SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  155
1
DAFTAR ISI
PROBLEM TEMAN AHOK
Airlangga Pribadi Kusman 4
KABURNYA NAPI DARI LAPAS
Hery Firmansyah & David Surya 7
MELIBATKAN TNI MELAWAN TERORISME
M Nasir Djamil 10
OMRAN DAQNEESH CERMIN KEGAGALAN PBB
Dinna Wisnu 14
PKPU DAN PEMILU BERINTEGRITAS
Valina Singka Subekti 17
GURITA POLITIK KARTEL
Adi Prayitno 20
PELAJARAN DARI POLEMIK DWIKEWARGANEGARAAN
Frans H Winarta 23
INDONESIA SURGA KEJAHATAN CYBER
Pratama Persadha 26
POLITIK HUKUM DWI WARGA NEGARA
Moh Mahfud MD 29
DISKON HUKUMAN BAGI KORUPTOR
Aradila Caesar Ifmaini Idris 32
MOMENTUM PENATAAN SISTEM KETATANEGARAAN
Farouk Muhammad 35
AMENDEMEN UUD 45 DAN REFERENDUM
Fritz Siregar 39
KURDI & LANGKAH TURKI
Dinna Wisnu 42
KETERANGAN AHLI PERKARA PIDANA
Marwan Mas 45
PRESIDEN TAK BOLEH PANGGIL MK
Moh Mahfud MD 48
BG DAN URGENSI PENGUATAN INTELIJEN NEGARA
2
Bambang Soesatyo 51
POLRI BARU: PROFESIONAL, MODERN, DAN TEPERCAYA
Boy Rafli Amar 55
MALU EKSPOR ASAP KE NEGARA TETANGGA
Tjipta Lesmana 58
IHWAL SISTEM PEMILU
Heroik Mutaqin Pratama 61
BATU UJI NAKHODA BARU BIN
Ricky K Margono & Hery Firmansyah 65
CUTI PETAHANA: KEPENTINGAN SIAPA?
Frans H Winarta 68
MENYEGARKAN BIROKRASI PEMILU
Arif Ma’ruf Suha 71
NEGARA INI DIBANGUN DENGAN VOTING
Moh Mahfud MD 74
MENAKAR PILKADA JAKARTA
Hendri Satrio 77
URGENSI PENEGAKAN HUKUM DI PERAIRAN ASEAN
Bambang Soesatyo 80
MENYONGSONG PILGUB DKI
Komaruddin Hidayat 83
HUKUM PERSIDANGAN MELAWAN HUKUM ALAM
Reza Indragiri Amriel 85
SENGKARUT OBAT ILEGAL
Sudjito 88
PERDAMAIAN TUJUAN HUKUM (PIDANA) INDONESIA
Romli Atmasasmita 91
RAKYAT TUNGGU PENYELESAIAN KASUS BLBI-CENTURY
Bambang Soesatyo 94
UMNO SETELAH 70 TAHUN
Sudarnoto Abdul Hakim 97
CALON KEPALA DAERAH TERPIDANA DAN PENCEDERAAN
DEMOKRASI
Agus Riewanto 100
3
KANDIDASI DI PILKADA DKI
Gun Gun Heryanto 104
MENJAGA NALAR PUBLIK JAKARTA
Arya Fernandes 107
HIDUP KPK, YA..., MASIH HIDUP
Moh Mahfud MD 110
MIGRASI POLITIK MILITER?
Muradi 113
MEDIA, FREKUENSI PUBLIK, DAN PILKADA
Yuliandre Darwis 116
REFORMASI HUKUM = REVOLUSI MENTAL?
Romli Atmasasmita 119
MEMBACAWAJAH & GESTUR TERSANGKA
Tb Ronny Rachman Nitibaskara 123
MENGUJI SOLIDITAS KOALISI PENDUKUNG AHOK
Adi Prayitno 126
PILKADA, OLIGARKI, DAN KORUPSI
Marwan Mas 129
DEBAT PERTAMA CAPRES AS
Dinna Wisnu 132
DOSA SISTEMIK PENCALONAN HAKIM AGUNG
M Nasir Djamil 135
PARPOL DAN PEMILIH
Asep Sumaryana 139
MELAMPAUI SLOGAN ANTI KORUPSI
Andi Faisal Bakti 142
MERAYAKAN PILKADA
Komaruddin Hidayat 145
DURINYA BUKIT DURI
Moh Mahfud MD 147
KEYAKINAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA
Frans H Winarta 150
PARTAI BARU DI PEMILU 2019
Ramdansyah 153
4
Problem Teman Ahok
20-08-2016
Setelah berhadapan dengan proses politik yang melibatkan dukungan kuat konstituen,
(ditandai oleh pengumpulan 1 juta KTP warga DKI Jakarta) pada akhirnya Ahok atau Basuki
Tjahaja Purnama memutuskan untuk memilih jalur dukungan partai politik (Nasdem, Golkar,
dan Hanura), dan tidak menutup kemungkinan untuk menambah partai pendukungnya.
Pilihan ini menepis kemungkinan opsi jalur independen untuk maju dalam Pemilihan
Gubernur Jakarta mendatang. Hal ini memunculkan kontroversi publik terkait dengan
komitmen awal Ahok kepada konstituennya yang terorganisasi melalui wadah Teman Ahok
untuk bertarung dengan kandidat dari partai politik melalui jalur independen.
Problem politik dalam interaksi antara Ahok dan infrastruktur politiknya, yakni Teman Ahok
sebenarnya bukan pada keputusannya untuk maju melalui partai politik. Persoalannya adalah
bahwa sebagai infrastruktur politik berbasis relawan, sejak awal Teman Ahok gagal
merumuskan agenda dan opsi-opsi politik alternatif yang dapat menekan Ahok untuk
merumuskan kebijakan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta maupun ketika membangun
komunikasi dengan kekuatan politik (parpol) dalam proses menuju kandidasi Pilgub Jakarta.
Relawan Politik
Relawan politik atau dalam konteks Pilgub Jakarta yang memanifes dalam Teman Ahok
bukan sesuatu yang unik dan khas Indonesia. Fenomena serupa tengah menjamur di berbagai
eksperimentasi negara-negara demokrasi. Seperti tampilnya politisi yang menjadi ketua
Labor Party di Inggris, yakni Jeremy Corbyn, yang akan diusung menjadi perdana menteri
oleh kalangan relawan muda melalui organisasi Momentum.
Demikian pula kemunculan kandidat Presiden Amerika Serikat Bernie Sanders dalam momen
menjelang pilpres di AS pada November 2016 yang memberi perlawanan keras terhadap
kandidat terpilih Partai Demokrat Hillary Clinton, juga didaulat oleh relawan yang rata-rata
berusia muda dan tidak memiliki pengalaman intens dengan proses politik formal.
Antusiasme relawan politik yang di berbagai negara tersebut disatukan oleh persepsi warga
terhadap kekecewaan politik serupa. Kekecewaan itu adalah proses politik demokrasi yang
semakin lama semakin tertutup dan tidak melibatkan partisipasi warga dalam pengambilan
kebijakan maupun skeptisisme akut tentang berjalannya proses politik yang bersinergi dengan
aspirasi dari warga negara.
5
Kekuasaan yang tidak bertanggung jawab kepada konstituen itulah yang memunculkan
bangkitnya fenomena relawan politik di berbagai penjuru dunia. Memudarnya kepercayaan
terhadap proses politik tidak selalu berbuah pada tindakan anti-parpol, berbagai kekecewaan
di atas di berbagai negara mendorong munculnya kehendak dari warga untuk mereformasi
arah, komitmen, dan ideologi dari partai politik.
Merujuk pada pengalaman-pengalaman politik relawan di berbagai negara itulah, maka
dalam konteks hubungan antara keputusan politik Ahok dan Teman Ahok, pokok
persoalannya bukan pada opsi antara jalur independen atau jalur partai politik tapi pada
kapasitas infrastruktur politik relawan untuk mendesakkan agenda politik, dan terbangunnya
komitmen elite dalam proses berorganisasi untuk mewujudkannya.
Kegagalan Politik
Pada awalnya majunya Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta memang memberikan harapan baru
tidak saja bagi proses politik lokal di Jakarta, namun lebih dari itu, juga pada karakter politik
di tingkat nasional. Tampil sebagai elite politik dengan latar belakang posisi minoritas yang
majemuk (multiple minority positions), mengundang solidaritas dari berbagai khalayak kelas
menengah terdidik yang telah bosan dengan hierarki kultural yang menjadi kesepakatan tidak
tertulis dalam langgam politik di Indonesia.
Pangkal masalahnya adalah organ Teman Ahok yang banyak melibatkan kalangan aktivis
progresif Jakarta tidak mampu mentransformasikan modal suara kaum marjinal menuju
agenda kesejahteraan dan penyelesaian masalah pemiskinan struktural. Keterlibatan berbagai
elemen aktivis gerakan sosial di dalam wadah Teman Ahok tidak terartikulasi dalam posisi
politik organisasi untuk memberikan opsi-opsi kebijakan yang lebih manusiawi dalam
berbagai bentuk kebijakan Pemda DKI Jakarta.
Hal itu tampak dalam kasus penggusuran orang-orang miskin maupun dalam kasus reklamasi
yang tidak saja memarjinalisasi kepentingan nelayan tradisional, tapi juga berpotensi
membawa imbas negatif pada lingkungan hidup dan sistem ekologis Kota Jakarta.
Contoh lain kegagalan organ Teman Ahok untuk mendesakkan pendekatan kebijakan yang
lebih manusiawi misalnya diperlihatkan dengan tidak adanya masukan maupun suara kritis
terhadap pendekatan Pemda DKI Jakarta dalam penggusuran di berbagai tempat di
Jakarta. Tidak saja bahwa kebijakan tersebut tidak melibatkan proses partisipasi publik di
dalamnya, namun realitas penggunaan tentara untuk melakukan penggusuran di beberapa
tempat menunjukkan betapa jauhnya praktik demokrasi dari pengelolaan kota. Akibatnya
proyeksi politis yang pada awalnya berniat memperjuangkan kesetaraan politik berujung pada
benturan dengan kebutuhan kelompok-kelompok marjinal lain di Kota Jakarta.
Sementara terkait dengan proses komunikasi dengan elite-elite partai politik yang berujung
pada pilihan Ahok untuk maju melalui partai politik, juga berhadapan dengan persoalan
serupa. Infrastruktur politik relawan dengan modal satu juta KTP tidak berhasil memperkuat
6
daya tawar politik warga yang dapat memaksakan mereka untuk menghormati kekuatan
politik dari Teman Ahok.
Melalui ukuran politik yang paling sederhana, organ Teman Ahok dengan investasi satu juta
KTP tidak mampu memastikan anggotanya untuk menjadi ketua tim sukses bagi Ahok dalam
kampanye pilgub mendatang. Meskipun posisi ketua tim sukses terlihat hanya persoalan
teknis, posisi tersebut dapat menjadi tolok ukur siapa yang pada akhirnya memegang inisiatif
politik baik dalam aktivitas kampanye maupun pilihan janji dan program yang akan diusung
apakah memproyeksikan aspirasi warga atau partai politik. Apalagi, hal ini diperparah
dengan minimnya kapasitas komunikasi politik Ahok dan Teman Ahok terkait bagaimana
mengelola fotokopi KTP yang telah terkumpul satu juta suara.
Kegagalan politik dari Teman Ahok untuk mengembangkan kekuatan politik sebagai relawan
politik ketika berhadapan baik dengan problem Kota Jakarta maupun negosiasi dengan elite
politik tersebut membatasi kapasitas mereka menjadi organ demokrasi yang
genuine. Kekhawatiran yang perlahan-lahan mulai menguat adalah alih-alih berperan sebagai
subyek politik baru, organisasi Teman Ahok hanya menambah contoh corak relasi patronase
politik yang menghubungkan antara elite politik dan konstituen dalam politik Indonesia.
Elite politik menggunakan dukungan konstituen untuk membangun kesepakatan dan
kompromi politik dengan lingkaran elite lainnya, tanpa kapasitas konstituen untuk
memasukkan agendanya dalam proses politik. Semoga Teman Ahok dapat mengintrospeksi
diri dari problem internal dalam dirinya.
AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN
Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
7
Kaburnya Napi Dari Lapas
20-08-2016
Media akhir-akhir ini tengah sibuk mengabarkan tentang kaburnya para napi dari sejumlah
lembaga pemasyarakatan (lapas) seperti Salemba, Cebongan, dan Tulungagung.
Permasalahan yang sudah cukup lama menggambarkan potret buram wajah pengelolaan lapas
di negeri ini. Peristiwa semacam ini bukan yang pertama tapi tentu menjadi harapan kita
semua untuk menjadi yang terakhir kalinya.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Prof Marcus Priyo Gunarto (2013)
mengatakan, tingkat keamanan yang rendah di dalam lapas dan rutan dapat memicu berbagai
masalah antara lain kaburnya napi; terjadinya keributan/perkelahian antarpenghuni, penghuni
dengan petugas; transaksi narkoba; menurunnya kualitas sarana dan prasarana dalam lapas
atau rutan. Misalnya aspek sanitasi lingkungan menjadi di bawah standar; dan terganggunya
proses pembinaan napi, dan lain sebagainya.
Dalam catatan kecil dari Prof. Marcus tersebut jelaslah bahwa rendahnya tingkat keamanan di
lapas masih merupakan persoalan besar yang harus segera dijawab oleh jajaran Kementerian
Hukum dan HAM sebagai institusi besar yang bersinggungan langsung dengan kerja seluruh
lapas yang ada di Indonesia.
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Daerah Istimewa
Yogyakarta menduga ada tiga faktor penyebab lolosnya lima tahanan di lapas Kelas IIB
Sleman (Cebongan). Tiga faktor itu yakni sarana-prasarana lapas yang tak memadai, jumlah
sumber daya manusia (SDM) yang minim, serta kapasitas lapas yang berlebih.
Kaburnya napi yang ada di lapas bukanlah suatu persoalan remeh-temeh. Ini adalah suatu
proses panjang yang terus-menerus memberikan celah bagi para napi untuk dapat kabur dari
lapas.
Salah satu poin penting yang dapat menjadi sebuah pembelajaran adalah kaburnya napi yang
menggunakan cadar dan gamis. Cara seperti itu merupakan sebuah kecerdikan sang napi,
karena tidak adanya petugas/sipir wanita di Lapas Cipinang. Dengan kasus ini sudah
selayaknya Kemenkumham dapat membenahi lapas dan menertibkan kunjungan para tamu,
termasuk pengetatan pengecekan pada tamu wanita.
Jika diperhatikan secara saksama, terdapat komponen lain sebagai penyumbang permasalahan
berulangnya kaburnya narapidana di lapas, yaitu permasalahan overkapasitas. Tentunya
dengan tingkat hunian warga binaan yang tidak berbanding lurus dengan petugas lapas adalah
8
sebuah konjungsi atau titik pertemuan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh petugas
secara internal ke lapas, yang menjadi yurisdiksi tanggung jawab wilayah kerja mereka.
Tidak hanya mengevaluasi masalah keamanan, momentum ini dapat pula digunakan sebagai
reevaluasi terhadap sejumlah program kerja yang telah atau akan dijalan oleh lapas yang akan
diselaraskan dengan tujuan pemidanaan yang dibuat oleh pemerintah. Bahwa tujuan
didirikannya lapas dalam spektrum kontemporer adalah untuk dapat menjalankan pola
reintegrasi sosial, di mana seorang yang warga binaan di lapas, kelak ketika keluar sudah
dapat diterima dan berdampingan kembali dalam hidup yang layak di tengah-tengah
masyarakat.
Namun, yang sangat disesalkan adalah hampir tidak meratanya pelatihan yang diberikan
kepada petugas lapas dalam rangka menangani permasalahan yang ada di dalam lingkungan
lapas, sehingga akan menjadi sulit untuk menemukan alat ukur yang tepat bagi pengelolaan
lapas yang bermuara kepada tingkat kesuksesan mendidik warga binaan selama di lapas.
Pemerataan fasilitas serta jumlah SDM di seluruh lapas yang tersebar di wilayah Indonesia
tidak dapat pula dikatakan memenuhi sebaran yang memenuhi kualifikasi standar, sehingga
hal ini sekali lagi akan menjadi bom waktu yang tinggal menunggu saat yang tepat untuk
memuntahkan persoalannya ke luar.
Masih banyak ditemukan di sejumlah lapas khususnya mengenai keamanan yang dilakukan
atas bahaya yang mungkin ditimbulkan dari luar, semisal selundupan barang yang dilarang
dibawa masuk ke lapas, bahkan untuk dilarang keras digunakan oleh napi di dalam
lingkungan lapas masih saja terjadi.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah lemahnya pengawasan yang
dilakukan untuk melakukan screening awal atau filterisasi persoalan tersebut. Hal itu dipicu
oleh pengawasan yang dilakukan terhadap keluar masuk orang dan barang ke dalam lapas
yang masih menggunakan pola konvensional kasatmata, bukan dengan bantuan teknologi
yang canggih.
Pilihan lain yang dapat dipertimbangkan adalah dibukanya kemungkinan bagi pihak swasta
untuk mendirikan dan mengelola lapas. Beberapa negara di dunia seperti Korea Selatan,
Amerika Serikat, dan Kanada telah memperbolehkan pihak swasta/independent
contractor/private contractor untuk mendirikan dan mengelola lapas yang didasarkan pada
perjanjian antara pemerintah dan pihak swasta tersebut. Perjanjian itu mengatur sedikitnya
mengenai tingkat keamanan dan fasilitas yang seharusnya ada dalam lapas.
Berbagai jurnal hukum di luar negeri telah banyak dipublikasikan mengenai private
prison/privately operated prison. Akuntabilitas, fasilitas yang memadai, tingkat keamanan,
pengelolaan secara profesional, serta adanya program-program yang memungkinkan para
napi untuk kembali bermasyarakat, adalah hal-hal yang dijadikan pertimbangan ketika
pemerintah hendak menunjuk pihak swasta untuk mendirikan dan mengelola lapas. Pro dan
9
kontra terhadap kemungkinan ini hendaknya dibahas secara akademis dan dengan
pertimbangan yang menyeluruh.
Kaburnya para napi tentu meresahkan masyarakat karena bukan tidak mungkin napi-napi
tersebut melakukan aksi tindak pidana kembali. Evaluasi pengelolaan lapas tak bisa ditunda.
HERY FIRMANSYAH SH,MHum
Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara
&
DAVID SURYA SH, MH
Bendahara Umum DPP LBH Perindo
10
Melibatkan TNI Melawan Terorisme
22-08-2016
Eksistensi militer dalam pemberantasan terorisme sepertinya masih menjadi wacana yang
dilematis. Di satu sisi militer terbukti efektif dalam membantu melawan gerakan teroris.
Namun, di sisi lain konstitusi memandang lembaga ini ”tidak memiliki kewenangan” terlalu
jauh dalam upaya penanganan teroris. Inilah dilema kehadiran militer dalam aksi penumpasan
teroris.
Dilema ini semakin menguat dengan kasus tewasnya Santoso di tangan Tim Alfa 29 Batalion
Infanteri Raider 515 Kostrad. Fakta ini seolah menyiratkan pesan pentingnya keterlibatan
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan tindak pidana terorisme.
Di tengah sikap apatis publik akibat lambatnya Polri menangkap Santoso alias Abu Wardah
yang telah ditetapkan sebagai buron sejak 2012, kehadiran TNI seolah membawa harapan
baru pemberantasan terorisme di Indonesia. Dukungan publik terhadap peran TNI ini tentu
bukan tanpa alasan. Selain terlatih di medan yang sulit terjangkau, pasukan khusus TNI juga
memiliki keahlian dalam mengintai, memukul dan baku tembak dengan teroris, dan dalam
berbagai peristiwa mampu membebaskan sandera.
Model kerja sama TNI dan Polri yang bahu-membahu dalam pemberantasan terorisme ini
patut diacungi jempol. Betapa tidak, kejahatan terorisme ini tak hanya memakan korban jiwa
dalam jumlah besar, namun juga dapat mengancam kedaulatan negara.
Lebih dari itu, Indonesia diakui masih menjadi lahan subur bagi tumbuhnya paham radikal
terorisme yang siap berubah menjadi teroris dan ancaman negara. Dengan begitu, peran kerja
sama kekuatan alat negara menjadi penentu dalam merumuskan strategi efektif
pemberantasan tindak pidana teroris di Indonesia.
Sejarah militer dalam upaya penegakan hukum selama ini tak bisa dilepaskan dari bumbu
kepentingan dan ideologi elite penguasa. Studi berbagai konflik dalam hubungan sipil-militer
era Orde Baru mengajarkan bahwa politisasi sejarah dapat membuka kembali keran
masuknya konflik intramiliter pada masa depan.
Kecurigaan berbagai kalangan atas keterlibatan TNI dapat mengulangi sejarah masa lalu pun
tak bisa dimungkiri. Trauma sejarah ini tidak lepas dari begitu dominannya kepentingan
sosial dan politik militer masa lalu, bahkan seolah menjadi momok bagi ancaman demokrasi
saat ini.
11
Namun, ancaman terorisme pun tak bisa dianggap remeh. Teroris saat ini sudah menjelma
sebagai sebuah kekuatan global. Pelakunya di satu negara, terhubung dengan yang lainnya
dalam jaringan bawah tanah. Mereka beraksi tanpa pilih target demi mencapai tujuan. Mereka
dibekali modal melimpah, senjata ilegal, dan serta memiliki jaringan luas. Memutus
kaderisasi jaringan terorisme melalui strategi pencegahan yang efektif merupakan tugas besar
ke depan.
Tentu, demi menjaga kedaulatan negara, harus ada yang diprioritaskan. Saat ini yang utama
adalah terorisme diberantas sampai akar-akarnya. Dilumpuhkannya Santoso tak lantas
ancaman teror mereda. Pengalaman membuktikan, jaringan teroris terus tumbuh dan
berkembang meski otak pelaku telah ditembak mati. Pekerjaan rumah aparat penegak hukum
setelah tewasnya Santoso adalah memastikan bahwa kelompok loyalis Santoso tak lagi
menjalankan aksi terornya.
Keberhasilan melumpuhkan Santoso pun menarik untuk dikaji, apakah model itu tepat untuk
menjadi prototipe dalam operasi pemburuan teroris di Indonesia. Meski tim ini terbilang ideal
karena melibatkan polisi dengan satuan elite Brimob, Densus, Kodim, Kostrad, dan
Kopassus, upaya pemberantasan terorisme sejatinya mensyaratkan kendali operasi harus
ditangani kepolisian.
Dengan demikian, segala penanganannya harus diproses dengan sistem peradilan pidana.
Dengan begitu, melibatkan TNI dalam operasi pemberantasan terorisme hanya diperbolehkan
selama berfungsi sebagai satuan pendukung.
Keterlibatan TNI
Perdebatan tentang perlu dan tidak keterlibatan TNI dalam upaya pemberantasan tindak
pidana terorisme harus diakhiri. Hal ini telah diakomodasi dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 46/2010 jo Perpres Nomor 12/2012 tentang Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di dalamnya mengatur langkah-langkah
penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan,
dan penyiapan kesiapsiagaan nasional.
Berdasarkan perpres ini ditetapkan, BNPT berperan sebagai koordinator sekaligus
membentuk sinergi antar-stakeholder, termasuk dengan Polri, TNI, kementerian, dan
lembaga negara terkait. Perpres memberikan peluang untuk dibentuknya satuan-satuan tugas
dari unsur-unsur pemerintahan yang terkait. Tetapi, perpres menegaskan bahwa
pelaksanaannya harus sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
Selain itu, Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sementara yang
menjadi porsi tugas utama TNI adalah mempertahankan, melindungi, serta memelihara
12
keutuhan dan kedaulatan negara. Jelas konstitusi sebagai hierarki tertinggi perundangan di
Indonesia menempatkan upaya penegakan hukum merupakan kewajiban dari Polri.
Begitu juga dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara
Republik Indonesia kembali menegaskan peran kepolisian untuk ”...memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat”. Dengan demikian, sudah seharusnya Kepolisian Negara Republik
Indonesia menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan terorisme.
Konstitusi memberikan ruang bagi terjalinnya kerja sama antara TNI dan Polri dalam rangka
menjalankan tugas pertahanan dan keamanan, dengan pengaturan lebih lanjut dalam undang-
undang. Dalam tataran undang-undang, bantuan TNI kepada kepolisian dapat ditelusuri
dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
”Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah”.
Selain itu, peran TNI dalam ranah sipil dapat ditelusuri dalam Peraturan Pengganti Undang-
Undang (Perppu) Nomor 23/1959 tentang Keadaan Bahaya jo UU Nomor 1/1961. Keadaan
bahaya tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu darurat sipil, darurat militer, dan keadaan
perang. Hanya dalam keadaan darurat militer dan perang, penguasa darurat militer dapat
mengambil alih fungsi-fungsi sipil, hingga pemerintah pusat mengubah status keadaan
menjadi keadaan tertib sipil. Ini artinya dalam keadaan di mana militer diperbantukan dalam
ranah sipil, selain dalam situasi darurat militer dan perang, militer tetap harus mengikuti
hukum sipil yang berlaku, bukan hukum militer.
Penegakan Hukum Terorisme
Hampir 15 tahun penegakan hukum tindak pidana terorisme di Indonesia. Namun, berbagai
kalangan melihat upaya penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme ini kian mengalami
kemunduran. Proses peradilan dalam penanganan tindak pidana terorisme kerap menyimpang
dari prinsip hukum dan asas-asas hukum pidana yang ada. Penegakan hukum yang jauh dari
asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) ditambah lagi dengan penyiksaan oleh
oknum Densus 88 yang dimulai sejak penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana terorisme, yang jelas menyimpang dari hak asasi manusia.
Peran BNPT tentu perlu dioptimalkan. Fungsi BNPT dalam mengoordinasikan dan
mensinergikan peran Polri, TNI, BIN, dan kejaksaan seakan mandek. Belum ada sharing
informasi intelijen antarlembaga tersebut yang terkait dengan semakin berkembangnya
potensi terorisme. Padahal, informasi dan fakta tersebut berpengaruh dalam upaya
pendeteksian, pencegahan, dan proses penegakan hukum. Alhasil, koordinasi lintas
kementerian dan lembaga untuk melakukan deteksi dan cegah dini terhadap perkembangan
potensi ancaman aksi teror tak pernah maksimal.
13
Kelemahan undang-undang memang tak bisa dihindari. Kehadiran Undang-Undang Nomor
15/2003 yang lahir pasca-Bom Bali 2002 dinilai semakin usang karena tak cukup mampu
secara ampuh menekan berkembangnya terorisme di negeri ini.
Dari aspek penegakan hukum, kurang memadainya legal framework dalam rangka countering
violent extremism (CVE) menyebabkan ihwal yang mengarah pada radikalisme teroris seperti
menyatakan sumpah setia kepada ISIS, memiliki atribut yang dipergunakan oleh ISIS,
melakukan kegiatan fund raising, dan sebagainya semakin sulit tersentuh hukum.
Untuk itu, Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Undang-Undang Nomor 15/2003 kini harus
lebih cermat dan hati-hati dalam merumuskan naskah perubahan undang-undang tersebut.
Kesalahan dalam pemberian kewenangan dan perluasan cakupan pidana bisa jadi
bertentangan dengan koridor hukum nasional maupun internasional. Konstitusi jelas telah
menyiratkan pesan bahwa setiap orang berhak atas jaminan dan perlindungan hukum dan
perlakuan yang adil, tidak terkecuali dengan orang yang diduga melakukan tindak pidana
terorisme, khususnya tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Tentu kita berharap penegakan hukum tindak pidana terorisme kini menjadi lebih baik dan
tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum pidana yang ada, bukan justru mengalami
kemunduran.
M NASIR DJAMIL
Anggota Panitia Khusus DPR RI Terkait Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
14
Omran Daqneesh Cermin Kegagalan PBB
24-08-2016
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin hari semakin lemah otoritasnya dalam
menciptakan perdamaian di dunia. Kita melihat bagaimana PBB tidak efektif dalam
menyelesaikan konflik yang terjadi di Suriah dan di tempat-tempat lain.
Ketidakefektifan ini dapat menjadi landasan bagi Indonesia untuk maju dan mendorong
reformasi di tubuh PBB, terutama di dalam Dewan Keamanan Tetap yang memiliki hak
untuk melakukan veto terkait dengan upaya intervensi untuk menciptakan perdamaian di
sebuah wilayah.
Minggu lalu dunia dikejutkan oleh foto dan cuplikan video seorang anak kecil yang terluka
dan terguncang bernama Omran Daqneesh. Ia dan tiga saudara lainnya diselamatkan dari
dalam reruntuhan puing rumahnya yang mengalami kerusakan berat akibat terkena serangan
udara. Dalam foto dan video tersebut anak berusia 5 tahun itu tampak terguncang dan tidak
mengerti apa yang sedang terjadi. Ia merasakan aliran darah dari kepalanya, tetapi tidak
menangis. Kakaknya yang juga diselamatkan dalam waktu yang bersamaan ternyata
meninggal beberapa jam kemudian.
Foto itu kemudian menyebar luas dan menuai simpati dunia melalui media sosial. Seperti
telah diduga, semua pihak menyatakan kecaman dan kegeraman atas konflik yang tidak
berkesudahan di Suriah. Para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mulai dari pihak
Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, kelompok oposisi, Hisbullah, hingga Rusia juga
menyatakan simpati dan menolak untuk disebut sebagai pihak yang disalahkan.
Beberapa media di Cina bahkan menuduh foto dan cuplikan itu adalah rekayasa yang dibuat
kelompok oposisi untuk mendiskreditkan pemerintahan Suriah dan sekutunya karena foto itu
diambil oleh orang-orang yang sebetulnya terlibat dalam pemenggalan kepala anak-anak
yang berumur 11 tahun di Suriah. Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa foto itu
adalah bagian dari propaganda perang untuk mengumpulkan dukungan menyerang kelompok
lain.
Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap simpati yang lahir atas respons terhadap foto
tersebut, penderitaan Omran adalah penderitaan jutaan anak yang menderita akibat perang.
Semua negara punya keprihatinan terhadap nasib anak-anak. Hampir seluruh negara kecuali
Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan menurunkannya menjadi undang-
undang.
Namun implementasi dari konvensi itu masih jauh dari apa yang diharapkan. Negara-negara
15
yang menandatangani masih saja mengabaikan penghormatan terhadap hak anak untuk
terbebas dari rasa takut. Kepentingan politik tiap negara masih menjadi halangan kuat untuk
pelaksanaan konvensi tersebut.
Salah satu contoh adalah gagalnya sebuah resolusi yang digagas Prancis pada 2004 terkait
dengan kekerasan bersenjata yang terjadi di Chechnya dan Irlandia Utara (Oludun,
2014). Kita mungkin masih ingat kasus penyanderaan yang dilakukan pemberontak
Chechnya dan mengakibatkan korban anak-anak karena gagalnya operasi penyelamatan oleh
Rusia. Demikian pula kekerasan bersenjata yang mengakibatkan meninggalnya anak-anak
antara pemberontak dan Pemerintah Inggris. Inggris dan Rusia menolak kejadian tersebut
masuk dalam kategori armed conflict sehingga menyebabkan Sekretaris Jenderal PBB
menggantinya menjadi kategori situation of concern.
Apakah Prancis juga dapat dikatakan bersih karena telah membuat draf tersebut? Nyatanya
juga tidak karena Prancis dan Amerika Serikat juga pernah memveto dan menolak kata
“genocide” (genosida) dalam sebuah resolusi terkait kasus Rwanda pada 1994. Penolakan
istilah tersebut membuat intervensi PBB ke wilayah tersebut kurang memiliki landasan
hukum yang kuat di bawah hukum internasional. PBB kemudian baru mengirim pasukan
perdamaian di bawah sandi Operation Turquoise setelah lebih dari 800.000 orang dibunuh
secara keji, termasuk anak-anak. Salah satu sebab Prancis menolak kata “genosida” karena
keberpihakannya kepada pihak Hutu sebagai salah satu pihak yang sedang berkonflik.
Ketidakefektifan fungsi PBB inilah yang telah menimbulkan kekecewaan dan bisa
meruntuhkan kewibawaan PBB di mata negara-negara lain, khususnya negara-negara yang
tidak memiliki hak veto. Kestabilan dan perdamaian dunia yang menjadi mandat utama
terbentuknya PBB pasca-Perang Dunia II lebih menjadi alat politik negara maju yang
berkuasa, terutama lima negara yang memiliki hak veto dan duduk di Dewan Keamanan
Tetap PBB.
Melemahnya kewibawaan PBB membuat tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi
manusia (HAM) terus terjadi karena banyak negara yang sudah tidak menaruh hormat kepada
PBB seperti yang baru saja dilakukan Presiden Duterte dari Filipina. Selain mengumpat
dengan kata-kata kasar dalam kapasitasnya sebagai presiden, ia bahkan mengancam akan
meninggalkan PBB ketika dituduh mendalangi sejumlah aksi pembunuhan ribuan penjahat
baik secara resmi atau tidak. Ia bahkan menggunakan foto bocah Suriah yang terluka tersebut
sebagai bukti gagalnya PBB menyelesaikan masalah mereka. Kondisi tersebut sebetulnya
juga telah diingatkan dalam Pidato Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Asia Afrika dua
tahun lalu, tetapi implementasinya hingga saat ini belum tampak ke depan.
Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Reformasi PBB yang buntu sejak tahun 2000 harus
disuarakan kembali. Negara-negara dunia tidak bisa dibiarkan berjalan sesuka hati
sekehendak tokoh-tokoh politiknya. Indonesia mungkin dapat memanfaatkan momentum
terkini untuk mendorong reformasi di tubuh PBB, khususnya bagian Dewan Keamanan
Tetap, agar lebih demokratis dan mencerminkan perubahan kekuatan dunia saat ini. Tanpa
16
perubahan yang signifikan di dalam tubuh PBB, saya pesimistis akan terjadi perdamaian yang
permanen dan berkelanjutan di masa depan.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
@dinnawisnu
17
PKPU dan Pemilu Berintegritas
24-08-2016
KORAN SINDO 22/8 memberitakan lambatnya DPR menyelesaikan pembahasan peraturan
KPU (PKPU) dari KPU, padahal tahapan pilkada serentak di seluruh Indonesia sudah
dimulai, yaitu tahapan pendaftaran pemilih dan tahapan pencalonan. Idealnya PKPU sudah
rampung sebelum tahapan pemilu dimulai.
Situasi seperti ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap kualitas pilkada serentak gelombang 2
yang direncanakan 15 Februari 2017. Pilkada akan diikuti 101 daerah otonom terdiri atas
pemilihan gubernur di 7 provinsi, pemilihan bupati di 76 kabupaten, dan pemilihan wali kota
di 18 kota.
Pertanyaannya, mengapa PKPU belum selesai padahal tahapan sudah berjalan? Apakah
karena KPU lambat atau terkendala DPR? Seperti kita ketahui PKPU berisi petunjuk
pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang berisi detail jadwal dan tata cara
pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu. PKPU disusun berdasarkan undang-undang untuk
melaksanakan undang-undang dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Kedudukan PKPU sangat strategis, berfungsi sebagai pedoman penyelenggara pemilu dalam
melaksanakan tugas dan kewenangannya seperti yang sudah diatur dalam konstitusi UUD
1945 maupun undang-undang. Tanpa PKPU penyelenggara pemilu dapat kehilangan arah dan
tidak mengerti apa yang harus dilakukan karena undang-undang tidak mengatur secara detail
tata cara melaksanakan tahapan pemilu.
Idealnya beberapa waktu sebelum tahapan dimulai seluruh PKPU yang dibutuhkan sudah
siap untuk disosialisasi kepada penyelenggara dalam bentuk bimbingan teknis (bimtek),
peserta pilkada (partai politik dan pasangan calon), serta masyarakat luas. PKPU yang
aspiratif dan akuntabel biasanya ditetapkan KPU setelah melalui proses uji publik.
Dengan pemahaman bersama pemangku kepentingan pemilu, diharapkan pelaksanaan
tahapan berjalan secara tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat kualitas. Hanya dengan cara
demikian dapat dihasilkan sebuah pemilu yang tidak hanya jurdil dan demokratis, tetapi juga
berkualitas dan berintegritas.
Hasil pemilu mencerminkan suara atau kehendak rakyat yang sesungguhnya dan hasilnya
dapat dipercaya (trusted) sehingga memiliki legitimasi tinggi. Legitimasi diperlukan supaya
parlemen maupun pemerintahan baru terpilih dapat bekerja efektif untuk rakyat.
Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang melaksanakan pemilu kolosal untuk pemilu
18
nasional (memilih anggota legislatif serta memilih presiden dan wakil presiden) dan ratusan
bahkan ribuan pilkada di seluruh Indonesia sejak 2005. Dunia mengakui kemampuan
Indonesia dalam pelaksanaan demokrasi elektoral ini meski dari segi substantif demokrasi
Indonesia masih harus terus diperbaiki untuk ditingkatkan kualitasnya.
KPU merencanakan menyusun 9 PKPU dan pada 18 Juli KPU menyampaikan 5 draf PKPU
