SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  33
HTTT 
ABSTRAK 
Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan. Para wanita di dalam bisnis 
seks bekerja di berbagai macam lingkungan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi 
diskriminasi dan kekerasan yang parah. Pelokalisasian PSK (pekerja seks komersial) 
tidaklah tindakan yang tepat. Keputusan ini hanya membuat masyarakat bingung dan 
timbul opini legalnya kemaksiatan dimasyarakat daripada dibiarkan tidak terkontrol. Bila 
dilihat dari sumber permasalahan terjadinya PSK yang menjamur dan kebijakan 
dilokalisasikannya prostitusi, diakibatkan kebutuhan ekonomi. Timbul berbagai masalah 
dari penutupan lokalisasi Dolly yakni bisa mempunyai dua fungsi yaitu fungsi manifes 
dari penutupan Dolly tersebut diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku 
keji yang meresahkan banyak masyarakat. Mengurangi penderita penyakit yang 
mematikan yakni virus HIV dan AIDS. Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly 
tersebut diantaranya memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas 
seks semakin bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus 
HIV dan AIDS sulit ditangani, hal inilah yang harus dipertimbangkan dari penutupan 
lokalisasi Dolly. 
(Kata kunci : Prostitusi, Penutupan Lokalisasi Dolly)
I. LATAR BELAKANG MASALAH 
Masalah yang dialami kaum perempuan di Indonesia salah satunya adalah tindak 
kekerasan yang dilakukan laki-laki seperti misalnya kekersaan seksual, memukul, dan 
menyiksa sehingga mengakibatkan perempuan menjadi takut dan trauma. Permasalahan 
trauma dengan kaum laki-laki menjadi salah satu alasan kaum wanita lari ke area yang 
tidak lazim. Banyak tempat yang dipilih kaum wanita sebagai tempat pelarian mereka 
yaitu seperti Klub malam, diskotik, tempat karaoke, dan ada juga yang terjerumus 
kedunia hitam seperti prostitusi. Kaum wanita yang memilih prostitusi sebagai tempat 
pelarian umumnya tinggal dan berada di lokalisasi. Sedangkan alasan dari para wanita 
yang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) ini tentunya berbeda satu sama lain. 
Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum 
peradaban modern menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kala telah ditemukan 
prostitusi atau pelacuran ini, ambil contoh kecilnya pada zaman Nabi Muhammad SAW 
saja prostitusi ini telah ada dan menjadi suatu permasalahan yang pada saat itu menjadi 
gambaran masyarakat pada zaman tersebut. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur 
atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa seksual. 
Sedangkan menurut istilah prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan 
cara menyerahkan diri atau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau 
imbalan dari orang yang memakai jasa saksualnya tersebut. 
Prostitusi atau pelacuran ini merupakan penyakit masyarakat yang tidak bisa dihapus 
atau dimusnahkan dari kehidupan kita. Karena banyak faktor pendukung untuk terjadinya 
prostitusi mulai dari factor keluarga yang bisa dikatakan keluarga gagal, maksud gagal disini 
adalah Broken Home dimana ada banyak permasalahan yang timbul dari Broken Home 
tersebut mulai dari cacat mental, cacat adab prilaku, sehingga seseorang yang mengalami 
masalah ini merasa ingin melakukan segala sesuatu sesuai kehendak hatinya sebagai luapan 
emosi atau hanya sekedar ingin memuaskan dirinya. Atau ada juga akibat factor lingkungan, 
disini lingkungan memegang andil sangat penting dalam pembentukan kepribadian 
seseorang, walaupun keluarga merupakan factor pembentuk kepribadian yang utama tetapi
tidak menutup kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan 
kepribadian seseorang, Selain itu juga ada factor pengaruh ekonomi dimana seorang yang 
berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap nasi, 
dan masih banyak lagi factor- factor yang mendukung terjadinya prostitusi atau pelacuran itu 
tercipta. 
Alasan kaum wanita ini terjerumus ke lokalisasi bukan hanya karena mereka merasa 
sakit hati kepada laki-laki karena merasa dikhianti dan ditindas kaum laki-laki namun ada 
juga dari meraka yang mengalami kekerasan seksual dan pengalaman seksual dini serta 
karena sebab lainnya seperti faktor ekonomi, alasan lain mereka terjerumus kedunia ini yaitu 
akibat rasa takut ditinggalkan kekasih sehingga para wanita ini rela melakukan apa saja yang 
bisa menyenangkan sang kekasih (Penepoulosi, 2000: 42). 
Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas 
ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang 
sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian 
dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling 
menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai. 
Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang 
sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam 
bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. 
Apabila persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah bagaimana 
setiap pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para 
pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang 
relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang 
ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis 
yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai 
cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu. 
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memaksa atau melakukan pemaksaan 
terhadap seseorang untuk bekerja sebagai pelacur dalam bisnis pelacurannya. Pemaksaan ini 
dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penipuan, penjeratan utang, intimidasi,
penculikan dan berbagai cara lain yang menyebabkan seseorang mau tidak mau, setuju tidak 
setuju harus bekerja dalam bisnis pelacuran. 
Mengingat pelacuran ini merupakan bisnis gelap maka penyelesaian dan penanganan 
masalah ini semakin rumit, apalagi pelacuran merupakan bisnis perdagangan tanpa adanya 
barang yang diperdagangkan dan dilakukan di tempat tertutup sehingga untuk membuktikan 
telah terjadinya hal tersebut sangat sulit. Tetapi sulit tidak sama dengan mustahil, untuk itu 
walaupun penanganan masalah pelacuran ini sulit kita tetap harus berusaha untuk 
menyelesaikan masalah tersebut. 
Namun yang lebih parahnya lagi prostitusi kini sudah merebah dikalangan pelajar 
(remaja) Apalagi remaja sedang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. 
Mereka biasanya ingin mencoba-coba sesuatu. Mereka juga ingin dihargai di group nya 
(teman sebaya). 
Gaya hidup dinilai menjadi salah satu faktor utama pendorong remaja terlibat prostitusi. 
Gaya hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan sinetron di televisi. 
Remaja digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang yang dimilikinya. Padahal 
dengan terlibat prostitusi, para remaja itu sangat rentan terinfeksi penyakit menular seperti 
HIV dan AIDS. 
Bukan hanya factor gaya hidup yang mempengaruhi terjadinya prostitusi dikalangan 
pelajar (remaja). Prostitusi juga terjadi karena sebagian remaja tidak memahami mengapa 
terjadi kehamilan, menstruasi, dan hal lain yang terkait dengan seksualitas sehingga dengan 
mudah mereka tergabung dalam dunia prostitusi ini. Minimnya pengetahuan mengenai seks 
telah membuat para remaja tidak memiliki penangkal dalam soal seksualitas. 
Untuk menangkal agar remaja tidak terlibat prostitusi, pendidikan seksual dan 
kesehatan reproduksi di sekolah menengah sangat penting. Materi yang diajarkan bukan soal 
hubungan seksualnya, pasalnya di Indonesia berbicara seks masih dinilai tabu. Pendidikan 
seks lebih menekan pada kesehatan seksual atau reproduksi yang baik. Serta peran orang tua 
juga sangat penting. Orang tua harus mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. 
Apalagi remaja yang mulai beranjak dewasa biasanya perlu pengetahuan seks yang memadai. 
Komunikasi antara anak dan orang tua harus pula terjalin. Dengan hubungan yang hangat,
biasanya akan lebih terbuka dengan persoalan yang dihadapinya. Orang tua harus belajar 
mengatasi konflik yang dihadapi remaja dan mampu memberi solusinya. 
II. RUMUSAN MASALAH 
A. Apa yang menjadi faktor penyebab tumbuhnya prostitusi ? 
B. Apa sajakah yang menjadi problem dari prostitusi ? 
C. Bagaimanakah akibat yang muncul dari adanya pelacuran ? 
D. Apa sajakah peraturan yang terkait prostitusi ? 
E. Apakah pro kontra didalam masyarakat atas penutupan lokalisasi dolly ? 
F. Apa saja akibat penutupan dari lokalisasi dolly di lihat dari aspek sosiologis ? 
G. Bagaimanakah cara menanggulangi prostitusi ?
III. KERANGKA TEORI 
A. STUDI PENELITIAN TERDAHULU 
Nur Kholis Aziz “Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Pengaturan Lokalisasi Pelacuran di 
Kabupaten Tulungagung”. Dalam isi skripsi tersebut. Bahwa sebenarnya tidak ada 
landasan hukum yang menjadi pertimbangan, sehingga dibukanya lokalisasi pelacuran di 
Kabupaten Tulungagung, namun pertimbangan Pemerintah Daerah melokalisasi pelacuran 
melalui Peraturan Daerah Nomor 29 tahun 2002, tentang penyelenggaraan Ketertiban 
Umum adalah: pertama,untuk penyelenggaraan ketertiban umum, dalam rangka 
menciptakan kebersihan, ketertiban dan menanggulangi praktik-praktik pelacuran liar di 
tempat-tempat umum. Kedua,sebab-sebab timbulnya pelacuran karena adanya faktor 
ekonomi, lingkungan, urbanisasi, dan problem keluarga yang saling berkaitan, untuk itu 
harus dipahami. 
Meskipun pelacuran dikatakan penyakit masyarakat yang dengan perlakuannya berakibat 
pelanggaran ketertiban umum, namun pelacuran tidak dapat hanya diselesaikan secara 
hukum, tapi juga melalui jalan memahami kehidupan sosial. Karena terkait antara 
pencakupan biologis dan nafkah hidup bagi warga Negara. Pembinaan ketrampilan juga 
menjadikan upaya memberi solusi pekerjaan bagi mereka. Payung hukum yang dijadikan 
perlindungan lokalisasi pelacuran di Kabupaten Tulungagung adalah, Peraturan Daerah 
Nomor 29 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan ketertiban umum, dimana melacurkan 
diri perbuatan asusila yang hanya dijerat kalau dilakukan ditempat umum. Misalnya 
dilakukan di jalan-jalan dan tempat-tempat terbuka. Adanya 2 (dua) lokalisasi pelacuran di 
Ngujang dan Kaliwungu Tulungagung ternyata selama ini tidak ada payung hukum yang 
kuat, yang dijadikan perlindungan lokalisasi. Sedangkan, keberadaan lokalisasi pelacuran 
tersebut masih eksis selama ini di dua lokalisasi Ngujang dan Kaliwungu, hal tersebut 
hanya karena pertimbangan sosial dari Pemerintah Dearah sebagai jalan alternatif saat ini.1 
1Nur Kholis Aziz, Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Pengaturan Lokalisasi Pelacuran di 
Kabupaten Tulungagung,Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Tulungagung, 2007
B. TEORI YANG RELEVAN 
KONFLIK 
Berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara 
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih 
(bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain 
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik 
dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu 
interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, 
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan 
dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi 
yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak 
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat 
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu 
sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan 
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan 
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. 
Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli. 
1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan 
kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada 
berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara 
dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. 
2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan 
kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini 
terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau 
tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. 
3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh 
persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di 
dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. 
Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada 
konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi 
pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan 
organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang 
sangat dekat hubungannya dengan stres. 
5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua 
atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun 
terpisahkan oleh perbedaan tujuan. 
6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak 
yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak 
mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara 
negatif (Robbins, 1993). 
7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, 
kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, 
pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang 
diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249). 
8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku 
komunikasi (Folger & Poole: 1984). 
9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang 
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, 
maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 
1986:185; Stewart, 1993:341). 
10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang 
lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang 
berbeda – beda (Devito, 1995:381) 
Konflik dalam masyarakat dikelompokkan menjadi beberapa kategori antara lain: 
 Konflik pribadi 
Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi antarpribadi karena adanya 
perbedaan-perbedaan tertentu yang saling dipertahankan oleh masing-masing 
pihak. 
 Konflik rasial
Konflik rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena 
kepentingan kebudayaan yang saling bertabrakan. 
 Konflik politik 
Konflik politik menyangkut golongan-golongan dalam masyarakat (kepentingan) 
maupun di antara negara-negara yang berdaulat. 
 Konflik antarkelas sosial 
Konflik antarkelas sosial adalah konflik yang umumnya terjadi karena perbedaan 
kepentingan masing-masing kelas sosial. Misalnya seperti yang diungkapkan 
oleh Karl Marx yaitu konflik antara kelas borjuis dan proletar (buruh). 
 Konflik antarkelompok 
Konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi karena persaingan untuk 
mendapatkan mata pencaharian yang sama atau terjadi karena pemaksaan unsur-unsur 
kebudayaan tertentu. Di samping itu mungkin ada pemaksaan agama, 
dominasi politik, adanya konflik tradisional yang terpendam. 
 Konflik internasional 
Konflik internasional biasanya berawal dengan adanya pertentangan antara dua 
negara karena kepentingan yang berbeda. Konflik internasional yaitu 
pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok negara (blok) karena 
perbedaan kepentingan. 
 Konflik berbasis massa 
Konflik berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa. Aspek 
kognitif dan afektif rakyat yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi 
aliran dan ideologi kelompok dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang 
efektif 
SEJARAH TENTANG PELACURAN/ LOKALISASI 
Sejarah profesi prostitusi merupakan profesi yang tua dalam sejarah, hanya saja tidak 
dapat dipastikan siapa yang lebih tua antara profesi prostitusi/ pelacur dan profesi 
lawyer/advokad. Profesi pelacur dan juga hakim, lawyer, serta dokter bersama-sama 
dengan dukun para normal disebut-sebut sebagai 4 (empat) profesi yang tertua dalam
sejarah dunia.2 Sama halnya dengan kemiskinan, pelacuran merupakan masalah 
sosial yang tertua, sejak adanya norma-norma perkawinan dalam pergaulan hidup 
manusia. Sejak itu pula gejala masyarakat yang dikenal dengan pelacuran, dan 
penyimpangan dari norma-norma perkawinan yang sah bisa merupakan zina/ 
pelacuran.3 
Timbulnya pelacuran sama tuanya dengan sejarah timbulnya tata tertib masyarakat 
seperti perkawinan atau pernikahan. Perwujudan saat itu berlainan dengan praktik 
pada saat ini, hal ini tentunya berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan 
peradaban itu sendiri di berbagai daerah. Pelacuran telah lama ada dan dikenal, 
dalam sejarah manusia seperti diantaranya: Amerika Serikat, Yunan dan Romawi 
Kuno, serta di kerajaan Tiongkok lama dan sejak berabad-abad silam. Sejalan 
dengan perkembangan sejarah pada masa-masa dahulu, dimana masyarakat masih 
sederhana, sebagai suatu gejala. Hal ini lebih banyak dijumpai di negara Amerika 
Serikat. 
Sejak zaman koloni banyak perempuan masuk daerah Amerika Serikat, dari Eropa 
bersama dengan kaum pendatang lainnya. Beberapa diantaranya datang bersama-sama 
dengan kaum penjahat. Tulisan dan kotbah-kotbah kaum pendatang semuanya 
memberikan gambaran, tentang kejahatan dan pelacuran di daerah-daerah Amerika 
Serikat. Sepanjang pantai Gading dan beberapa suku Indian Amerika, masyarakat 
memiliki kebiasaan untuk melacurkan istri, dan putri mereka guna mendapatkan 
keuntungan tertentu. 
Penggantian dari pihak suami menjadi hak seorang dewa menyebabkan adanya suku-suku 
dahulu, melakukan pelacuran keagamaan atau dikenal dengan istilah “religious 
prostitusi”. Sebagai contoh, yang terdapat di dalam buku Ewe Tshi yang mendiami 
pantai Afrika Barat. Bahwa pendeta perempuan menganggap dirinya sebagai istri 
dari dewa yang mereka sembah, dan untuk itu mereka melakukan hubungan kelamin 
dengan laki-laki yang bukan suaminya. 
2 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, PT. Adya Bakti, Bandung, 2003, hal 70. 
3 Soejono D, Pathologi Sosial, Alumni, Bandung, hal 102
Perbuatan itu dianggap bukan sebagai perbuatan yangtercela. Demikian halnya di 
India sejak abad ke-8 dan ke-9, penyanyi-penyanyi di biara sering melakukan 
hubungan kelamin sebagai bentuk pemujaan. 
“Pada zaman kerajaan Yunani Kuno pelacuran merupakan suatu lembaga sosial yang 
terhormat dan diakui oleh publik. Istri-istri raja Yunani Kuno, harus berdiam diri 
terus di rumah dan tidak boleh keluar serta dilarang berada di tempat-tempat umum 
seperti pada pertandingan-pertandingan dan teater-teater, dan kalau mereka boleh 
keluar oleh suaminya harus memakai kerudung muka. Mereka menganggap sebagai 
penghasil anak yang akhirnya pria-pria Yunani Kuno, yang terhormat mencari 
wanita-wanita pelacur untuk hiburan”4 
Di Negara Roma hubungan badan (seksual) di luar perkawinan adalah dianggap 
sebagai perbuatan penyelewengan moral, dan hal tersebut merupakan perbuatan 
yang harus dikenakan sanksi hukuman berat. Meskipun kenyataan pada akhirnya 
diadakan hukuman berat, namun pelacuran menjadi gejala sosial yang dianggap 
lumrah. Apalagi ketika Kaisar Roma sendiri melanggar hukum dengan main 
perempuan-perempuan pelacur, di tempat tertentu/ khusus yang mewah, lengkap 
dengan tempat pemandian dan pemijatan. Maka akhirnya, larangan pelacuran itu 
menjadi tidak berlaku, dan kesucian terhadap perkawinan yang sah menjadi rusak. 
