SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  36
Télécharger pour lire hors ligne
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT 
REPUBLIK INDONESIA 
RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI I DPR RI 
Tahun Sidang : 2009-2010 
Masa Persidangan : IV 
Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI 
Sifat Rapat : Terbuka 
Hari/tanggal : Rabu, 14 Juli 2010 
Waktu : Pukul 10.00 WIB 
Pimpinan Rapat : Tubagus Hasanuddin /Wakil Ketua Komisi I DPR RI 
Sekretaris Rapat : Dra. Damayanti 
Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, 
Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 
Acara : RDP Komisi I DPR RI dengan Ketua KPI dan Dewan Pers 
Pemerintah : Ketua KPI dan Ketua Dewan Pers 
Hadir : orang dari 47 orang Anggota Komisi I DPR RI 
Anggota yang hadir : - Pimpinan Komisi I DPR RI: 
1. H. Hayono Isman, S.IP./Wakil Ketua Komisi I DPR RI/F-Partai Demokrat 
2. Drs. Agus Gumiwang Kartasasmita/Wakil Ketua Komisi I DPR RI/F-PG 
3. Tubagus Hasanuddin/Wakil Ketua Komisi I DPR RI/F-PDI Perjuangan 
- Anggota Komisi I DPR RI: 
F-PARTAI DEMOKRAT: 
4. Mayjen TNI (Purn) Yahya Sacawiria, S.IP., MM. 
5. Max Sopacua, S.E., M.Si. 
6. Ir. H. Hari Kartana, MM. 
7. Edhie Baskoro Yudhoyono, B.Com., M.Sc. 
8. DR. Hj. R. Adjeng Ratna Suminar, S.H., M.H. 
9. Mayjen TNI (Purn) Salim Mengga 
10.Drs. Ramadhan Pohan, MIS 
11.KRMT Roy Suryo Notodiprojo 
12. Paula Sinjal, S.H. 
F-PG: 
13. Ir. Neil Iskandar Daulay 
14.Jeffrie Geovanie 
15. Tantowi Yahya 
16.Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnaen, B.Bus. 
17.Drs. H.A. Muchamad Ruslan. 
18.Drs. Enggartiasto Lukita. 
19.Paskalis Kossay, S.Pd., MM. 
20.Yorrys Raweyai 
F-PDI PERJUANGAN: 
21.Sidarto Danusubroto, S.H. 
22.Dadoes Soemarwanto 
23.Evita Nursanty 
F-PKS: 
24.Prof. DR. H. Irwan Prayitno, P.si., M.Sc. 
F-PAN: 
25.Ir. Muhammad Najib, M.Sc. 
26.Prof. DR. Ismet Ahmad 
27.Ir. H. Azwar Abubakar, MM. 
F-PPP: 
28.H. Amin Suparmin, S.HI. 
F-PKB: 
29.Hj. Lily Chodidjah Wahid 
30.DR. H.A. Effendy Choirie, M.H.
2 
F-GERINDRA: 31.Rachel Maryam Sayidina F-PARTAI HANURA: 32.Dra. Hj. Soemintarsi Muntoro, M.Si. Anggota yang Izin: 
1. Kemal Azis Stamboel/Ketua Komisi I DPR RI/F-PKS 
2. DR.Nurhayati Ali Assegaf, M.Si. /F-Partai Demokrat 
3. Drs. H. Guntur Sasono, M.Si. /F-Partai Demokrat 
4. Mirwan Amir./F-Partai Demokrat 
5. Tjahjo Kumolo /F-PDI Perjuangan 
6. H. Tri Tamtomo, SH/F-PDI Perjuangan 
7. Helmy Fauzy /F-PDI Perjuangan 
8. Luthfi Hasan Ishaaq, MA./F-PKS 
9. Drs. Al Muzzammil Yusuf./F-PKS 
10. DR. Muhammad Hidayat Nurwahid, MA. /F-PKS 
11. H. Achmad DG. Sere, S.Sos./F-PKB 
12. H. Ahmad Muzani./F-Gerindra 
Jalannya Rapat: 
KETUA RAPAT (TB. HASANUDDIN, S.E., M.M.): Anggota Komisi I yang saya hormati, Ketua KPI beserta Anggota yang lain, Dewan Pers, Ibu Uni cs, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu dalam acara yang boleh dikategorikan mendadak, ada satu hal yang perlu kita diskusikan dan kita bicarakan. Pada pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum siang ini ada 2 (dua) masalah yang ingin kita bicarakan: 
1. Masalah Infotainment 
2. Masalah keputusan MK, nanti barangkali ada informasi lain dari rekan-rekan yang baru saja barangkali atau telah berkomunikasi dengan MK. 
Masalah infotainment yang kami dapatkan informasinya adalah kira-kira sebagai berikut, dimana terjadi pendapat atau berbeda pendapat atau semacam diskusi dimana infotainment itu dimasukkan di dalam faktual dan non faktual. Ketika berbicara non faktual saya kira sudah clear diklarifikasikan oleh KPI. Kemudian ada hal-hal lain bagaimana kewenangan KPI didalam melaksanakan tugas pokoknya yang itu ada hubungannya juga dengan keputusan MK. Menarik untuk kita diskusikan barangkali, saya mencoba membaca di dalam Koran Kompas hari ini tentang infotainment yang kebetulan ini karya seorang Doktor di dalam desertasinya yang notabene menjadi pemahaman untuk kita, nanti akan kita diskusikan lebih lanjut. Izinkan saya untuk membacakan masalah ini sekilas. Beberapa alasan pokok penyebab maraknya infotainment antara lain perubahan struktural industri penyiaran dan telekomunikasi, integrasi vertikal dan horizontal industri media, tekanan pencapaian ekonomi serta munculnya pekerja media yang hanya memiliki keterikatan minim pada kode etik jurnalistik. Selain itu adanya cara pandang bahwa lapangan jurnalisme dan hiburan itu sama saja. Kemudian menurut Doktor ini proses produksi infotainment kerap melanggar prinsip-prinsip jurnalistik, sehingga tidak dapat disebut sebagai karya jurnalistik. Ini sebuah pendapat karya ilmiah yang harus kita diskusikan dan mungkin debatable. Prinsip kebenaran, klarifikasi, independent dan proporsional dalam pemberitaan yang merupakan beberapa elemen jurnalisme yang dihembuskan, mengacu kepada pendapat Bill Kovach misalnya, kerap dilanggar. Infotainment lebih banyak berdasarkan kepada gosip. Produksi dan distribusi program infotainment tentang budaya industri dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan dipengaruhi etika kapitalis. Jurnalisme kian identik dengan bisnis atau terjadi pergeseran nilai jurnalistik yang semula mengedepankan fakta tetapi belakangan mengedepankan fungsi bisnis. Pertumbuhan jumlah tayangan infotainment dilatar-belakangi antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kemudian dalam 1 minggu terdapat 49 program infotainment yang disajikan 11 industri televisi nasional. Stasiun televisi yang tidak menyajikan infotainment hanya TVRI. Ada sebuah fakta, ada sebuah hasil penelitian dari seorang Doktor dan barangkali hari ini nanti akan kita diskusikan, acaranya yang pertama saya mohon dahulu nanti Bapak Ketua KPI untuk menjelaskan masalah ini, termasuk juga di dalamnya itu adalah penjelasan tentang keputusan MK yang ada hubungannya dengan job description yang disandang oleh KPI. Kemudian yang kedua barangkali nanti mohon penjelasan seputar masalah itu dari Dewan Pers Yang terakhir nanti kita akan bertukar pikiran dengan Rekan-rekan Anggota Komisi I.
3 
Saya persilakan kepada Pak Dadang. KETUA KPI (DADANG RAHMAT HIDAYAT): Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Yang saya hormati Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR-RI, Yang saya hormati Rekan-rekan Komisioner KPI Pusat, Yang saya hormati Rekan-rekan dari Dewan Pers, dan Hadirin sekalian, Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menjelaskan yang disampaikan oleh Bapak Pimpinan tadi tentang yang pertama berkaitan dengan masalah infotainment. Apa yang tadi dibacakan oleh Bapak Pimpinan tentang salah satu berita di koran barangkali itu juga yang menjadi salah satu latar belakang kenapa muncul masalah ini. Perlu kami sampaikan bahwa kami sudah membuat pandangan kami tentang apa yang ditanyakan. Jadi kami tidak akan membacakan semuanya, kami akan membaca khusus atau langsung kepada yang ditanyakan pokoknya. Yang dikaitkan dengan infotainment ini sebetulnya berasal dari Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia yang dihadiri oleh KPI Pusat dan KPID seluruh Indonesia. Di dalam salah satu rekomendasinya menyebutkan bahwa meminta kepada KPI, khususnya KPI Pusat, untuk meninjau program-program yang dinyatakan sebagai program faktual di dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran), khususnya untuk meninjau apakah infotainment dan reality show masih relevan untuk tetap dimasukkan ke dalam program faktual. Tentu ada alasan-alasan yang bersifat sosiologis, alasan-alasan yang bersifat normatif dan alasan-alasan yang bersifat hostoris, bahkan mungkin psikologis. Antara lain yang kita punyai data-data dari Januari sampai Juni kita mendapatkan aduan lebih dari 400 aduan berkaitan dengan isi siaran, 31,98% itu aduan tentang infotainment. Bahkan khusus pada Juni itu bisa mencapai di atas 98%, mungkin karena ada kasus video cabul yang kita sudah ketahui bersama. Ini tampaknya menjadi tugas bagi KPI Pusat untuk melakukan atau melaksanakan rekomendasi yang sudah dibuat oleh Rakornas, salah satunya adalah kami akan membicarakan ini dengan berbagai pihak yang memang berkepentingan tentang kedudukan apakah infotaiment ini masih tetap bisa dikategorikan sebagai program non faktual dalam konteks KPI atau mungkin dalam konteks yang lain apakah itu masih relevan sebagai karya jurnalistik. Melihat beberapa aduan yang disampaikan kepada kami dan termasuk juga penilaian-penilaian kami, ada beberapa yang seringkali dimasalahkan. Yang pertama yang berkaitan dengan isi siarannya atau isi infotainment itu. Apakah semuanya berkaitan dengan fakta? Apakah kemudian tidak ada rekayasa? Apakah isinya mungkin saja ada gosip atau tidak? Apakah cara pencarian beritanya sudah sesuai, termasuk juga cara penyajiannya, baik narasi maupun gambar-gambarnya? Barangkali ini yang menjadi hal yang sangat penting untuk disampaikan. 
