11 PPT Pancasila sebagai Paradigma Kehidupan dalam Masyarakat.pptx
Kaidah cabang al umuru bi maqasidiha
1. Kaidah Cabang Al-umuru bi Maqosidiha dan Penerapannya
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada
Mata kuliah : “Qawa’id Fiqiyah”
Dosen Pengampu :
Nilna Fauza, M.HI
Disusun Oleh : Kelompok 2 (kelas J)
Hafidhotut Tarbiyyah 932103013
Fajriatus Tsuroiyya 932103713
Nurul Choiriyah 932103913
Dody Utomo 932113114
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2016
2. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah Al-Umuru Bi Maqasidiha merupakan salah satu daripada
kaedah yang digunakan oleh para Fukaha’ dalam dalam Qawa’id Fiqhiyyah.
Jadi kaidah ini bolehlah ditafsirkan dari dua sudut yaitu dari segi bahasa dan
istilah. Pengertian kaedah dari segi bahasa boleh membawa maksud asas
manakala menurut istilah pula bermaksud perkara yang dipraktikkan
daripada masalah atau perkara pokok kemudian dipraktikkan terhadap
perkara-perkara furu’ atau pecahan.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas tentang kaidah fiqih
yang pertama, yaitu االموربمقاصدها (al-Umuru bi Maqasidiha). Kaidah ini
membahas tentang kedudukan niat yang sangat penting dalam menentukan
kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan
perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perintah
dan menjauhi laranganNya. Ataukah dia tidak niat karena Allah, tetapi agar
disanjung orang lain.
B. Rumusan Masalah
1. Apa makna al-Umuru bi maqasidiha ?
2. Apa dalil al-Umuru bi maqasidiha ?
3. Apa cabang-cabang dari al-umuru bi maqosidiha dan bagaimana
penerapannya ?
3. BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna kaidah مبقاصدها االمور
Maksud kata umuur. Kaidah pertama ini al-umuru bi maqashidiha
terbentuk dari dua unsur yakni lafadz al-umuru dan al- maqashid terbentuk
dari lafadz al-amru dan al-maqshod. Secara etimologi lafadz al-umuru
merupakan bentuk dari lafadz al-amru yang berarti keadaan, kebutuhan,
peristiwa dan perbuatan. jadi, dalam bab ini lafadz al-umuru bi maqashidiha
diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota. Sedangkan menurut
terminologi berarti perbutan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau
tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud dari
pekerjaan yang dilakukan.
Sedangkan maqashid secara bahasa adalah jamak dari maqshad, dan
maqsad mashdar mimi dari fi’il qashada, dapat dikatakan: qashada-
yaqshidu-qashdan-wamaksadan, al qashdu dan al maqshadu artinya sama,
beberapa arti alqashdu adalah ali’timad berpegang teguh, al amma,
condong, mendatangi sesuatu dan menuju.
Makna Niat, Kata niat (ّةي)الن dengan tasydid pada huruf ya adalah
bentuk mashdar dari kata kerja nawaa-yanwii. Inilah yang masyhur di
kalangan ahli bahasa. Ada pula yang membaca niat dengan ringan, tanpa
tasydid menjadi (niyah). Dapat diambil benang merah bahwa makna niat
tidak keluar dari makna literar linguistiknya, yaitu maksud atau
kesengajaan.Sementara Ibnu Abidin menyatakan niat secara bahasa berarti,
kemantapan hati terhadap sesuatu, sedangkan menurut istilah berarti
mengorientasikan ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah dalam
mewujudkan tindakan.
4. Kaidah pertama ini (al-umuru bi maqasidiha) menegaskan bahwa
semua urusan sesuai dengan maksud pelakunya kaidah itu berbunyi: األمور
بمقـاصدها (“segala perkara tergantung kepada niatnya”). Niat sangat
penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang,
apakah seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah
dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. Atau dia tidak niat
karena Allah, tetapi agar disanjung orang lain.1
Pengertian kaidah ini bahwa hukum yang berimplikasi terhadap
suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek hukum
(mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Kaidah
ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum yang
dilarang dalam syari’at Islam. sebagai tambahan penjelasan perlu kami
tegaskan, bahwa apabila tindakan seseorang meninggalkan hal-hal yang
terlarang dilakukannya dengan segala ketundukan karena ada larangan yang
berlaku dalam ketetapan syara’ maka tindakan tersebut memperoleh pahala.