kepada DPR untuk diagendakan konsultasi. DPR reses pada 24 Juli dan belum sempat
merespons permohonan KPU itu. Namun memperhatikan tahapan penyerahan dukungan
pasangan calon perseorangan harus segera dimulai, Ketua KPU melakukan komunikasi
politik dengan pimpinan Komisi II DPR sehingga PKPU pencalonan ditetapkan dengan
syarat setelah ditetapkan harus tetap dibahas dalam forum konsultasi.
Sampai dengan 18 Agustus baru 1 PKPU yang dibahas dari 5 PKPU yang sudah disampaikan
KPU kepada DPR. Tentunya keadaan ini sangat mengkhawatirkan.
Salah satu pertanyaan yang mengemuka, mengapa dengan kemajuan yang sudah dicapai
dalam kepemiluan tiba-tiba DPR bersama pemerintah menghasilkan regulasi baru yang bisa
berimplikasi pada kemunduran kualitas pilkada? Pasal 9 undang-undang baru yang mengatur
pilkada mengenai tugas dan wewenang KPU salah satu ayatnya mengatakan: ”...menyusun
dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam forum rapat dengar
pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.” Ketentuan baru yang tidak pernah ada
sebelumnya adalah klausul ”keputusannya bersifat mengikat”.
Konsultasi dalam forum rapat dengar pendapat DPR memang diperlukan supaya terbangun
komunikasi politik antara KPU, DPR, dan pemerintah. Tidak lain untuk menghindari
kemungkinan salah penafsiran penyusun PKPU terhadap ketentuan dalam undang-undang
yang dibuat DPR bersama pemerintah. Praktik konsultasi ini sudah berlangsung sejak Pemilu
2004 maupun pemilu-pemilu selanjutnya dan berjalan dengan baik oleh karena tiap pihak
merasakan manfaatnya.
Proses itu berjalan transparan dan akuntabel serta dilakukan dengan mengedepankan prinsip
kehati-hatian, menghormati otoritas lembaga masing-masing untuk menghindari
kemungkinan terjadinya dominasi atau kooptasi DPR atau pemerintah terhadap lembaga
penyelenggara pemilu.
Pada dasarnya pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri seperti diatur dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 hasil
perubahan ketiga yang kemudian secara lebih terperinci diatur dalam ketentuan undang-
undang pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan kepada
daerah, serta undang-undang tentang penyelenggara pemilihan umum.
Prinsipnya pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang independen dari kekuasaan.
Penyelenggaranya bersikap netral, tidak memihak, mengedepankan imparsialitas, dan
19
memperlakukan secara sama dan setara semua peserta pemilihan umum. DKPP bersama
dengan KPU dan Bawaslu menyusun kode etik penyelenggara pemilihan umum untuk
mengatur code of conduct penyelenggara supaya bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip etik
pemilu yang sifatnya universal. Oleh karena itu melalui Undang-Undang No 15 Tahun 2012
dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dengan tujuan
menjaga kemandirian, kredibilitas, dan integritas penyelenggara pemilu.
Pemilu yang berintegritas tidak akan mungkin dihasilkan apabila penyelenggaranya tidak
berintegritas. Kita semua berkepentingan menjaga agar lembaga penyelenggara pemilu tetap
independen seperti dikehendaki konstitusi. Ke depan Pasal 9 ini perlu ditinjau kembali untuk
mengembalikan marwah KPU sebagai lembaga yang independen sehingga dapat bekerja
secara independen dan profesional. Kepercayaan kepada lembaga penyelenggara dapat kita
bangun melalui pembentukan penyelenggara pemilu yang anggotanya mandiri, berintegritas,
dan memiliki kapasitas.
Oleh karena itu ketentuan tentang rekrutmen dan proses rekrutmen harus benar-benar
dilakukan secara terukur, profesional, dan bertanggung jawab. Perlu dibentuk panitia seleksi
yang benar-benar memahami peran strategis pemilihan umum dan keindonesiaan sesuai
dengan amanat para pendiri bangsa seperti tertulis dalam bagian Pembukaan UUD 1945.
VALINA SINGKA SUBEKTI
Anggota DKPP dan Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia
20
Gurita Politik Kartel
24-08-2016
Belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali merombak struktur kabinet
kerjanya. Perombakan kabinet jilid II ini ditengarai bukan sekadar ingin menghilangkan
kegaduhan dan mempercepat akselerasi kinerja menteri. Melainkan juga sebagai upaya untuk
mengakomodasi kepentingan Partai Golkar dan PAN yang ikut merapat ke pemerintah.
Jokowi mengganti Menteri Yuddy Chrisnandi, Rizal Ramli, Sudirman Said, dan Marwan
Jafar yang kerap bikin gaduh dan memantik polemik publik. Begitu juga dengan upaya
menggenjot kinerja menteri, terutama di sektor ekonomi, Jokowi mendapuk Sri Mulyani
Indrawati sebagai menteri keuangan. Bekas direktur pelaksana Bank Dunia ini dianggap
mumpuni dan menjadi bintang dalam perbaikan ekonomi. Sementara akomodasi politik
tampak nyata dari masuknya kader Golkar Airlangga Hartarto yang didaulat sebagai menteri
perindustrian dan kader PAN Asman Abrur sebagai menteri pendayagunaan aparatur negara
dan reformasi birokrasi.
Merapatnya Golkar dan PAN ke Jokowi tentu menjadi hal yang paradoks dalam sistem
kepartaian kita. Sebab, dua partai politik tersebut merupakan partai pengusung utama
Prabowo Subianto yang menjadi rival politik Jokowi pada Pilpres 2014. Saat pemilu, dua
kubu pendukung saling bersaing sengit. Kini, memasuki tahun kedua pemerintahan Jokowi,
jejak pertikaian itu nyaris tak berbekas.
Praktik politik semacam ini kian menambah rentetan panjang keanehan sistem kepartaian.
Tiga pemilu demokratis yang diselenggarakan pasca-Reformasi, yakni Pemilu 1999, 2004,
dan 2009 dengan mudah kita dapati betapa partai politik saling bersaing dengan menegaskan
warna ideologi masing-masing. Namun, jelang pembentukan kabinet, partai-partai itu saling
berangkulan.
Begitu juga dengan Pilpres 2014. Kekuatan politik terbelah menjadi KMP dan KIH. Dua blok
kekuatan saling menegasi dengan beragam argumentasi. Tak lama setelah pilpres, sejumlah
partai politik penyokong KMP tanpa sungkan merapat ke Jokowi. Meski berusaha main apik,
modus mereka merapat ke Jokowi akhirnya terendus, yakni mengincar posisi menteri.
Peristiwa ini menyisakan pertanyaan penting seputar watak dasar sistem kepartaian yang kita
adaptasi selama ini. Kesimpulan sementara yang bisa diajukan ialah telah terjadi praktik
politik kartel. Praktik ini telah lama menggurita yang sulit dihilangkan dari sistem demokrasi
elektoral. Magnet kekuasaan menjadi pemicu utamanya.
21
Richard Katz dan Peter Mair dalam How Party Organize: Change and Adaptation in Party
Organization in Western Democracies (1994) mendefinisikan politik kartel sebagai situasi di
mana partai politik saling meniadakan kompetisi serta menghapus sekat-sekat ideologi demi
meraih kekuasaan bersama. Situasi ini terjadi karena semua partai politik memiliki
kepentingan sama, yakni memelihara kelangsungan hidup secara kolektif.
Karena itu, bisa dipahami bahwa kartelisasi politik tercipta karena keinginan kolektif partai
politik untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka dengan membentuk perserikatan
serupa kartel. Tujuan utamanya ialah akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dengan
melakukan perburuan rente di kementerian termasuk komisi-komisi ”basah” di parlemen.
Faktor Utama
Ada dua faktor utama yang membuka ruang terjadi praktik politik kartel. Pertama, akomodasi
terhadap partai politik yang kalah dalam pemilu. Atas nama stabilitas kabinet, presiden atau
partai pemenang pemilu seringkali merangkul kelompok politik (oposisi) yang berpotensi
merongrong kekuasaan pemerintah.
Inilah salah satu cacat bawaan sistem presidensialisme multipartai, yakni munculnya seorang
”presiden minoritas” yang tak memiliki legitimasi mayoritas di parlemen. Sebab itu, untuk
meredam perlawanan oposisi, presiden melakukan akomodasi politik. Pada titik inilah,
persaingan, kompetisi, dan konflik antarpartai politik nyaris tiada. Semuanya menyatu dalam
kepentingan kekuasaan kolektif.
Reshuffle kabinet kerja kali ini dengan gamblang mempraktikkan politik akomodasi dengan
merangkul kekuatan partai politik lawan. Perlahan, satu per satu Golkar, PAN, dan PPP
berbalik arah mendukung pemerintah. Akomodasi politik membuat Golkar dan PPP bernafas
lega dalam menghadapi perhelatan politik elektoral karena memiliki akses logistik di
pemerintahan. Padahal, kompetisi antarpartai politik dapat mencegah perilaku koruptif yang
dilakukan secara berjamaah oleh partai penguasa. Sederhananya, persaingan yang sehat di
antara partai politik akan melahirkan oposisi kredibel yang mampu memberikan check and
balances terhadap pemerintah.
Kedua, koalisi cair. Problem lain dari kombinasi sistem presidensialisme multipartai yakni
sulitnya melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai
politik. Problema inilah yang dialami Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo
Bambang Yudhoyono, bahkan Jokowi. Akibat itu, koalisi menjadi cair yang menyebabkan
terjadi bongkar pasang kabinet bisa dilakukan kapan saja.
Problem pelembagaan koalisi bermuara pada ketiadaan basis kesepakatan politik yang
mengikat partai yang saling berkoalisi, baik ketika pencalonan presiden maupun menjelang
pembentukan kabinet. Koalisi yang terbentuk cenderung ad hoc, tergesa-gesa, dan
berorientasi jangka pendek. Ketiadaan kesepakatan turut menjelaskan mengapa seorang
presiden begitu mudah mencopot para pembantunya yang tak memiliki back up politik kuat
22
digantikan oleh menteri dari partai oposisi. Tidak mengherankan jika Sudirman Said, Anis
Baswedan, Ignasius Jonan, dan Rizal Ramli diganti tanpa disertai dengan alasan jelas.
Karena itu, dengan sederhana dapat kita katakan bahwa politik kartel disebabkan oleh
perselingkuhan kepentingan pemerintah dengan partai-partai oposisi. Demi menjaga stabilitas
politik, penguasa seringkali memainkan politik aman dengan membuka pintu koalisi dengan
iming-iming kekuasaan.
Gurita politik kartel akan sulit dihilangkan selama masih ada ruang lebar politik akomodasi
dan tak ada koalisi yang terlembaga. Presiden maupun partai pemenang akan terus
melakukan manuver untuk mengamankan kepentingan politiknya dengan menggembosi
kekuatan oposisi guna menghindari kritik dan interupsi di pemerintahan. Dalam konteks
inilah menjadi penting untuk menegakkan kembali marwah sistem presidensial di mana
seorang presiden harus mampu keluar dari sandera politik partai pengusung dan
penentangnya. Presiden harus mampu menjelmakan dirinya sebagai presiden pilihan rakyat,
bukan presiden yang merepresentasikan kepentingan partai politik.
Para ilmuwan politik sudah mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial seorang presiden
memiliki waktu pemerintahan yang tidak dapat disela (fixed term) dalam rentang waktu
tertentu yang cukup lama. Sebab itu, kekuasaan presiden cukup powerful yang tak bisa
diinterupsi maupun dijatuhkan oleh parlemen karena sikap politiknya yang berlawanan.
ADI PRAYITNO
Dosen Politik FISIP UIN Jakarta; Peneliti The Political Literacy Institute
23
Pelajaran dari Polemik
Dwikewarganegaraan
26-08-2016
Sungguh sebuah tamparan hebat bagi pemerintah dan pelajaran yang berharga untuk seluruh
rakyat Indonesia saat kita menghadapi persoalan status kewarganegaraan ganda mantan
Menteri ESDM Arcandra Tahar yang hanya menjabat selama 20 hari.
Masalah semakin bertambah ketika keberadaan kewarganegaraan ganda ini justru ditanggapi
secara reaktif dengan usulan untuk mengubah UU Kewarganegaraan. Hal ini menunjukkan
ada yang salah dengan pemetaan permasalahan yang terjadi dan solusi yang seharusnya
diambil oleh para pemangku kekuasaan negara ini. Oleh karena itu, tidak salah apabila
muncul dugaan bahwa tengah timbul upaya-upaya pengalihan isu demi melindungi kelalaian
yang terjadi dalam hal penunjukan menteri.
Jika benar bahwa usulan pengubahan UU Kewarganegaraan hanya untuk menjadi justifikasi
bagi kesalahan yang ada, hal ini tidak baik bagi perkembangan hukum dan demokrasi di
negara kita. Mengubah UU demi melindungi kesalahan penguasa bukanlah ciri pemimpin di
sebuah negara hukum. Jika kita memegang teguh kedaulatan hukum, sekalipun langit runtuh,
hukum harus tetap tegak (fiat justitia ruat caelum).
Sesuai dengan UU Kewarganegaraan, Indonesia tidak menganut asas kewarganegaraan
ganda, kecuali bagi anak yang lahir dari pernikahan campuran. Namun itu pun harus memilih
salah satu kewarganegaraan kelak ketika yang bersangkutan telah berusia 18 tahun.
Ketidaktahuan, ketidakprofesionalan, dan ketidakpatuhan terhadap hukum dan konstitusi
merupakan akar dari munculnya persoalan ini. Masyarakat pun hingga kini masih bertanya-
tanya, mengapa hal ini bisa terjadi di negara besar ini? Jika ini persoalan yang tidak
sepatutnya dibesar-besarkan, mengapa kelalaian semacam ini seringkali terjadi pada
penyelenggara negara saat ini?
Sesuai dengan prinsip hukum Indonesia, semua orang harus dianggap tahu atas diterapkannya
sebuah peraturan perundang-undangan (presumptio iures de iure) dan ketidaktahuan akan
sebuah peraturan perundang-undangan bukanlah alasan untuk menjadi pelanggar undang-
undang (ignorantia legis neminem excusat). Jadi seseorang tidak bisa mengelak dengan
alasan tidak tahu ada suatu hukum yang mengatur hal tertentu di dalam sebuah perundang-
undangan. Apalagi jika yang mengelak dengan alasan itu adalah pemerintah.
24
Status kewarganegaraan tidak sekadar berkutat soal paspor maupun soal administratif
perjalanan lintas negara. Soal kewarganegaraan menyangkut juga masalah janji setia (oath of
allegiance) kepada negara, baik kepada Republik Indonesia atau kepada negara lain. Janji
setia ini memengaruhi tindak-tanduk yang bersangkutan, apalagi jika ditunjuk menduduki
jabatan publik yang bertugas untuk mengambil kebijakan strategis yang memengaruhi hajat
hidup orang banyak dan kelangsungan republik ini.
Status kewarganegaraan ganda tentunya menimbulkan pertanyaan apakah yang bersangkutan
memiliki loyalitas ganda juga? Untuk mendapatkan status kewarganegaraan sebuah negara
bukanlah hal yang mudah dan main-main. Terlebih lagi untuk melepaskan status
kewarganegaraan tersebut, tidak cukup hanya dengan mengembalikan paspor dari negara
yang bersangkutan, tetapi juga ada tahapan-tahapan khusus yang perlu dilakukan.
Dalam konteks Indonesia misalnya, menurut Pasal 23 UU Nomor 12/2006 Tentang
Kewarganegaraan, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauan sendiri atau mempunyai
paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan
sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya merupakan
salah satu alasan seseorang kehilangan statusnya sebagai WNI.
Taat Asas dan Hukum
Sebenarnya tidak masalah menunjuk siapa pun sosok yang diinginkan Presiden untuk
menduduki jabatan menteri asal semua persyaratan yang ada dipenuhi sesuai dengan hukum
yang berlaku. Pemerintah harus taat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan juga
kepada hukum serta konstitusi sebelum mengambil kebijakan.
Kalau memang sosok Arcandra Tahar benar-benar diperlukan oleh negara untuk mengabdi
sebagai menteri, langkah-langkah naturalisasi untuk mendapatkan status sebagai WNI perlu
ditempuh. Atau jika benar memiliki kewarganegaraan ganda, yang bersangkutan bisa
melepaskan kewarganegaraan asingnya sesuai dengan hukum yang berlaku pula.
Namun tentu rahasia negara menjadi taruhannya di sini. Apalagi yang bersangkutan
sebelumnya pernah berkewarganegaraan asing. Presiden perlu berhati-hati dalam mengambil
keputusan mengingat ketahanan dan kedaulatan energi bangsa terkait erat dengan hajat hidup
rakyat dan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa merdeka.
Apa pun alasannya, hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Janganlah menjadi bangsa yang
tidak teliti dan tidak berpikir panjang. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) sesuai
dengan UUD 1945 sehingga apa pun langkah konkret yang dilakukan pemerintah harus
dengan pertimbangan hukum yang matang. Hukum jangan hanya dipandang sebagai penghias
jalannya pembangunan dan kerja pemerintah. Konsekuensi ke depannya dapat lebih fatal
apabila pemerintah kerap abai terhadap hukum yang ada.
25
Progresivitas Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK saat ini merupakan kado yang indah
bagi rakyat. Apalagi dengan kerja nyata yang dihasilkan pemerintahan saat ini seolah ingin
mempertegas bahwa pemerintah telah berdaya upaya semaksimal mungkin demi
kemakmuran bangsa dan kemajuan negara. Namun demi menuju pemerintahan yang lebih
baik ke depan tersebut, tentunya rakyat juga mengharapkan profesionalitas dan kualitas yang
mumpuni pula dari para penyelenggara negara.
Oleh karena itu, ada baiknya apabila Presiden memetik pelajaran penting dari kasus ini dan
membangun tim hukum yang solid dan berintegritas untuk dapat memberikan masukan yang
sehat kepada Presiden. Jangan sampai agenda-agenda penting kebangsaan menjadi terhambat
karena Presiden tidak didukung tim hukum yang solid. Tanpa hukum yang kuat, mustahil
pembangunan dan agenda kerja yang dicanangkan Presiden dapat terlaksana dengan mulus.
FRANS H WINARTA
Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional
26
Indonesia Surga Kejahatan Cyber
26-08-2016
Indonesia selama ini dianggap sebagai surga kejahatan cyber. Betapa tidak, pada 2015
setidaknya 6.000 lebih warga asing dideportasi akibat pelanggaran perizinan dan tindak
kejahatan, sebagian di antaranya pelaku kejahatan cyber.
Belum lama ini Kepolisian RI kembali menangkap 31 orang asal Cina yang ditengarai
melakukan tindak kejahatan cyber. Modusnya mereka menargetkan korban warga negara di
tempat asalnya. Para pelaku ini melakukan pendekatan dan menjebak korban untuk
melakukan pencucian uang. Lalu di tengah jalan para pelaku mengaku sebagai polisi dan
memeras para korbannya.
Ada lagi modus penipuan kartu kredit. Para pelaku ini mendapatkan suplai informasi dari tim
yang ada di negara asalnya. Dengan data yang ada, mereka melakukan penipuan dengan
menyamar sebagai pihak bank. Akhirnya banyak yang tertipu dan memberikan tiga nomor
CVV (card verification value) yang ada pada kartu kredit. Ada lagi di Bali sekelompok
warga negara Eropa Timur melakukan pencurian rekening dan kartu kredit nasabah asal
Eropa dan Amerika.
Lalu pertanyaannya, mengapa untuk menipu sesama warga negara sendiri harus jauh-jauh
dilakukan di Indonesia? Untuk kasus warga asing asal Eropa Timur yang melakukan
pembobolan mesin ATM di Bali tahun lalu, bisa dipastikan mereka memanfaatkan kelemahan
ATM yang ada di Tanah Air. Lebih dari 80% mesin ATM di Tanah Air ini masih
menggunakan sistem operasi Windows XP yang Microsoft sendiri sebagai pembuatnya sudah
menghentikan dukungan terhadap produk tersebut, termasuk dari segi keamanan. Kondisi itu
jelas menjadi kesempatan yang bisa dimanfaatkan.
Bahkan para pelaku rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk pergi ke Indonesia,
belum lagi membeli alat scammer (peranti keras yang ditanam di mulut ATM untuk
menyedot data elektronik nasabah) dan semacamnya. Mereka menilai melakukan pencurian
data kartu nasabah lewat ATM di Indonesia jauh lebih mudah daripada harus melakukannya
di negara mereka sendiri.
Berbeda lagi dengan warga negara Cina dan Taiwan yang ditangkap pihak kepolisian. Rata-
rata mereka dituduh melakukan tindak kejahatan penipuan online dengan modus memeras
maupun menguras kartu kredit korban. Kejahatan itu dilakukan oleh kelompok terorganisasi.
Ada yang bertugas mengumpulkan data calon korban di negara asal. Ada juga yang
mengoordinasi para operator lapangan yang ditempatkan di Indonesia. Lalu kenapa tidak
mereka lakukan kejahatan ini di Cina atau pun Taiwan? Jawabannya sama, karena
27
melakukannya di Indonesia jauh lebih mudah. Banyak faktor, dari mudahnya mendapatkan
layanan komunikasi di Indonesia sampai pada banyaknya jumlah provider internet yang
mencapai lebih dari 400 perusahaan.Ini membuat pengawasan dan peringatan dini menjadi
sulit dilakukan.
Coba bandingkan dengan Cina yang hanya ada dua provider internet, pengawasan yang
dilakukan jadi lebih mudah. Para pelaku ini menyadari, di Indonesia mereka bisa
mendapatkan layanan telepon dan internet dengan sangat mudah tanpa harus registrasi,
kalaupun perlu registrasi, dengan identitas fiktif pun bisa.
Setidaknya ada tiga hal yang perlu dicatat, yaitu masalah imigrasi, lembaga badan cyber, dan
revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Untuk masalah imigrasi, memang
menjadi sangat sulit. Karena para pelaku ini semuanya menggunakan visa wisata ke
Indonesia. Nyatanya mereka malah melakukan tindak kejahatan online.
Tercatat tahun 2015 ada lebih dari 600 kasus kejahatan yang dilakukan warga negara asing di
Indonesia. Sampai pertengahan 2016, Direktorat Jenderal Imigrasi mencatat sudah 100 lebih
kasus yang masuk. Sebagian besar dengan modus serupa, visa wisata dimanfaatkan untuk
kegiatan kejahatan cyber yang menyasar korban negara asalnya.
Lalu mengenai Badan Cyber Nasional (BCN). Keberadaannya sangat dibutuhkan. Dalam
kasus ini bila BCN nanti sudah ada, mereka bisa membantu pihak kepolisian lewat divisi
cyber crime dan Imigrasi. Supervisi dan koordinasi dari BCN ini sebenarnya sangat penting
dan diperlukan semua instansi nantinya. Karena saat ini dan ke depan masyarakat, dunia
usaha, dan pemerintah semakin besar ketergantungannya pada dunia digital. Mau tidak mau
kemampuan dan kewaspadaan pemerintah di wilayah cyber harus ditingkatkan.
Awareness setiap aparat, pelaku usaha, dan masyarakat harus ada. BCN mendorong setiap
kebijakan instansi, termasuk Imigrasi dan Kominfo, untuk memperhatikan aspek keamanan
cyber. Misalnya tentang penjualan kartu perdana yang sampai saat ini masih bebas dan
menjadi pintu masuk penipuan lewat SMS maupun internet.
Yang tidak kalah penting adalah UU ITE. Selama ini UU ITE cenderung terkenal dan dikenal
masyarakat karena berhasil menjebloskan para netizen dan pemakai media sosial. Hal
tersebut karena UU yang disahkan tahun 2008 tersebut memang jangkauannya masih
”sempit”. Padahal dengan era digital seperti sekarang, coverage cyber crime bertambah luas,
satu di antaranya beririsan dengan pihak Imigrasi. Salah satu alasan para pelaku ini
mengincar nasabah perbankan dan kartu kredit adalah karena kelemahan sistem perbankan,
tidak hanya di Indonesia. Misalnya bagaimana data nasabah bisa berpindah tangan dengan
berbagai modus.
Bagaimana dengan di Indonesia? Tindak penipuan online seperti yang dilakukan WNA juga
banyak dilakukan orang Indonesia yang menyasar sesama WNI. Lemahnya pengamanan
sistem dan data para nasabah membuat pelaku kejahatan bisa mengeksploitasi
28
korban. Pembobolan lewat ATM, carding dan social engineering menjadikan korban
semakin banyak dari waktu ke waktu.
Menurut data dari Microsoft misalnya, selama 2015 kejahatan cyber di Tanah Air
menyebabkan kerugian sebesar Rp33 miliar lebih. Angka ini sebenarnya masih bisa
bertambah karena banyaknya kejadian yang tidak dilaporkan oleh nasabah. Enggannya
nasabah melapor karena mereka sering disalahkan oleh perbankan, dianggap melakukan
kelalaian. UU ITE maupun UU yang mengatur hak konsumen harus menjamin bahwa pihak
perbankan wajib mengamankan sistem yang mereka miliki sehingga pihak nasabah tidak
selalu disalahkan. Bila hal itu terwujud, rasanya pemerintah bisa memperbaiki dan menekan
angka kejahatan cyber.
Perlu dicatat, ada 169 negara yang bebas visa ke Indonesia. Artinya kemungkinan mereka
melakukan kejahatan maupun menjadikan Indonesia sebagai markas kejahatan cyber semakin
besar. Belum lagi bila WNA ini malah melakukan pengaderan kepada WNI di Tanah Air.
Jadi pemerintah harus siap dan gesit menghadapi kemungkinan terburuk.
PRATAMA PERSADHA
Pegiat Keamanan Cyber dan Kriptografi; Chairman Communication and Information System
Security Research Center
29
Politik Hukum Dwi Warga Negara
27-08-2016
Adalah salah pendapat mereka yang mengatakan bahwa lembaga legislatif yang membentuk
UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah gagal membentuk UU yang baik dan
pro terhadap kemajuan. Adalah salah mereka yang mengatakan bahwa pembentuk UU No. 12
Tahun 2006 telah gagal membaca dan memahami tren perkembangan dunia.
Ini harus dijernihkan karena ketika mencuat kasus dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang
harus lengser dari jabatan menteri yang baru didudukinya selama 20 hari, tiba-tiba banyak
yang mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan itulah biang keroknya. Kata mereka
pembentuk UU tidak paham pada tren dunia yang akan terus mengglobal.
Mereka menuding pula bahwa pembentuk UU No. 12 Tahun 2006 berwawasan picik karena
menetapkan politik hukum kewarganegaraan tunggal. Kata mereka pula, bangsa-bangsa di
dunia sekarang ini sudah mengglobal, banyak yang bukan hanya memberlakukan sistem
dwikewarganegaraan, tetapi lebih dari itu ada yang memberlakukan multikewarganegaraan.
Kasus Arcandra dijadikan contoh betapa UU Kewarganegaraan kita telah menutup pintu bagi
putra terbaik yang superpandai untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Arcandra
yang, katanya, sangat jenius dan diperebutkan negara asing untuk mengamalkan ilmunya bagi
kemajuan justru dihambat oleh politik hukum kewarganegaraan kita untuk mengabdi di tanah
air sendiri.
Pendapat mereka yang menilai pembentuk UU itu gagal memahami tren perkembangan dunia
adalah salah. Sebab sebenarnya pembentuk UU Kewarganegaraan pada saat itu sudah
mendiskusikan dengan sangat komprehensif tetek bengek tren perkembangan dunia itu. Saat
itu saya adalah salah seorang anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan yang diketuai
Slamet Effendi Yusuf. Yang masih saya ingat, selain saya ada anggota lain yang juga sangat
aktif, yakni Murdaya Poo dan Lukman Hakim Saifuddin yang kini menteri agama. Adapun
pihak pemerintah dipimpin langsung Menkumham saat itu, Hamid Awaluddin.
Sebelum pada akhirnya menetapkan sistem kewarganegaraan tunggal, Pansus sudah
mendiskusikan kemungkinan pemberlakuan dwikewarganegaraan maupun
multikewarganegaraan. Namun, akhirnya, demi kedaulatan Indonesia yang seluruh sumber
daya alamnya harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, ditetapkanlah
berlakunya sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi pemberlakuan sistem
dwikewarganegaraan secara terbatas.
Apa batasannya? Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tua WNI
30
dengan warga negara asing serta bagi pasangan WNI yang melahirkan anak di negara-negara
yang menganut sistem ius soli, bagi si anak diberi toleransi untuk memiliki dua
kewarganegaraan sampai usia 18 tahun.
Perdebatan sempat menukik ke soal alternatif antara prinsip kemanusiaan dan prinsip
kebangsaan serta kerakyatan kita. Berdasar prinsip kemanusiaan, kita harus memperlakukan
semua manusia di bumi untuk memperoleh kewarganegaraan, termasuk di Indonesia. Tapi
berdasar paham kebangsaan dan kerakyatan yang juga sangat fundamental di dalam
konstitusi kita, kita harus mengatur secara eksklusif dengan memprioritaskan semua
kebijakan, baik kewarganegaraan maupun kepemimpinnegaraan, untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri.
Politik hukum yang demikian dinilai lebih sesuai dengan tujuan kita mendirikan Indonesia
merdeka dengan semangat nasionalismenya yang niscaya eksklusif. Jadi dalam hubungan
antara asas kemanusiaan dan kebangsaan, kita memihak pada kepentingan bangsa kita sendiri
tanpa harus terjebak ke chauvinism.
Harus diketahui, UU Kewarganegaraan kita dilahirkan sebagai konsekuensi dari ketentuan
UUD 1945 hasil amendemen yang sangat pro pada hak asasi manusia. Di dalam Pasal 28D
ayat (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU
Kewarganegaraan kita mengatur, demi kemanusiaan dan hak asasi manusia, kita harus
memberi jaminan agar setiap anak yang lahir mempunyai kewarganegaraan.
Pada saat yang sama diatur juga toleransi untuk menyetujui dwikewarganegaraan bagi anak
yang karena hukum lahir dengan dwikewarganegaraan untuk pada saatnya nanti harus
memilih salah satunya. Anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang
berkewarganegaraan asing dengan sistem ius soli (kewarganegaraan diperoleh karena tempat
kelahiran seperti Amerika Serikat) akan menjadi tidak berkewarganegaraan karena Indonesia
menganut ius sanguinis (kewarganegaraan diperoleh sesuai dengan kewarganegaraan orang
tuanya). Maka itu UU Kewarganegaraan Indonesia mengatur memberi kewarganegaraan
otomatis bagi mereka.
Sebaliknya, warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di negara asing yang
menganut sistem ius soli, maka anaknya menjadi memiliki dua kewarganegaraan. Maka itu
UU Kewarganegaraan kita mengizinkan anak tersebut mempunyai dwikewarganegaraan
sampai usia 18 tahun.
Orang-orang asing pun diperbolehkan menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi.
Begitu pun WNI yang kehilangan kewarganegaraan diperbolehkan mendapat status
kewarganegaraannya lagi, tetapi juga harus melalui naturalisasi. Bahkan Presiden bisa
menganugerahkan status kewarganegaraan bagi mereka yang (sudah) bukan WNI jika berjasa
atau sangat diperlukan tenaganya di Indonesia.
Tapi baik naturalisasi maupun karena pewarganegaraan sebagai anugerah dari Presiden tetap
31
tidak boleh menyebabkan seorang WNI mempunyai dwikewarganegaraan. Semangat politik
hukum kewarganegaraan kita adalah menjamin kepemilikan status warga negara bagi setiap
orang, tetapi secara eksklusif tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kita
sendiri. Maka itu kita menganut sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi
dwikewarganegaraan secara terbatas. Itulah terjemahan nasionalisme kita ke dalam politik
hukum kewarganegaraan kita kala itu.
Kalaulah nasionalisme yang seperti ini sekarang dianggap sudah tidak relevan dan perlu
diperbaiki lagi, tentu saja hal itu bisa dilakukan, sebab hukum adalah kesepakatan alias
resultante dari setiap perkembangan situasi dan kondisi. Tapi jangan menuding bahwa
pembentuk UU yang dulu telah gagal memahami situasi tentang tren globalisasi. Pembentuk
UU yang dulu telah mendiskusikan dan paham tentang itu tetapi itulah resultante yang
dicapai pada saat itu dalam menerjemahkan nasionalisme kita. Kalau mau dibuat resultante
baru, ya, boleh saja.
MOH MAHFUD MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-
HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
32
Diskon Hukuman bagi Koruptor
27-08-2016
Polemik Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan terus bergulir.
Kementerian Hukum dan HAM bersikeras melonggarkan syarat pemberian remisi bagi
narapidana kasus korupsi. Upaya pelonggaran pemberian remisi dilakukan mengingat ada
persoalan over crowded (kelebihan kapasitas) di lembaga pemasyarakatan (lapas). Jika
mengacu pada data yang tersaji dalam Sistem Database Pemasyarakatan, dapat dilihat bahwa
per Juli 2016 total tahanan dan narapidana di lapas berjumlah 198.815 orang. Jumlah ini
melebihi kapasitas normalnya yang hanya mampu menampung 118.969 orang. Dengan
jumlah itu, persentase over crowded lapas telah mencapai angka 167%.
Pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi merupakan isu yang paling
krusial dalam pembahasan RPP. RPP mencoba mengubah arah kebijakan pemerintah yang
semula memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa menjadi
kebijakan yang memperlonggar pemberian remisi.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012, pemberian remisi bagi narapidana
korupsi, narkoba, terorisme, dan kejahatan terhadap keamanan negara tidak dihilangkan,
melainkan diperketat. Ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi narapidana guna
mendapatkan diskon hukuman. Syarat tersebut di antaranya, yang bersangkutan haruslah
merupakan justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama, membayar denda dan uang
pengganti sesuai dengan putusan pengadilan, serta telah mengikuti program deradikalisasi
bagi narapidana kasus terorisme.
Penting untuk diingat bahwa syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 99/2012
merupakan bagian kebijakan pemerintah yang berupaya memperberat hukuman bagi pelaku
kejahatan luar biasa khususnya kasus korupsi. Hal ini senada dengan harapan publik yang
menginginkan ada hukuman yang berat bagi pelaku korupsi. Namun, seiring
perkembangannya, revisi PP Nomor 99/2012 mencoba mengubah arah kebijakan pemerintah
yang dahulu memperberat hukuman menjadi memberikan keringanan bagi narapidana kasus
korupsi.
Hilangnya Justice Collaborator
Keringanan bagi narapidana korupsi terlihat dari upaya menghilangkan status justice
collaborator (JC) sebagai syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 99/2012.
33
Dengan begitu, narapidana kasus korupsi dapat dengan mudah mendapatkan remisi dengan
syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa hukuman.
Penghilangan syarat JC sebagai bagian dari kebijakan pengurangan kapasitas lapas
merupakan usulan yang tak memiliki basis argumentasi yang jelas. Keterkaitan antara remisi
dan over crowded pada prinsipnya tidak linear. Namun, pemerintah cenderung mengaitkan
penghapusan kebijakan pengetatan remisi dengan problem kepadatan lapas. Secara
sederhana, pemberian remisi yang dipermudah akan memberikan dampak positif dengan
berkurangnya jumlah narapidana di lapas.
Pada prinsipnya penanganan kasus korupsi haruslah dilakukan secara paripurna. Semua aktor
yang terlibat haruslah diproses secara hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Namun, pada praktiknya, upaya membongkar kasus korupsi yang bersifat kompleks dan