Berikutnya juga mengenai jumlah durasi dan frekuensi tayangan-tayangan infotainment yang ada. Tadi disampaikan bahwa ada 49 jam tayang. Sebagiannya, bahkan mungkin sebagian besar tampaknya jam tayangnya pun tidak cocok. Yang dikupas masalah-masalah dewasa, yang dikupas masalah-masalah katakanlah pribadi, sementara jam tayangnya mulai dari bangun pagi, siang, sore sampai mau tidur acara- acara itu tetap ada. Itulah yang barangkali yang menjadi latar belakang apakah program infotainment ini masih dimasukkan ke dalam program faktual. Ada beberapa yang memang menjadi hal krusial dari konsekuensi program faktual atau program non faktual. Untuk program faktual memang itu sudah pasti tidak menjadi program yang bisa masuk ke lembaga sensor film misalnya. Berbeda dengan program non faktual. Program non faktual itu antara lain sinetron, iklan atau program-program hiburan lainnya yang memang masuk kriteria untuk masuk ke dalam lembaga sensor film. Kami pun sebetulnya tidak pernah menyatakan bahwa infotainment harus disensor. Namun jika nanti dikategorikan bukan sebagai program faktual tentunya kami akan berbicara dengan lembaga yang berwenang yaitu lembaga sensor film apakah ini termasuk menjadi program yang disensor atau tidak. Kalau misalnya tidak disensor, sekali lagi itu kewenangan dari lembaga sensor film. Ini barangkali yang menjadi pokok permasalahan yang sering dimunculkan. Tetapi terus terang saja kami mau menyampaikan juga beberapa hal yang berkaitan dengan teguran-teguran kepada stasiun TV terutama bahwa dalam rentang Januari sampai Juli ini KPI Pusat telah mengeluarkan 45 surat imbauan teguran, peringatan hingga penghentian sementara. Dari jumlah tersebut 7 diantaranya adalah surat peringatan dan teguran mengenai tayangan infotainment. Satu peringatan ditujukan kepada semua stasiun televisi pada Tanggal 8 Juni. Sebetulnya peringatan ini bukan sanksi, itu early warning pada saat RDP yang terdahulu kami sampaikan dikaitkan dengan kasus video yang waktu itu masih mirip artis, waktu itu saya katakan masih mirip artis. Enam diantaranya yang memang sudah dianggap melanggar P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran). Dalam konteks infotainment pun teguran yang dikeluarkan oleh KPI kami tidak pernah melarang pemberitaannya, informasinya, tetapi hal-hal yang berkaitan khususnya kasus kemarin itu berkaitan dengan penayangan gambar-gambar yang menurut pandangan kami dan banyak pihak itu termasuk video cabul. Kemudian
4 
juga kami melihat, apakah ini relevan atau tidak, tapi perlu kami sampaikan bahwa kalau melihat lagi aduan-aduan atau keberatan-keberatan masyarakat, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat, keberatan, kritik hingga kecaman terhadap infotainment ini tidak hanya muncul dalam bentuk pengaduan masyarakat kepada KPI Pusat, termasuk juga kepada KPI Daerah, namun dapat juga disimak dari berbagai berita di internet, misalnya kapanlagi.com, okezone.com, detik,com dan lain-lain. Barangkali ini yang melatarbelakangi permasalahan itu muncul. Sampai saat ini kami ingin tegaskan bahwa infotaiment masih masuk dalam kriteria program faktual P3SPS KPI. Apa yang akan terjadi ke depan? Tentu berdasarkan pertemuan kami, koordinasi kami dengan masukan-masukan ke berbagai pihak, termasuk Hari Jumat ini, kami akan membuat dialog publik, mendapatkan masukan-masukan apakah memang masih masuk ke dalam program faktual atau tidak. Hari Jumat ini kami akan mengundang teman-teman dari Dewan Pers, tokoh atau ahli yang berkaitan dengan karya atau program faktual disamping KPI sendiri. Itu yang pertama. Yang kedua, yang dkaitkan dengan kewenangan KPI berdasarkan atau pasca keputusan Mahkamah Konstitusi. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang kami hormati, Yang dimasalahkan yang tampak di media atau berdasarkan informasi langsung kepada kami bahwa KPI dipandang tidak mempunyai kewenangan untuk menegur stasiun televisi, setidaknya itu yang muncul di running text salah satu stasiun TV. Kami bisa menjelaskan seperti ini, pertama, putusan Mahkamah Konstitusi itu sebetulnya berkaitan dengan 2 (dua) pasal di dalan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Pasal 44 dan Pasal 62. Pasal 44 itu berkaitan dengan sanggahan yang kemudian itu juga diubah. Satu lagi Pasal 62. Pasal 62 itu berbunyi tentang kewenangan pembuatan PP yang asalnya pembuatan peraturan pemerintah itu dibuat oleh KPI bersama pemerintah. Dua frase yang dihapus adalah KPI bersama, sehingga bunyinya peraturan pemerintah itu dibuat oleh pemerintah. Itu clear, karena memang KPI tidak bisa membuat peraturan pemerintah. Tetapi di dalam halaman 80 amar putusan Mahkamah Konstitusi, itu nanti bisa di dalam Keppres kami itu ada, disebutkan bahwa: Sebagai lembaga negara berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Penyiaran, KPI masih mempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal tentang penyiaran, termasuk membuat peraturan KPI sebagai pelaksanaan dari Undang- Undang 32 Tahun 2002 dan peraturan pemerintah. Dalam perkembangan berikutnya pemerintah berdasarkan kewenangannya sudah membuat 7 (tujuh) paket peraturan pemerintah dan seingat kami PP inipun pernah di-review oleh berbagai pihak, termasuk juga oleh KPI. Tapi putusan Mahkamah Agung mengatakan bahwa PP ini tetap berlaku. 7 (tujuh) tadi adalah PP Nomor 11, 12 dan 13 tentang Lembaga Penyiaran Publik, termasuk RRI dan TVRI, kemudian PP Nomor 49 tentang Siaran Berbahasa Asing, PP Nomor 50 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, PP Nomor 51 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas dan PP Nomor 52 tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan. Kami akan ambilkan, karena berkaitan dengan masalah lembaga penyiaran swasta. Di dalam PP Nomor 50 Tahun 2005 itu dinyatakan berbagai kewenangan-kewenangan KPI untuk membuat peraturan. Di dalam Pasal 14 PP tersebut disebut tentang isi siaran. Di dalam Pasal 14 ayat (7) disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib mentaati pedoman perilaku dan standard program siaran KPI, itu di dalam Pasal 14 ayat (7). Kemudian Pasal 45 sampai Pasal 61 itu merupakan pasal-pasal yang memberikan tata cara pemberian sanksi, dimana sanksinya terhadap pelanggaran-pelanggaran di Pasal 14 tadi itu dapat berupa: yang pertama adalah sanksi administratif teguran tertulis; yang kedua, sanksi denda administratif; yang ketiga, sanksi penghentian sementara program, itu yang ada di dalam Pasal 45 sampai 61. Di Pasal 62-nya ditegaskan bahwa kewenangan untuk memberikan sanksi Pasal 45 sampai 61 itu merupakan kewenangan KPI. Jadi KPI melaksanakan putusan- putusannya sampai saat ini masih merupakan putusan yang normatif. Barangkali itu yang berkaitan dengan kewenangan pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Demikian, Bapak Pimpinan dan Bapak-bapak serta Ibu Anggota Komisi I yang terhormat. Mudah- mudahan penjelasan awal ini bisa menjadi bagian dari diskusi berikutnya. Ada yang ditambahkan? Tidak? Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, sebelum dilanjutkan, karena ini formasi baru, teman-teman ingin mempersilakan Bapak Ketua memperkenalkan satu-persatu. Kalau kenal barangkali sudah ketika kita melaksanakan fit and proper test. Tapi walaupun beberapa orang, di situ ada jabatan yang berbeda sedikit. Saya persilakan, Pak Dadang. KETUA KPI: Terima kasih. 
