Teks tersebut membahas tentang hakikat manusia sebagai pelaku komunikasi menurut pandangan filsafat. Teks tersebut menjelaskan bahwa manusia memiliki sifat sebagai subjek dan objek komunikasi, dan bahwa pandangan materialisme maupun idealisme memandang manusia secara sepihak, sementara pandangan eksistensialisme melihat manusia sebagai kesatuan antara jasmani dan rohani.
1. HAKIKAT MANUSIA SEBAGAI
PELAKU KOMUNIKASI
Pemahaman komunikasi dengan segala praksisnya merupakan proses keseharian
manusia. Dapat dikatakan bahwa proses komunikasi merupakan proses kehidupan itu sendiri.
Komunikasi tidak bisa dipisahkan dari seluruh proses kehidupan konkret manusiawi. Aktivitas
komunikasi merupakan aktivitas manusiawi.
Hakikat komunikasi adalah proses ekspresi antar manusia. Setiap manusia mempunyai
kepentingan untuk menyampaikan pikiran atau perasaan yang dipunyai. Tentu saja, ekspresi
pikiran dan perasaan itu memakai dan memanfaatkan bahasa sebagai medium komunikasinya.
Dalam bahasa komunikasi, setiap orang atau sesuatu yang menyampaikan sesuatu disebut
sebagai komunikator. Sesuatu yang disampaikan atau diekspresikan adalah pesan (message).
Seseorang atau sesuatu yang menerima pesan adalah komunikan (communicatee).
Dalam setiap kehidupan, manusia memerlukan pemahaman yang lebih mendalam atas
segala hal yang dilakukannya, termasuk di dalamnya proses komunikasi. Proses komunikasi
adalah aktivitas yang diperlukan untuk mengadakan dan melakukan tindakan komunikatif, baik
yang dilakukan oleh komunikator, komunikan atau aktivitas penyampaian pesan, noise yang bisa
saja terjadi dalam setiap tindakan komunikatif dan lainnya.
Proses komunikasi dapat dilihat dalam dua perspektif besar, yaitu perspektif psikologis
dan mekanis. Perspektif psikologis dalam proses komunikasi mau memperlihatkan bahwa
komunikasi adalah aktivitas psikologi sosial yang melibatkan komunikator, komunikan, isi
pesan, lambang, sifat hubungan, persepsi, proses decoding dan encoding. Perspektif mekanis
mau memperlihatkan bahwa proses komunikasi adalah aktivitas mekanik yang dilakukan oleh
komunikator, yang sangat bersifat situasional dan kontekstual.
Dari proses komunikasi yang begitu kompleks dan tidak sederhana tersebut, refleksi
komunikasi diperlukan untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas dan komprehensif.
Refleksi proses komunikasi tersebut sering dimasukkan dalam disiplin filsafat komunikasi.
Filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah pemahaman (verstehen) secara
lebih mendalam, fundamental, metodologis, sistematis, analitis, kritis dan komprehensif teori dan
proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidang, sifat, tatanan, tujuan, fungsi,
teknik dan metode-metodenya.
Bidang komunikasi meliputi komunikasi sosial, komunikasi organisasional, komunikasi
bisnis, komunikasi politik, komunikasi internasional, komunikasi antar budaya, komunikasi
pembangunan, komunikasi tradisional dan lain-lain.
Sifat komunikasi meliputi komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal. Tatanan
komunikasi meliputi komunikasi intrapribadi, komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok,
komunikasi massa dan komunikasi media.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
2. Tujuan komunikasi bisa terdiri dari soal mengubah sikap, mengubah opini, mengubah
perilaku, mengubah masyarakat dan lainnya. Sementara itu, fungsi komunikasi adalah
menginformasikan, mendidik, mempengaruhi.
Teknik komunikasi terdiri dari komunikasi informatif, komunikasi persuasif, komunikasi
pervasif, komunikasi koersif, komunikasi instruktif dan hubungan manusiawi. Metode
komunikasi meliputi jurnalitstik, hubungan masyarakat, periklanan, propaganda, perang urat
syaraf, perpustakaan.
Posisi manusia dalam komunikasi dapat dilihat pada rumusan komunikasi dari Lasswell
dan Aristoteles. Pola komunikasi menurut Lassewell mengikuti rumusan "Who say what to
whom in what channel with what effect". Sedangkan dalam model komunikasi Aristoteles,
kedudukan manusia sebagai pelaku komunikasi meliputi dan pendengan. Rumusan komunikasi
menurut Aristoteles sendiri terdiri dari empat unsur yakni, pembicara, argumen, pidato dan
pendengar.