rumit dalam pembuktian seringkali terganjal banyak hambatan. Karena itu, keberadaan JC
menjadi penting sebagai salah satu pintu masuk membongkar kasus korupsi dan menjerat
seluruh aktor yang terlibat.
Selain itu, dalam konteks pemidanaan, kejahatan korupsi yang merupakan kejahatan luar
biasa juga harus dihukum dengan hukuman yang berat. Remisi yang notabene adalah upaya
mengurangi hukuman narapidana jelas tidak sejalan dengan semangat pemberatan pidana
bagi pelaku korupsi. Karena itu, pengetatan remisi bagi narapidana korupsi menjadi sesuatu
yang logis dilakukan. Pengetatan tersebut dikecualikan bagi narapidana yang mau bekerja
sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi lebih luas.
Salah Sasaran
Konstruksi kebijakan pelonggaran remisi bagi narapidana kasus korupsi yang coba dibangun
dalam RPP bisa dinilai sebagai kebijakan salah sasaran. Hal ini dapat dinilai dari dua alasan
utama. Pertama, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam hasil pemantauan vonis
pengadilan tipikor 2016 menunjukkan ada tren penjatuhan hukuman ringan bagi narapidana
korupsi. Setidaknya terdapat 1.708 terdakwa yang diadili oleh pengadilan tipikor sejak
Januari 2013 hingga Juli 2016. Dari total itu, ada 1.281 terdakwa yang dihukum ringan (1
tahun-4 tahun) dan 632 di antaranya hanya dihukum 12 bulan hingga 18 bulan penjara.
Secara sederhana hukuman rendah bagi narapidana kasus korupsi tidak signifikan
menciptakan gap yang tinggi antara masuknya narapidana korupsi dan jumlah narapidana
korupsi yang keluar lapas setelah menyelesaikan masa hukuman. Artinya, jumlah narapidana
yang masuk dan keluar masih dianggap berimbang sehingga tidak secara signifikan
menyumbang angka over crowded lapas.
Kedua, jumlah narapidana korupsi hanya berkisar 2-3% dari total narapidana di seluruh
Indonesia. Menurut data pemasyarakatan hingga Juli 2016, total narapidana kasus korupsi
hanya berjumlah 3.632 narapidana. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan total
jumlah narapidana kasus narkoba yang mencapai angka 62.807 orang. Jumlah ini menjadi
34
yang paling besar dibandingkan narapidana kejahatan lain. Karena itu, memberikan
pelonggaran remisi pada kenyataannya tidak akan secara signifikan mengurangi persoalan
kepadatan lapas.
Pengetatan pemberian remisi dalam hal ini tidak menghapuskan hak mendapatkan
pengurangan hukuman bagi narapidana korupsi. Pengetatan merupakan konsekuensi logis ada
perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya
kejahatan yang dilakukan, dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan
oleh masing-masing narapidana. Karena itu, rumusan pasal dalam revisi PP Nomor 99/2012
haruslah mengecualikan pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi.
Selain jumlahnya yang tak signifikan dalam mengurangi persoalan over crowded lapas,
keberadaan status JC masih diperlukan untuk membongkar kasus korupsi. Tanpa status JC
sebagai syarat pemberian remisi, dikhawatirkan tak ada lagi pelaku yang mau bekerja sama
dalam membongkar kasus korupsi dan menjerat aktor-aktor lain.
ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
35
Momentum Penataan Sistem
Ketatanegaraan
29-08-2016
Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan aturan dasar dan pedoman bagi kehidupan
berbangsa dan bernegara yang memuat antara lain filosofi pembentukan negara, prinsip-
prinsip apa yang dikembangkan oleh suatu negara, sistem ketatanegaraan, struktur negara,
bentuk negara, bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga negara, serta hak-hak rakyat.
UUD bersifat futuristik dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan
bernegara yang dicita-citakan di masa depan. Oleh karena itu, ia harus mengikuti gerak
dinamis kehidupan berbangsa sejalan dengan pencapaian visi (cita-cita) negara tersebut. Ke
dalam, ia melakukan internalisasi nilai dan karakter kebangsaan yang khas dimiliki oleh
setiap bangsa. Ke luar, ia beradaptasi dengan perubahan dan tuntutan lingkungan strategis
global. Dengan demikian, konstitusi akan semakin kompatibel dan relevan dengan kebutuhan
bangsa dan negara.
Urgensi Amandemen Konstitusi
Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji apakah dapat berjalan efektif atau
tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam
perkembangan/pelaksanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana yang
diharapkan, lahirlah tuntutan perubahan (amendemen). Hal ini menegaskan bahwa UUD
tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diharapkan dapat merespons kebutuhan kekinian dan
kedisinian (now and present) sehingga UUD bersifat dinamis dan tidak tabu untuk
mengalami perubahan. Tentu saja perubahan yang dimaksud haruslah sesuatu yang bersifat
fundamental bagi bangsa dan negara, yang kemudian diharapkan menjadi milestone bagi arah
kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya.
Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak dapat dilepaskan dari kematangan dan kemapanan
suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara
bangsa. Semakin lama suatu negara bangsa berdiri akan semakin mapan, sehingga semakin
berkurang tuntutan perubahan terhadap UUD. Bisa kita tengok sejarah Amerika Serikat yang
berdiri sejak tahun 1776. Konstitusi AS --yang merupakan konstitusi tertulis tertua dalam
sejarah-- yang ditetapkan tahun 1787 telah 27 (dua puluh tujuh) kali mengalami perubahan
(terakhir amendemen ke-27 pada 1992). Namun semakin ke sini, perubahan konstitusi AS
semakin berkurang, seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan yang
mereka bangun.
36
Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 telah
mengalami perubahan sebanyak empat tahap dalam kurun 1999 hingga 2002, sejalan dengan
desakan reformasi yang begitu kuat saat itu. Perubahan tersebut pada dasarnya dapat
dipahami dari perspektif/pendekatan kesejarahan di mana para pendiri bangsa menyusun
UUD 1945 dalam kondisi yang tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia merdeka.
Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh
para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD
1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara dan kilat.
Kata Bung Karno, “Tuan-Tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar undang-undang
dasar sementara, undang-undang dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah
revolutie grondwet. Nanti kita membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan
sempurna.” (M. Yamin, 1959; Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, 1989).
Meski kemudian, karena dinamika perjuangan dan politik pasca-kemerdekaan, upaya
penyempurnaan UUD tersebut tidak sempat terlaksana. Hingga saat reformasi bergulir kuat
pada tahun 1997/98 dirasakan kebutuhan untuk melakukan perubahan UUD 1945, yang
hasilnya berlaku hingga saat ini.
Dewasa ini, setelah 15 tahun pelaksanaan UUD 1945, hasil perubahan tersebut ternyata masih
dirasakan ada ketimpangan antara normatif UUD dengan praktek sistem ketatanegaraan,
maka lahirlah kembali tuntutan perubahan UUD 1945. Hal itu tampak kuat, antara lain, dalam
Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014, di mana MPR merekomendasikan penataan sistem
ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945. Dalam perubahan itu, di antara
fokusnya adalah penguatan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan
tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; merumuskan kembali
perencanaan pembangunan model GBHN; penataan kembali wewenang Mahkamah
Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD, serta penguatan kewenangan DPD
sebagai lembaga perwakilan (legislatif).
Arus tuntutan dan kebutuhan perubahan ini bisa dipahami (kembali) berdasarkan pendekatan
kesejarahan, bahwa memang perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002 dilakukan secara
reaktif dan terburu-buru akibat tekanan politik reformasi yang begitu kuat. Selain itu,
perubahan UUD 1945 lebih mengakomodasi pelbagai kepentingan politik daripada
kepentingan pembangunan sistem ketatanegaraan yang semakin mapan, sehingga secara
substansi memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan
konstitusional yang memadai.
Momentum Konsensus
Dalam pandangan penulis, saat ini adalah momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk
menata kembali sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD, berdasarkan dua alasan.
Pertama, Indonesia memasuki fase pelembagaan demokrasi yang semakin matang. Oleh
37
karena itu, pranata untuk mempercepat konsolidasi harus disiapkan secara baik melalui
koreksi fondasional dalam sistem bernegara.
Kedua, kebutuhan untuk mengefektifkan peran dan fungsi lembaga-lembaga negara dalam
mempercepat proses pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Alasan yang kedua ini
sesungguhnya merupakan kesinambungan proses dan arah dari alasan yang pertama.
Demokrasi yang matang akan memberikan dampak multiplier pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Saat ini dikatakan sebagai momentum yang tepat, karena penulis melihat potensi untuk
terciptanya konsensus di antara elemen bangsa sangat besar. Lepas dari polarisasi hasil
Pilpres 2014, elite pemimpin bangsa baik struktural maupun kultural cepat melakukan
konsolidasi untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Hal ini tentu tidak lepas
dari semangat dan jiwa kenegarawanan elite-elite politik yang kita harapkan tetap terjaga.
Peluang konsensus ini penting dijaga, karena hanya dengan cara tersebut (konsensus) kita
dapat menghasilkan kesepakatan dan kesepahaman atas perubahan mendasar terhadap pilar-
pilar kehidupan berbangsa yang objektif vis-a-vis kepentingan politik jangka pendek (sesaat).
Merespons urgensi tersebut, inisiasi untuk menyelenggarakan suatu “Konsensus Nasional”
harus segera diambil oleh pemimpin negeri ini, yakni oleh Presiden sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan, bersama para pimpinan lembaga-lembaga negara. Konsensus
nasional dalam pandangan penulis berupa forum bersama tokoh-tokoh formal dan informal
guna mengkaji, mendalami, dan mendiseminasikan kebutuhan penataan sistem
ketatanegaraan melalui perubahan UUD, sebelum akhirnya nanti diformalisasikan melalui
lembaga-lembaga suprastruktural negara.
Pelibatan tokoh-tokoh informal—tidak hanya tokoh-tokoh formal—ini penting karena
senapas dengan jiwa dan semangat sila keempat Pancasila: “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh
Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Kita ingin mencari “hikmat”
dan “kebijaksanaan” dalam memutuskan hal penting dan mendasar bagi bangsa ke depan.
Oleh karena itu, pelibatan dan partisipasi seluruh elemen bangsa menjadi conditio sine qua
non.
Apalagi, dalam praktik politik kebangsaan, kita menemukan tidak sedikit tokoh bangsa dan
tokoh organisasi kemasyarakatan, baik di pusat maupun daerah, yang memiliki pemikiran
negarawan, sekaligus tokoh yang memiliki basis “dukungan politik” yang tidak kalah dengan
kekuatan partai-partai tertentu. Tapi lantaran tidak terakomodasi dalam mekanisme pemilihan
langsung menjadi anggota DPR dan DPD, akhirnya tidak dapat terlibat dalam proses
pembentukan keputusan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita harus menyadari bahwa kemajemukan bangsa kita tidak mungkin bisa direpresentasikan
secara optimal hanya oleh wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu. Untuk itu,
konsensus nasional yang melibatkan seluruh komponen (tokoh-tokoh) bangsa baik formal
maupun informal menjadi sangat penting dan strategis. Bahkan ke depan, penulis
38
mengusulkan—sebagai bagian dari materi perubahan UUD—agar MPR dikembalikan
kedudukannya sebagai lembaga perwakilan seluruh elemen bangsa.
Dalam struktur MPR dapat diangkat unsur-unsur masyarakat yang tidak terakomodasi
melalui mekanisme pemilu legislatif, yang dapat distrukturkan sebagai (fraksi) Utusan
Golongan seperti pada era MPR sebelum amendemen dan/atau dicakup sebagai tambahan
anggota DPD dari masing-masing provinsi.
Dengan konstruksi tersebut, MPR diharapkan mampu menghadirkan konsensus nasional
melalui permusyawaratan yang dilandasi/dijiwai “hikmat kebijaksanaan” yang
mengakomodasi komponen-komponen bangsa baik dari unsur politik maupun sosial (non-
politik). Dengan format demikian, haluan dan arah kebijakan yang dibuat MPR akan selalu
mengendalikan proses pembuatan peraturan perundang-undangan oleh lembaga perwakilan
(legislatif) sehingga lebih menjamin keberlakuannya secara sosiologis.
Sejalan dengan “teori konsensus” dalam hukum, undang-undang harus mengafirmasi bagian-
bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga-
lembaga (institusi) sebagai kesatuan yang erat secara keseluruhan. Terkait hal ini, Emile
Durkheim (1893) menegaskan bahwa isi dan sifat umum undang-undang tumbuh dari
semacam solidaritas yang mencirikan masyarakat tersebut. Akomodasi terhadap komponen-
komponen bangsa juga dapat meminimalisir terbentuknya hukum (UU) yang hanya pro-
kekuasaan. Sebagaimana diingatkan “teori konflik”, di mana kelompok dalam masyarakat
saling berjuang untuk meraih kepentingannya dan undang-undang akan cenderung berpihak
pada kekuatan yang “menguasai” negara untuk memuluskan kepentingan kelompoknya.
Mudah-mudahan gagasan ini bisa ditangkap dengan baik esensinya sehingga bangsa ini
semakin kuat dalam menghadirkan konsensus kebangsaan untuk kepentingan dan masa depan
bangsa yang lebih baik. Wallahualam.
PROF DR FAROUK MUHAMMAD
Wakil Ketua DPD RI
39
Amandemen UUD 45 dan Referendum
29-08-2016
Popularitas referendum yang sedang meningkat, merupakan hal yang wajar untuk
dilaksanakan.
Masih lekang dalam ingatan kita bagaimana fenomena “Brexit” terjadi beberapa waktu
lalu. Hasil referendum di Inggris yang dilaksanakan pada 23 Juni 2016 menyatakan 52%
masyarakat Inggris setuju untuk keluar dari Uni Eropa. Hanya 48% yang setuju agar Inggris
Raya tetap dalam Uni Eropa.
Thailand juga baru saja selesai mengadakan referendum untuk menentukan apakah rakyat
setuju dengan konstitusi baru. Hasilnya, 61,5% penduduk setuju dengan konstitusi baru yang
disusun oleh junta militer. Pihak yang gagal dalam referendum Thailand itu menyatakan
kemenangan militer dan kegagalan demokrasi di Thailand.
Indonesia belum pernah melaksanakan referendum secara nasional. Referendum pernah
dilaksanakan secara parsial, yaitu di Papua pada 1969 dan Timor Timur pada 1999 di masa
pemerintahan BJ Habibie.
Pasal 1 Tap MPR IV/MPR/1983 secara tegas menyatakan bahwa MPR tidak diperkenankan
untuk melakukan perubahan terhadap UUD. Apabila MPR hendak melakukan mengubah
UUD 1945, berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, MPR terlebih dahulu harus meminta pendapat
rakyat melalui referendum. Oleh karena itulah dibentuk UU Nomor 5/1985, pun referendum
secara nasional tidak pernah terjadi. Namun, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 telah
dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 yang menegaskan kembali bahwa
perubahan UUD 1945 sepenuhnya menjadi wewenang MPR. Dengan demikian, perubahan
UUD 1945 yang dilakukan secara bertahap pada 1999-2002 sepenuhnya dilakukan oleh
MPR.
Perubahan makna konstitusi tidaklah harus diikuti amendemen UUD. Itu dapat dilakukan
melalui penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi atau melalui
konvensi ketatanegaraan. Apabila perubahan makna konstitusi ingin dilakukan dengan
perubahan pasal (constitutional amendment), kita dapat menemukan berbagai cara untuk
melakukan amendemen yang dilakukan di negara-negara lain. Salah satunya adalah
menentukan signifikansi pasal yang ingin diubah. Apabila perubahan yang dilakukan tidak
signifikan, perubahan dapat dilakukan dengan cara yang mudah. Namun jika signifikan
dibutuhkan mekanisme yang lebih ketat untuk dapat meloloskan perubahan tersebut.
40
UUD 1945 tidak mengatur perbedaan mekanisme berdasarkan signifikansi apabila perubahan
UUD ingin dilaksanakan. Apabila MPR ingin melakukan perubahan terhadap pasal-pasal
yang ada, UUD 1945 telah mengatur mekanisme proseduralnya (Pasal 37). Semua hal dapat
diubah, baik menambah maupun mengurangi Pasal dalam UUD 1945—baik mengurangi hak
atau pun menambah kewajiban warga negara dan penguatan Dewan Perwakilan Daerah.
Hanya satu hal yang tidak boleh dilakukan perubahan oleh MPR (eternity clause), yaitu
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37 ayat 5).
Usaha untuk melakukan perubahan UUD 1945 sudah dimulai. MPR telah menyelesaikan
kajian Tim Amendemen UUD 1945 yang diserahkan oleh Ketua Lembaga Pengkajian MPR
(26 Juli 2016). Ketua MPR menegaskan, pembahasan amendemen UUD 1945 memiliki satu
fokus pembahasan, yakni haluan negara. Sidang Paripurna MPR dengan agenda amendemen
kelima konstitusi rencananya digelar pada 2017.
Berbagai opini telah disampaikan bahwa perubahan yang diusulkan oleh MPR tidak sekadar
menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tetapi juga
menghidupkan konsekuensi-konsekuensinya. Misalnya mengembalikan posisi MPR sebagai
lembaga tertinggi negara, melemahkan posisi Mahkamah Konstitusi, dan menghilangkan
independensi presiden dan wakil presiden--karena presiden dan wakil presiden harus
melaksanakan haluan negara sesuai arahan MPR.
Perubahan yang ingin dilaksanakan oleh MPR merupakan sesuatu yang sangat
signifikan. Perbedaan mekanisme terhadap perubahan pasal-pasal yang penting dan
signifikan harus dicermati secara berbeda; salah satunya adalah usulan MPR tersebut. UUD
1945 tidak memiliki apa yang disebut dengan constitutional escalator. Constitutional
escalator adalah konsep yang mengusung bahwa semakin penting atau signifikan suatu
konsep dalam konstitusi, maka semakin rumit proses amendemen yang dibutuhkan.
Constitutional escalator tidaklah sekadar menjadi pelindung untuk menjamin prinsip-prinsip
konstitusi yang ada, tetapi juga melindungi perspektif pemilih (constituent power). Selain itu,
constitutional escalator juga menjamin legitimasi dari proses amendemen (Yaniv Roznai,
2016). Perbedaan proses amendemen merupakan alat untuk berusaha mereplika momen-
momen konstitusional (constitutional moments) saat pembentukan awalnya. Di sinilah peran
warga negara sebagai pemilik kekuasaan mutlak dalam sebuah negara (constitutent power)
dibutuhkan untuk menjamin narasi dan desain konstitusi.
Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap perubahan konstitusi yang mempengaruhi
kehidupan mereka. Binding power of amendment is not only depends to procedural but also
to constitutional legitimacy. Sering kali kita lebih fokus pada memenuhi syarat formal
amendemen dan melupakan esensi kenapa kita bernegara.
Sebuah tujuan dari mekanisme formal yang ada, baik itu referendum maupun melalui MPR,
bertujuan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang “awakening“/sadar/awas terhadap
peran mereka sebagai “constitution author”. Mereka ada untuk menciptakan “constitutional
41
moment”. Rakyat sebagai pemilik “constituent power” layak untuk didengar dan referendum
merupakan cara terbaik untuk mengetahui kehendak rakyat. Perubahan konstitusi melalui
MPR layak dipertanyakan; apakah perubahan yang ingin dilakukan berdasarkan kehendak
rakyat atau “motivasi politik” dari partai politik yang ada di MPR.
***
Meskipun merupakan cara terbaik untuk mengetahui kehendak rakyat, referendum sendiri
tidaklah bebas kritik. Kritik pertama menyatakan bahwa, secara definisi, masyarakat dapat
termanipulasi oleh para elite yang mengurus (mengorganisasi) pelaksanaan
referendum. Sementara itu, kritik kedua, secara desain, referendum memiliki kecenderungan
hanya untuk mengumpulkan pendapat dari opini yang telah terbangun sebelumnya dan bukan
untuk mendorong sebuah musyawarah mufakat yang membawa arti (Stephen Tierney, 2016).
Pelaksanaan referendum harus dilakukan pada saat negara harus memutuskan isu-isu
terpenting. Dengan adanya referendum, kita sebagai warga negara merasa adanya
kepemilikan terhadap konstitusi yang diubah (diamendemen). Referendum juga memberikan
keseimbangan antara prinsip perwakilan dan pengecualian dari demokrasi yang dilakukan
secara pemilihan langsung. Indonesia tidak pernah melakukan referendum secara nasional.
Apabila MPR ingin menjadi lembaga tertinggi kembali, rakyat harus dapat dilibatkan agar
mereka tahu bahwa lembaga yang mereka bentuk itu memiliki legitimasi dan bukan motivasi
politik yang terselubung.
FRITZ SIREGAR
Pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
42
Kurdi & Langkah Turki
31-08-2016
Selepas usaha kudeta yang gagal, Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan melakukan
gerakan zigzag sehingga membingungkan para pemimpin negara, apalagi para pengamat
hubungan internasional.
Timbul kesan bahwa Turki ingin memperkuat posisinya sebagai satu kunci penting dalam
penyelesaian konflik di Suriah. Selama ini Turki dianggap sebagai kepanjangan tangan dari
Eropa dan Amerika Serikat (AS) dalam konflik di Suriah dan dengan sendirinya menjadi
musuh dari Rusia dan Iran. Pasca-kudeta yang gagal, Turki seperti baru bangun dari mimpi
dan menyadari siapa kawan dan siapa lawan, terutama terkait dengan kepentingan dalam
negerinya.
Saya tidak mencoba meramalkan langkah apa yang akan dilakukan oleh Turki karena
keterbatasan data dan informasi. Namun saya merangkum berbagai analisis yang berkembang
di mana kemungkinan perdamaian di Suriah mungkin dapat segera terwujud. Syaratnya
semua pihak yang bertikai memiliki satu pandangan untuk membatasi menguatnya dan
meluasnya kekuasaan Kurdi baik di wilayah Suriah atau pun di wilayah yang disengketakan
di dalam Turki.
Titik balik penyelesaian konflik di Suriah dapat disebut terjadi pasca-kudeta yang gagal.
Sebelum kudeta, pihak-pihak yang membicarakan Suriah berkutat pada tuntutan agar Bashar
al-Assad turun. Tapi pada saat yang sama ada pesan yang bersayap (mixed signals). Misalnya
Perdana Menteri Turki Binali Yildirim pada tanggal 13 Juli mengatakan untuk menjamin
keberhasilan perlawanan terhadap terorisme, perlu ada stabilitas di Suriah dan Irak.
Beliau mengatakan Turki telah menormalisasi hubungan dengan Israel dan Rusia dan yakin
juga untuk menormalisasi hubungan dengan Suriah. Hal ini diperkuat dengan kutipan
pernyataan Duta Besar Turki untuk Rusia yang mengatakan bahwa Turki menginginkan
kepemimpinan yang ada di Suriah saat ini mengambil peran dalam proses
negosiasi. Tambahan lagi, Presiden Erdogan juga pernah menyampaikan maaf kepada Rusia
tentang peristiwa penembakan pesawat pengebom Russian Su-24 di wilayah Suriah yang
terjadi di bulan November 2015. Jadi bila pasca-kudeta ini ada arah keinginan Turki untuk
mengakui kepemimpinan Bashar al-Assad, setidaknya dalam masa-masa transisi Suriah, kita
sebenarnya tidak perlu terlalu kaget.
Kepemimpinan Bashar al-Assad adalah satu pokok negosiasi yang selalu menghambat
dialog. Rusia, Iran, dan sekutunya adalah pihak yang keras menolak dipinggirkannya
kepemimpinan Bashar sekeras posisi Turki, Eropa, AS, dan kaum oposisi yang menginginkan
43
Bashar dicoret dalam proses transisi perdamaian. Selama empat tahun, proses perdamaian
selalu terhenti di pokok masalah tersebut. Kompromi atas posisi Bashar di mana tiap pihak
melunak bisa menjadi satu kemungkinan penyelesaian pasca-kudeta di Turki.
Hal ini dapat terjadi karena tingkat kepercayaan Turki kepada Rusia dan Iran menguat seiring
dengan menurunnya rasa hormat terhadap Eropa dan AS yang baru mengutuk percobaan
kudeta setelah berhasil ditumpas. Kontras dengan Presiden Iran Hassan Rouhani yang
langsung menghubungi Presiden Erdogan untuk memberikan dukungan segera setelah
diketahui ada kudeta (Middle East Institute , 2016). Sementara itu Rusia disebut oleh Iranian
Far News Agency memiliki peran penting dalam menginformasikan kepada intelijen Turki
tentang adanya percobaan kudeta beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi. Informasi itu
yang membuat pihak keamanan Turki dapat bertindak antisipatif dan menyelamatkan
Presiden Erdogan dari pembunuhan (The Moscow Times, 2016).
Sampai saat ini Presiden Erdogan tidak menyebut dengan jelas negara mana dan siapa yang
merencanakan kudeta tersebut. Publik hanya menduga bahwa negara-negara yang terlibat
adalah negara-negara Barat. Pertanyaannya kemudian, apa kepentingan Barat untuk terlibat
dalam percobaan kudeta tersebut? Salah satu dugaan adalah karena Barat melihat Turki
mendekat ke Rusia sehingga pihak Barat memprovokasi faksi dalam tubuh militer Turki
untuk bergerak, dengan janji akan dilindungi.
Sementara analisis lain mengatakan bahwa Turki mendekat ke Rusia karena Barat melakukan
aliansi dengan Angkatan Bersenjata Kurdi dalam memberangus ISIS. Alasan Kurdi dibantu
karena para sekutu Barat di Timur Tengah termasuk Turki dianggap melindungi dan
melakukan pembiaran terhadap ISIS. Tidak jelas siapa yang lebih dahulu memprovokasi,
apakah Turki atau Barat, tetapi yang pasti saat ini etnik Kurdi yang telah puluhan tahun
menuntut kemerdekaan dari Turki semakin luas pengaruhnya.
Etnik Kurdi adalah sebuah bangsa tanpa negara dengan penduduknya sekitar 30 juta-35 juta
orang yang tersebar mulai dari Irak, Iran, Turki, hingga Suriah. Mereka hidup terpencar-
pencar dan menjadi minoritas di negara-negara Timur Tengah. Semenjak lengsernya Saddam
Husein dan transisi politik di Irak, etnis Kurdi memperoleh pengakuan dengan berdirinya
Pemerintahan Otonom Kurdi di Irak Utara. Walaupun masih dalam kekuasaan Pemerintahan
Federal Irak, bangsa Kurdi dapat menikmati kebebasan karena memiliki pemerintahan dan
kekuatan militer sendiri. Kebebasan itu pun tidak lama dirasakan ketika kekuatan Al-Qaeda
dan ISIS mulai berkembang sehingga menarik mereka dalam perang dengan ISIS. Mereka
juga membantu melindungi kota-kota yang dihuni oleh etnik Kurdi dari serangan ISIS.
The Syrian Kurdish Democratic Union Party dan beberapa kelompok Kurdi lain kemudian
mendeklarasikan Federasi Negara Utara di Suriah Utara sebagai masa depan negara bangsa
Kurdi. Mereka berpikir tidak ada negara lain yang dapat melindungi mereka dari penindasan
bangsa lain kecuali mereka sendiri.
Dengan demikian, melalui pertempuran dengan ISIS, bangsa Kurdi semakin terkonsolidasi
44
dan berencana membangun negara mereka sendiri. Deklarasi itu membuat bangsa Kurdi jadi
lebih mengancam dan mengkhawatirkan dibandingkan dengan ISIS. Turki dan negara-negara
Timur Tengah lain mengetahui seberapa besar dan kuatnya ISIS. Dan mereka tahu bahwa
ISIS tidak akan membesar apabila tidak dibantu atau minimal dibiarkan mendapat bantuan
melalui perbatasan Turki.
Dibandingkan dengan ISIS, stamina perlawanan bangsa Kurdi cukup kuat dan telah
berlangsung lama. Di tingkat internasional, bangsa Kurdi juga memperoleh pengakuan
berbanding dengan ISIS yang tidak mendapatkannya. Ini terlihat dari penolakan Eropa dan
AS untuk memasukkan organisasi yang berafiliasi dengan kekuatan bangsa Kurdi sebagai
teroris.
Kepentingan bersama untuk menghadang meluasnya kekuasaan Kurdi saat ini yang
tampaknya menyatukan Turki, Suriah, Iran, dan Irak dengan bantuan dari Rusia. Rumor yang
berkembang saat ini, terjadi perundingan rahasia antara Turki dan Suriah secara intensif
untuk menegosiasikan kesepakatan damai dalam mengatasi krisis di Suriah.
Turki dikabarkan akan setuju menutup ketat perbatasan yang selama ini menjadi jalur
distribusi senjata kelompok-kelompok bersenjata yang menentang pemerintahan Bashar,
termasuk ISIS, apabila Suriah juga membantu Turki menghadang kekuatan bangsa
Kurdi. Demikian pula perjanjian bilateral dilakukan antara Turki dengan Iran dan Irak.
Catatannya adalah bahwa ini baru potret dari suasana terkini di Turki dan sekitarnya. Masih
perlu ditunggu perkembangan selanjutnya.
DINNA WISNU, PhD
Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of
Diplomacy
45
Keterangan Ahli Perkara Pidana
02-09-2016
Keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti perkara pidana adalah apa yang seorang ahli
nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Namun, keterangan ahli dapat diberikan
saat pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dimuat dalam berita acara
pemeriksaan dengan sumpah.
Posisi keterangan ahli itulah yang belakangan ini jadi perhatian publik dalam persidangan
”kasus dugaan kopi beracun”, terutama keterangan ahli hukum pidana di depan sidang
pengadilan. Ada yang tetap menoleransi kehadiran ahli hukum pidana, terlebih pada perkara
korupsi. Ada juga yang menolaknya, terutama karena acap keterangan ahli hukum yang
diminta penuntut umum atau pengacara terdakwa dari kalangan akademisi.
Hal ini menandai kalau ada persoalan penting yang perlu disikapi. Apalagi ada asas hukum
”ius curia novit’’ yang bermakna hakim dianggap mengetahui hukum, sehingga tidak boleh
menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya. Asas tersebut
dikonkretkan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(UU Kekuasaan Kehakiman) bahwa ”pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Dalam praktik, terutama perkara korupsi, beberapa kejaksaan tidak lagi meminta keterangan
dari ahli hukum pidana sebagai alat bukti di sidang pengadilan. Sebut saja Kejaksaan Tinggi
Sulawesi Selatan, pernah menyoal keterangan seorang ahli hukum pidana yang dihadirkan
pengacara dalam perkara korupsi dana bantuan sosial (bansos) saat pemeriksaan pengadilan.
Sikap itu patut dihargai sebagai konfirmasi bahwa keterangan ahli hukum pidana pada
perkara pidana (korupsi) sebagai salah satu alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, tidak
seharusnya dijadikan instrumen alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau
membebaskannya.
Jangan Ahli Hukum
Ada dua makna penerapan asas ius curia novit. Pertama, hakim tidak menolak perkara yang
diajukan kepadanya, tetapi harus menerimanya meskipun tidak jelas atau belum ada aturan
hukumnya. Itulah sebabnya hakim diberi jalan melakukan ”penemuan hukum
(rechtsvinding)” untuk mengisi kekosongan hukum atas perkara yang diperiksa dengan
menggunakan metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Di sini hakim dituntut untuk
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
46
Kedua, lantaran hakim dianggap mengetahui hukum, atau tepatnya sebagai ”ahli hukum”
sehingga tidak perlu menghadirkan ahli hukum pidana memberikan keterangan di depan
sidang pengadilan sebagai alat bukti ”keterangan ahli”. Hakim, penuntut umum, dan
pengacara yang mendampingi terdakwa dianggap sebagai ”ahli hukum”, sama dengan ahli
hukum pidana dari kampus-kampus. Ini yang disebut dalam ilmu hukum sebagai ”teori fiksi”
yang menganggap hakim, penuntut umum, dan pengacara sebagai ahli hukum. Apa yang
disampaikan ahli hukum pidana di depan pengadilan pada hakikatnya juga dianggap sudah
diketahui dan dipahami oleh ketiga penegak hukum itu.
Keterangan seorang ahli pada dasarnya berisi pendapat berdasarkan keahliannya mengenai
sesuatu hal atau keadaan. Seharusnya ahli yang memberikan keterangan di depan sidang
pengadilan perkara pidana, adalah ahli di luar keahlian ilmu hukum pidana. Misalnya untuk
perkara pidana umum, antara lain ahli forensik, ahli psikologi, ahli digital, sesuai kebutuhan
dengan perkara yang diperiksa. Untuk perkara korupsi, antara lain ahli perbankan, ahli
keuangan, ahli bangunan, atau auditor di luar auditor yang membuat audit kerugian keuangan
negara.
Apabila seorang ahli hukum pidana ingin dilibatkan dalam perkara pidana maka tidak boleh
diberikan dalam sidang pengadilan, tetapi pada tiga kesempatan. Pertama, saat dilakukan
”gelar perkara” atau ekspos pada tahap penyelidikan untuk menentukan apakah sudah ada
bukti permulaan yang cukup sesuai fakta kasus dan pasal undang-undang yang akan
diterapkan sudah terpenuhi, sehingga kasus itu bisa ditingkatkan ke penyidikan. Penyidik
dapat menjadikan pendapat ahli hukum sebagai landasan teori yang dituangkan dalam resume
atau kesimpulan penyidikan. Pendapat ahli hukum tidak perlu dibuatkan berita acara secara
khusus, sebagaimana dilakukan pada ahli di luar ahli hukum yang diminta saat penyidikan.
Kedua, penuntut umum dapat mengutip pendapat ahli hukum dalam ”surat dakwaan” dan
dalam ”tuntutan pidana” sebagai landasan teori hukum yang berguna untuk menguatkan
dakwaan dan tuntutan. Ketiga, begitu pula hakim, dapat menjadikan pendapat ahli hukum
sebagai penguatan teori dalam ”pertimbangan hukum” putusan.
Dari mana pendapat ahli hukum bisa diperoleh dan dikutip? Tentu saja pendapat itu diperoleh
dari buku yang dibuatnya, tulisan atau komentar yang dimuat di media cetak. Memang
pendapat ahli hukum yang dikutip itu tidak menjadi alat bukti agar dapat memenuhi alat bukti
minimal penjatuhan putusan hakim, melainkan berfungsi sebagai ”doktrin” yang dalam ilmu
hukum dapat menjadi sumber hukum.
Sumber Hukum
Salah satu sumber hukum materiil disebut ”doktrin”, yaitu pendapat atau ajaran para ahli
hukum yang secara empiris mendapat pengakuan dari masyarakat. Selain digunakan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan dengan meminta pendapat ahli hukum, doktrin
juga dapat digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya sebagai landasan teori untuk
menguatkan amar putusan.
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016
(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016

