Paragraf tersebut membahas perspektif filosofis dari penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif didasarkan pada filsafat fenomenologi dan berfokus pada manusia sebagai subjek utama. Terdapat beberapa aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif seperti fenomenologi, interaksionisme simbolik, dan etnometodologi.
1. BAB II
PEMBAHASAN
A. Perspektif Filosofis Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang
menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis
penelitian ini berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-
1928) dan kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi.
Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia
sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber,
tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari sejumlah
pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada sejumlah
pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala manusia
pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti
Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa
aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang
merah yang mempertemuan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat
manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar
sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku.
Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif
berpandangan bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup
dengan merekam hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati
secara keseluruhan dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak
dapat dilepaskan atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang
melatarbelakanginya, serta tidak dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal
yang deterministik dan bebas konteks.
2. Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif,
lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini
ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah
pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat
intern dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya.
Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan.
Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan
keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya
berdasarkan teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah
satu kegiatan sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji
teori atau hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap
mengakui fakta empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori
yang ada sebagai bahan dasar untuk melakukan verifikasi.
Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih
penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen
pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti
alam proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.
Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif
menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation).
Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan
kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam
bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara
merubah data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan
kesimpulan yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan
secara bertahap dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--
dirumuskan suatu pernyataan teoritis.
Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas
pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar
penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut
3. metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih
proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-
pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan
diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan
tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu
obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu
pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin
menggabungkannya.
Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma
penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian
kualitatif. Dari segi peristilahan para akhli nampak menggunakan istilah atau penamaan
yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama, untuk itu guna menghindari
kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini, berikut akan dikemukakan
penamaan yang dipakai para akhli dalam penyebutan kedua istilah tersebut.
Sementara itu Noeng Muhadjir mengemukakan beberapa nama yang
dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded
research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik,
heuristik, hermeneutik, atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena
perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya,
istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan tokohnya
Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart
A. Schleigel dari Universitas California yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat
Latihan Penelitian Ilmu-ilmu soaial Banda Aceh pada tahun 1970-an), ethnometodologi
lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan ,
interaksi simbolik lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh
Blumer, Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya
memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.
4. Secara lebih rinci Patton mengemukakan-penamaan- macam-macam penelitian
kualitatif (Qualitative inquiry)
istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun
bila dikaji lebih jauh semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam
suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat
dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist
(penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang
memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya
baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun
kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan
baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan
penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan
kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih
metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan
memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan
penelitian yang telah ditetapkan.
Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak
sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai
landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan
pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian
kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik
(fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut,
berikut ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham tersebut.
a. Positivisme
Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari
pemikiran Auguste Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun
1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari
5. murid dan teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill (juga
seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian pemikiran-
pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya antara lain
Cours de Philosophie Positive (Kursus filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive
(Sistem politik positif).
Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh adalah tentang
tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan dengan alam semesta
yaitu : tingkatan Teologi, tingkatan Metafisik, dan tingkatan Positif.
Tingkatan Teologi (Etat Theologique). Pada tingkatan ini manusia belum bisa
memahami hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam semesta
merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat pasrah, dan
yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari berbagai
bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi yakni dari tahap
animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme.
Tingkatan Metafisik (Etat Metaphisique). Pada dasarnya tingkatan ini
merupakan suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa
diganti dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam.
Dalam tahapan ini manusia mulai menemukan keberanian dan merasa bahwa kekuatan
yang menimbulkan bencana dapat dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian
sebagai penolak bala/bencana.
Tingkatan Positif (Etat Positive). Pada tahapan ini manusia sudah menemukan
pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia
selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap kedua
manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka pada
tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya hukum-hukum alam,
dengan bekal itu manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini
mengindikasikan adanya pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang
6. diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, tahapan ini
merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih mengandalkan pada ilmu
pengetahuan.
