Prov.Jabar_1504_Pengumuman Seleksi Tahap 2_CGP A11 (2).pdf
Kompetensi kunci ukj aji
1. UJI KOMPETENSI JURNALIS
ALIANSI JURNALIS INDePENDEN
UKJ AJI
Materi
Kompetensi
Kunci UKJ AJI
Disusun Oleh
• Divisi Etik dan Pengembangan
Profesi
• Biro Pendidikan AJI Indonesia
Editor:
Willy Pramudya
Jakarta, 2012
2. UJI KOMPETENSI JURNALIS ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN UKJ AJI
Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Disusun Oleh
Divisi Etik dan Pengembangan Profesi
Biro Pendidikan AJI Indonesia
Editor:
Willy Pramudya
cover dan layout:
J!DSG, www.jabrik.com
Diterbitkan oleh
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Jalan Kembang raya no. 6 Kwitang, senen
Jakarta pusat 10420 indonesia
e-mail: office@ajiindonesia.org
website: www.ajiindonesia.org
3. Kata Pengantar
Ketua Umum Aliansi
Jurnalis Independen
S
ejak ditetapkan oleh Dewan Pers sebagai Lembaga
Penguji Kompetensi Wartawan melalui SK Nomor 15/
SK-DP/IX/2011, pengurus Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Indonesia periode 2011-2014 langsung memberikan
respon positif.
Langkah awal yang dilakukan ialah membentuk
Biro Pendidikan dan Pelatihan (Biro Diklat) AJI yang
beranggotakan para jurnalis senior untuk menelaah dan
mengelaborasi modul Uji Kompetensi Wartawan (UKW)
versi LPDS. Selanjutnya, Biro Diklat dan Divisi Etik Profesi
menggelar seminar, workshop, dan diskusi kelompok terfokus
(FGD) untuk menyusun modul Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ)
versi AJI yang sesuai dengan visi-misi organisasi.
Modul Uji Kompetensi Jurnalis versi AJI dinamai
Materi Kompetensi Kunci (MKK) UKJ AJI. Ini merupakan
penyempurnaan berbagai modul pengujian wartawan
meliputi jurnalisme cetak, online, dan televisi. Setelah ini,
modul UKJ AJI akan dilengkapi materi uji jurnalisme radio
dan fotografi.
Yang utama dari modul UKJ AJI ialah materi ujian etika
dan profesionalisme. AJI percaya, Uji Kompetensi Jurnalis
(UKJ) bukan sekadar ritual pemberian "sertifikat kompetensi".
3
4. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Melainkan pembuktian kepada publik bahwa anggota AJI
adalah jurnalis yang kompeten dalam profesinya. Dengan
media yang profesional dan beretika, perjuangan bagi
kebebasan pers dan kesejahteraan jurnalis menjadi lebih kuat.
Pada April 2012, Aliansi Jurnalis Independen (AJI)
menggelar Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) pertama di Wisma
Cimanggis yang diikuti 57 anggota AJI secara nasional.
Hingga pertengahan Maret 2013, AJI telah menyelenggarakan
sembilan kali UKJ di berbagai kota, termasuk dua kali Training
of Examiners (ToE). Dari dua event itu dihasilkan 26 penguji
UKJ, 29 calon penguji UKJ, dan 175 jurnalis AJI -muda, madya,
utama- yang sudah tersertifikasi (Dewan Pers).
Dari seluruh penyelenggaraan UKJ, 95 persen anggota AJI
dinyatakan kompeten, dua anggota AJI wajib mengikuti ujian
perbaikan (remedial), tujuh orang diturunkan tingkatannya,
dan satu tidak lulus UKJ AJI.
Semua data bisa berubah seiring bertambahnya anggota
AJI yang mengikuti Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) dan
Training of Examiner (ToE). Materi Kompetensi Kunci
(MKK) UKJ AJI dari waktu ke waktu akan dilengkapi dan
disempurnakan mengikuti perkembangan jurnalisme di tanah
air dan seluruh dunia.
Eko Maryadi
4
7. DAFTAR ISI
Penjelasan Aji dan Peraturan Dewan Pers
Uji Kompetensi Jurnalis Aji........................................................................................................ 11
Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-Dp/Ii/2010
Tentang Standar Kompetensi Wartawan................................................................................ 15
Bagian 1Pendahuluan................................................................................................................... 17
Bagian II Kompetensi Wartawan.............................................................................................. 29
.
Materi Kunci I Rumpun Pengetahuan Umum
Jurnalis Sebagai Profesi, P. Hasudungan Sirait.......................................................................... 37
.
Pers Dan Perjanalan Nasionalisme Indonesia,Didik Supriyanto......................................... 47
.
Sekilas Sejarah Jurnalisme.......................................................................................................... 65
.
Pers, Teknologi Media Dan Kehidupan Sosial, Didik Supriyanto......................................... 71
.
Komunikasi Massa........................................................................................................................ 81
Hukum Jurnalistik, Arfi Bambani................................................................................................ 85
Materi Kunci Ii Pengetahuan Khusus Teori Jurnalistik
Standar Jurnalisme, P. Hasudungan Sirait................................................................................147
Berita, Fakta Dan Fiksi, P. Hasudungan Sirait.........................................................................153
Derajat Kompetensi Narasumber, P. Hasudungan Sirait....................................................165
Gaya Bahasa Jurnalisme, P. Hasudungan Sirait.......................................................................175
Berita Berbobot, P. Hasudungan Sirait.................................................................................... 189
8. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Materi Kunci Iii Praktik Jurnalistik
Teknik Wawancara, Satrio Arismunandar................................................................................203
Teknik Dan Mekanisme Peliputan Jurnalistik, Satrio Arismunandar................................217
Penulisan Berita Langsung Berformat Piramida Terbalik, Satrio Arismunandar.............223
Jurnalisme Televisi
Bentuk Berita Televisi, Satrio Arismunandar...........................................................................233
Proses Pembuatan Berita Di Stasiun Televisi: Studi Kasus Trans TV,
Satrio Arismunandar..................................................................................................................... 241
Materi Kunci Iv Kode Etik Jurnalistik
Dan Penegakannya
Kode Etik Jurnalistik, Willy Pramudya .................................................................................... 251
Lampiran 1: Kode Etik Aji......................................................................................................... 265
Lampiran 2: Kode Etik Jurnalistik........................................................................................... 271
.
Lampiran 3: Pedoman Pemberitaan Media Siber ..............................................................279
Lampiran 4: Pedoman Pelaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3sps) .......285
Menerjemahkan Kode Etik Ke Kode Perilaku, Ati Nurbaiti...............................................287
11. Uji Kompetensi
Jurnalis AJI
U
ji Kompetensi Jurnalis (selanjutnya disingkat
UKJ) yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) merupakan salah satu agenda
yang sejak lama didesakkan oleh banyak anggota AJI untuk
menjawab problem profesionalisme dan independensi jurnalis
serta penegakan etika jurnalistik. Oleh sebab itu Kongres AJI
Tahun 2011 di Makassar memasukkan UKJ sebagai salah satu
program nasional yang harus dijalankan oleh pengurus AJI
yang terpilih pada Kongres AJI Tahun 2011 di Makassar itu.
Dewan Pers yang berfungsi untuk mengembangkan dan
melindungi kehidupan pers di Indonesia sudah menjadikan
UKJ dengan nama Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai
program yang telah mulai dilaksanakan sejak tahun 2011.
AJI pun memandang UKJ sebagai salah satu cara AJI untuk
meningkatkan profesionalisme, terutama ketaatan jurnalis
kepada kode etik jurnalistik (KEJ), dan independensi jurnalis
anggota AJI. Pada Rapat Kerja Nasional AJI 2012 (Februari,
2012) lahir kesepakatan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun
kepengurusan AJI Indonesia (periode 2011-2014) setidaknya
separuh dari jumlah anggota AJI telah memiliki sertifikat
kompeten.
AJI memahami bahwa UKJ bukanlah program eksklusif
milik AJI. Beberapa lembaga dan organisasi jurnalis lain yang
sudah lolos verifikasi sebagai lembaga penguji juga sudah
11
12. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
memulai terlebih dulu melaksanakan UKW. Karena itu ada
beberapa anggota AJI yang telah mengikuti uji kompetensi
sehingga mereka telah memliki serttifikat kompeten. Namun
karena masih banyak anggota AJI yang belum memiliki
sertifikat kompeten AJI merasa perlu menyelenggarakan
program UKJ versi AJI yang diharapkan lebih mencerminkan
atau sesuai dengan visi dan nilai-nilai perjuangan AJI.
Pada April 2012 untuk kali pertama AJI menyelanggarakan
UKJ yang pelaksanaannya tetap sesuai dengan standar Dewan
Pers. UKJ AJI yang berlangsung di Wisma Hijau Cimanggis,
Depok, Jawa Barat itu meruoakan UKJ perdana sekaligus
perintisan UKJ versi AJI dengan menggunakan standar AJI
setelah AJI berhasil merumuskan standar kompetensi jurnalis
(SKJ) yang lebih sesuai dengan ideologi, filosofi dan nilai-
nilai perjuangan AJI. Secara ringkas dapat dikatakan ada dua
tujuan utama penyelenggaraan UKJ di AJI. Pertama, untuk
menyiapkan dan mengantarkan anggota AJI agar memiliki
SKJ. Kedua, UKJ dan SKJ AJI menjadi acuan standar jurnalistik
yang tinggi sekaligus gayut dengan perkembangan pers.
Dari segi materi, UKJ AJI berbeda dengan sistem pendidikan
jurnalisme di perguruan tinggi maupun sistem pengujiannya.
Pada umumnya pendidikan dan pengujian jurnalisme di
perguruan tinggi diorganisasikan pada seputar tiga poros atau
jalur perkembangan. Pertama, poros yang mengajarkan norma-
norma, nilai-nilai, perangkat, standar, dan praktik jurnalisme;
kedua, poros yang menekankan diri pada aspek-aspek sosial,
budaya, politik, ekonomi, hukum dan etika dari praktik
jurnalisme, baik di dalam negeri maupun luar negeri; dan ketiga,
poros yang terdiri dari pengetahuan umum dan tantangan-
tantangan intelektual dalam dunia jurnalisme. [Lihat Buku
Panduan Penyusunan Kurikulum Pendidikan Jurnalisme (Versi Asli:
Model Curricula for Journalisme Education oleh Uniesco, 2007)].
12
13. Sementara UKJ AJI, sesuai dengan tujuannya terorganisasikan
pada empat poros utama, yakni Pengetahuan Umum;
Jurnalisme; Praktik Jurnalistik; dan keempat, Pendalaman Kode
Etik Jurnalistik (KEJ).
Rumpun atau poros Pengetahuan Umum berisi materi
kunci yang berkaitan dengan Profesionalisme, Komunikasi
Massa, Pers Nasional dan Media Global, Hukum Pers.
Rumpun Jurnalisme atau Teori Jurnalistik adalah materi kunci
yang berkaitan dengan Prinsip-prinsip Jurnalistik,; Unsur
Berita, Nilai Berita, dan Jenis Berita; Bahasa Jurnalistik; Fakta
dan Opini; Narasumber; dan Kode Etik Jurnalistik. Sedang
Rumpu Praktik Jurnalistik ialah materi kunci yang berkaitan
dengan Teknik Melakukan Wawancara, Menjalani Peliputan,
Menyusun Berita, Menyunting Berita, Merancang Materi
dan Desain, Mengelola Manajemen Redaksi, Menetapkan
Kebijakan Redaksi, dan Menggunakan Peralatan Teknologi
Informasi. Rumpun Pendalaman KEJ, adalah materi kunci
yang berkiatan dengan pemetaan dan penyikapan problem
etik serta perincian Kode Etik ke Kode Perilaku.
Dari segi metodologi, UKJ AJI menggunakan metode
eklektik atau gabungan beberapa metode. Metode ini dipilih
atas dasar asumsi bahwa tidak ada metode yang ideal karena
tiap-tiap metode memiliki kekuatan dan kelemahan. Secara
ringkas metode eklektik yang dimaksudkan di sini ialah
metode yang menggabungkan metode penugasan antara lain
menulis artikel atau esai sebelum mengikuti ujian tertutup,
(menjawab pertanyaan secara) tertulis, (tanya jawab secara)
lisan, praktik dan simulasi, serta diskusi.