Namun apabila tindakan tersebut berkaitan dengan tabiat atau perasaan jijik
terhdap sesuatu yang ditinggalkan tersebut tanpa memperhatikan status
pelarangannya, maka ia dinilai sebagai perkara biasa dan tabiat manusiawi
yang tak beroleh pahala.
Sebagai contoh, memakan bangkai tanpa adanya rukhshah
(dispensasi hukum) status hukumnya adalah haram. Dalam hal ini, terdapat
nash syara’ yang dengan tegas mengharamkan konsumsi bangkai dan
melarang tindakan tersebut. Sehingga apabila melanggar akan memperoleh
hukuman dunia dan akhirat. Nash tersebut adalah firman Allah SWT :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi…” dan
seterusnya. Apabila seorang mencegah diri untuk tidak melakukan tindakan
tersebut (konsumsi bangkai) dengan harapan bahwa ia berpegang teguh
pada nash dan menerapkan ketentuan yang berlaku di dalamnya maka
tindakan ini memperoleh ganjaran dari Allah SWT dan pelaku mendapatkan
1 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali, Ihya Ulumi ad-Diin, (Jakarta: Hidayah,
1996), Jilid 4,351
5. pahala kebaikan yangditambahkan pada daftar pahala-pahala kebaikannya
disisiNya. Berbeda halnya apabila seseorang tidak memakan bangkai
karena faktor psikologis didalam diri merasa jijik atau tidak suka terhadap
bangkai, tanpa memandang nash yang mengharamkannya atau dengan
bahasa lain seseorang pasti akan memakannya seandainya tidak merasa jijik
maka tindakan tersebut tidak berpahala sama sekali.2
B. Dalil مبقاصدها االمور
Ayat al-Qur’an dan hadis yang menjelaskan tentang kaidah, berikut
ini :
1. Q.S Al Bayyinah ayat: 5
اُ نْكِاَكاز َاَواوكَّز اااوتنؤَْاَلاوكصز ااومنيكقَْاآءفناحال
اُ ْكزد اهاز نْيكصكلناُماهللاَدبنعيكازكال َآاركمآامَ
اكةمكيقنز
Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama
yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat
dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
Ayat ini menegaskan bahwa manusia diperintahkan untuk
melakukan ketaatan kepada Allah dengan ikhlas.
2. Q.S Ali Imron ayat: 145
هِتْؤُن اَيْنُّدال َابَوَث ْد ُِري ْنَمَوقلى ًلَّجَؤُم ًابَاتِك ِهللا ِنْذِاِب َّالِا َت ْوُمَت ْنَا ٍسْفَنِل َنَاك اَمَو
َني ِرِكاَّشال ى ِزْجَنَسَو قلىاَهْنِم هِتْؤُن ِةَر ِاالخ َابَوَث ْد ُِري ْنَمَو جاَهْنِم
Artinya:barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan
kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala
2 Nasher Farid M Wasil. Al-Qowa’id Fiqhiyyah .(Jakarta: Amzah , 2009)hlm 6-7
6. akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan Kami akan
memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur.
3. Dalam sejumlah hadis juga di jelaskan tentang penting peran
maksud dan tujuan seseorang dalam melakukan suatu perbuatan
seperti berikut:
اصلىاكاهللالناوسارتنعكا:اَسالاقهنناعاهللايكضار كابكطنْلاكُ نابرماع ٍصنفاحن كِباأ نْيكنكمنؤمنز اكنْيكماأنُ ع
اَا كاتكيكازنكباالمنعألنااكَّنكإا:الناوقْهللااعليهاَسلماااناونُ مىا.افاواانامٍئكرنما كلككاازكَّنكإاهترنْكِا نت
اٍَأرنمانَااأهبنيكصْااينندكازهترنْكِانتاناونُ مَ،اكهكزناوسرَاكاهللاَلكإاهترنْكهافكهكزناوسرَاكاهللاَلكإاااهحككننْ
اكهنيزكإاراجِااامَلكإاهترنْكه)ف . هاإمامااَرِيماحملدثْياأباواعبداهللااحممداب ُاإَساعيلاب ُاإبر
زنيساباوريا زقشْييا حلْاجاب ُامسلماحلسْيامسلماب ُاباواَزبخاريا بةازِملغْيَاب ُابرب ُا
ملصنفةزكتبا زلذْ ُامهااأصحا يفاصحيحيهماا
Artinya: Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob
radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda :
Sesungguhnya setiap perbuatan itu (tergantung)
niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas)berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya
karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang
hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita
yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana)
yang dia niatkan.3
(Hadist Riwayat dua imam hadist, Abu Abdullah Muhammad bin
Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al
Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan
3 Ma’shumZainy Al-Hasimy, Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah ( Jombang : Darul
Hikmah , 2010)hlm 26
7. kedua kita Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang
pernah dikarang).
