Teks tersebut membahas tentang hubungan suami istri yang sehat secara fisik dan rohani menurut perspektif Alkitab. Hubungan intim dalam pernikahan merupakan anugerah dari Tuhan yang dapat dinikmati pasangan suami istri dengan batasan-batasan tertentu seperti tidak melakukan perzinahan atau aktivitas seksual yang menyimpang. Cinta sejati antara suami istri didasarkan pada persahabatan, kesetiaan, dan pengertian b
1. Pelajaran 6 untuk 11 Mei 2019
Diadaptasi dari www.fustero.es
www.gmahktanjungpinang.org
“Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada
lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia
orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!” (Kidung
Agung 8:6).
2. Dalam banyak budaya, hubungan suami istri
adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal
tersebut secara umum dianggap sebagai dosa.
Meskipun demikian, Alkitab menjelaskan bahwa
ALLAH menciptakan pria dan wanita tidak hanya
untuk beregenarasi, tetapi juga untuk menikmati
hubungan yang intim dan memuaskan, baik secara
fisik maupun rohani.
Hubungan suami istri (Seks) adalah anugerah dari
TUHAN. Bagaimana kita dapat menikmatinya
dengan cara yang benar? Apa sajakah batasan
dalam hubungan ini?
BAGAIMANA MENGEKSPRESIKAN CINTA:
Cinta Jasmani dan ROhani
Cinta dan Persahabatan
Ekspresi Fisik dari Cinta
BAGAIMANA MENJAGA CINTA TETAP HIDUP:
Cinta Yang Menunggu
Batasan-batasan Cinta
3. CINTA JASMANI
DAN ROHANI
“Sebab kamu telah dibeli dan harganya
telah lunas dibayar: Karena itu muliakanlah
Allah dengan tubuhmu!” (1Korintus 6:20)
Ada kepercayan Yunani yang salah yang merembes ke
dalam Kekristenan sejak permulaannya: bahwa sisi fisik
kita pada dasarnya buruk dan sisi rohani kita pada
dasarnya baik.
Akibatnya, seksualitas dianggap sebagai suatu dosa.
Namun, Alkitab menyatakan bahwa fisik dan
rohani tidak dapat dipisahkan (Kejadian 2:7).
Kekudusan tidak bertentangan dengan
seksualitas. Sebuah kehidupan seks yang
sehat tidak mencegah orang yang sudah
menikah menjadi umat TUHAN yang suci baik
secara fisik maupun rohani.
Kidung Agung membahas hubungan fisik
dengan kealamiahan manusia. Dekapan,
kecupan, belaian… TUHAN menciptakan
semua itu untuk kebahagiaan fisik setiap
pasangan (Kejadian 5:10-16; 7: 1-9).
4. Untuk menikmati hubungan
mereka sepenuhnya, pria dan
wanita pertama-tama haruslah
menjadi seorang sahabat
terbaik bagi pasangannya.
Mereka menghabiskan waktu bersama, berkomunikasi secara terbuka, dan
saling memberi perhatian.
Persahabatan yang penuh kasih itu membantu pasangan untuk dapat
bersatu, menunjukkan ketertarikan timbal balik mereka dengan pujian dan
bahasa tubuh kasih sayang.
Namun, cinta sejati bukanlah hal
yang kita miliki secara alami, ia
adalah anugerah dari Roh Kudus.
Cinta yang berkomitmen dan tanpa
pamrih adalah ikatan yang kuat dan
bertahan lama.
CINTA DAN
PERSAHABATAN
“Kata-katanya manis semata-mata, segala
sesuatu padanya menarik. Demikianlah
kekasihku, demikianlah temanku, hai puteri-
puteri Yerusalem!” (Kidung Agung 5:16)
5. Tuhan mendorong Adam dan Hawa untuk
menjadi "satu daging" di Taman Eden. Dalam
metafora dari Kidung Agung ini, tubuh pasangan
menjadi kebun yang bisa mereka nikmati.
Ekspresi semacam ini menunjukkan bahwa
hubungan seksual dalam pernikahan adalah
anugerah dari Pencipta kita.
