Dokumen tersebut membahas tentang pengeluaran pemerintah, terdiri dari:
1) Konsep dan teori pengeluaran pemerintah secara mikro dan makro
2) Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran pengeluaran pemerintah
3) Klasifikasi pengeluaran pemerintah menurut urusan wajib dan pilihan
KAJIAN TEORITIS PENGELUARAN PEMERINTAH MELALUI BELANJA PUBLIK
1. 11
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Pengeluaran Pemerintah
Peran pemerintah dalam suatu negara sangat menentukan baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam membuat masyarakatnya
menjadi miskin ataupun keluar dari kemiskinan. Kemiskinan akan menjadi
lebih banyak dan lebih dalam jika pemerintah mengeluarkan kebijakan
yang kurang tepat dan tidak berpihak kepada masyarakat miskin.
Usmaliadanti (2011) mengemukakan bahwa dalam rangka mencapai
kondisi masyarakat yang sejahtera pemerintah menjalankan berbagai
macam program pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah dalam
melakukan pembangunan membutuhkan dana yang cukup besar,
pengeluaran pemerintah mencerminkan kombinasi produk yang dihasilkan
untuk menyediakan barang publik dan pelayanan kepada masyarakat
yang memuat pilihan atas keputusan yang dibuat oleh pemerintah.
2.1.2. Konsep Pengeluaran Pemerintah
Menurut Usmaliadanti (2011) Pengeluaran pemerintah adalah nilai
pembelanjaan yang dilakukan oleh pemerintah yang digunakan untuk
kepentingan masyarakat. Pengeluaran untuk menyediakan fasilitas
pendidikan dan kesehatan, pengeluaran untuk menyediakan polisi dan
tentara, pengeluaran gaji untuk pegawai pemerintah dan pengeluaran
2. 12
untuk mengembangkan infrastuktur dibuat untuk kepentingan masyarakat.
Pembelian pemerintah atas barang dan jasa dapat digolongkan menjadi
dua golongan utama yaitu pengeluaran penggunaan pemerintah atas
konsumsi pemerintah dan investasi pemerintah. Konsumsi pemerintah
adalah pembelian barang dan jasa yang akan dikonsumsikan seperti
membayar gaji, membeli alat-alat kantor untuk digunakan dan membeli
bensin untuk kendaraan operasional pemerintah. Investasi pemerintah
meliputi pengeluaran untuk membangun prasarana seperti jalan, sekolah,
rumah sakit, dan irigasi, memberikan subsidi, beasiswa bantuan untuk
korban bencana alam tidak digolongkan sebagai pengeluaran pemerintah
atas produk nasional karena pengeluaran tersebut untuk membeli barang
dan jasa.
Jumlah pengeluaran pemerintah yang akan dilakukan dalam suatu
periode tertentu tergantung pada beberapa faktor yaitu:
1. Jumlah pajak yang diramalkan. Dalam penyusunan anggaran belanja
pemerintah harus terlebih dahulu membuat proyeksi mengenai jumlah
pajak yang akan diterima. Makin banyak jumlah pajak yang dapat
dikumpulkan maka makin banyak pula pembelanjaan pemerintah yang
akan dilakukan.
2. Tujuan ekonomi yang ingin dicapai pemerintah. Kegiatan pemerintah
bertujuan untuk dapat mengatur perekonomian kearah yang lebih baik.
Kegiatan pemerintah tersebut mempunyai tujuan salah satunya
sebagai berikut yaitu untuk mengurangi pengangguran, menurunkan
3. 13
tingkat inflasi dan mempercepat pembangunan ekonomi dalam jangka
panjang. Untuk melakukan kegiatan tersebut maka pemerintah
membutuhkan banyak dana yang lebih besar dari pendapatan yang
diperoleh dari pajak. Untuk mengurangi penganguran dan menarik
minat swasta untuk berinvestasi dan mempercepat pertumbuhan
ekonomi misalnya pemerintah perlu membiayai infrastruktur seperti
irigasi, jalan raya, pelabuhan serta membangun sarana di bidang
pendidikan dan kesehatan. Sering kali penerimaan yang berasal dari
pajak tidak mencukupi untuk menutupi pembiayaan oleh karenanya
pemerintah kadang kala terpaksa mencetak uang baru.
3. Stabilitas kondisi politik sebuah negara juga berpengaruh terhadap
penyusunan anggaran belanja pemerintah. Sering kali masalah
stabilitas politik berpengaruh terhadap stabilitas perekonomian
contohnya dengan munculnya gangguan seperti adanya perang yang
menyebabkan pengeluaran pemerintah menjadi meningkat untuk
mengatasi dampak dari kekacauan stabilitas politik selain itu pula
stabilitas politik juga dapat mempengaruhi iklim investasi sehingga
akan berdampak pada pengeluaran pemerintah.
2.1.3. Teori Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran pemerintah mencerminkan kebijakan pemerintah.
Apabila pemerintah telah menetapkan suatu kebijakan untuk membeli
barang dan jasa, pengeluaran pemerintah mencerminkan biaya yang
harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk melaksanakan kebijakan
4. 14
tersebut. Teori mengenai pengeluaran pemerintah dapat digolongkan
menjadi 2 bagian, yaitu teori makro dan teori mikro (Mangkoesoebroto,
1993).
2.1.3.1. Pengeluaran Pemerintah Secara Mikro
Tujuan dari teori mikro mengenai perkembangan pengeluaran
pemerintah adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang menimbulkan
permintaan akan barang publik dan faktor-faktor yang mempengaruhi
tersedianya barang publik. Interaksi antara permintaan dan penawaran
untuk barang publik menentukan jumlah barang publik yang akan
disediakan melalui anggaran belanja. Jumlah barang publik yang akan
disediakan tersebut selanjutnya akan menimbulkan permintaan akan
barang lain. Sebagai contoh, misalnya pemerintah menetapkan akan
membuat sebuah pelabuhan udara baru. Pelaksanaan pembuatan
pelabuhan udara tersebut menimbulkan permintaan akan barang lain yang
dihasilkan oleh sektor swasta, seperti semen, baja, alat-alat pengangkutan
dan sebagainya. (Mangkoesoebroto, 1993).
