SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  13
MAKALAH TENTANG IKHLAS DAN RIDHO
Dosen Pengajar : Ustadz Deni
Disusun Oleh:
M. Isnan Maulana. T (4122.2.16.11.0009)
Nurfatwa Qalbiyana. M (4122.2.16.11.0010)
Edieh Kartiwa (4122.2.16.11.0002)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
2016
1. IKHLAS
‫ع‬َ‫ن‬َْ‫أ‬‫َع‬ِ َْ‫ه‬ََْ‫ي‬‫ع‬َ‫ة‬ََ‫ق‬‫ع‬‫ل‬ََ :‫عع‬َ‫ق‬‫ع‬ َ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬َ ََِ‫أ‬‫إع‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬َََْ‫ي‬َ‫ه‬‫ع‬‫ل‬‫ة‬‫و‬َ‫ن‬‫ع‬ َ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬‫ن‬ِ َ َْ‫ق‬‫ع‬ َ ‫ع‬‫س‬ََ ‫ة‬‫ل‬ َ َ‫م‬‫إع‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬َََْ‫ي‬َ‫ه‬‫ع‬َُ‫ع‬َ ‫ع‬ ِ‫ل‬‫ة‬ ‫عقع‬‫ة‬ ‫ع‬َ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫َعل‬‫ن‬َْ‫أ‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬‫ن‬َْ‫م‬َ
Dari‫ع‬ Abu‫ع‬ Hurairah‫ع‬ Radhiyallahu‫ع‬ ‘anhu,‫ع‬ ia‫ع‬ berkata‫عق‬ Nabi‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ telah‫ع‬
bersabda,”Sesungguhnya‫ع‬ Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta
kalian,‫ع‬ akan‫ع‬tetapi‫ع‬ Dia‫ع‬melihat‫ع‬ kepada‫ع‬hati‫ع‬ dan‫ع‬amal‫ع‬ kalian”.‫ع‬
Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada
yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya.
Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.
Al‫ع‬ ‘Izz‫ع‬ bin‫ع‬ Abdis‫ع‬ Salam‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ seorang mukallaf melaksanakan ketaatan
semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan
tidak‫ع‬pula‫ع‬ berharap‫ع‬manfaat‫ع‬ dan‫ع‬menolak‫ع‬ bahaya”.
Al‫ع‬ Harawi‫ع‬ mengatakan‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ membersihkan‫ع‬ amal‫ع‬ dari‫ع‬ setiap‫ع‬ noda.”‫ع‬ Yang‫ع‬ lain
berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Seorang‫ع‬ yang‫ع‬ ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ seorang‫ع‬ yang‫ع‬ tidak‫ع‬ mencari‫ع‬ perhatian‫ع‬ di‫ع‬ hati‫ع‬ manusia‫ع‬
dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia
sampai‫ع‬ memperhatikan‫ع‬ amalnya,‫ع‬ meskipun‫ع‬ hanya‫ع‬ seberat‫ع‬biji‫ع‬ sawi”.‫ع‬
Abu‫ع‬ ‘Utsman‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ melupakan‫ع‬ pandangan‫ع‬ makhluk,‫ع‬ dengan‫ع‬ selalu‫ع‬ melihat‫ع‬
kepada‫ع‬Khaliq‫ع‬ (Allah)”.
Abu‫ع‬ Hudzaifah‫ع‬ Al‫ع‬ Mar’asyi‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ kesesuaian‫ع‬ perbuatan‫ع‬ seorang‫ع‬ hamba‫ع‬
antara‫ع‬lahir‫ع‬ dan‫ع‬batin”.‫ع‬
Abu‫ع‬ ‘Ali‫ع‬ Fudhail‫ع‬ bin‫ع‬ ‘Iyadh‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Meninggalkan‫ع‬ amal‫ع‬ karena‫ع‬ manusia‫ع‬ adalah‫ع‬ riya’.‫ع‬ Dan‫ع‬
beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu
dari‫ع‬keduanya”.
Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala
individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah
dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan
kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau
karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang,
karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang
banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena
alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu;
maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.
Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari
perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati
kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya.
Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan
popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah
yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan
lainnya.
Syaikh‫ع‬ Muhammad‫ع‬ bin‫ع‬ Shalih‫ع‬ Al‫ع‬ ‘Utsaimin‫ع‬ berpendapat,‫ع‬ arti‫ع‬ ikhlas‫ع‬ karena‫ع‬ Allah‫ع‬ ialah,
apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan
mencapai tempat kemuliaanNya.
a. Sulitnya Mewujudkan Ikhlas
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama
yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya
mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.
Imam‫ع‬ Sufyan‫ع‬ Ats‫ع‬ Tsauri‫ع‬ berkata,”Tidaklah‫ع‬ aku‫ع‬ mengobati‫ع‬ sesuatu‫ع‬ yang‫ع‬ lebih‫ع‬ berat‫ع‬ daripada‫ع‬
mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik‫ع‬ pada‫ع‬diriku.”‫ع‬
Karena‫ع‬itu‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬sallam‫ع‬ berdo’a‫عق‬
‫اَع‬‫ة‬‫ي‬‫ه‬‫ة‬‫ل‬‫إع‬َََِ‫ع‬َ‫ة‬َُِ‫أ‬‫ع‬ ‫ة‬ََُِّ‫عْع‬‫ة‬َ ََِْ‫عِن‬ ََ‫ة‬َََِْْ‫ْع‬َ‫ه‬
Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.
Lalu seorang sahabat berkata,”Ya‫ع‬ Rasulullah,‫ع‬ kami‫ع‬ beriman‫ع‬ kepadamu‫ع‬ dan‫ع‬ kepada‫ع‬ apa‫ع‬ yang‫ع‬
engkau‫ع‬ bawa‫ع‬ kepada‫ع‬ kami?”‫ع‬ Beliau‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ menjawab,”Ya,‫ع‬ karena‫ع‬
sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-
balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat
Shahih‫ع‬ At‫ع‬ Tirmidzi,‫ع‬ III/171‫ع‬ no.‫ع‬ 2792;‫ع‬ Shahih‫ع‬ Jami’ush‫ع‬ Shagir,‫ع‬ no.7987‫ع‬ dan‫ع‬ Zhilalul‫ع‬ Jannah‫ع‬
Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].
Yahya‫ع‬ bin‫ع‬Abi‫ع‬Katsir‫ع‬berkata,”Belajarlah‫ع‬ niat,‫ع‬ karena niat lebih‫ع‬ penting‫ع‬ daripada‫ع‬amal.”‫ع‬
Muththarif‫ع‬ bin‫ع‬ Abdullah‫ع‬ berkata,”Kebaikan‫ع‬ hati‫ع‬ tergantung‫ع‬ kepada‫ع‬ kebaikan‫ع‬ amal,‫ع‬ dan‫ع‬
kebaikan‫ع‬ amal‫ع‬ bergantung‫ع‬ kepada‫ع‬kebaikan‫ع‬ niat.”‫ع‬
Pernah‫ع‬ ada‫ع‬ orang‫ع‬ bertanya‫ع‬ kepada‫ع‬ Suhail‫عق‬ “Apakah‫ع‬ yang‫ع‬ paling‫ع‬ berat‫ع‬ bagi‫ع‬ nafsu‫ع‬ manusia?”‫ع‬
Ia‫ع‬menjawab,”Ikhlas,‫ع‬ sebab‫ع‬nafsu‫ع‬ tidak‫ع‬pernah‫ع‬memiliki‫ع‬ bagian‫ع‬ dari‫ع‬ikhlas.”‫ع‬
Dikisahkan‫ع‬ ada‫ع‬ seorang‫ع‬ ‘alim‫ع‬ yang‫ع‬ selalu‫ع‬ shalat‫ع‬ di‫ع‬ shaf‫ع‬ paling‫ع‬ depan.‫ع‬ Suatu‫ع‬ hari‫ع‬ ia‫ع‬ datang‫ع‬
terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu
kepada‫ع‬ para‫ع‬ jama’ah‫ع‬ lain‫ع‬ yang‫ع‬ melihatnya.‫ع‬ Maka‫ع‬ pada‫ع‬ saat‫ع‬ itulah,‫ع‬ ia‫ع‬ menyadari‫ع‬ bahwa‫ع‬
sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari
sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain.
Yusuf bin Husain Ar Razi‫ع‬ berkata,”Sesuatu‫ع‬ yang‫ع‬ paling‫ع‬ sulit‫ع‬ di‫ع‬ dunia‫ع‬ adalah‫ع‬ ikhlas.‫ع‬ Aku‫ع‬
sudah bersungguh-sungguh‫ع‬ untuk‫ع‬ menghilangkan‫ع‬ riya’‫ع‬ dari‫ع‬ hatiku,‫ع‬ seolah-olah timbul riya,
dengan warna‫ع‬lain.”‫ع‬
Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas
sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah sepanjang
umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat.
Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang
dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya,
kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun
orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan
yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi
keburukan.‫ع‬ Merekalah‫ع‬ yang‫ع‬ dimaksudkan‫ع‬ oleh‫ع‬ firman‫ع‬ Allah‫ع‬ Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬Ta’ala‫ع‬ ‫ق‬
‫ع‬َ‫ن‬‫ِع‬َ‫ا‬ََ َ ‫ع‬َ‫ل‬ َُ‫ة‬ََ‫هللا‬ َ‫ه‬‫ِع‬ َْ َ‫و‬َ‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫ن‬َْْ‫ع‬‫ة‬ ‫ع‬َ‫ل‬‫ة‬َْ‫سع‬َ‫و‬َ‫ن‬‫ِع‬َ‫ا‬ََ َ ‫لَع‬ َ‫س‬ ‫ة‬‫ي‬‫و‬َ‫هللا‬ََ‫ه‬‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َ‫ِع‬ َََِْْْْ‫سع‬‫ة‬‫و‬‫ة‬َ‫ع‬َ‫ْم‬ََّ َ ‫ِع‬ ََََََُْْ‫ع‬َ‫ْس‬ََ‫ة‬َ‫ز‬َ‫م‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬
Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan
jelaslah‫ع‬ bagi‫ع‬mereka‫ع‬ akibat‫ع‬buruk‫ع‬dari‫ع‬apa‫ع‬yang‫ع‬ telah‫ع‬ mereka‫ع‬perbuat‫ع‬…‫[ع‬Az‫ع‬Zumar‫ع‬ ‫عق‬47-48]
‫ع‬‫َل‬‫ي‬‫ع‬‫ل‬َ‫أ‬‫َع‬‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َِْ‫ق‬‫ع‬َ‫ل‬ َََُ َ‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫ي‬ َ ‫ْع‬َ‫ز‬ْ‫ا‬‫ا‬‫عِن‬‫ة‬َِْ‫ز‬َ ‫َعِن‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َ‫ز‬َْ‫م‬‫ع‬ِ‫ل‬َ‫ل‬‫ع‬ َ‫هل‬‫ة‬‫ا‬ِ‫ن‬ِ‫ع‬‫ل‬َُْ‫م‬ََ‫ق‬‫ع‬َ‫هل‬ ‫ة‬ََْ‫ح‬َ‫س‬ْ‫ة‬َ‫ع‬‫س‬َ‫و‬ََ‫ة‬ََُ‫ي‬َْْ‫ل‬ْ‫ي‬َ‫م‬‫ع‬ َ‫ل‬ َ‫ي‬‫ة‬َ
Katakanlah‫”ق‬Apakah‫ع‬ akan‫ع‬ Kami‫ع‬ beritahukan‫ع‬ kepadamu‫ع‬ tentang‫ع‬ orang-orang yang paling
merugi‫ع‬ perbuatannya”.‫ع‬ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan
dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-
104].
Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam
secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda
tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus
terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar
dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.
Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai
orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia sajalah yang
konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.
Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan
dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang bodoh,
atau agar orang lain berpaling kepadanya.‫ع‬ Maka‫ع‬ Nabi‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬
mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam neraka
jahannam. Nasalullaha‫ع‬ As‫ع‬Salamah‫ع‬ wal‫ع‬‘Afiyah.‫ع‬
Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan
niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha
yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa,
membersihkan‫ع‬ hati‫ع‬ dari‫ع‬ unsur‫ع‬ riya’,‫ع‬ kesombongan,‫ع‬ gila‫ع‬ kedudukan,‫ع‬ pangkat,‫ع‬ harta‫ع‬ untuk
pamer dan lainnya.
Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu
menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta
adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita
diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya : Dan jika kamu
ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar‫ع‬ lagi‫ع‬ Maha‫ع‬Mengetahui.‫ع‬ [Al‫ع‬A’raf‫ع‬ ‫.]002عق‬
Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi,
memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.
Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan
ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di dunia-akhirat, dan
mengharap ganjaran dari Allah.
Upaya‫ع‬ mewujudkan‫ع‬ ikhlas‫ع‬ bisa‫ع‬ tercapai,‫ع‬ bila‫ع‬ kita‫ع‬ mengikuti‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬
sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar
nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang
dorongan‫ع‬ nafsu,‫ع‬ dan‫ع‬selalu‫ع‬ berdo’a‫ع‬kepada‫ع‬Allah‫ع‬ Ta’ala.
b. Hukum Beramal Yang Bercampur Antara Ikhlas Dan Tujuan-Tujuan Lain
Syaikh Muhammad bin Shalih‫ع‬ Al‫ع‬ ’Utsaimin‫ع‬ menjelaskan‫ع‬ tentang‫ع‬ seseorang‫ع‬ yang‫ع‬ beribadah‫ع‬
kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.
Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan
untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan
termasuk‫ع‬ syirik,‫ع‬ berdasarkan‫ع‬sabda‫ع‬Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬sallam,‫ع‬ Allah‫ع‬ berfirman‫ق‬
‫ع‬‫ة‬‫ن‬‫ع‬ َ ‫َع‬‫ا‬َ‫هللا‬َََْ‫ش‬‫ع‬َ ‫ة‬ْ‫َز‬ ‫َع‬‫ة‬َْْ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ع‬َ،َْ‫ن‬َ‫ق‬‫ع‬‫ل‬‫م‬َ‫م‬ََ‫ع‬َ‫ل‬‫ة‬‫م‬ََ‫ع‬‫ل‬َْ‫عْع‬‫ة‬،ْ‫ة‬َِ‫عِن‬‫ة‬‫ل‬ََ‫ع‬‫ة‬‫ْس‬َََْ‫ا‬ِ‫َإعِن‬‫ي‬ َ‫ق‬‫َْع‬َْ‫ق‬َ‫ا‬ََْ
Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan
yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah,
no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].
Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi
pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada
Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah
Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬Ta’ala‫ع‬ berfirman‫ق‬
‫ع‬َ‫عق‬ َ‫ل‬ َََ‫ر‬َُ‫ه‬َُ‫ع‬َْ‫و‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫ي‬ َ ‫ع‬َْ‫و‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َ‫ن‬َْ‫م‬ََ‫ق‬‫ع‬‫س‬‫ة‬‫و‬‫ز‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬ ‫ة‬َ‫م‬ َ َْ‫ع‬َْ‫و‬َ‫هللا‬َ‫ي‬‫ه‬ ‫ة‬ْ َ ‫ع‬َْ‫ز‬ْ‫ا‬‫ا‬‫َعِن‬َِْ‫ز‬َ ‫عِن‬َ‫ا‬‫ه‬ ‫ة‬َْ‫ه‬‫ع‬ َ‫ْل‬ََ‫ع‬‫ل‬َْ‫ع‬َ‫ْل‬ِ‫ي‬‫عِن‬ُِ‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬ِ َْ ‫ة‬‫ح‬َ‫س‬ِ‫َع‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َ‫ن‬‫ع‬ َ‫خ‬‫ز‬َ‫ن‬‫ع‬ َ‫هل‬‫ة‬‫ا‬ِ‫ن‬ِ‫ع‬ َ‫ا‬‫ة‬ََ‫ن‬
‫لَع‬ ََِ‫م‬َْ‫ه‬‫ِع‬ َََِْْْْ‫ع‬‫ه‬‫ل‬‫ة‬ ََْ َ ‫ْع‬َ‫و‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ِع‬ ََْ‫ي‬َ‫م‬َْْ‫ع‬ََ‫ة‬ََُّ َ
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia
tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan
lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan. [Hud : 15-16].
Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar
mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak
bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada
kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.
Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus
untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :
- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk
membersihkan badan.
- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan
ibadah haji dan melihat para jamaah haji.
Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat
ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret
pada‫ع‬dosa,‫ع‬seperti‫ع‬firman‫ع‬ Allah‫ع‬ tentang‫ع‬ jama’ah‫ع‬ haji‫ع‬ disebutkan‫ع‬ dalam KitabNya:
‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬ََِ‫لعل‬‫ة‬َْ‫ع‬‫ل‬‫م‬َُ‫س‬‫ِع‬ َ‫أ‬َ‫هللا‬َُ‫ش‬‫لع‬َ‫ق‬‫ع‬‫ه‬‫ا‬َْ‫ي‬َْ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ز‬َََِ‫ع‬ َ‫خ‬‫ز‬َ‫ن‬
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al‫ع‬ Baqarah‫ع‬‫.]891عق‬
Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh
ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan akan
menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai
tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah
nilainya.‫ع‬ Keadaan‫ع‬seperti‫ع‬itu‫ع‬ difirmankan‫ع‬ Allah‫ع‬ Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬Ta’ala‫ع‬ ‫ق‬
ِ َ‫ن‬َْ‫ه‬‫ع‬‫س‬ِ‫ن‬‫لع‬‫ة‬ َ ‫ِع‬ َ‫ل‬ َ‫ْعل‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ‫ِع‬ َ‫ن‬ََ‫عق‬‫ل‬‫ة‬‫أ‬َ‫س‬‫ع‬‫ة‬‫س‬َْ‫أ‬َ‫ا‬ِْ‫َعِن‬‫ة‬‫س‬‫ع‬َ،َ‫ي‬‫ة‬‫م‬َِ‫ه‬‫لع‬ِْ‫سع‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ َ ‫لَع‬ َ‫ن‬َ‫ر‬ََ‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫ي‬‫ِع‬ََ‫ة‬ ‫َع‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ
Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi
sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya,
dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].
Dalam‫ع‬ Sunan‫ع‬ Abu‫ع‬ Dawud‫ع‬ [11],‫ع‬ dari‫ع‬ Abu‫ع‬ Hurairah‫ع‬ Radhiyallahu‫ع‬ ‘anhu,‫ع‬ ada‫ع‬ seseorang‫ع‬
bertanya‫عق‬ “Ya‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ !‫ع‬ Seseorang‫ع‬ ingin‫ع‬ berjihad‫ع‬ di‫ع‬ jalan‫ع‬
Allah‫ع‬ Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬ Ta’ala‫ع‬ dan‫ع‬ ingin‫ع‬ mendapatkan‫ع‬ harta‫ع‬ (imbalan)‫ع‬ dunia?”‫ع‬ Rasulullah‫ع‬
Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ bersabda,”Tidak‫ع‬ ada‫ع‬ pahala‫ع‬ baginya,”‫ع‬ orang‫ع‬ itu‫ع‬ mengulangi‫ع‬ lagi‫ع‬
pertanyaannya‫ع‬ sampai‫ع‬ tiga‫ع‬ kali,‫ع‬ dan‫ع‬ Beliau‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ salalm‫ع‬ menjawab,”Tidak‫ع‬
ada‫ع‬pahala‫ع‬ baginya.”
Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin
Khaththab‫ع‬ Radhiyallahu‫ع‬ ‘anhu,‫ع‬ sesungguhnya‫ع‬ Nabi‫ع‬Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬sallam‫ع‬ bersabda‫قع‬
‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ز‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬ َََْْْ‫ي‬‫ْع‬َ‫م‬‫ه‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫َع‬‫ا‬َ‫ش‬َْ‫ي‬‫ة‬‫و‬َ‫س‬‫ْع‬َ‫و‬َ ‫ة‬‫و‬‫ي‬َ‫ه‬‫ع‬َِ‫ق‬َِْْ‫ع‬‫ة‬ َ‫ق‬‫ْعْع‬َ‫و‬َُ‫ز‬ ‫ة‬َْ‫ه‬‫ْع‬َ‫ز‬َْ‫ا‬‫ة‬‫ن‬‫َع‬‫ا‬َ‫ش‬َْ‫ي‬‫ة‬‫ي‬‫ع‬ َََْْ‫ع‬‫ل‬َْ
Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang
wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.
Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan
lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama. Pendapat yang
lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.
Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada
golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang
berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia
belaka.
Apabila‫ع‬ ditanyakan‫ع‬ “bagaimana‫ع‬ neraca‫ع‬ untuk‫ع‬ mengetahui‫ع‬ tujuan‫ع‬ orang‫ع‬ yang‫ع‬ termasuk‫ع‬ dalam
golongan‫ع‬ ini,‫ع‬ lebih‫ع‬ banyak‫ع‬ tujuan‫ع‬ untuk‫ع‬ ibadah‫ع‬ atau‫ع‬selain‫ع‬ ibadah?”
Jawaban‫ع‬ kami‫عق‬ “Neracanya‫ع‬ ialah,‫ع‬ apabila‫ع‬ ia‫ع‬ tidak‫ع‬ menaruh‫ع‬ perhatian‫ع‬ kecuali‫ع‬ kepada‫ع‬ ibadah‫ع‬
saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju
untuk‫ع‬ ibadah.‫ع‬ Dan‫ع‬bila‫ع‬ sebaliknya,‫ع‬ ia‫ع‬tidak‫ع‬mendapat‫ع‬ pahala”.
Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting.
Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah
disebabkan dengan niatnya.
Ada‫ع‬ seorang‫ع‬ ulama‫ع‬ Salaf‫ع‬ berkata‫عق‬ “Tidak‫ع‬ ada‫ع‬ satu‫ع‬ perjuangan‫ع‬ yang‫ع‬ paling‫ع‬ berat‫ع‬ atas‫ع‬ diriku,‫ع‬
melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam
niat‫ع‬ dan‫ع‬dibereskan‫ع‬ seluruh‫ع‬ amal”‫ع‬ [12].‫ع‬
c. Ikhlas Adalah Syarat Diterimanya Amal
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan
dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid
dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.
Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal.
Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi
Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai
dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan
sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih
dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:
‫ع‬‫ة‬َِّ َ ِ‫ل‬‫ا‬َََّ‫ق‬‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َََ‫عل‬‫ة‬َِ‫ل‬َُْ‫ة‬ْ‫ة‬َ‫ع‬َ، ‫ة‬َِْ‫ه‬َُ َ ‫ْع‬‫ل‬ ‫ة‬‫ن‬َْ‫م‬‫ع‬‫ل‬‫م‬َ‫م‬ََ‫ع‬‫ل‬َ‫م‬َْ‫ز‬َِ‫س‬‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َََ‫عل‬َ‫س‬ََْ‫ة‬‫ن‬‫ِع‬ ََْْ‫ه‬‫ع‬ َ‫ْل‬ََ‫ع‬‫ل‬َ‫م‬َ‫س‬‫هع‬‫ا‬
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan
amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi :
110].
Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu
sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan
agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata,
tidak menghendaki selainNya.[13]
Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya‫ع‬ [14]‫عق‬ “Inilah‫ع‬ dua‫ع‬ landasan‫ع‬ amalan‫ع‬
yang‫ع‬ diterima,‫ع‬ ikhlas‫ع‬ karena‫ع‬ Allah‫ع‬ dan‫ع‬ sesuai‫ع‬ dengan‫ع‬ Sunnah‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬
wa sallam‫ع‬ ”.
Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki‫ع‬ datang‫ع‬ kepada‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬
sallam‫ع‬ seraya‫ع‬ berkata,”Bagaimanakah‫ع‬ pendapatmu‫ع‬ (tentang)‫ع‬ seseorang‫ع‬ yang‫ع‬ berperang‫ع‬ demi‫ع‬
mencari‫ع‬ upah‫ع‬ dan‫ع‬ sanjungan,‫ع‬ apa‫ع‬ yang‫ع‬ diperolehnya?”‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬
sallam‫ع‬ menjawab,”Dia‫ع‬ tidak‫ع‬ mendapatkan‫ع‬ apa-apa.”‫ع‬ Orang‫ع‬ itu‫ع‬ mengulangi‫ع‬ pertanyaannya‫ع‬
sampai‫ع‬ tiga‫ع‬ kali,‫ع‬ dan‫ع‬ Nabi‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ salalm‫ع‬ selalu‫ع‬ menjawab,‫ع‬ orang‫ع‬ itu‫ع‬ tidak‫ع‬
mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬
wa sallam bersabda :
َ‫ا‬َ‫و‬ْ َ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َ‫ع‬ََ‫ة‬‫أ‬َ‫هللا‬َِ‫ع‬ َ ‫ع‬‫ل‬ْْ‫ة‬‫ن‬َْ‫ح‬‫َع‬‫ا‬َ‫ن‬‫ع‬ َ‫ْل‬ََ‫ْع‬َْ‫ع‬ُِ‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬‫ل‬َ‫م‬َْ‫عِن‬َ‫ل‬‫ة‬ْ‫ع‬َ‫ل‬ََُْ‫ه‬‫ع‬َُ‫ع‬َ ‫ع‬ ِ‫ل‬‫ة‬
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan
dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan
sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26-
27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no.
8].
2. RIDHO
Ridho berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang
dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridho adalah
menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada, menghadapinya
dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa ridho berkaitan dengan perkara
keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridho Allah kepada hamba-Nya dan ridho
hamba kepada Allah (Al-Mausu’ah‫ع‬ Al-Islamiyyah Al-’Ammah‫عق‬ 698).‫ع‬Ini‫ع‬ sebagaimana‫ع‬
diisyaratkan Allah dalam firman-Nya,
‫ر‬َ‫ب‬َّ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ِ‫ي‬‫ه‬َ ‫خ‬ِ‫م‬‫ه‬‫ن‬ِْ ‫َٰهخ‬ِْ‫ك‬‫ه‬َ‫خخ‬ ‫ر‬َِْ‫ه‬ُ ‫ا‬‫ر‬ُ‫و‬ ‫خ‬‫ه‬ُ ‫ه‬‫ا‬ ‫خ‬ِ‫ن‬‫ر‬‫ه‬ِْ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ر‬ ‫ب‬‫وه‬ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ ُِ ‫ه‬ُ
”…Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya.” (QS 98: 8).
Ridho Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan
ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridho seorang hamba kepada Allah mempunyai
arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah
dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun
menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan
bersabar ketika ditimpa musibah.
Dari definisi ridho tersebut terkandung isyarat bahwa ridho bukan berarti menerima begitu
saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridho
tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita
dituntut untuk ridho. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu
adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah
berfirman,
”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS 13: 11).
Hal ini berarti ridho menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang
menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam
ridho terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada
suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang
diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit. Karena ridho
terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya
mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya.