Sehingga dengan demikian posisi manusia berada pada who/whom [Lasswell] dan
pembicara/pendengar pada pola komunikasi Aristoteles. Maka menjadi mutlak untuk memahami
manusia secar filosofis agar komunikasi kit menjadi efektif.
Apakah manusia itu?
Manusia adalah makhluk yang berakal budi [homo rationale]. Menurut Aristoteles [384-
322SM], manusia punya tiga jiwa [anima], yakni:
1. Anima avegatativa/ roh vegetatif ' tumbuh-tumbuhan ' fungsinya makan, tumbuh dan
berkembang biak.
2. Anima sensitiva ' binatang punya perasaan, naluri dan nafsu ' mampu mengamati,
bergerak dan bertindak.
3. Anima intelektiva ' roh intelekyang dimiliki manusia ' berpikir dan berkehendak. ' punya
kesadaran.
Dengan demikian, ciri manusia menurut Aristoteles adalah memiliki totalitas, yakni
persatuan roh dan jasad. Roh/anima adalah penyebab hidup, bukan penyebab kesadaran,
sedangkan yang menyebabkan kesadaran adalah "aku"/rohani. "aku" adalah juga yang merasa,
sedangkan pusat panca indera ada di otak, dan memiliki perangsang masing-masing yang disebut
"adequatus".
Pemikiran Aristoteles nampaknya termasuk dalam konvergensi, yakni penggabungan tiga
aliran besar tentang manusia. Ketiga aliran tersebut yaitu:
1. Materialisme
Yaitu aliran yang melihat manusia ada pada fisiknya. Keberadaan fisik dengan
demikian merupakan unsur pokok dari kemanusiaa. Maka, orang yang sudah meninggal,
dalam aliran ini tidak lagi disebut manusia.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
3. 2. Idealisme
Aliran kedua tentang manusia mengatakan bahwa keberadaan manusia adalah
pada ide. Ide terletak di pemikiran, sehingga semakin jernih pemikiran maka seseorang
akan mampu menangkap hakikat walaupun yang bersangkutan belum memliki interaksi
panca indera dengan yang dimaksud. Seperti orang yang belum pernah melihat kapal
selam tapii ia akan mengerti akan kapal selam bila diberi penjelasan dan gambaran
tentang kapal selam. Maka dalam aliran ini orang gila tidak lagi disebut sebagai manusia
karena ia tidak bisa lagi berpikir.
3. Eksistensialisme
Aliran ini melihat manusia pada eksistensinya, yakni sejauh mana keberdaannya
diakui oleh masyarakat sekitarnya. Semakin diakui maka semakin eksis ia. Aliran ini
tidak memperhitungkan materi beserta atribut yang dimiliki seseorang sebagai nilai
kemanusiaan. Abraham Maslow mengatakan bahwa pengakuan tentang eksistensi sebagai
kebutuhan tertinggi manusia, jauh melampaui kebutuhan rasa aman, kebutuhan sandang,
pangan dan papan.
Kritik Eksistensialisme terhadap Materialisme
Aliran eksistensialime menentang aliran materialisme yang berpendapat bahwa manusia
hanyalah benda saja. Yang ditentang oleh kaum eksistensialisme ialah pendapat kaum
materialisme tentang cara manusia berada di dunia.
Menurut ajaran eksistensialisme, manusia bukan saja berada di dunia, tetapi juga
menghadapi dunia dan menghadapi benda lain di dunia. Dan dalam rangka mengahadapi barang
itu, ia mengerti arti barang yang dihadapinya itu. Dan ia mengerti pula apa itu hidup. Ia mengerti
arti dan gunanya api atau kayu. Ia mengerti apa arti dan apa gunanya bercocok tanam, begitu
seterusnya.
Kesemuanya itu berarti bahwa manusia adalah subjek. Subjek artinya sadar, sadar akan
dirinya sendiri dan sadar akan objek-objek yang dihadapinya.