Dengan memperhatikan tahapan-tahapan sepertti dikemukakan di atas nampak
bahwa istilah positivisme mengacu pada tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan
positif) dari pemikiran Comte. Tahapan positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti
dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang rendah dan primitif, oleh karena itu
filsafat Positivisme merupakan filsafat yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang
dapat diterima. Segala sesuatu yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai
arti, oleh karena itu yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui
(fakta/gejala) agar siap bertindak (savoir pour prevoir).
Manusia harus menyelidiki dan mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta
hubungan-hubungannya diantara gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa
yang akan terjadi, Comte menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-
konsep dan hukum-hukum yang bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui
karena benar-benar nyata bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.
b. Fenomenologi
Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia
lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa,
meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari
kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia,
sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara
tulisan-tulisan pentangnya adalah : Logische Untersuchungen (Penyeliddikan-
penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und
Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni
dan filsafat fenomenologi)
7. Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita
harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek
harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna
mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran
bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara
kesadaran dan alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-
obyek, tapi obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran.
Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya
kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran
timbul perlu diandaikan tiga hal yaitu : ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka
terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti
mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara
tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang
obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.
Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk
menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan
semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau yaitu: Reduksi pertama.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk
gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh
pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan
hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan.
Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan,
kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihaaaatkan dirinya
sendiri/dapat menjadi fenomin
B. Perbandingan tataran Filosofis
Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang dengan dukungan prngikut-
pengikutnya, yang dalam wacana metodologi penelitian telah mendorong lahirnya
8. paradigma penelitian kuantitatif (positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif
(fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali
mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma berbeda yang menurut
Lincoln dan Guba perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang
kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi,
kausalitas, dan masalah nilai.
Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas
merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami
secara bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya,
sedangkan dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh,
oleh karena itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk
yang terfragmentasi.
Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek
peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh
hasil yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek
tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut
aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai
obyektivitas konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas
tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat
oleh nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.
C. Perbandingan tataran Metodologis
Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya
dengan penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi
pemahaman yang tepat terhadap penelitian kualitatif, namun demikian bagi seorang
peneliti penguasaan dalam tingkatan operasional lebih diperlukan lagi agar dalam
pelaksanaan penelitian tidak terjadi kerancuan metodologis, dan penelitian benar-benar
9. dilaksanakan dalam suatu bingkai pendekatan yang jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Dalam tataran metodologis perbedaan landasan filosofis terefleksikan dalam
perbedaan metode penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan dalam metode
penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan dalam metode
penelitian kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara diametral,
meskipun belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya baik dalam bentuk
paralelisasi maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode kuantitatif dengan
kualitatif adalah sebagai berikut :
Metode Kuantitatif
1. Menggunakan hiopotesis yang ditentukan sejak awal penelitian
2. Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal
3. Reduksi data menjadi angka-angka
4. Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang diperoleh melalui instrumen penelitian
5. Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur dengan mengandalkan hitungan
statistik
6. Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci)
7. sampling random
8. Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal
9. Menggunakan desain khusus untuk mengontrol bias prosedur
10. Menyimpulkan hasil menggunakan statistik
10. 11. Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian untuk dianalisis
12. Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam mempelajari gejala yang kompleks
Metode Kualitatif
1. Hipotesis dikembangkan sejalan dengan penelitian/saat penelitian
2. Definisi sesuai konteks atau saat penelitian berlangsung
3. Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
4. Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau pernyataan
5. Lebih suka menganggap cukup dengan reliabilitas penyimpulan
6. Penilaian validitas melalui pengecekan silang atas sumber informasi
7. Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif
8. Sampling purposive
9. Menggunakan analisis logis dalam mengontrol variabel ekstern
10. Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias
11. Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata
12. Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam perspektif keseluruhan
13. Tidak merusak gejala-gejala yang terjadi secara alamiah /membiarkan keadaan
aslinya
11. D. Prinsip – Prinsip Metodologi Penelitian Berdasarkan Perspektif Interaksi
Simbolik
- Metodologi Penelitian Kualitatif
Metodologi merupakan suatu proses, prinsip dan prosedur yang digunakan untuk
mendekati permasalahan dan mencari jawaban. Metodologi juga berarti pendekatan umum
yang mengkaji topik penelitian. Metodologi dipengaruhi ataupun berdasarkan perspektif
teoritis yang merupakan suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan
peneliti memahami data dan menghubungkan data yangg rumit dengan peristiwa dan situasi
lain.