Begitu juga ridho terhadap takdir Allah yang buruk seperti sakit adalah dengan berusaha
mencari takdir Allah yang lain, yaitu berobat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin
Khathab ketika ia lari mencari tempat berteduh dari hujan deras yang turun ketika itu. Ia
ditanya,
”Mengapa engkau lari dari takdir Allah, wahai Umar?” Umar menjawab, ”Saya lari dari
takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang lain.”
Dengan demikian, tampaklah perbedaan antara makna ridho dan pasrah, yang kebanyakan
orang belum mengetahuinya. Dan itu bisa mengakibatkan salah persepsi maupun aplikasi
terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridho terhadap segala yang
Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap fatalisme. Sedangkan ridho
justru mengajak orang untuk optimistis.
a. Perbedaan Antara Ridho Dan Ikhlas
Terkadang‫ع‬ ridho‫ع‬ disama‫ع‬ artikan‫ع‬ dengan‫ع‬ ikhlas.‫ع‬ Namun‫ع‬ sebenarnya‫ع‬ ridho‫ع‬dan‫ع‬ikhlas‫ع‬ adalah‫ع‬
dua‫ع‬hal‫ع‬ yang‫ع‬ berbeda.‫ع‬Ridho‫ع‬ (‫ع‬‫ل‬‫ض‬ ‫ة‬‫)ل‬ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan
takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya
bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah.
Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik
pula bagi hamba-Nya. Perilaku yang ditampakkan oleh seorang hamba yang ridho adalah ia
tidak membenci apa yang terjadi menimpa dirinya, sehingga terjadi atau tidak terjadi adalah
sama saja baginya.sementara Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan
hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari orang lain.
Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat tertinggi, ia akan selalu
memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik nikmat maupun bencana,
karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata untuk kebaikan dirinya. Sang hamba
secara suka rela dan senang menerima apapun yang diberikan Allah kepada-Nya baik berupa
nikmat maupun musibah berupa bencana.
Sikap ridho dapat ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut:
1. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan usaha atau ikhtiar
dan penuh tanggung jawab.
2. Senantiasa mengingat Allah swt. dan tetap melaksanakan shalat dengan kusyuk.
3. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk dikagumi hasil
usahanya.
4. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah swt. atas segala nikmat pemberian-
Nya. Hal itu adalah upaya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan akhlak.
5. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan dan kemampuan,
seperti aktif dalam kegiatan social, kerja bakti, dan membantu orangtua di rumah dalam
menyelesaikan pekerjaan mereka.
6. Menunjukkan kerelaan atau rihdo terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Juga rida terhadap
kehidupan terhadap takdir yang berbentuk nikmat maupun musibah, dan terhadap perolehan
rezeki atau karunia Allah swt.
Apabila sebagian pendapat para ahli hikmah, ridho dikelompokan menjadi tiga
tingkatan, yaitu ridho kepada Alloh, ridho pada apa yang datang dari Alloh, dan ridho pada
qada Alloh.
Ridho kepada Allah adalah fardu ain.Ridho pada apa yang datang dari Allah meskipun
merupakan sesuatu yang sangat luhur, hal ini termasuk ubudiah yang sangat mulia.
Sesungguhnya pilihan tuhan untuk hamba-Nya dibagi dua macam yaitu pertama,
ikhtiyar ad-din‫ع‬wa‫ع‬syar’I‫ع‬ (pilihan‫ع‬ keagamaan‫ع‬ dan‫ع‬syariat).kedua,‫ع‬ ikhtiyar‫ع‬ kauni‫ع‬ kadari‫ع‬
(pilihan yang berkenaan dengan alam dan takdir).Takdir yang tidak dicintai dan diridai Alloh
yaitu perbuatan aib dan dosa-dosa.
Macam-macam rida :
1. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah
Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah
mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua
nilai‫ع‬ dan‫ع‬syari’ah‫ع‬ Islam.‫ع‬ Perhatikan‫ع‬ firman‫ع‬ Allah‫ع‬ dalam‫ع‬ Q.S.‫ع‬al-Bayyinah (98) ayat 8
‫ر‬َ‫ب‬َّ ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ِ‫ي‬‫ه‬َ ‫خ‬ِ‫م‬‫ه‬‫ن‬ِْ ‫َٰهخ‬ِْ‫ك‬‫ه‬َ‫خخخ‬ ‫ر‬َِْ‫ه‬ُ ‫او‬‫ر‬ُ ‫ه‬ُ‫ه‬‫ا‬ ‫خ‬ِ‫ن‬‫ر‬‫ه‬ِْ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ر‬ ‫وهب‬ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ ُِ ‫ه‬ُ‫خخخ‬ ‫َو‬‫ب‬‫ه‬َّ‫ه‬‫ا‬ ‫ف‬‫ه‬‫ه‬‫ه‬ِ‫ا‬ ‫همهخ‬ِ‫ب‬ِْ‫هف‬َ ‫خ‬‫ر‬ُ‫ف‬‫ه‬‫ه‬ِْ‫ه‬ ِ ‫و‬ ‫ف‬‫ه‬‫ه‬ِ‫ت‬ ِ‫ه‬‫ه‬‫ت‬ ‫خ‬ِ‫م‬ِ‫ن‬ ‫ت‬ ُِِ‫ر‬‫ه‬‫ت‬ ‫خ‬َ‫م‬ِ‫ب‬‫ه‬ُ ‫فنرخ‬‫ب‬ْ‫ه‬‫ر‬ ‫خ‬ِ‫ن‬ِ‫ه‬َِِّ ‫ه‬ُ ‫ه‬‫ب‬ُِِْ
‫خ‬ِ‫ن‬‫ر‬‫ا‬‫ر‬ُ‫و‬‫مه‬‫ه‬‫ر‬
Artinya : Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap
mereka dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang
yang takut kepada Tuhannya. (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 )
Dari ayat tersebut dapat dihayati, jika kita ridha terhadap perintah Allah maka Allah pun
ridha terhadap kita.
2. Ridha terhadap taqdir Allah
Mari kita simak, apa yang dikisahkan berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a.
melihat‫ع‬ Ady‫ع‬bin‫ع‬Hatim‫ع‬ bermuram‫ع‬ durja,‫ع‬maka‫ع‬Ali‫ع‬ bertanya‫ع‬ ;‫“ع‬Mengapa‫ع‬ engkau tampak
bersedih‫ع‬ hati‫ع‬ ?”.‫ع‬Ady‫ع‬menjawab‫ع‬ ;‫“ع‬Bagaimana‫ع‬ aku‫ع‬tidak‫ع‬bersedih‫ع‬ hati,‫ع‬ dua‫ع‬orang‫ع‬anakku‫ع‬
terbunuh‫ع‬ dan‫ع‬mataku‫ع‬ tercongkel‫ع‬ dalam‫ع‬ pertempuran”.‫ع‬ Ali‫ع‬ terdiam‫ع‬ haru,‫ع‬ kemudian‫ع‬ berkata,‫ع‬
“Wahai‫ع‬ Ady,‫ع‬barang‫ع‬ siapa‫ع‬ridha‫ع‬ terhadap‫ع‬taqdir‫ع‬Allah‫ع‬ swt.‫ع‬maka‫ع‬taqdir‫ع‬ itu tetap berlaku
atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya
maka‫ع‬hal‫ع‬itupun‫ع‬ tetap‫ع‬berlaku‫ع‬ atasnya,‫ع‬ dan‫ع‬terhapus‫ع‬ amalnya”.
Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan
yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah
keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim.
Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan
mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera
berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah
swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu
tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah
pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya
untuk bermusyahadah kepada Allah.
Dalam‫ع‬ suatu‫ع‬kisah‫ع‬ Abu‫ع‬Darda’,‫ع‬pernah‫ع‬ melayat‫ع‬ pada‫ع‬sebuah‫ع‬keluarga, yang salah satu
anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt.
Maka‫ع‬Abu‫ع‬Darda’‫ع‬berkata‫ع‬kepada‫ع‬mereka.‫ع‬“Engkau‫ع‬ benar,‫ع‬sesungguhnya‫ع‬ Allah‫ع‬ swt.‫ع‬apabila‫ع‬
memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau
ridha.
Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di
akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt.
dalam situasi apapun (Hikmah, Republika, Senin 5 Februari 2007, Nomor: 032/Tahun ke 15)
3. Ridha terhadap perintah orang tua.
Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah
swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah dalam Q.S.
Luqman (31) ayat 14 ;
َْ‫ي‬‫ز‬ِ‫م‬ َ َ ‫ْلَع‬ََْ‫ة‬ ِ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ه‬َ‫ا‬‫ة‬‫ن‬ِ َ ‫ة‬َ َ‫ا‬‫هللا‬ََِ‫م‬ََّ َ‫ا‬‫ا‬َْ‫ق‬ ْ‫ل‬‫ي‬‫ي‬ َ ‫إ‬َََِٰ ‫ع‬‫ل‬‫ي‬ َ َ‫ا‬َ‫ن‬َْْ‫ة‬‫س‬ َ َ‫ة‬‫س‬ ‫ع‬‫ة‬‫ل‬‫ز‬َََْْ ‫ع‬‫ة‬‫ل‬َ‫ق‬ ‫ع‬َْ‫و‬‫ِن‬ َ‫ة‬‫ن‬ ‫اَع‬‫ه‬َ‫ا‬‫ة‬‫ن‬ِ َ ‫ة‬‫ن‬ َ ‫ع‬ََِ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬َْ‫ز‬ ‫ة‬َْ‫م‬‫ِن‬
Artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14)
Bahkan‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ bersabda‫عقع‬“Keridhaan‫ع‬ Allah‫ع‬ tergantung‫ع‬ keridhaan‫ع‬ orang‫ع‬tua,‫ع‬dan‫ع‬
murka‫ع‬ Allah‫ع‬ tergantung‫ع‬ murka‫ع‬ orang‫ع‬tua”.‫ع‬ Begitulah‫ع‬ tingginya‫ع‬ nilai‫ع‬ ridha‫ع‬ orang‫ع‬tua‫ع‬dalam‫ع‬
kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya
keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka
Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan panggilan ibunya.
4. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara
Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah
satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan
dan ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4) ayat 59 berikut :
َْ‫ه‬ َْ‫و‬‫ا‬‫ه‬َ‫ق‬ ‫هلَع‬‫ة‬‫ا‬ِ‫ن‬ِ ِ َ‫ي‬َْ‫ا‬ ِ َْ‫ز‬‫ة‬ َ‫ق‬ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ ِ َْ‫ز‬‫ة‬ َ‫ق‬ َ ‫ع‬َ‫ن‬ َ‫م‬ ِْ‫ِن‬ َ‫ة‬‫ن‬ َ‫ق‬ َ ‫ع‬‫ة‬َْْ‫ِس‬ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ ٰ ‫ع‬‫ل‬‫ة‬‫أ‬َ‫س‬ ‫ع‬‫س‬َ‫هللا‬َََْْ‫ي‬َ‫ش‬ َ‫ة‬‫س‬ ‫ع‬‫س‬ََ‫ن‬ ‫ع‬َ‫ر‬ ‫ا‬‫ل‬ََْ‫س‬ ‫إ‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬ ِ‫ِه‬ ‫ع‬‫ة‬‫ن‬ َ‫م‬ ِْ‫ِن‬ َ ‫ع‬‫ل‬‫ة‬ ‫ع‬‫س‬َ‫هللا‬‫ي‬ََ
‫لَع‬ َ‫ي‬‫ة‬ْ‫ن‬َ‫ش‬ ‫ع‬‫ة‬ ِ‫ْه‬‫ة‬َ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬ َ‫ز‬‫ِن‬ َ ‫ع‬‫ة‬ْ ‫ة‬‫ح‬ ِ ٰ ‫ع‬ََٰ ‫اَع‬‫ة‬‫ن‬ ‫ع‬‫ه‬ْ‫َز‬‫ح‬ ‫ع‬َ‫ل‬ََََّ‫ق‬ َ ‫ع‬‫ل‬‫هم‬‫ة‬ ‫ل‬َ‫ش‬
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59)
Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama
dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan
dan perundang-undangan yang berlaku.
Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah ridha
terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri,
orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian
mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh.
Dalil Al-Quran :
‫ع‬ َ‫ن‬ َ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬َِْ‫ق‬ ِ َ‫ل‬ َ‫ل‬ َْْ ‫ع‬َ‫س‬َ‫ي‬َْ‫ش‬‫ا‬ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ َ‫ا‬َ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫ل‬ َ ِ َ‫ن‬َْ‫أ‬ َ ‫ع‬ََََّْ‫ي‬َُ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ َْ‫ي‬‫ز‬‫ة‬‫ش‬‫َن‬‫ز‬َ‫م‬ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ ‫ع‬‫ل‬‫ة‬ْ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َُِ‫س‬ َ‫ا‬َ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫ل‬ َ ِْْ‫ة‬ ‫إ‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬ ِ‫ِه‬ ‫لَع‬ َُ‫ة‬ َِ‫ل‬
Artinya :
Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya
kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian
dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
b. Tingkatan Ridho
1. Ridhâ al-muhsinîn
Relanya seseorang kepada hukum Allah, tetapi tingkat ini belum mencapai tingkat rela
kepada kesulitan dan penderitaan.
2. Ridhâ al-Syuhadâi
Kecintaannya kepada Allah tanpa mengharapkan balasan, menyebabkan dia rela terhadap
hokum dan terhadap segala sesuatu yang menimpanya.
3. Ridhâ al-shiddîqîna
Keasyikannya setiap saat menyatu bersama Allah, dan terus berusaha naik pada maqam-
maqam selanjutnya, sehingga merasakan kenikmatan bersama Allah apapun yang
menimpanya. Ini adalah urusan al-zauq (perasaan) karena syauq (rindunya) kepada Allah.
4. Ridhâ al-muqarrabîn
Relanya orang-orang yang sudah kembali dari al-Haq kepada al-Khâliq (Allah Swt.)
Sumber: https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html
http://mutiaradibalikmusibah.blogspot.com
http://avithafransiscaidp.blogspot.co.id/2013/10/makalah-tentang-ridho-dan-macam-
macam.html