العملامل ُاالانيةازه
Artinya: “Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai
niat”. (HR. Anas Ibn Malik ra.)
زناساعلىانياته إَّناابعثا
Artinya: “Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut
niatnya.” (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra.)
Dari kaidah ini kemudian dikembangkan kaidah fikih lain seperti
“al-ibrah fi al ‘uqud bi al-maqashid wa an-niyyat”(yang menjadi patokan
dalam transaksi adalah tujuan niat).
زعلياافهاواىفاسبيلاهللااعََّجل م ُاقتلازتكاوناولمةاهللااِيا
Artinya: "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan
kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu
Musa).
زليلافغلبتهاعيناهاحىتاأصبحاوتبازهاماناوى شهاَِاواْناوياأناْقاوماْصليام ُام ُاأتىافر
Artinya: "Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan shalat malam,
kemudian dia ketiduran sampai subuh, maka ditulis baginya pahala
sesuai dengan niatnya" (HR. al-Nasâi dari Abu Zâr).4
4 Ibid, hlm 26-27
8. C. Kaidah Cabang مبقاصدها االمور dan Penerapannya
Adapun kaidah cabangnya sebagai berikut:
ِةَيﱢنِالﺒ َّالِﺇ َﺐَاوَﺜ َال
“Tidaklah ada pahala kecuali dengan niat”.
Kaidah ini, memberikan kepada kita pedoman untuk membedakan
perbuatan yang bernilai ibadah dengan yang bukan bernilai ibadah, baik itu
ibadah yang mahdah (jika dilakukan tanpa niat,ibadah tersebut tidak sah
karena niat merupakan rukun) maupun ibadah yang ‘ammah (jika dilakukan
tanpa menyertakan niat beribadah maka perbuatan keduniaan semata tidak
mendatangkan pahala).5
ِهِلَمَﻋ ْنِمٌ ْريَخ ِنِمْؤُمال ُ َّةيِن
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya”.
Misalkan, apabila ada seseorang yang mengalami musibah
kecelakaan dan kita pada saat berkata pada semua orang akan membantu
orang tersebut untuk dibawa ke RS dan menanggung semua biaya RS
tersebut. Namun kenyataannya setelah keluarga orang itu datang, kita
langsung memberikan kuitansi pembayaran kepada keluarga orang itu, agar
mengganti biaya tersebut. Oleh karena itu apa yang diucapkan kita itu tidak
sama dengan yang kita lakukan. Maka dalam hal ini kita membantu dan
menolong orang tersebut bukanlah benar-benar ingin membantu, tetapi
hanya ingin membangun citra “baik” di mata orang, agar mendapat
sanjungan dari orang lain.
ُرَﺒَتْﻌُمَالف ُبْلَقَالو ُنَاسِلال َﻑَلَتْﺨَوالِبْلَقال ِﻲف َام
5 Suyatno.Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.(Jogjakarta:Ar-Ruzz Media,2011)hlm234
9. “Apabila berbeda antara yang diucapkan dengan yang di hati, yang
dijadikan pegangan adalah yang didalam hati”
Sebagai contoh, apabila hati niat wudhu, sedang yang diucapkan
adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah.
ُهُلَﻌْفَي َام ٍةَلْمُج ِﻲف ُﻡَﺯْلَت َامَّنِﺇ ٍﺀْﺯُج َّﻞُﻜ ِﻲف ِةَدِاﻌُالةَيِن ُﻡَﺯْلَي َال
“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam
keseluruhan yang dikerjakan”.
Contohnya, yaitu sebagai berikut, ketika kita berniat untuk
melakukan shalat, maka niat cukup satu kali, dan tidak perlu mengucapkan
niat pada tiap kali gerakan shalat.6
ْنيَﻀ ﱢرَفُم ُّﻞُﻜَةرْمُﻌَالو ّﺞَﺤال ُّالِﺇٌ ِدﺤَاوٌ َّةيِن َامِهْيِﺯْجَت َلَف
“Setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji
dan umrah”.