Di Yunani perzinaan dianggap adat kebiasaan hak istimewa seorang laki-laki, dan 
perempuan ulung bisa menjadi perempuan yang mempunyai kedudukan tinggi dalam 
masyarakat. Di Roma pada masa kekuasaan kekaisaran terakhir, ketika kerajaan 
lama mengalami keruntuhan, perzinaan menjadi praktik umum dan biasa bagi laki-laki 
maupun perempuan, yang belum atau sudah kawin. Dan perempuan dari kelas 
tinggi/ kalangan mewah bisa turun pangkat menjadi pelacur yang menawarkan 
dirinya, pada siapa saja asal dapat kepuasan. 
4 B. Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Pathologi Sosial, Penerbit Tarsito, 1981. hal 22.
Setelah pengakuan dan penyebaran agama Nasrani, timbul pandangan baru terhadap 
pelacur, dan berusaha mengembalikan mereka kejalan yang benar. Pandangan 
demikian ini pada dasarnya mempersamakan kedudukan perempuan dan laki-laki di 
hadapan Tuhan. Jadi, berbeda dengan masalah sebelumnya, pelacuran pada 
hakikatnya tidak dapat di terima dan menjadi masalah sulit. 
Di Eropa raja-raja pertama abad pertengahan, selain memperkenalkan sistem selir, 
pelacuran juga pada abad pertengahan, mungkin hanya dapat dimengerti bila 
dihubungkan dengan tiga macam kepentingan sosial. Pertama, adalah dihubungkan 
dengan kesejahteraan keluarga, yaitu dengan menjaga anak istri dari pengaruh-pengaruh 
pelacuran, dan juga untuk kepentingan agama. Dan kepentingan ini 
merupakan pencegahan. Keduaadalah, untuk mencegah rumah pelacuran menjadi 
tempat pusat kekacauan, kejahatan. Untuk kepentingan ini rumah pelacuran diawasi 
oleh petugas pemerintah, dengan mengharuskan pelacur yang berpraktik mendapat 
izin terlebih dahulu dari pemerintah. Ketiga,adalah kepentingan keuangan, dimana 
pemerintah ingin mendapat bagian. 
Pada permulaan abad XV ditandai dengan munculnya anggapan-anggapan baru 
mengenai pelacuran, yaitu dengan kesadaran akan bahaya penularan penyakit 
kelamin, yang telah melanda Eropa Selatan menjalang akhir abad XV dan 
mengganaskan di abad XVI. Telah di perkirakan sepertiganya penduduk Eropa telah 
meninggal, akibat penyakit kelamin dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. 
Ketakutan ini diperbesar lagi dengan adanya tindakan pendeta-pendeta Gereja yang 
tidak mampu untuk mengatasi persoalan pelacuran. Kemudian diadakan pengawasan 
yang keras dan ketat, bahkan ditetapkan undang-undang yang berisi tentang 
penghukuman para pelacur. Di Paris contohnya dengan ordonansi 1635 yang 
menyebutkan bahwa, tanpa pengadilan resmi, pelacuran dapat dibuang keluar daerah 
seumur hidup. Selanjutnya bahwa diharuskan pemeriksaan bagi pelacuran yang 
untuk berobat di kota Paris, tetapi
penyakit kelamin tersebut telah menjalar dengan cepat di abad XIX, sedang undang-undang 
itu sendiri tidak mampu menghapuskan sesuai dengan harapan. Tetapi, 
dengan pelacuran itu sendiri bukan merupakan penyebab satu-satunya penyakit 
kelamin. Pelacuran hanya merupakan bentuk yang paling nyata dibanding hubungan-hubungan 
kelamin di luar pernikahan. Sumber penyakit itu sendiri bukan berasal dari 
para pelacur saja, melainkan dari laki-laki dengan siapa berhubungan. Pada perang 
dunia ke-II, penyakit kelamin yang tidak terkontrol oleh pemerintah menjadi banyak, 
maka pada tahun 1919 liga bangsa-bangsa mengambil keputusan, mempercayakan 
persetujuan mengenai perdagangan-perdagangan wanita, dan pelacuran di bawah 
pengawasan Internasional. 
Konverensi Jenewa tahun 1921 menyarankan rencana persetujuan, yang memohon 
dewan liga bangsa-bangsa untuk membentuk komite penasihat, dan menyarankan 
supaya wakil-wakil negara yang di undang untuk membuat laporan tahunan, 
mengenai pelacuran di negaranya masing-masing. Sementara pelacuran berada di 
Indonesia sejak masih berbentuk kerajaan. Dalam hal ini Rukmini Kusuma Astuti 
menyatakan: 
“Hal tersebut berakar adanya kelas dalam masyarakat, kelas tuan tanah, dan kelas 
petani miskin. Golongan pertama mempunyai kedudukan ekonomi kuat sehingga 
mereka mampu memelihara istri dan selir. Selir-selir ini banyak diambil dari 
keluarga petani dan rakyat kecil. Keadaan yang demikian menimbulkan 
perguncingan dan pelacuran.”5 
PENGERTIAN PROSTITUSI ATAU PELACURAN 
Pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti 
membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan 
pergendakan. Sehingga pelacuran atau prostitusi bisa diartikan sebagai perjualan jasa 
seksual, seperti oral seks atau hubungan seks untuk uang. 
5Rukmini Kusuma Astuti, Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat, Thesis, Fakultas 
Psikologi Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, hal 17
Pelacur wanita disebut prostitue, sundal, balon, lonte; sedangkan pelacur pria disebut 
gigolo. Pelaku pelacur kebanyakan dilakukan oleh wanita. (Samad : 2012) 
Bloch (dalam Winaya, 2006) berpendapat pelacuran adalah suatu bentuk 
perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada 
siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk 
persembahan maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang 
diinginkan oleh yang bersangkutan. 
Sekanto (dalam Syani, 1994 : 193) menganggap pelacuran itu sebagai suatu 
pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan 
perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Ia memandang hal itu 
adalah suatu pekerjaan yang mendapat imbalan, artinya keterlibatan seseorang dalam 
hubungan pekerjaan itu mempunyai keteraturan dan secara lahiriah tidak 
memperlibatkan adanya unsure paksaan atau pemerkosaan. 
Untuk lebih luas dan mendalam memahami prostitusi atau pelacuran ini, maka 
penulis akan mengulas beberapa pendapat dan rumusan para ahli mengenai 
pelacuran sebagai berikut: 
1. Amstel (dalam kartini kartono, 1980 : 205), mengatakan bahwa: prostitusi adalah 
penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki- laki dengan pembayaran. 
2. Kartono (1988 : 206) mengatakan bahwa: 
a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi 
impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintergrasi, dalam 
bentuk pelampiasan nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang 
(promiskuitas). 
b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan 
badan, kehormatan dan kepribadian kepda banyak orang untuk memuaskan 
nafsu seks dengan imbalan pembayaran. 
Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya 
untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
IV. PEMBAHASAN 
A. FAKTOR PENYEBAB TUMBUHNYA PROSTITUSI 
Menurut Soedjono (dalam Winaya: 2006), motif-motif atau faktor penyebab yang melatar 
belakangi tumbuhnya pelacuran atau praktik prostitusi adalah: 
1. Tekanan ekonomi. 
2. Aspirasi materiil yang tinggi dalam diri wanita dan kesenangan-ketamakan terhadap 
pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah namun 
malas bekerja. 
3. Rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah seks khususnya untuk remaja yang 
kemudian masuk ke dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan orang-orang yang 
tidak bertanggung jawab. 
4. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. 
5. Adanya kebudayaan eksploitasi pada jaman modern khususnya terhadap kaum lemah 
(wanita) untuk tujuan komersial.Peperangan dan masa kacau di dalam negeri 
meningkatkan pelacuran. 
6. Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah pertambangan dengan 
konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan rasio kaum pria 
dan wanita di daerah tersebut. 
7. Perkembangan kota-kota daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan 
menyerap urbanisasi tanpa ada jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan kecuali 
menjadi PSK bagi anak-anak gadis. 
8. Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat. 
Berdasarkan uraian diatas seolah-olah pelacuran bukan suatu masalah sosial, akan tetapi 
secara social justru yang menjadi persoalan adalah karena adanya keteraturan dengan 
dukungan keamanan itu yang akan membuat profesinya menjadi berkembang dan 
melembaga. Dan dalam prostitusi tersebut ada yang disebut dengan germo, yang 
kemudian diperhalus menjadi Bapak atau ibu asuh, sementara yang diasuh sebagai anak 
asuh.
Dua Faktor Besar Pendorong Timbulnya Pelacuran 
1. Faktor Kejiwaan 
Sejumlah faktor psikologi tertentu memainkan peranan penting yang 
menyebabkan seseorang perempuan melacurkan diri. Bahwa, perempuan-perempuan 
yang menjadi pelacur itu, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang 
miskin atau agak miskin. Orang tua mereka berwatak lemah dan kebanyakan 
kurang pendidikan. Standar modal keluarga keluarga mereka pada umumnya 
rendah, dan cara orang tua mereka memberikan pembentukan disiplin adalah, 
tidak bijaksana dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. 
Kurangnya kasih sayang dapat membawa pada keadaan tak berdaya. Di samping 
itu juga, di dukung sejumlah faktor sosial, misalnya keinginan untuk melepaskan 
diri dari kenyataan hidup keluarga, dan masyarakat yang tidak tertahankan lagi. 
Adanya keinginan untuk mengikuti cara hidup di kota-kota dengan segala 
kemewahaan, juga dapat mendorong seseorang melacurkan diri. Dalam hal ini 
Rukmini menyebutkan sebagai berikut: 
“Faktor moral individu dan moral masyarakat sebagai faktor yang cukup penting 
artinya di dalam terjadinya pelacuran. Hal ini dapat dilihat di negara-negara yang 
telah maju, dimana faktor ekonomi sering dianggap bukan faktor lagi yang 
menyebabkan bukan wanita melacurkan diri, tetapi dikarenakan juga adanya 
demoralisasi yang dialami oleh masyarakat dan individu pendukungnya, Di dalam 
usaha pemuasan nafsu sexsual seseorang, peranan sanksi masyarakat yang 
tercermin dalam keadaan moralnya sangat menetukan tindakan seseorang dan 
karenanya itu masalah pemuasan sex untuk mengadakan hubungan kelamin bukan 
hanya masalah kebutuhan biologis semata. Selanjutnya dikatakan, pembentukan 
moral individu terutama dalam kehidupan sexnya, sangat ditentukan oleh 
pendidikan didalam keluarga, dimana individu diperkenankan untuk pertama 
kalinya dengan baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, benar dan salah serta hal 
lainnya. Kemudian moral seks tersebut terinternanasi oleh si anak tanpa disadari.6 
6Rukmini Kusuma Astuti, Op., Cit, hal 35.
Kegagalan-kegagalan di dalam hidup individu karena tidak terpuaskan 
kebutuhannya (baik biologis maupun sosial), dapat menimbulkan efek psikologis. 
Sehingga, mengakibatkan situasi kritis pada diri individu tersebut. Di dalam 
keadaan kritis ini mudah mengalami konflik batin, dan sadar atau tidak sadar 
mereka mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitannya. Dalam keadaan yang 
demikian inilah orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat. Seperti yang 
telah disebutkan oleh Warauow, berbagai faktor psikologis yang dapat 
menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur adalah sebagai berikut: 
1) IQ rendah sekitar 65 % sebagian besar wanita pelacur mempunyai IQ rendah, 
yang terbagi: labilitas, dengan IQ 70-90, imbesil dengan IQ 50-70 dan idiot 
dengan IQ dibawah 50, mereka yang idiot ini jarang hidup diatas 30 tahun. 
2) Kehidupan sosial yang abnormal, misalnya: hipersexual dan sadis sex. 
3) Kepribadian yang lemah misalnya meniru. 
4) Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya kurang dapat membedakan 
baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dan lain-lain. 
5) Mudah terpengaruh (suggestible). 
6) Memiliki motif kemewahan, yakni menjadikan kemewahan sebagai tujuan 
utama. 
2. Faktor Sosial Ekonomi. 
Sejumlah faktor sosial ekonomi sering disebut sebagai faktor pendorong 
seseorang melacurkan diri. Faktor ini dapat dikaitkan dengan teori anatomi 
Durkheim, yang didasarkan pada anggapan banyak kebutuhan ekonomi tidak 
terpenuhi. Dengan demikian diperlukan aturan umum ataupun sesuatu, yang 
menjaga tindakan sewenang-wenang dari pada anggota masyarakat yang ingin 
memenuhi kebutuhannya itu. 
Bila aturan-aturan tidak dapat dilaksanakan ataupun tidak dapat lagi mengontrol 
keadaan, timbulllah situasi seolah-olah tidak ada lagi norma, peraturan-peraturan 
mengikat dengan sangat lemah. Keadaan anatomipun akan menguasai 
masyarakat. Biasanya pelanggaran terhadap depresi ekonomi, ataupun ketika 
pesatnya kemajuan teknologi di dalam masyarakat. Teori sosial diatas secara 
khusus pula dapat dipakai dalam usaha menjelaskan mengapa seorang melacurkan
diri. Reckless menyebutkan sejumlah kondisi sosial ekonomi yang amat penting 
artinya dan menjerumuskan seorang perempuan melacurkan diri. Keadaan sosial 
tersebut adalah: 
a. Berasal dari keluarga miskin yang umumnya tingal di desa terpencil. 
b. Melakukan urbanisasi karena menginginkan perbaikan nasib di kota-kota 
besar, diantaranya mereka yang sedang hamil tanpa suami. 
c. Pada umumnya mereka tidak memiliki keahlian tertentu. 
d. Berasal dari keluarga yang pecah (broken home). 
e. Telah dicerai suaminya. 
f. Jatuh ke tangan-tangan agen rumah bordil yang sedang giat mencari mangsa-mangsa 
baru, untuk dijadikan penghuni tetap rumah-rumah pelacuran. 
Adanya pemupukan kekayaan pada golongan tertentu, terjadinya kemlaratan pada 
golongan bawah atau dengan kata lain, adanya hierarki di bidang kehidupan 
ekonomi, memudahkan bagi penguasa rumah bordil mencari wanita-wanita dari 
kelas melarat. Hubungan faktortersebut dapat melahirkan pelacuran, tidak hanya 
masalah ekonomi saja tetapi faktor sosial dan hukum sangat menentukan 
terjadinya proses ini. 
B. PROBLEM PROSTITUSI 
a. Pelacuran sebagai masalah sosial 
Pelacuran merupakan masalah sosial, karena merugikan masyarakat dalam hal 
ketentraman, kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari kehidupan 
bersama. Hal ini menjadi nyata biladihubungkan dengan penularan penyakit 
kelamin, ajaran beberapa agama dan adat tradisi suku-suku bangsa Indonesia. 
b. Pelacuran dan penyakit kelamin 
Pelacuran dapat mendatangkan penyakit kelamin yang amat berbahaya, seperti 
misalnya: sipilis dan kencing nanah yang dapat dengan mudah ditularkan 
kepada istri, dan anak-anak si penderita. Betapa meluasnya penyakit kelamin 
ditengah-tengah masyarakat dapat dilihat dari tulisan Rukmini (1984 :68) yang 
menyatakan sebagai berikut:
“Menurut hasil pelaksanaan survey lembaga P4K di Surabaya maka diperoleh 
data sebagai berikut: diantaranya alat-alat negara didapatkan angka sipilis aktif 
dan laten sebesar 30,8 persen, buruh-buruh pabrik dan perusahaan 10,5 persen, 
rakyat bebas di dalam suatu kampung 8 persen, diantaranya mahasiswa 1,61 
persen dan diantaranya ibu-ibu hamil yang memeriksakan diri di B.K.I.A di 
kota Surabaya didapatkan sipilis 11,16 persen.”7 
Dari hasil survey di atas kiranya dapat digaris bawahi, bahwa majunya 
pengetahuan di bidang obat-obatan, ternyata belum dapat membatasi dan 
menjamin melusnya penyakit kelamin di masyarakat. Ada beberapa hal yang 
menyulitkan usaha-usaha untuk membatasi meluasnya penyakit kelamin, 
terutama karena belum adanya kesadaran dari banyak perempuan pelacur akan 
bahaya-bahaya yang dapat di timbulkannya. Adamang Rochim, menuliskan 
hasil penelitiannya terhadap 122 orang pelacur sebagi berikut: 
“Hampir lima puluh persen diantara mereka tidak dapat injeksi. Berdasarkan 
hasil observasi penulis ada beberapa wanita pelacur yang memang takut di 
injeksi, sehingga walaupun datang di tempat penyuntikan itu dia. Hanya 
membayar uang Rp. 75, 00 dengan menyerahkan kartu kemudian diberi tanda 
bahwa ia mudah di injeksi yang sebenarnya mereka tidak mau di injeksi.”8 
Dari hasil penelitian di atas selanjutnya dapat diberi kesimpulan, bahwa 
penyakit kelamin yang menyertai pelacuran mempengaruhi kesejahteraan 
sebagai anggota masyarakat, karena penyakit kelamin mengancam 
keselamatan, ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani, maupun 
sosial mereka. Pelacuran sebagai masalah sosial, yang telah dibahas dari segi 
penyakit kelamin yang ditimbulkan, juga akan dilihat dari pandangan agama, 
yakni Agama Islam. Pelacuran dilihat dari pandangan agama menyangkut 
nilai- nilai, yakni nilai yang buruk. 
7Rukmini Kusuma Astuti. Op., Cit. hal 68. 
8Adamang Rochim, 19981, Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat Kesejahteraan 
Keluarga, Penerbit Tarsito, Bandung, hal 68.
Pengertian buruk antara lain, disebutkan dalam hukum Islam yang bersumber 
dari Al-Qur’an dan Hadis NabiMuhammad saw, di dalam Al-Qur’an tidak ada 
ayat yang menyebutkan pelacuran tetapi hanya menyebut perzinaan. Pelacuran 
merupakan perzinaan menurut pandangan agama Islam. Mengenai sanksi 
hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang pezina, Allah swt. Didalam 
Surat An-Nur ayat 2, Al-Qur’an dan terjemahannya sebagai berikut: 
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap 
seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada 
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu 
beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman 
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” 
Nabi Muhammad saw. Sangat mengutuk perbuatan zina, karena zina termasuk 
perbuatan dosa besar dalam Islam. Para Imam empat madzhab didalam Islam, 
yaitu Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi’i bersepakat, bahwa perbuatan zina 
adalah suatu dosa besar yang wajib dikenakan hukuman kepada para 
pelakunya. Dengan demikian pelacur merupakan masalah yang harus di 
tanggulangi karena bertentangan dengan moral Islam. 
c. Pelacuran Dilihat dari Pandangan Adat Tradisi. 
Pelacuran merupakan masalah sosial, bukan hanya bila ditinjau dari segi 
penularan penyakit kelamin dan pandangan Islam. Tetapi juga merupakan 
masalah sosial bila dilihat dari segi adattradisi, sebagaian besar suku-suku 
bangsa di Indonesia yang telah mengakui lembaga perkawinan sebagai 
lembaga yang luhur. Sehingga setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan, 
merupakan perbuatan tercela, bahkan dapat menyebabkan pertumpahan darah. 
Reaksi masyarakat terhadap delik kesusilaan tidak dapat diabaikan. Sehingga, 
hendaknya adat tradisi dapat dijadikan dasar dalam putusan hakim dalam 
menerapkan delik kesusilaan ini. perempuannya karena diketahui telah 
melakukan hubungan gelap dengan laki-laki lain yang bukan suaminya.9 
9Nur Kholis Aziz, Op., Cit. hal 45
C. AKIBAT ADANYA PELACURAN 
Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun positif. 
Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif, yaitu 
akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam-macam penyakit kotor 
dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan kelamin atau 
penyakit hubungan seksual (PHS). 
 Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk 
demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga 
demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur. 
 Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan nar-kotika, 
karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya para 
penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang sedang ber-masalah 
dengan keluarga atau masalah yang lain. 
 Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan 
eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita-wanita 
pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus 
diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus diberikan kepada germo, para 
calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari akibat berbahayanya, gejala 
pelacuran merupakan gejala sosial yang harus ditanggulangi, sekalipun 
masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat sulit memberntas dan 
menang-gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin banyak tipe-tipe 
pelacuran yang ada dalam masyarakat. 
 Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. 
Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-sendi dalam 
keluarga rusak. Semakin banyak pengguna akan semakin memperbanyak jumlah 
WTS ini, dan akan menular ke masyarakat luas. 
 Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama
Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan 
agama . Karena pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, 
susila, hukum dan agama 
 Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan 
minuman keras Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan 
narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam 
hubungan seksual 
 Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. 
Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids, 
HIV Aids sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak 
merambat terlalu jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit 
jaringan prostitusi ini . 
D. PERATURAN TERKAIT PROSTITUSI 
Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP 
untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang 
sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, 
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sedangkan untuk 
pelakunya sendiri belum ada hukumannya . 
Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah sukar dan harus melalui proses 
dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan yang besar. Usaha untuk 
mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 
1. Usaha yang bersifat preventif 
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk 
mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa : 
 penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan 
penyelenggaraan pelacuran. 
 pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat 
keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
 memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan kodrat dan 
bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan 
hidup setiap harinya. 
 penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam 
kehidupan keluarga 
 penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar 
porno, film- film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks. 
 meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya 
2. Tindakan yang bersifat represif dan kuratif 
Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan 
dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian 
membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain berupa : 
 melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan 
atau kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada umumnya di daerah 
terpencil yang jauh dari keramaian. 
 untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan 
resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang 
susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui: pendidikan moral 
dan agama, latihan–latihan kerja dan pendidikan keterampilan agara mereka 
bersifat kreatif dan produktif. 
 penyempunaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang 
terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing. 
 menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan 
profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila. 
E. PRO KONTRA MASYARAKAT ATAS PENUTUPAN LOKALISASI 
DOLLY 
Gang Dolly merupakan tempat pelacuran yang diperkirakan terbesar di Asia 
Tenggara menjadi salah satu lokalisasi yang ramai dikunjungi oleh para lelaki
hidung belang baik tua maupun muda, apalagi ketika malam hari di gang-gang 
Dolly tersebut seringkali macet Kemaksiatan (perzinaan) yang seringkali 
memunculkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Saat ini gencar-gencarnya isu 
penutupan gang Dolly diwacanakan dari berbagai pihak. Dan hal tersebut juga 
banyak yang mendukung, dan ada juga yang tak merelakan jika Gang dolly 
tersebut ditutup. 
Saifullah Yusuf wakil gubenur mendesak wali Kota Surabaya Tri Rismaharini 
agar menutup lokalisasi Dolly. Usul tersebut didasari temuan 80% PSK 
mengalami gangguan reproduksi hingga terjangkit penyakit kelamin. Sehingga 
pemkot harus bersinergi membuat program pembinaan PSK seperti keterampilan 
dan wirausaha (Jawa Pos, 29-09-2010) 
Anggota komisi E (Kesejahteraan Masyarakat) Heri Prasetyo (kader partai 
Demokrat-dapil Jember-Lumajang) menyatakan pemprov dan pemkot/pemkab 
seharusnya bersinergi meningkatkan pemerataan pembangunan. Menurutnya 
banyaknya PSK (pekerja seks komersial) karena faktor ekonomi dan kebanyakan 
dari mereka berasal dari luar Surabaya sehingga harus diadakan program 
pengentasan kemiskinan di daerah. Hal tersebut akan merangsang para PSK 
tersebut ke daerahnya masing-masing. Kemudian, Dolly direhabilitasi menjadi 
tempat industri atau perdagangan. Penutupan dilakukan secara pelan-pelan 
dengan menyadarkan sekaligus memberikan solusi (Jawa Pos, 29-09-2010). 
Anggota komisi C Sugiri Sancoko mengungkapkan meski pemkot meningkatkan 
operasi yang melarang kedatangan PSK dari tempat lain, belum ada jaminan 
upaya tersebut berhasil. Hal tersebut diakibatkan masih bergentangannya sindikat 
trafficking (perdagangan manusia). 
Ketua PCNU Kota Surabaya KH. Syaiful Fahmi juga menyatakan setuju dengan 
penutupan lokalisasi yang menurut Eko Haryanto kepala Dinas Sosial “Dolly 
Legal iya, gak juga iya”, dimana Dolly tidak pernah diresmikan sebagai lokalisasi, 
jadi tidak ada landasan hukum untuk menutup lokalisasi tersebut (Jawa Pos, 01- 
10-2010 
Sebagian besar masyarakat mungkin menganggap bahwa pekerja seks komersial 
merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas, karena menimbulkan
dampak yang tidak baik di masyarakat. Namun dalam realitasnya masyarakat 
mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang keberadaan PSK, ada 
yangmenentang dan menolaknya namun ada pula yang menerimanya. Bagi 
mereka yang menerima, antara lain dikarenakan: 
a. Sebagian anggota masyarakat tersebut sudah kecanduan terhadap pelayanan 
yang diberikan PSK, dengan cara yang mudah dan bisa mendapatkan kepuasan 
sesaat. 
b. Keberadaan PSK itu dianggap sebagai hal biasa, sehingga orang berperilaku 
acuh tak acuh terhadapnya. 
c. Keberadaan PSK telah mendatangkan keuntungan ekonomis begi kehidupan 
mereka sehari-hari. 
d. Sedangkan bagi mereka yang menolak, alasan yang kuat adalah karena factor 
agama, kesopanan, tata susila, maupun adat ketimuran serta karena bisa 
merusak moral generasi muda. 
F. PENUTUPAN LOKALISASI DOLLY DI LIHAT DARI ASPEK 
SOSIOLOGIS 
Masalah tersebut yakni progja penutupan Dolly bisa mempunyai dua fungsi yaitu 
fungsi manifes (diharapkan dan disadari) dan fungsi laten (tidak dimaksudkan dan 
tidak disadari) yang mengadaptasi pendapat dari Robert King Merton seorang 
sosiolog dari aliran modern. Fungsi manifes dari penutupan Dolly tersebut 
diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku keji yang meresahkan 
banyak masyarakat. Mengurangi penderita penyakit yang mematikan yakni virus 
HIV dan AIDS. Sebagai salah satu perintah Allah untuk memerangi kemaksiatan 
yakni amal ma’ruf nahi munkar. 
Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly tersebut diantaranya 
memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas seks semakin 
bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus HIV dan 
AIDS sulit ditangani, mematikan pendapatan warga sekitar Dolly seperti tukang 
parkir, warung kopi, dan sebagainya.
G. CARA MENANGGULANGI PROSTITUSI 
Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera di-lakukan 
sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama 
kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan 
adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh dalam 
menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran. Dengan 
demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha penanggulangan ter-hadap 
pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal akibat-akibat adanya 
pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi anak-anak 
di masa mendatang. 
Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran 
ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan 
pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama 
dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk 
mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha-usaha untuk memberantas dan 
menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha 
preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang 
usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari 
ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari 
perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama. 
Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi 
pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 
1. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan. 
2. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak 
usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif. 
3. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita . 
4. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam 
kehidupan rumah tangga.
5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam 
usaha penanggulangan pelacuran. 
6. Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-mahaman 
tentang bahaya dan akibat pelacuran. 
Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau 
mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain 
(Kartini Kartono, 1998): 
1. Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan 
pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan 
para pealacur dan para penikmatnya. 
2. Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan 
sebagai warga masyarakat yang susila. 
3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena 
razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing. 
4. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan 
profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru. 
5. Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal 
mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna 
mengawali hidup baru. 
6. Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk 
perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan. 
Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the 
Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap 
Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 
1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa 
(PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk 
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas 
internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi,
seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari 
berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem 
regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan 
warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan. 
Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi 
selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan 
beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya 
berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka 
tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat 
jalan itu terbuka. 
Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam 
melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan 
Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI 
Jakarta. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal 
proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar 
suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya 
penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi 
dengan segala eksesnya. 
Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan 
bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang 
beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di 
diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan 
penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. 
Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan 
dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan 
cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik, 
termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang 
benar. 
Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat 
“kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk 
risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para
perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan 
kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap 
AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk 
terhadap anggota keluarga korban. 
Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi 
bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, 
sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias 
jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena 
jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat 
prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang 
tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. 
Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh 
membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. 
Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban. 
Seringkali pemerintah membuat kebijakan dengan tak memperhatikan fungsi laten 
dari kebijakan tersebut. Fungsi manifes yang selalu menjadi prioritas pemikiran 
mereka. Pemerintah sebaiknya terlebih dulu melakukan penyadaran sekaligus 
pemberdayaan secara menyeluruh dan kritis terhadap PSK dan nasib ekonomi warga 
sekitar lokalisasi. Baru berinisiatif untuk menutup Gang Dolly tersebut.
V. PENUTUP 
A. KESIMPULAN 
Pelacuran merupakan masalah sosial yang berpengaruh sangat besar terhadap 
perkembangan moral. Kondisi ini sangat mengkawatirkan terhadap masalah bagi 
keluarga dan generasi muda, serta akan semakin menjalarnya penyakit kelamin. 
Penyakit kelamin ini terasa semakin menjalar akhir-akhir ini karena semakin 
banyaknya korban penyakit HIV/AIDS yang belum ditemukan obatnya. Pelacuran 
berkembang karena dorongan tekanan-tekanan sosial, keputusasaan, kehilangan 
pekerjaan, pelarian bagi yang putus cinta, dan semakin banyaknya orang yang 
menggandrunginya. Hal ini ditandai oleh adanya fasilitas lokasi secara khusus, meski 
beralasan daripada berkeliaran di jalan-jalan, di stasiun kereta api, di sekitar kantor 
polisi, atau di tempat-tempat umum yang terlihat sepi. Pada masa sekarang angin 
pelacuran semakin bias dengan penyebutan nama dengan pekerja seks komersil 
(PSK) dibanding wanita tuna susila (WTS). Dari adanya nama ini, pelacur atau WTS 
yang terkesan suatu penyimpangan perilaku, berubah pada posisi yang lebih baik kalo 
tidak bisa dibilang lebih terhormat dengan sebutan PSK. Sebutan PSK memposisikan 
mereka sebagai bagian dari salah satu profesi dalam masyarakat. Bila nilai-nilai moral 
dan keterlanjuran itu semakin terpatri dalam jiwa para pelaku ditambah adanya 
anggapan bahwa pekerjaan PSK mudah dilakukan, tidak memerlukan keterampilan 
khusus, dan banyak mendatangkan uang dengan mudah, maka perkembangan 
pelacuran semakin sulit diberantas. Meski mereka ditangkap dan diberikan 
keterampilan suatu usaha, maka setelah menjalani hukuman, mereka akan kembali 
kepada kegiatan pelacuran 
Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dan diperlukan 
penanganan khusus. Prostitusi ini sangat sulit dihilangkan karena sudah ada sejak 
zaman dahulu. Ada dua faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi pelacur 
yaitu faktor internal dan eksternal. Belum adanya undang-undang yang mengatur 
tentang perbuatan perzinaan semakin meningkatkan jumlah prostitusi ini. Terlebih 
kebijakan pemerintah yang terlalu longgar terhadap pihak-pihak yang terkait dalam 
hal ini. Akibat dari prostitusi ini sendiri dapat menyebarkan penyakit kelamin dan 
aids serta membuat semakin merosotnya moral masyarakat. Lokalisasi merupakan
jalan keluar yang dirasa mampu diterapkan di Indonesia. Dengan adanya lokalisasi ini 
akan mempermudah pemantauan terhadap para pelaku. 
Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku 
prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini 
ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya 
kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. 
Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana 
kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, 
kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. 
Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara 
yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi 
memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, 
iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi 
mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk melacur 
B. SARAN 
Apapun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang 
berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu 
tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan 
yang berperikemanusiaan. 
Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya 
seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah 
urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para 
perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para 
koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat .Masyarakat 
bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu 
melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di 
lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA 
Alam. A.S. 1984. Pelacuran dan pemerasan Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi Manusia oleh 
Manusia. Bandung: Alumni 
Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada 
Kholis Nur Aziz. 2007. Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Lokalisasi Pelacuran di 
Kabupaten Tulungagung. Bandung: UNITA 
Penepoulosi, Michel. 2000. Lika-Liku Gadis Panggilan. Jakarta: CV. Pionir Jaya 
Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta 
Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah Berubah. 
Program Studi kajian Wanita. Jakarta: PPS. UI 
Rochim Adamang. 1998. Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat Kesejahteraan 
Keluarga. Bandung: Penerbit Tarsito 
Rukmini Kusuma Astuti. 1984. Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat. Thesis Fakultas 
Psikologi Universitas Gadjahmada. Jogyakarta 
Sidik, Saiz, Asyhariz. 2007. Persepsi Masyarakat Tentang prostitusi Liar. SkripsiSimanjutak 
Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta 
Soekanto, Soerjono.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 
Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrapindo Persada