Dari segi pelaksanaanannya, UKJ AJI berlangsung selama
dua hari penuh dari pagi hingga malam atau dua setengah
hari. Setiap pelaksanaan UKJ selalu diawali dengan sosialisasi
konsep, metodologi dan pelaksanaan ujian. Peserta juga akan
13
14. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
diajak mendalami semua materi kunci yang akan diujikan,
Materi-materi itu mulai dari yang termasuk dalam Rumpun
Pengetahuan Umum hingga Rumpun Etika Jurnalistik. Oleh
sebab itu sebelum memasuki sesi ujian pokok, peserta UKJ
AJI diwajibkan mengikuti sesi pendalaman tersebut bersama
narasumber yang dipandang berkompeten.
Da;am kaitan ini ada catatan yang perlu memperoleh
perhatian, karena para anggota AJI berada dalam jenjang/
tingkatan yang berbeda-beda karena masa kerja dan posisi
yang bebreda-beda pula, maka UKJ AJI diberikan berdasarkan
jenjang, yakni mulai dari jenjang senior hingga jenjang yunior.
Namun pelaksanaanya dilakukan secara serentak dalam satu
satuan penyelenggaraan.
Dari sisi penguji, setiap penyelenggaraan UKJ akan
melibatkan satu tim penguji bernama Tim Penguji AJI
Indonesia. Penguji pada UKJ AJI adalah jurnalis senior
anggota AJI yang telah mengikuti pelatihan penguji yang
diselenggarakan oleh AJI Indonesia melalui program Training
of Examiner (TOE). Pada umumnya , selama UKJ berlangsung
seorang penguji hanya memiliki kemampuan menguji
maksimal enam peserta UKJ. Oleh sebab itu, jumlah anggota
tim penguji pada suatu UKJ terganuing pada jumlah peserta.
Untuk saat ini, penyelenggaraan UKJ AJI diprioritaskan
bagi jurnalis anggota AJI. Namun untuk selanjutnya AJI tidak
menutup peluang bagi jurnalis non-AJI yang ingin mengikuti
UKJ AJI dengan syarat bersedia memenuhi seluruh persyaratan
yang berlaku maupun kultur yang hidup di lingkungan AJI.
Willy Pramudya
K
oordinator Divisi Etik dan Pengambangan Profesi
AJI Indonesia
14
15. PERATURAN DEWAN PERS
Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010
Tentang
STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
Menimbang:
a. Bahwa diperlukan standar
untuk dapat menilai
profesionalitas wartawan;
b. ahwa belum terdapat standar kompetensi wartawan yang
B
dapat digunakan oleh masyarakat pers;
c. Bahwa hasil rumusan Hari Pers Nasional tahun 2007
antara lain mendesak agar Dewan Pers segera memfasilitas
perumusan standar kompetensi wartawan;
d. Bahwa demi kelancaran tugas dan fungsi Dewan Pers
dan untuk memenuhi permintaan perusahaan pers,
organisasi wartawan dan masyarakat pers maka Dewan
Pers mengeluarkan Peraturan tentang Standar Kompetensi
Wartawan.
Mengingat:
1. asal 15 ayat (2) huruf F Undang-Undang Nomor 40 Tahun
P
1999 tentang Pers;
2. Keputusan Presiden Nomor 7/M Tahun 2007 tanggal 9
Februari 2007, tentang Keanggotaan Dewan Pers periode
tahun 2006 – 2009;
3. eraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/III/2008
P
15
16. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers;
4. eraturan Dewan Pers Nomor 7/Peraturan-DP/III/2008
P
tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor
04/SK-DP/III/2006 tentang Standar Organisasi Wartawan;
5. ertemuan pengesahan Standar Kompetensi Wartawan yang
P
dihadiri oleh organisasi pers, perusahaan pers organisasi
wartawan, dan masyarakat pers serta Dewan Pers pada hari
Selasa, 26 Januari 2010, di Jakarta;
6. Keputusan Sidang Pleno Dewan Pers pada hari Selasa
tanggal 2 Februari 2010 di Jakarta.
MEMUTUSKAN
Menetapkan: Peraturan Dewan Pers tentang Standar
Kompetensi Wartawan.
Pertama: Mengesahkan Standar Kompetensi Wartawan
sebagaimana terlampir.
Kedua: Peraturan Dewan Pers ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 2 Februari 2010
Ketua Dewan Pers,
Prof. Dr. Ichlasul Amal, MA
16
17. BAGIAN I
PENDAHULUAN
a. UMUM
Menjadi wartawan merupakan hak asasi seluruh warga
negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang
untuk menjadi wartawan. Pekerjaan wartawan sendiri sangat
berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan
adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan,
pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat,
musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi
busuk.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya wartawan
harus memiliki standar kompentensi yang memadai dan
disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini
menjadi alat ukur profesionalitas wartawan.
Standar kompetensi wartawan (SKW) diperlukan untuk
melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat.
Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan
wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga
negara menjadi wartawan.
Kompetensi wartawan pertama-pertama berkaitan
dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di
dalam kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang
pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa, dan
bernegara yang demokratis.
17
18. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami
etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan
penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal yang terakhir
ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti
juga kemampuan yang bersifat teknis sebagai wartawan
profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan,
memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita.
Untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan
harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga
yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan
pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi atau lembaga
pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji
kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar
kompetensi ini
b. PENGERTIAN
Standar adalah patokan baku yang menjadi pegangan
ukuran dan dasar. Standar juga berarti model bagi karakter
unggulan.
Kompetensi adalah kemampuan tertentu yang meng
gambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran,
pengetahuan, dan keterampilan.
Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan
kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik
dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar,
serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis
saluran lainnya.
Kompetensi wartawan adalah kemampuan wartawan un
tuk me ahami, menguasai, dan menegakkan profesi jurnalis
m
18
19. tik atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan
(memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan. Hal itu
menyangkut kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan.
Standar kompetensi wartawan adalah rumusan
kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan,
keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan
pelaksanaan tugas kewartawanan.
c.TUJUAN STANDAR KOMPETENSI WARTAWAN
1. Meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan.
2. Menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh
perusahaan pers.
3. Menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepen
tingan publik.
4. Menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai
profesi khusus penghasil karya intelektual.
5. Menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan.
6. Menempatkan wartawan pada kedudukan strategis
dalam industri pers.
D. MODEL DAN KATEGORI KOMPETENSI
Dalam rumusan kompetensi wartawan ini digunakan
model dan kategori kompetensi, yaitu:
1. Kesadaran (awareness): mencakup kesadaran
tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik, serta
pentingnya jejaring dan lobi.
2. Pengetahuan (knowledge): mencakup teori dan prinsip
jurnalistik, pengetahuan umum, dan pengetahuan
khusus.
19
20. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
3. Keterampilan (skills): mencakup kegiatan 6M (mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi), serta melakukan riset/
investigasi, analisis/prediksi, serta menggunakan alat
dan teknologi informasi.
Kompetensi wartawan yang dirumuskan ini merupakan
hal-hal mendasar yang harus dipahami, dimiliki, dan
dikuasai oleh seorang wartawan.
Kompetensi wartawan Indonesia yang dibutuhkan saat
ini adalah sebagai berikut:
1. Kesadaran (awareness)
Dalam melaksanakan pekerjaannya wartawan dituntut
menyadari norma-norma etika dan ketentuan hukum.
Garis besar kompetensi kesadaran wartawan yang diperlukan
bagi peningkatan kinerja dan profesionalisme wartawan
adalah:
1.1. Kesadaran Etika dan Hukum
Kesadaran akan etika sangat penting dalam profesi
kewartawanan, sehingga setiap langkah wartawan,
termasuk dalam mengambil keputusan untuk menulis
atau menyiarkan masalah atau peristiwa, akan selalu
dilandasi pertimbangan yang matang. Kesadaran etika
juga akan memudahkan wartawan dalam mengetahui
dan menghindari terjadinya kesalahan-kesalahan
seperti melakukan plagiat atau menerima imbalan.
Dengan kesadaran ini wartawan pun akan tepat dalam
menentukan kelayakan berita atau menjaga kerahasiaan
sumber.
20
21. Kurangnya kesadaran pada etika dapat berakibat
serius berupa ketiadaan petunjuk moral, sesuatu yang
dengan tegas mengarahkan dan memandu pada nilai-
nilai dan prinsip yang harus dipegang. Kekurangan
kesadaran juga dapat menyebabkan wartawan gagal
dalam melaksanakan fungsinya.
Wartawan yang menyiarkan informasi tanpa
arah berarti gagal menjalankan perannya untuk
menyebarkan kebenaran suatu masalah dan peristiwa.
Tanpa kemampuan menerapkan etika, wartawan rentan
terhadap kesalahan dan dapat memunculkan persoalan
yang berakibat tersiarnya informasi yang tidak akurat dan
bias, menyentuh privasi, atau tidak menghargai sumber
berita. Pada akhirnya hal itu menyebabkan kerja jurnalistik
yang buruk.
Untuk menghindari hal - hal di atas wartawan wajib:
a. Memiliki integritas, tegas dalam prinsip, dan
kuat dalam nilai. Dalam melaksanakan misinya
wartawan harus beretika, memiliki tekad untuk
berpegang pada standar jurnalistik yang tinggi,
dan memiliki tanggung jawab.
b. Melayani kepentingan publik, mengingatkan
yang berkuasa agar bertanggung jawab, dan
menyuarakan yang tak bersuara agar didengar
pendapatnya.
c. Berani dalam keyakinan, independen,
mempertanyakan otoritas, dan menghargai
perbedaan.
Wartawan harus terus meningkatkan kompetensi
etikanya, karena wartawan yang terus melakukan hal
itu akan lebih siap dalam menghadapi situasi yang pelik.
21
22. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Untuk meningkatkan kompetensi etika, wartawan perlu
mendalami Kode Etik Jurnalistik dan kode etik organisasi
wartawan masing-masing.
Sebagai pelengkap pemahaman etika, wartawan
dituntut untuk memahami dan sadar ketentuan hukum
yang terkait dengan kerja jurnalistik. Pemahaman
tentang hal ini pun perlu terus ditingkatkan. Wartawan
wajib menyerap dan memahami Undang-Undang Pers,
menjaga kehormatan, dan melindungi hak-haknya.
Wartawan juga perlu tahu hal-hal mengenai peng
hinaan, pelanggaran terhadap privasi, dan ber agai
b
ketentuan dengan narasumber (seperti off the record,
sumber-sumber yang tak mau disebut nama ya/ n
confidential sources).
Kompetensi hukum menuntut penghargaan pada
hukum, batas-batas hukum, dan memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan yang tepat dan berani untuk
memenuhi kepentingan publik dan menjaga demokrasi.
1.2. Kepekaan Jurnalistik
Kepekaan jurnalistik adalah naluri dan sikap
diri wartawan dalam memahami, menangkap, dan
mengungkap informasi tertentu yang bisa dikembangkan
menjadi suatu karya jurnalistik.
1.3. Jejaring dan Lobi
Wartawan yang dalam tugasnya mengemban
kebebasan pers sebesar-besarnya untuk kepentingan
rakyat harus sadar, kenal, dan memerlukan jejaring dan
lobi yang seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya, sebagai
22
23. sumber informasi yang dapat dipercaya, akurat, terkini,
dan komprehensif serta mendukung pelaksanaan profesi
wartawan. Hal-hal di atas dapat dilakukan dengan:
a. Membangun jejaring dengan narasumber;
b. Membina relasi;
c. Memanfaatkan akses;
d. Menambah dan memperbarui basis data relasi;
e. Menjaga sikap profesional dan integritas sebagai
wartawan.
2. Pengetahuan (knowledge)
Wartawan dituntut untuk memiliki teori dan prinsip
jurnalistik, pengetahuan umum, serta pengetahuan khusus.
Wartawan juga perlu mengetahui berbagai perkembangan
informasi mutakhir bidangnya.
2.1. Pengetahuan Umum
Pengetahuan umum mencakup pengetahuan umum
dasar tentang berbagai masalah seperti sosial, budaya,
politik, hukum, sejarah, dan ekonomi. Wartawan dituntut
untuk terus menambah pengetahuan agar mampu
mengikuti dinamika sosial dan kemudian menyajikan
informasi yang bermanfaat bagi khalayak.
2.2. Pengetahuan Khusus
Pengetahuan khusus mencakup pengetahuan yang
berkaitan dengan bidang liputan. Pengetahuan ini
diperlukan agar liputan dan karya jurnalistik spesifik
seorang wartawan lebih bermutu.