Contenu connexe

Tendances

Sifat sifat tercela
Sifat sifat tercelaSifat sifat tercela
Sifat sifat tercela
darma wati
 
(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia
Dr. Maman SW
 
Pendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam Beribadah
Pendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam BeribadahPendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam Beribadah
Pendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam Beribadah
Muhamad Dzaki Albiruni
 
(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia
Dr. Maman SW
 

Tendances (20)

Ilmu ikhlas 2
Ilmu ikhlas 2Ilmu ikhlas 2
Ilmu ikhlas 2
 
Energi Ikhlas, agar bahagia dunia dan akhirat
Energi Ikhlas, agar bahagia dunia dan akhiratEnergi Ikhlas, agar bahagia dunia dan akhirat
Energi Ikhlas, agar bahagia dunia dan akhirat
 
Ikhlas
IkhlasIkhlas
Ikhlas
 
Sifat sifat tercela
Sifat sifat tercelaSifat sifat tercela
Sifat sifat tercela
 
Riya, sum’ah, ujub dan takabur adalah
Riya, sum’ah, ujub dan takabur adalahRiya, sum’ah, ujub dan takabur adalah
Riya, sum’ah, ujub dan takabur adalah
 
Menggapai ampunan dan ridho nya
Menggapai ampunan dan ridho nyaMenggapai ampunan dan ridho nya
Menggapai ampunan dan ridho nya
 
Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?
Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?
Apa Bentuk Komitmen Saya Kepada Islam?
 
Apa bentuk komitmen saya kepada Islam
Apa bentuk komitmen saya kepada IslamApa bentuk komitmen saya kepada Islam
Apa bentuk komitmen saya kepada Islam
 
(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4) amanah allah bagi setiap ruh manusia
 
Pendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam Beribadah
Pendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam BeribadahPendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam Beribadah
Pendidikan Agama Islam - Keikhlasan Dalam Beribadah
 
Iman yang Sempurna
Iman yang SempurnaIman yang Sempurna
Iman yang Sempurna
 
10.konsep taqwa dlm islam
10.konsep taqwa dlm islam10.konsep taqwa dlm islam
10.konsep taqwa dlm islam
 
Sifat sifat penghuni surga
Sifat sifat penghuni surgaSifat sifat penghuni surga
Sifat sifat penghuni surga
 
Power ikhlas bsi
Power ikhlas bsiPower ikhlas bsi
Power ikhlas bsi
 
Syirik ppt
Syirik pptSyirik ppt
Syirik ppt
 
Bagaimana menjadi orang yg ikhlas
Bagaimana menjadi orang yg ikhlasBagaimana menjadi orang yg ikhlas
Bagaimana menjadi orang yg ikhlas
 
Menghina dan Mencela Sesama Muslim
Menghina dan Mencela Sesama Muslim Menghina dan Mencela Sesama Muslim
Menghina dan Mencela Sesama Muslim
 
(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia
(4)amanah allah bagi setiap ruh manusia
 
Akhlak mulia dalam islam
Akhlak mulia dalam islamAkhlak mulia dalam islam
Akhlak mulia dalam islam
 
Calon Ahli Syurga dan Neraka
Calon Ahli Syurga dan NerakaCalon Ahli Syurga dan Neraka
Calon Ahli Syurga dan Neraka
 

Similaire à Tugas agama unwim

Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Muhsin Hariyanto
 

Similaire à Tugas agama unwim (20)

10 Kunci Tazkiyatun Nafs
10 Kunci Tazkiyatun Nafs10 Kunci Tazkiyatun Nafs
10 Kunci Tazkiyatun Nafs
 
Bersihkan hati menuju fitrah insani umy
Bersihkan hati menuju fitrah insani umyBersihkan hati menuju fitrah insani umy
Bersihkan hati menuju fitrah insani umy
 
Ikhlas
IkhlasIkhlas
Ikhlas
 
Ikhlas
IkhlasIkhlas
Ikhlas
 
Ikhlas
IkhlasIkhlas
Ikhlas
 
14 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xiv 2013 surah al ashr
14 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xiv 2013 surah al ashr14 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xiv 2013 surah al ashr
14 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xiv 2013 surah al ashr
 
15 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xv 2013 tawakkal 1
15 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xv 2013 tawakkal 115 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xv 2013 tawakkal 1
15 buletin hikmah jumat laz nas chevron duri edisi xv 2013 tawakkal 1
 
Kiat2 agar selalu berlapang_dada
Kiat2 agar selalu berlapang_dadaKiat2 agar selalu berlapang_dada
Kiat2 agar selalu berlapang_dada
 
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
Teks khutbah idul fitri, 1 syawwal 1436 h 01
 
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzilyKata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
Kata kata hukmah syeikh abul hassan asy-syadzily
 
Wasiat Emas Untuk Haji
Wasiat Emas Untuk  HajiWasiat Emas Untuk  Haji
Wasiat Emas Untuk Haji
 
Memahami makna khusyu'
Memahami makna khusyu'Memahami makna khusyu'
Memahami makna khusyu'
 
Agama Kelompok Moenica
Agama Kelompok MoenicaAgama Kelompok Moenica
Agama Kelompok Moenica
 
Memahami makna khusyu'
Memahami makna khusyu'Memahami makna khusyu'
Memahami makna khusyu'
 
Menghayati Nilai-nilai Mujahadah An-Nafs, Musabaqah Bil Khairat, Etos Kerja, ...
Menghayati Nilai-nilai Mujahadah An-Nafs, Musabaqah Bil Khairat, Etos Kerja, ...Menghayati Nilai-nilai Mujahadah An-Nafs, Musabaqah Bil Khairat, Etos Kerja, ...
Menghayati Nilai-nilai Mujahadah An-Nafs, Musabaqah Bil Khairat, Etos Kerja, ...
 