- Metodologi Interaksi Simbolik
Interaksionis simbolik berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam
suatu lingkungan yangg alamiah alih-alih lingkungan yang artifisial seperti eksperimen.
Varian-varianya mencakupi teori dan prosedur yang dikenal sebagai etnografi, fenomenologi,
etnometodologi, interaksionisme simbolik, psikologi lingkungan, analisis semiotik dan studi
kasus.
Lofland mengemukakan bahwa penelitian kualitatis ditandai dengan jenis-jenis pertanyaan
yangg di ajukan. 7 prinsip metodologi berdasarkan teori interaksi simbolik :
1. Simbol dan interaksi harus dipadukan sebelum penelitian tuntas
2. penelitian harus mengambil perspektif atau peran orang lain yanhg bertindak dan
memandang dunia dari sudut pandang subjek
3. Peneliti harus mengaitkan simbol dan defenisi subjek dengan hubungan sosial dan
kelompok-kelompok yangg memberikan konsepsi demikian
4. Setting prilaku dlaam interaksi tersebut dan pengamatan ilmiah harus dicatat
5. Metodologi penelitian harus mampu mencerminkan proses atau perubahan, jugaa
bentuk perilaku yangg statis.
12. 6. Pelaksanaan penelitian yangg baik dipandang sebagai suatu tindakan interaksi
simbolik.
7. Penggunaan konsep-konsep yang layak adalah pertama-tama mengarahkan dan
kemudian operasional; teori Ɣğ layak menjadi formal, bukan teori agung atau teori
menengaah dan proposisi yangg dibangun menjadi interaksional dan universal.
Interaksionisme simbolik merupakan suatu perspektif teoritis, namun Ĵยƍơ sekaligus
orientasi metodologis. Akan tetapi metodolodi yangg disarankan oleh kaun
interaksionis sebenarnya tidak ekslusif, namun mirip atau tumpang tindih dengan
metode penelitian yangg dilakukan para peneliti berpandangan fenomenologis
lainnya.
Meskipun perhatian interaksionisme simbolik pada aspek-aspek fenomenoligis
prilaku manusia mempunyai implikasi metodolosis. Penelitian kualitatif bertujuan
mempertahankan kualitas-kualitasnya, alih-alih perilaku manusia dan menganalisi
kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif. Seperti
yangg ditegaskan silverman, permasalahan yangg dihadapi peneliti kuantitatif adalah
bahwa mereka mengabaikan konstruksi sosial dan kultural dari variabel-variabel yangg
ingin mereka korelasi.
- Proses Induktif
Dalam penelitian kualitatif, peran bahasa dan makna-makna yang dianut subjek
penelitian, menjadi sangat penting. Cicourel mengatakan hipotesis Sapir-Whorf
menyarankan bahwa kita memandang bahasa pengukuran sebagai derivasi dari
konsepsi kita mengenai dunia fisik dan sifat system logis dan matematis. Jadi, sains dan
metode ilmiah sebagai alat untuk memandang dan memperoleh bahasa mengenai dunia
disekitar yang member dan menerima prinsip-prinsipnya.
Dalam penelitian kuantitatif, pengamatan berperan serta, wawancara
mendalam, dan analisis dokumen juga dikenal, tetapi di anggap tidak terlalu penting.