Contenu connexe

Tendances

96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
Operator Warnet Vast Raha
 
Penyelesaiaan Masalah Gejala Sosial
Penyelesaiaan Masalah Gejala SosialPenyelesaiaan Masalah Gejala Sosial
Penyelesaiaan Masalah Gejala Sosial
Profil Modal Uniti
 
presentation sosiologi - kriminalitas
presentation sosiologi - kriminalitaspresentation sosiologi - kriminalitas
presentation sosiologi - kriminalitas
Faula Abdul
 
Gender perspektif sosial, budaya dan agama
Gender perspektif sosial, budaya dan agamaGender perspektif sosial, budaya dan agama
Gender perspektif sosial, budaya dan agama
Nailiamani Aman
 

Tendances (20)

96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
96367675 makalah-kesetaraan-dan-keadilan-gender
 
Tugas makalah gender
Tugas makalah genderTugas makalah gender
Tugas makalah gender
 
Penyelesaiaan Masalah Gejala Sosial
Penyelesaiaan Masalah Gejala SosialPenyelesaiaan Masalah Gejala Sosial
Penyelesaiaan Masalah Gejala Sosial
 
presentation sosiologi - kriminalitas
presentation sosiologi - kriminalitaspresentation sosiologi - kriminalitas
presentation sosiologi - kriminalitas
 
Gender perspektif sosial, budaya dan agama
Gender perspektif sosial, budaya dan agamaGender perspektif sosial, budaya dan agama
Gender perspektif sosial, budaya dan agama
 
Study gender dan problematika sosial
Study gender dan problematika sosialStudy gender dan problematika sosial
Study gender dan problematika sosial
 
SOSIOLOGI KELAS 12 - PROSTITUSI
SOSIOLOGI KELAS 12 - PROSTITUSISOSIOLOGI KELAS 12 - PROSTITUSI
SOSIOLOGI KELAS 12 - PROSTITUSI
 
GENDER
GENDERGENDER
GENDER
 
Kegawatan Sosial
Kegawatan SosialKegawatan Sosial
Kegawatan Sosial
 
Pergaulan bebas
Pergaulan bebasPergaulan bebas
Pergaulan bebas
 
Ketidakadilan gender
Ketidakadilan genderKetidakadilan gender
Ketidakadilan gender
 
PIK SAHABAT LAMPUNG
PIK SAHABAT LAMPUNGPIK SAHABAT LAMPUNG
PIK SAHABAT LAMPUNG
 
Sosiologi kelas XI bentuk bentuk masalah sosial
Sosiologi kelas XI bentuk bentuk masalah sosialSosiologi kelas XI bentuk bentuk masalah sosial
Sosiologi kelas XI bentuk bentuk masalah sosial
 
Kriminalitas
KriminalitasKriminalitas
Kriminalitas
 
10178 27513-1-sm
10178 27513-1-sm10178 27513-1-sm
10178 27513-1-sm
 
Perilaku menyimpang dan pengendalian sosial
Perilaku menyimpang dan pengendalian sosialPerilaku menyimpang dan pengendalian sosial
Perilaku menyimpang dan pengendalian sosial
 
PKM Penelitian Sosial Humaniora
PKM Penelitian Sosial HumanioraPKM Penelitian Sosial Humaniora
PKM Penelitian Sosial Humaniora
 
1 kekerasan-dalam-rumah-tangga
1 kekerasan-dalam-rumah-tangga1 kekerasan-dalam-rumah-tangga
1 kekerasan-dalam-rumah-tangga
 
Pptx. KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PRESPEKTIF GENDER
Pptx. KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PRESPEKTIF GENDERPptx. KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PRESPEKTIF GENDER
Pptx. KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PRESPEKTIF GENDER
 
Artikel.masalah.sosial
Artikel.masalah.sosialArtikel.masalah.sosial
Artikel.masalah.sosial
 

Similaire à Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...
Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...
Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...
Mohd Shuhaimi Padzil
 
Makalah human trafficking nezha
Makalah human trafficking nezhaMakalah human trafficking nezha
Makalah human trafficking nezha
berlian_priyandany
 
Trafficking in-person-perdagangan-orang
Trafficking in-person-perdagangan-orangTrafficking in-person-perdagangan-orang
Trafficking in-person-perdagangan-orang
MAULANAAMAS
 
MEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptx
MEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptxMEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptx
MEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptx
Meilinda34
 
Presentation TIK PERGAULAN BEBAS
Presentation TIK PERGAULAN BEBASPresentation TIK PERGAULAN BEBAS
Presentation TIK PERGAULAN BEBAS
dinikth
 

Similaire à Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly (20)

Human Trafficking
Human TraffickingHuman Trafficking
Human Trafficking
 
Presentation psk ppt
Presentation psk pptPresentation psk ppt
Presentation psk ppt
 
Ppt
PptPpt
Ppt
 
human trafficking
human traffickinghuman trafficking
human trafficking
 
Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...
Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...
Asgmnt pendidikan akhlak islam dapat menyelesaikan kemelut gejala sosial dala...
 