Memperbaiki hati
Memperbaiki hatiMemperbaiki hati
Memperbaiki hati
 
kenapa kita butuh - tazkiyatun nafs - the gang offur
kenapa kita butuh - tazkiyatun nafs - the gang offurkenapa kita butuh - tazkiyatun nafs - the gang offur
kenapa kita butuh - tazkiyatun nafs - the gang offur
 
Bahaya Dosa dan Maksiat.
Bahaya Dosa dan Maksiat.Bahaya Dosa dan Maksiat.
Bahaya Dosa dan Maksiat.
 
Id agar doa di ijabah
Id agar doa di ijabahId agar doa di ijabah
Id agar doa di ijabah
 
Doa Penyejuk Jiwa
Doa Penyejuk JiwaDoa Penyejuk Jiwa
Doa Penyejuk Jiwa
 

Tugas agama unwim

  • 1. MAKALAH TENTANG IKHLAS DAN RIDHO Dosen Pengajar : Ustadz Deni Disusun Oleh: M. Isnan Maulana. T (4122.2.16.11.0009) Nurfatwa Qalbiyana. M (4122.2.16.11.0010) Edieh Kartiwa (4122.2.16.11.0002) PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS WINAYA MUKTI 2016
  • 2. 1. IKHLAS ‫ع‬َ‫ن‬َْ‫أ‬‫َع‬ِ َْ‫ه‬ََْ‫ي‬‫ع‬َ‫ة‬ََ‫ق‬‫ع‬‫ل‬ََ :‫عع‬َ‫ق‬‫ع‬ َ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬َ ََِ‫أ‬‫إع‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬َََْ‫ي‬َ‫ه‬‫ع‬‫ل‬‫ة‬‫و‬َ‫ن‬‫ع‬ َ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬‫ن‬ِ َ َْ‫ق‬‫ع‬ َ ‫ع‬‫س‬ََ ‫ة‬‫ل‬ َ َ‫م‬‫إع‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬َََْ‫ي‬َ‫ه‬‫ع‬َُ‫ع‬َ ‫ع‬ ِ‫ل‬‫ة‬ ‫عقع‬‫ة‬ ‫ع‬َ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫َعل‬‫ن‬َْ‫أ‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬‫ن‬َْ‫م‬َ Dari‫ع‬ Abu‫ع‬ Hurairah‫ع‬ Radhiyallahu‫ع‬ ‘anhu,‫ع‬ ia‫ع‬ berkata‫عق‬ Nabi‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ telah‫ع‬ bersabda,”Sesungguhnya‫ع‬ Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian,‫ع‬ akan‫ع‬tetapi‫ع‬ Dia‫ع‬melihat‫ع‬ kepada‫ع‬hati‫ع‬ dan‫ع‬amal‫ع‬ kalian”.‫ع‬ Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk. Al‫ع‬ ‘Izz‫ع‬ bin‫ع‬ Abdis‫ع‬ Salam‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak‫ع‬pula‫ع‬ berharap‫ع‬manfaat‫ع‬ dan‫ع‬menolak‫ع‬ bahaya”. Al‫ع‬ Harawi‫ع‬ mengatakan‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ membersihkan‫ع‬ amal‫ع‬ dari‫ع‬ setiap‫ع‬ noda.”‫ع‬ Yang‫ع‬ lain berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Seorang‫ع‬ yang‫ع‬ ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ seorang‫ع‬ yang‫ع‬ tidak‫ع‬ mencari‫ع‬ perhatian‫ع‬ di‫ع‬ hati‫ع‬ manusia‫ع‬ dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai‫ع‬ memperhatikan‫ع‬ amalnya,‫ع‬ meskipun‫ع‬ hanya‫ع‬ seberat‫ع‬biji‫ع‬ sawi”.‫ع‬ Abu‫ع‬ ‘Utsman‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ melupakan‫ع‬ pandangan‫ع‬ makhluk,‫ع‬ dengan‫ع‬ selalu‫ع‬ melihat‫ع‬ kepada‫ع‬Khaliq‫ع‬ (Allah)”. Abu‫ع‬ Hudzaifah‫ع‬ Al‫ع‬ Mar’asyi‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Ikhlas‫ع‬ ialah,‫ع‬ kesesuaian‫ع‬ perbuatan‫ع‬ seorang‫ع‬ hamba‫ع‬ antara‫ع‬lahir‫ع‬ dan‫ع‬batin”.‫ع‬ Abu‫ع‬ ‘Ali‫ع‬ Fudhail‫ع‬ bin‫ع‬ ‘Iyadh‫ع‬ berkata‫ع‬ ‫عق‬ “Meninggalkan‫ع‬ amal‫ع‬ karena‫ع‬ manusia‫ع‬ adalah‫ع‬ riya’.‫ع‬ Dan‫ع‬ beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari‫ع‬keduanya”. Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan. Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.
  • 3. Syaikh‫ع‬ Muhammad‫ع‬ bin‫ع‬ Shalih‫ع‬ Al‫ع‬ ‘Utsaimin‫ع‬ berpendapat,‫ع‬ arti‫ع‬ ikhlas‫ع‬ karena‫ع‬ Allah‫ع‬ ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya. a. Sulitnya Mewujudkan Ikhlas Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah. Imam‫ع‬ Sufyan‫ع‬ Ats‫ع‬ Tsauri‫ع‬ berkata,”Tidaklah‫ع‬ aku‫ع‬ mengobati‫ع‬ sesuatu‫ع‬ yang‫ع‬ lebih‫ع‬ berat‫ع‬ daripada‫ع‬ mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik‫ع‬ pada‫ع‬diriku.”‫ع‬ Karena‫ع‬itu‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬sallam‫ع‬ berdo’a‫عق‬ ‫اَع‬‫ة‬‫ي‬‫ه‬‫ة‬‫ل‬‫إع‬َََِ‫ع‬َ‫ة‬َُِ‫أ‬‫ع‬ ‫ة‬ََُِّ‫عْع‬‫ة‬َ ََِْ‫عِن‬ ََ‫ة‬َََِْْ‫ْع‬َ‫ه‬ Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu. Lalu seorang sahabat berkata,”Ya‫ع‬ Rasulullah,‫ع‬ kami‫ع‬ beriman‫ع‬ kepadamu‫ع‬ dan‫ع‬ kepada‫ع‬ apa‫ع‬ yang‫ع‬ engkau‫ع‬ bawa‫ع‬ kepada‫ع‬ kami?”‫ع‬ Beliau‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ menjawab,”Ya,‫ع‬ karena‫ع‬ sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan Allah membolak- balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih‫ع‬ At‫ع‬ Tirmidzi,‫ع‬ III/171‫ع‬ no.‫ع‬ 2792;‫ع‬ Shahih‫ع‬ Jami’ush‫ع‬ Shagir,‫ع‬ no.7987‫ع‬ dan‫ع‬ Zhilalul‫ع‬ Jannah‫ع‬ Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas]. Yahya‫ع‬ bin‫ع‬Abi‫ع‬Katsir‫ع‬berkata,”Belajarlah‫ع‬ niat,‫ع‬ karena niat lebih‫ع‬ penting‫ع‬ daripada‫ع‬amal.”‫ع‬ Muththarif‫ع‬ bin‫ع‬ Abdullah‫ع‬ berkata,”Kebaikan‫ع‬ hati‫ع‬ tergantung‫ع‬ kepada‫ع‬ kebaikan‫ع‬ amal,‫ع‬ dan‫ع‬ kebaikan‫ع‬ amal‫ع‬ bergantung‫ع‬ kepada‫ع‬kebaikan‫ع‬ niat.”‫ع‬ Pernah‫ع‬ ada‫ع‬ orang‫ع‬ bertanya‫ع‬ kepada‫ع‬ Suhail‫عق‬ “Apakah‫ع‬ yang‫ع‬ paling‫ع‬ berat‫ع‬ bagi‫ع‬ nafsu‫ع‬ manusia?”‫ع‬ Ia‫ع‬menjawab,”Ikhlas,‫ع‬ sebab‫ع‬nafsu‫ع‬ tidak‫ع‬pernah‫ع‬memiliki‫ع‬ bagian‫ع‬ dari‫ع‬ikhlas.”‫ع‬ Dikisahkan‫ع‬ ada‫ع‬ seorang‫ع‬ ‘alim‫ع‬ yang‫ع‬ selalu‫ع‬ shalat‫ع‬ di‫ع‬ shaf‫ع‬ paling‫ع‬ depan.‫ع‬ Suatu‫ع‬ hari‫ع‬ ia‫ع‬ datang‫ع‬ terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada‫ع‬ para‫ع‬ jama’ah‫ع‬ lain‫ع‬ yang‫ع‬ melihatnya.‫ع‬ Maka‫ع‬ pada‫ع‬ saat‫ع‬ itulah,‫ع‬ ia‫ع‬ menyadari‫ع‬ bahwa‫ع‬ sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain. Yusuf bin Husain Ar Razi‫ع‬ berkata,”Sesuatu‫ع‬ yang‫ع‬ paling‫ع‬ sulit‫ع‬ di‫ع‬ dunia‫ع‬ adalah‫ع‬ ikhlas.‫ع‬ Aku‫ع‬ sudah bersungguh-sungguh‫ع‬ untuk‫ع‬ menghilangkan‫ع‬ riya’‫ع‬ dari‫ع‬ hatiku,‫ع‬ seolah-olah timbul riya, dengan warna‫ع‬lain.”‫ع‬ Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat. Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya,
  • 4. kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan.‫ع‬ Merekalah‫ع‬ yang‫ع‬ dimaksudkan‫ع‬ oleh‫ع‬ firman‫ع‬ Allah‫ع‬ Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬Ta’ala‫ع‬ ‫ق‬ ‫ع‬َ‫ن‬‫ِع‬َ‫ا‬ََ َ ‫ع‬َ‫ل‬ َُ‫ة‬ََ‫هللا‬ َ‫ه‬‫ِع‬ َْ َ‫و‬َ‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫ن‬َْْ‫ع‬‫ة‬ ‫ع‬َ‫ل‬‫ة‬َْ‫سع‬َ‫و‬َ‫ن‬‫ِع‬َ‫ا‬ََ َ ‫لَع‬ َ‫س‬ ‫ة‬‫ي‬‫و‬َ‫هللا‬ََ‫ه‬‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َ‫ِع‬ َََِْْْْ‫سع‬‫ة‬‫و‬‫ة‬َ‫ع‬َ‫ْم‬ََّ َ ‫ِع‬ ََََََُْْ‫ع‬َ‫ْس‬ََ‫ة‬َ‫ز‬َ‫م‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬ Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan jelaslah‫ع‬ bagi‫ع‬mereka‫ع‬ akibat‫ع‬buruk‫ع‬dari‫ع‬apa‫ع‬yang‫ع‬ telah‫ع‬ mereka‫ع‬perbuat‫ع‬…‫[ع‬Az‫ع‬Zumar‫ع‬ ‫عق‬47-48] ‫ع‬‫َل‬‫ي‬‫ع‬‫ل‬َ‫أ‬‫َع‬‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َِْ‫ق‬‫ع‬َ‫ل‬ َََُ َ‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫ي‬ َ ‫ْع‬َ‫ز‬ْ‫ا‬‫ا‬‫عِن‬‫ة‬َِْ‫ز‬َ ‫َعِن‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َ‫ز‬َْ‫م‬‫ع‬ِ‫ل‬َ‫ل‬‫ع‬ َ‫هل‬‫ة‬‫ا‬ِ‫ن‬ِ‫ع‬‫ل‬َُْ‫م‬ََ‫ق‬‫ع‬َ‫هل‬ ‫ة‬ََْ‫ح‬َ‫س‬ْ‫ة‬َ‫ع‬‫س‬َ‫و‬ََ‫ة‬ََُ‫ي‬َْْ‫ل‬ْ‫ي‬َ‫م‬‫ع‬ َ‫ل‬ َ‫ي‬‫ة‬َ Katakanlah‫”ق‬Apakah‫ع‬ akan‫ع‬ Kami‫ع‬ beritahukan‫ع‬ kepadamu‫ع‬ tentang‫ع‬ orang-orang yang paling merugi‫ع‬ perbuatannya”.‫ع‬ Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103- 104]. Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah. Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak. Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya.‫ع‬ Maka‫ع‬ Nabi‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha‫ع‬ As‫ع‬Salamah‫ع‬ wal‫ع‬‘Afiyah.‫ع‬ Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan‫ع‬ hati‫ع‬ dari‫ع‬ unsur‫ع‬ riya’,‫ع‬ kesombongan,‫ع‬ gila‫ع‬ kedudukan,‫ع‬ pangkat,‫ع‬ harta‫ع‬ untuk pamer dan lainnya. Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya : Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar‫ع‬ lagi‫ع‬ Maha‫ع‬Mengetahui.‫ع‬ [Al‫ع‬A’raf‫ع‬ ‫.]002عق‬ Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.