23
24. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
2.3. Pengetahuan Teori dan Prinsip jurnalistik
Pengetahuan teori dan prinsip jurnalistik mencakup
pengetahuan tentang teori dan prinsip jurnalistik dan
komunikasi. Memahami teori jurnalistik dan komunikasi
penting bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
3. Keterampilan (skills)
Wartawan mutlak menguasai keterampilan jurnalistik
seperti teknik menulis, teknik mewawancara, dan teknik
menyunting. Selain itu, wartawan juga harus mampu
melakukan riset, investigasi, analisis, dan penentuan arah
pemberitaan serta terampil menggunakan alat kerjanya
termasuk teknologi informasi.
3.1. Keterampilan Peliputan (Enam M)
Keterampilan peliputan mencakup keterampilan
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi. Format dan gaya peliputan
terkait dengan medium dan khalayaknya.
3.2. Keterampilan Menggunakan Alat dan Teknologi Informasi
Keterampilan menggunakan alat mencakup kete am
r
pilan menggunakan semua peralatan termasuk teknologi
informasi yang dibutuhkan untuk menunjang profesinya.
3.3. Keterampilan Riset dan Investigasi
Keterampilan riset dan investigasi mencakup
kemampuan menggunakan sumber-sumber referensi
dan data yang tersedia; serta keterampilan melacak dan
memverifikasi informasi dari berbagai sumber.
24
25. 3.4. Keterampilan Analisis dan Arah Pemberitaan
Keterampilan analisis dan penentuan arah pemberitaan
mencakup kemampuan mengumpulkan, membaca, dan
menyaring fakta dan data kemudian mencari hubungan
berbagai fakta dan data tersebut. Pada akhirnya wartawan
dapat memberikan penilaian atau arah perkembangan
dari suatu berita.
E. KOMPETENSI KUNCI
Kompetensi kunci merupakan kemampuan yang
harus dimiliki wartawan untuk mencapai kinerja yang
dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas pada unit kompetensi
tertentu. Kompetensi kunci terdiri dari 11 (sebelas) kategori
kemampuan, yaitu:
1. Memahami dan menaati etika jurnalistik;
2. Mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai
berita;
3. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi;
4. Menguasai bahasa;
5. Mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta
dan data) dan informasi bahan berita;
6. Menyajikan berita;
7. Menyunting berita;
8. Merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan
dan atau slot program pemberitaan;
9. Manajemen redaksi;
10. Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan;
11. Menggunakan peralatan teknologi pemberitaan;
25
26. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
f. LEMBAGA PENGUJI KOMPETENSI
Lembaga yang dapat melaksanakan uji kompetensi
wartawan adalah:
1. Perguruan tinggi yang memiliki program studi
komunikasi/jurnalistik,
2. Lembaga pendidikan kewartawanan,
3. Perusahaan pers, dan
4. Organisasi wartawan.
Lembaga tersebut harus memenuhi kriteria Dewan Pers.
g. UJIAN KOMPETENSI
1. Peserta yang dapat menjalani uji kompetensi adalah
wartawan.
2. Wartawan yang belum berhasil dalam uji kompetensi
dapat mengulang pada kesempatan ujian berikutnya
di lembaga-lembaga penguji kompetensi.
3. Sengketa antarlembaga penguji atas hasil uji
kompetensi wartawan, diselesaikan dan diputuskan
oleh Dewan Pers.
4. Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan muda
sekurang-kurangnya tiga tahun, yang bersangkutan
berhak mengikuti uji kompetensi wartawan madya.
5. Setelah menjalani jenjang kompetensi wartawan
madya sekurang-kurangnya dua tahun, yang
bersangkutan berhak mengikuti uji kompetensi
wartawan utama.
6. Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang
sertifikat tetap menjalankan tugas jurnalistik.
7. Wartawan pemegang sertifikat kompetensi yang tidak
26
27. menjalankan tugas jurnalistik minimal selama dua
tahun berturut-turut, jika akan kembali menjalankan
tugas jurnalistik, diakui berada di jenjang kompetensi
terakhir.
8. Hasil uji kompetensi ialah kompeten atau belum
kompeten.
9. Perangkat uji kompetensi terdapat di Bagian III
Standar Kompetensi Wartawan ini dan wajib
digunakan oleh lembaga penguji saat melakukan uji
kompetensi terhadap wartawan.
10. Soal ujian kompetensi disiapkan oleh lembaga penguji
dengan mengacu ke perangkat uji kompetensi.
11. Wartawan dinilai kompeten jika memperoleh hasil
minimal 70 dari skala penilaian 10 – 100.
h. LEMBAGA SERTIFIKASI PROFESI
Lembaga penguji menentukan kelulusan wartawan dalam
uji kompetensi dan Dewan Pers mengesahkan kelulusan uji
kompetensi tersebut.
i. PEMIMPIN REDAKSI
Pemimpin redaksi menempati posisi strategis dalam
perusahaan pers dan dapat memberikan pengaruh yang
besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu,
pemimpin redaksi haruslah yang telah berada dalam jenjang
kompetensi wartawan utama dan memiliki pengalaman yang
memadai. Kendati demikian, tidak boleh ada ketentuan yang
bersifat diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah
yang menghalangi seseorang menjadi pemimpin redaksi.
Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi ialah
27
28. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan utama dan
pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun.
j. PENANGGUNG JAWAB
Sesuai dengan UU Pers, yang dimaksud dengan
penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers
yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi
itu penanggung jawab dianggap bertanggung jawab terhadap
keseluruhan proses dan hasil produksi serta konsekuensi
hukum perusahaannya. Oleh karena itu, penanggung jawab
harus memiliki pengalaman dan kompetensi wartawan setara
pemimpin redaksi.
k.TOKOH PERS
Tokoh-tokoh pers nasional yang reputasi dan karyanya
sudah diakui oleh masyarakat pers dan telah berusia 50 tahun
saat standar kompetensi wartawan ini diberlakukan dapat
ditetapkan telah memiliki kompetensi wartawan. Penetapan
ini dilakukan oleh Dewan Pers.
l. LAIN-LAIN
Selambat-lambatnya dua tahun sejak diberlakukannya
Standar Kompetensi Wartawan ini, perusahaan pers dan
organisasi wartawan yang telah dinyatakan lulus verifikasi
oleh Dewan Pers sebagai lembaga penguji Standar Kompetensi
Wartawan harus menentukan jenjang kompetensi para
wartawan di perusahaan atau organisasinya.
Perubahan Standar Kompetensi Wartawan dilakukan oleh
masyarakat pers dan difasilitasi oleh Dewan Pers.
28
29. Bagian II
KOMPETENSI WARTAWAN
a. ELEMEN KOMPETENSI
Elemen Kompetensi adalah bagian kecil unit kompetensi
yang mengidentifikasikan aktivitas yang harus dikerjakan
untuk mencapai unit kompetensi tersebut. Kandungan elemen
kompetensi pada setiap unit kompetensi mencerminkan unsur
pencarian, perolehan, pemilikan, penyimpanan, pengolahan,
dan penyampaian.
Elemen kompetensi wartawan terdiri dari:
1. Kompetensi umum, yakni kompetensi dasar yang
dibutuhkan oleh semua orang yang bekerja sebagai
wartawan.
2. Kompetensi inti, yakni kompetensi yang dibutuhkan
wartawan dalam melaksanakan tugas-tugas umum
jurnalistik.
3. Kompetensi khusus, yakni kompetensi yang
dibutuhkan wartawan dalam melaksanakan tugas-
tugas khusus jurnalistik.
b. KUALIFIKASI KOMPETENSI WARTAWAN
Kualifikasi kompetensi kerja wartawan dalam kerangka
kualifikasi nasional Indonesia dikategorikan dalam kualifikasi
I, II, III. Dengan demikian, jenjang kualifikasi kompetensi
kerja wartawan dari yang terendah sampai dengan tertinggi
29
30. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
ditetapkan sebagai berikut:
1. Kualifikasi I untuk Sertifikat Wartawan Muda.
2. Kualifikasi II untuk Sertifikat Wartawan Madya.
3. Kualifikasi III untuk Sertifikat Wartawan Utama.
C. JENJANG KOMPETENSI WARTAWAN
1. Jenjang Kompetensi Wartawan Muda
2. Jenjang Kompetensi Wartawan Madya
3. Jenjang Kompetensi Wartawan Utama
Masing-masing jenjang dituntut memiliki kompetensi
kunci terdiri atas:
1. Kompetensi Wartawan Muda: melakukan kegiatan.
2. Kompetensi Wartawan Madya: mengelola kegiatan.
3. Kompetensi Wartawan Utama: mengevaluasi dan
memodifikasi proses kegiatan.
d. ELEMEN UNJUK KERJA
Elemen unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang
menggambarkan proses kerja pada setiap elemen kompetensi.
Elemen kompetensi disertai dengan kriteria unjuk kerja harus
mencerminkan aktivitas aspek pengetahuan, keterampilan,
dan sikap kerja.
1.1. Elemen Kompetensi Wartawan Muda
a. Mengusulkan dan merencanakan liputan.
b. Menerima dan melaksanakan penugasan.
c. Mencari bahan liputan, termasuk informasi dan
30
31. referensi
d. Melaksanakan wawancara.
e. Mengolah hasil liputan dan menghasilkan karya
jurnalistik.
f. Mendokumentasikan hasil liputan dan membangun
basis data pribadi.
g. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
1.2. Elemen Kompetensi Wartawan Madya
a. Menyunting karya jurnalistik wartawan.
b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya
jurnalistik.
c. Memublikasikan berita layak siar.
d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan
liputan berkedalaman (indepth reporting).
f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan
liputan investigasi (investigative reporting).
g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan
redaksi di bidangnya.
h. Melakukan evaluasi pemberitaan di bidangnya.
i. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
j. Memiliki jiwa kepemimpinan.
1.3. Elemen Kompetensi Wartawan Utama
a. Menyunting karya jurnalistik wartawan.
b. Mengompilasi bahan liputan menjadi karya
jurnalistik.
31
32. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
c. Memublikasikan berita layak siar.
d. Memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi.
e. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan
liputan berkedalaman (indepth reporting).
f. Merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan
liputan investigasi (investigative reporting).
g. Menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan
redaksi.
h. Melakukan evaluasi pemberitaan.
i. Memiliki kemahiran manajerial redaksi.
j. Mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan.
k. Membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
l. Berpandangan jauh ke depan/visioner.
m. Memiliki jiwa kepemimpinan.
e.TINGKATAN KOMPETENSI KUNCI
Rincian tingkatan kemampuan pada setiap kategori
kemampuan digunakan sebagai basis perhitungan nilai untuk
setiap kategori kompetensi kunci. Hal itu digunakan dalam
menetapkan tingkat/derajat kesulitan untuk mencapai unit
kompetensi tertentu.
32
33. MATERI DAN METODE UJI KOMPETENSI JURNALISTIK
ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN
No. Materi Tujuan
A. PENGETAHUAN UMUM
01. Profesional- • Menguji pengetahuan tentang profesionalisme.
isme • Menguji pemahaman tentang peran dan fungsi jurnalis.
• Menguji pemahaman tentang masalah dan tantangan
profesi.
02. Komunikasi • Menguji pengetahuan tentang komunikasi massa.
Massa • Menguji pengetahuan tentang posisi dan fungsi media
massa.
• Menguji pengetahuan tentang pengaruh teknologi
informasi terhadap komunikasi massa.
03. Pers Nasional • Menguji pengetahuan ttg sejarah pers nasional dan global.
dan Media • Menguji pemahaman ttg masalah dan tantangan pers
Global nasional.
04. Hukum Pers • Menguji pengetahuan ttg dasar-dasar hukum pers
nasional.
• Menguji pemahaman ttg permasalahan pengaturan pers.
B. TEORI JURNALISTIK
05. Prinsip-prinsip • Menguji pengetahuan ttg prinsip-prinsip kerja jurnalistik.
Jurnalistik • Menguji pehamanan ttg konsekuensi atas berlakunya
prinsip-prinsip kerja jurnalistik.
• Menguji pemahaman ttg hubungan prinsip kerja
jurnalistik dg kode etik.
06. Unsur Berita, • Menguji pemahaman ttg unsur berita, nilai berita dan
Nilai Berita, jenis berita.