Contenu connexe

En vedette

With Big Data comes Great Power
With Big Data comes Great PowerWith Big Data comes Great Power
With Big Data comes Great PowerMarco Casalino
 
CóMo Financiar Su Empresa
CóMo Financiar Su EmpresaCóMo Financiar Su Empresa
CóMo Financiar Su EmpresaSantiago Gabriel
 
2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions
2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions
2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business DecisionsPaul Santilli
 
DecáLogo Para Apreciar El Cine
DecáLogo Para Apreciar El CineDecáLogo Para Apreciar El Cine
DecáLogo Para Apreciar El Cinehector.juarez
 
Presentaccion De Internet De Paco Hijo
Presentaccion De Internet De Paco HijoPresentaccion De Internet De Paco Hijo
Presentaccion De Internet De Paco Hijof.pe.lo.capi
 
001 El Autor CinematográFico
001 El Autor CinematográFico001 El Autor CinematográFico
001 El Autor CinematográFicohector.juarez
 
REDES NEURONALES NUEVO
REDES NEURONALES NUEVOREDES NEURONALES NUEVO
REDES NEURONALES NUEVOangelsdq
 
Open Movilforum- Feria Movilforum 2009
Open Movilforum- Feria Movilforum 2009Open Movilforum- Feria Movilforum 2009
Open Movilforum- Feria Movilforum 2009Gloria Alamillo Blanco
 
Improved-Cybersecurity-cooperation
Improved-Cybersecurity-cooperationImproved-Cybersecurity-cooperation
Improved-Cybersecurity-cooperationrrepko
 
Choose best forensic accounting los angeles
Choose best forensic accounting los angelesChoose best forensic accounting los angeles
Choose best forensic accounting los angeleslosangelescpa
 
Redes Neuronales
Redes NeuronalesRedes Neuronales
Redes Neuronalesangelsdq
 
Presentación Final Datos
Presentación Final DatosPresentación Final Datos
Presentación Final Datosguestfbe405
 

En vedette (20)

Autoestima Femenina Mafalda Sandra
Autoestima Femenina Mafalda   SandraAutoestima Femenina Mafalda   Sandra
Autoestima Femenina Mafalda Sandra
 
With Big Data comes Great Power
With Big Data comes Great PowerWith Big Data comes Great Power
With Big Data comes Great Power
 
Mason Tending Curriculum
Mason Tending CurriculumMason Tending Curriculum
Mason Tending Curriculum
 
WELCOME ABOARD magazine
WELCOME ABOARD magazineWELCOME ABOARD magazine
WELCOME ABOARD magazine
 
palevaluationfinalfinal
palevaluationfinalfinalpalevaluationfinalfinal
palevaluationfinalfinal
 
CóMo Financiar Su Empresa
CóMo Financiar Su EmpresaCóMo Financiar Su Empresa
CóMo Financiar Su Empresa
 
Sistemas Operativos
Sistemas OperativosSistemas Operativos
Sistemas Operativos
 
2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions
2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions
2016-09 Customer Insight Visualizations to Drive Business Decisions
 
Workshop MDP Campus Party Mx
Workshop MDP Campus Party MxWorkshop MDP Campus Party Mx
Workshop MDP Campus Party Mx
 
DecáLogo Para Apreciar El Cine
DecáLogo Para Apreciar El CineDecáLogo Para Apreciar El Cine
DecáLogo Para Apreciar El Cine
 
SAS write up
SAS write upSAS write up
SAS write up
 
Presentaccion De Internet De Paco Hijo
Presentaccion De Internet De Paco HijoPresentaccion De Internet De Paco Hijo
Presentaccion De Internet De Paco Hijo
 
001 El Autor CinematográFico
001 El Autor CinematográFico001 El Autor CinematográFico
001 El Autor CinematográFico
 
REDES NEURONALES NUEVO
REDES NEURONALES NUEVOREDES NEURONALES NUEVO
REDES NEURONALES NUEVO
 
Open Movilforum- Feria Movilforum 2009
Open Movilforum- Feria Movilforum 2009Open Movilforum- Feria Movilforum 2009
Open Movilforum- Feria Movilforum 2009
 
Tutorialblogger
TutorialbloggerTutorialblogger
Tutorialblogger
 
Improved-Cybersecurity-cooperation
Improved-Cybersecurity-cooperationImproved-Cybersecurity-cooperation
Improved-Cybersecurity-cooperation
 
Choose best forensic accounting los angeles
Choose best forensic accounting los angelesChoose best forensic accounting los angeles
Choose best forensic accounting los angeles
 
Redes Neuronales
Redes NeuronalesRedes Neuronales
Redes Neuronales
 
Presentación Final Datos
Presentación Final DatosPresentación Final Datos
Presentación Final Datos
 

Similaire à (Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016

(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016ekho109
 
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADAPPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADAafututomo
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...ekho109
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016ekho109
 
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docxMAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx0aihernaningsih0
 
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docxMAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx0aihernaningsih0
 
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan IndonesiaHubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan IndonesiaWildanAhmil1
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiadedyprasetyo01
 
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdfMateri Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdfNovySetiaYunas
 
Partai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politikPartai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politikyantolaris
 
Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015Ikhwan Setiawan
 
Partai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politikPartai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politikyantolaris
 
Partisipasi Masyarakat DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012
Partisipasi Masyarakat  DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012 Partisipasi Masyarakat  DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012
Partisipasi Masyarakat DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012 musniumar
 
Sekilas Tentang PRD
Sekilas Tentang PRDSekilas Tentang PRD
Sekilas Tentang PRDPeople Power
 
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.PdMateri akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pdhaidzarzamany21
 
Pemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasiPemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasiMuktar Eneste
 

Similaire à (Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016 (20)

(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 oktober 2016-3 november 2016
 
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADAPPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
PPT KOMUNIKASI POLITIK DI MANAPUN ANDA BERADA
 
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
(Sindonews.com) Opini hukum-politik KORAN SINDO 30 september 2014-8 november ...
 