13. Sementara dalam kualitatif, ketiga metode tersebut bersifat fundamental dan sering
digunakan bersama-sama, seperti dalam sebuah studi kasus. Jelasnya, penelitian
kualitatif ini lebih bertujuan memperoleh pemahaman yang otentik mengenai
pemahaman orang-orang, sebagai mana dirasakan orang-orang bersangkutan. Oleh
karena itu, salah satu cirri penelitian kualitatif adalah tidak ada hipotesis yang spesifik
pada saat penelitian dimulai, hipotesis justru dibangun selama tahap-tahap penelitian,
setelah diuji atau dikonfrontasikan dengan data yang diperoleh peneliti selama
penelitian.
Sebagaimana umunya penelitian kualitatif, penelitian berdasarkan
perspektifinteraksionis simbolik bersifat induktif. Proses induktif itu disebut “induksi
analitik”. Cressey merumuskan langkah-langkah induksi analitik, sebagai berikut :
1. Suatu defenisi kasar fenomena yang harus dijelaskan dirumuskan
2. Penjelasan hipotesis fenomena tersebut dikembangkan
3. Suatu kasus diteliti dengan tujuan menentukan apakah hipotesis tersebut
sesuai dengan fakta yang diamati
4. Hipotesis harus dirumuskan ulang, jika tidak sesuai dengan fakta
5. Prosedur memeriksa kasus, dan menyingkirkan setiap kasus negative dengan
perumusan ulang.
Senada dengan itu, menurut Denzin, induksi analitik menghasilkan proposisi-
proposisi yang berusaha mencakup setiap kasus yang dianalisis. Salah satu cirri penting
induksi analitik adalah tekanannya pada kasus negative yang menyangkal proposisi yang
dibangun peneliti. Dengan kata lain, induksi analitik adalah suatu metode untuk menguji
suatu hipotesis dalam penelitian lapangan.
- Penelitian Naturalistik dan Etnografi
Dibandingkan dengan penelitian naturalistic dan etnografi, penelitian kualitatif
tidak hatrus dilaksanakan di habitat alamiah anggota budaya yang diteliti, dan
penelitiannya tidak selalu bersifat holistic, melainkan satu aspek budaya atau suatu segi
14. kehidupan kelompok. Seperti karya Clifford Shaw dengan bukunya The Jack-Roller, yang
menelaah seorang anak brandalan yang menyimpang, melalui metode sejarah
hidup.dengan kata lain, dalam penelitian kualitatif pemilihan sampel acak tidak mutlak,
malah sering tidak digunakan.
Jelas bahwa penelitian kulaitatif lebih luas daripada penelitian naturalistic atau
etnografi, meskipun sama-sama bersifat kualitatif. Semua penelitian itu bersifat
kualitatif, jika berdasarkan cirri-ciri berikut :
1. Memiliki minat teoritis pada proses interpretasi manusia
2. Memfokuskan perhatian pada studi tindakan manusia dan artefak yang
tersituasikan secara social
3. Menggunakan manusia sebagai instrument penelitian utama
4. Mengandalkan, terutam bentuk-bentuk naratif untuk mengkode data dan
menulis teks untuk disajikan kepada khalayak
Penelitian Naturalistik
Penelitian naturalistic mengasumsikan bahwa perilaku dan makna yang dianut
sekelompok manusia hanya dapat dipahami melalui analisis atas lingkungan alamiah.
Oleh karena itu, situasi yang alamiah, bukan situasi buatan seperti eksperimen atau
wawancara formal, harus menjadi sumber data.
Beberapa penulis mengidentifikasikan penelitian naturalistic dengan penelitian
fenomenologis. Penelitian naturalistic memasuki arena penelitian yang diminatinya
untuk menafsirkan fenomena yang ditemuinya, tidak memanipulasi atau
mengontrolnya, dan berusaha mencampurinya sedikit mungkin. Peneliti naturalistic
menekankan logics in action, yakni logika individu-individu yang diteliti , alih-alih logika
formal.