Saya pikir sudah dikenal semua oleh… Baik, yang paling kanan ini Bapak Yazirwan Uyun, Pak Yazirwan Uyun ini di bidang isi siaran. Kemudian di sebelah kanan saya ini Bapak Muhammad Riyanto, ini di bidang infrastruktur dan perizinan. Kemudian paling kiri terlebih dahulu Bapak Judha Riksawan di bidang kelembagaan, soal aturan-aturan juga ini, kerjasama dan segala macamnya. Kemudian sebelah kanan Pak Judha Riksawan adalah Ibu Azimah Subagyo, sama dengan Pak Judha Riksawan di bagian kelembagaan. Kemudian di sebelah kanannya Ibu Azimah adalah Pak Iswandi Syahputra, Doktor baru Komunikasi, di
5 
bidang infrastruktur, sama dengan Pak Riyanto. Di sebelah kanannya lagi adalah Ibu Ezki Suyanto, Ibu Ezki Suyanto sama dengan Pak Yazirwan Uyun di bidang isi siaran. Saya sendiri Dadang Rahmat Hidayat, sampai saat ini masih sebagai Ketua. 2 (dua) orang lagi yang tidak bisa hadir, karena memang tadi sempat disampaikan oleh Pimpinan undangannya mendadak, 2 (dua) teman kami sedang dalam tugas, yang satu di Makassar dan yang satu lagi di Solo dalam kerangka media literasi dan evaluasi uji coba siaran. Kemudian juga kami didampingi oleh teman-teman dari sekretariat, ada asisten ahli dari sekretariat dan hadir teman-teman dari KPID Maluku, silakan berdiri. Barangkali itu teman-teman yang hadir pada saat ini. KETUA RAPAT: Terima kasih, Bapak Ketua. Sekarang saya persilakan, barangkali siapa yang mau berbicara. Ibu Uni? DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Selamat siang, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Bapak Pimpinan dan Bapak-bapak Anggota Komisi I DPR-RI, Saya Uni Lubis, Anggota Dewan Pers. Kebetulan juga mendapatkan tugas sebagai Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Wartawan. Kemudian siang hari ini saya didampingi oleh 2 (dua) orang Anggota Dewan Pers. Di sebelah kiri saya adalah Agus Sudibyo, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers. Kemudian di sebelah kanan saya adalah Bekti Nugroho, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga. Mohon maaf Pak Pimpinan, karena hanya 3 (tiga) orang yang bisa memenuhi undangan dari Komisi I yang baru secara resmi kami terima Pukul 11.00 tadi. Bapak Ketua, Prof. Bagir Manan dan Bung Wina Armada sedang ada di Surabaya untuk mengadakan pelatihan saksi ahli, karena Dewan Pers sedang merekrut calon-calon saksi ahli untuk membantu menangani kasus-kasus pers yang sampai ke pengadilan. Kemudian Wakil Ketua, Bambang Hari Murti sedang cuti sampai dengan Tanggal 16 Juli dan yang lainnya masih ada di luar kota, jadi ini agak mendadak. Terima kasih atas undangannya. Sebetulnya terus terang saja karena tema hanya dituliskan temanya infotainment dan reality show, kami belum tahu apa yang mau ditanyakan ke Dewan Pers. Tapi mungkin satu hal yang tadi saya tangkap dari pertanyaan pertama dan kemudian penjelasan dari Ketua KPI, Bung Dadang, adalah bahwa apakah infotainment itu masuk dalam ranah jurnalistik atau tidak. Kalau reality show itu sudah pasti tidak, karena itu sudah pasti tidak masuk dalam ranah jurnalistik dan itu tidak menjadi area atau domain dari Dewan Pers untu menanganinya. Untuk infotainment ini memang yang menarik dan selalu menjadi perdebatan yang seru, termasuk hari-hari ini. Bagi Dewan Pers dasarnya itu adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang di situ dikatakan bahwa wartawan itu adalah orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik secara teratur, itu ada di Ketentuan Umum di Pasal 1. Kemudian juga di undang-undang tersebut dikatakan bahwa wartawan itu harus menaati kode etik jurnalistik. Jadi kalau ditanyakan kepada Dewan Pers apakah infotainment itu masuk ranah jurnalistik atau tidak, posisi Dewan Pers adalah siapapun yang menjalankan kegiatan jurnalistiknya secara teratur, jadi yang menjalankan kegiatan jurnalistik secara teratur dan dalam pelaksanaan pekerjaan dan produknya memenuhi kode etik jurnalistik, itu adalah pers, itu adalah jurnalis, itu adalah menghasilkan produk jurnalistik dank arena itu menjadi area dan domain dari Dewan Pers untuk melindungi kegiatannya. Tetapi kalau misalnya ada yang mengatasnamakan wartawan atau mengaku sebagai wartawan tetapi kemudian melanggar kode etik jurnalistik, melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dalam melaksanakan kegiatannya, maka itu tidak termasuk yang diakui oleh Dewan Pers sebagai menghasilkan produk jurnalistik. Jadi sebetulnya bagi Dewan Pers itu pegangannya memang hanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan juga kode etik jurnalistik, karena di Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 itu mengatakan di Pasal 15 fungsi dan peran dari Dewan Pers memang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi pembentukan kode etik jurnalistik dan kami sudah punya kode etik jurnalistik yang berlaku dan hasil kesepakatan dari 29 organisasi profesi dan juga perusahaan pers. Jadi itu saja barangkali jawaban awal kami terhadap pertanyaan besar di masyarakat dan juga barangkali di ruangan ini bagaimana sikap Dewan Pers terhadap pertanyaan apakah infotainment itu masuk dalam ranah jurnalistik atau tidak. Mungkin itu saja. Ada teman saya yang akan… Ada tambahan? Agus Sudibyo akan menambahkan. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Ta’ala Wabarakaatuh. Salam sejahtera buat Bapak-Ibu sekalian.
6 
Yang terhormat Pimpinan Komisi I DPR, Yang terhormat Rekan-rekan saya Anggota Dewan di Komisi I DPR, Yang terhormat Teman-teman dari Komisi Penyiaran Indonesia, dan Rekan-rekan Wartawan yang di balkon, Saya ingin menambahkan dan menegaskan yang disampaikan oleh Mbak Uni Lubis tadi. Jadi pada dasarnya Dewan Per situ selalu terbuka untuk mengakomodasi produk-produk penyiaran maupun produk-produk media cetak maupun kelompok atau organisasi atau orang-orang yang ingin menjadi bagian dari jurnalisme, bagian dari pers dan seterusnya. Tetapi tolok ukurnya jelas sekali, kode etik jurnalistik, nilai-nilai berita dan keutamaan-keutamaan ruang publik. Jadi nilai-nilai berita bahwa yang disampaikan harus faktual, harus aktual, harus penting buat masyarakat, harus relevan dengan kehidupan bangsa dan seterusnya. Kode etik jurnalistik mengatur bahwa sebuah berita harus cover both side, harus menaati prinsip keberimbangan, harus akurat dalam menyampaikan informasi dan fakta, tidak menghakimi dan seterusnya. Keutamaan-keutamaan ruang publik berarti bahwa informasi yang diberikan kepada masyarakat selain menghibur itu juga harus bermuatan apakah itu pendidikan, apakah itu pencerahan, pemberdayaan, pengawasan sosial, solidaritas, menghargai prinsip-prinsip kemajemukan budaya, tidak bias gender dan ramah keluarga. Itu nilai-nilai yang digunakan oleh Dewan Pers untuk melihat apakah suatu produk, suatu tayangan yang disampaikan oleh media penyiaran itu bisa atau tidak disebut sebagai karya jurnalistik dan seterusnya. Dari sisi proses dan pelaku, apakah sebuah proses bisa dilihat sebagai proses jurnalistik, apakah seseorang atau kelompok orang bisa dianggap sebagai wartawan, menegaskan yang disampaikan oleh Mbak Uni tadi parameternya adalah bahwa dia harus profesional dan bisa menegakkan kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik antara lain adalah tidak boleh memaksa narasumber untuk berbicara misalnya, harus menghargai privasi, harus berhati-hati, tidak boleh memaksa ataupun tidak boleh mengumpat narasumber dan seterusnya dan juga bisa memisahkan mana urusan publik dan mana urusan privat. Media adalah ruang publik sosial, maka hal-hal yang bisa dibahas disampaikan kepada masyarakat melalui media itu harus sebanyak-banyaknya adalah yang berurusan dengan publik secara langsung. Jadi fungsi media bukan sekedar memenuhi rasa ingin tahu masyarakat misalnya tentang hal- hal yang bersifat sensual, tapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang informasi, fakta dan seterusnya yang dipastikan tidak berdampak buruk buat anak-anak, buat perempuan dan seterusnya dan memang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dari sisi sosial, politik, budaya dan seterusnya, menghargai privasi dan juga wartawan Indonesia sudah pasti harus dapat menjaga martabat dan nama baik pers nasional. Jangan sampai karena perilaku, karena tindakan beberapa kelompok, maka martabat pers secara nasional menjadi tercoreng. Juga sebenarnya isu yang lain adalah kejelasan status dari katakanlah pekerja infotainment sendiri, misalnya apakah mereka bagian dari news room dan seterusnya, ini juga hal-hal yang saya kira perlu diperhatikan. Jadi sekali lagi tolok ukur Dewan Pers adalah nilai-nilai berita, kode etik jurnalistik, keutamaan-keutamaan ruang publik sosial yang semuanya telah terangkum dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik beserta produk-produk Dewan Pers yang lain. Mungkin kami juga melaporkan sebenarnya Dewan Pers periode yang lalu itu sudah menyusun standard kompetensi jurnalistik. Ini disusun bersama-sama, bukan hanya Dewan Pers, tapi dengan melibatkan asosiasi-asosiasi jurnalis dan juga asosiasi perusahaan media. Standard kompetensi jurnalis ini kemudian akan mencoba melakukan empowering, melakukan capacity building, sehingga dipastikan bahwa wartawan/jurnalis yang bekerja di lapangan adalah wartawan yang memang sudah mempunyai skill/pemahamanyang memadai tentang profesionalisme, tentang kode etik jurnalistik, tentang pernghargaan terhadap prinsip-prinsip ruang publik dan seterusnya. Jadi ini sebagai upaya Dewan Pers bersama unsur masyarakat pers secara umum untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas wartawan/jurnalis, sehingga diharapkan dengan meningkatnya kualitas dan kapasitas jurnalis, ini kemudian juga akan meningkatkan produk jurnalistik yang disampaikan kepada masyarakat. Saya kira demikian tambahan dari saya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu Uni dan juga Pak Bekti. INTERUPSI F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Interupsi, Ketua. Sebelum mulai, saya minta dari paparan itu sikap Dewan Pers ini infotainment ini karya jurnalistik atau bukan? Kita belum dengar sikap dari Dewan Pers. Karena kalau itu normatif betul, penjelasannya bagus betul, cuma judgement-nya apa Dewan Pers ini? Terima kasih, Ketua. KETUA RAPAT: Terima kasih.