Pengeluaran pemerintah untuk barang publik akan menstimulasi
pengeluaran untuk barang lain. Perkembangan pengeluaran pemerintah
dipengaruhi faktor-faktor di bawah ini (Bastias, 2010):
a. Perubahan permintaan akan barang publik
b. Perubahan dari aktifitas pemerintah dalam menghasilkan barang
publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang
digunakan dalam proses produksi.
5. 15
c. Perubahan kualitas barang publik
d. Perubahan harga faktor-faktor produksi.
2.1.3.2. Pengeluaran Pemerintah Secara Makro
Teori makro mengenai perkembangan pemerintah dikemukakan oleh
para ahli ekonomi dan dapat digolongkan ke dalam 3 golongan
(Mangkoesoebroto,1993), yaitu:
1. Model pembangunan tentang perkembangan pengeluaran pemerintah
Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang
menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-
tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap
menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi,
persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab
pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti
misalnya pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya.
Pada tahap ini pemerintah tahap menengah pembangunan
ekoonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini
peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah
tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta yang
semakin besar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar, dan juga
menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik
dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu,
6. 16
pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya
hubungan antar sektor yang semakin rumit (complicated).
Pada tingkat ekonomi yang lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa
pembangunan ekonomi, aktivitas pemerintah beralih dari penyediaan
prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti
halnya, program kesejahteraan hari tua, program pelayanan kesehatan
masyarakat, dan sebagainya.
2. Hukum Wagner mengenai perkembangan aktivitas pemerintah
Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan
pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap
GNP. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum,
yaitu: dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan per kapita
meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat.
Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah
menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus
mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan,
rekreasi, kebudayaan dan sebagainya.
Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut
teori organis mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang
menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas
dari anggota masyarakat lainnya.
7. 17
Hukum Wagner dapat diformulasikan sebagai berikut:
P ୩
PPଵ
PPKଵ
<
P୩PPଶ
PPKଶ
<. . <
P୩PP୬
PPK୬
PkPP : Pengeluaran Pemerintah per kapita
PPK : Pendapatan per kapita, yaitu GNP / jumlah
penduduk
1,2, .... n : jangka waktu (tahun)
Hukum Wagner ini ditunjukkan dalam Gambar 2.1 dibawah ini,
dimana kenaikan pengeluaran oleh kurva 1, dan bukan seperti ditunjukkan
oleh kurva 2.
curve 1
ౡ
curve 2
Waktu
0 1 2 3 4 5
Gambar 2.1. Diagram Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah menurut Wagner
Sumber: Mangkoesoebroto,1993
3. Teori Peacock dan Wiseman
Peacock dan Wiseman mengemukakan teori mengenai
perkembangan pengeluaran pemerintah yang terbalik. Teori ini didasarkan
pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk
Z= kurve perkembangan
pengeluaran pemerintah
8. 18
memperbesar pengeluaran sedangkan mayarakat tidak suka membayar
pajak yang semakin besar tersebut, sehingga teori Peacock dan Wiseman
merupakan dasar dari teori pemungutan suara. Peacock dan Wiseman
medasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai
suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat
memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah
untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari
bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas
pemerintah sehingga mereka mempunyai suatu tingkat kesediaan
masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi pajak ini merupakan
kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara
semena-mena. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut:
Perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak semakin
meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya
penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin
meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningatnya GNP
menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga
dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar.
9. 19
pengeluaran
pemerintah/GDP
D F
C
G pengeluaran pemerintah
A B
Pengeluaran swasta
1 t+1 tahun
Gambar 2.2. Diagram teori Peacock dan Wiseman
Sumber: Mangkoesoebroto,1993
2.1.4. Klasifikasi Pengeluaran Pemerintah
Dengan adanya desentralisasi fiskal sebagai bentuk transfer
tanggungjawab dan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah, dengan kata lain berkurangnya atau diserahkannya wewenang
pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka pemerintah daerah secara
bebas dapat menjalankan tata kelola pemerintahannya sesuai dengan
wewenang yang diserahkan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Bab VIII, pasal 155
dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD), sedangkan penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah didanai
dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
10. 20
Belanja daerah harus digunakan untuk pelaksanaan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan
pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk
melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam
upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk
peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan
fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 31 ayat (1),
belanja daerah diklasifikasi berdasarkan urusan wajib, urusan pilihan atau
klasifikasi menurut organisasi, fungsi, program kegiatan, serta jenis
belanja.
1. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib
Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 32 ayat (2),
klasaifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup:
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan umum;
d. Perumahan Rakyat;
e. Penataan Ruang;
f. Perencanaan Pembangunan;
g. Perhubungan;
11. 21
h. Lingkungan Hidup;
i. Kependudukan dan Catatan Sipil;
j. Pemberdayaan Perempuan;
k. Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera;
l. Sosial;
m. Tenaga Kerja;
n. Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah;
o. Penanaman Modal;
p. Kebudayaan;
q. Pemuda dan Olah Raga;
r. Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri;
s. Pemerintahan Umum;
t. Kepegawaian;
u. Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
v. Statistik;
w. Arsip; dan
x. Komunikasi dan Informatika.
2. Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan
a. Pertanian;
b. Kehutanan;
c. Energi dan Sumber Daya Mineral;
d. Pariwisata;
e. Kelautan dan Perikanan;
12. 22
f. Perdagangan;
g. Perindustrian; dan
h. Transmigrasi.
3. Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan, organisasi, fungsi,
program dan kegiatan, serta jenis belanja
Belanja daerah tersebut mencakup:
1. Belanja tidak langsung:
a. Belanja pegawai;
b. Bunga;
c. Subsidi;
d. Hibah;
e. Bantuan sosial;
f. Belanja bagi hasil;
g. Bantuan keuangan; dan
h. Belanja tak terduga.
2. Belanja langsung:
a. Belanja pegawai;
b. Belanja barang dan jasa; dan
c. Belanja modal.