Menurut kaum eksistensialis, kesalahan aliran materialisme terletak pada pandangan
materialisme yang mendetotalisasi manusia, memungkiri totalitas manusia. Mengatakan bahwa
manusia adalah hanya materi, berarti memungkiri manusia sebagai keseluruhan. Memang pada
manusia terdapat unsur yang disebut materi atau jasmani. Karena itu manusia dapat ditimbang
seperti besi. Manusia juga tumbuh seperti tumbuh-tumbuhan. Manusia pun memiliki daging
seperti hewan. Itu semua benar. Akan tetapi tidaklah benar, bahwa semuanya itu keseluruhan,
bahwa itu seluruh manusia, dan karenanya, itulah hakikat manusia.
Kesalahan itu akan lebih nampak lagi, kalau yang kita pandang itu bukan teori,
melainkan perbuatan atau perlakuan. Jika seseorang diperlakukan sebagai hewan, dianggap
sebagai kambing atau kerbau, maka kita akan dapat membayangkan apa yang akan terjadi.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
4. Jadi memang benar, bahwa manusia mempunyai jasmani, materi, tetapi jasmani atau
materi itu hanyalah aspek saja, bukan keseluruhan manusia.
Pandangan materialisme ini sudah menjadi klasik, artinya sudah mempunyai kedudukan
yang kuat, tetapi salah. Salah, oleh karena memungkiri kebenaran, bahwa manusia itu mengerti,
berkehandak dengan bebas, mengerti dan membina kebudayaan. Semuanya itu tidak bisa
diterangkan dengan teori materialisme. Dengan kata lain, materialisme bertentangan dengan
realitas. Jadi salah, dan kesalahan ini ialah bahwa suatu aspek disamakan dengan keseluruhan,
aspek jasmani dianggap sebagai manusia keseluruhan.
Kritik Eksistensialisme terhadap Idelisme
Jika materialisme memandang manusia sebagi materi saja, sesuatu yang ada tanpa
menjadi subjek, maka idealisme mengganggap manusia adalah sesuatu yang berpikir, suatu
pikiran saja. Dan pikiran ini merupakan suatu aspek, aspek mana dilupakan oleh materialisme,
dan sebaliknya dilebih-lebihkan oleh idealisme. Suatu aspek yang dianggap sebagai keseluruhan
manusia.
Menurut aliran eksistensialisme, kesalahan idealisme ialah bahwa idealisme memandang
manusia hanya sebagai subjek, dan akhirnya sebagai kesadaran semata-mata. Idelisme lupa
bahwa manusia hanya berdiri sebagai manusia karena bersatu dengan realitas sekitarnya.
Sebaliknya materialisme hanya mau melihat manusia sebagai objek. Maerialisme lupa bahwa
benda di dunia ini hanyalah menjadi objek, kerana ada subjek.
Jadi menurut paham eksistensialisme, manusia bukanlah hanya objek sebagaimana
menjadi pandangan ajaran materialisme, tetapi juga bukan hanya subjek atau kesadaran, seperti
menjadi anggapan kaum idealisme. Manusia adalah eksistensi.
Eksistensi bukan hanya berarti "ada" atau "berada" sepert "ada" atau "beradanya" barang
lain, akan tetapi eksistensi sebagai pengertian khusus hanya untuk manusia, yakni berada secara
khusus manusia. Manusia yang dalam keberadaannya itu sadar akan dirinya sedang berada,
berada di dunia dan menghadapi dunia, sebagai subjek yang menghadapi objek, bersatu dengan
realitas sekitarnya.
Kesadaranlah yang merupakan aspek yang menyebabkan keistimewaan manusia, yang
tidak terdapat pada makhluk dari barang lain. Bukan saja ia ada, tetapi ia mengerti, baha ia ada.
Bila ia bergerak atau berbuat sesuatu, maka ia sendirilah yang menjadi subjek yang bergerak atau
berbuat itu. Dia mengerti, mengalami, dan merasa. Akulah yang berbuat itu. Dalam tiap
perbuatan manusia mengalami dirinya sendiri.
Jelaslah, bahwa manusia bukan haya materi saja, bukan hanya "apa" saja, tetapi "siapa".
Dan kesiapaan inilah yang terpenting pada manusia. Manusia bukan hanya benda jasmani, tetapi
perpaduan jasmani dan rohani. Manusia itu adalah kesatuan jasmani dan rohani yang tidak
mungkin dipisahkan. Istilah "siapa" bagi manusia disebabkan faktor rohaninya. Hanya manusia
makhluk yang dapat berkata "aku" dengan sadar. Itulah persona atau pribadi yang terdapat pada
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
5. manusia, dan kepribadian ini didasarkan kerohaniannya. Adapun persona itu terbina dalam
kehidupan bersama dan dengan kehidupan bersama dengan orang lain. Bagi persona sudah
menjadi kebutuhan pokok untuk mengadakan komunikasi dengan sesama manusia.