15. Penelitian naturalistic merujuk kepada tiga hal, yakni :
1. Penelitian naturalistic kadang-kadang disamakan dengan penelitian
eksploratori
2. Penelitian naturalistic kadang-kadang disamakan dengan penelitian lapangan
3. Penelitian naturalistic kadang-kadang dipandang sebagai sarana mempelajari
berbagai fenomena yang eksis karena didefenisikan sebagai riil
Lincolin dan Guba mengemukakan bahwa dalam pendekatan naturalistic,
peneliti seyogiyanya memanfaatkan dirinya sebagai instrument sebagai pengganti lebih
memadai bagi pendekatan lebih objektif. Penelitian naturalistic memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Realitas manusia tidak dapat dipisahkan dari konteksnya, tidak pula dapat
dipisahkan agar bagian-bagiannya dapat dipelajari.
2. Penggunaan pengetahuan tersembunyi adalah abstrack.
3. Hal yang dinegosiasikan adalah penting.
4. Penafsiran atas data bersifat ideografis atau berlaku khusus.
5. Temuan bersifat tentative.
Etnografi
Istilah etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan grapy (menguraikan).
Etnografi yang akarnya antropologi pada dasarnya adalah kegiatan peneliti untuk
memahami cara orang-orang berinteraksi atau bekerjasama melalui fenomena teramati
kehidupan sehari-hari. Jadi etnografi lazimnya bertujuan menguraikan suatu budaya
secara menyeluruh.
Menurut Frey et al., etnografi digunakan untuk meneliti perilaku manusia dalam
lingkungan spesifik alamiah. Etnografi sering dikaitakan dengan hidup secara intim dan
untuk waktu yang lama dengan suatu komunitas pribumi yang diteliti yang bahasanya
dikuasai peneliti.
16. Pendeknya, etnografer akan memanfaatkan metode apapun yang membantu
mereka mencapai tujuan etnografi yang baik.
- Pengamatan Berperan Serta
Joergensen mengemukakan bahwa metode pengamatan berperan serta
(pengamatan terlibat) dapat didefenisikan berdasarkan tujuh cirri berikut :
1. Minat khusus pada makna dan interaksi manusia berdasarkan perspektif
orang-orang dalam atau anggota-anggota situasi atau keadaan tertentu.
2. Fondasi penelitian dan metodenya adalah kedisinian dan kekinian kehidupan
sehari-hari.
3. Bentuk teori dan penteorian yang menekankan interpretasi dan pemahaman
eksistensi manusia.
4. Logika dan proses penelitian terbuka, luwes, oportunistik, dan menuntut
redefinisi apa yang problematic, berdasarkan fakta yang diperoleh dalam
situasi nyata eksistensi manusia.
5. Pendekatan dan rancangan yang mendalam, kualitatif dan studi kasus.
6. Penerapan peran partisipan yang menuntut hubungan langsung dengan
pribumi dilapangan.
7. Penggunaan pengamatan langsung bersama metode lainnya dalam
mengumpulkan informasi.
Becker et al. menyarankan bahwa pengamatan terlibat adalah pengamatan yang
dilakukan sambil sedikit banyaknya berperan serta dalam kehidupan orang yang kita
teliti. Meskipun metode berperan serta bisa dibedakan dengan wawancara mendalam
dan analisis dokumen, sering istilah pengamatan berperan serta mencakup kedua teknik
penelitian yang disebut belakangan.
Sebagaimana dikemukakan Denzin, kombinasi pengamatan dan wawancara
konsisten dengan metode logis interaksionisme simbolik yang memungkinkan peneliti
berupaya mengawinkan sifat-sifat tertutup tindakan social dengan sifat-sifatnya yang
terbuka dan dapat diamati. Jadi suatu gambaran yang komperhensif tentang subjek
17. diperoleh dan suatu pandangan mendalam juga dicapai dengan membandingkan apa
yang orang katakana dengan apa yang mereka lakukan ketika keadaan tertentu muncul.