Jenis Berita • Menguji ketrampilan penggunaan nilai berita dan jenis
berita dlm meliput dan menyusun berita.
• Menguji kemampuan pengembangan berita berdasar nilai
berita dan jenis berita.
07. Bahasa • Menguji pengetahuan ttg kaidah-kaidah bahasa Indonesia
Jurnalistik yg baik dan benar.
• Menguji pemahaman ttg kaidah-kaidah bahasa jurnalistik.
08. Fakta dan • Menguji pengetahuan ttg pengertian dan perbedaan
Opini antara fakta dan opini.
• Menguji pemahaman ttg realitas sosialogis dan realitas
psikolois.
• Menguji pemahaman ttg hubungan fakta dan opini dlm
menyusun berita.
• Menguji pemahaman ttg opini redaksi dlm mengarahkan
agenda publik.
33
34. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
No. Materi Tujuan
09. Narasumber • Menguji pengetahuan ttg kompetensi narasumber.
• Menguji pemahaman ttg menjaga hubungan dg
narasumber.
• Menguji pemahaman membangun jejaring dan lobi.
10. Kode Etik • Menguji pengetahuan ttg materi kode etik.
Jurnalistik • Menguji pemahaman ttg praktek kode etik.
• Menguji pemahaman ttg posisi dan fungsi lembaga
ombudman dan dewan pers.
C. PRAKTEK JURNALISTIK
11. Melakukan • Menguji kemampuan mempersiapkan materi wawancara.
Wawancara • Menguji kemampuan berbagai bentuk wawancara.
12. Menjalankan • Menguji kemampun mempersiapkan materi liputan.
Liputan • Menguji kemampuan mengumpulkan informasi berupa
fakta dan data.
13. Menyusun • Menguji kemampuan dlm membuat jenis-jenis berita dan
Berita tulisan.
14. Menyunting • Menguji kemampuan menyunting berita.
Berita
15. Merancang • Menguji kemampuan dlm merancang materi dan desain
Materi dan media utk target audiens ttt.
Desain
16. Mengelola • Menguji kemampuan dlm mengelola redaksi.
Manajemen
Redaksi
17. Menetapkan • Menguji kemampuan dlm menentukan kebijakan redaksi
Kebijakan dan arah pemberitaan.
Redaksi
18. Menggunakan • Menguji kemampuan penggunaan peralatan teknologi
Peralatan informasi pemberitaan.
Teknologi
Informasi
D. PENDALAMAN KODE ETIK JURNALISTIK
19. Pemetaan dan • Menguji kemampuan dlm memetakan permasalahan
Penyikapan penerapan kode etik.
Problem Etik • Menguji kemampuan dlm menyikapi permasalahan
penerapan kode etik.
20. Perincian • Menguji kemampuan dlm menyederha nakan masalah
Kode Etik ke penerapan kode etik.
Kode Perilaku • Menguji kemampuan dalam menerjemah kan kode etik
ke dalam kode perilaku.
34
35. Materi Kunci I
RUMPUN
PENGETAHUAN UMUM
• Jurnalis sebagai Profesi
• Pers dan Perjanalan Nasionalisme
Indonesia
• Pers,Teknologi Media dan Kehidupan
Sosial
• Komunikasi Massa
• Hukum Jurnalistik dan UU Pers
35
37. Jurnalis sebagai Profesi
Oleh P. Hasudungan Sirait
J
urnalis/wartawan/pewarta adalah sebuah profesi
seperti halnya dokter, pilot, akuntan, apoteker, dosen,
hakim, jaksa, pengacara, atau notaris. Tapi apa sebenarnya
yang dimaksud dengan profesi? Apa bedanya dengan pekerja
lain, katakanlah pengamen, tukang tambal ban, atau kondektur
bus kota? Bukankah semua itu sama-sama pekerjaan?
Orang awam sering menyamakan begitu saja pengertian
pekerjaan dengan profesi. Jurnalis pun masih banyak yang
seperti itu. Mereka keliru, tentu. Bahwa profesi adalah
pekerjaan, itu jelas. Tapi ada bedanya? Ada kualifikasi yang
harus dipenuhi agar suatu bidang pekerjaan bisa dikategorikan
sebagai profesi dan pelakunya disebut profesional.
Pekerjaan Profesi
Sopir Arsitek
Tukang pijat Pilot
Tukang ojek Akuntan
Bakul jamu Guru-dosen
Pemulung Pengacara
Pengamen Geolog
Tukang tambal ban Dokter
Pekerja seks komersil (PSK) Disainer grafis
Pembantu rumah tangga Arkeolog
Calo Planolog
Pengemis Tentara
Montir Astronom
37
38. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Lihatlah tabel di atas. Apa yang membedakan antara lajur
kiri dan kanan?
Ada yang mengatakan yang di lajur kanan berketrampilan.
Memang benar. Tapi apakah yang di lajur kiri tidak demikian?
Tukang pijat atau pembantu rumah tangga, contohnya; tak
usah menyebut PSK. Bukankah banyak dari mereka yang
terampil betul menjalankan pekerjaannya? Sebaliknya,
bukankah dokter atau pengacara ada juga yang tak becus
melakoni bidangnya? Terang, ketrampilan tak bisa kita jadikan
pembeda. Kalau begitu, apa?
‘Profesi’ dan ‘profesional’ merupakan dua kata yang
sangat bertaut. Yang satu kata benda, yang satu lagi kata sifat.
Mereka yang berada di jalur sebuah profesi dan memenuhi
kualifikasi bidangnya itulah yang disebut profesional.
Memang sering juga kata ‘profesional’ dimaknai lebih luas.
Yaitu mereka yang menghidupi atau menafkahi diri dengan
menggeluti dunia tersebut sepenuhnya. Penyanyi, pemusik,
aktor, pemain sepakbola, petinju, atau pegolf profesional,
misalnya. Atribut ini dipakai untuk membedakan mereka
dari sejawatnya yang amatir; maksudnya: melakoni pekerjaan
itu bukan sebagai jalan hidup. Kata lainnya, sambilan belaka.
Supaya bisa disebut profesional seseorang harus memenuhi
standar kompetensi bidangnya selain berfokus di sana. Mari
kita telaah apa sesungguhnya yang dimaksud dengan profesi
dan profesional itu.
Kualifikasi
Ada sejumlah syarat agar sebuah pekerjaan merupakan
profesi dan pelakonnya dikatakan profesional. Ini berlaku
universal. Berikut paparannya.
38
39. Pendidikan khusus
Mereka yang bergelut di bidang tersebut telah menjalani
pendidikan khusus. Sekolah akuntansi, perawat, kebidanan,
geologi, pertambangan, kepolisian, penerbangan, pelayaran,
kepengacaraan, kehakiman, atau grafis, misalnya. Jenjang
pendidikan ini macam-macam. Tapi kalau menggunakan
ukuran yang berlaku di negeri kita sekarang minimal D-3.
Strata Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)—sekolah ini naik
daun setelah sebuah SMK di Solo berhasil membuat mobil—
belum cukup. Bisa juga merupakan kursus singkat tapi
pesertanya paling tidak telah berijazah D-3. Peserta kursus
calon pengacara, umpanya, harus lulusan program S-1.
Tukang pijat atau montir, misalnya, sebagian pernah
mengikuti pendidikan juga. Kursus, tepatnya. Bagaimana
predikat mereka ini—tidakkah sama? Tetap saja tidak, sebab
syarat berikut tidak semuanya mereka penuhi.
Ketrampilan khusus
Setelah mengikuti pendidikan khusus dengan sendirinya
peserta memperoleh ketrampilan khusus. Yang dimaksud
dengan ketrampilan adalah kecakapan yang merupakan
perpaduan antara wawasan dengan kemampuan praktik.
Seorang lulusan kursus pengacara misalnya akan memiliki
ketrampilan seorang pengacara. Antara lain kepiawaian
beracara di pengadilan, mendampingi klien, menyusun
pembelaan (pledoi), atau menyiapkan jawaban (replik). Atau,
seorang yang telah lulus dari fakultas kedokteran dan telah
bergelar dokter akan mempunyai ketrampilan menangani
pasien yang penyakitnya yang tidak spesifik. Selesma, sakit
perut, muntaber, demam berdarah, radang tenggorokan, luka
bakar, atau kadas-panu, umpamanya
39
40. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Standar kompetensi
Ketrampilan tadi terukur. Artinya tingkat penguasaan
ketrampilan itu definitif, tidak tergantung situasai [baca:
tempat dan waktu]. Ketrampilan biasanya dibagi menjadi
kecakapan standar (baku) dan tambahan. Yang harus dikuasai
paling tidak yang baku. Di mana pun seorang pilot akan bisa
menerbangkan pesawat yang telah dikenalnya dengan baik.
Akuntan pun demikian: ia akan bisa memeriksa keuangan
sebuah perusahaan atau lembaga apa pun dan di mana pun
asal pembukuan tersebut standar. Seyogyanya seorang jurnalis
pun demikian. Ia akan bisa menjalankan news gathering, news
writing, dan news reporting kapan saja dan di mana saja.
Organisasi
Memiliki pendidikan khusus, ketrampilan khusus, serta
standar kompetensi saja belum cukup. Seseorang harus
menjadi bagian dari sebuah organisasi profesi supaya disebut
profesional. Pasalnya, organisasilah yang akan menguji secara
berkala kemampuan profesional tersebut menentukan jenjang,
serta yang menjadi regulator mereka. Bila ada persoalan terkait
dengan profesi—misalnya dugaan malpraktik—organisasilah
yang menjadi otoritas yang memeriksa serta memutus
perkaranya—dalam hal ini majelis kode etik. Di Indonesia,
organisasi profesi ada yang tunggal dan ada yang jamak. Dokter,
misalnya, hanya berwadah satu yakni Ikatan Dokter Indonesia
(IDI); akuntan pun demikian, hanya Ikatan Akuntan Indonesia
(IAI). Sedangkan pengacara organisasinya beberapa termasuk
Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia
(AAI), dan Serikat Pengcara Indonesia (SPI). Organisasi
wartawan juga majemuk. Ada AJI, PWI, Ikatan Jurnalis Televisi
Indonesia (IJTI), Pewarta Foto, dan banyak lagi.
40
41. Kode etik
Setiap anggota organisasi profesi harus menjujung tinggi
kode etiknya. Isi kode etik sebuah profesi pada dasarnya sama,
kendati lembaganya macam-macam. Kode etik berfungsi
sebagai rambu pengaman bagi anggota profesi baik ketika
berhubungan dengan sejawat maupun dengan pihak luar.
Ibarat rel, di sepanjang lintasan itulah kereta api wartawan
lalu-lalang. Selama taat kode etik, mereka tak perlu khawatir
bertabrakan dengan kendaraan baik yang sejenis maupun
yang berbeda. Artinya, tak usah mencemaskan munculnya
gugatan dari pihak mana pun terkait dengan pemberitaan.
Kalaupun diperkarakan, mereka bisa membela diri dengan
menggunakan bukti-bukti karya profesionalnya.
Kualifikasi tinggi
Supaya gambaran tentang syarat profesi ini jelas mari kita
lihat potret tiga profesi di negeri kita ini yaitu dokter, pilot,
dan pengacara. Kita mulai dari dokter.
Bagaimana prosesnya untuk menjadi seorang dokter
di Indonesia? Panjang tahapannya; barangkali malah yang
terpanjang. Awalnya seseorang masuk fakultas kedokteran
(FK) lewat seleksi yang ketat. Standar lulusnya (passing grade)
merupakan yang tertinggi, sama dengan jurusan favorit
di bidang teknik. Sejak zaman baheula, hanya orang-orang
pintarlah yang diterima di FK UI, UGM, Airlangga, Trisakti,
Udayana, USU, dan perguruan tinggi top lainnya. Sampai
sekarang pun—termasuk setelah perguruan tinggi menjadi
badan usaha yang serba komersil—masih demikian adanya.
Sesudah mengikuti kuliah strata-1 sekitar 3,5 tahun sang
mahasiswa pun pun menjadi sarjana kedokteran (S. Ked).
Untuk menjadi dokter, ia wajib mengikuti pendidikan profesi
41
42. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
sekitar 1,5 tahun. Dengan sebutan dokter muda, ia harus
magang sebagai co-assistant (koass) di rumah sakit. Setelah
dilantik menjadi dokter, dia disyaratkan mengikuti ujian
kompetensi kedokteran (ketentuan ini berlaku sejak 2007).