7 
Ibu Uni? DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Tadi sebetulnya sudah saya katakan itu tidak normatif. Jadi produk yang dikerjakan oleh wartawan yang melakukan tugasnya secara teratur dan kemudian memenuhi kode etik jurnalistik, itu adalah produk jurnalistik. Jadi selama ini Dewan Pers menangani kasusnya kasus per kasus. Kalau ada pengaduan menyangkut infotainment juga kami tangani sebagaimana tadi disebutkan oleh Agus Sudibyo dan kami juga menanganinya berdasarkan kode etik jurnalistik. Artinya kami terbuka terhadap produk-produk berita, termasuk berita-berita hiburan. Karena sebetulnya infotaiment ini kan berita juga, Pak Enggar. Kalau menurut Undang-Undang Pers bahwa pers itu adalah yang melakukan 6M (mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, menginformasikan), maka apa yang dilakukan oleh teman-teman infotainment ini memenuhi kriteria 6M. Pertanyaan besar dari masyarakat dan dari kita adalah tadi yang dikatakan oleh Agus, apakah produknya dan proses kerjanya memenuhi kode etik jurnalistik dan apakah ada kepentingan publik dalam produk infotainment? Karena sebetulnya esensi jurnalisme itu kita bisa ketemu ribuan definisi. Tetapi jurnalisme itu adalah menyampaikan informasi kepada publik sedemikian, sehingga publik bisa mengambil keputusan yang bermanfaat baik bagi kehidupannya. Jadi jurnalisme atau jurnalistik haruslah menyangkut hal yang menjadi kepentingan publik dan membuat publik menjadi lebih baik. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Jadi jawabannya atas infotainment itu memenuhi atau tidak? DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Kalau infotainment itu content-nya adalah memenuhi kepentingan publik dan memenuhi kode etik jurnalistik, maka dia adalah produk jurnalistik. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Maaf, yang sekarang ini memenuhi atau tidak tayangan itu? Sebab kelihatannya agak berbeda antara Mbak Uni dengan… DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Tidak. Pak Enggar, sebetulnya ada 19 judul infotainment yang tayang di 10 stasiun TV swasta dalam sepekan dengan total durasi sekitar 80 jam. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semuanya itu melanggar kode etik, karena tidak semuanya juga dianggap oleh masyarakat melanggar kode etik. Jadi sekali lagi kembali Dewan Pers akan melihatnya kasus per kasus apakah produk yang diadukan itu melanggar kode etik atau tidak. Melanggar misalnya apa yang disebut dalam Pasal 4 kode etik bahwa wartawan dilarang untuk memberitakan hal yang bersifat cabul misalnya atau Pasal 2 bahwa wartawan dalam melaksanakan kegiatannya harus bersikap profesional, antara lain tidak melanggar hak privasi. Terima kasih. INTERUPSI F-PAN (PROF. DR. ISMET AHMAD): Menurut KPI, selama ini yang mana saja, barangkali bisa tunjuk hidung, yang mana yang melanggar dan yang mana yang tidak. Terima kasih. INTERUPSI F… (………): Pimpinan, boleh menambahkan sedikit? KETUA RAPAT: Boleh, Pak. Saya mohon sebentar, jadi kita urut dahulu penjelasan dari Dewan Pers. Selesai itu… INTERUPSI F-PARTAI GERINDRA (RACHEL MARIAM SAYIDINA): Interupsi, Pimpinan. Sedikit saya ingin mendalami, karena masih agak berkaitan. Begini, tadi kan disebutkan wartawan yang menjadi tanggung jawab Dewan Pers itu adalah pekerja jurnalistik yang berkesinambungan, tapi juga harus memenuhi kode etik. Artinya kalau dia tidak memenuhi kode etik, Dewan Pers lepas tangan atau apa yang bisa dilakukan Dewan Pers terhadap hal-hal yang melanggar kode etik ini? KETUA RAPAT: Cukup barangkali? Saya persilakan atau dari Pak Agus?
8 
DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Meskipun demikian, sebenarnya kami menghargai sikap dan otoritas KPI dalam memberikan keputusan karena ini, karena saya kira KPI mempunyai otoritas untuk memutuskan status infotainment itu seperti apa. KPI mempunyai data yang bisa mendukung itu. KPI juga menghadapi keluhan-keluhan aspirasi dari masyarakat. Jadi saya kira kita menghargai otoritas KPI, meskipun mungkin sikap Dewan Pers tidak sama persis dengan KPI, karena kami memang berada di ranah yang berbeda, rezimnya juga berbeda. Tapi dari sisi semangat, dari sisi kepedulian, saya kira kami sama. Jadi saya kira kita juga harus menghargai keputusan apapun ataupun rekomendasi dari KPI. Untuk pertanyaan dari Ibu Rachel, jadi prinsipnya kalau misalnya ada orang atau sekelompok orang yang katakanlah menjalankan proses yang katakanlah bisa dilihat sebagai proses jurnalis tetapi dia tidak menghargai kode etik, misalnya dia memaksa narasumber untuk berbicara dan dalam prosesnya kemudian terjadi insiden katakanlah membenturkan kamera ke tubuh narasumbernya, kita mengatakan itu jelas sekali dia tidak bisa diidentifikasi sebagai wartawan, karena wartawan Indonesia harus taat kepada kode etik. Sebenarnya lebih tepatnya dia belum bisa diidentifikasi sebagai wartawan. Ada proses upgrading yang akan dijalankan oleh Dewan Pers bersama dengan AJI, PWI, IJTI dan seterusnya. Dari proses pendidikan ini, itu sebenarnya yang formula lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan bukan hanya kapasitas, tapi juga penghargaan terhadap kode etik jurnalistik. Jadi siapapun yang tidak bisa menaati kode etik jurnalistik jelas dia bukan seorang wartawan dan tidak boleh mengaku dirinya sebagai wartawan. F-PAN (Ir. H. AZWAR ABUBAKAR, M.M.): Tidak ada ujungnya ini, susah. Saya sudah tidak mengerti makin tidak mengerti. Jadi begini Pak, definisi yang Ibu sampaikan benar, seseorang atau sekelompok orang yang secara teratur memproses berita dan sebagainya. Kemudian dia tidak melanggar kode etik. Berarti ada yang melanggar kode etik. Kalau yang melanggar kode etik seperti apa dibuat, kalau yang tidak melanggar seperti apa dilakukan, itu yang kita mau tahu. Itu yang pertama. Kemudian sikap terhadap infotainment, menurut Dewan Pers apakah masuk domain atau tidak? Itu dahulu yang tegas, itu bukan daerah kami. Soal menghargai itu soal lain. Jadi kita perlu tegas dahulu ini daerah siapa. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Pimpinan… KETUA RAPAT: Sebentar, Pak. Kita barangkali akan berbicara konsentrasi kita pada permintaan penjelasan yang lebih rinci bagaimana sikap dari KPI. Apakah perlu diulangi lagi atau langsung pada pertanyaan? INTERUPSI F-PG (TANTOWI YAHYA): Interupsi, Pimpinan. Saya rasa penjelasan dari KPI tadi sudah terang-benderang. Jadi mereka secara berani mengatakan dan ini domain mereka. Jadi Rakornas itu melahirkan keputusan apapun itu adalah hak dan wewenang mereka. Jadi dalam Rakornas tersebut tadi sudah dijelaskan secara jelas bahwa berdasarkan masukan-masukan yang jumlahnya ratusan itu dan pengamatan-pengamatan mereka dari berbagai perspektif, mereka memutuskan, walaupun belum masuk P3SPS, bahwa infotainment dan reality show itu tidak bisa diklasifikasikan sebagai program berita. Kalau nanti dalam P3SPS yang sudah direvisi mereka memasukkannya sebagai program non berita, itu hak mereka. Itu wewenang yang diberikan kepada mereka, tidak ada pihak yang berani atau boleh mengkritisi dan mempermasalahkan hal tersebut. Dampak dari kedua program tersebut masuk dalam P3SPS, dampak konsekuensi logisnya bahwa dia akan melalui proses censorship, itu juga adalah suatu mekanisme yang sekarang ini berjalan di televisi bahwa kalau dia bukan berita, maka dia wajib melalui proses censorship. Saya rasa itu sudah sangat jelas, Pak Ketua. 
