan harga beras menjadi penyebab utama terjadinya pembengkakan
jumlah penduduk miskin. Kita bahkan menuduh bahwa Bank Dunia telah melakukan simplifikasi
yang berlebihan atas kompleksitas masalah kemiskinan.
Mengandalkan studi makro memang seringkali tidak memuaskan. Informasi yang dihasilkan
hampir tidak pernah akurat dan valid. Studi semacam ini tidak pernah sanggup menyediakan
informasi rinci mengenai: (i) dimana persisnya orang miskin tersebut bermukim?; (ii) bagaimana
karakteristik dan profil penduduk miskin?; (iii) faktor-faktor apa menyebabkan mereka miskin?;
(iv) bagaimana mengamati perubahan taraf hidup orang miskin dari waktu ke waktu?; (v) siapa
saja orang miskin yang berhasil dientaskan dan siapa saja yang masih berkutat dengan
kemiskinan?; (vi) mengapa kebijakan, program, dan anggaran tidak bekerja efektif bagi kaum
miskin; dan seterusnya. Akibatnya, program dan kegiatan pengentasan kemiskinan yang tidak
tepat sasaran, ketidak-jelasan target, bias ke orang non-miskin, menjadi berita lumrah.
Tentu saja, pertanyaan-pertanyaan di atas hanya bisa ditemukan jawabannya ketika studi
kemiskinan dilakukan pada level mikro. Keunggulan studi semacam ini adalah keakurasiannya
dalam mengindentifikasi karakteristik penduduk miskin, sehingga pada gilirannya sangat
memudahkan dalam implementasi program dan kegiatan pengentasan kemiskinan serta
melakukan evaluasi atas kemajuan yang dicapai dalam berbagai upaya pengentasan kemiskinan.
Dengan studi mikro, para pengambil kebijakan tidak perlu lagi gagap setiap kali ditanya, dimana
persisnya terjadi penurunan angka kemiskinan, apa yang menyebabkan penurunan tersebut,
upaya-upaya apa yang signifikan mengurangi angka kemiskinan, bagaimana efektifitas kebijakan
dan program yang diimplementasikan, dst.
Perubahan pola pananganan. Arus besar (mainstream) penanganan kemiskinan secara global,
termasuk yang dipraktekkan di Indonesia, berorientasi pada dua skema: pertama, menurunkan
atau memperkecil beban pengeluaran penduduk miskin. Skema ini muncul dalam bentuk bantuan
sosial (misalnya, BLT, Raskin, dll.), pembebasan biaya (misalnya, pendidikan dan kesehatan
gratis), dan pemberian subsidi (misalnya, pupuk dan sarana produksi lainnya). Kedua,
meningkatkan produktivitas dan pendapatan penduduk miskin. Skema ini muncul terutama
dalam bentuk pembangunan infrastruktur perdesaan (misalnya irigasi, pasar, jalan desa, dsb),
penyediaan skim bantuan modal usaha, dll.
Selama puluhan tahun, pola penanganan lebih menekankan pada skema pertama. Namun dalam
beberapa tahun terakhir, skema kedua mulai memperoleh porsi yang lebih besar. Ini setidaknya
bisa diamati dari Program PNPM yang memberi perhatian signifikan pada dimensi
pemberdayaan dan peningkatan produktivitas masyarakat, misalnya melalui penguatan
kelembagaan masyarakat, perbaikan infrastruktur sosial ekonomi masyarakat, penyediaan skim
bantuan modal usaha mikro dan kecil, dll.
Meskipun demikian, salah satu catatan paling krusial terkait program ini adalah grand design-nya
5. masih sangat sentralistik, meskipun dikatakan bahwa program ini sudah menggunakan dan
mempraktekkan pendekatan partisipatif. Pendekatan yang cenderung sentralistik, menyimpan
sedikitnya empat masalah, yaitu: pertama, memperlakukan karakteristik kemiskinan secara
seragam dan mengasumsikan tipologi kemiskinan cenderung serupa untuk semua wilayah dan
daerah; kedua, memungkinkan terjadinya tupang tindih (over lapping) penanganan antar
berbagai tingkatan pemerintahan, baik dari segi program maupun anggaran; ketiga, pemahaman
pemerintah pusat atas kondisi masyarakat lokal relatif terbatas, setidaknya jika dibandingkan
dengan pemerintah daerah; dan keempat, inisiatif dan kreasi pemerintah dan masyarakat lokal
sulit bertumbuh di dalam era sentralisasi.