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
(sindonews.com) Opini hukum-politik 4 november 2016-13 desember 2016
 
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASIMASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
MASALAH-MASALAH DEMOKRASI & KEBANGSAAN ERA REFORMASI
 
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docxMAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
 
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docxMAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
MAKALAH_TEORI_POLITIK_AI_HERNANINGSIH_3506230077.docx
 
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan IndonesiaHubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
Hubungan dan Birokrasi dalam Pemerintahan Indonesia
 
Perjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesiaPerjalanan demokrasi indonesia
Perjalanan demokrasi indonesia
 
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdfMateri Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
Materi Menjaga Harmoni Sosial menjelang Pemilu 2024- 20 September 2023.pdf
 
Partai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politikPartai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politik
 
Pengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesiaPengaruh golput di indonesia
Pengaruh golput di indonesia
 
Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015Makalah ilmu politik 2015
Makalah ilmu politik 2015
 
Partai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politikPartai politik sebagai kekuatan politik
Partai politik sebagai kekuatan politik
 
Partisipasi Masyarakat DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012
Partisipasi Masyarakat  DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012 Partisipasi Masyarakat  DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012
Partisipasi Masyarakat DKI Dalam Menyukseskan Pemilu Gubernur -16 mei 2012
 
Sekilas Tentang PRD
Sekilas Tentang PRDSekilas Tentang PRD
Sekilas Tentang PRD
 
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.PdMateri akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
Materi akidah akhlak dosen pengampu Bapak Iqbal, M.Pd
 
Outline penelitian
Outline penelitianOutline penelitian
Outline penelitian
 
Natural aceh
Natural acehNatural aceh
Natural aceh
 
Pemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasiPemilih pemula sosialisasi
Pemilih pemula sosialisasi
 

Dernier

pengantar Kapita selekta hukum bisnis
pengantar    Kapita selekta hukum bisnispengantar    Kapita selekta hukum bisnis
pengantar Kapita selekta hukum bisnisilhamsumartoputra
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxmuhammadarsyad77
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptAlMaliki1
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)ErhaSyam
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaYogaJanuarR
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanIqbaalKamalludin1
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaIndra Wardhana
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxendang nainggolan
 
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptxHukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptxAudyNayaAulia
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptJhonatanMuram
 

Dernier (10)

pengantar Kapita selekta hukum bisnis
pengantar    Kapita selekta hukum bisnispengantar    Kapita selekta hukum bisnis
pengantar Kapita selekta hukum bisnis
 
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptxPENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
PENANGANAN PELANGGARAN PEMILU TAHUN 2024.pptx
 
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.pptEtika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
Etika Profesi-CYBER CRIME n CYBER LAW.ppt
 
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
HUKUM PERDATA di Indonesia (dasar-dasar Hukum Perdata)
 
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas TerbukaSesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
Sesi 3 MKDU 4221 PAI 2020 Universitas Terbuka
 
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan PendahuluanSosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
Sosiologi Hukum : Sebuah Pengantar dan Pendahuluan
 
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertamaLuqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
Luqman Keturunan Snouck Hurgronje dari istri pertama
 
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptxBPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
BPN Sesi 3 - Hukum Perkawinan.ppppppppptx
 
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptxHukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
Hukum Adat Islam Institut Agama Islam Negeri Bone.pptx
 
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan pptpembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
pembahasan mengenai otonomi daerah yang diuraikan dengan ppt
 