Ungkapan yang paling umum untuk merujuk
pada keintiman dalam Alkitab adalah "Bahasa
Asli: 'mengetahui‘, Bahasa Indonesia:
'bersetubuh'" (Kej 4: 1, 17, 25; 1Samuel 1:19;
1Raja 1: 4; Lukas 1:34).
Kata kerja itu juga digunakan untuk
menggambarkan hubungan antara seseorang
dengan TUHAN (Yohanes 17: 3).
EKSPRESI FISIK
DARI CINTA
“Semoga kekasihku datang ke
kebunnya dan makan buah-buahnya
yang lezat.” (Kidung Agung 4:16)
6. Salah satu harapan dalam Kidung Agung
adalah bahwa pria dan wanita tetap perawan
("taman tertutup") sampai hari pernikahan
mereka.
Dalam Kidung Agung 8: 8-10, keluarga
mempelai perempuan bertanya-tanya
apakah adik perempuannya adalah sebuah
tembok (tertutup) atau pintu (terbuka).
Dia menegaskan bahwa dirinya masih perawan (dinding).
Jawaban itu menenangkan kakaknya, dan kemudian membuat
kekasihnya menikmati "susu dan madu" (4:11), penyerahan diri
seutuhnya.
Artinya, mereka merasa seperti mereka telah tiba di tanah yang
dijanjikan [mengalir bersama susu dan madu] bersama-sama.
CINTA YANG MENUNGGU
“Dinda, pengantinku, kebun tertutup engkau, kebun
tertutup dan mata air termeterai.” (Kidung Agung
4:12)
7. Persatuan antara pria dan wanita
mencerminkan citra ALLAH (Kejadian
1: 26-27).
Namun, dosa telah merusak hubungan
seksual. Karena itu, TUHAN telah
menetapkan batasan-batasan
terhadapnya. Dia telah menentukan
apa yang benar dan apa yang tidak
(Imamat 20: 7-21; Roma 1: 24-27).
Perzinahan, inses, homoseksualitas,
dan praktik seksual menyimpang
lainnya tidak dapat diterima dan
dianggap sebagai dosa dalam Alkitab.
BATASAN-BATASAN
CINTA
“Taruhlah aku seperti meterai
pada hatimu, seperti meterai
pada lenganmu, karena cinta
kuat seperti maut, kegairahan
gigih seperti dunia orang mati,
nyalanya adalah nyala api,
seperti nyala api TUHAN.”
(Kidung Agung 8:6)
Kita didorong untuk menerima bahwa tubuh dan seksualitas kita adalah
milik Allah. Kita harus menggunakannya sesuai dengan rencana-Nya —
dengan pertolongan-Nya.
8. “Cinta Ilahi yang berasal dari Kristus tidak pernah membinasakan
cinta manusia, melainkan memasukkan kasih itu ke dalamnya.
Olehnya cinta manusia itu dihaluskan dan disucikan, ditinggikan
dan dimuliakan. Cinta manusia tidak pernah mengeluarkan
buahnya yang indah hingga cinta itu dipersatukan dengan sifat
Ilahi serta dilatih untuk bertumbuh ke arah surga. Yesus mau
melihat perkawinan yang berbahagia, tempat bahagia yang
menghangatkan. Sama seperti setiap karunia Allah yang baik,
yang diamanatkan kepada pemeliharaan manusia, perkawinan itu
telah diselewengkan oleh dosa; tetapi adalah maksud Injil untuk
memulihkan kesucian dan keindahannya...
Hanya kasih karunia Kristus itulah yang dapat membuat lembaga
pernikahan sebagaimana yang dikehendakki Allah_salah satu
saluran berkat dan mengangkat tinggi manusia. Maka dengan
demikian keluarga-keluarga yang di dunia ini, dalam
persatuannya, dan perdamaian serta cinta kasih mereka, boleh
menjadi wakil keluarga yang di surga.”
E.G.W. (The Adventist Home, cp. 15, p. 99-100)