Guna memilah kontribusi belanja terhadap pencapaian prestasi kerja
satuan kerja perangkat daerah (SKPD), maka jenis belanja daerah
dikelompokkan ke dalam belanja langsung dan belanja tidak langsung.
Belanja langsung adalah belanja yang dipengaruhi secara langsung oleh
13. 23
adanya program dan kegiatan SKPD yang kontribusinya terhadap
pencapaian prestasi kerja dapat diukur, terdiri dari belanja pegawai,
belanja barang dan jasa, serta belanja modal. Sedangkan belanja tidak
langsung tidak dipengaruhi secara langsung oleh ada tidaknya program
dan kegiatan SKPD, dan kontribusinya terhadap pencapaian prestasi kerja
sukar diukur, terdiri dari belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi,
belanja hibah, belanja bagi hasil, belanja bantuan, dan belanja tidak
tersangka (Wahyudi, 2011).
Banyak literatur dan studi yang menyatakan bawa ada beberapa
belanja publik di sektor-sektor tertentu yang dianggap mempengaruhi
kemiskinan dan secara alamiah memiliki sifat pro-poor, beberapa
diantaranya:
1. Studi SMERU (2003) menyangkut kebijakan dan program
pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pemerintah
seharusnya dititik-beratkan pada sektor ekonomi riil yang secara
langsung maupun tidak langsung menyentuh kehidupan sebagian
besar orang miskin. Pemberian prioritas tinggi bagi pembangunan
sarana sosial dan fisik yang penting bagi masyarakat miskin seperti
jalan desa, irigasi, sekolah, air bersih, sanitasi, pemukiman,
puskesmas, merupakan katalisator untuk mengangkat tingkat
kesejahteraan mereka.
2. Penelitian Awe (2013) menyimpulkan bahwa pendidikan, kesehatan,
dan pertanian memiliki dampak dalam mengurangi kemiskinan. Awe
14. 24
mengatakan bahwa pemerintah juga harus mendorong pendidikan,
kesehatan dan sektor pertanian melalui peningkatan pendanaan dan
pengelolaan sumber daya secara baik untuk meningkatkan kapasitas
produksi, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi
kemiskinan.
3. Fan (2008) menyebutkan bahwa meningkatkan investasi khususnya
dalam pertanian, infrastruktur pedesaan, dan pendidikan untuk
mendukung pertumbuhan pertanian dan memiliki dampak besar pada
pengurangan kemiskinan karena sebagian besar masyarakat miskin
masih berada di daerah pedesaan dan sumber mata pencaharian
utama mereka adalah pertanian.
4. Heltberg, Kenneth, dan Finn (2003) mengatakan bahwa pengeluaran
publik di bidang pendidikan dan kesehatan bisa dibilang kendaraan
fiskal utama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin.
2.1.5. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Pendidikan
Asumsi yang digunakan dalam teori human capital adalah bahwa
pendidikan formal merupakan faktor yang dominan untuk menghasilkan
masyarakat berproduktivitas tinggi. Teori human capital dapat
diaplikasikan dengan syarat adanya sumber teknologi tinggi secara efisien
dan adanya sumber daya manusia yang dapat memanfaatkan teknologi
yang ada. Teori ini percaya bahwa investasi dalam hal pendidikan sebagai
investasi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat. Investasi dalam
hal pendidikan mutlak dibutuhkan maka pemerintah harus dapat
15. 25
membangun suatu sarana dan sistem pendidikan yang baik. Alokasi
anggaran pengeluaran pemerintah terhadap pendidikan merupakan wujud
nyata dari investasi untuk meningkatkan produktivitas masyarakat.
Pengeluaran pembangunan pada sektor pembangunan dapat
dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur pendidikan dan
menyelenggarakan pelayanan pendidikan kepada seluruh penduduk
Indonesia secara merata (Bastias, 2010).
Pendidikan menyediakan pengetahuan, keterampilan, nilai dan
perilaku guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Menurut
Sitepu dan Sinaga (2005) dengan melakukan investasi pendidikan akan
mampu meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang diperlihatkan
oleh meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang.
Peningkatan pengetahuan dan keahlian akan mendorong peningkatan
produktivitas kerja seseorang. Pada akhirnya seseorang yang memiliki
produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik,
yang dapat diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun
konsumsinya. Rendahnya produktivitas tenaga kerja kaum miskin dapat
disebabkan oleh karena rendahnya akses mereka untuk memperoleh
pendidikan, oleh karena itu perhatian yang besar untuk bidang pendidikan
sangat penting untuk mengurangi kemiskinan di suatu daerah atau
negara.
Penelitian Hermanto dan Dwi (2006) juga menunjukkan bahwa
pendidikan mempunyai pengaruh yang relatif besar terhadap kemiskinan
16. 26
dibandingkan variabel pembangunan lain seperti inflasi, populasi
penduduk, sektor pertanian dan sektor industri.
Keadaan pendidikan penduduk secara umum dapat diketahui dari
beberapa indikator sebagai berikut (Wahyudi, 2011):
a. Angka Partisipasi Sekolah (APS)
APS menunjukkan persentase penduduk usia 7-12 tahun yang masih
terlibat dalam sistem persekolahan. Adakalanya penduduk usia 7-12
tahun sama sekali belum menikmati pendidikan, tetapi ada sebagian kecil
dari kelompok mereka yang sudah menyelesaikan jenjang pendidikan
setingkat sekolah dasar.
b. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan
Rendahnya tingkat pendidikan adalah penghambat dalam
pembangunan. Karenanya menaikkan tingkat pendidikan sangat
diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti
ini sesuai dengan hakikat pendidikan itu sendiri sebagai usaha sadar
untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar
sekolah yang berlangsung seumur hidup.
c. Angka Melek Huruf
Salah satu ukuran kesejahteraan sosial yang merata dan ukuran
kemajuan suatu bangsa adalah tinggi rendahnya persentase penduduk
yang melek huruf. Dengan kemampuan membaca dan menulis yang
dimiliki akan dapat mendorong penduduk untuk berperan lebih aktif dalam
proses pembangunan.