Permasalahan sekarang ini adalah masih berada pada wilayah Dewan Pers. Tadi kalau kita lihat apapun penjelasan khususnya dari Mas Agus masuk akal, karena acuannya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang disebut dengan berita itu apa, yang disebut dengan bukan berita itu adalah apa. Permasalahan sekarang ini adalah generalisasi. Katakanlah infotainment X, selama ini bagus, tapi dalam episode-episode tertentu dia melanggar kode etik jurnalistik, dia melanggar beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Pers, maka lantas dia diberikan sanksi. Permasalahan yang muncul sekarang apakah kita menghukum merk tersebut? Apakah episodenya yang kita larang? Ini yang perlu kerjasama antara Dewan Pers dan KPI. Katakanlah programnya namanya ABC, selama ini bagus, tapi karena 1-2
9 
episode dia melanggar kode etik, melanggar pasal-pasal di Undang-Undang tentang Pers itu, bagaimana sikap kita? Apakah dihukum selamanya, ini kan kalau kita bicara mekanisme hukuman, atau bagaimana? Di sini menurut saya masih abu-abu dalam konteks kerjasama antara Dewan Pers dan KPI. Karena walaupun suka atau tidak suka, dua lembaga ini beririsan tugas dan wewenang mereka. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, terima kasih. Jadi kalau sudah dianggap clear atau masih ada sesuatu, barangkali siapa? Pak Ramadhan? Kemudian nanti disusul oleh Pak Enggar. Saya persilakan, Pak Ramadhan. F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Terima kasih, Pimpinan. Teman-teman dari KPI dan Dewan Pers, Tadi sudah dijelaskan dari Dewan Pers, tetapi tidak memberikan kejelasan tertentu, malah menciptakan kebingungan yang lebih dalam. Saya kira bukan hanya kita Anggota Dewan yang bingung, tetapi juga publik bahkan lebih bingung lagi di sini. Jadi saya menginginkan ada ketegasan sikap dari Dewan Pers tentang jenis kelamin dari infotainment itu sendiri. Kalau misalnya mengambang, maka menjadi kabur lagi, kita bingung. Kalau penjelasan dengan Uni tadi kita bisa mengerti sebagai kasuistik, tetapi itu tidak akan menjelaskan tentang persoalan-persoalan yang ada. Karena kalau kita perhatikan aduan-aduan yang masuk kepada Dewan Pers juga banyak yang menyangkut yang sesungguhnya adalah infotainment. Kemudian dari KPI juga saya kira harus lebih tegas lagi sikapnya di sini. Karena kalau saya perhatikan kita suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, PWI yang menyatakan sikap yang sangat jelas terhadap infotainment bahwa itu adalah diakui oleh mereka. Tapi kalau Dewan Pers dan KPI itu belum ada kejelasan. Makanya tadi banyak sekali interupsi dari kawan-kawan di sebelah sana, di sebelah sini, itu juga karena ada kegalauan maksudnya bagaimana ini. Itu mohon untuk lebih ditegaskan lagi. Kalau memang belum ada sebuah sikap tegas yang bisa diambil pada saat ini mungkin silakan untuk dibicarakan lagi secara internal dan kita bertemu lagi. Kita bukan harus memaksakan hari ini kita harus punya satu sikap, tetapi yang kita inginkan adalah kejelasan. Jangan sampai nanti misalnya Uni Lubis nanti salah di sini, takut mengoreksinya, akhirnya masalah yang seperti itu misalnya, dengan Bung Agus Sudibyo juga. Jadi tidak perlu kita paksakan. Tetapi yang kita inginkan itu adalah kejelasan tentang jenis kelamin dari infotainment itu tadi. Demikian, Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Ramadhan. Kemudian kita sesuai dengan urutan giliran. Saya persilakan Pak Azwar Abubakar. F-PAN (Ir. H. AZWAR ABUBAKAR, M.M.): Tadi itu kan koreksi. Sekarang hak untuk bertanya, tapi belum saya gunakan. Nomor 3 saja nanti. KETUA RAPAT: Baik, kalau begitu lanjut Ibu Adjeng. F-PD (DR. HJ. R. ADJENG RATNA SUMINAR, S.H.,M.M.): Sebetulnya tadi sudah banyak terwakili oleh teman-teman. Tapi satu saja. Saya sudah mendengar dimana KPI pernah menegur atau memberikan peringatan ke salah satu produksi TV. Tapi saya ingin mengingatkan lagi jangan hanya satu. Katakanlah yang kemarin mungkin dikatakan salah satu TV yaitu televisi swasta atau TV tentang penayangan 05.30 kalau tidak salah atau Jam 05.00, Mereka sudah mengakui dan mereka sudah meminta maaf, mereka juga sudah menegur produsernya dan dipindahkan. Itu menurut saya Metro TV sudah sangat bagus mengikuti. Tapi yang ingin saya tanyakan kenapa hanya ke situ saja? Padahal ada beberapa TV swasta yang melakukan seperti itu, walaupun kasusnya lain. Maksud saya itu jangan pilih-pilih begitu, jangan pilih-pilih hanya Metro saja yang ditegur. Kenapa yang lain tidak ditegur? Padahal kasusnya juga hampir sama. Jadi tolong jangan pilih-pilih kalau untuk menegur. Itu saja, karena yang lain sudah terwakili. KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu Adjeng. Ibu Mien sekarang. F-PARTAI HANURA (DRA. HJ. SOEMINTARSIH MUNTORO, M.Si.): Terima kasih, Pimpinan.
10 
Ibu/Bapak Anggota Komisi I yang saya hormati, Ibu/Bapak dari KPI dan Dewan Pers yang saya muliakan, Pertama barangkali saya ingin re-evaluasi bahwa yang penting itu adanya satu persepsi menuju Indonesia yang beretika dan bermoral itu seperti apa? jadi content siaran yang diharapkan dapat mencerdaskan dan menjaga martabat bangsa itupun harus sudah memasuki sebuah struktur pemikiran yang sama. Ketika kita berbicara tentang produk informasi, kemudian ada sebuah kategori itu adalah infotainment, maka dunia usaha berbondong-bondong mendekati dari opportunity yang ada itu, sedangkan konsumennya adalah masyarakat bangsa yang ingin dicerdaskan dan ingin dibangun etika moral masyarakat itu sendiri. Tadi sudah disampaikan oleh KPI dan dengan 10 penjabaran turunan daripada Undang-Undang Dasar 1945 yang ingin mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan segala etika bangsa itu, itu barangkali menjadikan pilar penegakan segala moral dan etika itu sendiri. Ini saya pikir sudah jelas. KPI sudah berusaha dan sesuai tugas pokok dan fungsinya menjalankan tugas itu, kecuali didalam proses pembangunan bangsa dan negara ini barangkali ada hal-hal yang memang agak menyimpang dan seterusnya kita kawal bersama. Kemudian memasuki Dewan Per situ sendiri tadi sudah disampaikan bahwa di dalamnya tugas pokok dan fungsi itu adalah mengandung prinsip perimbangan, tidak menghakimi, tidak bias gender, ramah keluarga dan seterusnya. Semuanya itu indah sekali, semuanya beretika. Kemudian tadi disampaikan ada abu-abu ketika disampaikan bahwa wartawan itu kadang-kadang tidak paham akan menjalankan tugas dan fungsinya dan ini bagaimana dalam team work teritegrasi Dewan Pers itu sendiri untuk mengawal ketika kita memang ingin berketahanan etika dan moral bangsa itu. Jadi barangkali kalau kita terpanggil membangun konsumen dan produsen apapun bentuknya itu, infotainment yang isinya itu mungkin segala macam yang bentuknya memerosotkan kecerdasan dan moral bangsa, itu kita harus bersama-sama menghakimi dan tidak ada persepsi yang berbeda atau konflik diantara pandangan-pandangan ini. Jadi maksud saya lagi-lagi barangkali semangat kita ini harus semangatnya satu, ketahanan etika moral itu. Jadi kita ini harus beretika berketahanan itu, menjaga keuletan dan ketangguhan bangsa itu dari segala ancaman, hambatan, tantangan, gangguan, baik dari dalam maupun dari luar tadi. Globalisasi itu adalah sebuah tantangan kemajuan elektronika dan teknologi, tapi tidak menutupi bahwa kita ini menjaga pilar- pilar itu dengan seluruh aturan dan kita sendiri bagaimana melaksanakan kepribadian kita atau langkah- langkah ke arah itu. Terima kasih, Pak. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih. Pak Azwar meminta haknya. Jadi saya persilakan, Pak. F-PAN (Ir. H. AZWAR ABUBAKAR, M.M.): Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Pimpinan dan Anggota Komisi I yang saya hormati, Rekan-rekan Ketua dan Anggota KPI, Pimpinan dan Anggota Dewan Pers yang berbahagia, Ini satu pertemuan yang sangat penting. Setelah mendengar penjelasan dari Pak Tantowi, saya agaknya menjadi clear. Jadi kembali ke laptop. Kalau kita lihat infotainment, walaupun kadang-kadang kita suka, kita menonton, nurani kita mengatakan banyak jeleknya daripada manfaatnya, banyak ruginya daripada manfaatnya. Sampai keponakan saya bertanya,”Om, itu apa erotika? Erotis itu apa?”, kira-kira begitu pertanyaannya, sudah sangat mengganggu. Belum lagi fatwa ulama bahwa itu ghibah. Jadi kalau kita membiasakan anak-anak kita mendengarkan resmi TV menceritakan kejelekan orang lain, itu kan membuat dia biasa juga menceritakan kejelekan orang lain, sehingga tidak tahu lagi mana yang privat dan mana yang non privat. jadi secara filosofis yang seperti itu harus dihentikan, dikembalikan kepada yang normal. Boleh ada berita untuk menjadi contoh untuk kebaikan, saya kira perlu, tapi jangan seperti sekarang. Intinya kejelekan itu harus dihentikan, itu prinsip. Untuk itulah KPI dibentuk. Persoalan sekarang kan ada undang-undang, ada peraturan, ada perbedaan pendapat. Saya punya dua alternatif: 
1. Masukkan dalam kelompok non faktual, sehingga bisa disensor, tidak apa-apa; 
2. Biarkan saja, kalau salah langsung berhentikan. 
Ada dua pilihan. Filosofinya itu berhenti. Jadi dua pilihan: non faktual, sensor dan yang satu lagi faktual, kalau salah buat berita ditutup. Yang mana saja boleh, yang penting hasilnya dihentikan. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Jelas, tegas.