Satu lagi, ia dianjurkan ikut program pengabdian di daerah
dengan menjadi pegawai tidak tetap (PTT). Dulu sebutannya
‘dokter Inpres’. Dalam beberapa tahun belakangan ini saja
PTT tidak wajib lagi.
Kalau semua persyaratan sudah dipenuhi baru izin praktik
sebagai dokter bisa keluar untuk dia. Izinnya adalah dokter
umum. Artinya penyakit umum saja yang boleh ia tangani. Ia
tak boleh mengoperasi pasien. Bahkan bila merekomendasi
pasien untuk dioperasi pun tak boleh sembarang. Ingat kasus
dr. Boyke (Boyke Dian Nugraha, kolumnis ihwal seksologi).
Izin praktik dia dicabut 6 bulan oleh Majelis Kehormatan IDI
pada November 1991 karena dianggap malpraktik. Ceritanya,
ia telah merujuk seorang pasien ke sebuah rumah sakit untuk
dioperasi (kista). Operasi ternyata bermasalah dan pasien
menyoal.
Setelah bersekolah lagi mengambil program spesialis
barulah seorang dokter bisa menangani penyakit khusus
seperti kanker, lever, stroke, atau gagal ginjal.
Teranglah bahwa tak mudah untuk menjadi dokter.
Kuliahnya berat dan praktikumnya melelahkan. Untuk
merampungkan studi, lebih lama dibanding jurusan lain
umumnya. Saat ini rata-rata perlu sekitar 6,5 tahun. Kalau di
fakultas lain itu sudah setara master.
Untuk menjadi pilot tahapannya juga jelas. Sama dengan
orang yang ingin menjadi dokter, harus lulus seleksi sekolah
dulu. Dalam hal ini sekolah penerbangan macam yang ada
di Curug dan di Akademi Angkatan Udara, Yogyakarta.
42
43. Kesehatan menjadi salah satu yang paling menentukan dalam
seleksi. Mata, telinga, jantung, paru-paru dan organ lain
harus prima. Setelah lolos seleksi yang ketat—kecerdasan
antara lain materi ujinya—baru peserta menjalani pendidikan.
Simulasi dan latihan terbang di bawah bimbingan instruktor
itulah antara lain materi pendidikan (saat ini programnya
sudah ada yang enam bulan saja). Kalau peserta sudah lulus,
bekerja sebagai co-pilot dulu dan itu pun untuk pesawat kecil.
Jika sudah terampil dan jam terbang cukup baru bisa menjadi
pilot. Untuk menjadi pilot pesawat berbadan besar perlu
kualifikasi tambahan.
Agar bisa berpraktik sebagai pengacara pun jelas
prosedurnya. Saat ini ketentuannya adalah ikut kursus
calon pengacara dulu setelah menjadi sarjana hukum. Syarat
selanjutnya adalah magang di kantor pengacara. Tanpa ikut
prosedur ini izin praktik tak akan keluar.
Dari contoh dokter, pilot, dan pengacara ini kita bisa
mengatakan bahwa ciri utama dari setiap profesi adalah
adanya, antara lain, kompetensi terukur hasil pendidikan.
Bagaimana dengan wartawan—apakah sama?
Profesi terbuka
Wartawan sejak lama dikenal sebagai profesi terbuka.
Tidak seperti profesi lain umumnya, pendidikan khusus tak
disyaratkan di dunia ini. Artinya tidak harus lulusan sekolah
jurnalistik baru bisa menjadi pewarta; dari sekolah mana pun
bisa. Ini tak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh
dunia. Itulah kekhasan profesi ini. Memang di negara tertentu
seperti Swedia ada juga ketentuan bahwa sarjana dari jurusan
jurnalistik saja yang boleh menjadi jurnalis. Tapi hal seperti itu
kasuistik saja.
43
44. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Di Indonesia sendiri baru dalam beberapa tahun terakhir
saja kebersekolahan dikaitkan dengan kewartawanan.
Sekarang umumnya harus berijazah strata-1, dulu yang tak
bersekolah tinggi pun tak apa. Sejumlah tokoh pers negeri ini,
termasuk Mas Marco, dan pendiri kantor berita Antara, Adam
Malik, bukanlah orang bersekolah tinggi. Kendati hanya
bersekolah di tingkat dasar, Adam Malik kemudian menjadi
menteri luar negeri sebelum menjadi wakil presiden. Sebagai
jurnalis ia sangat lincah dan tangkas.
Dulu, di negeri kita banyak orang yang menjadi wartawan
karena pertemanan. Artinya mereka bergabung dengan
redaksi sebuah media karena diajak temannya yang bekerja
di sana. Kalau tidak karena keluarganya ada di media massa
itu. Sampai sekarang pun praktik seperti ini masih ada saja.
Belakangan rekrutmen terbuka menjadi kelaziman. Media
yang bersangkutan mengiklankan lowongan kerja yang
mereka buka. Pengiklanan bisa dilakukan di media sendiri,
media lain, atau keduanya. Syarat disebutkan. Sekarang, antara
lain minimal S-1. Sebagai catatan, koran Bisnis Indonesia-lah
yang pertama kali memberlakukan syarat ini di lingkungan
media massa kita. Kala itu, pada awal 1990-an, syarat ini ini
dianggap aneh dan mengada-ada oleh banyak wartawan kita.
Selanjutnya pelamar yang dianggap memenuhi syarat
diseleksi. Ujiannya bertahap. Materinya, lazimnya: psikotest,
menulis, wawancara, dan kesehatan. Kalau lulus ya
selekasnya diterjunkan ke lapangan. Tanpa pembekalan? Ya;
begitu adanya dan ini bukan sesuatu yang aneh di dunia pers
Indonesia.
Memang, ada media yang melatih dulu calon
wartawannya sebelum melepaskan mereka ke lapangan.
Kompas misalnya, sekian lama mewajibkan calon reporternya
mengikuti in-house training sekitar setahun sebelum mereka
44
45. terjun ke lapangan. Majalah Tempo pun melakukan hal yang
sama tapi dengan waktu yang lebih singkat. Pun, modelnya
tidak seintens Kompas; kelas-kelas berkala saja. Bisnis Indonesia
dan media massa yang sudah mapan secara finansial lebib
banyak mengikuti langkah Tempo.
Masalahnya adalah media established seperti itu tak
banyak. Praktik yang jamak terjadi adalah calon reporter
diterjunkan begitu saja ke lapangan tanpa pembekalan
pengetahuan jurnalistik lebih dulu. Terjun bebas, sebutannya.
Manajemen media berharap para new comer itu akan belajar
dari pengalaman (learning by doing). Kalau manajemen berbaik
hati paling orang-orang baru itu ditandemkan beberapa waktu
ke wartawan yang sudah berpengalaman. Kalau saja kelak
ada pelatihan internal susulan atau penyekolahan ke lembaga
pendidikan jurnalistik macam LP3Y (Yogyakarta), Lembaga
Pers Dokter Soetomo (LPDS), ISAI-SBM, atau UI (Jakarta)
masih lumayan.
Sebagaimana profesi lain, idealnya seorang calon
wartawan sudah memiliki kualifikasi tertentu sebelum
diterjunkan ke lapangan. Setidaknya, ia mengetahui hakekat
profesinya, aturan main yang baku (standar jurnalistik),
rambu-rambu (kode etik dan regulasi pers), dan memiliki
kecakapan dalam wawancara dan menulis. Hal ini perlu agar
nantinya tak merugikan baik medianya sendiri, narasumber,
maupun publik. Sebab bagaimanapun karya jurnalistik yang
mereka hasilkan akan dibaca atau didengar atau ditonton
publik. Begitu diwartakan, berita mereka kontan masuk ranah
publik. Jadi tidak boleh spekulatif atau main-main. Faktanya
tidak demikian: masih jauh panggang dari api. Jangankan
reporter baru, wartawan yang jam terbangnya tinggi pun
terlalu banyak yang belum menguasai pengetahuan elementer
tadi. Maka profesionalisme pun masih jauh. Akibatnya?
45
46. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Pers kita sering bermasalah. Tak hanya pers yang modalnya
kembang kempis, melainkan pers yang sejahtera juga.
Malapraktik tuduhannya. Sebagai gambaran, majalah Tempo
yang termasuk paling mapan di Republik ini jika dilihat dari
segi apa pun, pernah tersandung perkara sejenis dan akibatnya
sempat kelimpungan.
Profesionalisme jurnalis, karena itu, tidak bisa ditawar-
tawar lagi. Jika tidak, taruhannya terlalu besar. Media bisa
digugat pailit oleh mereka yang merasa dirugikan. Tak hanya
Tempo, banyak sudah media massa yang mengalaminya.
Sebab itu UKJ yang kini diprogramkan oleh AJI diperlukan
betul adanya. Paling tidak dia akan mebebrikan perlindungan
ke dalam dan keluar. Kalau mesin saja harus ditun-up, scanner
dikalibrasi, atau alat musik ditala secara berkala, jurnalis pun
mesti demikian. Secara periodik kemampuan profesionalnya
perlu diuji; tidak sekali saja seumur hidup. Kalau tidak, akan
seperti prosesor Pentium 3 di zaman core duo: serba lelet,
kagok dan gagap.
46
47. Pers dan Perjanalan
Nasionalisme Indonesia
Oleh Didik Supriyanto
D
alam perjalanan Republik ini selalu muncul
kelompok-kelompok yang menjadi aktor penting
dalam berbagai momentum sejarah. Mahasiswa
kerap menjadi pendobrak kebekuan zaman, mulai masa
kebangkitan nasional sampai masa reformasi. Tentara menjadi
pelaku penting pada masa perang kemerdekaan dan penguasa
panggung Orde Baru. Politisi mendominasi kehidupan politik
pada pascakemerdekaan hingga saat Soekarno menjadi
kekuatan yang monolitik. Kini, sesudah Soeharto tumbang,
dominasi politisi nyaris tak tertandingi oleh kelompok apa
pun, sehingga kehidupan sosial politik di Republik ini nayris
identik dengan tarik-menarik antarpolitisi dengan berbagai
kepentingannya.
Lantas, di mana posisi pers pada berbagai momentum
sejarah penting yang terjadi di Republik ini? Apakah mereka
punya peran yang signifikan dalam berbagai perubahan
sosial politik sehingga patut dicatat dalam sejarah? Apakah
pernyataan “lebih baik tidak ada pemerintahan daripada
tidak ada pers bebas” relevan diperbincangkan dalam konteks
Indonesia? Atau, pers hanyalah penikmat kebebasan yang
telah diperjuangkan oleh kelompok-kelompok lain, sementara
kontribusinya bagi proses pemajuan kehidupan masyarakat,
47
48. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
bangsa dan negara patut dipertanyakan?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa pers memang
bukan aktor murni sebagaimana mahasiswa, tentara atau
politisi. Pers adalah institusi sosial yang produknya hadir
secara periodik ke hadapan publik dalam betuk koran,
tabloid, majalah dan buletin yang berisi tulisan (berita, ulasan,
artikel) dan ilustrasi (gambar dan foto). Oleh sebab itu, dalam
berbagai momen penting sejarah, pers tidak hadir sebagai
pelaku, melainkan lebih sebagai katalistor. Artinya, pers bisa
aktif mendukung gagasan yang tengah berkembang atau
aktor yang tengah bergerak; sebaliknya pers juga mengkritisi
setuasi buruk yang tengah terjadi atau mencerca aktor yang
buruk perangainya.
Prinsip-prinsip Jurnalisme
Sebagai institusi sosial pers berkembang berdasarkan
prinsip-prinsip jurnalisme yang diemban oleh para
pengelolanya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001)
menyebutkan sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu (1)
kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas
pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat; (3)
intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi; (4) para
praktisinya harus menjaga independensi dari sumber berita;
(5) jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan;
(6) jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik
maupun dukungan terhadap warga; (7) jurnalisme harus
berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan;
(8) jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan
proporsional; (9) para praktisinya harus diperbolehkan
mengikuti nurani mereka.
48
49. Kesembilan prinsip dasar jurnalisme rumusan Kovach
dan Rosenstiel tersebut memang dibuat berdasarkan sejarah
pers Eropa dan AS serta wawancara sejumlah editor di sana.