17. 27
2.1.6. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Kesehatan
Menurut Todaro dan Smith (2006) kesehatan dan pendidikan adalah
tujuan pembangunan yang mendasar, untuk membentuk kemampuan
manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna dari pembangunan.
Terlebih lagi bagi kelompok masyarakat miskin yang umumnya tidak
punya sumber daya kecuali modal tenaga maka kesehatan menjadi
kebutuhan yang paling esensial. Tenaga kerja miskin yang tidak sehat
tidak akan mampu bekerja maksimal sehingga produktivitasnya akan
rendah, dan pendapatannya juga rendah. Demikian pula kondisi
kesehatan yang buruk terutama pada ibu dan anak akan mencipkatan
kualitas sumber daya manusia yang rendah. Anak-anak yang kurang
sehat akan mengalami gangguan dalam proses pendidikan, sehingga
kualitas pendidikan pun akan mengalami penurunan.
Menurut Wahyudi (2011) Perhatian belanja demi peningkatan
pelayanan di bidang kesehatan sangat diperlukan karena dapat
membantu dalam pengurangan kemiskinan mengingat adanya hubungan
dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan status kesehatan. Tingkat
kesehatan yang lebih baik akan memperbesar pendapatan melalui
peningkatan produktivitas, sementara pertumbuhan ekonomi akan
memperkuat pembentukan modal manusia (human capital) dan perbaikan
status kesehatan.
Variabel-variabel yang digunakan untuk menggambarkan tingkat
kesehatan di suatu daerah umumnya terdiri dari:
18. 28
a. Usia Harapan Hidup/Angka Harapan Hidup
Usia harapan hidup adalah rata-rata tahun hidup yang masih akan
dijalani oleh seseorang yang telah berhasil mencapai umur x, pada suatu
tahun tertentu, dalam situasi mortalitas yang berlaku di lingkungan
masyarakatnya. AHH adalah alat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah
dalam meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan meningkatkan derajat
kesehatan pada khususnya.
b. Tingkat Kesakitan Penduduk
Tingkat keluhan penduduk terhadap kesehatannya, dimana semakin
banyak jumlahnya maka semakin buruk kesehatan didaerah tersebut.
c. Sarana Kesehatan
Sarana kesehatan adalah gambaran jumlah rumah sakit pemerintah
dan swasta beserta kapasitas tempat tidurnya, jumlah puskesmas,
puskesmas pembantu, balai pengobatan dan posyandu.
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, oleh
karena itu kesehatan adalah hak bagi setiap warga masyarakat yang
dilindungi Undang-Undang Dasar. Perbaikan pelayanan kesehatan pada
dasarnya merupakan suatu investasi sumber daya manusia untuk
mencapai masyarakat yang sejahtera (welfare society). Tingkat kesehatan
masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat, karena tingkat kesehatan memiliki keterkaitan yang erat
dengan kemiskinan. Sementara itu, tingkat kemiskinan akan terkait
dengan tingkat kesejahteraan. Oleh karena kesehatan merupakan faktor
19. 29
utama kesejahteraan masyarakat yang hendak diwujudkan pemerintah,
maka kesehatan harus menjadi perhatian utama pemerintah sebagai
penyelenggara pelayanan publik. Pemerintah harus dapat menjamin hak
masyarakat untuk sehat (right for health) dengan memberikan pelayanan
kesehatan secara adil, merata, memadai, terjangkau, dan berkualitas
(Widodo, et al, 2011).
2.1.7. Pengaruh Pengeluaran Pemerintah atas Infrastruktur
Infrastruktur juga merupakan salah satu peranan penting dalam
tingkat kemiskinan. Dimana infrastruktur merupakan roda penggerak
pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transportasi memungkinkan orang,
barang, dan jasa yang diangkut dari satu tempat ke tempat yang lain di
seluruh penjuru dunia. Perannya sangat penting baik dalam proses
produksi maupun dalam menunjang distribusi komoditi ekonomi.
Telekomunikasi, listrik, dan air merupakan elemen yang sangat penting
dalam proses produksi dari sektor-sektor ekonomi seperti perdagangan,
industri dan pertanian. Keberadaaan infrastruktur akan mendorong
terjadinya peningkatan produktivitas bagi faktor- faktor produksi.
Ketersediaan infrastruktur, seperti jalan, pelabuhan, bandara, sistem
penyediaan tenaga listrik, irigasi, sistem penyediaan air bersih, sanitasi,
dan sebagainya yang merupakan social overhead capital, memiliki
keterkaitan yang sangat kuat dengan tingkat perkembangan wilayah, yang
antara lain dicirikan oleh laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
masyarakat (Lestari, 2008).
20. 30
Perbaikan infrastruktur akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja,
memicu investasi dan peningkatan pendapatan masyarakat. Infrastruktur
yang baik juga merangsang peningkatan pendapatan masyarakat.
Aktivitas ekonomi yang semakin meningkatkan mendorong mobilitas faktor
produksi dan aktivitas perdagangan. Pada akhirnya perbaikan infrastruktur
ini akan mempercepat pembangunan ekonomi. Meningkatnya kondisi
pembangunan akan memberikan efek peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Maka dari itu perlu dilakukan
suatu kajian tentang dampak pembangunan infrastruktur terhadap
pengentasan kemiskinan (Chusnah, 2014).
2.1.8. Konsep dan Definisi Kemiskinan
Kemiskinan adalah konsep multidimensional dan karenanya dapat
didefinisikan dalam berbagai cara. Dimensi kemiskinan dapat diidentifikasi
menurut ekonomi, sosial, politik. Dalam dimensi ekonomi, kemiskinan
dipandang sebagai tingkat kekurangan sumber daya untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang.
Secara politik, kemiskinan dapat dilihat sebagai tingkat akses terhadap
kekuasaan atau sistem politik yang dapat menentukan kemampuan
sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumber daya.
Secara sosial, kemiskinan dapat dilihat dari tingkat kekurangan jaringan
dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan
peningkatan produktivitas (Wahyudi, 2011).