11 
Pak Tantowi masih mau bertanya atau tidak? Atau sebelah sini? Kalau tidak, saya persilakan dahulu sesuai urutan. Pak Enggar dahulu, Pak Roy, kemudian ada korban infotainment barangkali, Gus Choi. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Tausiyah dari Gus Choi dahulu. F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Baik, terakhir saja nanti. Kesimpulan terakhir nanti. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Ibu/Bapak Anggota Komisi I yang kami hormati, KPI dan Dewan Pers yang kami hormati, Saya mengenal Mbak Uni Lubis ini dari zaman dahulu, tetapi sedikit terjadi perubahan. Kalau dahulu ini begitu keras, apalagi yang mengganggu moral, rumah tangga, langsung bersikap. Tetapi sekarang mungkin karena sudah pada posisi tertentu, sehingga sangat hati-hati dalam menjawab. Terjadi perubahan, sehingga saya baru kirim SMS ke Mas Iwan bahwa Mbak Uni ini sekarang terjadi perubahan yang luar biasa, itu yang saya kagumi, sehingga mungkin agak berbeda dengan Mas Agus yang masih muda-muda. Mudah-mudahan anda masih tetap seperti itu. Hanya kesimpulannya barangkali anda tidak bisa melawan Mbak Uni, karena lebih senior. Tidak bisa menjawab apakah infotainment ini masuk karya jurnalistik atau bukan atau yang masuk yang mana dan yang bukan yang mana. Ini rinciannya bagus sekali, menjurus, tetapi finishing-nya tidak berani anda lakukan, karena langsung mendapat teguran dari Mbak Uni yang sekarang menjadi sangat hati-hati dan masuk kelompok birokrat. Sudah pas pada pemerintahan. Yang kedua, izinkan saya menyatakan kebanggaan kepada Komisi I memilih anda, KPI ini, bahwa kami akhirnya menyatakan kami tidak salah pilih anda. Tapi tolong, kita ini bukan yang pertama dan kami akan ikuti terus. Sebab kalau anda konsisten seperti ini, kami bangga dengan anda. Untuk itu kami endorse memberikan dukungan sepenuhnya atas keputusan yang berdasarkan nurani dan kepentingan masyarakat dan bangsa ini. Kadangkala kita harus melawan arus. Tetapi itulah yang terbaik yang anda lakukan. Kalau memang berhati-hati, Dewan Pers kita pakai kalimat ini saja, kesimpulannya adalah menghargai dan itu wilayahnya KPI, Dewan Pers menyetujui, sudah selesai, Ketua. Tutup saja rapat ini kesimpulan itu. Terima kasih, Ketua. KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Enggar. Sebenarnya saya jauh lebih mengenal Ibu Uni, cuma mungkin berbeda tempat. Baik, pertanyaan berikutnya saya persilakan Pak Roy. F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Terima kasih, Pimpinan. Saya kira hasil kesimpulan rapat sudah hampir kena. Jadi sudah jelas barangnya. Cuma saya ingin memberikan tambahan saja dan mungkin juga bagi teman-teman Dewan Pers dan juga KPI supaya lebih tegas dan lebih berani saja. Jadi kita kembalikan saja kepada definisinya. Infotainment itu kan information on entertainment. Jadi ada entertainment. Entertainment is not information, hanya di dalam entertainment itu ada information, sehingga kita kembalikan saja barangnya dahulu. Kalau itu sifatnya murni, clear information, itu ranahnya Dewan Pers. Kalau itu ranah entertainment, itu berarti program non berita, itu ranahnya KPI. Saya ingin mengusulkan, mungkin jalan keluarnya mudah. Saya usul kepada teman-teman Dewan Pers, meskipun ini sedikit agak kembali ke masa lalu, tapi demi ketertiban. Sekarang yang diakui sebagai wartawan atau katakanlah wartawan yang menyiarkan program-program hard news misalnya, itu adalah anggota AJI, anggota PWI dan juga anggota IJTI, tiga itu. Andaikata produk itu diproduksi oleh non anggota tiga badan itu berarti itu bukan produk berita hard news yang menjadi wewenangnya Dewan Pers. Sudah, itu serahkan kepada KPI dan kita harus hormati keputusan dari KPI. Dnegan demikian itu semakin clear, semakin berani Dewan Pers menegaskan sikap kami adalah kepada anggota kami saja yang masuk organisasi ini. yang non organisasi itu adalah wewenangnya KPI dan kita berikan penghargaan sekali lagi kepada KPI atas keberaniannya memberikan sikap. Jadi sekali lagi saya ingin pastikan bahwa sikap sebagian besar saya kira, semua dari kami, itu adalah supaya jelas, tegas, Dewan Pers juga berani ini ranah kami, KPI juga berani ini ranah kami, yang namanya infotainment (information on entertainment) itu adalah bukan program berita, sehingga masuk menjadi bagian kewenangan KPI. Saya kira singkat saja itu, Pimpinan. Terima kasih.
12 
KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Roy. Saya persilakan Ibu Rachel. F-PARTAI GERINDRA (RACHEL MARIAM SAYIDINA): Terima kasih, Pimpinan. Saya ingin memberi dukungan atas pernyataan Pak Roy tadi. Kedua, saya mau memberi apresiasi juga kepada KPI yang sudah berani memberikan sanksi administratif terhadap program tayangan Metro TV Pukul 05.00. Itu membuktikan bahwa KPI kita saat ini sudah melakukan tugas dan fungsinya secara baik. Mungkin pertanyaan saya lebih ke… Selain Metro TV itu ka nada tabloid-tabloid juga sebetulnya menampilkan gambar-gambar cuplikan-cuplikan juga, misalnya banyak sekali media cetak yang melanggar. Yang saya ingin tanyakan ini bagaimana dengan media cetak ini? Tindakan apa selanjutnya dari KPI? Kemudian kepada Dewan Pers, saya ingin bertanya tentang kode etik pers dalam mewawancarai narasumber, seperti kejadian yang kemarin, sehingga sering terjadi bentrokan antara narasumber dengan Dewan Pers. Sebetulnya mekanisme permintaan wawancara itu seperti apa? Kode etiknya itu seperti apa? apakah ada mekanisme tahapan-tahapan yang harus dilalui pers dalam meminta izin narasumber berwawancara? Jadi supaya jelas kenapa bentrokan itu bisa terjadi. Terima kasih. F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Terima kasih, Ketua. Pimpinan Komisi I dan Teman-teman Dewan Pers, KPI, Pertama, pendapat saya, sikap saya atau pandangan saya, concern saya, komitmen saya sama saya kira dengan teman-teman sebelumnya. Yang kedua, saya yakin KPI dan Dewan Pers sudah tahu domainnya masing-masing, tidak akan ada overlap, bahkan akan saling menunjang, meskipun di Dewan Pers ini ada Mbak Uni yang tadi oleh Pak Enggar dinilai sudah berubah. Tidak tahu perubahannya itu dari idealis menjadi pragmatis atau dari pragmatis menjadi idealis atau menggabungkan idealisme dengan pragmatisme atau bagaimana, saya hanya mengenal dari jauh tentang Mbak Uni ini. 
Yang ketiga, saya ingin mengatakan melalui forum ini kepada KPI, saya kira inilah momentumnya KPI untuk tampil apa adanya. Apa adanya maksudnya tampil sesuai dengan porsi dan proporsinya, dimana KPI diberi tempat, diberi domain, diberi wilayah untuk mengurus content dunia penyiaran. Dua periode sebelumnya menurut saya tidak tampil. Hanya ada, tetapi seperti tidak adanya. Dalam bahasa agamanya disebut wujuduka adamihi. Ini semi tausiyah. Saya ingin yang sekarang ini ada dan seperti adanya. Moment terkait dengan infotainment, orang sedang memperbincangkan ini, ini saya kira moment spesifik tetapi punya implikasi yang luar biasa. Menurut saya ketika sifat jelas, meskipun nanti ada dipilah-pilah, tetapi secara general rakyat pada umumnya protes. Rakyat pada umumnya senang menonton, tetapi sesungguhnya hatinya menolak dengan berbagai macam implikasi, pemahaman dan segala macam. Menurut saya ini alat atau event atau momentum untuk tampil. Saya tidak tahu caranya bagaimana. Kita diskusikan, melarang atau tadi itu menyusur atau bagaimana. Ini saya kira harus ada formula yang tepat yang tidak mengganggu juga kebebasan. Tetapi juga harus ingat ini penggunaan gelombang frekuensi, ranah publik yang terbatas. Di sini harus selalu ingat. Agama menurut keputusan Nahdlatul Ulama dinilai seluruhnya, tentu data-datanya dahulu mungkin dari KPI, seluruhnya itu mengandung unsur ghibah, unsur fitnah, unsur logho, unsur memubazirkan sesuatu dan macam-macam, ada beberapa alasan dalam perspektif agama, yang kemudian ditambah lagi dengan perspektif kita penggunaan ranah publik yang terbatas ini untuk digunakan ngaco. Ini lalu kemudian hukumnya dijatuhkan haram infotainment. Soal rokok memang beda dengan Muhammadiyah. Rokok bagi NU mubah saja, artinya boleh saja. Kalau Muhammadiyah haram. Tetapi meskipun Muhammadiyah tidak berfatwa bahwa infotainment itu haram dalam konteks agama, tapi hampir semua itu menyetujui ini haram. Saya kira ini menjadi landasan modal. Jadi anda bergerak di sana bukan hanya menggunakan aturan-aturan dengan proporsi yang diberikan kepada anda itu bergerak di bidang content, terutama yang terkait dengan ini. Tetapi juga ada argumen keagamaan, meskipun tidak masuk secara letterlijk di situ, ini dengan argumen ini masyarakat Indonesia mayoritas muslim. Terlepas dari muslimnya taat atau tidak, itu tidak ada urusan, tapi muslim, religious. Di situ sebetulnya landasan yang digunakan memang landasan hukum-hukum Islam. Tetapi secara nilai yang diambil oleh NU nilai yang bersifat universal, sehingga agama lainpun menyetujui dan cocok dengan ajarannya, sehingga argumen yang digunakan sangat religious. Norma ketuhanan, norma religiusitas yang dianut oleh seluruh orang penganut agama, baik agama samawi maupun agama ardhi, agama yang dari langit maupun agama yang diyakini oleh orang yang hidup di bumi ini. Oleh karena itu landasannya menurut saya luar biasa. Oleh karena itu, forum ini harus jelas arahnya. Ardhi itu bumi, samawi itu langit. Ini dari aspek sikap kita, di forum ini harus melahirkan yang lebih jelas. Kalau menurut saya sekedar sensor
13 
itu ringan. Itu nanti lama lagi. Itu ada satu proses yang harus ditempuh lagi. Tapi KPI punya sikap jelas bersama Komisi I dan kita punya otoritas untuk membuat tafsir untuk meyakini keputusan politik kita bahwa infotainment yang selama ini mengandung unsur-unsur dominan menyesatkan, menggunakan ranah publik yang salah, mengarahkan bangsa ini secara salah dan segala macam melalui itu, anak bangsa diberi racun tiap saat, ini harus kita yakini itu salah, sehingga kita mengambil keputusan ini ditutup. Persoalan ada proses berikutnya nanti kita urus. Tapi keputusan itu harus ada dengan keyakinan ini yang paling tepat. Kita menjual barang bagus itu saya kira lebih bagus daripada menjual barang yang… Karena itu nanti masuk ke kepala kita, otak kita, hati kita. Apa tidak ada program lain yang lebih bagus yang sesuai dengan norma? Saya kira bisa untuk menjual sesuatu, saya kira bisa. Mbak Uni, saya kira televisinya tidak termasuk itu yang dipimpin, tidak membuat program-program yang membuat racun generasi baru, racun bangsa ini, termasuk infotainment. Itu saya khutbah saya. KETUA RAPAT: Itulah pandangan dari seorang nahdliyin dan betapa indahnya pluralisme. Saya persilakan untuk melengkapi pluralisme kita kepada Ibu Paula Sinjal. F-PD (PAULA SINJAL): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Saya mau bertanya, tapi sudah terwakili rupanya oleh Gus Choi. Torang ternyata sama ya Gus Choi. Teman-teman dari KPI dan Dewan Pers, Saya tadi mendapat kliping koran mengenai tayangan infotainment terlalu berlebihan. Saya pikir itu sebenarnya jawabannya. Jadi kita tidak perlu ragu-ragu lagi dan itu adalah ketegasan, karena benar-benar infotainment ini sudah melanggar, sudah sangat berlebihan. Contoh, saya pagi-pagi itu sebelum bangun anak saya sudah membangunkan,”Ma, tadi saya lihat ada Bapak Roy Suryo di TV.” Waduh, kenapa ya? Saya jadi berpikir anak sekecil ini, 5 tahun, sudah bicara mengenai teman saya. Itu berarti dia mengikuti berita-berita trend masa kini. Saya jadi berpikir bahwa kasihan juga nanti anak-anakl seumur anak saya itu, 5 tahun, seumur dia itu sudah mencerna infotainment-infotainment yang terlalu berlebihan dan ini tidak baik dan disiarkan pula pada pagi hari. Jadi sesudah berita langsung itu. Jadi mereka semua duduk di situ dan melihat di situ. Akhirnya saya tahu teman saya ini, teman saya ini, teman saya ini, dan mereka hafal sekali. Itu memang tidak mendidik dan perlu ada ketegasan. Setuju sekali sebenarnya dan saya bangga dengan KPI yang sudah berani mengambil sikap sanksi administratif. Sangat bangga, salut untuk teman-teman di KPI. Mungkin hanya itu, Pak Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu. Masih ada satu pertanyaan barangkali dari Pak Ruslan. Saya persilakan. F-PG (DRS. H. A. MUCHAMAD RUSLAN): Saudara Pimpinan yang saya hormati, Rekan-rekan Anggota Komisi I DPR yang saya hormati, Rekan-rekan di Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang saya hormati, Pertama-tama saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan di Dewan Pers maupun di KPI. Saya memandang sikap-sikap yang disampaikan oleh Dewan Pers maupun KPI itu sudah jelas, sudah tegas. Mungkin bahasanya saja yang berbeda. Karena ketika seorang wartawan tidak melaksanakan 5W+1H saja berarti dia bukanlah seorang wartawan, artinya tidak melaksanakan kode etik jurnalistik. Beberapa pasal dari kode etik jurnalistik disampaikan tidak dengan jujur, itupun berarti bukanlah sebuah berita. Jadi menurut pandangan saya sikap Dewan Pers sudah cukup jelas. Untuk itulah saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya. 