  • 5. Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah. Upaya‫ع‬ mewujudkan‫ع‬ ikhlas‫ع‬ bisa‫ع‬ tercapai,‫ع‬ bila‫ع‬ kita‫ع‬ mengikuti‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan‫ع‬ nafsu,‫ع‬ dan‫ع‬selalu‫ع‬ berdo’a‫ع‬kepada‫ع‬Allah‫ع‬ Ta’ala. b. Hukum Beramal Yang Bercampur Antara Ikhlas Dan Tujuan-Tujuan Lain Syaikh Muhammad bin Shalih‫ع‬ Al‫ع‬ ’Utsaimin‫ع‬ menjelaskan‫ع‬ tentang‫ع‬ seseorang‫ع‬ yang‫ع‬ beribadah‫ع‬ kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan. Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan termasuk‫ع‬ syirik,‫ع‬ berdasarkan‫ع‬sabda‫ع‬Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬sallam,‫ع‬ Allah‫ع‬ berfirman‫ق‬ ‫ع‬‫ة‬‫ن‬‫ع‬ َ ‫َع‬‫ا‬َ‫هللا‬َََْ‫ش‬‫ع‬َ ‫ة‬ْ‫َز‬ ‫َع‬‫ة‬َْْ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ع‬َ،َْ‫ن‬َ‫ق‬‫ع‬‫ل‬‫م‬َ‫م‬ََ‫ع‬َ‫ل‬‫ة‬‫م‬ََ‫ع‬‫ل‬َْ‫عْع‬‫ة‬،ْ‫ة‬َِ‫عِن‬‫ة‬‫ل‬ََ‫ع‬‫ة‬‫ْس‬َََْ‫ا‬ِ‫َإعِن‬‫ي‬ َ‫ق‬‫َْع‬َْ‫ق‬َ‫ا‬ََْ Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah]. Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬Ta’ala‫ع‬ berfirman‫ق‬ ‫ع‬َ‫عق‬ َ‫ل‬ َََ‫ر‬َُ‫ه‬َُ‫ع‬َْ‫و‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫ي‬ َ ‫ع‬َْ‫و‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َ‫ن‬َْ‫م‬ََ‫ق‬‫ع‬‫س‬‫ة‬‫و‬‫ز‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬ ‫ة‬َ‫م‬ َ َْ‫ع‬َْ‫و‬َ‫هللا‬َ‫ي‬‫ه‬ ‫ة‬ْ َ ‫ع‬َْ‫ز‬ْ‫ا‬‫ا‬‫َعِن‬َِْ‫ز‬َ ‫عِن‬َ‫ا‬‫ه‬ ‫ة‬َْ‫ه‬‫ع‬ َ‫ْل‬ََ‫ع‬‫ل‬َْ‫ع‬َ‫ْل‬ِ‫ي‬‫عِن‬ُِ‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬ِ َْ ‫ة‬‫ح‬َ‫س‬ِ‫َع‬‫ة‬‫س‬‫ع‬‫س‬َ‫و‬َ‫ن‬‫ع‬ َ‫خ‬‫ز‬َ‫ن‬‫ع‬ َ‫هل‬‫ة‬‫ا‬ِ‫ن‬ِ‫ع‬ َ‫ا‬‫ة‬ََ‫ن‬ ‫لَع‬ ََِ‫م‬َْ‫ه‬‫ِع‬ َََِْْْْ‫ع‬‫ه‬‫ل‬‫ة‬ ََْ َ ‫ْع‬َ‫و‬‫ز‬‫ة‬‫س‬‫ِع‬ ََْ‫ي‬َ‫م‬َْْ‫ع‬ََ‫ة‬ََُّ َ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hud : 15-16]. Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya. Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya : - Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan. - Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
  • 6. - Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji. Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret pada‫ع‬dosa,‫ع‬seperti‫ع‬firman‫ع‬ Allah‫ع‬ tentang‫ع‬ jama’ah‫ع‬ haji‫ع‬ disebutkan‫ع‬ dalam KitabNya: ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ة‬ََِ‫لعل‬‫ة‬َْ‫ع‬‫ل‬‫م‬َُ‫س‬‫ِع‬ َ‫أ‬َ‫هللا‬َُ‫ش‬‫لع‬َ‫ق‬‫ع‬‫ه‬‫ا‬َْ‫ي‬َْ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ز‬َََِ‫ع‬ َ‫خ‬‫ز‬َ‫ن‬ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al‫ع‬ Baqarah‫ع‬‫.]891عق‬ Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya.‫ع‬ Keadaan‫ع‬seperti‫ع‬itu‫ع‬ difirmankan‫ع‬ Allah‫ع‬ Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬Ta’ala‫ع‬ ‫ق‬ ِ َ‫ن‬َْ‫ه‬‫ع‬‫س‬ِ‫ن‬‫لع‬‫ة‬ َ ‫ِع‬ َ‫ل‬ َ‫ْعل‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ‫ِع‬ َ‫ن‬ََ‫عق‬‫ل‬‫ة‬‫أ‬َ‫س‬‫ع‬‫ة‬‫س‬َْ‫أ‬َ‫ا‬ِْ‫َعِن‬‫ة‬‫س‬‫ع‬َ،َ‫ي‬‫ة‬‫م‬َِ‫ه‬‫لع‬ِْ‫سع‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ َ ‫لَع‬ َ‫ن‬َ‫ر‬ََ‫ه‬‫ع‬‫س‬َ‫ي‬‫ِع‬ََ‫ة‬ ‫َع‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58]. Dalam‫ع‬ Sunan‫ع‬ Abu‫ع‬ Dawud‫ع‬ [11],‫ع‬ dari‫ع‬ Abu‫ع‬ Hurairah‫ع‬ Radhiyallahu‫ع‬ ‘anhu,‫ع‬ ada‫ع‬ seseorang‫ع‬ bertanya‫عق‬ “Ya‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ !‫ع‬ Seseorang‫ع‬ ingin‫ع‬ berjihad‫ع‬ di‫ع‬ jalan‫ع‬ Allah‫ع‬ Subhanahu‫ع‬ wa‫ع‬ Ta’ala‫ع‬ dan‫ع‬ ingin‫ع‬ mendapatkan‫ع‬ harta‫ع‬ (imbalan)‫ع‬ dunia?”‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ bersabda,”Tidak‫ع‬ ada‫ع‬ pahala‫ع‬ baginya,”‫ع‬ orang‫ع‬ itu‫ع‬ mengulangi‫ع‬ lagi‫ع‬ pertanyaannya‫ع‬ sampai‫ع‬ tiga‫ع‬ kali,‫ع‬ dan‫ع‬ Beliau‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ salalm‫ع‬ menjawab,”Tidak‫ع‬ ada‫ع‬pahala‫ع‬ baginya.” Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin Khaththab‫ع‬ Radhiyallahu‫ع‬ ‘anhu,‫ع‬ sesungguhnya‫ع‬ Nabi‫ع‬Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬sallam‫ع‬ bersabda‫قع‬
  • 7. ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ز‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬ َََْْْ‫ي‬‫ْع‬َ‫م‬‫ه‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫َع‬‫ا‬َ‫ش‬َْ‫ي‬‫ة‬‫و‬َ‫س‬‫ْع‬َ‫و‬َ ‫ة‬‫و‬‫ي‬َ‫ه‬‫ع‬َِ‫ق‬َِْْ‫ع‬‫ة‬ َ‫ق‬‫ْعْع‬َ‫و‬َُ‫ز‬ ‫ة‬َْ‫ه‬‫ْع‬َ‫ز‬َْ‫ا‬‫ة‬‫ن‬‫َع‬‫ا‬َ‫ش‬َْ‫ي‬‫ة‬‫ي‬‫ع‬ َََْْ‫ع‬‫ل‬َْ Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah. Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa. Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka. Apabila‫ع‬ ditanyakan‫ع‬ “bagaimana‫ع‬ neraca‫ع‬ untuk‫ع‬ mengetahui‫ع‬ tujuan‫ع‬ orang‫ع‬ yang‫ع‬ termasuk‫ع‬ dalam golongan‫ع‬ ini,‫ع‬ lebih‫ع‬ banyak‫ع‬ tujuan‫ع‬ untuk‫ع‬ ibadah‫ع‬ atau‫ع‬selain‫ع‬ ibadah?” Jawaban‫ع‬ kami‫عق‬ “Neracanya‫ع‬ ialah,‫ع‬ apabila‫ع‬ ia‫ع‬ tidak‫ع‬ menaruh‫ع‬ perhatian‫ع‬ kecuali‫ع‬ kepada‫ع‬ ibadah‫ع‬ saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk‫ع‬ ibadah.‫ع‬ Dan‫ع‬bila‫ع‬ sebaliknya,‫ع‬ ia‫ع‬tidak‫ع‬mendapat‫ع‬ pahala”. Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan niatnya. Ada‫ع‬ seorang‫ع‬ ulama‫ع‬ Salaf‫ع‬ berkata‫عق‬ “Tidak‫ع‬ ada‫ع‬ satu‫ع‬ perjuangan‫ع‬ yang‫ع‬ paling‫ع‬ berat‫ع‬ atas‫ع‬ diriku,‫ع‬ melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam niat‫ع‬ dan‫ع‬dibereskan‫ع‬ seluruh‫ع‬ amal”‫ع‬ [12].‫ع‬ c. Ikhlas Adalah Syarat Diterimanya Amal Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan. Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya: ‫ع‬‫ة‬َِّ َ ِ‫ل‬‫ا‬َََّ‫ق‬‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َََ‫عل‬‫ة‬َِ‫ل‬َُْ‫ة‬ْ‫ة‬َ‫ع‬َ، ‫ة‬َِْ‫ه‬َُ َ ‫ْع‬‫ل‬ ‫ة‬‫ن‬َْ‫م‬‫ع‬‫ل‬‫م‬َ‫م‬ََ‫ع‬‫ل‬َ‫م‬َْ‫ز‬َِ‫س‬‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َََ‫عل‬َ‫س‬ََْ‫ة‬‫ن‬‫ِع‬ ََْْ‫ه‬‫ع‬ َ‫ْل‬ََ‫ع‬‫ل‬َ‫م‬َ‫س‬‫هع‬‫ا‬ Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110]. Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan
  • 8. agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13] Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya‫ع‬ [14]‫عق‬ “Inilah‫ع‬ dua‫ع‬ landasan‫ع‬ amalan‫ع‬ yang‫ع‬ diterima,‫ع‬ ikhlas‫ع‬ karena‫ع‬ Allah‫ع‬ dan‫ع‬ sesuai‫ع‬ dengan‫ع‬ Sunnah‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa sallam‫ع‬ ”. Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki‫ع‬ datang‫ع‬ kepada‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ seraya‫ع‬ berkata,”Bagaimanakah‫ع‬ pendapatmu‫ع‬ (tentang)‫ع‬ seseorang‫ع‬ yang‫ع‬ berperang‫ع‬ demi‫ع‬ mencari‫ع‬ upah‫ع‬ dan‫ع‬ sanjungan,‫ع‬ apa‫ع‬ yang‫ع‬ diperolehnya?”‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ sallam‫ع‬ menjawab,”Dia‫ع‬ tidak‫ع‬ mendapatkan‫ع‬ apa-apa.”‫ع‬ Orang‫ع‬ itu‫ع‬ mengulangi‫ع‬ pertanyaannya‫ع‬ sampai‫ع‬ tiga‫ع‬ kali,‫ع‬ dan‫ع‬ Nabi‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa‫ع‬ salalm‫ع‬ selalu‫ع‬ menjawab,‫ع‬ orang‫ع‬ itu‫ع‬ tidak‫ع‬ mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah‫ع‬ Shallallahu‫ع‬ ‘alaihi‫ع‬ wa sallam bersabda : َ‫ا‬َ‫و‬ْ َ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َ‫ع‬ََ‫ة‬‫أ‬َ‫هللا‬َِ‫ع‬ َ ‫ع‬‫ل‬ْْ‫ة‬‫ن‬َْ‫ح‬‫َع‬‫ا‬َ‫ن‬‫ع‬ َ‫ْل‬ََ‫ْع‬َْ‫ع‬ُِ‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬‫ل‬َ‫م‬َْ‫عِن‬َ‫ل‬‫ة‬ْ‫ع‬َ‫ل‬ََُْ‫ه‬‫ع‬َُ‫ع‬َ ‫ع‬ ِ‫ل‬‫ة‬ Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah. [HR Nasa-i, VI/25 dan sanad-nya jayyid sebagaimana perkataan Imam Mundziri dalam At Targhib Wat Tarhib, I/26- 27 no. 9. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib Wat Tarhib, I/106, no. 8].