21. 31
Adapun beberapa pihak lain yang mengemukakan pendapatnya
tentang kemiskinan, antara lain:
a. Sasana (2009) menyebutkan, kemiskinan adalah keterbatasan yang
disandang oleh seseorang, sebuah keluarga, sebuah komunitas, atau
bahkan sebuah negara yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam
kehidupan, terancamnya penegakan hukum dan keadilan,
terancamnya bargaining (posisi tawar) dalam pergaulan dunia,
hilangnya generasi serta suramnya masa depan bangsa dan negara.
b. Dalam Bappenas (2008) dijelaskan bahwa kemiskinan merupakan
masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidakmampuan
akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam
masyarakat. Kemiskinan juga memiliki arti yang lebih luas dari sekedar
lebih rendahnya tingkat pendapatan atau konsumsi seseorang dari
standar kesejahteraan terukur seperti kebutuhan kalori minimum atau
garis kemiskinan. Akan tetapi kemiskinan memiliki arti yang lebih
dalam karena berkaitan juga dengan ketidakmampuan untuk mencapai
aspek diluar pendapatan (non-income factors) seperti akses kebutuhan
minimum seperti kesehatan, pendidikan, air bersih dan sanitasi.
c. Menurut Payu (2010) kemiskinan dapat dilihat sebagai kelaparan,
ketiadaan tempat berteduh, ketidakmampuan mendapatkan
pengobatan secara medis, ketiadaan akses untuk bersekolah, dan
buta huruf, pengangguran, kekhawatiran tentang masa depan, bahkan
kehidupan pada satu hari berikutnya. Tampilan kemiskinan lainnya
22. 32
adalah kehidupan yang tidak sehat yang disebabkan oleh air yang
kotor, ketidakberdayaan, kehilangan aspirasi, dan kebebasan.
d. Dalam Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 4 tahun 2013
kemiskinan adalah suatu kondisi sosial ekonomi seseorang atau
sekelompok orang yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan keadaan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat.
e. Badan Pusat Statistik memandang kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Pendapat para ahli ilmu sosial tentang masalah kemiskinan,
khususnya perihal sebab mengapa muncul kemiskinan dalam suatu
masyarakat sangat berbeda. Sekelompok ahli ilmu sosial melihat
munculnya kemiskinan dalam satu masyarakat berkait dengan budaya
yang hidup dalam suatu masyarakat. Dalam konteks pandangan seperti
ini maka kemiskinan sering dikaitkan dengan rendahnya etos kerja
anggota masyarakat atau dengan bahasa yang lebih populer sebab-sebab
kemiskinan tekait dengan rajin atau tidaknya seorang dalam
bekerja/mengolah sumber alam yang tersedia. Apabila orang itu rajin
bekerja dapat dipastikan orang tersebut akan hidup dengan kecukupan.
Apalagi disamping rajin, orang itu memiliki sifat hemat. Manusia yang
memiliki etos kerja tinggi dan sikap hemat pasti akan hidup lebih dari
kecukupan. Di Indonesia orang melihat kehidupan rata-rata suku bangsa
23. 33
Cina lebih baik secara ekonomi daripada suku lain di Indonesia, karena
orang Cina dianggap pekerja yang memiliki etos kerja yang tinggi di hidup
sehari-hari mereka. Sebaliknya orang melihat bahwa penduduk asli
Indonesia kebanyakan miskin karena mereka malas dan hidup sangat
konsumtif (Kaharu, 2004).
Beberapa konsep kemiskinan yang diutarakan oleh Payu (2010):
1. Kemiskinan absolut dan relatif
Kemiskinan absolut dan relatif adalah konsep kemiskinan yang
mengacu pada kepemilikan materi dikaitkan dengan standar kelayakan
hidup seseorang/keluarga. Dalam kemiskinan absolut, standar
kemiskinan dihitung berdasarkan nilai uang yang dibutuhkan untuk
membayar jumlah kalori minimal yang dibutuhkan untuk hidup sehat
dan kebutuhan nonmakanan tertentu. sementara pada kemiskinan
relatif menilai miskin tidaknya seseorang atau kelompok masyarakat
tertentu berdasarkan perbandingan dengan individu atau kelompok
masyarakat lainnya.
2. Kemiskinan objektif dan subjektif
Pendekatan objektif dan subjektif terhadap kemiskinan berkaitan erat
dengan perkembangan pendekatan kualitatif-partisipatoris. Kemiskinan
bersifat subjektif ketika standarnya ditekankan pada selera dan pilihan-
pilihan seseorang atau sekelompok orang dalam menilai pentingnya
barang-barang dan jasa bagi mereka. Kemiskinan dapat dipahami
sebagai kondisi objektif ketika ditekankan pada kebutuhan untuk dapat
24. 34
memperbandingkan kondisi kemiskinan antar daerah, walaupun
masyarakat di daerah-daerah tersebut mempunyai preferensi yang
berbeda-beda.
3. Kemiskinan sebagai keterbelakangan fisiologis dan sosial
Konsep kemiskinan sebagai keterbelakangan fisiologis menitikberatkan
standar kemiskinan yang masih berbasis konsumsi dan pemenuhan
kebutuhan dasar. Kemiskinan konsumsi didasarkan pada kegagalan
pemenuhan kebutuhan makanan, dan kebutuhan sehari-hari lainnya
(pakaian, transportasi, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain). Konsep
kemiskinan yang mengacu pada kegagalan pemenuhan kebutuhan
dasar juga menyoroti tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan
mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan air bersih. Konsep ini
beranjak dari pemikiran tentang ketimpangan struktural dan
diskriminasi sebagai penyebabnya. Konsep ini memandang sebagai
kegagalan kapabilitas (human capability approach) menekankan
peningkatan kemampuan masyarakat miskin untuk memanfaatkan
peluang-peluang yang ada. Secara spesifik ini tidak hanya menyoroti
kondisi keterbelakangan yang diderita masyarakat miskin, tetapi juga
kurangnya peluang-peluang nyata akibat adanya hambatan sosial dan
faktor-faktor individual.