Sap seks bebas
Sap seks bebasSap seks bebas
Sap seks bebas
 
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAMKOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
 
Makalah human trafficking nezha
Makalah human trafficking nezhaMakalah human trafficking nezha
Makalah human trafficking nezha
 
M a k a l a h sex bebvas
M a k a l a h sex bebvasM a k a l a h sex bebvas
M a k a l a h sex bebvas
 
seks bebas
seks bebasseks bebas
seks bebas
 
Trafficking in-person-perdagangan-orang
Trafficking in-person-perdagangan-orangTrafficking in-person-perdagangan-orang
Trafficking in-person-perdagangan-orang
 
Aisy makalah
Aisy makalahAisy makalah
Aisy makalah
 
Pendahuluan
PendahuluanPendahuluan
Pendahuluan
 
Esei Kesantunan Masyarakat Malaysia (GSB1012)
Esei Kesantunan Masyarakat Malaysia (GSB1012)Esei Kesantunan Masyarakat Malaysia (GSB1012)
Esei Kesantunan Masyarakat Malaysia (GSB1012)
 
Makalah seks tikda normal
Makalah seks tikda normalMakalah seks tikda normal
Makalah seks tikda normal
 
Budaya lepak
Budaya lepakBudaya lepak
Budaya lepak
 
MENGATASI_Perilaku_Sex_Menyimpang_Sebaga.pptx
MENGATASI_Perilaku_Sex_Menyimpang_Sebaga.pptxMENGATASI_Perilaku_Sex_Menyimpang_Sebaga.pptx
MENGATASI_Perilaku_Sex_Menyimpang_Sebaga.pptx
 
MEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptx
MEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptxMEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptx
MEILINDA SAGO_2020071014574_Tugas Epid kespro 3.pptx
 
Presentation TIK PERGAULAN BEBAS
Presentation TIK PERGAULAN BEBASPresentation TIK PERGAULAN BEBAS
Presentation TIK PERGAULAN BEBAS
 
Makalah Bahasa Indonesia - Pergaulan Bebas
Makalah Bahasa Indonesia - Pergaulan BebasMakalah Bahasa Indonesia - Pergaulan Bebas
Makalah Bahasa Indonesia - Pergaulan Bebas
 