  • 9. 2. RIDHO Ridho berasal dari kata radhiya-yardha yang berarti menerima suatu perkara dengan lapang dada tanpa merasa kecewa ataupun tertekan. Sedangkan menurut istilah, ridho adalah menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan lapang dada, menghadapinya dengan tabah, tidak merasa kesal dan tidak berputus asa ridho berkaitan dengan perkara keimanan yang terbagi menjadi dua macam. Yaitu, ridho Allah kepada hamba-Nya dan ridho hamba kepada Allah (Al-Mausu’ah‫ع‬ Al-Islamiyyah Al-’Ammah‫عق‬ 698).‫ع‬Ini‫ع‬ sebagaimana‫ع‬ diisyaratkan Allah dalam firman-Nya, ‫ر‬َ‫ب‬َّ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ِ‫ي‬‫ه‬َ ‫خ‬ِ‫م‬‫ه‬‫ن‬ِْ ‫َٰهخ‬ِْ‫ك‬‫ه‬َ‫خخ‬ ‫ر‬َِْ‫ه‬ُ ‫ا‬‫ر‬ُ‫و‬ ‫خ‬‫ه‬ُ ‫ه‬‫ا‬ ‫خ‬ِ‫ن‬‫ر‬‫ه‬ِْ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ر‬ ‫ب‬‫وه‬ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ ُِ ‫ه‬ُ ”…Allah ridho terhadap mereka dan mereka pun ridho kepada-Nya.” (QS 98: 8). Ridho Allah kepada hamba-Nya adalah berupa tambahan kenikmatan, pahala, dan ditinggikan derajat kemuliaannya. Sedangkan ridho seorang hamba kepada Allah mempunyai arti menerima dengan sepenuh hati aturan dan ketetapan Allah. Menerima aturan Allah ialah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Adapun menerima ketetapannya adalah dengan cara bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan bersabar ketika ditimpa musibah. Dari definisi ridho tersebut terkandung isyarat bahwa ridho bukan berarti menerima begitu saja segala hal yang menimpa kita tanpa ada usaha sedikit pun untuk mengubahnya. Ridho tidak sama dengan pasrah. Ketika sesuatu yang tidak diinginkan datang menimpa, kita dituntut untuk ridho. Dalam artian kita meyakini bahwa apa yang telah menimpa kita itu adalah takdir yang telah Allah tetapkan, namun kita tetap dituntut untuk berusaha. Allah berfirman, ”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS 13: 11). Hal ini berarti ridho menuntut adanya usaha aktif. Berbeda dengan sikap pasrah yang menerima kenyataan begitu saja tanpa ada usaha untuk mengubahnya. Walaupun di dalam ridho terdapat makna yang hampir sama dengan pasrah yaitu menerima dengan lapang dada suatu perkara, namun di sana dituntut adanya usaha untuk mencapai suatu target yang diinginkan atau mengubah kondisi yang ada sekiranya itu perkara yang pahit. Karena ridho terhadap aturan Allah seperti perintah mengeluarkan zakat, misalnya, bukan berarti hanya mengakui itu adalah aturan Allah melainkan disertai dengan usaha untuk menunaikannya. Begitu juga ridho terhadap takdir Allah yang buruk seperti sakit adalah dengan berusaha mencari takdir Allah yang lain, yaitu berobat. Seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin Khathab ketika ia lari mencari tempat berteduh dari hujan deras yang turun ketika itu. Ia ditanya, ”Mengapa engkau lari dari takdir Allah, wahai Umar?” Umar menjawab, ”Saya lari dari takdir Allah yang satu ke takdir Allah yang lain.” Dengan demikian, tampaklah perbedaan antara makna ridho dan pasrah, yang kebanyakan orang belum mengetahuinya. Dan itu bisa mengakibatkan salah persepsi maupun aplikasi terhadap makna ayat- ayat yang memerintahkan untuk bersikap ridho terhadap segala yang
  • 10. Allah tetapkan. Dengan kata lain pasrah akan melahirkan sikap fatalisme. Sedangkan ridho justru mengajak orang untuk optimistis. a. Perbedaan Antara Ridho Dan Ikhlas Terkadang‫ع‬ ridho‫ع‬ disama‫ع‬ artikan‫ع‬ dengan‫ع‬ ikhlas.‫ع‬ Namun‫ع‬ sebenarnya‫ع‬ ridho‫ع‬dan‫ع‬ikhlas‫ع‬ adalah‫ع‬ dua‫ع‬hal‫ع‬ yang‫ع‬ berbeda.‫ع‬Ridho‫ع‬ (‫ع‬‫ل‬‫ض‬ ‫ة‬‫)ل‬ berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya. Perilaku yang ditampakkan oleh seorang hamba yang ridho adalah ia tidak membenci apa yang terjadi menimpa dirinya, sehingga terjadi atau tidak terjadi adalah sama saja baginya.sementara Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari orang lain. Bahkan bila tingkatan ridho seorang hamba sudah mencapai tingkat tertinggi, ia akan selalu memuji Allah apapun yang Allah berikan kepada dirinya baik nikmat maupun bencana, karena ia percaya apa yang menimpanya semata-mata untuk kebaikan dirinya. Sang hamba secara suka rela dan senang menerima apapun yang diberikan Allah kepada-Nya baik berupa nikmat maupun musibah berupa bencana. Sikap ridho dapat ditunjukkan melalui hal-hal sebagai berikut: 1. Sabar dalam melaksanakan kewajiban hingga selesai dengan kesungguhan usaha atau ikhtiar dan penuh tanggung jawab. 2. Senantiasa mengingat Allah swt. dan tetap melaksanakan shalat dengan kusyuk. 3. Tidak iri hati atas kekurangan atau kelebihan orang lain dan tidak ria untuk dikagumi hasil usahanya. 4. Senantiasa bersyukur atau berterima kasih kepada Allah swt. atas segala nikmat pemberian- Nya. Hal itu adalah upaya untuk mencapai tingkat tertinggi dalam perbaikan akhlak. 5. Tetap beramal saleh (berbuat baik) kepada sesama sesuai dengan keadaan dan kemampuan, seperti aktif dalam kegiatan social, kerja bakti, dan membantu orangtua di rumah dalam menyelesaikan pekerjaan mereka. 6. Menunjukkan kerelaan atau rihdo terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Juga rida terhadap kehidupan terhadap takdir yang berbentuk nikmat maupun musibah, dan terhadap perolehan rezeki atau karunia Allah swt. Apabila sebagian pendapat para ahli hikmah, ridho dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu ridho kepada Alloh, ridho pada apa yang datang dari Alloh, dan ridho pada qada Alloh. Ridho kepada Allah adalah fardu ain.Ridho pada apa yang datang dari Allah meskipun merupakan sesuatu yang sangat luhur, hal ini termasuk ubudiah yang sangat mulia. Sesungguhnya pilihan tuhan untuk hamba-Nya dibagi dua macam yaitu pertama, ikhtiyar ad-din‫ع‬wa‫ع‬syar’I‫ع‬ (pilihan‫ع‬ keagamaan‫ع‬ dan‫ع‬syariat).kedua,‫ع‬ ikhtiyar‫ع‬ kauni‫ع‬ kadari‫ع‬ (pilihan yang berkenaan dengan alam dan takdir).Takdir yang tidak dicintai dan diridai Alloh yaitu perbuatan aib dan dosa-dosa. Macam-macam rida :