2.1.9. Ukuran Kemiskinan
Tiga indikator kemiskinan absolut (Adam dan Page, 2003, Kraay,
2004, Nanga, 2005) dalam Arham (2014), yaitu:
25. 35
1. Poverty headcount index (P0)
Merupakan suatu ukuran kasar dari kemiskinan karena hanya
menunjuk kepada proporsi dari penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot
yang sama besarnya. Artinya, tidak ada perbedaan antara penduduk
yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya diantara orang-
orang miskin. Selain itu, ukuran ini hanya menghitung jumlah kepala
orang miskin (headcount), dan tidak mampu menangkap tingkat
keparahan kemiskinan itu sendiri.
2. Poverty gap index (P1)
Mengukur kedalaman kemiskinan (the depth of poverty) di dalam suatu
wilayah, dan index ini mengestimasi jarak atau perbedaan rata-rata
pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi
dari garis kemiskinan tersebut.
3. Squared poverty gap (P2)
Menunjukkan kepelikan atau keparahan kemiskinan di dalam suatu
wilayah. Secara sederhana, indeks P2 ini, dapat didefinisikan sebagai
rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps).
Sementara pengukuran kemiskinan yang dilakukan BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic
needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar
makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
26. 36
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per
bulan di bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Dengan
pendekatan ini, dapat dihitung Headcount Index, yaitu persentase
penduduk miskin terhadap total penduduk.
Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK),
yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penghitungan Garis
Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan
perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan. Garis
kemiskinan merupakan penjumlahan dari garis kemiskinan
makanan(GKM) dan garis kemiskinan non makanan(GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran
kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkalori per
kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52
jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan
minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket
komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 36 jenis komoditi di
perkotaan dan 36 jenis komoditi di perdesaan (BPS, 2014).
27. 37
2.1.10. Penyebab Kemiskinan
Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa diantaranya adalah
produktivitas tenaga kerja, tingkat upah netto, distribusi pendapatan,
kesempatan kerja (termasuk jenis pekerjaan yang tersedia), tingkat inflasi,
pajak dan subsidi. Selain itu juga investasi, alokasi serta kualitas sumber
daya alam, ketersediaan fasilitas umum (seperti pendidikan dasar,
kesehatan, informasi, transportasi, listrik, dan air bersih), penggunaan
teknologi, tingkat dan jenis pendidikan, etos kerja dan motivasi pekerja,
budaya atau tradisi, politik, bencana alam, dan peperangan. Sebagian
besar dari faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Misalnya, tingkat pajak yang tinggi menyebabkan tingkat upah netto
menjadi rendah. Hal ini bisa mengurangi motivasi kerja seseorang
sehingga produktivitasnya menurun. Produktivitas yang turun
menyebabkan tingkat upah nettonya berkurang lagi, dan seterusnya
Wahyudi (2011).
Menurut Todaro dan Smith (2006) kemiskinan yang terjadi di negara-
negara berkembang akibat dari interaksi antara 6 karakteristik berikut:
1. Tingkat pendapatan nasional negara-negara berkembang terbilang
rendah, dan laju pertumbuhan ekonominya tergolong lambat.
2. Pendapatan perkapita negara-negara berkembang juga masih rendah
dan pertumbuhannya sangat lambat, bahkan ada beberapa yang
mengalami stagnasi.
28. 38
3. Distribusi pendapatan sangat timpang atau sangat tidak merata.
4. Mayoritas penduduk di negara-negara berkembang harus hidup di
bawah tekanan kemiskinan absolut.
5. Fasilitas dan pelayanan kesehatan buruk dan sangat terbatas,
kekurangan gizi dan banyaknya wabah penyakit sehingga tingkat
kematian bayi di negara-negara berkembang sepuluh kali lebih tinggi
dibandingkan dengan yang ada di negara maju.
6. Fasilitas pendidikan di kebanyakan negara-negara berkembang
maupun isi kurikulumnya relatif masih kurang relevan maupun kurang
memadai.
Dalam Bappenas (2010) Kemiskinan menurut penyebabnya terbagi
menjadi 2 macam. Pertama adalah kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan
yang disebabkan oleh faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah
tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat
tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan.
Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau sedikitnya bisa dikurangi
dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk
melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua
adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai akibat
ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu
terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, karenanya mereka
berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses
untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari
29. 39
perangkap kemiskinan atau dengan perkataan lain ”seseorang atau
sekelompok masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin”.
Nurwati (2008) mengatakan bahwa faktor penyebab kemiskinan
sangat komplek dan saling mempengaruhi, artinya kemiskinan terjadi
bukan disebabkan oleh satu faktor saja, tetapi multi faktor. Namun
demikian secara garis besar faktor dominan yang mempengaruhi
timbulnya kemiskinan diantaranya; pendidikan, pendapatan, lokasi,
keterbatasan akses diantaranya akses ke kesehatan, keuangan dan
pelayanan publik lainnya.
2.1.11. Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian mengenai pengaruh pengeluaran pemerintah
terhadap kemiskinan telah banyak dilakukan, antara lain:
Tabel 2.1. Matriks Penelitian Terdahulu
No
Nama dan Judul
Penelitian
Variabel
Metode
Penelitian
Hasil Penelitian
1.
Wahyudi. 2011
Pengaruh Alokasi
Belanja Daerah
Untuk
Urusan
Pendidikan,
Kesehatan, Dan
Pekerjaan
Umum Terhadap
Penanggulangan
Kemiskinan
(Studi Kasus
Kabupaten/Kota
Di Provinsi Jawa
Tengah Tahun
2007-2009)
1. Kemiskinan
2. Belanja daerah
urusan
pendidikan
3. Belanja daerah
urusan
kesehatan
4. Belanja daerah
urusan
pekerjaan
umum
Menggunakan
pendekatan
kuantitatif
dengan
Regresi Data
Panel dengan
metode
fixed effect
Hasilnya menunjukkan
bahwa belanja daerah
untuk urusan
pendidikan, kesehatan,
dan pekerjaan umum
memiliki pengaruh yang
signifikan
dalam mengurangi
kemiskinan di
kabupaten/kota di Jawa
Tengah pada periode
penelitian tahun 2007-
2009.
2.
Widodo, Waridin,
Dan Maria K.