Konflik sosial dari penutupan lokalisasi dolly

  • 1.
  • 2. HTTT ABSTRAK Industri bisnis seks mencakup berbagai macam pekerjaan. Para wanita di dalam bisnis seks bekerja di berbagai macam lingkungan. Pekerja-pekerja seks seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan yang parah. Pelokalisasian PSK (pekerja seks komersial) tidaklah tindakan yang tepat. Keputusan ini hanya membuat masyarakat bingung dan timbul opini legalnya kemaksiatan dimasyarakat daripada dibiarkan tidak terkontrol. Bila dilihat dari sumber permasalahan terjadinya PSK yang menjamur dan kebijakan dilokalisasikannya prostitusi, diakibatkan kebutuhan ekonomi. Timbul berbagai masalah dari penutupan lokalisasi Dolly yakni bisa mempunyai dua fungsi yaitu fungsi manifes dari penutupan Dolly tersebut diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku keji yang meresahkan banyak masyarakat. Mengurangi penderita penyakit yang mematikan yakni virus HIV dan AIDS. Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly tersebut diantaranya memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas seks semakin bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus HIV dan AIDS sulit ditangani, hal inilah yang harus dipertimbangkan dari penutupan lokalisasi Dolly. (Kata kunci : Prostitusi, Penutupan Lokalisasi Dolly)
  • 3. I. LATAR BELAKANG MASALAH Masalah yang dialami kaum perempuan di Indonesia salah satunya adalah tindak kekerasan yang dilakukan laki-laki seperti misalnya kekersaan seksual, memukul, dan menyiksa sehingga mengakibatkan perempuan menjadi takut dan trauma. Permasalahan trauma dengan kaum laki-laki menjadi salah satu alasan kaum wanita lari ke area yang tidak lazim. Banyak tempat yang dipilih kaum wanita sebagai tempat pelarian mereka yaitu seperti Klub malam, diskotik, tempat karaoke, dan ada juga yang terjerumus kedunia hitam seperti prostitusi. Kaum wanita yang memilih prostitusi sebagai tempat pelarian umumnya tinggal dan berada di lokalisasi. Sedangkan alasan dari para wanita yang menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) ini tentunya berbeda satu sama lain. Prostitusi atau pelacuran itu sendiri sebenarnya telah muncul jauh sebelum peradaban modern menyentuh masyarakat, karena sejak dahulu kala telah ditemukan prostitusi atau pelacuran ini, ambil contoh kecilnya pada zaman Nabi Muhammad SAW saja prostitusi ini telah ada dan menjadi suatu permasalahan yang pada saat itu menjadi gambaran masyarakat pada zaman tersebut. Prostitusi dalam arti terangnya adalah pelacur atau pelayan seks atau pekerja seks komersial atau disebut juga penjual jasa seksual. Sedangkan menurut istilah prostitusi itu sendiri disebut sebagai suatu pekerjaan dengan cara menyerahkan diri atau menjual jasa seksual dengan harapan mendapatkan upah atau imbalan dari orang yang memakai jasa saksualnya tersebut. Prostitusi atau pelacuran ini merupakan penyakit masyarakat yang tidak bisa dihapus atau dimusnahkan dari kehidupan kita. Karena banyak faktor pendukung untuk terjadinya prostitusi mulai dari factor keluarga yang bisa dikatakan keluarga gagal, maksud gagal disini adalah Broken Home dimana ada banyak permasalahan yang timbul dari Broken Home tersebut mulai dari cacat mental, cacat adab prilaku, sehingga seseorang yang mengalami masalah ini merasa ingin melakukan segala sesuatu sesuai kehendak hatinya sebagai luapan emosi atau hanya sekedar ingin memuaskan dirinya. Atau ada juga akibat factor lingkungan, disini lingkungan memegang andil sangat penting dalam pembentukan kepribadian seseorang, walaupun keluarga merupakan factor pembentuk kepribadian yang utama tetapi
  • 4. tidak menutup kemungkinan lingkungan juga bertindak sama dalam pembentukan kepribadian seseorang, Selain itu juga ada factor pengaruh ekonomi dimana seorang yang berprostitusi merasa bahwa hanya itu yang bisa dilakukan untuk mendapatkan sesuap nasi, dan masih banyak lagi factor- factor yang mendukung terjadinya prostitusi atau pelacuran itu tercipta. Alasan kaum wanita ini terjerumus ke lokalisasi bukan hanya karena mereka merasa sakit hati kepada laki-laki karena merasa dikhianti dan ditindas kaum laki-laki namun ada juga dari meraka yang mengalami kekerasan seksual dan pengalaman seksual dini serta karena sebab lainnya seperti faktor ekonomi, alasan lain mereka terjerumus kedunia ini yaitu akibat rasa takut ditinggalkan kekasih sehingga para wanita ini rela melakukan apa saja yang bisa menyenangkan sang kekasih (Penepoulosi, 2000: 42). Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai. Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar. Apabila persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah bagaimana setiap pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para pesaingnya. Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang relatif muda, warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang ditawarkan dalam bisnis pelacuran tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis yang bergelut dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya itu. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memaksa atau melakukan pemaksaan terhadap seseorang untuk bekerja sebagai pelacur dalam bisnis pelacurannya. Pemaksaan ini dilakukan dengan berbagai cara antara lain, penipuan, penjeratan utang, intimidasi,
  • 5. penculikan dan berbagai cara lain yang menyebabkan seseorang mau tidak mau, setuju tidak setuju harus bekerja dalam bisnis pelacuran. Mengingat pelacuran ini merupakan bisnis gelap maka penyelesaian dan penanganan masalah ini semakin rumit, apalagi pelacuran merupakan bisnis perdagangan tanpa adanya barang yang diperdagangkan dan dilakukan di tempat tertutup sehingga untuk membuktikan telah terjadinya hal tersebut sangat sulit. Tetapi sulit tidak sama dengan mustahil, untuk itu walaupun penanganan masalah pelacuran ini sulit kita tetap harus berusaha untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun yang lebih parahnya lagi prostitusi kini sudah merebah dikalangan pelajar (remaja) Apalagi remaja sedang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Mereka biasanya ingin mencoba-coba sesuatu. Mereka juga ingin dihargai di group nya (teman sebaya). Gaya hidup dinilai menjadi salah satu faktor utama pendorong remaja terlibat prostitusi. Gaya hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan sinetron di televisi. Remaja digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang yang dimilikinya. Padahal dengan terlibat prostitusi, para remaja itu sangat rentan terinfeksi penyakit menular seperti HIV dan AIDS. Bukan hanya factor gaya hidup yang mempengaruhi terjadinya prostitusi dikalangan pelajar (remaja). Prostitusi juga terjadi karena sebagian remaja tidak memahami mengapa terjadi kehamilan, menstruasi, dan hal lain yang terkait dengan seksualitas sehingga dengan mudah mereka tergabung dalam dunia prostitusi ini. Minimnya pengetahuan mengenai seks telah membuat para remaja tidak memiliki penangkal dalam soal seksualitas. Untuk menangkal agar remaja tidak terlibat prostitusi, pendidikan seksual dan kesehatan reproduksi di sekolah menengah sangat penting. Materi yang diajarkan bukan soal hubungan seksualnya, pasalnya di Indonesia berbicara seks masih dinilai tabu. Pendidikan seks lebih menekan pada kesehatan seksual atau reproduksi yang baik. Serta peran orang tua juga sangat penting. Orang tua harus mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Apalagi remaja yang mulai beranjak dewasa biasanya perlu pengetahuan seks yang memadai. Komunikasi antara anak dan orang tua harus pula terjalin. Dengan hubungan yang hangat,
  • 6. biasanya akan lebih terbuka dengan persoalan yang dihadapinya. Orang tua harus belajar mengatasi konflik yang dihadapi remaja dan mampu memberi solusinya. II. RUMUSAN MASALAH A. Apa yang menjadi faktor penyebab tumbuhnya prostitusi ? B. Apa sajakah yang menjadi problem dari prostitusi ? C. Bagaimanakah akibat yang muncul dari adanya pelacuran ? D. Apa sajakah peraturan yang terkait prostitusi ? E. Apakah pro kontra didalam masyarakat atas penutupan lokalisasi dolly ? F. Apa saja akibat penutupan dari lokalisasi dolly di lihat dari aspek sosiologis ? G. Bagaimanakah cara menanggulangi prostitusi ?
  • 7. III. KERANGKA TEORI A. STUDI PENELITIAN TERDAHULU Nur Kholis Aziz “Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Pengaturan Lokalisasi Pelacuran di Kabupaten Tulungagung”. Dalam isi skripsi tersebut. Bahwa sebenarnya tidak ada landasan hukum yang menjadi pertimbangan, sehingga dibukanya lokalisasi pelacuran di Kabupaten Tulungagung, namun pertimbangan Pemerintah Daerah melokalisasi pelacuran melalui Peraturan Daerah Nomor 29 tahun 2002, tentang penyelenggaraan Ketertiban Umum adalah: pertama,untuk penyelenggaraan ketertiban umum, dalam rangka menciptakan kebersihan, ketertiban dan menanggulangi praktik-praktik pelacuran liar di tempat-tempat umum. Kedua,sebab-sebab timbulnya pelacuran karena adanya faktor ekonomi, lingkungan, urbanisasi, dan problem keluarga yang saling berkaitan, untuk itu harus dipahami. Meskipun pelacuran dikatakan penyakit masyarakat yang dengan perlakuannya berakibat pelanggaran ketertiban umum, namun pelacuran tidak dapat hanya diselesaikan secara hukum, tapi juga melalui jalan memahami kehidupan sosial. Karena terkait antara pencakupan biologis dan nafkah hidup bagi warga Negara. Pembinaan ketrampilan juga menjadikan upaya memberi solusi pekerjaan bagi mereka. Payung hukum yang dijadikan perlindungan lokalisasi pelacuran di Kabupaten Tulungagung adalah, Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2002 tentang penyelenggaraan ketertiban umum, dimana melacurkan diri perbuatan asusila yang hanya dijerat kalau dilakukan ditempat umum. Misalnya dilakukan di jalan-jalan dan tempat-tempat terbuka. Adanya 2 (dua) lokalisasi pelacuran di Ngujang dan Kaliwungu Tulungagung ternyata selama ini tidak ada payung hukum yang kuat, yang dijadikan perlindungan lokalisasi. Sedangkan, keberadaan lokalisasi pelacuran tersebut masih eksis selama ini di dua lokalisasi Ngujang dan Kaliwungu, hal tersebut hanya karena pertimbangan sosial dari Pemerintah Dearah sebagai jalan alternatif saat ini.1 1Nur Kholis Aziz, Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Pengaturan Lokalisasi Pelacuran di Kabupaten Tulungagung,Skripsi, Fakultas Hukum, Universitas Tulungagung, 2007
  • 8. B. TEORI YANG RELEVAN KONFLIK Berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Ada beberapa pengertian konflik menurut beberapa ahli. 1. Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan. 2. Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain. 3. Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
  • 9. 4. Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres. 5. Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan. 6. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993). 7. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249). 8. Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984). 9. Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341). 10. Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381) Konflik dalam masyarakat dikelompokkan menjadi beberapa kategori antara lain:  Konflik pribadi Konflik pribadi merupakan konflik yang terjadi antarpribadi karena adanya perbedaan-perbedaan tertentu yang saling dipertahankan oleh masing-masing pihak.  Konflik rasial
  • 10. Konflik rasial adalah pertentangan kelompok ras yang berbeda karena kepentingan kebudayaan yang saling bertabrakan.  Konflik politik Konflik politik menyangkut golongan-golongan dalam masyarakat (kepentingan) maupun di antara negara-negara yang berdaulat.  Konflik antarkelas sosial Konflik antarkelas sosial adalah konflik yang umumnya terjadi karena perbedaan kepentingan masing-masing kelas sosial. Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Karl Marx yaitu konflik antara kelas borjuis dan proletar (buruh).  Konflik antarkelompok Konflik antar kelompok adalah konflik yang terjadi karena persaingan untuk mendapatkan mata pencaharian yang sama atau terjadi karena pemaksaan unsur-unsur kebudayaan tertentu. Di samping itu mungkin ada pemaksaan agama, dominasi politik, adanya konflik tradisional yang terpendam.  Konflik internasional Konflik internasional biasanya berawal dengan adanya pertentangan antara dua negara karena kepentingan yang berbeda. Konflik internasional yaitu pertentangan yang melibatkan beberapa kelompok negara (blok) karena perbedaan kepentingan.  Konflik berbasis massa Konflik berlangsung terutama dengan memanfaatkan kekuatan massa. Aspek kognitif dan afektif rakyat yang sebelumnya sudah terkondisi dengan ideologi aliran dan ideologi kelompok dimanipulasi sebagai kekuatan pendukung yang efektif SEJARAH TENTANG PELACURAN/ LOKALISASI Sejarah profesi prostitusi merupakan profesi yang tua dalam sejarah, hanya saja tidak dapat dipastikan siapa yang lebih tua antara profesi prostitusi/ pelacur dan profesi lawyer/advokad. Profesi pelacur dan juga hakim, lawyer, serta dokter bersama-sama dengan dukun para normal disebut-sebut sebagai 4 (empat) profesi yang tertua dalam
  • 11. sejarah dunia.2 Sama halnya dengan kemiskinan, pelacuran merupakan masalah sosial yang tertua, sejak adanya norma-norma perkawinan dalam pergaulan hidup manusia. Sejak itu pula gejala masyarakat yang dikenal dengan pelacuran, dan penyimpangan dari norma-norma perkawinan yang sah bisa merupakan zina/ pelacuran.3 Timbulnya pelacuran sama tuanya dengan sejarah timbulnya tata tertib masyarakat seperti perkawinan atau pernikahan. Perwujudan saat itu berlainan dengan praktik pada saat ini, hal ini tentunya berkembang sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban itu sendiri di berbagai daerah. Pelacuran telah lama ada dan dikenal, dalam sejarah manusia seperti diantaranya: Amerika Serikat, Yunan dan Romawi Kuno, serta di kerajaan Tiongkok lama dan sejak berabad-abad silam. Sejalan dengan perkembangan sejarah pada masa-masa dahulu, dimana masyarakat masih sederhana, sebagai suatu gejala. Hal ini lebih banyak dijumpai di negara Amerika Serikat. Sejak zaman koloni banyak perempuan masuk daerah Amerika Serikat, dari Eropa bersama dengan kaum pendatang lainnya. Beberapa diantaranya datang bersama-sama dengan kaum penjahat. Tulisan dan kotbah-kotbah kaum pendatang semuanya memberikan gambaran, tentang kejahatan dan pelacuran di daerah-daerah Amerika Serikat. Sepanjang pantai Gading dan beberapa suku Indian Amerika, masyarakat memiliki kebiasaan untuk melacurkan istri, dan putri mereka guna mendapatkan keuntungan tertentu. Penggantian dari pihak suami menjadi hak seorang dewa menyebabkan adanya suku-suku dahulu, melakukan pelacuran keagamaan atau dikenal dengan istilah “religious prostitusi”. Sebagai contoh, yang terdapat di dalam buku Ewe Tshi yang mendiami pantai Afrika Barat. Bahwa pendeta perempuan menganggap dirinya sebagai istri dari dewa yang mereka sembah, dan untuk itu mereka melakukan hubungan kelamin dengan laki-laki yang bukan suaminya. 2 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, PT. Adya Bakti, Bandung, 2003, hal 70. 3 Soejono D, Pathologi Sosial, Alumni, Bandung, hal 102
  • 12. Perbuatan itu dianggap bukan sebagai perbuatan yangtercela. Demikian halnya di India sejak abad ke-8 dan ke-9, penyanyi-penyanyi di biara sering melakukan hubungan kelamin sebagai bentuk pemujaan. “Pada zaman kerajaan Yunani Kuno pelacuran merupakan suatu lembaga sosial yang terhormat dan diakui oleh publik. Istri-istri raja Yunani Kuno, harus berdiam diri terus di rumah dan tidak boleh keluar serta dilarang berada di tempat-tempat umum seperti pada pertandingan-pertandingan dan teater-teater, dan kalau mereka boleh keluar oleh suaminya harus memakai kerudung muka. Mereka menganggap sebagai penghasil anak yang akhirnya pria-pria Yunani Kuno, yang terhormat mencari wanita-wanita pelacur untuk hiburan”4 Di Negara Roma hubungan badan (seksual) di luar perkawinan adalah dianggap sebagai perbuatan penyelewengan moral, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang harus dikenakan sanksi hukuman berat. Meskipun kenyataan pada akhirnya diadakan hukuman berat, namun pelacuran menjadi gejala sosial yang dianggap lumrah. Apalagi ketika Kaisar Roma sendiri melanggar hukum dengan main perempuan-perempuan pelacur, di tempat tertentu/ khusus yang mewah, lengkap dengan tempat pemandian dan pemijatan. Maka akhirnya, larangan pelacuran itu menjadi tidak berlaku, dan kesucian terhadap perkawinan yang sah menjadi rusak. Di Yunani perzinaan dianggap adat kebiasaan hak istimewa seorang laki-laki, dan perempuan ulung bisa menjadi perempuan yang mempunyai kedudukan tinggi dalam masyarakat. Di Roma pada masa kekuasaan kekaisaran terakhir, ketika kerajaan lama mengalami keruntuhan, perzinaan menjadi praktik umum dan biasa bagi laki-laki maupun perempuan, yang belum atau sudah kawin. Dan perempuan dari kelas tinggi/ kalangan mewah bisa turun pangkat menjadi pelacur yang menawarkan dirinya, pada siapa saja asal dapat kepuasan. 4 B. Simanjutak, Pengantar Kriminologi dan Pathologi Sosial, Penerbit Tarsito, 1981. hal 22.