  • 11. 1. Ridha terhadap perintah dan larangan Allah Artinya ridha untuk mentaati Allah dan Rasulnya. Pada hakekatnya seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, dapat diartikan sebagai pernyataan ridha terhadap semua nilai‫ع‬ dan‫ع‬syari’ah‫ع‬ Islam.‫ع‬ Perhatikan‫ع‬ firman‫ع‬ Allah‫ع‬ dalam‫ع‬ Q.S.‫ع‬al-Bayyinah (98) ayat 8 ‫ر‬َ‫ب‬َّ ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ِ‫ي‬‫ه‬َ ‫خ‬ِ‫م‬‫ه‬‫ن‬ِْ ‫َٰهخ‬ِْ‫ك‬‫ه‬َ‫خخخ‬ ‫ر‬َِْ‫ه‬ُ ‫او‬‫ر‬ُ ‫ه‬ُ‫ه‬‫ا‬ ‫خ‬ِ‫ن‬‫ر‬‫ه‬ِْ‫ه‬ُ ‫خ‬‫ر‬ ‫وهب‬ ‫خ‬‫ه‬‫ش‬ ُِ ‫ه‬ُ‫خخخ‬ ‫َو‬‫ب‬‫ه‬َّ‫ه‬‫ا‬ ‫ف‬‫ه‬‫ه‬‫ه‬ِ‫ا‬ ‫همهخ‬ِ‫ب‬ِْ‫هف‬َ ‫خ‬‫ر‬ُ‫ف‬‫ه‬‫ه‬ِْ‫ه‬ ِ ‫و‬ ‫ف‬‫ه‬‫ه‬ِ‫ت‬ ِ‫ه‬‫ه‬‫ت‬ ‫خ‬ِ‫م‬ِ‫ن‬ ‫ت‬ ُِِ‫ر‬‫ه‬‫ت‬ ‫خ‬َ‫م‬ِ‫ب‬‫ه‬ُ ‫فنرخ‬‫ب‬ْ‫ه‬‫ر‬ ‫خ‬ِ‫ن‬ِ‫ه‬َِِّ ‫ه‬ُ ‫ه‬‫ب‬ُِِْ ‫خ‬ِ‫ن‬‫ر‬‫ا‬‫ر‬ُ‫و‬‫مه‬‫ه‬‫ر‬ Artinya : Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya. (Q.S.al-Bayyinah ayat 8 ) Dari ayat tersebut dapat dihayati, jika kita ridha terhadap perintah Allah maka Allah pun ridha terhadap kita. 2. Ridha terhadap taqdir Allah Mari kita simak, apa yang dikisahkan berikut ; pada suatu hari Ali bin Abi Thalib r.a. melihat‫ع‬ Ady‫ع‬bin‫ع‬Hatim‫ع‬ bermuram‫ع‬ durja,‫ع‬maka‫ع‬Ali‫ع‬ bertanya‫ع‬ ;‫“ع‬Mengapa‫ع‬ engkau tampak bersedih‫ع‬ hati‫ع‬ ?”.‫ع‬Ady‫ع‬menjawab‫ع‬ ;‫“ع‬Bagaimana‫ع‬ aku‫ع‬tidak‫ع‬bersedih‫ع‬ hati,‫ع‬ dua‫ع‬orang‫ع‬anakku‫ع‬ terbunuh‫ع‬ dan‫ع‬mataku‫ع‬ tercongkel‫ع‬ dalam‫ع‬ pertempuran”.‫ع‬ Ali‫ع‬ terdiam‫ع‬ haru,‫ع‬ kemudian‫ع‬ berkata,‫ع‬ “Wahai‫ع‬ Ady,‫ع‬barang‫ع‬ siapa‫ع‬ridha‫ع‬ terhadap‫ع‬taqdir‫ع‬Allah‫ع‬ swt.‫ع‬maka‫ع‬taqdir‫ع‬ itu tetap berlaku atasnya dan dia mendapatkan pahalaNya, dan barang siapa tidak ridha terhadap taqdirNya maka‫ع‬hal‫ع‬itupun‫ع‬ tetap‫ع‬berlaku‫ع‬ atasnya,‫ع‬ dan‫ع‬terhapus‫ع‬ amalnya”. Ada dua sikap utama bagi seseorang ketika dia tertimpa sesuatu yang tidak diinginkan yaitu ridha dan sabar. Ridha merupakan keutamaan yang dianjurkan, sedangkan sabar adalah keharusan dan kemestian yang perlu dilakukan oleh seorang muslim. Perbedaan antara sabar dan ridha adalah sabar merupakan perilaku menahan nafsu dan mengekangnya dari kebencian, sekalipun menyakitkan dan mengharap akan segera berlalunya musibah. Sedangkan ridha adalah kelapangan jiwa dalam menerima taqdir Allah swt. Dan menjadikan ridha sendiri sebagai penawarnya. Sebab didalam hatinya selalu tertanam sangkaan baik (Husnuzan) terhadap sang Khaliq bagi orang yang ridha ujian adalah pembangkit semangat untuk semakin dekat kepada Allah, dan semakin mengasyikkan dirinya untuk bermusyahadah kepada Allah. Dalam‫ع‬ suatu‫ع‬kisah‫ع‬ Abu‫ع‬Darda’,‫ع‬pernah‫ع‬ melayat‫ع‬ pada‫ع‬sebuah‫ع‬keluarga, yang salah satu anggota keluarganya meninggal dunia. Keluarga itu ridha dan tabah serta memuji Allah swt. Maka‫ع‬Abu‫ع‬Darda’‫ع‬berkata‫ع‬kepada‫ع‬mereka.‫ع‬“Engkau‫ع‬ benar,‫ع‬sesungguhnya‫ع‬ Allah‫ع‬ swt.‫ع‬apabila‫ع‬ memutuskan suatu perkara, maka dia senang jika taqdirnya itu diterima dengan rela atau ridha.
  • 12. Begitu tingginya keutamaan ridha, hingga ulama salaf mengatakan, tidak akan tampak di akhirat derajat yang tertinggi daripada orang-orang yang senantiasa ridha kepada Allah swt. dalam situasi apapun (Hikmah, Republika, Senin 5 Februari 2007, Nomor: 032/Tahun ke 15) 3. Ridha terhadap perintah orang tua. Ridha terhadap perintah orang tua merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. karena keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, perintah Allah dalam Q.S. Luqman (31) ayat 14 ; َْ‫ي‬‫ز‬ِ‫م‬ َ َ ‫ْلَع‬ََْ‫ة‬ ِ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ه‬َ‫ا‬‫ة‬‫ن‬ِ َ ‫ة‬َ َ‫ا‬‫هللا‬ََِ‫م‬ََّ َ‫ا‬‫ا‬َْ‫ق‬ ْ‫ل‬‫ي‬‫ي‬ َ ‫إ‬َََِٰ ‫ع‬‫ل‬‫ي‬ َ َ‫ا‬َ‫ن‬َْْ‫ة‬‫س‬ َ َ‫ة‬‫س‬ ‫ع‬‫ة‬‫ل‬‫ز‬َََْْ ‫ع‬‫ة‬‫ل‬َ‫ق‬ ‫ع‬َْ‫و‬‫ِن‬ َ‫ة‬‫ن‬ ‫اَع‬‫ه‬َ‫ا‬‫ة‬‫ن‬ِ َ ‫ة‬‫ن‬ َ ‫ع‬ََِ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬َْ‫ز‬ ‫ة‬َْ‫م‬‫ِن‬ Artinya : “ Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. (Q.S. Luqman :14) Bahkan‫ع‬ Rasulullah‫ع‬ bersabda‫عقع‬“Keridhaan‫ع‬ Allah‫ع‬ tergantung‫ع‬ keridhaan‫ع‬ orang‫ع‬tua,‫ع‬dan‫ع‬ murka‫ع‬ Allah‫ع‬ tergantung‫ع‬ murka‫ع‬ orang‫ع‬tua”.‫ع‬ Begitulah‫ع‬ tingginya‫ع‬ nilai‫ع‬ ridha‫ع‬ orang‫ع‬tua‫ع‬dalam‫ع‬ kehidupan kita, sehingga untuk mendapatkan keridhaan dari Allah, mempersyaratkan adanya keridhaan orang tua. Ingatlah kisah Juraij, walaupun beliau ahli ibadah, ia mendapat murka Allah karena ibunya tersinggung ketika ia tidak menghiraukan panggilan ibunya. 4. Ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara Mentaati peraturan yang belaku merupakan bagian dari ajaran Islam dan merupakan salah satu bentuk ketaatan kepada Allah swt. karena dengan demikian akan menjamin keteraturan dan ketertiban sosial. Mari kita hayati firman Allah dalam Q.S. an-Nisa (4) ayat 59 berikut : َْ‫ه‬ َْ‫و‬‫ا‬‫ه‬َ‫ق‬ ‫هلَع‬‫ة‬‫ا‬ِ‫ن‬ِ ِ َ‫ي‬َْ‫ا‬ ِ َْ‫ز‬‫ة‬ َ‫ق‬ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ ِ َْ‫ز‬‫ة‬ َ‫ق‬ َ ‫ع‬َ‫ن‬ َ‫م‬ ِْ‫ِن‬ َ‫ة‬‫ن‬ َ‫ق‬ َ ‫ع‬‫ة‬َْْ‫ِس‬ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬‫ي‬‫ة‬ْ ٰ ‫ع‬‫ل‬‫ة‬‫أ‬َ‫س‬ ‫ع‬‫س‬َ‫هللا‬َََْْ‫ي‬َ‫ش‬ َ‫ة‬‫س‬ ‫ع‬‫س‬ََ‫ن‬ ‫ع‬َ‫ر‬ ‫ا‬‫ل‬ََْ‫س‬ ‫إ‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬ ِ‫ِه‬ ‫ع‬‫ة‬‫ن‬ َ‫م‬ ِْ‫ِن‬ َ ‫ع‬‫ل‬‫ة‬ ‫ع‬‫س‬َ‫هللا‬‫ي‬ََ ‫لَع‬ َ‫ي‬‫ة‬ْ‫ن‬َ‫ش‬ ‫ع‬‫ة‬ ِ‫ْه‬‫ة‬َ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬ َ‫ز‬‫ِن‬ َ ‫ع‬‫ة‬ْ ‫ة‬‫ح‬ ِ ٰ ‫ع‬ََٰ ‫اَع‬‫ة‬‫ن‬ ‫ع‬‫ه‬ْ‫َز‬‫ح‬ ‫ع‬َ‫ل‬ََََّ‫ق‬ َ ‫ع‬‫ل‬‫هم‬‫ة‬ ‫ل‬َ‫ش‬ Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( Q.S. an-Nisa :59) Ulil Amri artinya orang-orang yang diberi kewenangan, seperti ulama dan umara (Ulama dan pemerintah). Ulama dengan fatwa dan nasehatnya sedangkan umara dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Termasuk dalam ridha terhadap peraturan dan undang-undang negara adalah ridha terhadap peraturan sekolah, karena dengan sikap demikian, berarti membantu diri sendiri, orang tua, guru dan sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan. Dengan demikian mempersiapkan diri menjadi kader bangsa yang tangguh. Dalil Al-Quran :
  • 13. ‫ع‬ َ‫ن‬ َ ‫ع‬‫س‬َ‫و‬َِْ‫ق‬ ِ َ‫ل‬ َ‫ل‬ َْْ ‫ع‬َ‫س‬َ‫ي‬َْ‫ش‬‫ا‬ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ َ‫ا‬َ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫ل‬ َ ِ َ‫ن‬َْ‫أ‬ َ ‫ع‬ََََّْ‫ي‬َُ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ َْ‫ي‬‫ز‬‫ة‬‫ش‬‫َن‬‫ز‬َ‫م‬ ‫ع‬َ ِ‫ِه‬ ‫ع‬‫ل‬‫ة‬ْ ‫ع‬‫ة‬‫ا‬‫ة‬َُِ‫س‬ َ‫ا‬َ‫ن‬ َ‫م‬ َ‫ل‬ َ ِْْ‫ة‬ ‫إ‬َ‫ن‬‫ة‬ ‫ع‬‫ة‬ ِ‫ِه‬ ‫لَع‬ َُ‫ة‬ َِ‫ل‬ Artinya : Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: "Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan sebagian dari karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah," (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka). b. Tingkatan Ridho 1. Ridhâ al-muhsinîn Relanya seseorang kepada hukum Allah, tetapi tingkat ini belum mencapai tingkat rela kepada kesulitan dan penderitaan. 2. Ridhâ al-Syuhadâi Kecintaannya kepada Allah tanpa mengharapkan balasan, menyebabkan dia rela terhadap hokum dan terhadap segala sesuatu yang menimpanya. 3. Ridhâ al-shiddîqîna Keasyikannya setiap saat menyatu bersama Allah, dan terus berusaha naik pada maqam- maqam selanjutnya, sehingga merasakan kenikmatan bersama Allah apapun yang menimpanya. Ini adalah urusan al-zauq (perasaan) karena syauq (rindunya) kepada Allah. 4. Ridhâ al-muqarrabîn Relanya orang-orang yang sudah kembali dari al-Haq kepada al-Khâliq (Allah Swt.) Sumber: https://almanhaj.or.id/2977-pengertian-ikhlas.html http://mutiaradibalikmusibah.blogspot.com http://avithafransiscaidp.blogspot.co.id/2013/10/makalah-tentang-ridho-dan-macam- macam.html