2011
Analisis Pengaruh
1. Kemiskinan
2. Pengeluaran
Pemerintah Di
Sektor
Analisis
Regresi
Berganda
(Multiple
Pengeluaran pemerintah
di sektor pendidikan dan
kesehatan tidak bisa
berdiri sendiri sebagai
30. 40
Pengeluaran
Pemerintah Di
Sektor Pendidikan
Dan Kesehatan
Terhadap
Pengentasan
Kemiskinan
Melalui
Peningkatan
Pembangunan
Manusia Di
Provinsi Jawa
Tengah
Pendidikan
Dan Kesehatan
3. IPM
Regression
Analysis)
untuk
menganalisis
Data dan
Analisis Jalur
(Path
Analysis).
variabel independen
dalam mempengaruhi
kemiskinan, namun harus
berinteraksi dengan
variabel lain (variabel
IPM).
3.
Lestari. 2008
Kemiskinan Dan
Pengeluaran
Pemerintah Untuk
Infrastruktur:
Studi Kasus
Indonesia, 1976-
2006
1. Kemiskinan
2. Pengeluaran
pemerintah
untuk
infrastruktur
Data sekunder
time series
tahun 1976-
2006 dengan
menggunakan
analisis Two
Stage Least
Square
(TSLS),
Pengeluaran pemerintah
untuk infrastruktur tidak
berpengaruh terhadap
kemiskinan dan investasi,
tapi cenderung
berpengaruh terhadap
pengangguran.
4.
Yacoub Dan
Adelia. 2011
Pengaruh Belanja
Publik Dan
Pertumbuhan
Ekonomi
Terhadap Tingkat
Kemiskinan Di
Kalimantan Barat
1. Kemiskinan
2. Belanja publik
3. Pertumbuhan
ekonomi
Menggunakan
analisis regresi
berganda
(multiple)
melalui
program
sofware
economicr
views (E-
views) version
4
Hubungan belanja publik
terhadap tingkat
kemiskinan di Kalimantan
Barat bernilai negatif
sedangkan hubungan
pertumbuhan ekonomi
terhadap tingkat
kemiskinan di Kalimantan
Barat bernilai positif
5.
Rusdarti dan
Lesta. 2013
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi
Tingkat
Kemiskinan
Di Provinsi Jawa
Tengah
1. Kemiskinan
2. PDRB
3. Tingkat
penganguran
4. Belanja public
Analisis Data
menggunakan
Teknik
Ordinary Least
Square (OLS).
Pengangguran tidak
signifikan secara statistik
terhadap tingkat
kemiskinan di provinsi
Jawa Tengah, artinya
indikator kemiskinan yang
terjadi bukan disebabkan
oleh tingkat pengangguran
melainkan oleh indikator
lain. Sementara itu belanja
berpengaruh signifikan
secara statistik terhadap
tingkat kemiskinan di
provinsi Jawa Tengah.
6.
A. Awe, 2013
Pengeluaran
Pemerintah dan
Penanggulangan
Kemiskinan di
Negara Ekiti
Nigeria
1. Kemiskinan
2. Pengeluaran
publik untuk
pendidikan
3. Pengeluaran
publik untuk
kesehatan
4. Pengeluaran
Analisis
menggunakan
Statistik
deskriptif dari
jumlah
frekuensi dan
persentase
dan uji Chi –
Hasil uji Chi –square
mengungkapkan bahwa
pengeluaran publik untuk
pendidikan , kesehatan
dan pertanian memiliki
dampak signifikan pada
pengurangan kemiskinan.
31. 41
publik untuk
pertanian
square
7.
Jha, 2000
Sebuah Analisis
Empiris tentang
Dampak
Pengeluaran
Publik untuk
Pendidikan dan
Kesehatan
terhadap
Kemiskinan di
Indian Amerika.
1. Kemiskinan
2. Pengeluaran
publik untuk
pendidikan
3. Pengeluaran
publik untuk
kesehatan
4. Pengeluaran
publik untuk
aktivitas
pembangunan
lainnya
Menggunakan
teknik data
panel tidak
seimbang ,
menguji efek
tetap , efek
Acak
dan OLS
model
Menyimpulkan bahwa
pengeluaran pendidikan ,
kesehatan dan
pembangunan
membantu mengurangi
kemiskinan
8.
Permana, 2012
Analisis Pengaruh
PDRB,
Pengangguran,
Pendidikan, dan
Kesehatan
Terhadap
Kemiskinan Di
Jawa Tengah
Tahun 2004-2009
1. Kemiskinan
2. PDRB
3. Pengangguran
4. Pendidikan
5. Kesehatan
Analisis panel
Data dan data
Cross
Section,
dengan
menggunakan
Fixed Effect
Model (FEM)
Variabel laju pertumbuhan
PDRB,
pendidikan, dan kesehatan
berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap
kemiskinan. Sementara
itu, variabel tingkat
pengangguran
berpengaruh positif dan
tidak signifikan terhadap
kemiskinan.
2.2. Kerangka Pemikiran
Kemiskinan belum pernah lepas seluruhnya dari bumi Indonesia,
Tingginya tingkat kemiskinan pada tahun 1999 mencerminkan tajamnya
peningkatan kemiskinan yang terjadi selama krisis tahun 1997/98.
Walaupun tingkat kemiskinan di Indonesia telah berkurang setengahnya
dari 24% pada tahun 1999 menjadi 12% pada awal tahun 2012. Namun,
penurunan sebesar 0,5 poin persentase pada tahun 2012 dan 2013
merupakan penurunan yang paling kecil selama satu dekade, dengan
pengecualian peningkatan yang terjadi pada tahun 2006 yang disebabkan
terutama oleh peningkatan harga-harga global yang tajam Pada tahun
2012, 65 juta penduduk Indonesia, suatu jumlah yang signifikan hidup di
antara garis kemiskinan dan kurang dari 50 persen di atas garis
32. 42
kemiskinan tersebut. Mereka, yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan,
memiliki risiko tinggi untuk kembali jatuh ke dalam kemiskinan. Sebetulnya
lebih dari setengah jumlah orang miskin setiap tahunnya bukan
merupakan orang miskin pada tahun sebelumnya , dan seperempat dari
seluruh penduduk Indonesia pernah dikelompokkan sebagai orang miskin
setidaknya sekali dalam periode tiga tahunan (World Bank, 2014).