Lalu, apakah penangangan kemiskinan yang desentralistik merupakan pilihan terbaik? Mungkin
tidak, namun pendekatan ini masih jauh lebih baik bila dibandingkan dengan penanganan yang
sentralistik. Argumentasi penting dibalik usulan ini, antara lain, pemerintah daerah memiliki
pemahaman yang relatif baik tentang kondisi masyarakat lokal; ruang bagi masyarakat miskin
untuk menyampaikan preferensinya relatif semakin luas; proses dan mekanisme penanganan
(perencanaan, implementasi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi) relatif lebih mudah, singkat,
dan sederhana; keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam perumusan agenda penanganan
relatif lebih mudah dibangun; tumpang tindih program dan anggaran antar berbagai tingkatan
pemerintahan dapat dieliminasi; dsb.
Pembaharuan desain perencanaan. Pendekatan terkini dalam perencanaan pembangunan lebih
menekankan pada efisiensi dan efektifitas. Perencanaan tidak lagi bertumpu pada “apa yang akan
dilakukan” melainkan “apa yang mau dicapai”. Dalam ranah perencanaan, ini disebut dengan
“perencanaan berbasis sasaran”, atau biasa juga disebut “perencanaan berbasis kinerja
(performance based planning)”.
Cara kerja pendekatan ini, pertama kali, menetapkan sasaran-sasaran terukur yang ingin dicapai.
Dalam konteks kemiskinan, sasaran dimaksud dapat berupa, misalnya, jumlah penduduk miskin
menurun sebesar 10.000 orang, pendapatan penduduk miskin meningkat sebesar 25%, 100
rumah tangga miskin memulai usaha mikro keluarga, 50% penduduk miskin memiliki rumah
yang layak huni, dsb. Tentu saja, sasaran-sasaran terukur ini hanya bisa ditetapkan jika
perencana memiliki pemahaman yang utuh dan informasi yang akurat mengenai kondisi
penduduk miskin.
Setelah sasaran yang ditetapkan sudah clear, langkah berikutnya adalah merancang bentuk
intervensi dan upaya untuk mencapai sasaran. Dalam dunia perencanaan, bentuk intervensi
dimaksud diformulasi ke dalam bentuk strategi, program, dan kegiatan. Namun perumusan
strategi, program, dan kegiatan dimaksud sebaiknya dilakukan secara partisipatif dengan
melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), termasuk kaum miskin.
Tahapan berikutnya adalah implementasi strategi, program, dan kegiatan. Dalam tahapan ini
harus betul-betul bisa dipastikan bahwa strategi, program, dan kegiatan tersebut sungguh-
sungguh fokus ke kelompok sasaran, tidak bias ke non-miskin, tidak terjadi kebocoran anggaran,
sesuai dengan kebutuhan penduduk miskin, dst.
Tahapan terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Tahapan ini deperlukan untuk memastikan
bahwa strategi, program, kegiatan, dan anggaran kemiskinan benar-benar efektif bekerja bagi
6. kaum miskin. Tahapan ini juga diperlukan untuk memberi umpan balik (feed back) bagi
pengambil kebijakan dalam rangka merevisi, memperbaharui, dan merekonstruksi penanganan
kemiskinan di masa yang akan datang.
Perubahan metodologi. Kerangka konseptual dan metodologi pengukuran kemiskinan
seyogyanya tidak melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak memiliki, melainkan
orang yang memiliki potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang dapat digunakan dalam
mengatasi kemiskinannya. Cara pandang baru ini tidak lagi melihat “apa yang tidak dipunyai
orang miskin” melainkan lebih menekankan pada “apa yang dimiliki orang miskin”. Asset
perseorangan dan sosial merupakan potensi penting yang dimiliki kaum miskin, dan oleh karena
itu, penanganan kemiskinan harus diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas asset tersebut.
Di kalangan para pengambil kebijakan dewasa ini, muncul persepsi yang kuat bahwa pendidikan
dan kesehatan merupakan upaya cerdas untuk memperbaiki “asset” kaum miskin . Diyakini
bahwa dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas ”asset” tersebut akan sanggup
memperbaiki taraf hidup mereka dalam jangka panjang. Mengalokasikan pengeluaran
pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dengan proporsi yang memadai, dianggap sebagai
salah satu strategi terbaik untuk mereduksi kemiskinan. Dengan strategi ini diharapkan
pengeluaran kaum miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dapat dikurangi, misalnya
dengan cara menyediakan biaya pendidikan dan kesehatan secara gratis dan meningkatkan akses
penduduk miskin terhadap fasilitas sosial dan ekonomi . Dalam jangka panjang, upaya seperti ini
diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas penduduk miskin sehingga pada gilirannya
mereka mampu melepaskan diri dari jeratan kemiskinan.