  • 13. Setelah pengakuan dan penyebaran agama Nasrani, timbul pandangan baru terhadap pelacur, dan berusaha mengembalikan mereka kejalan yang benar. Pandangan demikian ini pada dasarnya mempersamakan kedudukan perempuan dan laki-laki di hadapan Tuhan. Jadi, berbeda dengan masalah sebelumnya, pelacuran pada hakikatnya tidak dapat di terima dan menjadi masalah sulit. Di Eropa raja-raja pertama abad pertengahan, selain memperkenalkan sistem selir, pelacuran juga pada abad pertengahan, mungkin hanya dapat dimengerti bila dihubungkan dengan tiga macam kepentingan sosial. Pertama, adalah dihubungkan dengan kesejahteraan keluarga, yaitu dengan menjaga anak istri dari pengaruh-pengaruh pelacuran, dan juga untuk kepentingan agama. Dan kepentingan ini merupakan pencegahan. Keduaadalah, untuk mencegah rumah pelacuran menjadi tempat pusat kekacauan, kejahatan. Untuk kepentingan ini rumah pelacuran diawasi oleh petugas pemerintah, dengan mengharuskan pelacur yang berpraktik mendapat izin terlebih dahulu dari pemerintah. Ketiga,adalah kepentingan keuangan, dimana pemerintah ingin mendapat bagian. Pada permulaan abad XV ditandai dengan munculnya anggapan-anggapan baru mengenai pelacuran, yaitu dengan kesadaran akan bahaya penularan penyakit kelamin, yang telah melanda Eropa Selatan menjalang akhir abad XV dan mengganaskan di abad XVI. Telah di perkirakan sepertiganya penduduk Eropa telah meninggal, akibat penyakit kelamin dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Ketakutan ini diperbesar lagi dengan adanya tindakan pendeta-pendeta Gereja yang tidak mampu untuk mengatasi persoalan pelacuran. Kemudian diadakan pengawasan yang keras dan ketat, bahkan ditetapkan undang-undang yang berisi tentang penghukuman para pelacur. Di Paris contohnya dengan ordonansi 1635 yang menyebutkan bahwa, tanpa pengadilan resmi, pelacuran dapat dibuang keluar daerah seumur hidup. Selanjutnya bahwa diharuskan pemeriksaan bagi pelacuran yang untuk berobat di kota Paris, tetapi
  • 14. penyakit kelamin tersebut telah menjalar dengan cepat di abad XIX, sedang undang-undang itu sendiri tidak mampu menghapuskan sesuai dengan harapan. Tetapi, dengan pelacuran itu sendiri bukan merupakan penyebab satu-satunya penyakit kelamin. Pelacuran hanya merupakan bentuk yang paling nyata dibanding hubungan-hubungan kelamin di luar pernikahan. Sumber penyakit itu sendiri bukan berasal dari para pelacur saja, melainkan dari laki-laki dengan siapa berhubungan. Pada perang dunia ke-II, penyakit kelamin yang tidak terkontrol oleh pemerintah menjadi banyak, maka pada tahun 1919 liga bangsa-bangsa mengambil keputusan, mempercayakan persetujuan mengenai perdagangan-perdagangan wanita, dan pelacuran di bawah pengawasan Internasional. Konverensi Jenewa tahun 1921 menyarankan rencana persetujuan, yang memohon dewan liga bangsa-bangsa untuk membentuk komite penasihat, dan menyarankan supaya wakil-wakil negara yang di undang untuk membuat laporan tahunan, mengenai pelacuran di negaranya masing-masing. Sementara pelacuran berada di Indonesia sejak masih berbentuk kerajaan. Dalam hal ini Rukmini Kusuma Astuti menyatakan: “Hal tersebut berakar adanya kelas dalam masyarakat, kelas tuan tanah, dan kelas petani miskin. Golongan pertama mempunyai kedudukan ekonomi kuat sehingga mereka mampu memelihara istri dan selir. Selir-selir ini banyak diambil dari keluarga petani dan rakyat kecil. Keadaan yang demikian menimbulkan perguncingan dan pelacuran.”5 PENGERTIAN PROSTITUSI ATAU PELACURAN Pelacuran berasal dari bahasa Latin yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Sehingga pelacuran atau prostitusi bisa diartikan sebagai perjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks untuk uang. 5Rukmini Kusuma Astuti, Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat, Thesis, Fakultas Psikologi Universitas Gadjahmada, Yogyakarta, hal 17
  • 15. Pelacur wanita disebut prostitue, sundal, balon, lonte; sedangkan pelacur pria disebut gigolo. Pelaku pelacur kebanyakan dilakukan oleh wanita. (Samad : 2012) Bloch (dalam Winaya, 2006) berpendapat pelacuran adalah suatu bentuk perhubungan kelamin di luar pernikahan dengan pola tertentu, yakni kepada siapapun secara terbuka dan hampir selalu dengan pembayaran baik untuk persembahan maupun kegiatan seks lainnya yang memberi kepuasan yang diinginkan oleh yang bersangkutan. Sekanto (dalam Syani, 1994 : 193) menganggap pelacuran itu sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Ia memandang hal itu adalah suatu pekerjaan yang mendapat imbalan, artinya keterlibatan seseorang dalam hubungan pekerjaan itu mempunyai keteraturan dan secara lahiriah tidak memperlibatkan adanya unsure paksaan atau pemerkosaan. Untuk lebih luas dan mendalam memahami prostitusi atau pelacuran ini, maka penulis akan mengulas beberapa pendapat dan rumusan para ahli mengenai pelacuran sebagai berikut: 1. Amstel (dalam kartini kartono, 1980 : 205), mengatakan bahwa: prostitusi adalah penyerahan diri dari wanita kepada banyak laki- laki dengan pembayaran. 2. Kartono (1988 : 206) mengatakan bahwa: a. Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi impuls atau dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintergrasi, dalam bentuk pelampiasan nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas). b. Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepda banyak orang untuk memuaskan nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Pelacuran adalah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk berbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.
  • 16. IV. PEMBAHASAN A. FAKTOR PENYEBAB TUMBUHNYA PROSTITUSI Menurut Soedjono (dalam Winaya: 2006), motif-motif atau faktor penyebab yang melatar belakangi tumbuhnya pelacuran atau praktik prostitusi adalah: 1. Tekanan ekonomi. 2. Aspirasi materiil yang tinggi dalam diri wanita dan kesenangan-ketamakan terhadap pakaian-pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewah namun malas bekerja. 3. Rasa ingin tahu yang besar terhadap masalah seks khususnya untuk remaja yang kemudian masuk ke dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. 4. Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan. 5. Adanya kebudayaan eksploitasi pada jaman modern khususnya terhadap kaum lemah (wanita) untuk tujuan komersial.Peperangan dan masa kacau di dalam negeri meningkatkan pelacuran. 6. Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah pertambangan dengan konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan rasio kaum pria dan wanita di daerah tersebut. 7. Perkembangan kota-kota daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan menyerap urbanisasi tanpa ada jalan keluar untuk mendapatkan pekerjaan kecuali menjadi PSK bagi anak-anak gadis. 8. Bertemunya bermacam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat. Berdasarkan uraian diatas seolah-olah pelacuran bukan suatu masalah sosial, akan tetapi secara social justru yang menjadi persoalan adalah karena adanya keteraturan dengan dukungan keamanan itu yang akan membuat profesinya menjadi berkembang dan melembaga. Dan dalam prostitusi tersebut ada yang disebut dengan germo, yang kemudian diperhalus menjadi Bapak atau ibu asuh, sementara yang diasuh sebagai anak asuh.
  • 17. Dua Faktor Besar Pendorong Timbulnya Pelacuran 1. Faktor Kejiwaan Sejumlah faktor psikologi tertentu memainkan peranan penting yang menyebabkan seseorang perempuan melacurkan diri. Bahwa, perempuan-perempuan yang menjadi pelacur itu, lahir dan dibesarkan dalam lingkungan yang miskin atau agak miskin. Orang tua mereka berwatak lemah dan kebanyakan kurang pendidikan. Standar modal keluarga keluarga mereka pada umumnya rendah, dan cara orang tua mereka memberikan pembentukan disiplin adalah, tidak bijaksana dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kurangnya kasih sayang dapat membawa pada keadaan tak berdaya. Di samping itu juga, di dukung sejumlah faktor sosial, misalnya keinginan untuk melepaskan diri dari kenyataan hidup keluarga, dan masyarakat yang tidak tertahankan lagi. Adanya keinginan untuk mengikuti cara hidup di kota-kota dengan segala kemewahaan, juga dapat mendorong seseorang melacurkan diri. Dalam hal ini Rukmini menyebutkan sebagai berikut: “Faktor moral individu dan moral masyarakat sebagai faktor yang cukup penting artinya di dalam terjadinya pelacuran. Hal ini dapat dilihat di negara-negara yang telah maju, dimana faktor ekonomi sering dianggap bukan faktor lagi yang menyebabkan bukan wanita melacurkan diri, tetapi dikarenakan juga adanya demoralisasi yang dialami oleh masyarakat dan individu pendukungnya, Di dalam usaha pemuasan nafsu sexsual seseorang, peranan sanksi masyarakat yang tercermin dalam keadaan moralnya sangat menetukan tindakan seseorang dan karenanya itu masalah pemuasan sex untuk mengadakan hubungan kelamin bukan hanya masalah kebutuhan biologis semata. Selanjutnya dikatakan, pembentukan moral individu terutama dalam kehidupan sexnya, sangat ditentukan oleh pendidikan didalam keluarga, dimana individu diperkenankan untuk pertama kalinya dengan baik dan buruk, boleh dan tidak boleh, benar dan salah serta hal lainnya. Kemudian moral seks tersebut terinternanasi oleh si anak tanpa disadari.6 6Rukmini Kusuma Astuti, Op., Cit, hal 35.
  • 18. Kegagalan-kegagalan di dalam hidup individu karena tidak terpuaskan kebutuhannya (baik biologis maupun sosial), dapat menimbulkan efek psikologis. Sehingga, mengakibatkan situasi kritis pada diri individu tersebut. Di dalam keadaan kritis ini mudah mengalami konflik batin, dan sadar atau tidak sadar mereka mencari jalan keluar dari kesulitan-kesulitannya. Dalam keadaan yang demikian inilah orang akan mudah terpengaruh ke jalan yang sesat. Seperti yang telah disebutkan oleh Warauow, berbagai faktor psikologis yang dapat menyebabkan seorang wanita menjadi pelacur adalah sebagai berikut: 1) IQ rendah sekitar 65 % sebagian besar wanita pelacur mempunyai IQ rendah, yang terbagi: labilitas, dengan IQ 70-90, imbesil dengan IQ 50-70 dan idiot dengan IQ dibawah 50, mereka yang idiot ini jarang hidup diatas 30 tahun. 2) Kehidupan sosial yang abnormal, misalnya: hipersexual dan sadis sex. 3) Kepribadian yang lemah misalnya meniru. 4) Moralitas rendah dan kurang berkembang, misalnya kurang dapat membedakan baik dan buruk, benar dan salah, boleh dan tidak boleh dan lain-lain. 5) Mudah terpengaruh (suggestible). 6) Memiliki motif kemewahan, yakni menjadikan kemewahan sebagai tujuan utama. 2. Faktor Sosial Ekonomi. Sejumlah faktor sosial ekonomi sering disebut sebagai faktor pendorong seseorang melacurkan diri. Faktor ini dapat dikaitkan dengan teori anatomi Durkheim, yang didasarkan pada anggapan banyak kebutuhan ekonomi tidak terpenuhi. Dengan demikian diperlukan aturan umum ataupun sesuatu, yang menjaga tindakan sewenang-wenang dari pada anggota masyarakat yang ingin memenuhi kebutuhannya itu. Bila aturan-aturan tidak dapat dilaksanakan ataupun tidak dapat lagi mengontrol keadaan, timbulllah situasi seolah-olah tidak ada lagi norma, peraturan-peraturan mengikat dengan sangat lemah. Keadaan anatomipun akan menguasai masyarakat. Biasanya pelanggaran terhadap depresi ekonomi, ataupun ketika pesatnya kemajuan teknologi di dalam masyarakat. Teori sosial diatas secara khusus pula dapat dipakai dalam usaha menjelaskan mengapa seorang melacurkan
  • 19. diri. Reckless menyebutkan sejumlah kondisi sosial ekonomi yang amat penting artinya dan menjerumuskan seorang perempuan melacurkan diri. Keadaan sosial tersebut adalah: a. Berasal dari keluarga miskin yang umumnya tingal di desa terpencil. b. Melakukan urbanisasi karena menginginkan perbaikan nasib di kota-kota besar, diantaranya mereka yang sedang hamil tanpa suami. c. Pada umumnya mereka tidak memiliki keahlian tertentu. d. Berasal dari keluarga yang pecah (broken home). e. Telah dicerai suaminya. f. Jatuh ke tangan-tangan agen rumah bordil yang sedang giat mencari mangsa-mangsa baru, untuk dijadikan penghuni tetap rumah-rumah pelacuran. Adanya pemupukan kekayaan pada golongan tertentu, terjadinya kemlaratan pada golongan bawah atau dengan kata lain, adanya hierarki di bidang kehidupan ekonomi, memudahkan bagi penguasa rumah bordil mencari wanita-wanita dari kelas melarat. Hubungan faktortersebut dapat melahirkan pelacuran, tidak hanya masalah ekonomi saja tetapi faktor sosial dan hukum sangat menentukan terjadinya proses ini. B. PROBLEM PROSTITUSI a. Pelacuran sebagai masalah sosial Pelacuran merupakan masalah sosial, karena merugikan masyarakat dalam hal ketentraman, kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari kehidupan bersama. Hal ini menjadi nyata biladihubungkan dengan penularan penyakit kelamin, ajaran beberapa agama dan adat tradisi suku-suku bangsa Indonesia. b. Pelacuran dan penyakit kelamin Pelacuran dapat mendatangkan penyakit kelamin yang amat berbahaya, seperti misalnya: sipilis dan kencing nanah yang dapat dengan mudah ditularkan kepada istri, dan anak-anak si penderita. Betapa meluasnya penyakit kelamin ditengah-tengah masyarakat dapat dilihat dari tulisan Rukmini (1984 :68) yang menyatakan sebagai berikut:
  • 20. “Menurut hasil pelaksanaan survey lembaga P4K di Surabaya maka diperoleh data sebagai berikut: diantaranya alat-alat negara didapatkan angka sipilis aktif dan laten sebesar 30,8 persen, buruh-buruh pabrik dan perusahaan 10,5 persen, rakyat bebas di dalam suatu kampung 8 persen, diantaranya mahasiswa 1,61 persen dan diantaranya ibu-ibu hamil yang memeriksakan diri di B.K.I.A di kota Surabaya didapatkan sipilis 11,16 persen.”7 Dari hasil survey di atas kiranya dapat digaris bawahi, bahwa majunya pengetahuan di bidang obat-obatan, ternyata belum dapat membatasi dan menjamin melusnya penyakit kelamin di masyarakat. Ada beberapa hal yang menyulitkan usaha-usaha untuk membatasi meluasnya penyakit kelamin, terutama karena belum adanya kesadaran dari banyak perempuan pelacur akan bahaya-bahaya yang dapat di timbulkannya. Adamang Rochim, menuliskan hasil penelitiannya terhadap 122 orang pelacur sebagi berikut: “Hampir lima puluh persen diantara mereka tidak dapat injeksi. Berdasarkan hasil observasi penulis ada beberapa wanita pelacur yang memang takut di injeksi, sehingga walaupun datang di tempat penyuntikan itu dia. Hanya membayar uang Rp. 75, 00 dengan menyerahkan kartu kemudian diberi tanda bahwa ia mudah di injeksi yang sebenarnya mereka tidak mau di injeksi.”8 Dari hasil penelitian di atas selanjutnya dapat diberi kesimpulan, bahwa penyakit kelamin yang menyertai pelacuran mempengaruhi kesejahteraan sebagai anggota masyarakat, karena penyakit kelamin mengancam keselamatan, ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani, maupun sosial mereka. Pelacuran sebagai masalah sosial, yang telah dibahas dari segi penyakit kelamin yang ditimbulkan, juga akan dilihat dari pandangan agama, yakni Agama Islam. Pelacuran dilihat dari pandangan agama menyangkut nilai- nilai, yakni nilai yang buruk. 7Rukmini Kusuma Astuti. Op., Cit. hal 68. 8Adamang Rochim, 19981, Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat Kesejahteraan Keluarga, Penerbit Tarsito, Bandung, hal 68.
  • 21. Pengertian buruk antara lain, disebutkan dalam hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis NabiMuhammad saw, di dalam Al-Qur’an tidak ada ayat yang menyebutkan pelacuran tetapi hanya menyebut perzinaan. Pelacuran merupakan perzinaan menurut pandangan agama Islam. Mengenai sanksi hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang pezina, Allah swt. Didalam Surat An-Nur ayat 2, Al-Qur’an dan terjemahannya sebagai berikut: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” Nabi Muhammad saw. Sangat mengutuk perbuatan zina, karena zina termasuk perbuatan dosa besar dalam Islam. Para Imam empat madzhab didalam Islam, yaitu Hambali, Hanafi, Maliki, dan Syafi’i bersepakat, bahwa perbuatan zina adalah suatu dosa besar yang wajib dikenakan hukuman kepada para pelakunya. Dengan demikian pelacur merupakan masalah yang harus di tanggulangi karena bertentangan dengan moral Islam. c. Pelacuran Dilihat dari Pandangan Adat Tradisi. Pelacuran merupakan masalah sosial, bukan hanya bila ditinjau dari segi penularan penyakit kelamin dan pandangan Islam. Tetapi juga merupakan masalah sosial bila dilihat dari segi adattradisi, sebagaian besar suku-suku bangsa di Indonesia yang telah mengakui lembaga perkawinan sebagai lembaga yang luhur. Sehingga setiap perhubungan kelamin di luar perkawinan, merupakan perbuatan tercela, bahkan dapat menyebabkan pertumpahan darah. Reaksi masyarakat terhadap delik kesusilaan tidak dapat diabaikan. Sehingga, hendaknya adat tradisi dapat dijadikan dasar dalam putusan hakim dalam menerapkan delik kesusilaan ini. perempuannya karena diketahui telah melakukan hubungan gelap dengan laki-laki lain yang bukan suaminya.9 9Nur Kholis Aziz, Op., Cit. hal 45