Sebagai metode kualitatif yang inklusif atau menyeluruh pengamatan berperan
serta lazim digunakan dalam meneliti masyarakat primitive, subkultural menyimpang,
organisasi yang kompleks, pergerakan social, komunitas dan kelompok informal.
Pengamatan peran serta mulai di praktikan pada abad ke-19 oleh para penjajajh kaum
misionari dan para pelaut yang mengirimkan laporan berupa berita dan uraian
mengenai tempat-tempat yang eksotik dan jauh. Pada waktu itu catatan harian dan
surat-surat mereka yang mereka kirimkan ke negeri asal mereka laku dijual setelah
diterbitkan dan mendapatkan sambutan luas.
Paul Rock mengemukakan pengamatan berperan serta mungkin strategi sangat
penting dalam interaksionisme simbolik yang memungkinkan peneliti menggunakan
dirinya untuk menjelajahi proses social. Menurut Paul Rock, penggunaan metode ini
dalam interaksionisme simbolik berdasarkan prinsip bahwa pengetahuan didefenisikan
sebagai aktivitas praktis yang berlangsung. Pengamatan berperan serta sering disebut
juga etnografi atau penelitian lapangan, yakni pergi kelapangan yang jauh dari
peradaban atau laboratorium. Tujuannya adalah untuk menelaah sebanyak mungkin
poses social dan perilaku dalam budaya tersebut.
Untuk menerapkan metode ini, peneliti dituntut untuk menetap dalam
kelompok atau lingkungan budaya yang ia teliti untuk suatu periode yang dianggap
cukup untuk memperoleh data yang diperlukan.
- Wawancara Mendalam
Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang, melibatkan seseorang yang
ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara secara garis besar dibagi menjadi
dua, yakni wawancara tak terstruktur dan wawancara terstruktur. Wawancara tak
terstruktur sering juga disebut wawancara mendalam, wawancara intensif, wawancara
18. kualitatif, wawancara terbuka, wawancara etnografis. Sedangkan wawancara tertruktur
sering juga disebut wawancara baku. Para peneliti harus berusaha mengarahkan
wawancara itu agar sesuai dengan tujuanya, untuk itu pewawancara sebaiknya tetap
membawa dan memegang pedoman wawancara, yakni susunan pertanyaan yang ia
harus ajukan, meskipun sekedar pengingat, tidak untuk di lihat terus-menerus, pedoman
wawancara ini hanyalah panduan umum, tidak perlu merinci setiap pertanyaan yang
mungkin akan di tanyakan pewawancara. Setelah pewawancara mewancarai sejumlah
responden, pewawancara biasanya tidak lagi harus terpaku pada pedoman wawancara.
Pada akhir wawancara seyogianya setidaknya meminta nomor telepon atau alamat
email, untuki memudahkan atau memperoleh data tambahan bila di perlukan.
Karena sifatnya yang terbuka, ada kalanya responden juga memberikan komentar
yang sebenarnya merupakan jawaban atas pertanyaan lainya yang ada dalam pedoman
wawancara, maka peneliti tidak perlu lagi mengajukan pertanyaan tersebut. Ada
kalanya juga seorang peneliti kurang puas dengan jawaban yang di berikan responden,
karena kurang jelas atau kurang lengkap.
Sebagian responden mungkin pendiam, pemalu, atau sangat pelit berkata-kata,
maka seorang pewawancara harus kreatif untuk mendorong mereka supaya bicara lebih
jauh, biasanya orang akan lebih terbuka ketika berbicara kepada orang yang lebih di
kenal.