Pergeseran cara pandang. Semakin kuat disadari bahwa masalah kemiskinan tidak akan pernah
selesai hanya karena menggunakan cara pandang ekonomi dan sosial. Dimensi moral penting
digunakan dalam memandang persoalan kemiskinan. Proses pembangunan yang berlangsung
selama ini telah melahirkan fenomena kemiskinan dengan ciri sosial-moral yang amat kental,
misalnya keterbelakangan, keterpencilan, ketidakberdayaan dan ketersisihan. Ciri ini, bahkan
seringkali dianggap sebagai derivasi paling buruk dari fenomena kemiskinan. Ciri ini hanya bisa
dieliminasi jika dimensi moral lebih dikedepankan dalam memandang persoalan kemiskinan.
Ketika kemiskinan dilihat dari perspektif moral, defenisi kemiskinan juga mengalami perluasan.
Kemiskinan didefenisikan sebagai suatu keadaan ketika seseorang kehilangan harga diri,
terbentur pada ketergantungan, terpaksa menerima perlakuan kasar dan hinaan, serta tak
dipedulikan ketika sedang mencari pertolongan.
Bagaimanapun, proses pembangunan yang terlalu ekonomi-sentris seperti yang dipraktekkan
selama ini, telah menyebabkan rapuhnya nilai-nilai sosial (social values) dan memudarnya
kohesi sosial (social cohesion) dalam masyarakat. Kita dengan mudah dapat menyaksikan
berbagai kerusuhan sosial (social unrest), konflik vertikal dan horizontal, perampasan,
kriminalitas, dan seterusnya. Di sisi lain, semangat individualistik dan kehidupan hedonisme,
semakin menemukan bentuknya. Akibatnya, solidaritas sosial dan sikap empati menjadi sesuatu
yang mahal dan langka.
Di tengah situasi seperti itu, solusinya adalah menumbuh-kembangkan sikap hidup sosial yang
7. lebih egaliter, sebuah sikap yang lebih menghargai persamaan dan distribusi pendapatan yang
lebih merata antar lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah bagaimana
membangun sebuah mekanisme yang mampu menumbuhkan keinginan masyarakat untuk
”menyerahkan” sebagian dari total pendapatannya guna mewujudkan distribusi pendapatan yang
lebih egaliterian. Dalam pandangan egalitarian income distribution yang diperkenalkan oleh Sir
Hugh Dalton, seorang profesor keuangan publik di London School of Economics, seluruh
masyarakat sesungguhnya menghendaki pemerataan, persamaan hak, dan keadilan sosial yang
lebih baik guna mewujudkan kehidupan sosial yang lebih harmonis.
Epilog
Wajah kemiskinan akhir-akhir ini tampak menunjukkan ekspresi yang semakin memilukan.
Berita kematian akibat derita kemiskinan terus menerus kita saksikan. Masih hangat dalam
ingatan kita bagaimana Junaini Mercy, seorang ibu muda di Malang, karena derita kemiskinan,
telah melakukan tindakan bunuh diri setelah terlebih dahulu menghabisi nyawa keempat anaknya
dengan racun potasium. Seorang ibu di Pontianak membakar diri bersama anaknya karena putus
asa akibat tidak mampu lagi membeli beras untuk sekedar makan. Fifi Kusrini, seorang murid
kelas II SD memilih bunuh diri karena malu diolok-olok teman-temannya akibat menunggak
uang sekolah selama beberapa bulan. Daeng Besse di Makassar meninggal secara mengenaskan
bersama kedua anaknya akibat diare akut karena kekurangan gizi. Supriono, seorang pemulung
yang tinggal di kolong perlintasan kereta api Cikini, harus kehilangan anaknya yang baru berusia
3 tahun akibat empat hari terserang muntaber, hanya karena tidak memiliki uang untuk
membayar biaya Puskesmas sekecil Rp 4.000. Sejumlah orang di Pasuruan, Jawa Timur harus
merelakan nyawanya saat mengantri pembagian zakat senilai Rp 20.000,-.
Perilaku “abnormal” yang muncul akibat deraan kemiskinan juga terus membuat kita tercengang.
Februari 2010, Ernawati dan Aminah, hanyalah dua dari sekian banyak ibu di daerah Koja,
Jakarta Utara, yang terpaksa menjual bayinya dengan harga Rp 1,5 juta karena derita
kemiskinan. Yang lebih tragis, Santi, bahkan rela menjual janin yang masih berada dalam
kandungannya seharga Rp 1 juta hanya untuk menebus biaya kontrakannya yang menunggak dan
sebagian lainnya untuk sekedar biaya hidup.
Kita semua berharap, solusi cerdas untuk memerangi kemiskinan segera ditemukan. Kita tidak
ingin hari-hari kita dipenuhi dengan berita kematian yang mengenaskan dan memilukan akibat
derita kemiskinan. Kita tidak ingin menyaksikan secara intens berbagai perilaku “abnormal”
yang muncul akibat jeratan kemiskinan.