Tetapi tak perlu disangsikan lagi bahwa prinsip-prinsip itu
juga dipegang teguh oleh para pengelola pers di daratan
lain bumi ini, termasuk Indonesia. Bahkan, seperti ditulis
oleh Abdurrachman Surjomihardjo dkk (1980), ketika Medan
Prijaji, yakni koran pertama yang diterbitkan pribumi pada
1907 di Betawi, prinsip-prinsip jurnalisme itu langsung
dioperasionalisakan oleh RM Tirto Adhi Soerjo, sehingga
‘sang pemula’ ini sempat dibuang penguasa Belanda ke
Lampung. Demikian juga koran sezamannya di Semarang
yang dipimpin oleh JPH Pangemanan, Warna Warta,
redakturnya berkali-kali diadili karena tulisan-tulisannya
menyerang pemerintah kolonial. Ini agak berbeda dengan
koran-koran yang diterbitkan orang Tionghoa dan keturunan
Belanda. Dua kelompok terkahir ini lebih mengedepankan
berita perdagangan dan kriminalitas.
Pelatak Dasar Bahasa Indonesia
Koran Medan Prijaji kali pertama di Betawi pada 1907
dalam bentuk mingguan. Koran yang kemudian menjadi
harian pada 1910 ini sebetulnya bukan koran pertama yang
menggunakan bahasa Melayu. Media yang tercatat sebagai
media berbahasa Melayu yang pertama ialah majalah Bintang
Oetara yang diterbitkan di Roterdam pada 1856 oleh pecinta
bahasa Melayu Dr. PP Roorda van Eysinga. Lalu di Surabaya
pada 1861, terbit majalah Bintang Soerabaja yang dimotori oleh
peranakan Belanda dan Tionghoa. Di Batavia pada 1883 seorang
pengusaha Indo menerbitkan Tjahaja India, sedang pengusaha
keturunan Belanda lainnya menerbitkan Bintang Barat.
49
50. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Majalah-majalah berbahasa Melayu generasi pertama
tersebut merupakan kelanjutan binis media berbahasa
Belanda dan Cina yang mulai berkembang di Hindia
Belanda pada abad ke-18. Karena pangsa pasar media cetak
berbahasa Belanda dan Tionghoa sangat terbatas, orang-
orang Belanda dan Tionghoa menambah pangsa pasar media
lewat penerbitan koran atau majalah berbahasa Melayu. Pada
titik inilah dimulai peletakkan dasar bahasa Melayu sebagai
bahasa nasional. Pertama, bahasa Melayu yang merupakan
lingua franca, mulai diformulasikan sebagai bahasa tulis;
kedua, dengan tersebarluasnya koran dan majalah, maka
bahasa Melayu (yang telah diformulasikan dalam bentuk tulis
itu) juga menjadi bahasa pergaulan antarkomunitas yang lebih
luas di tanah Hindia Belanda.
Sebagai ilustrasi, Taufik Abdullah (1999) mengutip kritik
yang ‘sehat, tapi aneh’ dari seorang penulis di Tjahaja India
terhadap bahasa yang digunakan Bintang Barat. Penulis tersebut
mengecam kecenderungan Bintang Barat yang suka memakai
bahasa Melayu-Tinggi yang disebutnya sebagai bahasa
‘Minangkerbau’. Menurut penulis itu, jika Bintang Barat terus
memakai bahasa elit itu, koran tersebut tidak akan laku karena
tidak banyak orang yang memahami bahasa tersebut. Oleh
karena itu, ia menyarakan agar Bintang Barat tetap memakai
bahasa ‘Melajoe Betawi’, sebab bahasa ini mengandung unsur-
unsur yang dipakai di seluruh tanah Hindia.
Bahasa ‘Melajoe Betawi’ atau Melayu-Pasar adalah bahasa
yang paling komunikatif di tengah-tengah tumbuhnya
masyarakat perkotaan akibat pertumbuhan ekonomi kolonial.
Para pendatang yang berasal dari berbagai polosok memiliki
tradisi dan bahasa yang berbeda-beda, seakan membentuk
komunitas orang-orang asing di perkotaan. Mungkin hanya
pasarlah sebagai tempat di mana mereka bisa bertemu dan
50
51. mengadakan transaksi untuk keperluan masing-masing.
Transaksi ini dimungkinkan karena telah tumbuh simbol-
simbol komunikatif yang dibawakan oleh bahasa Melayu.
Sekali lagi, pada titik inilah pers pada awal pertumbuhannya
telah memperkuat kedudukan bahasa Melayu sebagai sistem
simbol dan mentransformasi komunitas orang-orang asing
menjadi sebuah masyarakat.
Pembuka Tabir Perasaan Senasib
Seperti disebutkan sebelumnya, koran-koran berbahasa
Melayu yang diterbitkan oleh kalangan nonpribumi, dalam
hal ini keturunan Belanda dan Tionghoa, lebih banyak
mewartakan perkara perdagangan dan kriminalitas serta
menuliskan cerita-cerita bersambung, baik dari hikayat lama,
rekaman dari cerita lisan ataupun hasil rekaan baru. Namun
di sela-sela berita dagang dan kriminal serta hikayat, sering
muncul berita-berita luar negeri dan kadang-kadang laporan
tentang kesewenang-wenangan pejabat Belanda atau pribumi
terhadap orang-orang kecil.
Menurut Taufik Abdullah (1999), betapapun masih sangat
sederhana, saat itu koran dan majalah berbahasa Melayu
telah memperkenalkan corak teks yang baru, yakni teks yang
memberitakan peristiwa yang terus berlalu dan berubah.
Lebih dari itu, berita-berita yang disajikan koran dan majalah
berbahasa Melayu bisa dilihat dan dirasakan secara langsung
oleh pembacanya. Teks yang diberikan oleh pers adalah
teks yang kehadirannya seakan-akan mengajarkan bahwa
peristiwa-peristiwa terjadi dalam konteks waktu yang terus
berjalan. Tentu saja ini berebeda dengan teks lama yang sering
dilisankan kepada penduduk berupa pesa-pesan yang sifatnya
abadi seperti ajaran agama, adat sopan santun, kearifan hidup
51
52. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
dan sebagainya.
Dengan demikian, koran-koran dan majalah-majalah
yang menyebar luas melampaui kota-kota tempat terbitnya,
memungkinkan pembaca di berbagai daerah mengetahui
peristiwa yang terjadi dan berlalu di tempat lain. Tak kurang
pentingnya, kejadian-kejadian itu bisa dibandingkan dengan
pengalaman yang telah pernah dilalui, atau yang pernah
didengar atau dibaca tentang daerahnya sendiri. Dengan
demikian pers telah memberikan suasana kesezamanan dengan
daerah lain atau bangsa lain. Teks yang disampaikan pers
tidak berkisah tentang negeri antah berantah di suatu zaman,
melainkan tentang negeri tertentu yang riil, di zaman sekerang.
Dampak dari perasaan kesezamanan ini tak hanya
pada perluasan cakrawala intelektual, melainkan juga
memungkinkan bangkitnya ingatan kolektif tentang jaringan
kultural atau politik lama antara berbagai daerah dan suku
bangsa. Ini bisa terjadi, karena pers telah memungkinkan
masyarakat membanding-bandingkan keadaan daerahnya
dan suku bangsanya di hadapan sistem kolonial yang bercorak
subordinasi –tuan kolonial di atas sebagai yang memerintah,
dan pribumi di bawah sebagai yang diperintah. Akhirnya,
perasaan kesezamanan membangkitkan ingatan kolektif akan
adanya perasaan senasib dan sepenangungan dalam sistem
kolonial. Kemudian hari, erasaan seperti ini menjadi pengikat
utama bagi lahirnya kesadaran kesatubangsaan. Sebab syarat
munculnya nasionalisme adalah adanya perasaan senasib dan
sepenanggunagan sesama warga bangsa. Dan pers berbahasa
Melayu telah membuka tabir tersebut.
Melawan dengan Mengorganisasi Diri
Pers berbahasa Melayu yang dikembangkan oleh peng
52
53. usaha keturunan Belanda dan Tionghoa pada abad ke-18 boleh
disebut sebagai periode ‘prasejarah’ pers nasional. Dibutuhkan
waktu 50 tahun sejak munculnya koran berbahasa Melayu
Bintang Oetara yang terbit di Roterdam pada 1856, hingga
akhirnya lahir Medan Prijaji, koran pertama yang diterbitkan
tokoh pribumi bernama RM Tirto Adhi Soerjo. Seperti ditulis
oleh Pramoedya Ananta Toer (2003), Tirto Adhi Soerjo (TAS)
tergerak untuk menerbitkan mingguan yang kemudian
menjadi harian Medan Prijaji, setelah melakukan perjalanan ke
Maluku. Di sana TAS merekam kebiadaban kolonial Belanda
sehingga penduduk Maluku mengalami penderitaan dan
pemiskinan yang sangat nyata. Ini merupakan pengalaman
batin yang membekas sekaligus meningkatkan kesadaran
intelektual TAS bahwa bangsa-bangsa di bawah kekuasaan
kolonial mengalami penderitaan yang sama.
TAS sendiri pada edisi pertama Medan Prijaji menyebutkan
bahwa misi yang diemban korannya ialah: (1) memberikan
informasi; (2) menjadi penyuluh keadilan; (3) memberikan
bantuan hukum; (4) memberikan tempat orang tersia-sia
mengadukan nasibnya; (5) mencari pekerjaan bagi mereka
yang membutuhkan pekerjaan di Betawi; (6) menggerakkan
bangsanya untuk berorganisasi atau mengorginasisikan
diri; (7) membangun dan memajukan bangsanya; dan (8)
memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan. Seperti
dicatat Surjomihardjo (1980), Tirto tak hanya pribumi
pertama yang bergerak di bidang penerbitan dan percetakan
dan mendirikan badan usaha (NV), melainkan juga orang
pertama yang menggunakan koran sebagai alat pembentuk
pendapat umum. Dialah ‘sang pemula’ yang konsisten dalam
mengemban misi yang telah dicanangkan dan memfungsikan
pers sebagai institusi pemajuan nasib bangsanya.
Bagi TAS, kemajuan bangsanya tidak hanya didapatkan
53
54. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
dari pendidikan (yang dikembangkan oleh politik etik
penguasa kolonial), melainkan juga terbebasnya bangsa dari
segala macam kesewenang-wenangan kekuasaan. Oleh karena
itu, lewat Medan Prijaji, TAS tanpa ragu menyatakan secara
terbuka segala corak manifestasi kekuasaan yang dianggapnya
tidak pantas. Ia menulis berita berdasarkan investigasi dan
informasi-informasi yang berasal dari lapangan yang dikemas
tanpa sindiran dan pretensi. Berbagai kasus kesewenang-
wenangan penguasan kolonial maupun pribumi diungkap
secara gamblang oleh Medan Prijaji. Tidak heran, bila persdelick
beberapa kali diterima oleh TAS, dan akhirnya dipenjara lalu
dibuang ke Lampung oleh rejim kolonial.
Selain melawan kesewenang-wenangan penguasa,
dalam usaha memajukan bangsanya, Medan Prijaji selalu
menyerukan perlunya bangsa pribumi mengorganisasi diri
dalam menghadapi pihak-pihak asing. Tak heran bahwa
kemudian TAS terlibat dalam pendirian Serikat Dagang Islam
(SDI) di Bogor yang kemudian berubah menjadi Sarekat
Islam (SI) yang berkembang di Solo dan beberapa kota di
Jawa. Situasi vis a vis antara pribumi dengan kaum Belanda
dan Tionghoa di dunia perdagangan, menyebabkan TAS dkk
mencampurkan identitas agama Islam dengan kepribumian,
sehingga organisasi yang dimaksudkan untuk memajukan
bangsa pribumi adalah SDI dan SI. Oleh karena itu, SI yang
berkembang pesat saat itu akhirnya menjadi naungan bagi
berbagai macam aliran dan ideologi yang dianut kaum
pribumi, termasuk komunisme.