  • 22. C. AKIBAT ADANYA PELACURAN Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun positif. Akibat negatif jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan menyebarluaskan bermacam-macam penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni penyakit akibat hubungan kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS).  Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga demoralisasi, karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.  Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan nar-kotika, karena di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya para penjahat professional yang berbahaya dan orang-orang yang sedang ber-masalah dengan keluarga atau masalah yang lain.  Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan eksploitasi manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita-wanita pelacur itu hanya menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya. Sebagian besar pendapatannya harus diberikan kepada germo, para calo, centeng, dan sebagainya. Apabila dilihat dari akibat berbahayanya, gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang harus ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat sulit memberntas dan menang-gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin banyak tipe-tipe pelacuran yang ada dalam masyarakat.  Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-sendi dalam keluarga rusak. Semakin banyak pengguna akan semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan akan menular ke masyarakat luas.  Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama
  • 23. Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama . Karena pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, susila, hukum dan agama  Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan minuman keras Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan narkotika. Minuman keras dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam hubungan seksual  Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit. Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids, HIV Aids sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak merambat terlalu jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit jaringan prostitusi ini . D. PERATURAN TERKAIT PROSTITUSI Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP untuk praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang sebagai mucikari mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun. Sedangkan untuk pelakunya sendiri belum ada hukumannya . Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah sukar dan harus melalui proses dan waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan yang besar. Usaha untuk mengatasi masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Usaha yang bersifat preventif Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :  penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan pelacuran.  pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
  • 24.  memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.  penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan keluarga  penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film- film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks.  meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya 2. Tindakan yang bersifat represif dan kuratif Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain berupa :  melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan atau kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada umumnya di daerah terpencil yang jauh dari keramaian.  untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila. Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui: pendidikan moral dan agama, latihan–latihan kerja dan pendidikan keterampilan agara mereka bersifat kreatif dan produktif.  penyempunaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang terkena razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.  menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila. E. PRO KONTRA MASYARAKAT ATAS PENUTUPAN LOKALISASI DOLLY Gang Dolly merupakan tempat pelacuran yang diperkirakan terbesar di Asia Tenggara menjadi salah satu lokalisasi yang ramai dikunjungi oleh para lelaki
  • 25. hidung belang baik tua maupun muda, apalagi ketika malam hari di gang-gang Dolly tersebut seringkali macet Kemaksiatan (perzinaan) yang seringkali memunculkan pro dan kontra dari berbagai pihak. Saat ini gencar-gencarnya isu penutupan gang Dolly diwacanakan dari berbagai pihak. Dan hal tersebut juga banyak yang mendukung, dan ada juga yang tak merelakan jika Gang dolly tersebut ditutup. Saifullah Yusuf wakil gubenur mendesak wali Kota Surabaya Tri Rismaharini agar menutup lokalisasi Dolly. Usul tersebut didasari temuan 80% PSK mengalami gangguan reproduksi hingga terjangkit penyakit kelamin. Sehingga pemkot harus bersinergi membuat program pembinaan PSK seperti keterampilan dan wirausaha (Jawa Pos, 29-09-2010) Anggota komisi E (Kesejahteraan Masyarakat) Heri Prasetyo (kader partai Demokrat-dapil Jember-Lumajang) menyatakan pemprov dan pemkot/pemkab seharusnya bersinergi meningkatkan pemerataan pembangunan. Menurutnya banyaknya PSK (pekerja seks komersial) karena faktor ekonomi dan kebanyakan dari mereka berasal dari luar Surabaya sehingga harus diadakan program pengentasan kemiskinan di daerah. Hal tersebut akan merangsang para PSK tersebut ke daerahnya masing-masing. Kemudian, Dolly direhabilitasi menjadi tempat industri atau perdagangan. Penutupan dilakukan secara pelan-pelan dengan menyadarkan sekaligus memberikan solusi (Jawa Pos, 29-09-2010). Anggota komisi C Sugiri Sancoko mengungkapkan meski pemkot meningkatkan operasi yang melarang kedatangan PSK dari tempat lain, belum ada jaminan upaya tersebut berhasil. Hal tersebut diakibatkan masih bergentangannya sindikat trafficking (perdagangan manusia). Ketua PCNU Kota Surabaya KH. Syaiful Fahmi juga menyatakan setuju dengan penutupan lokalisasi yang menurut Eko Haryanto kepala Dinas Sosial “Dolly Legal iya, gak juga iya”, dimana Dolly tidak pernah diresmikan sebagai lokalisasi, jadi tidak ada landasan hukum untuk menutup lokalisasi tersebut (Jawa Pos, 01- 10-2010 Sebagian besar masyarakat mungkin menganggap bahwa pekerja seks komersial merupakan penyakit masyarakat yang harus diberantas, karena menimbulkan
  • 26. dampak yang tidak baik di masyarakat. Namun dalam realitasnya masyarakat mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang keberadaan PSK, ada yangmenentang dan menolaknya namun ada pula yang menerimanya. Bagi mereka yang menerima, antara lain dikarenakan: a. Sebagian anggota masyarakat tersebut sudah kecanduan terhadap pelayanan yang diberikan PSK, dengan cara yang mudah dan bisa mendapatkan kepuasan sesaat. b. Keberadaan PSK itu dianggap sebagai hal biasa, sehingga orang berperilaku acuh tak acuh terhadapnya. c. Keberadaan PSK telah mendatangkan keuntungan ekonomis begi kehidupan mereka sehari-hari. d. Sedangkan bagi mereka yang menolak, alasan yang kuat adalah karena factor agama, kesopanan, tata susila, maupun adat ketimuran serta karena bisa merusak moral generasi muda. F. PENUTUPAN LOKALISASI DOLLY DI LIHAT DARI ASPEK SOSIOLOGIS Masalah tersebut yakni progja penutupan Dolly bisa mempunyai dua fungsi yaitu fungsi manifes (diharapkan dan disadari) dan fungsi laten (tidak dimaksudkan dan tidak disadari) yang mengadaptasi pendapat dari Robert King Merton seorang sosiolog dari aliran modern. Fungsi manifes dari penutupan Dolly tersebut diantaranya tidak adanya lagi perilaku amoral atau perilaku keji yang meresahkan banyak masyarakat. Mengurangi penderita penyakit yang mematikan yakni virus HIV dan AIDS. Sebagai salah satu perintah Allah untuk memerangi kemaksiatan yakni amal ma’ruf nahi munkar. Sedangkan, fungsi laten dari penutupan Dolly tersebut diantaranya memungkinkan adanya peningkatan korban pemerkosaan, illegalitas seks semakin bebas yang mengakibatkan penanganan dan pengurangan penderita virus HIV dan AIDS sulit ditangani, mematikan pendapatan warga sekitar Dolly seperti tukang parkir, warung kopi, dan sebagainya.
  • 27. G. CARA MENANGGULANGI PROSTITUSI Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera di-lakukan sebab kalau tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama kelamaan dipandang oleh masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan adanya pandangan seperti itu berarti bahwa masyarakat mulai jenuh dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan dengan pelacuran. Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal akibat-akibat adanya pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi anak-anak di masa mendatang. Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran ialah dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan pelacuran yang membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama dengan instansi lain yang terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk mengatasi dan menanggulangi pelacuran. Usaha-usaha untuk memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan secara preventif dan represif. Usaha preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai terjadi pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama. Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi pelacuran dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: 1. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan. 2. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif. 3. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita . 4. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan rumah tangga.
  • 28. 5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam usaha penanggulangan pelacuran. 6. Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pe-mahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran. Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau mengurangi pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain (Kartini Kartono, 1998): 1. Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan para pealacur dan para penikmatnya. 2. Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan sebagai warga masyarakat yang susila. 3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena razia disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing. 4. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi pelacuran dan mau mulai hidup baru. 5. Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna mengawali hidup baru. 6. Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan. Dalam Convention for the Suppresion of the Traffic to Persons and of the Prostitution of Others tahun 1949, Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi Pemerintah RI dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984) dan terakhir pada bulan Desember 1993 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) perdagangan perempuan serta prostitusi paksa dimasukkan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan pengakuan bersama komunitas internasional bahwa dalam prostitusi, apa pun bentuk dan motivasi yang melandasi,
  • 29. seorang perempuan yang dilacurkan adalah korban. Yang juga ironis adalah, dari berbagai pola pendekatan terhadap prostitusi, baik upaya penghapusan, sistem regulasi, atau pelarangan, perlindungan memadai akan hak sebagai individu dan warga negara para perempuan korban itu masih terabaikan. Nuansa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penanganan masalah prostitusi selama ini sangat tinggi. Sejak awal rekrutmen, nuansa ekonomis, kemiskinan, dan beban eksploitasi sangat kental dialami perempuan yang dilacurkan, yang umumnya berasal dari keluarga miskin. Setelah terjebak di dalam dunia prostitusi pun mereka tak memiliki banyak kesempatan untuk keluar, hanya mampu berharap suatu saat jalan itu terbuka. Di wilayah DKI Jakarta misalnya, landasan kebijakan yang digunakan aparat dalam melakukan penertiban terhadap para perempuan yang dilacurkan adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum di Wilayah DKI Jakarta. Sementara, secara substantif peraturan ini sudah bermasalah. Pada awal proses pembuatan misalnya, masyarakat tidak dilibatkan dan tidak didengar suaranya, khususnya masukan dari warga di sekitar lokasi prostitusi yang sebenarnya penting didengar karena mereka jugalah yang terkena imbas praktik prostitusi dengan segala eksesnya. Isi Perda No 11/1988 oleh banyak kalangan dipandang cenderung diskriminatif dan bias kelas, karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum. Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang benar. Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat “kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para
  • 30. perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban. Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bias jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum. Kalaupun ada laki-laki yang tertangkap, aparat hanya mendata, memberi penyuluhan, dan menyuruh pulang. Sementara para perempuan yang terjaring, didata, diberi penyuluhan dan disuruh membayar denda, atau dimasukkan ke panti rehabilitasi selama beberapa bulan. Mereka juga sangat rentan pelecehan seksual oleh aparat selama proses penertiban. Seringkali pemerintah membuat kebijakan dengan tak memperhatikan fungsi laten dari kebijakan tersebut. Fungsi manifes yang selalu menjadi prioritas pemikiran mereka. Pemerintah sebaiknya terlebih dulu melakukan penyadaran sekaligus pemberdayaan secara menyeluruh dan kritis terhadap PSK dan nasib ekonomi warga sekitar lokalisasi. Baru berinisiatif untuk menutup Gang Dolly tersebut.
  • 31. V. PENUTUP A. KESIMPULAN Pelacuran merupakan masalah sosial yang berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan moral. Kondisi ini sangat mengkawatirkan terhadap masalah bagi keluarga dan generasi muda, serta akan semakin menjalarnya penyakit kelamin. Penyakit kelamin ini terasa semakin menjalar akhir-akhir ini karena semakin banyaknya korban penyakit HIV/AIDS yang belum ditemukan obatnya. Pelacuran berkembang karena dorongan tekanan-tekanan sosial, keputusasaan, kehilangan pekerjaan, pelarian bagi yang putus cinta, dan semakin banyaknya orang yang menggandrunginya. Hal ini ditandai oleh adanya fasilitas lokasi secara khusus, meski beralasan daripada berkeliaran di jalan-jalan, di stasiun kereta api, di sekitar kantor polisi, atau di tempat-tempat umum yang terlihat sepi. Pada masa sekarang angin pelacuran semakin bias dengan penyebutan nama dengan pekerja seks komersil (PSK) dibanding wanita tuna susila (WTS). Dari adanya nama ini, pelacur atau WTS yang terkesan suatu penyimpangan perilaku, berubah pada posisi yang lebih baik kalo tidak bisa dibilang lebih terhormat dengan sebutan PSK. Sebutan PSK memposisikan mereka sebagai bagian dari salah satu profesi dalam masyarakat. Bila nilai-nilai moral dan keterlanjuran itu semakin terpatri dalam jiwa para pelaku ditambah adanya anggapan bahwa pekerjaan PSK mudah dilakukan, tidak memerlukan keterampilan khusus, dan banyak mendatangkan uang dengan mudah, maka perkembangan pelacuran semakin sulit diberantas. Meski mereka ditangkap dan diberikan keterampilan suatu usaha, maka setelah menjalani hukuman, mereka akan kembali kepada kegiatan pelacuran Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dan diperlukan penanganan khusus. Prostitusi ini sangat sulit dihilangkan karena sudah ada sejak zaman dahulu. Ada dua faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi pelacur yaitu faktor internal dan eksternal. Belum adanya undang-undang yang mengatur tentang perbuatan perzinaan semakin meningkatkan jumlah prostitusi ini. Terlebih kebijakan pemerintah yang terlalu longgar terhadap pihak-pihak yang terkait dalam hal ini. Akibat dari prostitusi ini sendiri dapat menyebarkan penyakit kelamin dan aids serta membuat semakin merosotnya moral masyarakat. Lokalisasi merupakan
  • 32. jalan keluar yang dirasa mampu diterapkan di Indonesia. Dengan adanya lokalisasi ini akan mempermudah pemantauan terhadap para pelaku. Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk melacur B. SARAN Apapun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan. Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat .Masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.
  • 33. DAFTAR PUSTAKA Alam. A.S. 1984. Pelacuran dan pemerasan Studi Sosiologis Tentang Eksploitasi Manusia oleh Manusia. Bandung: Alumni Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grapindo Persada Kholis Nur Aziz. 2007. Tinjauan Pasal 296 KUHP Terhadap Lokalisasi Pelacuran di Kabupaten Tulungagung. Bandung: UNITA Penepoulosi, Michel. 2000. Lika-Liku Gadis Panggilan. Jakarta: CV. Pionir Jaya Peter, Beilharz. 2005. Teori-Teori Sosial. Pustaka Pelajar : Yogyakarta Rahayu, S. Hidayat. 2000. Perempuan Indonesia dalam Masyarakat yang telah Berubah. Program Studi kajian Wanita. Jakarta: PPS. UI Rochim Adamang. 1998. Pelacuran Sebagai Salah Satu Faktor Penghambat Kesejahteraan Keluarga. Bandung: Penerbit Tarsito Rukmini Kusuma Astuti. 1984. Proses Terjadinya Pelacuran di Masyarakat. Thesis Fakultas Psikologi Universitas Gadjahmada. Jogyakarta Sidik, Saiz, Asyhariz. 2007. Persepsi Masyarakat Tentang prostitusi Liar. SkripsiSimanjutak Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Keluarga. Jakarta : Rineka Cipta Soekanto, Soerjono.2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Soekanto, Soerjono. 2010. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT RajaGrapindo Persada