(Sindonews.com) Opini hukum-politik 20 agustus 2016-3 oktober 2016

  • 1. 1 DAFTAR ISI PROBLEM TEMAN AHOK Airlangga Pribadi Kusman 4 KABURNYA NAPI DARI LAPAS Hery Firmansyah & David Surya 7 MELIBATKAN TNI MELAWAN TERORISME M Nasir Djamil 10 OMRAN DAQNEESH CERMIN KEGAGALAN PBB Dinna Wisnu 14 PKPU DAN PEMILU BERINTEGRITAS Valina Singka Subekti 17 GURITA POLITIK KARTEL Adi Prayitno 20 PELAJARAN DARI POLEMIK DWIKEWARGANEGARAAN Frans H Winarta 23 INDONESIA SURGA KEJAHATAN CYBER Pratama Persadha 26 POLITIK HUKUM DWI WARGA NEGARA Moh Mahfud MD 29 DISKON HUKUMAN BAGI KORUPTOR Aradila Caesar Ifmaini Idris 32 MOMENTUM PENATAAN SISTEM KETATANEGARAAN Farouk Muhammad 35 AMENDEMEN UUD 45 DAN REFERENDUM Fritz Siregar 39 KURDI & LANGKAH TURKI Dinna Wisnu 42 KETERANGAN AHLI PERKARA PIDANA Marwan Mas 45 PRESIDEN TAK BOLEH PANGGIL MK Moh Mahfud MD 48 BG DAN URGENSI PENGUATAN INTELIJEN NEGARA
  • 2. 2 Bambang Soesatyo 51 POLRI BARU: PROFESIONAL, MODERN, DAN TEPERCAYA Boy Rafli Amar 55 MALU EKSPOR ASAP KE NEGARA TETANGGA Tjipta Lesmana 58 IHWAL SISTEM PEMILU Heroik Mutaqin Pratama 61 BATU UJI NAKHODA BARU BIN Ricky K Margono & Hery Firmansyah 65 CUTI PETAHANA: KEPENTINGAN SIAPA? Frans H Winarta 68 MENYEGARKAN BIROKRASI PEMILU Arif Ma’ruf Suha 71 NEGARA INI DIBANGUN DENGAN VOTING Moh Mahfud MD 74 MENAKAR PILKADA JAKARTA Hendri Satrio 77 URGENSI PENEGAKAN HUKUM DI PERAIRAN ASEAN Bambang Soesatyo 80 MENYONGSONG PILGUB DKI Komaruddin Hidayat 83 HUKUM PERSIDANGAN MELAWAN HUKUM ALAM Reza Indragiri Amriel 85 SENGKARUT OBAT ILEGAL Sudjito 88 PERDAMAIAN TUJUAN HUKUM (PIDANA) INDONESIA Romli Atmasasmita 91 RAKYAT TUNGGU PENYELESAIAN KASUS BLBI-CENTURY Bambang Soesatyo 94 UMNO SETELAH 70 TAHUN Sudarnoto Abdul Hakim 97 CALON KEPALA DAERAH TERPIDANA DAN PENCEDERAAN DEMOKRASI Agus Riewanto 100
  • 3. 3 KANDIDASI DI PILKADA DKI Gun Gun Heryanto 104 MENJAGA NALAR PUBLIK JAKARTA Arya Fernandes 107 HIDUP KPK, YA..., MASIH HIDUP Moh Mahfud MD 110 MIGRASI POLITIK MILITER? Muradi 113 MEDIA, FREKUENSI PUBLIK, DAN PILKADA Yuliandre Darwis 116 REFORMASI HUKUM = REVOLUSI MENTAL? Romli Atmasasmita 119 MEMBACAWAJAH & GESTUR TERSANGKA Tb Ronny Rachman Nitibaskara 123 MENGUJI SOLIDITAS KOALISI PENDUKUNG AHOK Adi Prayitno 126 PILKADA, OLIGARKI, DAN KORUPSI Marwan Mas 129 DEBAT PERTAMA CAPRES AS Dinna Wisnu 132 DOSA SISTEMIK PENCALONAN HAKIM AGUNG M Nasir Djamil 135 PARPOL DAN PEMILIH Asep Sumaryana 139 MELAMPAUI SLOGAN ANTI KORUPSI Andi Faisal Bakti 142 MERAYAKAN PILKADA Komaruddin Hidayat 145 DURINYA BUKIT DURI Moh Mahfud MD 147 KEYAKINAN HAKIM DALAM PERKARA PIDANA Frans H Winarta 150 PARTAI BARU DI PEMILU 2019 Ramdansyah 153
  • 4. 4 Problem Teman Ahok 20-08-2016 Setelah berhadapan dengan proses politik yang melibatkan dukungan kuat konstituen, (ditandai oleh pengumpulan 1 juta KTP warga DKI Jakarta) pada akhirnya Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama memutuskan untuk memilih jalur dukungan partai politik (Nasdem, Golkar, dan Hanura), dan tidak menutup kemungkinan untuk menambah partai pendukungnya. Pilihan ini menepis kemungkinan opsi jalur independen untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Jakarta mendatang. Hal ini memunculkan kontroversi publik terkait dengan komitmen awal Ahok kepada konstituennya yang terorganisasi melalui wadah Teman Ahok untuk bertarung dengan kandidat dari partai politik melalui jalur independen. Problem politik dalam interaksi antara Ahok dan infrastruktur politiknya, yakni Teman Ahok sebenarnya bukan pada keputusannya untuk maju melalui partai politik. Persoalannya adalah bahwa sebagai infrastruktur politik berbasis relawan, sejak awal Teman Ahok gagal merumuskan agenda dan opsi-opsi politik alternatif yang dapat menekan Ahok untuk merumuskan kebijakan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta maupun ketika membangun komunikasi dengan kekuatan politik (parpol) dalam proses menuju kandidasi Pilgub Jakarta. Relawan Politik Relawan politik atau dalam konteks Pilgub Jakarta yang memanifes dalam Teman Ahok bukan sesuatu yang unik dan khas Indonesia. Fenomena serupa tengah menjamur di berbagai eksperimentasi negara-negara demokrasi. Seperti tampilnya politisi yang menjadi ketua Labor Party di Inggris, yakni Jeremy Corbyn, yang akan diusung menjadi perdana menteri oleh kalangan relawan muda melalui organisasi Momentum. Demikian pula kemunculan kandidat Presiden Amerika Serikat Bernie Sanders dalam momen menjelang pilpres di AS pada November 2016 yang memberi perlawanan keras terhadap kandidat terpilih Partai Demokrat Hillary Clinton, juga didaulat oleh relawan yang rata-rata berusia muda dan tidak memiliki pengalaman intens dengan proses politik formal. Antusiasme relawan politik yang di berbagai negara tersebut disatukan oleh persepsi warga terhadap kekecewaan politik serupa. Kekecewaan itu adalah proses politik demokrasi yang semakin lama semakin tertutup dan tidak melibatkan partisipasi warga dalam pengambilan kebijakan maupun skeptisisme akut tentang berjalannya proses politik yang bersinergi dengan aspirasi dari warga negara.
  • 5. 5 Kekuasaan yang tidak bertanggung jawab kepada konstituen itulah yang memunculkan bangkitnya fenomena relawan politik di berbagai penjuru dunia. Memudarnya kepercayaan terhadap proses politik tidak selalu berbuah pada tindakan anti-parpol, berbagai kekecewaan di atas di berbagai negara mendorong munculnya kehendak dari warga untuk mereformasi arah, komitmen, dan ideologi dari partai politik. Merujuk pada pengalaman-pengalaman politik relawan di berbagai negara itulah, maka dalam konteks hubungan antara keputusan politik Ahok dan Teman Ahok, pokok persoalannya bukan pada opsi antara jalur independen atau jalur partai politik tapi pada kapasitas infrastruktur politik relawan untuk mendesakkan agenda politik, dan terbangunnya komitmen elite dalam proses berorganisasi untuk mewujudkannya. Kegagalan Politik Pada awalnya majunya Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta memang memberikan harapan baru tidak saja bagi proses politik lokal di Jakarta, namun lebih dari itu, juga pada karakter politik di tingkat nasional. Tampil sebagai elite politik dengan latar belakang posisi minoritas yang majemuk (multiple minority positions), mengundang solidaritas dari berbagai khalayak kelas menengah terdidik yang telah bosan dengan hierarki kultural yang menjadi kesepakatan tidak tertulis dalam langgam politik di Indonesia. Pangkal masalahnya adalah organ Teman Ahok yang banyak melibatkan kalangan aktivis progresif Jakarta tidak mampu mentransformasikan modal suara kaum marjinal menuju agenda kesejahteraan dan penyelesaian masalah pemiskinan struktural. Keterlibatan berbagai elemen aktivis gerakan sosial di dalam wadah Teman Ahok tidak terartikulasi dalam posisi politik organisasi untuk memberikan opsi-opsi kebijakan yang lebih manusiawi dalam berbagai bentuk kebijakan Pemda DKI Jakarta. Hal itu tampak dalam kasus penggusuran orang-orang miskin maupun dalam kasus reklamasi yang tidak saja memarjinalisasi kepentingan nelayan tradisional, tapi juga berpotensi membawa imbas negatif pada lingkungan hidup dan sistem ekologis Kota Jakarta. Contoh lain kegagalan organ Teman Ahok untuk mendesakkan pendekatan kebijakan yang lebih manusiawi misalnya diperlihatkan dengan tidak adanya masukan maupun suara kritis terhadap pendekatan Pemda DKI Jakarta dalam penggusuran di berbagai tempat di Jakarta. Tidak saja bahwa kebijakan tersebut tidak melibatkan proses partisipasi publik di dalamnya, namun realitas penggunaan tentara untuk melakukan penggusuran di beberapa tempat menunjukkan betapa jauhnya praktik demokrasi dari pengelolaan kota. Akibatnya proyeksi politis yang pada awalnya berniat memperjuangkan kesetaraan politik berujung pada benturan dengan kebutuhan kelompok-kelompok marjinal lain di Kota Jakarta. Sementara terkait dengan proses komunikasi dengan elite-elite partai politik yang berujung pada pilihan Ahok untuk maju melalui partai politik, juga berhadapan dengan persoalan serupa. Infrastruktur politik relawan dengan modal satu juta KTP tidak berhasil memperkuat
  • 6. 6 daya tawar politik warga yang dapat memaksakan mereka untuk menghormati kekuatan politik dari Teman Ahok. Melalui ukuran politik yang paling sederhana, organ Teman Ahok dengan investasi satu juta KTP tidak mampu memastikan anggotanya untuk menjadi ketua tim sukses bagi Ahok dalam kampanye pilgub mendatang. Meskipun posisi ketua tim sukses terlihat hanya persoalan teknis, posisi tersebut dapat menjadi tolok ukur siapa yang pada akhirnya memegang inisiatif politik baik dalam aktivitas kampanye maupun pilihan janji dan program yang akan diusung apakah memproyeksikan aspirasi warga atau partai politik. Apalagi, hal ini diperparah dengan minimnya kapasitas komunikasi politik Ahok dan Teman Ahok terkait bagaimana mengelola fotokopi KTP yang telah terkumpul satu juta suara. Kegagalan politik dari Teman Ahok untuk mengembangkan kekuatan politik sebagai relawan politik ketika berhadapan baik dengan problem Kota Jakarta maupun negosiasi dengan elite politik tersebut membatasi kapasitas mereka menjadi organ demokrasi yang genuine. Kekhawatiran yang perlahan-lahan mulai menguat adalah alih-alih berperan sebagai subyek politik baru, organisasi Teman Ahok hanya menambah contoh corak relasi patronase politik yang menghubungkan antara elite politik dan konstituen dalam politik Indonesia. Elite politik menggunakan dukungan konstituen untuk membangun kesepakatan dan kompromi politik dengan lingkaran elite lainnya, tanpa kapasitas konstituen untuk memasukkan agendanya dalam proses politik. Semoga Teman Ahok dapat mengintrospeksi diri dari problem internal dalam dirinya. AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga
  • 7. 7 Kaburnya Napi Dari Lapas 20-08-2016 Media akhir-akhir ini tengah sibuk mengabarkan tentang kaburnya para napi dari sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas) seperti Salemba, Cebongan, dan Tulungagung. Permasalahan yang sudah cukup lama menggambarkan potret buram wajah pengelolaan lapas di negeri ini. Peristiwa semacam ini bukan yang pertama tapi tentu menjadi harapan kita semua untuk menjadi yang terakhir kalinya. Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Prof Marcus Priyo Gunarto (2013) mengatakan, tingkat keamanan yang rendah di dalam lapas dan rutan dapat memicu berbagai masalah antara lain kaburnya napi; terjadinya keributan/perkelahian antarpenghuni, penghuni dengan petugas; transaksi narkoba; menurunnya kualitas sarana dan prasarana dalam lapas atau rutan. Misalnya aspek sanitasi lingkungan menjadi di bawah standar; dan terganggunya proses pembinaan napi, dan lain sebagainya. Dalam catatan kecil dari Prof. Marcus tersebut jelaslah bahwa rendahnya tingkat keamanan di lapas masih merupakan persoalan besar yang harus segera dijawab oleh jajaran Kementerian Hukum dan HAM sebagai institusi besar yang bersinggungan langsung dengan kerja seluruh lapas yang ada di Indonesia. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Daerah Istimewa Yogyakarta menduga ada tiga faktor penyebab lolosnya lima tahanan di lapas Kelas IIB Sleman (Cebongan). Tiga faktor itu yakni sarana-prasarana lapas yang tak memadai, jumlah sumber daya manusia (SDM) yang minim, serta kapasitas lapas yang berlebih. Kaburnya napi yang ada di lapas bukanlah suatu persoalan remeh-temeh. Ini adalah suatu proses panjang yang terus-menerus memberikan celah bagi para napi untuk dapat kabur dari lapas. Salah satu poin penting yang dapat menjadi sebuah pembelajaran adalah kaburnya napi yang menggunakan cadar dan gamis. Cara seperti itu merupakan sebuah kecerdikan sang napi, karena tidak adanya petugas/sipir wanita di Lapas Cipinang. Dengan kasus ini sudah selayaknya Kemenkumham dapat membenahi lapas dan menertibkan kunjungan para tamu, termasuk pengetatan pengecekan pada tamu wanita. Jika diperhatikan secara saksama, terdapat komponen lain sebagai penyumbang permasalahan berulangnya kaburnya narapidana di lapas, yaitu permasalahan overkapasitas. Tentunya dengan tingkat hunian warga binaan yang tidak berbanding lurus dengan petugas lapas adalah
  • 8. 8 sebuah konjungsi atau titik pertemuan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh petugas secara internal ke lapas, yang menjadi yurisdiksi tanggung jawab wilayah kerja mereka. Tidak hanya mengevaluasi masalah keamanan, momentum ini dapat pula digunakan sebagai reevaluasi terhadap sejumlah program kerja yang telah atau akan dijalan oleh lapas yang akan diselaraskan dengan tujuan pemidanaan yang dibuat oleh pemerintah. Bahwa tujuan didirikannya lapas dalam spektrum kontemporer adalah untuk dapat menjalankan pola reintegrasi sosial, di mana seorang yang warga binaan di lapas, kelak ketika keluar sudah dapat diterima dan berdampingan kembali dalam hidup yang layak di tengah-tengah masyarakat. Namun, yang sangat disesalkan adalah hampir tidak meratanya pelatihan yang diberikan kepada petugas lapas dalam rangka menangani permasalahan yang ada di dalam lingkungan lapas, sehingga akan menjadi sulit untuk menemukan alat ukur yang tepat bagi pengelolaan lapas yang bermuara kepada tingkat kesuksesan mendidik warga binaan selama di lapas. Pemerataan fasilitas serta jumlah SDM di seluruh lapas yang tersebar di wilayah Indonesia tidak dapat pula dikatakan memenuhi sebaran yang memenuhi kualifikasi standar, sehingga hal ini sekali lagi akan menjadi bom waktu yang tinggal menunggu saat yang tepat untuk memuntahkan persoalannya ke luar. Masih banyak ditemukan di sejumlah lapas khususnya mengenai keamanan yang dilakukan atas bahaya yang mungkin ditimbulkan dari luar, semisal selundupan barang yang dilarang dibawa masuk ke lapas, bahkan untuk dilarang keras digunakan oleh napi di dalam lingkungan lapas masih saja terjadi. Mengapa hal itu bisa terjadi? Salah satu faktor utamanya adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan untuk melakukan screening awal atau filterisasi persoalan tersebut. Hal itu dipicu oleh pengawasan yang dilakukan terhadap keluar masuk orang dan barang ke dalam lapas yang masih menggunakan pola konvensional kasatmata, bukan dengan bantuan teknologi yang canggih. Pilihan lain yang dapat dipertimbangkan adalah dibukanya kemungkinan bagi pihak swasta untuk mendirikan dan mengelola lapas. Beberapa negara di dunia seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Kanada telah memperbolehkan pihak swasta/independent contractor/private contractor untuk mendirikan dan mengelola lapas yang didasarkan pada perjanjian antara pemerintah dan pihak swasta tersebut. Perjanjian itu mengatur sedikitnya mengenai tingkat keamanan dan fasilitas yang seharusnya ada dalam lapas. Berbagai jurnal hukum di luar negeri telah banyak dipublikasikan mengenai private prison/privately operated prison. Akuntabilitas, fasilitas yang memadai, tingkat keamanan, pengelolaan secara profesional, serta adanya program-program yang memungkinkan para napi untuk kembali bermasyarakat, adalah hal-hal yang dijadikan pertimbangan ketika pemerintah hendak menunjuk pihak swasta untuk mendirikan dan mengelola lapas. Pro dan
  • 9. 9 kontra terhadap kemungkinan ini hendaknya dibahas secara akademis dan dengan pertimbangan yang menyeluruh. Kaburnya para napi tentu meresahkan masyarakat karena bukan tidak mungkin napi-napi tersebut melakukan aksi tindak pidana kembali. Evaluasi pengelolaan lapas tak bisa ditunda. HERY FIRMANSYAH SH,MHum Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara & DAVID SURYA SH, MH Bendahara Umum DPP LBH Perindo
  • 10. 10 Melibatkan TNI Melawan Terorisme 22-08-2016 Eksistensi militer dalam pemberantasan terorisme sepertinya masih menjadi wacana yang dilematis. Di satu sisi militer terbukti efektif dalam membantu melawan gerakan teroris. Namun, di sisi lain konstitusi memandang lembaga ini ”tidak memiliki kewenangan” terlalu jauh dalam upaya penanganan teroris. Inilah dilema kehadiran militer dalam aksi penumpasan teroris. Dilema ini semakin menguat dengan kasus tewasnya Santoso di tangan Tim Alfa 29 Batalion Infanteri Raider 515 Kostrad. Fakta ini seolah menyiratkan pesan pentingnya keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan tindak pidana terorisme. Di tengah sikap apatis publik akibat lambatnya Polri menangkap Santoso alias Abu Wardah yang telah ditetapkan sebagai buron sejak 2012, kehadiran TNI seolah membawa harapan baru pemberantasan terorisme di Indonesia. Dukungan publik terhadap peran TNI ini tentu bukan tanpa alasan. Selain terlatih di medan yang sulit terjangkau, pasukan khusus TNI juga memiliki keahlian dalam mengintai, memukul dan baku tembak dengan teroris, dan dalam berbagai peristiwa mampu membebaskan sandera. Model kerja sama TNI dan Polri yang bahu-membahu dalam pemberantasan terorisme ini patut diacungi jempol. Betapa tidak, kejahatan terorisme ini tak hanya memakan korban jiwa dalam jumlah besar, namun juga dapat mengancam kedaulatan negara. Lebih dari itu, Indonesia diakui masih menjadi lahan subur bagi tumbuhnya paham radikal terorisme yang siap berubah menjadi teroris dan ancaman negara. Dengan begitu, peran kerja sama kekuatan alat negara menjadi penentu dalam merumuskan strategi efektif pemberantasan tindak pidana teroris di Indonesia. Sejarah militer dalam upaya penegakan hukum selama ini tak bisa dilepaskan dari bumbu kepentingan dan ideologi elite penguasa. Studi berbagai konflik dalam hubungan sipil-militer era Orde Baru mengajarkan bahwa politisasi sejarah dapat membuka kembali keran masuknya konflik intramiliter pada masa depan. Kecurigaan berbagai kalangan atas keterlibatan TNI dapat mengulangi sejarah masa lalu pun tak bisa dimungkiri. Trauma sejarah ini tidak lepas dari begitu dominannya kepentingan sosial dan politik militer masa lalu, bahkan seolah menjadi momok bagi ancaman demokrasi saat ini.
  • 11. 11 Namun, ancaman terorisme pun tak bisa dianggap remeh. Teroris saat ini sudah menjelma sebagai sebuah kekuatan global. Pelakunya di satu negara, terhubung dengan yang lainnya dalam jaringan bawah tanah. Mereka beraksi tanpa pilih target demi mencapai tujuan. Mereka dibekali modal melimpah, senjata ilegal, dan serta memiliki jaringan luas. Memutus kaderisasi jaringan terorisme melalui strategi pencegahan yang efektif merupakan tugas besar ke depan. Tentu, demi menjaga kedaulatan negara, harus ada yang diprioritaskan. Saat ini yang utama adalah terorisme diberantas sampai akar-akarnya. Dilumpuhkannya Santoso tak lantas ancaman teror mereda. Pengalaman membuktikan, jaringan teroris terus tumbuh dan berkembang meski otak pelaku telah ditembak mati. Pekerjaan rumah aparat penegak hukum setelah tewasnya Santoso adalah memastikan bahwa kelompok loyalis Santoso tak lagi menjalankan aksi terornya. Keberhasilan melumpuhkan Santoso pun menarik untuk dikaji, apakah model itu tepat untuk menjadi prototipe dalam operasi pemburuan teroris di Indonesia. Meski tim ini terbilang ideal karena melibatkan polisi dengan satuan elite Brimob, Densus, Kodim, Kostrad, dan Kopassus, upaya pemberantasan terorisme sejatinya mensyaratkan kendali operasi harus ditangani kepolisian. Dengan demikian, segala penanganannya harus diproses dengan sistem peradilan pidana. Dengan begitu, melibatkan TNI dalam operasi pemberantasan terorisme hanya diperbolehkan selama berfungsi sebagai satuan pendukung. Keterlibatan TNI Perdebatan tentang perlu dan tidak keterlibatan TNI dalam upaya pemberantasan tindak pidana terorisme harus diakhiri. Hal ini telah diakomodasi dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46/2010 jo Perpres Nomor 12/2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Di dalamnya mengatur langkah-langkah penanggulangan terorisme meliputi pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan, dan penyiapan kesiapsiagaan nasional. Berdasarkan perpres ini ditetapkan, BNPT berperan sebagai koordinator sekaligus membentuk sinergi antar-stakeholder, termasuk dengan Polri, TNI, kementerian, dan lembaga negara terkait. Perpres memberikan peluang untuk dibentuknya satuan-satuan tugas dari unsur-unsur pemerintahan yang terkait. Tetapi, perpres menegaskan bahwa pelaksanaannya harus sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. Selain itu, Pasal 30 Ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Sementara yang menjadi porsi tugas utama TNI adalah mempertahankan, melindungi, serta memelihara
  • 12. 12 keutuhan dan kedaulatan negara. Jelas konstitusi sebagai hierarki tertinggi perundangan di Indonesia menempatkan upaya penegakan hukum merupakan kewajiban dari Polri. Begitu juga dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali menegaskan peran kepolisian untuk ”...memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Dengan demikian, sudah seharusnya Kepolisian Negara Republik Indonesia menjadi garda terdepan dalam upaya penanggulangan terorisme. Konstitusi memberikan ruang bagi terjalinnya kerja sama antara TNI dan Polri dalam rangka menjalankan tugas pertahanan dan keamanan, dengan pengaturan lebih lanjut dalam undang- undang. Dalam tataran undang-undang, bantuan TNI kepada kepolisian dapat ditelusuri dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia: ”Dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan Tentara Nasional Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah”. Selain itu, peran TNI dalam ranah sipil dapat ditelusuri dalam Peraturan Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 23/1959 tentang Keadaan Bahaya jo UU Nomor 1/1961. Keadaan bahaya tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu darurat sipil, darurat militer, dan keadaan perang. Hanya dalam keadaan darurat militer dan perang, penguasa darurat militer dapat mengambil alih fungsi-fungsi sipil, hingga pemerintah pusat mengubah status keadaan menjadi keadaan tertib sipil. Ini artinya dalam keadaan di mana militer diperbantukan dalam ranah sipil, selain dalam situasi darurat militer dan perang, militer tetap harus mengikuti hukum sipil yang berlaku, bukan hukum militer. Penegakan Hukum Terorisme Hampir 15 tahun penegakan hukum tindak pidana terorisme di Indonesia. Namun, berbagai kalangan melihat upaya penegakan hukum dalam tindak pidana terorisme ini kian mengalami kemunduran. Proses peradilan dalam penanganan tindak pidana terorisme kerap menyimpang dari prinsip hukum dan asas-asas hukum pidana yang ada. Penegakan hukum yang jauh dari asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) ditambah lagi dengan penyiksaan oleh oknum Densus 88 yang dimulai sejak penangkapan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, yang jelas menyimpang dari hak asasi manusia. Peran BNPT tentu perlu dioptimalkan. Fungsi BNPT dalam mengoordinasikan dan mensinergikan peran Polri, TNI, BIN, dan kejaksaan seakan mandek. Belum ada sharing informasi intelijen antarlembaga tersebut yang terkait dengan semakin berkembangnya potensi terorisme. Padahal, informasi dan fakta tersebut berpengaruh dalam upaya pendeteksian, pencegahan, dan proses penegakan hukum. Alhasil, koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk melakukan deteksi dan cegah dini terhadap perkembangan potensi ancaman aksi teror tak pernah maksimal.
  • 13. 13 Kelemahan undang-undang memang tak bisa dihindari. Kehadiran Undang-Undang Nomor 15/2003 yang lahir pasca-Bom Bali 2002 dinilai semakin usang karena tak cukup mampu secara ampuh menekan berkembangnya terorisme di negeri ini. Dari aspek penegakan hukum, kurang memadainya legal framework dalam rangka countering violent extremism (CVE) menyebabkan ihwal yang mengarah pada radikalisme teroris seperti menyatakan sumpah setia kepada ISIS, memiliki atribut yang dipergunakan oleh ISIS, melakukan kegiatan fund raising, dan sebagainya semakin sulit tersentuh hukum. Untuk itu, Panitia Khusus (Pansus) Perubahan Undang-Undang Nomor 15/2003 kini harus lebih cermat dan hati-hati dalam merumuskan naskah perubahan undang-undang tersebut. Kesalahan dalam pemberian kewenangan dan perluasan cakupan pidana bisa jadi bertentangan dengan koridor hukum nasional maupun internasional. Konstitusi jelas telah menyiratkan pesan bahwa setiap orang berhak atas jaminan dan perlindungan hukum dan perlakuan yang adil, tidak terkecuali dengan orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme, khususnya tersangka, terdakwa, dan terpidana. Tentu kita berharap penegakan hukum tindak pidana terorisme kini menjadi lebih baik dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum pidana yang ada, bukan justru mengalami kemunduran. M NASIR DJAMIL Anggota Panitia Khusus DPR RI Terkait Revisi Undang-Undang Nomor 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
  • 14. 14 Omran Daqneesh Cermin Kegagalan PBB 24-08-2016 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin hari semakin lemah otoritasnya dalam menciptakan perdamaian di dunia. Kita melihat bagaimana PBB tidak efektif dalam menyelesaikan konflik yang terjadi di Suriah dan di tempat-tempat lain. Ketidakefektifan ini dapat menjadi landasan bagi Indonesia untuk maju dan mendorong reformasi di tubuh PBB, terutama di dalam Dewan Keamanan Tetap yang memiliki hak untuk melakukan veto terkait dengan upaya intervensi untuk menciptakan perdamaian di sebuah wilayah. Minggu lalu dunia dikejutkan oleh foto dan cuplikan video seorang anak kecil yang terluka dan terguncang bernama Omran Daqneesh. Ia dan tiga saudara lainnya diselamatkan dari dalam reruntuhan puing rumahnya yang mengalami kerusakan berat akibat terkena serangan udara. Dalam foto dan video tersebut anak berusia 5 tahun itu tampak terguncang dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia merasakan aliran darah dari kepalanya, tetapi tidak menangis. Kakaknya yang juga diselamatkan dalam waktu yang bersamaan ternyata meninggal beberapa jam kemudian. Foto itu kemudian menyebar luas dan menuai simpati dunia melalui media sosial. Seperti telah diduga, semua pihak menyatakan kecaman dan kegeraman atas konflik yang tidak berkesudahan di Suriah. Para pihak yang terlibat dalam konflik tersebut mulai dari pihak Sekutu yang dipimpin Amerika Serikat, kelompok oposisi, Hisbullah, hingga Rusia juga menyatakan simpati dan menolak untuk disebut sebagai pihak yang disalahkan. Beberapa media di Cina bahkan menuduh foto dan cuplikan itu adalah rekayasa yang dibuat kelompok oposisi untuk mendiskreditkan pemerintahan Suriah dan sekutunya karena foto itu diambil oleh orang-orang yang sebetulnya terlibat dalam pemenggalan kepala anak-anak yang berumur 11 tahun di Suriah. Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa foto itu adalah bagian dari propaganda perang untuk mengumpulkan dukungan menyerang kelompok lain. Tanpa mengurangi rasa hormat terhadap simpati yang lahir atas respons terhadap foto tersebut, penderitaan Omran adalah penderitaan jutaan anak yang menderita akibat perang. Semua negara punya keprihatinan terhadap nasib anak-anak. Hampir seluruh negara kecuali Amerika Serikat telah meratifikasi Konvensi Hak Anak dan menurunkannya menjadi undang- undang. Namun implementasi dari konvensi itu masih jauh dari apa yang diharapkan. Negara-negara
  • 15. 15 yang menandatangani masih saja mengabaikan penghormatan terhadap hak anak untuk terbebas dari rasa takut. Kepentingan politik tiap negara masih menjadi halangan kuat untuk pelaksanaan konvensi tersebut. Salah satu contoh adalah gagalnya sebuah resolusi yang digagas Prancis pada 2004 terkait dengan kekerasan bersenjata yang terjadi di Chechnya dan Irlandia Utara (Oludun, 2014). Kita mungkin masih ingat kasus penyanderaan yang dilakukan pemberontak Chechnya dan mengakibatkan korban anak-anak karena gagalnya operasi penyelamatan oleh Rusia. Demikian pula kekerasan bersenjata yang mengakibatkan meninggalnya anak-anak antara pemberontak dan Pemerintah Inggris. Inggris dan Rusia menolak kejadian tersebut masuk dalam kategori armed conflict sehingga menyebabkan Sekretaris Jenderal PBB menggantinya menjadi kategori situation of concern. Apakah Prancis juga dapat dikatakan bersih karena telah membuat draf tersebut? Nyatanya juga tidak karena Prancis dan Amerika Serikat juga pernah memveto dan menolak kata “genocide” (genosida) dalam sebuah resolusi terkait kasus Rwanda pada 1994. Penolakan istilah tersebut membuat intervensi PBB ke wilayah tersebut kurang memiliki landasan hukum yang kuat di bawah hukum internasional. PBB kemudian baru mengirim pasukan perdamaian di bawah sandi Operation Turquoise setelah lebih dari 800.000 orang dibunuh secara keji, termasuk anak-anak. Salah satu sebab Prancis menolak kata “genosida” karena keberpihakannya kepada pihak Hutu sebagai salah satu pihak yang sedang berkonflik. Ketidakefektifan fungsi PBB inilah yang telah menimbulkan kekecewaan dan bisa meruntuhkan kewibawaan PBB di mata negara-negara lain, khususnya negara-negara yang tidak memiliki hak veto. Kestabilan dan perdamaian dunia yang menjadi mandat utama terbentuknya PBB pasca-Perang Dunia II lebih menjadi alat politik negara maju yang berkuasa, terutama lima negara yang memiliki hak veto dan duduk di Dewan Keamanan Tetap PBB. Melemahnya kewibawaan PBB membuat tindakan-tindakan yang melanggar hak asasi manusia (HAM) terus terjadi karena banyak negara yang sudah tidak menaruh hormat kepada PBB seperti yang baru saja dilakukan Presiden Duterte dari Filipina. Selain mengumpat dengan kata-kata kasar dalam kapasitasnya sebagai presiden, ia bahkan mengancam akan meninggalkan PBB ketika dituduh mendalangi sejumlah aksi pembunuhan ribuan penjahat baik secara resmi atau tidak. Ia bahkan menggunakan foto bocah Suriah yang terluka tersebut sebagai bukti gagalnya PBB menyelesaikan masalah mereka. Kondisi tersebut sebetulnya juga telah diingatkan dalam Pidato Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Asia Afrika dua tahun lalu, tetapi implementasinya hingga saat ini belum tampak ke depan. Hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Reformasi PBB yang buntu sejak tahun 2000 harus disuarakan kembali. Negara-negara dunia tidak bisa dibiarkan berjalan sesuka hati sekehendak tokoh-tokoh politiknya. Indonesia mungkin dapat memanfaatkan momentum terkini untuk mendorong reformasi di tubuh PBB, khususnya bagian Dewan Keamanan Tetap, agar lebih demokratis dan mencerminkan perubahan kekuatan dunia saat ini. Tanpa
  • 16. 16 perubahan yang signifikan di dalam tubuh PBB, saya pesimistis akan terjadi perdamaian yang permanen dan berkelanjutan di masa depan. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
  • 17. 17 PKPU dan Pemilu Berintegritas 24-08-2016 KORAN SINDO 22/8 memberitakan lambatnya DPR menyelesaikan pembahasan peraturan KPU (PKPU) dari KPU, padahal tahapan pilkada serentak di seluruh Indonesia sudah dimulai, yaitu tahapan pendaftaran pemilih dan tahapan pencalonan. Idealnya PKPU sudah rampung sebelum tahapan pemilu dimulai. Situasi seperti ini dikhawatirkan berpengaruh terhadap kualitas pilkada serentak gelombang 2 yang direncanakan 15 Februari 2017. Pilkada akan diikuti 101 daerah otonom terdiri atas pemilihan gubernur di 7 provinsi, pemilihan bupati di 76 kabupaten, dan pemilihan wali kota di 18 kota. Pertanyaannya, mengapa PKPU belum selesai padahal tahapan sudah berjalan? Apakah karena KPU lambat atau terkendala DPR? Seperti kita ketahui PKPU berisi petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang berisi detail jadwal dan tata cara pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu. PKPU disusun berdasarkan undang-undang untuk melaksanakan undang-undang dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Kedudukan PKPU sangat strategis, berfungsi sebagai pedoman penyelenggara pemilu dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya seperti yang sudah diatur dalam konstitusi UUD 1945 maupun undang-undang. Tanpa PKPU penyelenggara pemilu dapat kehilangan arah dan tidak mengerti apa yang harus dilakukan karena undang-undang tidak mengatur secara detail tata cara melaksanakan tahapan pemilu. Idealnya beberapa waktu sebelum tahapan dimulai seluruh PKPU yang dibutuhkan sudah siap untuk disosialisasi kepada penyelenggara dalam bentuk bimbingan teknis (bimtek), peserta pilkada (partai politik dan pasangan calon), serta masyarakat luas. PKPU yang aspiratif dan akuntabel biasanya ditetapkan KPU setelah melalui proses uji publik. Dengan pemahaman bersama pemangku kepentingan pemilu, diharapkan pelaksanaan tahapan berjalan secara tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat kualitas. Hanya dengan cara demikian dapat dihasilkan sebuah pemilu yang tidak hanya jurdil dan demokratis, tetapi juga berkualitas dan berintegritas. Hasil pemilu mencerminkan suara atau kehendak rakyat yang sesungguhnya dan hasilnya dapat dipercaya (trusted) sehingga memiliki legitimasi tinggi. Legitimasi diperlukan supaya parlemen maupun pemerintahan baru terpilih dapat bekerja efektif untuk rakyat. Indonesia sudah memiliki pengalaman panjang melaksanakan pemilu kolosal untuk pemilu