Peranan pemerintah daerah (PEMDA) dalam penanggulangan
kemiskinan menjadi semakin penting sejak pelaksanaan otonomi daerah
pada 2001. Sejumlah kebijakan pelayanan publik yang secara langsung
memengaruhi kehidupan masyarakat sejak itu diserahkan ke tangan
pemerintah daerah. Tuntutan keterlibatan aktif pemda dalam
penanggulangan kemiskinan semakin jelas dengan diluncurkannya
Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) oleh Pemerintah
Pusat pada 2005 yang menyatakan perlunya kontribusi semua pemangku
kepentingan, termasuk pemda, dalam upaya bersama untuk mengurangi
kemiskinan (SMERU, 2007).
Arham (2010) menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal sangat
diperlukan bagi negara besar seperti Indonesia. Tidak mungkin semua
urusan dilakukan secara terpusat, karena faktanya selama pemerintahan
sentralistik ketimpangan distribusi pendapatan sangat tinggi, demikian
juga ketimpangan antar wilayah Jawa dan luar Jawa, Indonesia bagian
timur dan Indonesia bagian barat. dengan adanya desentralisasi fiskal
33. 43
diharapkan pemerintah daerah akan lebih efektif dan mampu untuk
memenuhi pelayanan publik yang dibutuhkan.
Pelaksanaan otonomi daerah prinsipnya memberikan kewenangan
penuh kepada daerah mengelola kegiatan pemerintahan dan
pembangunan disertai transfer dari pusat. Transfer diperlukan karena
setiap daerah memiliki kemampuan fiskal yang terbatas, selain itu terdapat
perbedaan potensi ekonomi antar daerah. Transfer fiskal dimaksudkan
untuk pengeluaran pemerintah daerah. Tujuannya adalah untuk
mengoptimalkan peranan dan kewenangan daerah mendesain kegiatan
untuk mengurangi kemiskinan regional (Arham, 2014).
Menurut penelitian Mawardi dan Sudarno (2003) pembelanjaan
pemerintah untuk mendukung upaya penanggulangan kemiskinan tidak
selalu harus diterjemahkan sebagai sekedar menambah belanja untuk
program ini atau program itu. Upaya penanggulangan kemiskinan
memerlukan perubahan dan peningkatan pembelanjaan di banyak sektor.
Mengingat ketersediaan dana yang terbatas, hal ini hanya bisa dilakukan
jika pembelanjaan yang tidak efisien dan “bad targeted” (againts the poor)
dikurangi. Pembelanjaan di bidang seperti pendidikan dasar, kesehatan,
infrastruktur dan sebagainya, kemanfaatannya harus diupayakan agar
benar-benar dapat dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin.
Menurut penelitian Wahyudi (2011) belanja daerah untuk pendidikan,
kesehatan, dan pekerjaan umum berpengaruh signifikan dalam
mengurangi persentase penduduk miskin. Anggaran belanja daerah lebih
34. 44
diprioritaskan untuk mengurangi kemiskinan di kabupaten/kota masing-
masing.
Untuk itu diharapkan peningkatan anggaran belanja dibidang
pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di Provinsi Gorontalo akan
mengurangi tingkat kemiskinan di daerah.
Untuk memudahkan kegiatan penelitian yang akan dilakukan serta
untuk memperjelas akar pemikiran dalam penelitian ini, berikut ini gambar
kerangka pemikiran yang skematis:
35. 45
Gambar 2.3. Diagram Alur Pemikiran
Otonomi Daerah
• UU No. 32/2004 - Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat.
• UU No. 33/2004 - Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,
demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan
penyelenggaraan Desentralisasi
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi prinsipnya
memberikan kewenangan yang
besar kepada pemerintah daerah
untuk dapat memecahkan
masalah-masalah pembangunan
di daerah. Desentralisasi fiskal di
asumsikan akan jauh lebih efektif
menyelesaikan masalah di daerah
termasuk mengurangi angka
kemiskinan (Arham, 2010)
Kondisi Kemiskinan di Indonesia
• Tingkat kemiskinan di Indonesia berkurang setengahnya dari 24% pada tahun 1999
menjadi 12% pada awal tahun 2012. Namun, penurunan sebesar 0,5 poin
persentase pada tahun 2012 dan 2013 merupakan penurunan yang paling kecil
selama satu dekade (World Bank, 2014).
• September 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang
(11,47%), bertambah sebanyak 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk
miskin pada Maret 2013 yang sebanyak 28,07 juta orang dengan tingkat
persentase 11,37 % (BPS, 2014).
Transfer Fiskal
Transfer fiskal dimaksudkan untuk
pengeluaran pemerintah daerah.
Tujuannya untuk mengoptimalkan
peranan dan kewenangan daerah
mendesain kegiatan untuk
mengurangi kemiskinan regional
(Arham, 2014).
Kondisi Kemiskinan Provinsi Gorontalo
Pada September 2013 persentase penduduk miskin di Provinsi Gorontalo sebesar
18,01% jauh di atas angka kemiskinan nasional 11,47% (BPS, 2014).
Pengeluaran Pemerintah Daerah
Permendagri No. 13/2006 - Pengeluaran daerah terdiri dari belanja daerah
Pengeluaran pembiayaan.
• Menurut Yao (2007) pro-poor social expenditures mencakup pengeluaran untuk
pendidikan dasar, kesehatan dasar, air bersih dan sanitasi, jalan-jalan pedesaan.
• Wahyudi (2011) belanja daerah untuk pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan
umum berpengaruh signifikan dalam mengurangi persentase penduduk miskin.
36. 46
2.3 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Diduga belanja publik di bidang pendidikan berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan di Provinsi Gorontalo
2. Diduga belanja publik di bidang kesehatan berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan di Provinsi Gorontalo
3. Diduga belanja publik di bidang infrastruktur berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan di Provinsi Gorontalo