Saya agak beralih sedikit ingin bertanya tentang di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, itu ada hal yang memang harus dihindari: persoalan bisnis, persoalan privasi dan persoalan keamanan negara. Pertanyaan saya, akhir-akhir ini sebuah siaran televisi selalu menyampaikan di dalam running text- nya perbedaan pandangannya dengan televisi yang lain. Dua pemilik televisi berbeda pandangan, tetapi yang satu menyampaikan pandangan-pandangannya itu setiap hari melalui running text kepada publik. Mudah-mudahan televisi yang lain yang bertentangan dengan televisi yang bersangkutan tidak menyampaikan pandangan-pandangannya. Yang saya agak khawatir kalau ada dua siaran televisi menyampaikan pendapat-pendapat yang berlawanan dalam satu kesempatan yang sama mau dikemanakan fungsi pers sebagai fungsi pendidik mengangkat persoalan bisnis antar dua perusahaan ke
14 
tengah-tengah publik. Pertanyaan saya tentu saja mohon ini diantisipasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia maupun mungkin suatu ketika akan masuk ke Dewan Pers. Sekian dan terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Ruslan. INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi, Pimpinan. Mungkin pertanyaan tadi bisa ditegaskan, karena dalam penilaian saya juga ada dua perbedaan. Kalau tadi Bapak menyebutkan TV mana yang beradu pendapat… Karena terus terang saja misalnya antara pemiliknya Metro dengan pemiliknya TVOne, ANTV, atau antara kepemilikan RCTI, TPI, Global. Itu biar jelas saja yang mana. F-PG (DRS. H. A. MUCHAMAD RUSLAN): Yang saya lihat adalah running text. Apakah pertentangan atau perbedaan pendapat antara Metro dengan TVOne melalui running text atau tidak saya belum melihat itu. F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Jadi menurut saya, saya ingin membantu saja, ada dua menurut saya yang dipermasalahkan. Jadi dua itu, jadi antara persoalan Metro dan grup TVOne, ANTV, dan antara kepemilikan MNC dengan pemilik yang lama. Saya kira itu bisa menjadi catatan yang menarik. Terima kasih, Pimpinan. INTERUPSI F-PG (TANTOWI YAHYA): Interupsi, Ketua. Mungkin begini Pak Dadang dan rekan-rekan komisioner, di sini kita ingin mendapatkan kejelasan sikap dari KPI terhadap penggunaan ranah publik yang dipergunakan oleh dua pemilik media untuk saling beradu argumentasi dalam rangka menciptakan opini publik yang akan berpihak kepada mereka. Jadi mohon tanggapannya itu bagaimana. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Dipersilakan Ibu. F-PDIP (EVITA NURSANTY): Terima kasih, Bapak Ketua. Mungkin tadi kalau mengenai infotainment teman-teman semua sudah banyak yang bicara. Tapi kebetulan ada Dewan Pers, ada KPI di sini, saya juga sangat prihatin dengan berita-berita SERGAP, BUSER itu. Itu ditayangkan pagi hari saat di Malaysia itu mereka sedang breakfast. Jadi dari Malaysia, Singapura itu seakan-akan negara kita ini tidak aman dan mengerikan kesannya kalau dibaca oleh pemirsa di luar negeri. Saya sendiri sebagai orang Indonesia ngeri melihat berita itu. Mungkin cara penayangannya lebih dipercantik sedikit kalau mau menyajikan suatu berita, terutama berita itu di pagi hari. Kemudian yang kedua, menambahkan sedikit mengenai infotainment. Sebenarnya kita mendukung apa yang dilakukan oleh KPI pada saat ini, karena dampak daripada berita-berita di infotainment itu sangat berpengaruh kepada hidup dan penghidupan dari bangsa kita. National character building kita itu sangat ditentukan salah satunya juga dari tayangan yang ditonton oleh anak-anak kita. Saya tidak tahu, kalau di luar negeri kalau tidak salah tidak ada yang namanya infotainment-infotainment ini. Tapi sedikit, tidak ada yang khusus seperti kita infotainment. Karena kadang-kadang terus terang saja berita di infotainment, maaf sedikit memakan…, kalau berita perselingkuhan antara seorang petinggi atau apa dengan artis itu langsung di infotainment. Dahulu Yahya Zaini dengan Eva segala macam itu, sebenarnya kan berita itu tidak konsumsi publik. Kemudian dengan penyanyi dangdut Kristina, berita yang diungkap itu bukan berita perselingkuhan awalnya, tapi itu ada berita hukum yang ada kaitan dengan kasus hukum. Tapi teman-teman infotainment ini menyebarluaskannya ke aspek perselingkuhannya, sehingga bayangkan saja istrinya melihat, anaknya melihat. Bayangkan kalau kita punya anak dan terjadi pada diri kita, bagaimana nasib anak-anak kita di sekolah dengan teman-temannya dipertontonkan bapaknya seperti itu. Jadi mungkin teman-teman dari Dewan Pers ini juga bisa membantu teman-teman KPI didalam mencari solusi ke depan ini seperti apa seharusnya berita-berita yang ada kaitannya dengan infotainment ini disajikan ke masyarakat. Terima kasih.
15 
KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu Evita. Barangkali yang lain? Kalau tidak ada dan cukup, saya persilakan kepada Ibu Uni Lubis cs untuk menjawab beberapa pertanyaan dan lainnya. Terima kasih. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Yang pertama, terima kasih atas nostalgianya dari Pak Enggar, dari Gus Choi. Memang kita punya nostalgia masing-masing dari tempat yang berbeda-beda. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari saya, sikap saya pribadi. Tapi memang harus dipisahkan dari sikap sebagai lembaga. Personally saya hampir tidak pernah menonton infotainment dan memang saya merasakan keberatan yang sama. Tetapi sebagai Dewan Pers, maka pegangan kita haruslah undang-undang, aturan yang juga dibuat bersama- sama oleh Bapak-bapak dan pihak eksekutif. Jadi itu saja masalahnya sebetulnya. Itu sebabnya mengapa sejak awal Dewan Pers sekali lagi memang selalu menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang. Masalah memang muncul ketika kemudian ada produk jurnalistik yang juga ditayangkan di lembaga penyiaran, dalam hal ini adalah televisi. Saya ingin meyakinkan Bapak/Ibu sekalian bahwa sejauh ini dan terutama dalam periode 4 tahun terakhir saya kira kerjasama antara Dewan Pers dengan KPI berjalan dengan sangat baik. KPI secara tanpa ada MoU tertulis itu menyerahkan dan berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk memberikan sanksi dan memberikan eksaminasi atas produk-produk jurnalistik yang dianggap menyalahi P3SPS dan P3SPS itu semangatnya sebetulnya hampir seratus persen sama dengan kode etik jurnalistik. Hanya saja di P3SPS itu diatur lebih detail, lebih panjang. Kalau di kode etik jurnalistik itu hanya 11 pasal dan hanya prinsip-prinsipnya saja, tetapi semangatnya sama. Jadi itu sebenarnya yang terjadi dan justru dalam merespon perkembangan apa yang terjadi di masyarakat dan juga apa yang kita bicarakan siang hari ini sebetulnya sudah ada rencana untuk segera. Jadi saya menggarisbawahi segera duduk bersama antara Dewan Pers dengan KPI untuk merumuskan mengenai persoalan infotainment apakah dia masuk ranah program non faktual atau faktual. Karena sebetulnya yang sudah mengkategorikan secara jelas itu adalah P3SPS KPI yang Tahun 2009. Tapi selama ini hampir semuanya, saya katakan hampir semuanya keputusan dari KPI yang terkait dengan produk jurnalistik itu dikoordinasikan dan sebagian besar malah dikerahkan kepada Dewan Pers untuk menjalankan. Jadi saya rasa Gus Choi mungkin ikut merumuskan Undang-Undang Nomor 40. Kita tidak bisa lari dari yang Pasal 1 itu bahwa yang 6M itu memang disebut sebagai wartawan, tinggal nanti kita harus memagarinya dengan wartawan itu adalah menjalankan kode etik jurnalistik. Pak Roy Suryo, Pasal 7 di undang-undang itu juga mengatakan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Jadi Dewan Pers tidak bisa serta-merta kemudian hanya melindungi anggota AJI, anggota PWI, anggota IJTI dan kemudian tidak melindungi wartawan yang lainnya. Dewan Pers melindungi semua wartawan profesional dan itu artinya yang menjalankan kode etik jurnalistik. Jadi sebetulnya dari segi peraturan tidak cuma sekedar teriak-teriak. Dewan Pers itu sudah cukup tegas, karena sudah membuat standard perusahaan pers, standard kompetensi wartawan, standard organisasi wartawan dan itu sudah diratifikasi oleh pemilik-pemilik perusahaan pers pada Hari Pers Nasional 9 Februari di Palembang. Ini akan kita tegakkan, artinya kita akan melakukan upaya audit, semacam audit kepada media-media apakah dia misalnya perusahaan-perusahaan yang mengaku sebagai perusahaan pers ini betul-betul memenuhi standard perusahaan pers. Apa itu? Panjang list-nya. Tapi saya ingin sebutkan dua hal: 