  • 18. 18 nasional (memilih anggota legislatif serta memilih presiden dan wakil presiden) dan ratusan bahkan ribuan pilkada di seluruh Indonesia sejak 2005. Dunia mengakui kemampuan Indonesia dalam pelaksanaan demokrasi elektoral ini meski dari segi substantif demokrasi Indonesia masih harus terus diperbaiki untuk ditingkatkan kualitasnya. KPU merencanakan menyusun 9 PKPU dan pada 18 Juli KPU menyampaikan 5 draf PKPU kepada DPR untuk diagendakan konsultasi. DPR reses pada 24 Juli dan belum sempat merespons permohonan KPU itu. Namun memperhatikan tahapan penyerahan dukungan pasangan calon perseorangan harus segera dimulai, Ketua KPU melakukan komunikasi politik dengan pimpinan Komisi II DPR sehingga PKPU pencalonan ditetapkan dengan syarat setelah ditetapkan harus tetap dibahas dalam forum konsultasi. Sampai dengan 18 Agustus baru 1 PKPU yang dibahas dari 5 PKPU yang sudah disampaikan KPU kepada DPR. Tentunya keadaan ini sangat mengkhawatirkan. Salah satu pertanyaan yang mengemuka, mengapa dengan kemajuan yang sudah dicapai dalam kepemiluan tiba-tiba DPR bersama pemerintah menghasilkan regulasi baru yang bisa berimplikasi pada kemunduran kualitas pilkada? Pasal 9 undang-undang baru yang mengatur pilkada mengenai tugas dan wewenang KPU salah satu ayatnya mengatakan: ”...menyusun dan menetapkan peraturan KPU dan pedoman teknis untuk setiap tahapan pemilihan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam forum rapat dengar pendapat yang keputusannya bersifat mengikat.” Ketentuan baru yang tidak pernah ada sebelumnya adalah klausul ”keputusannya bersifat mengikat”. Konsultasi dalam forum rapat dengar pendapat DPR memang diperlukan supaya terbangun komunikasi politik antara KPU, DPR, dan pemerintah. Tidak lain untuk menghindari kemungkinan salah penafsiran penyusun PKPU terhadap ketentuan dalam undang-undang yang dibuat DPR bersama pemerintah. Praktik konsultasi ini sudah berlangsung sejak Pemilu 2004 maupun pemilu-pemilu selanjutnya dan berjalan dengan baik oleh karena tiap pihak merasakan manfaatnya. Proses itu berjalan transparan dan akuntabel serta dilakukan dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, menghormati otoritas lembaga masing-masing untuk menghindari kemungkinan terjadinya dominasi atau kooptasi DPR atau pemerintah terhadap lembaga penyelenggara pemilu. Pada dasarnya pemilu diselenggarakan oleh sebuah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri seperti diatur dalam Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan ketiga yang kemudian secara lebih terperinci diatur dalam ketentuan undang- undang pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan kepada daerah, serta undang-undang tentang penyelenggara pemilihan umum. Prinsipnya pemilu dilaksanakan oleh lembaga yang independen dari kekuasaan. Penyelenggaranya bersikap netral, tidak memihak, mengedepankan imparsialitas, dan
  • 19. 19 memperlakukan secara sama dan setara semua peserta pemilihan umum. DKPP bersama dengan KPU dan Bawaslu menyusun kode etik penyelenggara pemilihan umum untuk mengatur code of conduct penyelenggara supaya bekerja sesuai dengan prinsip-prinsip etik pemilu yang sifatnya universal. Oleh karena itu melalui Undang-Undang No 15 Tahun 2012 dibentuklah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP) dengan tujuan menjaga kemandirian, kredibilitas, dan integritas penyelenggara pemilu. Pemilu yang berintegritas tidak akan mungkin dihasilkan apabila penyelenggaranya tidak berintegritas. Kita semua berkepentingan menjaga agar lembaga penyelenggara pemilu tetap independen seperti dikehendaki konstitusi. Ke depan Pasal 9 ini perlu ditinjau kembali untuk mengembalikan marwah KPU sebagai lembaga yang independen sehingga dapat bekerja secara independen dan profesional. Kepercayaan kepada lembaga penyelenggara dapat kita bangun melalui pembentukan penyelenggara pemilu yang anggotanya mandiri, berintegritas, dan memiliki kapasitas. Oleh karena itu ketentuan tentang rekrutmen dan proses rekrutmen harus benar-benar dilakukan secara terukur, profesional, dan bertanggung jawab. Perlu dibentuk panitia seleksi yang benar-benar memahami peran strategis pemilihan umum dan keindonesiaan sesuai dengan amanat para pendiri bangsa seperti tertulis dalam bagian Pembukaan UUD 1945. VALINA SINGKA SUBEKTI Anggota DKPP dan Staf Pengajar Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Indonesia
  • 20. 20 Gurita Politik Kartel 24-08-2016 Belum lama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali merombak struktur kabinet kerjanya. Perombakan kabinet jilid II ini ditengarai bukan sekadar ingin menghilangkan kegaduhan dan mempercepat akselerasi kinerja menteri. Melainkan juga sebagai upaya untuk mengakomodasi kepentingan Partai Golkar dan PAN yang ikut merapat ke pemerintah. Jokowi mengganti Menteri Yuddy Chrisnandi, Rizal Ramli, Sudirman Said, dan Marwan Jafar yang kerap bikin gaduh dan memantik polemik publik. Begitu juga dengan upaya menggenjot kinerja menteri, terutama di sektor ekonomi, Jokowi mendapuk Sri Mulyani Indrawati sebagai menteri keuangan. Bekas direktur pelaksana Bank Dunia ini dianggap mumpuni dan menjadi bintang dalam perbaikan ekonomi. Sementara akomodasi politik tampak nyata dari masuknya kader Golkar Airlangga Hartarto yang didaulat sebagai menteri perindustrian dan kader PAN Asman Abrur sebagai menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. Merapatnya Golkar dan PAN ke Jokowi tentu menjadi hal yang paradoks dalam sistem kepartaian kita. Sebab, dua partai politik tersebut merupakan partai pengusung utama Prabowo Subianto yang menjadi rival politik Jokowi pada Pilpres 2014. Saat pemilu, dua kubu pendukung saling bersaing sengit. Kini, memasuki tahun kedua pemerintahan Jokowi, jejak pertikaian itu nyaris tak berbekas. Praktik politik semacam ini kian menambah rentetan panjang keanehan sistem kepartaian. Tiga pemilu demokratis yang diselenggarakan pasca-Reformasi, yakni Pemilu 1999, 2004, dan 2009 dengan mudah kita dapati betapa partai politik saling bersaing dengan menegaskan warna ideologi masing-masing. Namun, jelang pembentukan kabinet, partai-partai itu saling berangkulan. Begitu juga dengan Pilpres 2014. Kekuatan politik terbelah menjadi KMP dan KIH. Dua blok kekuatan saling menegasi dengan beragam argumentasi. Tak lama setelah pilpres, sejumlah partai politik penyokong KMP tanpa sungkan merapat ke Jokowi. Meski berusaha main apik, modus mereka merapat ke Jokowi akhirnya terendus, yakni mengincar posisi menteri. Peristiwa ini menyisakan pertanyaan penting seputar watak dasar sistem kepartaian yang kita adaptasi selama ini. Kesimpulan sementara yang bisa diajukan ialah telah terjadi praktik politik kartel. Praktik ini telah lama menggurita yang sulit dihilangkan dari sistem demokrasi elektoral. Magnet kekuasaan menjadi pemicu utamanya.
  • 21. 21 Richard Katz dan Peter Mair dalam How Party Organize: Change and Adaptation in Party Organization in Western Democracies (1994) mendefinisikan politik kartel sebagai situasi di mana partai politik saling meniadakan kompetisi serta menghapus sekat-sekat ideologi demi meraih kekuasaan bersama. Situasi ini terjadi karena semua partai politik memiliki kepentingan sama, yakni memelihara kelangsungan hidup secara kolektif. Karena itu, bisa dipahami bahwa kartelisasi politik tercipta karena keinginan kolektif partai politik untuk menjaga keberlangsungan hidup mereka dengan membentuk perserikatan serupa kartel. Tujuan utamanya ialah akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dengan melakukan perburuan rente di kementerian termasuk komisi-komisi ”basah” di parlemen. Faktor Utama Ada dua faktor utama yang membuka ruang terjadi praktik politik kartel. Pertama, akomodasi terhadap partai politik yang kalah dalam pemilu. Atas nama stabilitas kabinet, presiden atau partai pemenang pemilu seringkali merangkul kelompok politik (oposisi) yang berpotensi merongrong kekuasaan pemerintah. Inilah salah satu cacat bawaan sistem presidensialisme multipartai, yakni munculnya seorang ”presiden minoritas” yang tak memiliki legitimasi mayoritas di parlemen. Sebab itu, untuk meredam perlawanan oposisi, presiden melakukan akomodasi politik. Pada titik inilah, persaingan, kompetisi, dan konflik antarpartai politik nyaris tiada. Semuanya menyatu dalam kepentingan kekuasaan kolektif. Reshuffle kabinet kerja kali ini dengan gamblang mempraktikkan politik akomodasi dengan merangkul kekuatan partai politik lawan. Perlahan, satu per satu Golkar, PAN, dan PPP berbalik arah mendukung pemerintah. Akomodasi politik membuat Golkar dan PPP bernafas lega dalam menghadapi perhelatan politik elektoral karena memiliki akses logistik di pemerintahan. Padahal, kompetisi antarpartai politik dapat mencegah perilaku koruptif yang dilakukan secara berjamaah oleh partai penguasa. Sederhananya, persaingan yang sehat di antara partai politik akan melahirkan oposisi kredibel yang mampu memberikan check and balances terhadap pemerintah. Kedua, koalisi cair. Problem lain dari kombinasi sistem presidensialisme multipartai yakni sulitnya melembagakan format koalisi yang relatif permanen di antara partai politik. Problema inilah yang dialami Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan Jokowi. Akibat itu, koalisi menjadi cair yang menyebabkan terjadi bongkar pasang kabinet bisa dilakukan kapan saja. Problem pelembagaan koalisi bermuara pada ketiadaan basis kesepakatan politik yang mengikat partai yang saling berkoalisi, baik ketika pencalonan presiden maupun menjelang pembentukan kabinet. Koalisi yang terbentuk cenderung ad hoc, tergesa-gesa, dan berorientasi jangka pendek. Ketiadaan kesepakatan turut menjelaskan mengapa seorang presiden begitu mudah mencopot para pembantunya yang tak memiliki back up politik kuat
  • 22. 22 digantikan oleh menteri dari partai oposisi. Tidak mengherankan jika Sudirman Said, Anis Baswedan, Ignasius Jonan, dan Rizal Ramli diganti tanpa disertai dengan alasan jelas. Karena itu, dengan sederhana dapat kita katakan bahwa politik kartel disebabkan oleh perselingkuhan kepentingan pemerintah dengan partai-partai oposisi. Demi menjaga stabilitas politik, penguasa seringkali memainkan politik aman dengan membuka pintu koalisi dengan iming-iming kekuasaan. Gurita politik kartel akan sulit dihilangkan selama masih ada ruang lebar politik akomodasi dan tak ada koalisi yang terlembaga. Presiden maupun partai pemenang akan terus melakukan manuver untuk mengamankan kepentingan politiknya dengan menggembosi kekuatan oposisi guna menghindari kritik dan interupsi di pemerintahan. Dalam konteks inilah menjadi penting untuk menegakkan kembali marwah sistem presidensial di mana seorang presiden harus mampu keluar dari sandera politik partai pengusung dan penentangnya. Presiden harus mampu menjelmakan dirinya sebagai presiden pilihan rakyat, bukan presiden yang merepresentasikan kepentingan partai politik. Para ilmuwan politik sudah mengingatkan bahwa dalam sistem presidensial seorang presiden memiliki waktu pemerintahan yang tidak dapat disela (fixed term) dalam rentang waktu tertentu yang cukup lama. Sebab itu, kekuasaan presiden cukup powerful yang tak bisa diinterupsi maupun dijatuhkan oleh parlemen karena sikap politiknya yang berlawanan. ADI PRAYITNO Dosen Politik FISIP UIN Jakarta; Peneliti The Political Literacy Institute
  • 23. 23 Pelajaran dari Polemik Dwikewarganegaraan 26-08-2016 Sungguh sebuah tamparan hebat bagi pemerintah dan pelajaran yang berharga untuk seluruh rakyat Indonesia saat kita menghadapi persoalan status kewarganegaraan ganda mantan Menteri ESDM Arcandra Tahar yang hanya menjabat selama 20 hari. Masalah semakin bertambah ketika keberadaan kewarganegaraan ganda ini justru ditanggapi secara reaktif dengan usulan untuk mengubah UU Kewarganegaraan. Hal ini menunjukkan ada yang salah dengan pemetaan permasalahan yang terjadi dan solusi yang seharusnya diambil oleh para pemangku kekuasaan negara ini. Oleh karena itu, tidak salah apabila muncul dugaan bahwa tengah timbul upaya-upaya pengalihan isu demi melindungi kelalaian yang terjadi dalam hal penunjukan menteri. Jika benar bahwa usulan pengubahan UU Kewarganegaraan hanya untuk menjadi justifikasi bagi kesalahan yang ada, hal ini tidak baik bagi perkembangan hukum dan demokrasi di negara kita. Mengubah UU demi melindungi kesalahan penguasa bukanlah ciri pemimpin di sebuah negara hukum. Jika kita memegang teguh kedaulatan hukum, sekalipun langit runtuh, hukum harus tetap tegak (fiat justitia ruat caelum). Sesuai dengan UU Kewarganegaraan, Indonesia tidak menganut asas kewarganegaraan ganda, kecuali bagi anak yang lahir dari pernikahan campuran. Namun itu pun harus memilih salah satu kewarganegaraan kelak ketika yang bersangkutan telah berusia 18 tahun. Ketidaktahuan, ketidakprofesionalan, dan ketidakpatuhan terhadap hukum dan konstitusi merupakan akar dari munculnya persoalan ini. Masyarakat pun hingga kini masih bertanya- tanya, mengapa hal ini bisa terjadi di negara besar ini? Jika ini persoalan yang tidak sepatutnya dibesar-besarkan, mengapa kelalaian semacam ini seringkali terjadi pada penyelenggara negara saat ini? Sesuai dengan prinsip hukum Indonesia, semua orang harus dianggap tahu atas diterapkannya sebuah peraturan perundang-undangan (presumptio iures de iure) dan ketidaktahuan akan sebuah peraturan perundang-undangan bukanlah alasan untuk menjadi pelanggar undang- undang (ignorantia legis neminem excusat). Jadi seseorang tidak bisa mengelak dengan alasan tidak tahu ada suatu hukum yang mengatur hal tertentu di dalam sebuah perundang- undangan. Apalagi jika yang mengelak dengan alasan itu adalah pemerintah.
  • 24. 24 Status kewarganegaraan tidak sekadar berkutat soal paspor maupun soal administratif perjalanan lintas negara. Soal kewarganegaraan menyangkut juga masalah janji setia (oath of allegiance) kepada negara, baik kepada Republik Indonesia atau kepada negara lain. Janji setia ini memengaruhi tindak-tanduk yang bersangkutan, apalagi jika ditunjuk menduduki jabatan publik yang bertugas untuk mengambil kebijakan strategis yang memengaruhi hajat hidup orang banyak dan kelangsungan republik ini. Status kewarganegaraan ganda tentunya menimbulkan pertanyaan apakah yang bersangkutan memiliki loyalitas ganda juga? Untuk mendapatkan status kewarganegaraan sebuah negara bukanlah hal yang mudah dan main-main. Terlebih lagi untuk melepaskan status kewarganegaraan tersebut, tidak cukup hanya dengan mengembalikan paspor dari negara yang bersangkutan, tetapi juga ada tahapan-tahapan khusus yang perlu dilakukan. Dalam konteks Indonesia misalnya, menurut Pasal 23 UU Nomor 12/2006 Tentang Kewarganegaraan, memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauan sendiri atau mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari negara lain atas namanya merupakan salah satu alasan seseorang kehilangan statusnya sebagai WNI. Taat Asas dan Hukum Sebenarnya tidak masalah menunjuk siapa pun sosok yang diinginkan Presiden untuk menduduki jabatan menteri asal semua persyaratan yang ada dipenuhi sesuai dengan hukum yang berlaku. Pemerintah harus taat pada asas-asas umum pemerintahan yang baik dan juga kepada hukum serta konstitusi sebelum mengambil kebijakan. Kalau memang sosok Arcandra Tahar benar-benar diperlukan oleh negara untuk mengabdi sebagai menteri, langkah-langkah naturalisasi untuk mendapatkan status sebagai WNI perlu ditempuh. Atau jika benar memiliki kewarganegaraan ganda, yang bersangkutan bisa melepaskan kewarganegaraan asingnya sesuai dengan hukum yang berlaku pula. Namun tentu rahasia negara menjadi taruhannya di sini. Apalagi yang bersangkutan sebelumnya pernah berkewarganegaraan asing. Presiden perlu berhati-hati dalam mengambil keputusan mengingat ketahanan dan kedaulatan energi bangsa terkait erat dengan hajat hidup rakyat dan kedaulatan Indonesia sebagai bangsa merdeka. Apa pun alasannya, hal ini perlu menjadi perhatian bersama. Janganlah menjadi bangsa yang tidak teliti dan tidak berpikir panjang. Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) sesuai dengan UUD 1945 sehingga apa pun langkah konkret yang dilakukan pemerintah harus dengan pertimbangan hukum yang matang. Hukum jangan hanya dipandang sebagai penghias jalannya pembangunan dan kerja pemerintah. Konsekuensi ke depannya dapat lebih fatal apabila pemerintah kerap abai terhadap hukum yang ada.
  • 25. 25 Progresivitas Kabinet Kerja pemerintahan Jokowi-JK saat ini merupakan kado yang indah bagi rakyat. Apalagi dengan kerja nyata yang dihasilkan pemerintahan saat ini seolah ingin mempertegas bahwa pemerintah telah berdaya upaya semaksimal mungkin demi kemakmuran bangsa dan kemajuan negara. Namun demi menuju pemerintahan yang lebih baik ke depan tersebut, tentunya rakyat juga mengharapkan profesionalitas dan kualitas yang mumpuni pula dari para penyelenggara negara. Oleh karena itu, ada baiknya apabila Presiden memetik pelajaran penting dari kasus ini dan membangun tim hukum yang solid dan berintegritas untuk dapat memberikan masukan yang sehat kepada Presiden. Jangan sampai agenda-agenda penting kebangsaan menjadi terhambat karena Presiden tidak didukung tim hukum yang solid. Tanpa hukum yang kuat, mustahil pembangunan dan agenda kerja yang dicanangkan Presiden dapat terlaksana dengan mulus. FRANS H WINARTA Mantan Anggota Governing Board Komisi Hukum Nasional
  • 26. 26 Indonesia Surga Kejahatan Cyber 26-08-2016 Indonesia selama ini dianggap sebagai surga kejahatan cyber. Betapa tidak, pada 2015 setidaknya 6.000 lebih warga asing dideportasi akibat pelanggaran perizinan dan tindak kejahatan, sebagian di antaranya pelaku kejahatan cyber. Belum lama ini Kepolisian RI kembali menangkap 31 orang asal Cina yang ditengarai melakukan tindak kejahatan cyber. Modusnya mereka menargetkan korban warga negara di tempat asalnya. Para pelaku ini melakukan pendekatan dan menjebak korban untuk melakukan pencucian uang. Lalu di tengah jalan para pelaku mengaku sebagai polisi dan memeras para korbannya. Ada lagi modus penipuan kartu kredit. Para pelaku ini mendapatkan suplai informasi dari tim yang ada di negara asalnya. Dengan data yang ada, mereka melakukan penipuan dengan menyamar sebagai pihak bank. Akhirnya banyak yang tertipu dan memberikan tiga nomor CVV (card verification value) yang ada pada kartu kredit. Ada lagi di Bali sekelompok warga negara Eropa Timur melakukan pencurian rekening dan kartu kredit nasabah asal Eropa dan Amerika. Lalu pertanyaannya, mengapa untuk menipu sesama warga negara sendiri harus jauh-jauh dilakukan di Indonesia? Untuk kasus warga asing asal Eropa Timur yang melakukan pembobolan mesin ATM di Bali tahun lalu, bisa dipastikan mereka memanfaatkan kelemahan ATM yang ada di Tanah Air. Lebih dari 80% mesin ATM di Tanah Air ini masih menggunakan sistem operasi Windows XP yang Microsoft sendiri sebagai pembuatnya sudah menghentikan dukungan terhadap produk tersebut, termasuk dari segi keamanan. Kondisi itu jelas menjadi kesempatan yang bisa dimanfaatkan. Bahkan para pelaku rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk pergi ke Indonesia, belum lagi membeli alat scammer (peranti keras yang ditanam di mulut ATM untuk menyedot data elektronik nasabah) dan semacamnya. Mereka menilai melakukan pencurian data kartu nasabah lewat ATM di Indonesia jauh lebih mudah daripada harus melakukannya di negara mereka sendiri. Berbeda lagi dengan warga negara Cina dan Taiwan yang ditangkap pihak kepolisian. Rata- rata mereka dituduh melakukan tindak kejahatan penipuan online dengan modus memeras maupun menguras kartu kredit korban. Kejahatan itu dilakukan oleh kelompok terorganisasi. Ada yang bertugas mengumpulkan data calon korban di negara asal. Ada juga yang mengoordinasi para operator lapangan yang ditempatkan di Indonesia. Lalu kenapa tidak mereka lakukan kejahatan ini di Cina atau pun Taiwan? Jawabannya sama, karena
  • 27. 27 melakukannya di Indonesia jauh lebih mudah. Banyak faktor, dari mudahnya mendapatkan layanan komunikasi di Indonesia sampai pada banyaknya jumlah provider internet yang mencapai lebih dari 400 perusahaan.Ini membuat pengawasan dan peringatan dini menjadi sulit dilakukan. Coba bandingkan dengan Cina yang hanya ada dua provider internet, pengawasan yang dilakukan jadi lebih mudah. Para pelaku ini menyadari, di Indonesia mereka bisa mendapatkan layanan telepon dan internet dengan sangat mudah tanpa harus registrasi, kalaupun perlu registrasi, dengan identitas fiktif pun bisa. Setidaknya ada tiga hal yang perlu dicatat, yaitu masalah imigrasi, lembaga badan cyber, dan revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Untuk masalah imigrasi, memang menjadi sangat sulit. Karena para pelaku ini semuanya menggunakan visa wisata ke Indonesia. Nyatanya mereka malah melakukan tindak kejahatan online. Tercatat tahun 2015 ada lebih dari 600 kasus kejahatan yang dilakukan warga negara asing di Indonesia. Sampai pertengahan 2016, Direktorat Jenderal Imigrasi mencatat sudah 100 lebih kasus yang masuk. Sebagian besar dengan modus serupa, visa wisata dimanfaatkan untuk kegiatan kejahatan cyber yang menyasar korban negara asalnya. Lalu mengenai Badan Cyber Nasional (BCN). Keberadaannya sangat dibutuhkan. Dalam kasus ini bila BCN nanti sudah ada, mereka bisa membantu pihak kepolisian lewat divisi cyber crime dan Imigrasi. Supervisi dan koordinasi dari BCN ini sebenarnya sangat penting dan diperlukan semua instansi nantinya. Karena saat ini dan ke depan masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah semakin besar ketergantungannya pada dunia digital. Mau tidak mau kemampuan dan kewaspadaan pemerintah di wilayah cyber harus ditingkatkan. Awareness setiap aparat, pelaku usaha, dan masyarakat harus ada. BCN mendorong setiap kebijakan instansi, termasuk Imigrasi dan Kominfo, untuk memperhatikan aspek keamanan cyber. Misalnya tentang penjualan kartu perdana yang sampai saat ini masih bebas dan menjadi pintu masuk penipuan lewat SMS maupun internet. Yang tidak kalah penting adalah UU ITE. Selama ini UU ITE cenderung terkenal dan dikenal masyarakat karena berhasil menjebloskan para netizen dan pemakai media sosial. Hal tersebut karena UU yang disahkan tahun 2008 tersebut memang jangkauannya masih ”sempit”. Padahal dengan era digital seperti sekarang, coverage cyber crime bertambah luas, satu di antaranya beririsan dengan pihak Imigrasi. Salah satu alasan para pelaku ini mengincar nasabah perbankan dan kartu kredit adalah karena kelemahan sistem perbankan, tidak hanya di Indonesia. Misalnya bagaimana data nasabah bisa berpindah tangan dengan berbagai modus. Bagaimana dengan di Indonesia? Tindak penipuan online seperti yang dilakukan WNA juga banyak dilakukan orang Indonesia yang menyasar sesama WNI. Lemahnya pengamanan sistem dan data para nasabah membuat pelaku kejahatan bisa mengeksploitasi
  • 28. 28 korban. Pembobolan lewat ATM, carding dan social engineering menjadikan korban semakin banyak dari waktu ke waktu. Menurut data dari Microsoft misalnya, selama 2015 kejahatan cyber di Tanah Air menyebabkan kerugian sebesar Rp33 miliar lebih. Angka ini sebenarnya masih bisa bertambah karena banyaknya kejadian yang tidak dilaporkan oleh nasabah. Enggannya nasabah melapor karena mereka sering disalahkan oleh perbankan, dianggap melakukan kelalaian. UU ITE maupun UU yang mengatur hak konsumen harus menjamin bahwa pihak perbankan wajib mengamankan sistem yang mereka miliki sehingga pihak nasabah tidak selalu disalahkan. Bila hal itu terwujud, rasanya pemerintah bisa memperbaiki dan menekan angka kejahatan cyber. Perlu dicatat, ada 169 negara yang bebas visa ke Indonesia. Artinya kemungkinan mereka melakukan kejahatan maupun menjadikan Indonesia sebagai markas kejahatan cyber semakin besar. Belum lagi bila WNA ini malah melakukan pengaderan kepada WNI di Tanah Air. Jadi pemerintah harus siap dan gesit menghadapi kemungkinan terburuk. PRATAMA PERSADHA Pegiat Keamanan Cyber dan Kriptografi; Chairman Communication and Information System Security Research Center
  • 29. 29 Politik Hukum Dwi Warga Negara 27-08-2016 Adalah salah pendapat mereka yang mengatakan bahwa lembaga legislatif yang membentuk UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah gagal membentuk UU yang baik dan pro terhadap kemajuan. Adalah salah mereka yang mengatakan bahwa pembentuk UU No. 12 Tahun 2006 telah gagal membaca dan memahami tren perkembangan dunia. Ini harus dijernihkan karena ketika mencuat kasus dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang harus lengser dari jabatan menteri yang baru didudukinya selama 20 hari, tiba-tiba banyak yang mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan itulah biang keroknya. Kata mereka pembentuk UU tidak paham pada tren dunia yang akan terus mengglobal. Mereka menuding pula bahwa pembentuk UU No. 12 Tahun 2006 berwawasan picik karena menetapkan politik hukum kewarganegaraan tunggal. Kata mereka pula, bangsa-bangsa di dunia sekarang ini sudah mengglobal, banyak yang bukan hanya memberlakukan sistem dwikewarganegaraan, tetapi lebih dari itu ada yang memberlakukan multikewarganegaraan. Kasus Arcandra dijadikan contoh betapa UU Kewarganegaraan kita telah menutup pintu bagi putra terbaik yang superpandai untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Arcandra yang, katanya, sangat jenius dan diperebutkan negara asing untuk mengamalkan ilmunya bagi kemajuan justru dihambat oleh politik hukum kewarganegaraan kita untuk mengabdi di tanah air sendiri. Pendapat mereka yang menilai pembentuk UU itu gagal memahami tren perkembangan dunia adalah salah. Sebab sebenarnya pembentuk UU Kewarganegaraan pada saat itu sudah mendiskusikan dengan sangat komprehensif tetek bengek tren perkembangan dunia itu. Saat itu saya adalah salah seorang anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan yang diketuai Slamet Effendi Yusuf. Yang masih saya ingat, selain saya ada anggota lain yang juga sangat aktif, yakni Murdaya Poo dan Lukman Hakim Saifuddin yang kini menteri agama. Adapun pihak pemerintah dipimpin langsung Menkumham saat itu, Hamid Awaluddin. Sebelum pada akhirnya menetapkan sistem kewarganegaraan tunggal, Pansus sudah mendiskusikan kemungkinan pemberlakuan dwikewarganegaraan maupun multikewarganegaraan. Namun, akhirnya, demi kedaulatan Indonesia yang seluruh sumber daya alamnya harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, ditetapkanlah berlakunya sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi pemberlakuan sistem dwikewarganegaraan secara terbatas. Apa batasannya? Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tua WNI
  • 30. 30 dengan warga negara asing serta bagi pasangan WNI yang melahirkan anak di negara-negara yang menganut sistem ius soli, bagi si anak diberi toleransi untuk memiliki dua kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Perdebatan sempat menukik ke soal alternatif antara prinsip kemanusiaan dan prinsip kebangsaan serta kerakyatan kita. Berdasar prinsip kemanusiaan, kita harus memperlakukan semua manusia di bumi untuk memperoleh kewarganegaraan, termasuk di Indonesia. Tapi berdasar paham kebangsaan dan kerakyatan yang juga sangat fundamental di dalam konstitusi kita, kita harus mengatur secara eksklusif dengan memprioritaskan semua kebijakan, baik kewarganegaraan maupun kepemimpinnegaraan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri. Politik hukum yang demikian dinilai lebih sesuai dengan tujuan kita mendirikan Indonesia merdeka dengan semangat nasionalismenya yang niscaya eksklusif. Jadi dalam hubungan antara asas kemanusiaan dan kebangsaan, kita memihak pada kepentingan bangsa kita sendiri tanpa harus terjebak ke chauvinism. Harus diketahui, UU Kewarganegaraan kita dilahirkan sebagai konsekuensi dari ketentuan UUD 1945 hasil amendemen yang sangat pro pada hak asasi manusia. Di dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan kita mengatur, demi kemanusiaan dan hak asasi manusia, kita harus memberi jaminan agar setiap anak yang lahir mempunyai kewarganegaraan. Pada saat yang sama diatur juga toleransi untuk menyetujui dwikewarganegaraan bagi anak yang karena hukum lahir dengan dwikewarganegaraan untuk pada saatnya nanti harus memilih salah satunya. Anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang berkewarganegaraan asing dengan sistem ius soli (kewarganegaraan diperoleh karena tempat kelahiran seperti Amerika Serikat) akan menjadi tidak berkewarganegaraan karena Indonesia menganut ius sanguinis (kewarganegaraan diperoleh sesuai dengan kewarganegaraan orang tuanya). Maka itu UU Kewarganegaraan Indonesia mengatur memberi kewarganegaraan otomatis bagi mereka. Sebaliknya, warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di negara asing yang menganut sistem ius soli, maka anaknya menjadi memiliki dua kewarganegaraan. Maka itu UU Kewarganegaraan kita mengizinkan anak tersebut mempunyai dwikewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Orang-orang asing pun diperbolehkan menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi. Begitu pun WNI yang kehilangan kewarganegaraan diperbolehkan mendapat status kewarganegaraannya lagi, tetapi juga harus melalui naturalisasi. Bahkan Presiden bisa menganugerahkan status kewarganegaraan bagi mereka yang (sudah) bukan WNI jika berjasa atau sangat diperlukan tenaganya di Indonesia. Tapi baik naturalisasi maupun karena pewarganegaraan sebagai anugerah dari Presiden tetap
  • 31. 31 tidak boleh menyebabkan seorang WNI mempunyai dwikewarganegaraan. Semangat politik hukum kewarganegaraan kita adalah menjamin kepemilikan status warga negara bagi setiap orang, tetapi secara eksklusif tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kita sendiri. Maka itu kita menganut sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi dwikewarganegaraan secara terbatas. Itulah terjemahan nasionalisme kita ke dalam politik hukum kewarganegaraan kita kala itu. Kalaulah nasionalisme yang seperti ini sekarang dianggap sudah tidak relevan dan perlu diperbaiki lagi, tentu saja hal itu bisa dilakukan, sebab hukum adalah kesepakatan alias resultante dari setiap perkembangan situasi dan kondisi. Tapi jangan menuding bahwa pembentuk UU yang dulu telah gagal memahami situasi tentang tren globalisasi. Pembentuk UU yang dulu telah mendiskusikan dan paham tentang itu tetapi itulah resultante yang dicapai pada saat itu dalam menerjemahkan nasionalisme kita. Kalau mau dibuat resultante baru, ya, boleh saja. MOH MAHFUD MD Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN- HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
  • 32. 32 Diskon Hukuman bagi Koruptor 27-08-2016 Polemik Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan terus bergulir. Kementerian Hukum dan HAM bersikeras melonggarkan syarat pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi. Upaya pelonggaran pemberian remisi dilakukan mengingat ada persoalan over crowded (kelebihan kapasitas) di lembaga pemasyarakatan (lapas). Jika mengacu pada data yang tersaji dalam Sistem Database Pemasyarakatan, dapat dilihat bahwa per Juli 2016 total tahanan dan narapidana di lapas berjumlah 198.815 orang. Jumlah ini melebihi kapasitas normalnya yang hanya mampu menampung 118.969 orang. Dengan jumlah itu, persentase over crowded lapas telah mencapai angka 167%. Pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi merupakan isu yang paling krusial dalam pembahasan RPP. RPP mencoba mengubah arah kebijakan pemerintah yang semula memperketat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa menjadi kebijakan yang memperlonggar pemberian remisi. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012, pemberian remisi bagi narapidana korupsi, narkoba, terorisme, dan kejahatan terhadap keamanan negara tidak dihilangkan, melainkan diperketat. Ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi narapidana guna mendapatkan diskon hukuman. Syarat tersebut di antaranya, yang bersangkutan haruslah merupakan justice collaborator atau pelaku yang bekerja sama, membayar denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan, serta telah mengikuti program deradikalisasi bagi narapidana kasus terorisme. Penting untuk diingat bahwa syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 99/2012 merupakan bagian kebijakan pemerintah yang berupaya memperberat hukuman bagi pelaku kejahatan luar biasa khususnya kasus korupsi. Hal ini senada dengan harapan publik yang menginginkan ada hukuman yang berat bagi pelaku korupsi. Namun, seiring perkembangannya, revisi PP Nomor 99/2012 mencoba mengubah arah kebijakan pemerintah yang dahulu memperberat hukuman menjadi memberikan keringanan bagi narapidana kasus korupsi. Hilangnya Justice Collaborator Keringanan bagi narapidana korupsi terlihat dari upaya menghilangkan status justice collaborator (JC) sebagai syarat pemberian remisi yang diatur dalam PP Nomor 99/2012.