Berdasarkan kaidah di atas, dapat diambil contoh sebagai berikut,
yaitu seseorang berniat melakukan mandi wajib kemudian orang tersebut
ingin berwudhu dengan menggunakan niat yang pertama yaitu niat mandi
wajib, maka hal itu tidak diperbolehkan sebab dalam dua kewajiban tidak
boleh dengan satu niat saja.
َجُمِﺒ ِهِلْصَﺃ ْنَﻋ ُﻞِقَتْنَي َلَف ٌﻞْصﺃ ُهل َنَاﻜ َام ُّﻞُﻜِةَيﱢنال ِدَّر
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal
karena semata-mata niat”
Seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia
berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya.
Contoh lain misalnya jika kita berniat membayar hutang puasa ramadhan,
tetapi belum selesai kita melakukan puasa tersebut, misalnya pada siang
hari, tiba-tiba kemudian kita berubah niat untuk tidak jadi membayar hutang
6 A.Djazuli.Kaidah-kaidah fikih.(Jakarta:Kencana,2007,Ed.1.Cet.ke-2)hlm 38-42
10. puasa dan ingin hanya melaksanakan puasa sunnah senin kamis, maka hal
itu tidak diperbolehkan dan puasa tersebut batal untuk dilaksanakan.
ُدِصَاقَماِللفظِﻇفَلال ِةَيِن َىلَﻋ
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Dari redaksi kaidah ini, memberikan pengertian bahwa ucapan
seseorang itu dianggap sah atau tidak, tergantung dari maksud orang itu
sendiri, yaitu apa maksud dari perkataannya tersebut.
Contohnya seperti jika kita memanggil seseorang dan kita
memanggil orang tersebut dengan sebutan yang bukan nama orang itu
sendiri, dan kita memanggilnya dengan sebutan yang tidak baik, seperti
memperolok orang tersebut dengan kata-kata yang tidak baik, maka dari
ucapan tersebut, apakah dianggap baik atau tidak tergantung maksud orang
yang mengucapkannya. Apakah hal itu dilakukan dengan sengaja ataukah
hanya sekedar bercanda.
Dalam hal lain misalnya,maksud kata-kata seperti talak, hibah,
naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang
yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah
maksudnya itu zakat, atau sedekah,apakah shalat itu maksudnya shalat
fardhu atau shalat sunnah.
ِدِصَاقَمَالو ِﻇَافَلألا َىلَﻋٌ َّةيِنْﺒَم ُنَامْيَألا
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
Khusus untuk sumpah ada kata-kata yang khusus yang digunakan,
yaitu “wallahi” atau “demi Allah saya bersumpah” bahwa saya... dan
seterusnya. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan
sumpahnya itu. Selain itu harus diperhatikan pula apa maksud dengan
sumpahnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada
dalam garis lurus, artinya niatnya harus ikhlas, caranya harus benar dan
baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT.
11. Contohnya seperti apabila seseorang itu berkata bahwa, demi Allah
saya akan memberikan sedikit rezeki kepada orang yang tidak mampu,
apabila nanti saya mendapat rezeki lebih. Dan sumpahnya itu disaksikan
oleh orang lain, maka yang dimaksud orang tersebut ialah dia bersumpah
untuk dirinya sendiri agar berbagi kepada orang yang tidak mampu, apabila
ia mendapatkan rezeki lebih dari biasanya.
ﻲِن اَﺒَمْال َو ِظ اَفْل ِألَل ﻲِن اَﻌَمْلَا َو ِد ِص اَقَمِل ِد ْوُقُﻌْلَا ﻲِف ُة َرْﺒِﻌْلَا
“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-
kata dan ungkapannya”.
Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang
ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun
katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut
bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.7
ٌﻞ ِْطﺒُم ِهْيِف ُاَطﺨْلاَف ُنْيِيْﻌَّتال ِهْيِف ُطََرتْشُي َام
(sesuatu yang disyaratkan {diharuskan} untuk ditentukan, kesalahan pada
penentuan menjadikan sesuatu itu batal).
Misalnya, orang yang melaksanakan sholat dhuhur, tetapi ia keliru
niat sholat ashar maka sholatnya tidak sah. Sehingga dalam kasus ini
menentukan bahwa sholat dhuhur adalah keharusan bagi sahnya ibadah
tersebut.
اكينعاتطرتنشْاالَاًةلناُجهازضُّركعزت اطرتنشْااماأَاهنكيع كاأًالنيكصنفاتهننياَ طنْخارض
(Sesuatu yang di syaratkan menyebutkannya secara garis besar, jika di
dalam pelaksanaannya ditentukansecara rinci, jikasalah dalam penentuan
berakibat fatal).