Untuk memperoleh data secermat mungkin, seorang pewawancara bisa
menggunakan tape recorder, apalagi jika wawancara berlansung cukup lama dan
intensif, tetapi anda harus mempunyai ijin terlebih dahuludari responden, kemungkinan
responden akan gugup ketika ia tahu jawabanya akan di rekam. Keuntungan peneliti
dalam menggunakan tape recorder antara lain adalah bahwa peneliti dapat
berkonsentrasi pebuh terhadap informasi yang di berikan responden, dan data yang di
peroleh peneliti juga lengkap
Salah satu bentuk khusus wawancara mendalam adalah wawancara sejarah hidup(
life history interview). Sejarah hidup mempersentasikan pengalaman atau defenisi yang
19. di anut seseorang , satu kelompok, atau satu organisasi ketika orang, kelompok, atau
organisasi ini menafsirkan pengalaman-pengalaman tersebut. Metodologi sejarah hidup
menyoroti cara-cara individu menjelaskan dan menteorisasikan tindakan-tindakan
mereka dalam dunia sosial mereka, yang terpenting adalah interpretasi subjektif mereka
atas situasi mereka, baik pada masa lalu ataupun sekarang.
Metodologi sejarah berakar kuat pada suatu kerangka interpretif dan khususnya
paradigma intraksionis simbolik yang memandang manusia sebagai hidup dalam suatu
dunia yang terdiri objek-objek yang bermakna alih-alih suatu lingkungan stimuli yang
menentukan prilaku manusia
Becker mengatakan, sejarah hidup bukanlah otobiografi konvensional meskipun
narasi subjektif penulisnya mirip dengan narasi dan pandangan penulis dalam
otobiografi, dan bukan pula fiksi. Sejarah hidup lebih membumi, lebih memperhatikan
pengalaman subjek dan penafsiranya atas dunianya dari pada nilai-nilai artistik
meskipun dokumen terbaik riwayat hidup sensitif dan dramatik seperti di temukan
dalam novel.
Bahan-bahan lain untuk melengakapi wawancara sejarah hidup adalah wawancara
dengan orang lain yang punya hubungan dekat dengan subjek penelitian( significant
others), juga berbagi dokume. Penggunaan berbagai metode yang saling inilah dalam
penelitian kualitatif di sebut triangulasi. Triangulasi seyogianya di gunakan, karena tidak
ada suatu metode tunggal pun yang menunjukan ciri-ciri relevan realitas empiris yang di
perlukan untuk membangun suatu teori. Dengan kata lain triangulasi sangat penting di
gunakan untuk mengkompirmasikan data yang di peroleh peneliti yang pada giliranya
menjaga atau meningkatkan keterpercayaan temuan penelitian, bila subjek peneliti
masih hidup dan mudah di hubungi, maka pihak terpenting untuk dimintai data adalah
subjek penelitian tersebut, dan setelah itu barulah sumber-sumber lain.
Wawancara sejarah hidup dilakukan dengan meminta orang-orang sebagai
subjek penelitian untuk menceritakan hidup mereka. Oleh karena konsep diri adalah inti
dari pendekatan intraksi simbolik, konsep diri orang-orang dapat di lacak dengan
20. menelaah sejarah hidup mereka. Keanekaragaman subjektivitas inilah yang mengalami
antara stimulus dan respon, yang membuat prilaku manusia sangat berbeda dengan
prilaku hewan lebih rendah.
Belakanngan ini metode sejarah hidup( life history method) sebagai metode
penelitian kualitatif menjadi trend lagi dalam penelitian kualitatif, padahal metode ini
pernah berjaya pada tahun 1930-an dan 1940-an, khususnya di bawah pengaruh Robert
E.Park dan Ernest Burgess, dua ilmuan sosial di university of chicago.
Menurut Becker, sejarah hidup lebih dari teknik penelitian lainya, kecuali
pengamatan terlibat, dapat memberikan makna atas konsep prose. Para ilmuan sering
berbicara mengenai fenomena sebagai proses, tetapi metode mereka biasanya
menghalangi mereka untuk melihat proses yang mereka gembor-gemborkan