Dalam dunia materi, barang merupakan barang yang tertutup yang berdiri sendiri,
terpisah dari satu sama lainnya. Hubungan antara barang yang satu dengan barang lainnya
melulu merupakan hubungan menurut tempat, di sebelah kiri atau sebelah kanan, di belakang
atau di muka, tidak campur dengan barang lain, tidak ada interkomunikasi.
Adalah berlainan hubungan antara persona dengan persona lain. Sbagai persona,
seseorang dapat memasuki orang lain, dan sebaliknya. Memang badan kita membatasi
komunikasi ini, sehingga interkomunikasi itu tidak sempurna. Untuk sebagian [yaitu selaku
makhluk jasmani], seorang mahasiswa, misalnya, hanya berdampingan saja dengan orang yang
dicintainya. Tetapi sebagai makhluk, rohani si mahasiswa tadi memasukinya. Lihat pula
hubungan antara ibu dan anak. Bila anak sakit, ibu juga merasa sakit. Jika anak gembira, ibu juga
merasa gembira. Dalam interkomunikasi itu, persona juga meminta dari badan untuk
melambungkan perasaannya melalui kata atau gerak-gerik, apakah itu kata-kata manis
menyenangkan, lambaian tangan, atau yang lainnya.
Persona berkembang menuju kesempurnaan berdasarkan pengalaman berkomunikasi
antara manusia. Dan ia selalu dalam perjalanan untuk menjadi persona yang sempurna, untuk
berkomunikasi yang lebih sempurna.
Personalah yang merupakan faktor yang membedakan manusia dengan makhluk infra-
human. Hanyalah manusia yang mampu mengadakan self-reflection, "keluar" dari dirinya
sendiri, lalu menengok ke belakang untuk meninjau dirinya sendiri. Hanyalah manusia yang
mampu mengadakan koreksi terhadap perbuatannnya, mengubah perbuatannya, mengadakan
kombinasi baru, menggantikan iramanya, memperlambat atau mempercepat, menyempurnakan
kegiatannya. Makhluk infra-human seperti benda, tumbuh—tumbuhan, ataupun binatang, tidak
mampu berbuat seperti itu.
Pada pokoknya sifat spiritual atau rohaniahlah yang menyebabkan manusia berbeda
dengan alam infra-human, karena manusia pada hakikatnya adalah seorang persona, sedangkan
makhluk lainnya bukan.
Berdasarkan hal di atas itulah pentingnya menelaah mansia sebagai faktor hakiki dari
komunikasi. Kamunikasi sosial lebih bersifat rohaniah daripada jasmaniah. Pesan yang
disampaikan komunikator kepada komunikan adalah "isi kesadaran" atau "gambaran dalam
benak" [picture in our head]. Sehingga komunikasi akan berlangsung jika komunikan mengerti
pesan tersebut. Dalam konteks ini, Schramm menekankan komunikasi adalah proses yang
memiliki tujuan utnuk membangun kesamaan antara sumber dan penerima pesan.
Jadi ketika seseorang ingin berkomunikasi, maka ia harus bisa menerjemahkan pikiran
dan perasaan yang akan disampaikan ke penerima dalam suatu bentuk yang dapat
ditransmisikan. Gambar dalam pikiran kita misalnya, tentu tidak akan dapat ditransmisikan
kecuali gambar tersebut diterjemahkan ke dalam deskripsi kata. Proses penerjemahan ini disebut
encoder, sedangkan rangkaian kata yang mewakili penerjemahan disebut sinyal. Sedangkan dari
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
6. sisi penerima pesan, kata-kata yang didengar kemudian disusun sedemikian rupa untuk
memperoleh gambar utuh yang dimaksud oleh pengirim. Dalam model ini memang Schramm
mengabaikan apakah terjadi penyimpangan (distorsi) pada penerima atau tidak, sehingga tidak
masalah apakah gambar yang dikirim oleh sumber sama dengan penerima atau tidak.