7 Firdaus.Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.(Padang:IAINPress,2010)hlm53-58
12. Misalnya, orang yang niat melaksanakan sholat jenazah laki-laki,
tetapi ternyata jenazahnya perempuan, maka sholatnya tidak sah. Dalam hal
ini menentukan jika sholat jenazah sangat dipersyaratkan secara rinci.
اَاهنكياع كاأًالنيكصنفاتالَاةلناُجهازضُّركعزت اطرتنشْاااالماكرضْان َاَلطنْخ
(Sesuatu yang tidak di syaratkan untuk menyebutkannya, baik secara garis
besar, maupunsecara detail, jikadisebutkandan ternyata salah, makatidak
membawa kerusakan).
Misalnya orang yang niat sholat ashar di Mesir, ternyata ia berada di
Irak, shalatnya tetap sah. Dalam hal ini menentukan tempat sholat tidak
dipersyaratkan sama sekali, baik secara garis besar maupun detail.8
8 Suwarjin. Ushul Fiqh .(Yogyakarta: Teras, 2012)hlm 215-216
13. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengertian kaidah الماورامبقاصدِا bahwa hukum yang berimplikasi
terhadap suatu perkara yang timbul dari perbuatan atau perkataan subjek
hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut.
Kaidah ini berkaitan dengan setiap perbuatan atau perkara-perkara hukum
yang dilarang dalam syari’at Islam.
Ada 12 kaidah cabang Al-Umuru bi Maqasidiha diantaranya sebagai
berikut :
ِةَيﱢنِالﺒ َّالِﺇ َﺐَاوَﺜ َال
ِهِلَمَﻋ ْنِمٌ ْريَخ ِنِمْؤُمال ُ َّةيِن
ُرَﺒَتْﻌُمَالف ُبْلَقَالو ُنَاسِلال َﻑَلَتْﺨَوالِبْلَقال ِﻲف َام
ُﻡَﺯْلَت َامَّنِﺇ ٍﺀْﺯُج َّﻞُﻜ ِﻲف ِةَدِاﻌُالةَيِن ُﻡَﺯْلَي َالُهُلَﻌْفَي َام ٍةَلْمُج ِﻲف
َةرْمُﻌَالو ّﺞَﺤال ُّالِﺇٌ ِدﺤَاوٌ َّةيِن َامِهْيِﺯْجَت َلَف ْنيَﻀ ﱢرَفُم ُّﻞُﻜ
ِةَيﱢنال ِدَّرَجُمِﺒ ِهِلْصَﺃ ْنَﻋ ُﻞِقَتْنَي َلَف ٌﻞْصﺃ ُهل َنَاﻜ َام ُّﻞُﻜ
ُدِصَاقَماِللفظِﻇفَلال ِةَيِن َىلَﻋ
َىلَﻋٌ َّةيِنْﺒَم ُنَامْيَألاِدِصَاقَمَالو ِﻇَافَلألا
ﻲِن اَﺒَمْال َو ِظ اَفْل ِألَل ﻲِن اَﻌَمْلَا َو ِد ِص اَقَمِل ِد ْوُقُﻌْلَا ﻲِف ُة َرْﺒِﻌْلَا
ٌﻞ ِْطﺒُم ِهْيِف ُاَطﺨْلاَف ُنْيِيْﻌَّتال ِهْيِف ُطََرتْشُي َام
اهننيكينعاتطرتنشْاالَاًةلناُجهازضُّركعزت اطرتنشْااماَ طنْخأَاهنكيع كاأًالنيكصنفتاضار
ا كاأًالنيكصنفاتالَاةلناُجهازضُّركعزت اطرتنشْاااالمارضْان َاَلطناْخَاهنكيع
14. DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Gazali.1996. Ihya Ulumi ad-Diin.
Jakarta: Hidayah.
A.Djazuli.2007. Kaidah-kaidah fikih.Jakarta: Kencana Ed.1.Cet.ke-2.
Firdaus.2010. Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah.Padang: IAIN Press.
Ma’shum Zainy Al-Hasimy.2010. Qowaidh Fiqhiyyah Al-Faroidul Bahiyyah
.Jombang : Darul Hikmah.
Nasher Farid M Wasil.2009. Al-Qowa’id Fiqhiyyah .Jakarta: Amzah.
Suwarjin.2012. Ushul Fiqh .Yogyakarta: Teras.
Suyatno.2011. Dasar-dasar Ilmu Fiqih & Ushul Fiqih.Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.