  • 33. 33 Dengan begitu, narapidana kasus korupsi dapat dengan mudah mendapatkan remisi dengan syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa hukuman. Penghilangan syarat JC sebagai bagian dari kebijakan pengurangan kapasitas lapas merupakan usulan yang tak memiliki basis argumentasi yang jelas. Keterkaitan antara remisi dan over crowded pada prinsipnya tidak linear. Namun, pemerintah cenderung mengaitkan penghapusan kebijakan pengetatan remisi dengan problem kepadatan lapas. Secara sederhana, pemberian remisi yang dipermudah akan memberikan dampak positif dengan berkurangnya jumlah narapidana di lapas. Pada prinsipnya penanganan kasus korupsi haruslah dilakukan secara paripurna. Semua aktor yang terlibat haruslah diproses secara hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, pada praktiknya, upaya membongkar kasus korupsi yang bersifat kompleks dan rumit dalam pembuktian seringkali terganjal banyak hambatan. Karena itu, keberadaan JC menjadi penting sebagai salah satu pintu masuk membongkar kasus korupsi dan menjerat seluruh aktor yang terlibat. Selain itu, dalam konteks pemidanaan, kejahatan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa juga harus dihukum dengan hukuman yang berat. Remisi yang notabene adalah upaya mengurangi hukuman narapidana jelas tidak sejalan dengan semangat pemberatan pidana bagi pelaku korupsi. Karena itu, pengetatan remisi bagi narapidana korupsi menjadi sesuatu yang logis dilakukan. Pengetatan tersebut dikecualikan bagi narapidana yang mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kasus korupsi lebih luas. Salah Sasaran Konstruksi kebijakan pelonggaran remisi bagi narapidana kasus korupsi yang coba dibangun dalam RPP bisa dinilai sebagai kebijakan salah sasaran. Hal ini dapat dinilai dari dua alasan utama. Pertama, Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam hasil pemantauan vonis pengadilan tipikor 2016 menunjukkan ada tren penjatuhan hukuman ringan bagi narapidana korupsi. Setidaknya terdapat 1.708 terdakwa yang diadili oleh pengadilan tipikor sejak Januari 2013 hingga Juli 2016. Dari total itu, ada 1.281 terdakwa yang dihukum ringan (1 tahun-4 tahun) dan 632 di antaranya hanya dihukum 12 bulan hingga 18 bulan penjara. Secara sederhana hukuman rendah bagi narapidana kasus korupsi tidak signifikan menciptakan gap yang tinggi antara masuknya narapidana korupsi dan jumlah narapidana korupsi yang keluar lapas setelah menyelesaikan masa hukuman. Artinya, jumlah narapidana yang masuk dan keluar masih dianggap berimbang sehingga tidak secara signifikan menyumbang angka over crowded lapas. Kedua, jumlah narapidana korupsi hanya berkisar 2-3% dari total narapidana di seluruh Indonesia. Menurut data pemasyarakatan hingga Juli 2016, total narapidana kasus korupsi hanya berjumlah 3.632 narapidana. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan total jumlah narapidana kasus narkoba yang mencapai angka 62.807 orang. Jumlah ini menjadi
  • 34. 34 yang paling besar dibandingkan narapidana kejahatan lain. Karena itu, memberikan pelonggaran remisi pada kenyataannya tidak akan secara signifikan mengurangi persoalan kepadatan lapas. Pengetatan pemberian remisi dalam hal ini tidak menghapuskan hak mendapatkan pengurangan hukuman bagi narapidana korupsi. Pengetatan merupakan konsekuensi logis ada perbedaan karakter jenis kejahatan yang dilakukan narapidana, perbedaan sifat berbahayanya kejahatan yang dilakukan, dan akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dilakukan oleh masing-masing narapidana. Karena itu, rumusan pasal dalam revisi PP Nomor 99/2012 haruslah mengecualikan pelonggaran pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi. Selain jumlahnya yang tak signifikan dalam mengurangi persoalan over crowded lapas, keberadaan status JC masih diperlukan untuk membongkar kasus korupsi. Tanpa status JC sebagai syarat pemberian remisi, dikhawatirkan tak ada lagi pelaku yang mau bekerja sama dalam membongkar kasus korupsi dan menjerat aktor-aktor lain. ARADILA CAESAR IFMAINI IDRIS Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
  • 35. 35 Momentum Penataan Sistem Ketatanegaraan 29-08-2016 Undang-Undang Dasar (UUD) merupakan aturan dasar dan pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang memuat antara lain filosofi pembentukan negara, prinsip- prinsip apa yang dikembangkan oleh suatu negara, sistem ketatanegaraan, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, lembaga-lembaga negara, serta hak-hak rakyat. UUD bersifat futuristik dalam meletakkan dasar dan memberi arah kehidupan berbangsa dan bernegara yang dicita-citakan di masa depan. Oleh karena itu, ia harus mengikuti gerak dinamis kehidupan berbangsa sejalan dengan pencapaian visi (cita-cita) negara tersebut. Ke dalam, ia melakukan internalisasi nilai dan karakter kebangsaan yang khas dimiliki oleh setiap bangsa. Ke luar, ia beradaptasi dengan perubahan dan tuntutan lingkungan strategis global. Dengan demikian, konstitusi akan semakin kompatibel dan relevan dengan kebutuhan bangsa dan negara. Urgensi Amandemen Konstitusi Apa yang digariskan oleh UUD tersebut kemudian diuji apakah dapat berjalan efektif atau tidak dalam gerak dinamis kehidupan berbangsa dan bernegara. Apabila dalam perkembangan/pelaksanaannya UUD dinilai tidak berjalan efektif sebagaimana yang diharapkan, lahirlah tuntutan perubahan (amendemen). Hal ini menegaskan bahwa UUD tidak hadir dalam ruang hampa. Ia diharapkan dapat merespons kebutuhan kekinian dan kedisinian (now and present) sehingga UUD bersifat dinamis dan tidak tabu untuk mengalami perubahan. Tentu saja perubahan yang dimaksud haruslah sesuatu yang bersifat fundamental bagi bangsa dan negara, yang kemudian diharapkan menjadi milestone bagi arah kehidupan berbangsa dan bernegara berikutnya. Tuntutan perubahan terhadap UUD tidak dapat dilepaskan dari kematangan dan kemapanan suatu negara yang terentang dalam dimensi waktu terbentuknya suatu negara bangsa. Semakin lama suatu negara bangsa berdiri akan semakin mapan, sehingga semakin berkurang tuntutan perubahan terhadap UUD. Bisa kita tengok sejarah Amerika Serikat yang berdiri sejak tahun 1776. Konstitusi AS --yang merupakan konstitusi tertulis tertua dalam sejarah-- yang ditetapkan tahun 1787 telah 27 (dua puluh tujuh) kali mengalami perubahan (terakhir amendemen ke-27 pada 1992). Namun semakin ke sini, perubahan konstitusi AS semakin berkurang, seiring dengan kemapanan dan stabilitas sistem ketatanegaraan yang mereka bangun.
  • 36. 36 Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 telah mengalami perubahan sebanyak empat tahap dalam kurun 1999 hingga 2002, sejalan dengan desakan reformasi yang begitu kuat saat itu. Perubahan tersebut pada dasarnya dapat dipahami dari perspektif/pendekatan kesejarahan di mana para pendiri bangsa menyusun UUD 1945 dalam kondisi yang tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan Indonesia merdeka. Sebagai sistem konstitusi, UUD 1945 belumlah sempurna. Hal ini disadari sepenuhnya oleh para pendiri bangsa ketika merumuskannya. Dalam risalah seputar kegiatan perumusan UUD 1945, Bung Karno pernah menyatakan bahwa UUD tersebut bersifat sementara dan kilat. Kata Bung Karno, “Tuan-Tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar undang-undang dasar sementara, undang-undang dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat undang-undang dasar yang lebih lengkap dan sempurna.” (M. Yamin, 1959; Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati, 1989). Meski kemudian, karena dinamika perjuangan dan politik pasca-kemerdekaan, upaya penyempurnaan UUD tersebut tidak sempat terlaksana. Hingga saat reformasi bergulir kuat pada tahun 1997/98 dirasakan kebutuhan untuk melakukan perubahan UUD 1945, yang hasilnya berlaku hingga saat ini. Dewasa ini, setelah 15 tahun pelaksanaan UUD 1945, hasil perubahan tersebut ternyata masih dirasakan ada ketimpangan antara normatif UUD dengan praktek sistem ketatanegaraan, maka lahirlah kembali tuntutan perubahan UUD 1945. Hal itu tampak kuat, antara lain, dalam Keputusan MPR RI Nomor 4/MPR/2014, di mana MPR merekomendasikan penataan sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD 1945. Dalam perubahan itu, di antara fokusnya adalah penguatan MPR sebagai lembaga negara yang mempunyai kewenangan tertinggi dalam mengubah, menetapkan, dan menafsirkan UUD 1945; merumuskan kembali perencanaan pembangunan model GBHN; penataan kembali wewenang Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang terhadap UUD, serta penguatan kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan (legislatif). Arus tuntutan dan kebutuhan perubahan ini bisa dipahami (kembali) berdasarkan pendekatan kesejarahan, bahwa memang perubahan UUD 1945 di tahun 1999-2002 dilakukan secara reaktif dan terburu-buru akibat tekanan politik reformasi yang begitu kuat. Selain itu, perubahan UUD 1945 lebih mengakomodasi pelbagai kepentingan politik daripada kepentingan pembangunan sistem ketatanegaraan yang semakin mapan, sehingga secara substansi memiliki keterbatasan dan kelemahan yang tidak dapat dipakai sebagai rujukan konstitusional yang memadai. Momentum Konsensus Dalam pandangan penulis, saat ini adalah momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD, berdasarkan dua alasan. Pertama, Indonesia memasuki fase pelembagaan demokrasi yang semakin matang. Oleh
  • 37. 37 karena itu, pranata untuk mempercepat konsolidasi harus disiapkan secara baik melalui koreksi fondasional dalam sistem bernegara. Kedua, kebutuhan untuk mengefektifkan peran dan fungsi lembaga-lembaga negara dalam mempercepat proses pembangunan untuk kesejahteraan rakyat. Alasan yang kedua ini sesungguhnya merupakan kesinambungan proses dan arah dari alasan yang pertama. Demokrasi yang matang akan memberikan dampak multiplier pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Saat ini dikatakan sebagai momentum yang tepat, karena penulis melihat potensi untuk terciptanya konsensus di antara elemen bangsa sangat besar. Lepas dari polarisasi hasil Pilpres 2014, elite pemimpin bangsa baik struktural maupun kultural cepat melakukan konsolidasi untuk menatap masa depan Indonesia yang lebih baik. Hal ini tentu tidak lepas dari semangat dan jiwa kenegarawanan elite-elite politik yang kita harapkan tetap terjaga. Peluang konsensus ini penting dijaga, karena hanya dengan cara tersebut (konsensus) kita dapat menghasilkan kesepakatan dan kesepahaman atas perubahan mendasar terhadap pilar- pilar kehidupan berbangsa yang objektif vis-a-vis kepentingan politik jangka pendek (sesaat). Merespons urgensi tersebut, inisiasi untuk menyelenggarakan suatu “Konsensus Nasional” harus segera diambil oleh pemimpin negeri ini, yakni oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, bersama para pimpinan lembaga-lembaga negara. Konsensus nasional dalam pandangan penulis berupa forum bersama tokoh-tokoh formal dan informal guna mengkaji, mendalami, dan mendiseminasikan kebutuhan penataan sistem ketatanegaraan melalui perubahan UUD, sebelum akhirnya nanti diformalisasikan melalui lembaga-lembaga suprastruktural negara. Pelibatan tokoh-tokoh informal—tidak hanya tokoh-tokoh formal—ini penting karena senapas dengan jiwa dan semangat sila keempat Pancasila: “Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Kita ingin mencari “hikmat” dan “kebijaksanaan” dalam memutuskan hal penting dan mendasar bagi bangsa ke depan. Oleh karena itu, pelibatan dan partisipasi seluruh elemen bangsa menjadi conditio sine qua non. Apalagi, dalam praktik politik kebangsaan, kita menemukan tidak sedikit tokoh bangsa dan tokoh organisasi kemasyarakatan, baik di pusat maupun daerah, yang memiliki pemikiran negarawan, sekaligus tokoh yang memiliki basis “dukungan politik” yang tidak kalah dengan kekuatan partai-partai tertentu. Tapi lantaran tidak terakomodasi dalam mekanisme pemilihan langsung menjadi anggota DPR dan DPD, akhirnya tidak dapat terlibat dalam proses pembentukan keputusan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita harus menyadari bahwa kemajemukan bangsa kita tidak mungkin bisa direpresentasikan secara optimal hanya oleh wakil rakyat yang dipilih melalui mekanisme pemilu. Untuk itu, konsensus nasional yang melibatkan seluruh komponen (tokoh-tokoh) bangsa baik formal maupun informal menjadi sangat penting dan strategis. Bahkan ke depan, penulis
  • 38. 38 mengusulkan—sebagai bagian dari materi perubahan UUD—agar MPR dikembalikan kedudukannya sebagai lembaga perwakilan seluruh elemen bangsa. Dalam struktur MPR dapat diangkat unsur-unsur masyarakat yang tidak terakomodasi melalui mekanisme pemilu legislatif, yang dapat distrukturkan sebagai (fraksi) Utusan Golongan seperti pada era MPR sebelum amendemen dan/atau dicakup sebagai tambahan anggota DPD dari masing-masing provinsi. Dengan konstruksi tersebut, MPR diharapkan mampu menghadirkan konsensus nasional melalui permusyawaratan yang dilandasi/dijiwai “hikmat kebijaksanaan” yang mengakomodasi komponen-komponen bangsa baik dari unsur politik maupun sosial (non- politik). Dengan format demikian, haluan dan arah kebijakan yang dibuat MPR akan selalu mengendalikan proses pembuatan peraturan perundang-undangan oleh lembaga perwakilan (legislatif) sehingga lebih menjamin keberlakuannya secara sosiologis. Sejalan dengan “teori konsensus” dalam hukum, undang-undang harus mengafirmasi bagian- bagian dari organisasi sosial, nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan lembaga- lembaga (institusi) sebagai kesatuan yang erat secara keseluruhan. Terkait hal ini, Emile Durkheim (1893) menegaskan bahwa isi dan sifat umum undang-undang tumbuh dari semacam solidaritas yang mencirikan masyarakat tersebut. Akomodasi terhadap komponen- komponen bangsa juga dapat meminimalisir terbentuknya hukum (UU) yang hanya pro- kekuasaan. Sebagaimana diingatkan “teori konflik”, di mana kelompok dalam masyarakat saling berjuang untuk meraih kepentingannya dan undang-undang akan cenderung berpihak pada kekuatan yang “menguasai” negara untuk memuluskan kepentingan kelompoknya. Mudah-mudahan gagasan ini bisa ditangkap dengan baik esensinya sehingga bangsa ini semakin kuat dalam menghadirkan konsensus kebangsaan untuk kepentingan dan masa depan bangsa yang lebih baik. Wallahualam. PROF DR FAROUK MUHAMMAD Wakil Ketua DPD RI
  • 39. 39 Amandemen UUD 45 dan Referendum 29-08-2016 Popularitas referendum yang sedang meningkat, merupakan hal yang wajar untuk dilaksanakan. Masih lekang dalam ingatan kita bagaimana fenomena “Brexit” terjadi beberapa waktu lalu. Hasil referendum di Inggris yang dilaksanakan pada 23 Juni 2016 menyatakan 52% masyarakat Inggris setuju untuk keluar dari Uni Eropa. Hanya 48% yang setuju agar Inggris Raya tetap dalam Uni Eropa. Thailand juga baru saja selesai mengadakan referendum untuk menentukan apakah rakyat setuju dengan konstitusi baru. Hasilnya, 61,5% penduduk setuju dengan konstitusi baru yang disusun oleh junta militer. Pihak yang gagal dalam referendum Thailand itu menyatakan kemenangan militer dan kegagalan demokrasi di Thailand. Indonesia belum pernah melaksanakan referendum secara nasional. Referendum pernah dilaksanakan secara parsial, yaitu di Papua pada 1969 dan Timor Timur pada 1999 di masa pemerintahan BJ Habibie. Pasal 1 Tap MPR IV/MPR/1983 secara tegas menyatakan bahwa MPR tidak diperkenankan untuk melakukan perubahan terhadap UUD. Apabila MPR hendak melakukan mengubah UUD 1945, berdasarkan Pasal 37 UUD 1945, MPR terlebih dahulu harus meminta pendapat rakyat melalui referendum. Oleh karena itulah dibentuk UU Nomor 5/1985, pun referendum secara nasional tidak pernah terjadi. Namun, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 telah dicabut dengan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998 yang menegaskan kembali bahwa perubahan UUD 1945 sepenuhnya menjadi wewenang MPR. Dengan demikian, perubahan UUD 1945 yang dilakukan secara bertahap pada 1999-2002 sepenuhnya dilakukan oleh MPR. Perubahan makna konstitusi tidaklah harus diikuti amendemen UUD. Itu dapat dilakukan melalui penafsiran konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi atau melalui konvensi ketatanegaraan. Apabila perubahan makna konstitusi ingin dilakukan dengan perubahan pasal (constitutional amendment), kita dapat menemukan berbagai cara untuk melakukan amendemen yang dilakukan di negara-negara lain. Salah satunya adalah menentukan signifikansi pasal yang ingin diubah. Apabila perubahan yang dilakukan tidak signifikan, perubahan dapat dilakukan dengan cara yang mudah. Namun jika signifikan dibutuhkan mekanisme yang lebih ketat untuk dapat meloloskan perubahan tersebut.
  • 40. 40 UUD 1945 tidak mengatur perbedaan mekanisme berdasarkan signifikansi apabila perubahan UUD ingin dilaksanakan. Apabila MPR ingin melakukan perubahan terhadap pasal-pasal yang ada, UUD 1945 telah mengatur mekanisme proseduralnya (Pasal 37). Semua hal dapat diubah, baik menambah maupun mengurangi Pasal dalam UUD 1945—baik mengurangi hak atau pun menambah kewajiban warga negara dan penguatan Dewan Perwakilan Daerah. Hanya satu hal yang tidak boleh dilakukan perubahan oleh MPR (eternity clause), yaitu bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 37 ayat 5). Usaha untuk melakukan perubahan UUD 1945 sudah dimulai. MPR telah menyelesaikan kajian Tim Amendemen UUD 1945 yang diserahkan oleh Ketua Lembaga Pengkajian MPR (26 Juli 2016). Ketua MPR menegaskan, pembahasan amendemen UUD 1945 memiliki satu fokus pembahasan, yakni haluan negara. Sidang Paripurna MPR dengan agenda amendemen kelima konstitusi rencananya digelar pada 2017. Berbagai opini telah disampaikan bahwa perubahan yang diusulkan oleh MPR tidak sekadar menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), tetapi juga menghidupkan konsekuensi-konsekuensinya. Misalnya mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melemahkan posisi Mahkamah Konstitusi, dan menghilangkan independensi presiden dan wakil presiden--karena presiden dan wakil presiden harus melaksanakan haluan negara sesuai arahan MPR. Perubahan yang ingin dilaksanakan oleh MPR merupakan sesuatu yang sangat signifikan. Perbedaan mekanisme terhadap perubahan pasal-pasal yang penting dan signifikan harus dicermati secara berbeda; salah satunya adalah usulan MPR tersebut. UUD 1945 tidak memiliki apa yang disebut dengan constitutional escalator. Constitutional escalator adalah konsep yang mengusung bahwa semakin penting atau signifikan suatu konsep dalam konstitusi, maka semakin rumit proses amendemen yang dibutuhkan. Constitutional escalator tidaklah sekadar menjadi pelindung untuk menjamin prinsip-prinsip konstitusi yang ada, tetapi juga melindungi perspektif pemilih (constituent power). Selain itu, constitutional escalator juga menjamin legitimasi dari proses amendemen (Yaniv Roznai, 2016). Perbedaan proses amendemen merupakan alat untuk berusaha mereplika momen- momen konstitusional (constitutional moments) saat pembentukan awalnya. Di sinilah peran warga negara sebagai pemilik kekuasaan mutlak dalam sebuah negara (constitutent power) dibutuhkan untuk menjamin narasi dan desain konstitusi. Setiap warga negara bertanggung jawab terhadap perubahan konstitusi yang mempengaruhi kehidupan mereka. Binding power of amendment is not only depends to procedural but also to constitutional legitimacy. Sering kali kita lebih fokus pada memenuhi syarat formal amendemen dan melupakan esensi kenapa kita bernegara. Sebuah tujuan dari mekanisme formal yang ada, baik itu referendum maupun melalui MPR, bertujuan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang “awakening“/sadar/awas terhadap peran mereka sebagai “constitution author”. Mereka ada untuk menciptakan “constitutional
  • 41. 41 moment”. Rakyat sebagai pemilik “constituent power” layak untuk didengar dan referendum merupakan cara terbaik untuk mengetahui kehendak rakyat. Perubahan konstitusi melalui MPR layak dipertanyakan; apakah perubahan yang ingin dilakukan berdasarkan kehendak rakyat atau “motivasi politik” dari partai politik yang ada di MPR. *** Meskipun merupakan cara terbaik untuk mengetahui kehendak rakyat, referendum sendiri tidaklah bebas kritik. Kritik pertama menyatakan bahwa, secara definisi, masyarakat dapat termanipulasi oleh para elite yang mengurus (mengorganisasi) pelaksanaan referendum. Sementara itu, kritik kedua, secara desain, referendum memiliki kecenderungan hanya untuk mengumpulkan pendapat dari opini yang telah terbangun sebelumnya dan bukan untuk mendorong sebuah musyawarah mufakat yang membawa arti (Stephen Tierney, 2016). Pelaksanaan referendum harus dilakukan pada saat negara harus memutuskan isu-isu terpenting. Dengan adanya referendum, kita sebagai warga negara merasa adanya kepemilikan terhadap konstitusi yang diubah (diamendemen). Referendum juga memberikan keseimbangan antara prinsip perwakilan dan pengecualian dari demokrasi yang dilakukan secara pemilihan langsung. Indonesia tidak pernah melakukan referendum secara nasional. Apabila MPR ingin menjadi lembaga tertinggi kembali, rakyat harus dapat dilibatkan agar mereka tahu bahwa lembaga yang mereka bentuk itu memiliki legitimasi dan bukan motivasi politik yang terselubung. FRITZ SIREGAR Pengajar pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera
  • 42. 42 Kurdi & Langkah Turki 31-08-2016 Selepas usaha kudeta yang gagal, Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan melakukan gerakan zigzag sehingga membingungkan para pemimpin negara, apalagi para pengamat hubungan internasional. Timbul kesan bahwa Turki ingin memperkuat posisinya sebagai satu kunci penting dalam penyelesaian konflik di Suriah. Selama ini Turki dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Eropa dan Amerika Serikat (AS) dalam konflik di Suriah dan dengan sendirinya menjadi musuh dari Rusia dan Iran. Pasca-kudeta yang gagal, Turki seperti baru bangun dari mimpi dan menyadari siapa kawan dan siapa lawan, terutama terkait dengan kepentingan dalam negerinya. Saya tidak mencoba meramalkan langkah apa yang akan dilakukan oleh Turki karena keterbatasan data dan informasi. Namun saya merangkum berbagai analisis yang berkembang di mana kemungkinan perdamaian di Suriah mungkin dapat segera terwujud. Syaratnya semua pihak yang bertikai memiliki satu pandangan untuk membatasi menguatnya dan meluasnya kekuasaan Kurdi baik di wilayah Suriah atau pun di wilayah yang disengketakan di dalam Turki. Titik balik penyelesaian konflik di Suriah dapat disebut terjadi pasca-kudeta yang gagal. Sebelum kudeta, pihak-pihak yang membicarakan Suriah berkutat pada tuntutan agar Bashar al-Assad turun. Tapi pada saat yang sama ada pesan yang bersayap (mixed signals). Misalnya Perdana Menteri Turki Binali Yildirim pada tanggal 13 Juli mengatakan untuk menjamin keberhasilan perlawanan terhadap terorisme, perlu ada stabilitas di Suriah dan Irak. Beliau mengatakan Turki telah menormalisasi hubungan dengan Israel dan Rusia dan yakin juga untuk menormalisasi hubungan dengan Suriah. Hal ini diperkuat dengan kutipan pernyataan Duta Besar Turki untuk Rusia yang mengatakan bahwa Turki menginginkan kepemimpinan yang ada di Suriah saat ini mengambil peran dalam proses negosiasi. Tambahan lagi, Presiden Erdogan juga pernah menyampaikan maaf kepada Rusia tentang peristiwa penembakan pesawat pengebom Russian Su-24 di wilayah Suriah yang terjadi di bulan November 2015. Jadi bila pasca-kudeta ini ada arah keinginan Turki untuk mengakui kepemimpinan Bashar al-Assad, setidaknya dalam masa-masa transisi Suriah, kita sebenarnya tidak perlu terlalu kaget. Kepemimpinan Bashar al-Assad adalah satu pokok negosiasi yang selalu menghambat dialog. Rusia, Iran, dan sekutunya adalah pihak yang keras menolak dipinggirkannya kepemimpinan Bashar sekeras posisi Turki, Eropa, AS, dan kaum oposisi yang menginginkan
  • 43. 43 Bashar dicoret dalam proses transisi perdamaian. Selama empat tahun, proses perdamaian selalu terhenti di pokok masalah tersebut. Kompromi atas posisi Bashar di mana tiap pihak melunak bisa menjadi satu kemungkinan penyelesaian pasca-kudeta di Turki. Hal ini dapat terjadi karena tingkat kepercayaan Turki kepada Rusia dan Iran menguat seiring dengan menurunnya rasa hormat terhadap Eropa dan AS yang baru mengutuk percobaan kudeta setelah berhasil ditumpas. Kontras dengan Presiden Iran Hassan Rouhani yang langsung menghubungi Presiden Erdogan untuk memberikan dukungan segera setelah diketahui ada kudeta (Middle East Institute , 2016). Sementara itu Rusia disebut oleh Iranian Far News Agency memiliki peran penting dalam menginformasikan kepada intelijen Turki tentang adanya percobaan kudeta beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi. Informasi itu yang membuat pihak keamanan Turki dapat bertindak antisipatif dan menyelamatkan Presiden Erdogan dari pembunuhan (The Moscow Times, 2016). Sampai saat ini Presiden Erdogan tidak menyebut dengan jelas negara mana dan siapa yang merencanakan kudeta tersebut. Publik hanya menduga bahwa negara-negara yang terlibat adalah negara-negara Barat. Pertanyaannya kemudian, apa kepentingan Barat untuk terlibat dalam percobaan kudeta tersebut? Salah satu dugaan adalah karena Barat melihat Turki mendekat ke Rusia sehingga pihak Barat memprovokasi faksi dalam tubuh militer Turki untuk bergerak, dengan janji akan dilindungi. Sementara analisis lain mengatakan bahwa Turki mendekat ke Rusia karena Barat melakukan aliansi dengan Angkatan Bersenjata Kurdi dalam memberangus ISIS. Alasan Kurdi dibantu karena para sekutu Barat di Timur Tengah termasuk Turki dianggap melindungi dan melakukan pembiaran terhadap ISIS. Tidak jelas siapa yang lebih dahulu memprovokasi, apakah Turki atau Barat, tetapi yang pasti saat ini etnik Kurdi yang telah puluhan tahun menuntut kemerdekaan dari Turki semakin luas pengaruhnya. Etnik Kurdi adalah sebuah bangsa tanpa negara dengan penduduknya sekitar 30 juta-35 juta orang yang tersebar mulai dari Irak, Iran, Turki, hingga Suriah. Mereka hidup terpencar- pencar dan menjadi minoritas di negara-negara Timur Tengah. Semenjak lengsernya Saddam Husein dan transisi politik di Irak, etnis Kurdi memperoleh pengakuan dengan berdirinya Pemerintahan Otonom Kurdi di Irak Utara. Walaupun masih dalam kekuasaan Pemerintahan Federal Irak, bangsa Kurdi dapat menikmati kebebasan karena memiliki pemerintahan dan kekuatan militer sendiri. Kebebasan itu pun tidak lama dirasakan ketika kekuatan Al-Qaeda dan ISIS mulai berkembang sehingga menarik mereka dalam perang dengan ISIS. Mereka juga membantu melindungi kota-kota yang dihuni oleh etnik Kurdi dari serangan ISIS. The Syrian Kurdish Democratic Union Party dan beberapa kelompok Kurdi lain kemudian mendeklarasikan Federasi Negara Utara di Suriah Utara sebagai masa depan negara bangsa Kurdi. Mereka berpikir tidak ada negara lain yang dapat melindungi mereka dari penindasan bangsa lain kecuali mereka sendiri. Dengan demikian, melalui pertempuran dengan ISIS, bangsa Kurdi semakin terkonsolidasi
  • 44. 44 dan berencana membangun negara mereka sendiri. Deklarasi itu membuat bangsa Kurdi jadi lebih mengancam dan mengkhawatirkan dibandingkan dengan ISIS. Turki dan negara-negara Timur Tengah lain mengetahui seberapa besar dan kuatnya ISIS. Dan mereka tahu bahwa ISIS tidak akan membesar apabila tidak dibantu atau minimal dibiarkan mendapat bantuan melalui perbatasan Turki. Dibandingkan dengan ISIS, stamina perlawanan bangsa Kurdi cukup kuat dan telah berlangsung lama. Di tingkat internasional, bangsa Kurdi juga memperoleh pengakuan berbanding dengan ISIS yang tidak mendapatkannya. Ini terlihat dari penolakan Eropa dan AS untuk memasukkan organisasi yang berafiliasi dengan kekuatan bangsa Kurdi sebagai teroris. Kepentingan bersama untuk menghadang meluasnya kekuasaan Kurdi saat ini yang tampaknya menyatukan Turki, Suriah, Iran, dan Irak dengan bantuan dari Rusia. Rumor yang berkembang saat ini, terjadi perundingan rahasia antara Turki dan Suriah secara intensif untuk menegosiasikan kesepakatan damai dalam mengatasi krisis di Suriah. Turki dikabarkan akan setuju menutup ketat perbatasan yang selama ini menjadi jalur distribusi senjata kelompok-kelompok bersenjata yang menentang pemerintahan Bashar, termasuk ISIS, apabila Suriah juga membantu Turki menghadang kekuatan bangsa Kurdi. Demikian pula perjanjian bilateral dilakukan antara Turki dengan Iran dan Irak. Catatannya adalah bahwa ini baru potret dari suasana terkini di Turki dan sekitarnya. Masih perlu ditunggu perkembangan selanjutnya. DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
  • 45. 45 Keterangan Ahli Perkara Pidana 02-09-2016 Keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti perkara pidana adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Namun, keterangan ahli dapat diberikan saat pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dimuat dalam berita acara pemeriksaan dengan sumpah. Posisi keterangan ahli itulah yang belakangan ini jadi perhatian publik dalam persidangan ”kasus dugaan kopi beracun”, terutama keterangan ahli hukum pidana di depan sidang pengadilan. Ada yang tetap menoleransi kehadiran ahli hukum pidana, terlebih pada perkara korupsi. Ada juga yang menolaknya, terutama karena acap keterangan ahli hukum yang diminta penuntut umum atau pengacara terdakwa dari kalangan akademisi. Hal ini menandai kalau ada persoalan penting yang perlu disikapi. Apalagi ada asas hukum ”ius curia novit’’ yang bermakna hakim dianggap mengetahui hukum, sehingga tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukumnya. Asas tersebut dikonkretkan dalam Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) bahwa ”pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Dalam praktik, terutama perkara korupsi, beberapa kejaksaan tidak lagi meminta keterangan dari ahli hukum pidana sebagai alat bukti di sidang pengadilan. Sebut saja Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, pernah menyoal keterangan seorang ahli hukum pidana yang dihadirkan pengacara dalam perkara korupsi dana bantuan sosial (bansos) saat pemeriksaan pengadilan. Sikap itu patut dihargai sebagai konfirmasi bahwa keterangan ahli hukum pidana pada perkara pidana (korupsi) sebagai salah satu alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, tidak seharusnya dijadikan instrumen alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau membebaskannya. Jangan Ahli Hukum Ada dua makna penerapan asas ius curia novit. Pertama, hakim tidak menolak perkara yang diajukan kepadanya, tetapi harus menerimanya meskipun tidak jelas atau belum ada aturan hukumnya. Itulah sebabnya hakim diberi jalan melakukan ”penemuan hukum (rechtsvinding)” untuk mengisi kekosongan hukum atas perkara yang diperiksa dengan menggunakan metode interpretasi hukum dan konstruksi hukum. Di sini hakim dituntut untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
  • 46. 46 Kedua, lantaran hakim dianggap mengetahui hukum, atau tepatnya sebagai ”ahli hukum” sehingga tidak perlu menghadirkan ahli hukum pidana memberikan keterangan di depan sidang pengadilan sebagai alat bukti ”keterangan ahli”. Hakim, penuntut umum, dan pengacara yang mendampingi terdakwa dianggap sebagai ”ahli hukum”, sama dengan ahli hukum pidana dari kampus-kampus. Ini yang disebut dalam ilmu hukum sebagai ”teori fiksi” yang menganggap hakim, penuntut umum, dan pengacara sebagai ahli hukum. Apa yang disampaikan ahli hukum pidana di depan pengadilan pada hakikatnya juga dianggap sudah diketahui dan dipahami oleh ketiga penegak hukum itu. Keterangan seorang ahli pada dasarnya berisi pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan. Seharusnya ahli yang memberikan keterangan di depan sidang pengadilan perkara pidana, adalah ahli di luar keahlian ilmu hukum pidana. Misalnya untuk perkara pidana umum, antara lain ahli forensik, ahli psikologi, ahli digital, sesuai kebutuhan dengan perkara yang diperiksa. Untuk perkara korupsi, antara lain ahli perbankan, ahli keuangan, ahli bangunan, atau auditor di luar auditor yang membuat audit kerugian keuangan negara. Apabila seorang ahli hukum pidana ingin dilibatkan dalam perkara pidana maka tidak boleh diberikan dalam sidang pengadilan, tetapi pada tiga kesempatan. Pertama, saat dilakukan ”gelar perkara” atau ekspos pada tahap penyelidikan untuk menentukan apakah sudah ada bukti permulaan yang cukup sesuai fakta kasus dan pasal undang-undang yang akan diterapkan sudah terpenuhi, sehingga kasus itu bisa ditingkatkan ke penyidikan. Penyidik dapat menjadikan pendapat ahli hukum sebagai landasan teori yang dituangkan dalam resume atau kesimpulan penyidikan. Pendapat ahli hukum tidak perlu dibuatkan berita acara secara khusus, sebagaimana dilakukan pada ahli di luar ahli hukum yang diminta saat penyidikan. Kedua, penuntut umum dapat mengutip pendapat ahli hukum dalam ”surat dakwaan” dan dalam ”tuntutan pidana” sebagai landasan teori hukum yang berguna untuk menguatkan dakwaan dan tuntutan. Ketiga, begitu pula hakim, dapat menjadikan pendapat ahli hukum sebagai penguatan teori dalam ”pertimbangan hukum” putusan. Dari mana pendapat ahli hukum bisa diperoleh dan dikutip? Tentu saja pendapat itu diperoleh dari buku yang dibuatnya, tulisan atau komentar yang dimuat di media cetak. Memang pendapat ahli hukum yang dikutip itu tidak menjadi alat bukti agar dapat memenuhi alat bukti minimal penjatuhan putusan hakim, melainkan berfungsi sebagai ”doktrin” yang dalam ilmu hukum dapat menjadi sumber hukum. Sumber Hukum Salah satu sumber hukum materiil disebut ”doktrin”, yaitu pendapat atau ajaran para ahli hukum yang secara empiris mendapat pengakuan dari masyarakat. Selain digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dengan meminta pendapat ahli hukum, doktrin juga dapat digunakan hakim dalam pertimbangan hukumnya sebagai landasan teori untuk menguatkan amar putusan.