Setelah pesan sampai ke tujuan, menurut Schramm, kemudian akan terjadi tanggapan
balik (feedback). Menurut Schramm feedback diperlukan untuk mengurangi hambatan noise
(gangguan). “Seorang komunikator yang baik akan secara aktif menggunakan feedback untuk
menginterpretasikan sekaligus memodifikasi pesan” kata Schramm (dalam Ruben, 2002: 28).
Dengan adanya feedback, Schramm mengatakan bahwa antara sumber (source) dan penerima
pesan (destination) sebenarnya tidak dapat dibedakan, karena memang terjadi secara bolak-balik.
Ethos, Pathos Dan Logos
Sejak zaman retorika Yunani kuno hingga sekarang, komunikator haruslah melengkapi
diri dengan ethos, pathos dan logos.
Ethos adalah sumber kepercayaan yang ditunjukkan oleh seorang komunikator bahw
ia memang pakar dalm bidangnya, sehingga oleh karena ia seorang ahli, maka ia
dapat dipercaya. Faktor ethos lainnya adalah track record, yakni rekam jejak
seseorang terhadap suatu bidang.
Pathos adalah tampilan emosi, komunikator harus pas memunculkan semangat dan
gairah berkomunikasi.
Logos adalah argumentasi komunikasi harus masuk akal. Argumentasi disusun
sedemikian rupa sehingga pesan yang disampaikan memeliki kekuatan argumen.
Ethos
Ethos diartikan sebagai sumber kepercayaan (source credibility) yang ditunjukkan oleh
seorang orator (komunikator) bahwa ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh karena
seorang ahli, maka ia dapat dipercaya (Effendy, 1993:352).
Seorang komunikator yang handal, mau tidak mau harus melengkapi dirinya dengan
dimensi ethos ini yang memungkinkan orang lain menjadi percaya. Menurut Rakhmat
(1994:255) ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense,
good moral chracter, good will).
Ada beberapa pendapat mengenai penamaan ethos ini, di antaranya adalah:
1. McCroskey menyebutnya authoritativeness
1. Markham menyebutnya reliablelogical
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
7. 1. Berlo, Lemert dan Mertz menyebutnya qualification
Secara teoretik, ethos bukanlah variabel tunggal, melainkan ethos memiliki atau terdiri
dari beberapa dimensi, yaitu kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan. Satu sama lain bisa berdiri
sendiri, tetapi pada suatu “saat” mungkin akan menyatu. Artinya, seseorang memiliki ethos yang
terdeskripsikan pada kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan.
Kredibilitas
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate tentang sifat-sifat komunikator.
Pada definisi ini terkandung dua hal, yaitu:
4. Kredibilitas adalah persepsi komunikate; jadi tidak inhern dalam diri komunikator.
5. Kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator, yang selanjutnya akan kita sebut
sebagai komponen-komponen kredibilitas.
Sejatinya, inti dari kredibilitas adalah persepsi, yang secara sederhana dapat diartikan
pandangan komunikate terhadap komunikator. Oleh karena itu persepsi tidaklah tetap melainkan
berubah-ubah bergantung kepada pelaku persepsi (komunikate), topik yang dibahas, dan situasi.
Misalnya, seorang dosen begitu didengar oleh mahasiswanya, tetapi belum tentu di depan
rektornya. Ini mengandung arti bahwa persepsi mahasiswa dan persepsi rektor sangat berbeda,
tergantung siapa yang memberikan persepsi tersebut. Contoh lain misalnya, anda seorang
mahasiswa akan sangat dikagumi apabila anda KKN (kuliah kerja nyata) di daerah terpencil
(pelosok pedesaan). Tetapi mungkin anda akan dianggap biasa saja di lingkungan masyarakat
kota yang terdidik. Sekali lagi harus dikatakan bahwa kredibilitas akan sangat tergantung kepada
“siapa” yang memberi persepsi.
Karena persepsi merupakan pandangan orang lain (komunikate), maka persepsi itu dapat
dimanipulasi dengan cara menggunakan beragam atribut/asesoris yang dapat mengubah persepsi
orag lain terhadap komunikator. Misalnya, seorang profesor dari perguruan tinggi terkemuka
didandani pakaian robek-robek, lusuh dan dekil. Maka kita dapat meramalkan kredibilitas sang
profesor tersebut akan jatuh, akan lain halnya apabila sang profesor tersebut mengunakan jas
dan dasi lengkap. Dengan demikian kredibilitas dapat dibentuk, dimanupulasi berdasarkan
keinginan tertentu.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
8. Persepsi komunikate terhadap komunikator tidaklah berdiri sendiri, salah satunya
dipengaruhi prior ethos, yaitu persepsi komunikate tentang komunikator sebelum ia melakukan
komunikasi. Adapun prior ethos dapat dibangun melalui:
6. Dibangun melalui pengalaman langsung (artinya komunikate dan komunikator pernah
bertemu langsung).