Makassar, Awal April 2010
Daftar Bacaan
Agussalim. 2009. Mereduksi Kemiskinan: Sebuah Proposal Baru untuk Indonesia. Penerbit: Nala
Cipta Litera dan PSKMP UNHAS. Makassar. Januari 2009.
Agussalim. 2009. Reducing Poverty. Majalah Bakti News. ISSN 1979-777X. Vol. IV April 2009
Edisi 45.
Agussalim. 2007. Pengentasan Kemiskinan; Sebuah Proposal Baru untuk Nanggroe Aceh
Darussalam. Makalah yang disampaikan pada Konferensi Internasional Pembangunan Aceh
8. Kedua ”From A Bitter Past Towards A Better Prospect”. Universitas Malikussaleh,
Lhokseumawe. 29-30 Desember 2007.
Agussalim. 2007. Pengeluaran Pemerintah dan Pengurangan Angka Kemiskinan. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis. Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Surabaya. ISSN: 1410-
9204 (Akreditasi B). Volume 9. Nomor 2. Juni 2007. Hal. 169-184.
Agussalim. 2006. Kemiskinan dan Gender: Perspektif Perencanaan dan Penganggaran. Makalah
yang Disampaikan pada Seminar dan Workshop ”Pengentasan Kemiskinan Melalui
Pengarusutamaan Gender”. kerjasama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dengan UNDP.
Hotel Marannu Makassar, 4 dan 8 Mei 2006.
Agussalim. 2005. Sanggupkah Pertumbuhan Ekonomi Memperbaiki Ketimpangan dan
Mereduksi Kemiskinan, Makalah Terpilih pada Calls for Papers Simposium Riset Ekonomi II:
Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Pengurangan Kemiskinan. ISEI Surabaya. Surabaya, 23-
24 November 2005.
Agussalim, 2005. The Quality of Growth dan Implikasinya Terhadap Perencanaan
Pembangunan, Majalah Simpul Perencana. Pusbindiklatren BAPPENAS. ISSN 1656-4229.
Volume 5. Tahun 3. Juni 2005. Hal. 28-32.
Bank Indonesia. 2010. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Gorontalo, Triwulan IV 2009.
Booth, Anne. 2000. Poverty and Inequality in the Soeharto Era: An Assessment. Bulletin of
Indonesian Economics Studies. Vol. 36. No. 1. April 2000.
Biro Pusat Statistik (BPS). Data dan Informasi Kemiskinan. Berbagai Seri. Jakarta.
Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo. Kondisi Kemiskinan Gorontalo Maret 2009. Berita
Resmi Statistik No. 112/07/75/Th. III, 01 Juli 2009.
Badan Pusat Statistik Provinsi Gorontalo. Pertumbuhan Ekonomi Gorontalo Tahun 2009. Berita
Resmi Statistik No. 145/02/75/Th. IV, 10 Februari 2010.
Committee for Poverty Alleviation. 2003. A Process Framework of Strategic Formulation for
Long Terms Poverty Alleviation. Interim Poverty Reduction Strategy Paper. March 2003.
Jakarta.
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Sosial. Berbagai Data Mengenai Kemiskinan di
Indonesia. www.data.menkokesra.go.id.
Sachs, Jeffrey D. 2005. The End of Poverty, How We Can Make in Happen in Our Lifetime.
Penguin Books. New York.
Sen, Amartya. 2000. Development As Freedom. Anchor Books. New York.
Son, H. and N. Kakwani, 2003. Poverty Reduction: Do Initials Conditions Matter?, Mimeo, The
World Bank.
Stiglitz, Joseph E. 2000. Economics of the Public Sector. Third Edition. W.W. Norton and
Company, New York/London
Thomas, Vinod et. al. 2000. The Quality of Growth. The World Bank. Washington D.C.
UNDP. 2006. Partnership to Fight Poverty: UNDP in Indonesia. UNDP Indonesia. Jakarta.
UNDP, Bappenas, BPS. 2004. The Economics of Democracy: Financing Human Development in
Indonesia. Indonesia Human Development Report 2004.
World Bank. 2001. Indonesia: Constructing a New Strategy for Poverty Reduction. Report No.
23028-IND. October.
World Bank Brief for the Consultative Group on Indonesia. 2001. Indonesia: The Imperative for
Reform. Report No. 23093-IND. November.
World Bank, 2003. Sustainable Development In A Dinamic World: Transforming Institutions,
9. Growth, and Quality of Life. World Development Report 2003. Oxford University Press.
World Bank. 2006. Era Baru Pengentasan Kemiskinan di Indonesia. Ikhtisar. Jakarta.
Diposkan oleh agussalim di 00.20
Link ke posting ini
Buat sebuah Link