Tentu Medan Prijaji bukan satu-satunya penerbitan yang
membongkar kesewenangan penguasa dan menyerukan
bangsa pribumi untuk mengorganisasikan diri dalam rangka
memajukan bangsa. Selain Median Prijaji, tercatat Bintang
Hindia, Insoelinde, Warna Warta dan beberapa koran milik
54
55. SI seperti Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Sinar Djawa dan
Pantjaran Warta. Organisasi-organisasi pergerakan yang
dibentuk kaum pribumi, seperti Boedi Utomo dan Indische
Patij memiliki Dharmo Kondo dan De Express. Namun dalam
catatan sejarah, kepeloporan dan konsistensi Medan Prijaji
dalam mengungkap kesewenangan penguasa kolonial dan
menyerukan pembentukan organisasi pribumi tampak lebih
menonjol dari penerbitan-penerbitan yang lain. Di sinilah
peran penting Medan Prijaji dalam menabur benih-benih
nasionalisme yang dalam beberapa tahun kemudian berubah
dalam bentuk gerakan menuntut kemerdekaan.
Hindia Poetra Menjadi Indonesia Merdeka
Seruan Medan Prijaji dan koran-koran lain sezaman untuk
mengorganisasikan pribumi sebetulnya merupakan upaya
mencari identitas yang tepat buat kalangan pribumi di tanah
Hindia. SDI dan SI telah mencampuradukkan identitas agama
dengan kepribumian sebagai antitesa terhadap orang-orang
keturununan Belanda dan Tionghoa. Dengan latar belakang
yang sama Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan
Douwes Dekker yang tergabung dalam Indische Partij, pada
1912 lewat De Express memperkenalkan konsep ‘nasionalisme
Hindia’.
Bagi Tiga Serangkai tersebut, ‘nasionalisme Hindia’
membedakan kaum penetap (blijvers) dan mereka yang
mondar-mandir (trekkers), dan hanya yang menetap yang
dianggap sebagai bangsa Hindia, sedang yang lain adalah
orang asing. Dalam konsep ini, Tiga Serangkai tersebut
telah meleburkan anak negeri yang pribumi dengan Cina
peranakan dan orang-orang Indo, serta orang Belanda yang
tidak akan kembali ke negerinya dalam sebuah kesatuan
55
56. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
yang bernama bangsa Hindia. Dengan sendiri dalam konsep
ini, para penguasa Belanda dianggap sebagai orang luar alias
trekkers.
Dalam upaya mencari identitas diri sebagai bangsa,
Medan Prijaji, De Express dan koran-koran lain terlibat dalam
perdebatan yang hangat di kalangan pengelola pers dan
kaum cerdik pandai pribumi saat itu. Konsep ‘nasionalisme
Hindia’ yang muncul tidak saja peleburan identitas agama-
pribumi dan kaum penetap di tanah Hindia, tetapi juga
nasionalisme Jawa, nasionalisme Sumatera, dan nasionalisme
lokal lainnya. Bahkan menurut Abdullah (1999), pada awal
pertumbuhannya pers bukan saja pembawa berita, tetapi juga
menjadi pelopor diskursus kecendikiaan. Dalam pemberitaan
dan perdebatan tersebut, simbol-simbol yang komunkatif dan
integratif semakin memperkuat kesadaran akan harkat diri
sebagai bangsa dalam menghadapi kekuatan kolonialisme
Belanda.
Namun perdebatan soal ‘nasionalisme Hindia’ di kalangan
kaum pergerakan itu seakan diselesaikan oleh generasi baru
kaum cendikia pribumi yang bersekolah di negeri Belanda.
Pada 1923 mahasiswa pribumi mengubah nama organisasinya,
dari Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging
dan kemudian diganti lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia.
Mereka pun menukar nama majalah organisasi dari Hindia
Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Berbeda dengan generasi
sebelumnya, di mana usaha mencari identitas nasional yang
lebih banyak karena refleksi atas kenyataan sosial politik di
tanah Hindia, maka generasi baru pergerakan nasional, melihat
langsung tentang tumbuh dan berkembangnya nasionalisme
bangsa-bangsa di Eropa, sehingga mereka seakan lebih
tahu dengan apa yang dibutuhkan oleh bangsanya. Sebagai
kelompok kecil pribumi yang teralienasi di tengah-tengah
56
57. kehidupan orang-orang Eropa, mereka menjadi lebih lugas
dalam membicarakan nasionalisme Hindia dan menetapkan
‘Indonesia Merdeka’ sebagai semboyan perjuangan.
Gagasan-gagasan nasionalisme Indonesia yang diadopsi
dari sejarah pergerakan bangsa-bangsa Eropa, oleh para palajar
pribumi di negeri Belanda disebarluaskan ke tanah Hindia
lewat majalah Indonesia Merdeka dengan cara diam-diam.
Kelugasan rumusan-rumusan tentang nasionalisme Indonesia
dan ketegasan sikap dalam menuntut kemerdekaan Indonesia,
menjadikan tulisan-tulisan di dalam Indonesia Merdeka seakan
menjadi penuntas pedebatan tentang nasionalisme Hindia
yang selama sepuluh tahun terakhir menghiasi koran-koran
dan majalah-majalah berbahasa Melayu di tanah Hindia.
Itulah sebabnya, meskipun peredaran Indonesia Merdeka di
tanah Hindia dilarang oleh penguasa Belanda, setidaknya
lima nomor majalah tersebut berhasil diselendupkan ke tanah
Hindia dan mencapai 236 orang yang memesannya.
Sebagaimana dicatat John Ingleson (1988), para pelajar
yang tergabung dalam Perhimpoenan Indonesia, seperti
Moh Hatta, Subardjo, Sunarjo, Sartono, Iskaq dll, tidak hanya
menyebarkan propaganda nasionalisme Indonesia dan
tuntutan Indonesia merdeka lewat majalah yang dipimpinnya,
tetapi sekembalinya ke tanah air, mereka pun terjun langsung
ke kancah pergerakan politik menentang penguasa kolonial.
Mereka sempat mempersiapkan suatu kongres nasional untuk
membentuk partai kerkayatan yang berasaskan nasionalisme
murni, namun meletusnya pemberontakan PKI 1926-1927,
membuat rencana pembentukan partai kerakyatan itu batal.
Tetapi rapat-rapat persiapan terus dilakukan di kalangan
aktivis radikal sehingga akhirnya pada 4 Juli 1927 lahirlah
Partai Nasionalis Indonesia (PNI).
57
58. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Mengobarkan Api Kemerdekaan
Ketika Jepang menguasai beberapa negara Asia, termasuk
tanah jajahan Hindia Belanda, semua media pers langsung
berada di bawah pengawasan pemerintahan militer Jepang dan
dipergunakan sebagai alat propaganda perang Jepang melawan
Sekutu. Seiring dengan pelarangan penggunaan bahasa
Belanda, saat itu pemerintah Jepang setidaknya menyokong
lima surat kabar berbahasa Jepang, yaitu Jawa Shimbun, Borneo
Shimbun, Celebes Shimbun, Sumatera Shimbun dan Ceram Shimbun.
Sementara terdapat sekitar delapan surat kebar yang berbahasa
Indonesaia, yaitu di Jakarta Asia Raya dan Pembangoenan, di
Bandung Tjahaja, di Yogyakarta Sinar Matahari, di Semarang
Sinar Baroe, dan di Surabaya Pewarta Perniagaan.
Pengaturan kehidupan pers oleh pemerintah Jepang
tentu saja mempersempit kedudukan pers sebagai sarana
informasi kepada umum. Namun keadaan ini, menurut
Surjomihardjo (1980) memberi sumbangan berharga bagi
perjuangan kemerdekaan dan pertumbuhan pers Indonesia
setelah kemerdekaan. Perlu dicatat, larangan penggunaan
bahasa Belanda telah berhasil meratakan penggunaan
bahasa Indonesia ke seluruh pelosok tanah air. Orang-orang
Indonesia juga mendapatkan latihan mengenai berbagai aspek
mengelola media pers dan menduduki posisi penting, suatu
pengalaman yang berharga bagi penanganan pers pada masa
pasca kemerdekaan nanti.
Meskipun pada zaman Jepang tokoh-tokoh pergerakan
nasional senior, seperti Soekarno dll bersedia bekerja sama
dengan pemerintahan Jepang, tidak sedikit tokoh-tokoh
yang lebih muda memilih berjuang di bawah tanah guna
mengapai kemerdekaan. Pada barisan anti-Jepang inilah
berkumpul pemuda mahasiswa yang terus mengobarkan api
kemerdekaan, tanpa harus menunggu janji-janji Jepang. Dari
58
59. merekalah beredar brosur stensilan-stensilan propaganda
menuntut kemerdekaan Indonesia. Menurut Benedick
Anderson (1989), brosur-brosur stensilan anti-Jepang tersebut
dikeluarkan oleh mahasiswa yang pada masa itu banyak
berkumpul di asrama-asrama di Jakarta, seperti asrama
Menteng dan Cikini. Asrama-asrama tersebut merupakan
pusat kehidupan sosial dan intelektual mahasiswa dan
merupakan tempat bagi diskusi-diskusi yang intens dan
tertutup, serta menjadi sebuah pusat solidaritas pergerakan
meraih kemerdekaan.
Seperti disebutkan di depan, penunjukan beberapa
orang pers untuk menduduki posisi penting di media
yang dikendalikan oleh pemerintah Jepang, ternyata
berdampak positif bagi tumbuh dan berkembangnya pers
pada masa perang kemerdekaan. Begitu Republik Indonesia
diproklamarikan oleh Sokearno dan Hatta pada 17 Agustus
1945, sejumlah tokoh pers, seperti Adam Malik, BM Diah,
Suardi Tasrif, Arnold Monotutu, Mochtar Lubis, Rosihan
Anwas dll, langsung bergerak menghidupkan medianya
masing-masing. Sesuai dengan semangant zaman, tanpa
dikomando, lewat media yang dipimpinya mereka terus
mengorbankan api kemerdekaan. Bahkan ketika Inggris dan
Belanda mencoba kembali menguasai Indonesia, semangat
perlawanan dihembuskan secara kencang oleh media-media
tersebut, sehinga berita-berita perlawanan rakyat Indonesia
dalam menantang penjajahan akhirnya mendapat simpati
masyarakat internasional.
Geliat pada Masa Pascakemerdekaan
Setelah revolusi selesai dan Republik Indonesia diakui
secara internasional pada 1948, apa yang dilakukan oleh
59
60. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
pers bagi bangsa dan negara baru yang penuh dengan
persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya? Masalah yang
dihadapai oleh bangsa yang baru merdeka sangat kompleks,
sementara rakyat menaruh harapan bahwa kemerdekaan
segera mengangkat kesejahteraannya. Di sinilah pers dituntut
mampu menguraikan satu per satu masalah yang dihadapi
oleh bangsa dan mencari solusinya agar negara yang baru
lahir tetap tegak beridiri. Pers juga harus mempu menjelaskan
kesulitan-kesulitan yang tengah dihadapi negara, sehingga
rakyat bisa bersikap realisitik terhadap apa-apa yang bisa
dikerjakan negara. Pada tahap ini pers terlibat dalam apa yang
disebut dengan proses national character building, yakni suatu
proses lanjutan dari nasionalisme Indonesia yang sifatnya
lebih implementatif setelah kemerdekaan tercapai.
Secara sosial budaya, para pengelola pers menghadapi
kenyataan bahwa akibat revolusi telah teradi ketegangan sosial
yang tinggi, khususnya antara para elit pribumi yang dulu pro
penjajah dengan sebagian rakyat yang ingin melampiaskan
dendam. Sebagai lanjutan dari perang kemerdekaan, maka
kerusuhan menentang lapisan elit pribumi ini terjadi di
berbagai daerah, dan pemerintah yang baru saja berdiri tidak
banyak memiliki tenaga untuk menyelesaikannya. Selain itu,
beberapa penguasa daerah juga berkeras untuk melepaskan
diri dari republik, seiring dengan politik divide et impera yang
dijalankan oleh Belanda. Pada tataran inilah pers dituntut
untuk memberi penjelasan yang gamblang sehingga rakyat
tidak perlu ragu-ragu dalam membangun Indonesia yang
dicita-citakan.
Secara politik, masalah jauh lebih rumit karena pada
saat institusionalisasi politik belum berjalan, persaingan
antarkekuatan politik sudah menonjol. Tokoh-tokoh partai
sama-sama menjanjikan sistem politik yang pas buat Indonesia,
60
61. pada saat yang sama mereka sama-sama ingin mengisi
jabatan-jabatan politik yang tersedia. Persaingan politik
dalam menciptakan model politik yang pas dengan kondisi
Indonesia tetap tidak segera selesai, meskipun Pemilu 1955
menghasilkan wakil-wakil rakyat dan dewan konstituante.