7. Dibangun melalui pengalaman wakilan (vicarious experiences). Misalnya, komunikator
sering ditampilkan oleh media massa sebagai seseorang yang “hebat”, maka komunikate
akan memberikan persepsi baik meskipun belum pernah berjumpa tatap muka (langsung).
8. Dibangun melaui kelompok rujukan (dibangun melalui skema kognitif). Misalnya: anda
akan mendengarkan petuah seseoang yang diperkenalkan sebagai kiyai haji. Gelar
(kiyai/haji) dinisbatkan kepada orang yang memiliki ilmu “luhur”, oleh karena itu
persepsi kita akan terpengaruh oleh gelar-gelar tersebut.
Dulu mungjkin kita masih ingat, pada waktu kampanye SBY begitu banyak mendapat
sanjungan, dielu-elukan oleh masyarakat, dipuji habis-habisan sebagai tokoh yang huamis,
religius dan pendobrak stagnasi politik. Citra itu divisualisasikan oleh media melalui beberapa
iklan yang menampilkan sosok SBY yang penuh pesona. Tapi bagaimana sekarang ? Setelah dua
kali menaikan BBM (bahan bakar minyak) serta tidak mampu mengangkat bangsa ini dari
keterpurukan, perlahan namun pasti, survey menunjukkan bahwa popularitas SBY menurun
drastis, kredibiltasnya yang dulu tinggi tidak bisa dipertahankan lagi.
Selain prior ethos, pesepsi komunikate terhadap komunikator dipengaruhi pula oleh
intrinsic ethos. Secara sederhana intrinsic ethos adalah kepercayaan yang datangnya dari dalam
diri komunikator secara berproses (terjemahan penulis). Misalnya, pada suatu kesempatan anda
diundang untuk mendengarkan cermah seseorang. Seseorang (komunikator) tersebut terlihat
menggunakan pakaian seadanya: celana jeans sedikit agak lusuh, mengenakan kaos tanpa kerah,
serta hanya mengunakan sendal gunung. Ia akan berbicara tentang kemiskinan dan kaitannya
dengan fenomena bunuh diri dikalangan masyarakt tidak mampu. Setelah beberapa saat
komunikator tersebut berbicara, pembicaraannya begitu mendalam dengan menggunakan
contoh-contoh yang mudah dimengerti serta tata susunan bahasaya yang menawan. Maka
perlahan-lahan komuniktor tersebut menampakan kredibilitasnya yang tinggi.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
9. Kredibilitas akan sangat ditentkan oleh persepsi. Di samping itu, terdapat dua komponen
yang menentukan kredibilitas, yaitu:
9. Keahlian: adalah kesan yang dibentuk oleh komunikate tentang kemampuan
komunikator dalam hubunganya dengan topik yang dibicarakan. Indikatornya adalah
cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih.
10. Kepercayaan adalah kesan komunikate tentang komunikator yang berkaitan dengan
wataknya. Indikatornya adalah jujur, tulus, bermoral, adil, sopan dan etis. Aristoteles
menyebut indikator tersebut dengan: good moral character.
Tokoh lain, Koehler, Annatol, dan Applbaum menambahkan empat komponen kredibilitas,
yaitu:
11. Dinamisme: bila komunikator dipandang bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan berani.
Lawannya: pasif, ragu-ragu, lesu dan lemah.
12. Sosiabilitas: bila komunikator sebagai seorang yang periang dan sangat bergaul (gaul gitu
lho...)
13. Koorientasi: bila komunikator mewakili kelompok yang kita senangi, yang mewakili nilai-
nilai kita.
14. Karisma: bila komunikator menunjukkan sifat luar biasa yang dimilikiya sehingga dapat
menarik dan mengendalikan komunikate seperti magnet.
