2. Tetanus: gangguan neuromuskular akut
berupa trismus, kekakuan dan kejang otot
disebabkan oleh eksotosin
spesifik Clostridium tetani.
Akibat komplikasi luka: Vulnus
laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka
tusuk), combustion (luka bakar), fraktur
terbuka, otitis media, luka terkontaminasi,
luka tali pusat. tetanus prone wound
3. Angka kejadian
Kejadian di IGD RSUD Bangil (
Angka kematian penderita tetanus sangat
tinggi sekitar 50 %.
tidak menimbulkan kekebalan
Perlu pencegahan dan tatalaksana yang tepat.
4.
5. Clostridium tetani
◦ gram positif
◦ Berbentuk Spora, dan vegetatif.
◦ Tidak invasif dan terlokalisir pada jaringan yang rusak
Bentuk spora terdapat pada tanah, rumput, kayu,
kotoran hewan dan manusia.
Bentuk vegetatif membutuhkan suasana anaerob
pada luka dan jaringan nekrosis.
Bentuk vegetatif memproduksi eksotoksin
neurotoksin tetanospasmin dan tetanolysmin.
Toksin inilah yang menimbulkan gejala – gejala
penyakit tetanus.
6. Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui
luka. Bentuk spora berubah menjadi bentuk vegetatif
dalam suasana luka yang anaerob.
Kuman tidak menyebar. Tetapi mengeluarkan ekotoksin,
yaitu tetanolisin dan tetanospasmin.
Tetanolisin dapat menghancurkan sel darah merah
menambah optimal kondisi lokal untuk berkembangnya
bakteri.
Tetanospasmin: protein toksik terhadap sel saraf.
diabsorbsi oleh end organ saraf di ujung saraf motorik.
transport akson retrograd atau aliran darah menuju SSP.
Bila telah mencapai susunan saraf pusat dan terikat
dengan sel saraf, toksin tersebut tidak dapat dinetralkan
lagi.
7. Tetanospasmin yang terikat pada neuron
akan memblok pelepasan neurotransmitter.
Neuron pelepas gamma aminobutyric acid
(GABA) dan glisin sangat sensitif terhadap
tetanospasmin kegagalan penghambatan
refleks respon motorik terhadap rangsangan
sensoris.
Kejang rangsang dan spasme.
8. Kekakuan dimulai pada tempat masuknya
kuman atau pada otot masseter (trismus),
toxin masuk ke sumsum tulang belakang
kekakuan berat otot lurik pada dada, perut
dan mulai timbul kejang.
toksin mencapai korteks serebri, menderita
akan mulai mengalami kejang umum yang
spontan.
9. Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau
beberapa minggu bahkan beberapa bulan, pada
umumnya 8 – 12 hari.
Suhu tubuh normal hingga subfebris
Tetanus lokal otot sekitar luka kaku
Tetanus generalisata
◦ Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut
◦ Rhesus sardonicus
◦ Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak
◦ Sukar menelan
◦ Opistotonus
Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat.
Sekujur tubuh berkeringat.
10. pada anak.
◦ Stadium 1, dengan gejala klinis berupa trisnus (3 cm)
belum ada kejang rangsang, dan belum ada kejang
spontan.
◦ Stadium 2, dengan gejala klinis berupa trismus (3 cm),
kejang rangsang, dan belum ada kejang spontan.
◦ Stadium 3, dengan gejala klinis berupa trismus (1 cm),
kejang rangsang, dan kejang spontan.
Stadium klinis pada orang dewasa. Terdiri dari :
◦ Stadium 1 : trisnus
◦ Stadium 2 : opisthotonus
◦ Stadium 3 : kejang rangsang
◦ Stadium 4 : kejang spontan
14. Pemberian antitoksin tetanus. selama 2 – 5 hari berturut –
turut
◦ ATS : 10.000 – 20.000 IU IM (dewasa) dan 10.000 IU IM (anak),
◦ HTIG : 3.000 IU – 6000 IU IM (dewasa) dan 3000 IU IM (anak).
Penatalaksanaan luka.
◦ Cross Incision dan debridemen luka segera.
◦ Rawat terbuka untuk mencegah keadaan anaerob.
◦ Bila perlu di sekitar luka dapat disuntikan ATS.
Pemberian antibiotika.
◦ Penisilin Penisilin sebesar 1,2 juta IU/8 jam IM (dewasa) selama 5
hari. 50.000 IU/kg BB/hari (anak), dilanjutkan hingga 3 hari
bebas panas.
◦ Tetrasiklin 4x 500 mg/hari (dewasa). 40 mg/KgBB/hari (anak),
dibagi dalam 4 dosis.
◦ Metronidazol 3 x 1 gram IV.
15. Ruang isolasi karena suara dan cahaya dapat
menimbulkan serangan kejang.
Pemberian anti kejang
◦ Fenobarbital (Luminal) A: Mula – mula 60 – 100 mg IM,
kemudian 6 x 30 mg per oral. Maksimum 200 mg/hari. D:
3 x 100 mg IM
◦ Klorpromazin (Largactil) A: 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula –
mula IM, kemudian per oral. D: 3 x 25 mg IM
◦ Diazepam (Valium) A: Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB IM,
kemudian per oral 1,5 – 4 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
dosis. 3 x 10 mg IM Atau 0,2-0,5 mg/kg BB IV bila kejang.
◦ Klorhidrat. A: 3 x 500 – 100 mg per rectal
◦ midazolam 2-3 mg / jam
Bila belum teratasi, muscle relaxant + ventilator
ICU
16. tirah baring,
oksigen, bersihkan jalan nafas secara teratur,
cairan infus dan diet per sonde
Monitoring kesadaran, TTV, trismus, asupan
/ keluaran, elektrolit
konsultasikan ke bagian lain bila perlu.
17. anoksia otak dengan
◦ pemberian antikejang, sekaligus mencegah
laringospasme,
◦ jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan
intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau
lakukan rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
pneumonia
◦ membersihkan jalan napas yang teratur,
pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian
antibiotika.
fraktur vertebra: pemberian antikejang yang
memadai.
18. faktor yang memperburuk:
◦ masa inkubasi yang pendek,
◦ stadium penyakit yang parah
◦ penderita yang lanjut usia, neonatus,
◦ kenaikan suhu yang tinggi,
◦ pengobatan yang lambat,
◦ adanya komplikasi seperti status konvulsivus, gagal
jantung, fraktur vertebra, pneumonia.
21. KU: Tidak bisa membuka mulut
Pasien kesulitan membuka mulut sejak
seminggu sebelum masuk rumah sakit.
Semakin lama semakin memberat. Saat ini
tidak bisa membuka mulut sama sekali.
Pasien juga mengeluhkan kesulitan menelan
makanan dan minuman. Sejak dua hari
sebelum MRS pasien sama sekali tidak bisa
makan dan minum.
22. Saat ini pasien juga mengeluhkan kekakuan
dan kejang di seluruh tubuh disertai rasa
nyeri yang hebat terutama di punggung.
Pasien tetap sadar saat kejang. Kejang bila
mendengar suara yang ramai.
Dua minggu sebelum MRS tangan kanan
pasien tercapit kepiting di tambak. Berobat di
PKM mendapatkan perawatan luka dan
suntikan.
Pasien sudah lama tidak mendapatkan
Imunisasi.
23. Keadaan Umum: Sakit berat
Kesadaran: Compos Mentis, GCS= 4-5-6
Tekanan Darah 110/70 mmHg
Respiration Rate 24 x/menit
Suhu 37.3 C
Nadi 100 x/menit