Dalam periode ini kelihatan pers mulai tidak sabar dengan
perilaku elit politik sipil; sebagian kecil bersikap skeptis
terhadap sepak terjang politisi sipil dan menjadi pengritik yang
loyal, tapi sebagaian besar tidak sabar dan terbawa dalam arus
persaingan politik. Pada titik inilah pers melupakan tugasnya
dalam proses national character building, dan terjebak pada
sikap-sikap partisan sehingga ini pers kemudian terpolarisasi
pada garis-garis politik partai. Tugas national character building
hanya diteruskan oleh pers mahasiswa yang wilayah edarnya
sangat terbatas.
Polarisasi pers ke dalam garis-garis partai tetap berlanjut
pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pada massa ini, di level
bawah Soekarno memang membebaskan partai politik untuk
bersaing menawarkan ideologi dan memperebutkan massa,
namun di level atas Soekarno memegang kendali politik
sepenuhnya. Sesuai dengan politik ini, pers pada zaman
Soekarno memang penuh warna, sehingga persaingan
antarmedia juga berjalan layaknya di negara-negara
terbuka. Namun pembebasan pers itu hanya dibatasi pada
upaya menjaga dan mengedepankan ideologi atau partai
masing-masing. Pers sebagai kekuatan independen, yang
mengedepankan kepentingan umum dan bersikap oyektif
terhadap semua kepentingan, nyaris tidak bisa hidup. Sebab
sesuai dengan karakter politik yang dikembangkan Soekarno,
maka pers yang berada di luar jalur garis politik partai, akan
dipersulit bahkan dibredel. Jadi, hingar bingar kebebasan
pers pada zaman Soekarno, praktis tidak bermanfaat bagi
61
62. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
kepentingan publik dan kepentingan nasional, karena pers
hanya disibukkan oleh urusan-urusan yang terkait dengan
kepentingan partai.
Tumbangnya Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang
bekerja sama dengan Angkatan Darat pimpinan Soeharto,
ternyata tidak segera bisa memisahkan pers dari garis partai.
Namun dengan penyederhanaan partai politik, maka tidak
semua pers yang telah berkembang bersedia meneruskan
hubungannya dengan partai-partai politik baru. Bahkan
masing-masing partai, yakni Golkar, PPP dan PDI berusaha
membangun penerbitan baru yang benar-benar bisa mereka
kendalikan. Pilihan politik sejumlah media untuk memisahkan
diri dari garis-garis aliran politik maupun partai politik ini
juga dilandasi oleh kesadaran para pengelolanya, bahwa pers
tidak mungkin bisa menerapkan prinsip-prinsip jurnalisme
bila mereka tidak berada dalam posisi yang independen.
Pada zaman Orde Baru, pers memang tidak sepenuhnya
bebas. Tapi dibandingkan dengan institusi-insitusi sosial yang
lain, pers jauh lebih efektif dalam mengkritik kekuasaan dan
memajukan bangsanya.
Bagaimana pers pada zaman pasca-Soeharto? Banyak
pihak yang menyerang pers telah kebablasan dalam
menerapkan kebebasan pers yang diperjuangkan oleh
gerakan reformasi. Kritik itu ada benarnya, mengingat banyak
media (baru) yang mengejar motif ekonomi semata sehingga
melupakan prinsip-prinsip jurnalisme. Namun pers yang
demikian tidak akan bertahan lama, karena masyarakat
pembaca tidak mendapatkan apa yang dibutuhkan, kecuali
sekadar kesenangan sesaat. Oleh karena itu pikiran untuk
mengendalikan pers kembali, perlu dibuang jauh-jauh,
karena baik pers maupun masyarakat sama-sama sedang
memasuki proses pendewasaan politik, khususnya bagaimana
62
63. memanfaatakan ruang kebebasan yang ada. Biarlah pers
menikmati ruang kebebasan pers yang dijamin oleh konstitusi,
karena hanya dengan membebaskan pers, maka mayarakat,
bangsa dan negara ini akan mendapatkan manfaat yang
maksimal.
Sumber Kepustakaan:
Abdurrachman Surjomihardjo dkk, Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Kompas,
Cetakan ke-2, Jakarta, 2002.
Benedict Anderson, Revoloesi Pemoeda, Sinar Harapan,
Jakarta, 1986.
Bill Kovach Tom Rosntatiel, Sembilan Elemen Jurnalsime,
Pantau, Jakarta, 2003.
Didik Supriyanto, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes
Mahasiswa Sepanjang NKK/BKK 1978-1991, Sinar
Harapan, Jakarta, 1989.
John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis
Indonesia 1927-1934, LP3ES, Jakarta, 1983.
Parmoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Cetakan ke-2, Edisi
Revisi, Lentera Dipantara, Jakarta, 2003.
Taufik Abdullah, Pers dan Tumbuhnya Nasionalisme
Indonesia, dalam Majalah Sejarah Edisi 7, Jakarta, 1999
63
65. Sekilas Sejarah
Jurnalisme
J
URNALISME memiliki sejarah yang sangat panjang.
Dalam si tus ensiklopedia, www.questia.com tertulis,
jurnal s e yang pertama kali tercatat adalah di
i m
masa kekaisaran Romawi kuno, ketika informasi harian
dikirimkan dan dipasang di tempat-tempat publik untuk
menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan isu negara
dan berita lokal. Seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai
mengembangkan berbagai metode untuk memublikasikan
berita atau informasi.
Pada awalnya, publikasi informasi itu hanya diciptakan
untuk kalangan terbatas, terutama para pejabat pemerintah.
Baru pada sekira abad 17-18 surat kabar dan majalah untuk
publik diterbitkan untuk pertama kalinya di wilayah Eropa
Barat, Inggris, dan Amerika Serikat. Surat kabar untuk umum
ini sering mendapat tentangan dan sensor dari penguasa
setempat. Iklim yang lebih baik untuk penerbitan surat kabar
generasi pertama ini baru muncul pada pertengahan abad 18,
ketika beberapa negara, semisal Swedia dan AS, mengesahkan
undang-undang kebebasan pers.
Industri surat kabar mulai menunjukkan geliatnya yang
luar biasa ketika budaya membaca di masyarakat semakin
meluas. Terlebih ketika memasuki masa Revolusi Industri,
di mana industri surat kabar diuntungkan dengan adanya
mesin cetak tenaga uap, yang bisa menggenjot oplah untuk
65
66. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
memenuhi permintaan publik akan berita.
Seiring dengan semakin majunya bisnis berita, pada
pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor
berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan
tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar
dan majalah.
Kantor berita bisa meraih kepopuleran dalam waktu
sangat cepat. Pasalnya, para pengusaha surat kabar dapat
lebih menghemat pengeluarannya dengan berlangganan berita
kepada kantor-kantor berita itu daripada harus membayar
wartawan untuk pergi atau ditempatkan di berbagai wilayah.
Kantor berita lawas yang masih beroperasi hingga hari ini
antara lain Associated Press(AS), Reuters (Inggris), dan
Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah
yellow journalisme (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk
“pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New
York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki
oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya
yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama
yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu:
meningkatkan penjualan!
Jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan
munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS
awalnya memang partisan,serta dengan mudah menyerang
politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan
berimbang. Namun para wartawannya kemudian memiliki
kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik
haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
66
67. Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong
para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka
sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di
Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara
lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun
mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang
kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan
yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai
standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
BAGAIMANA dengan di Indonesia? Tokoh pers nasional,
Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI di Arena
Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono
(1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910
berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional.
Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang
dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Dalam perkembangan selanjutnya, pers Indonesia
menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa ini.
Haryadi Suadi menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama
kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas
percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia
(Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang)
(“PR”, 23 Agustus2004).
Menurut Haryadi, kondisi pers Indonesia semakin
menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran
yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti,
Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan
The Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia
diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan.
67
68. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak
kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa
koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang
dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu
Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas
dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan
kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun
telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak
mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers
Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi
presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-
halaman muka koran-koran dan majalah-majalah baru.
Namun tampaknya, jurnalisme kuning di Indonesia belum
sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-
koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional
semacam itu.
Teknologi dalam jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan
teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun
1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi
jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya
mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa
ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di
surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS
menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian
di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi
merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan
oleh kalangan jurnalis saat itu.
68
69. Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan
pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio
berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan
pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat
dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat
sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat
pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses
produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang
mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara
massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami
perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di
industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer
tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya
teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem
dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks,foto,
dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan
wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik
multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah
merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak
hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka
jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak
kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut
untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah
bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai
kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti
memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa
dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi
69
70. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi
yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah
untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat
menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik.
Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu.
Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah
menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme
dan bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin
agak terlambat dibanding dengan media massa dari negara
maju seperti AS, Prancis, dan Inggris. Tetapi untuk saat
ini penggunaan teknologi di Indonesia --terutama untuk
media televisi-- sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana
Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh, selang
sehari setelah tsunami melanda wilayah itu. Padahal
saat itu aliran listrik dan telefon belum tersambung.
(Zaky/”PR”)***
Asep Saefullah
Portal Informasi Kita
www.kabarbaru.com
70
71. Pers,Teknologi Media
dan Kehidupan Sosial
Oleh Didik Supriyanto
P
ers bebas adalah fenomena masyarakat liberal. Karena
itu, pada masyarakat di mana kebebasan individu belum
terakomodasi dengan baik, maka jangan berharap
pers akan tumbuh dan berkembang. Begitu hadir mereka
akan ditekan oleh pemegang otoritas (baik otoritas formal
maupun nonformal), bahkan masyarakat pun menganggap
pers sebagai perusak tatanan sosial. Kehadiran pers bebas tak
hanya dianggap mengancam posisi pemegang ororitas, tetapi
juga dicurigai perusak harmoni sosial.
Pers bebas adalah suatu tradisi. Ia tidak hadir begitu
saja, butuh puluhan dan bahkan ratusan tahun untuk
meraih dan mempertahankannya. Tradisi itu dibangun
atas kesadaran, bahwa kebebasan pers adalah sesuatu yang
diberikan masyarakat kepada institusi pers. Pemberian itu,
suatu saat bisa dicabut kembali, bila orang-orang pers tidak
bisa memfungsikannya secara benar. Oleh karena itu para
pengelola pers berkeras mengatur sendiri bagaimana pers
bekerja agar kebebasan itu tidak lepas dari genggamannya.
Inilah yang melatari lahirnya prinsip-prinsip jurnalisme, kode
etik dan kode perilaku.
71
72. Materi Kompetensi Kunci UKJ AJI
Pers dan Prinsip Jurnalsime
Sebagai institusi sosial, pers berkembang berdasarkan
prinsip-prinsip jurnalisme yang diemban oleh para
pengelolanya. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001)
menyebutkan sembilan prinsip dasar jurnalisme, yaitu (1)
kewajiban jurnalisme adalah pada kebenaran; (2) loyalitas
pertama jurnalisme adalah kepada warga masyarakat; (3)
intisari jurnalisme adalah disiplin dan verifikasi; (4) para
praktisinya harus menjaga independensi dari sumber berita;
(5) jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan;
(6) jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik
maupun dukungan terhadap warga; (7) jurnalisme harus
berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan;
(8) jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan
proporsional; (9) para praktisinya harus diperbolehkan
mengikuti nurani mereka. Karena jurnalisme adalah kegiatan
menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan
dan menyebarluaskan berita melalui media berkala kepada
khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya, maka
prinsip-prinsip jurnalisme tersebut dikemas dalam bentuk
lima kata kunci pegangan operasional jurnalisme sehari-hari,
yaitu akurat, obyektif, fair, seimbang dan tidak memihak.
Meskipun prinsip-prinsip jurnalisme tersebut dirumuskan
berdasarkan pengalaman sejarah pers Eropa dan AS, namun
tidak perlu disangsikan lagi, bahwa prinsip-prinsip itu
juga dipegang teguh oleh para pengelola pers di daratan
lain, termasuk di Indonesia. Bahkan, seperti ditulis oleh
Abdurrachman Surjomihardjo dkk (1980), ketika Medan
Prijaji, yakni koran pertama yang diterbitkan oleh pribumi
pada 1907 di Betawi, prinsip-prinsip jurnalisme itu langsung
dioperasionalisakan oleh RM Tirto Adhi Soerjo, sehingga ‘sang
pemula’ ini sempat dibuang penguasa Belanda ke Lampung.
72