Effendy (1993:353-356), menyebut beberapa hal yang terkait dengan ethos, di antaranya:
15. Komponen-komponen ethos yang meliputi:
16. competence (kemampuan/kewenangan)
17. integrity (integritas/kejujuran)
18. good will (tenggang rasa)
19. Faktor-faktor pendukung ehos
20. persiapan (preparation)
21. kesungguhan (seriousness)
22. ketulusan (sincerity)
23. kepercayaan (confidence)
24. ketenangan (poise)
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
10. 25. keramahan (friendship)
26. kesederhanaan (moderation)
Atraksi
Atraksi (attractiveness) adalah daya tarik komunikator yang besumber dari fisik. Seorang
komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui
mekanisme daya tarik (fisik), misalnya, komunikator disenangi atau dikagumi yang
memungkinkan komunikate menerima kepuasan. Atau daya tarik ini disebabkan oleh adanya
faktor kesamaan antara komunikator dan komunikate, sehingga memungkinkan komunikate
tunduk terhadap pesan yang dikomunikasikan komunikator (Effendy, 1993:44).
Daya tarik fisik adalah salah satu yang dapat menyebabkan pihak lain (komunikate)
merasa tertarik kepada komunikator. Misalnya, kita menyenangi orang-orang yang cantik atau
tampan, atau mungkin kita akan menyenangi orang-orang yang memiliki banyak kesamaan
dengan kita, atau mungkin juga kita akan menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan
yang lebih tinggi dari kita. Hal-hal itu terkait dengan daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan, dan
kemampuan.
Komunikator yang menarik secara fisik akan memiliki daya tarik tersendiri yang
memungkinkan ia memiliki pesona persuasif. Dalam arena kampanye misalnya, banyak partai
politik yang menggunakan atau memanfaatkan artis yang secara fisik memiliki daya tarik.
Acapkali juga terjadi, kampanye menghadirkan kiyai (pengasuh pondok pesantren terkenal), atau
tokoh-tokoh lainnya yang dipersepsi memiliki keluhuran pengetahuan. Atas dasar kelebihan
pengetahuan itulah seorang komunikator memiliki daya tarik di mata komunikate.
Daya tarik pun dapat dikarenakan oleh homophily dan heterophily di antara komunikator
dan komunikate. Homophily terjadi ketika antara komunikator dan komunikate merasa ada
kesamaan dalam: status sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Kesamaan ini
menjadi daya tarik. Oleh karena itu, komunikator yang ingin memengaruhi orang lain sebaiknya
memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikate. Upaya ini dalam
konteks retorika disebut “strategy of identification” ujar Kenneth Burke, atau “establishing
common grounds” kata Herbert W. Simon (Rakhmat, 1994:262).
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
11. Heterophily, terdapat perbedaan staus ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan
antara komunikator dan komunikate. Namun demikian, komunikasi akan lebih efektif pada
kondisi yang memiliki homophily.
Pada kondisi homophily komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan
komunikate akan lebih efektif dalam berkomunikasi, sebab:
27. Kesamaan mempermudah proses penyandibalikan (decoding), yaitu proses menerjemahkan
lambang-lambang yang diterima menjadi gagasan-gagasan.
28. Kesamaan membantu membangun premis yang sama. Premis yang sama mempermudah
proses deduksi.
29. Kesamaan menyebabkan komunikate tertarik pada komunikator. Kita cenderung menyukai
orang-orang yang memiliki kesamaan disposisional dengan kita. Karena kita menyukai
komunikator maka kita cenderung akan menerima gasgasan-gagasannya.
30. Kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya kepada komunikator (meskipun alasan
ini belum dibuktikan secara sahih).
Kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Ketundukan timbul dari
interaksi antara komunikator dan komunikate. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator
“memaksakan” kehendaknya kepada orang lain, karena ia memiliki sumber daya penting
(critical reseorces).
Atas dasar kekuasaan French dan Raven (dalam Rakhmat, 1994:265) menyebut beberapa
jenis kekuasaan, yaitu:
31. Kekuasaan Koersif (coersive power): menunjukkan kemampuan komunikator untuk
mendatangkan ganjaran atau mendatangkan hukuman bagi komunikate. Misalnya
hukuman yang bersifat personal: benci atau kasih sayang.
32. Kekuasaan Keahlian (Expert Power): berasal dari pengetahuan, pengalaman,
keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Seorang dosen memiliki
kekuasaan keahlian, sehingga ia dapat menyuruh mahasiswanya menafsirkan suatu teori
sesuai dengan pendapatnya.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
12. 33. Kekuasaan Informasional (Informational Power): berasal dari isi komunikasi tertentu atau
pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikator. Seorang ahli mesin dapat menyarankan
manajernya untuk membeli mesin jenis/keluaran baru yang lebih baik cara kerjanya.
34. Kekuasaan rujukan (Referent Power): Komunikate menjadikan komunikator sebagai
kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Misalnya: menjadikan komunikator sebagai
teladan, karena perilakunya yang baik.
35. Kekuasaan Legal (Legitimate Power): berasal dari seperangkat aturan atau norma yang
menyebabkan komunikator berwewenang untuk melakukan suatu tindakan. Misalnya:
seorang manajer bisa saja mengeularkan pegawainya yang melanggar aturan (Rakhmat,
1994:265).
Dalam beberapa penelitian yang bersifat psikologis, acapkali orang memilih jenis
kekuasaan yang dimilikinya tidak secara rasional. Misalnya, orang menggunakan kekuasaan
koersif hanya untuk memenuhi kepuasan diri atau menunjang harga diri.
Bebarap hasil penelitian menunjukkan:
36. Komunikate akan lebih baik diyakinkan untuk melakukan perilaku yang tidak disukai
dengan dijanjikan ganjaran daripada diancam dengan hukuman. Ancama yang “terlalu”
kuat bahkan akan menimbulkan bumerang.
37. Efektivitas ancaman dapat ditingkatkan bila komunikator memberikan alternatif perilaku
ketundukan, sehingga komunikate masih dapat melakukan pilihan walaupun terbatas.
38. Kekuasaan informasional seringkali digunakan bila komunikator memandang prestasi
komunikate yang kurang baik disebabkan oleh kurangnya motivasi.
39. Bila atasan melihat bahwa prestasi jelek bawahannya disebabkan kekurangan
kemampuannya, ia akan menggunakan kekuasaan keahlian.
40. Kekuaaan koersif umumnya digunakan bila pemimpin (komunikator) menganggap
komunikate tidak melakukan anjuran dengan baik karena ia bersikap negatif atau memiliki
kecenderungan melawan pemimpin.
41. Kekuasaan koersif juga sering digunakan oleh komunikator yang kurang percaya pada diri
sendiri, yang merasa tidak berdaya, atau oleh orang-orang yang tertekan, tertindas dan
teraniaya (Rakhmat, 1994:266).
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1
13. Pathos
Pathos diartikan sebagai “imbauan emosional (emitional appeals)” yang ditunjukkan oleh
seorang rhetor dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan kegairahan
dengan semangat yang berkobar-kobar pada khalayak (Effendy, 1993:352).
Sejatinya, pathos ini perlu dimiliki oleh seorang ahli pidato (rethor) yang tercemin dari
gaya serta bahasanya yang mampu membangkitkan khalayak untuk tujuan-tujuan tertentu.
Indonesia memiliki Ir. Soekarno yang memiliki pesona dalam berbicara di depan umum (publik).
Semangat pergerakan untuk mengusir penjajah pada waktu itu, bukan semata-mata ditentukan
oleh ujung senjata, melainkan pula terletak diujung lidah. Retorika yang baik akan sanggup
“membius” khalayak untuk bersatu mengusir penjajah.
Logos
Logos diartikan sebagai “imbauan logis (logical appeals) yang ditunjukkan oleh seorang
orator bahwa uraiannya masuk akal sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh khalayak
(Effendy, 1993:352).
Sama halnya dengan pathos, logos pun perlu dimiliki oleh seorang orator/rethor.
Kahaayak akan mau dan “bersuka rela” mengikuti ajakan/anjuran komunikator apabila pesannya
disampaikan dengan uraiannya yang masuk akal, dan dengan argumentasi yang kuat. Tidak
semua orang memiliki logos dalam setiap perkataan yang disampaikanya. Mungkin ada orang
yang cenderung meiliki pathos daripada logos atau sebaliknya.
Ada satu mitos yang mungkin anda bisa percaya atau tidak: “selain kematian, hal lain
yang menakutkan adalah berbicara di depan umum”. Namun bagi seorang komunikator “ulung”
yang melengkapi dirinya dengan ethos, pathos dan logos, hal itu tidak berlaku.
Mawan Aziz Fadlli Ilmu Komunikasi/Public Relations
NIM : B06210035 Kls : 5.F3.1 / PR 1