1. Dia sudah membekali wartawannya dengan pendidikan mengenai kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers; 
2. Perlindungan. 
Jadi sebetulnya ini akan kita terapkan dan aturannya sudah ada. Jadi sebetulnya kalau kita bicara infotainment, maka nanti kepada perusahaan-perusahaan infotainment yang memproduksi infotainment, yang mengaku dirinya adalah perusahaan pers, karena kemudian dia menganggap dirinya memproduksi perusahaan pers akan kita cek apakah wartawannya sudah pernah mendapatkan pembekalan pengetahuan kode etik jurnalistik Undang-Undang Nomor 40 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Jadi sebetulnya kita membantu KPI. Saya harus katakan bahwa Dewan Pers untuk soal pelatihan lebih responsif. Kami dalam 1,5 bulan terakhir sedang melakukan dan itu akan berlanjut ke depan. Melihat respon masyarakat yang mengkritisi tayangan televisi, maka Dewan Pers bekerja sama dengan ATVSI sedang dalam proses melatih wartawan-wartawan TV. Produser, koordinator liputan atau wartawan, kemudian koordinator cameraman-cameraman editor, ada 6 (enam) angkatan dan masing-masing 50 orang senior-senior training for trainer, sehingga kami (suara tidak jelas) dalam waktu 3 bulan ada 300 wartawan cukup senior di 10 stasiun TV swasta dan TV lokal yang ada di Jakarta yang mendapatkan pembekalan mengenai kode etik jurnalistik yang tingkat advance, jadi dengan studi kasus, P3SPS KPI, pengajarnya adalah dari KPI, meliput jurnalisme dengan jurnalisme damai untuk liputan konflik, karena banyak keluhan mengenai peliputan rusuh Koja yang dianggap media ikut berperan meningkatkan eskalasi
16 
dari kerusuhan dan juga bagaimana menghasilkan karya jurnalistik yang bermanfaat bagi publik. Jadi sebetulnya Dewan Pers sudah melakukan dan sedang dalam proses, dengan catatan bahwa Dewan pers punya banyak keterbatasan. Kami tidak sama dengan KPI yang punya KPID-KPID. Kami hanya di pusat. 9 orang, tapi toh ini kami lakukan. Tentu saja kami ingin melakukannya dengan teman-teman TV yang ada di daerah. Tetapi kita mulai dahulu, karena keluhan paling banyak adalah kepada tayangan yang muncul di 10 stasiun TV swasta nasional. Jadi proses sudah berjalan dan audit akan kami lakukan, apakah perusahaan-perusahaan yang mengaku dan memproduksi produk-produk pers ini memenuhi standard perusahaan pers. Semuanya sudah ada di sini. Jadi secara produk regulasi Dewan Pers sudah siap. Tetapi kembali lagi, kalau ditanyakan apakah misalnya kami harus menjawab produk jurnalistik, apakah infotainment termasuk produk jurnalistik atau tidak, jawabannya tetap sama. Kalau ada Prof. Bagir Manan pun akan sama, karena ini adalah sikap kami selama ini, bahwa selama dia memenuhi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan menjalankan kode etik, maka dia adalah pekerja jurnalistik dan menghasilkan karya jurnalistik. Cuma mengingatkan saja, Gus Choi. Pengurus besar Nahdlatul Ulama dan pengurus pusat PWI Tanggal 29 Desember 2009 itu pernah membuat pernyataan bersama terkait dengan jurnalistik infotainment. Jadi kalau Gus Choi tadi mengatakan bahwa harusnya tidak, di sini poin kedua adalah: “infotainment sebagai bagian dari kemerdekaan pers merupakan karya jurnalistik yang juga perlu mendapat perlindungan hukum”. Jadi PB NU Tanggal 29 Desember 2009 yang ditandatangani oleh Prof. Agil Siradj menyatakan seperti itu. Saya rasa ini adalah salah satu suara dari masyarakat yang harus kami dengar sebagai Dewan Pers. Daripada kemudian mereka tidak mendapatkan, lepas begitu saja. Sejauh ini kami menganggap bahwa selama mereka memang masih mau menjalankan kode etik, maka silakan menjadi bagian dari pers, tapi itu saja syaratnya. Kalau tidak, maka Dewan Pers tidak pernah segan-segan untuk mengenakan sanksi. Saya rasa track record Dewan Pers sejak Tahun 2003 yang independent itu justru tidak segan-segan untuk mengenakan sanksi, bahkan terhadap penerbitan besar sekalipun. Kami tidak ada minder-mindernya untuk mengenakan sanksi. Mungkin untuk tambahan jawaban mengenai bagaimana prosedur kerja wartawan… INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Interupsi. Mohon kejelasan sanksi yang sudah pernah diberikan Dewan Pers kepada media besar nasional seperti apa. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Jenis sanksi yang diberikan oleh Dewan Pers adalah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik yaitu hak jawab, permohonan maaf, koreksi. Jadi memang semangat dari Dewan Pers adalah dalam menjaga kemerdekaan pers, tidak ada kriminalisasi terhadap pers. Saya rasa hampir semua perusahaan pers besar sudah pernah mendapatkan sanksi. Majalah Tempo misalnya pernah kami minta untuk membuat hak jawab dengan memuat artikel baru 4 halaman, karena protes terhadap 10 halaman di rubrik investigasnya. Kompas pernah, Jakarta Post pernah, Bisnis Indonesia pernah, hampir semuanya. TV juga seperti itu. Tapi sanksi itu memang berdasarkan Undang-Undang Nomor 40. Memang kami tidak pernah memenjarakan atau mengirim wartawan ke penjara. Tetapi kasus mengenai penerbitan porno sekitar Tahun 2006, pada saat itu saya masih menjadi anggota Dewan Pers pertama kali, kami justru pernah mendukung polisi mengusut 3 penerbitan porno. Saya katakan penerbitan karena kami tidak menganggap itu pers, karena dia semata-mata hanya menjual pornografi. Mayoritas isinya cuma porno. 3 penerbitan ini Pemrednya sudah diperiksa oleh polisi dan didukung oleh Dewan Pers. Pertanyaan berikutnya apakah polisi menindaklanjuti sampai ke pengadilan? Itu yang saya katakan ketika kami bicara di depan Humas-humas Polda se-Indonesia bahwa yang tidak konsisten adalah follow up. Ketika ada penerbitan porno justru disokong oleh Dewan Pers untuk diusut oleh polisi. Jadi beda, ini bukan pers. Dari awal Dewan Pers mengatakan ini bukan pers dan sudah pernah kami dorong untuk ke polisi, tapi tidak tahu sampai di mana prosesnya. Silakan, mungkin Pak Ketua boleh meminta… INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi sedikit, Pimpinan. 
Sebelum berpindah, menjawab yang tadi, jadi terserah apapun organisasinya, whatever organisasinya, saya setuju. Saya sangat berharap agar langkah yang tadi sudah dilakukan akan mendidik lebih kurang 300 teman-teman yang ada di media, itu akan sangat membawa citra baru bagi perkembangan layar Indonesia. Karena jangan sampai kemudian kekhawatiran dari Ibu Uni ini terjadi, ketika kemudian dipisahkan antara wartawan yang memang benar profesional kemudian yang lain menamakan dirinya apakah awak media ataukah misalnya pekerja media yang mereka bukan bagian dari itu. Karena jangan sampai keterpengaruhan dari gaya infotainment ini justru masuk ke media-media yang tadinya sudah sangat baik. Saya berani sebut misalnya salah satu acara di TV, misalnya di Metro ada yang namanya News Maker, itu gayanya adalah gaya infotainment, karena sudah mengulang-ulangi adegan,
17 
ada adegan orang jalan diulang-ulang begini. Kemudian TV One juga mau ikut-ikutan, meskipun gayanya lain dengan plus plus apa itu namanya, pembawa acaranya Mas Wendo itu. Jadi saya kira ini menjadi perhatian kita. Jangan sampai gaya yang sudah benar, Metro TV yang sudah bagus secara keseluruhan, TV One yang sudah bagus secara keseluruhan dan 8 televisi lain dengan beritanya masing-masing yang sudah baik, kemudian code and code teracuni gaya infotainment. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Kami persilakan, Pak Agus. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Terima kasih, Ketua. Saya menambahkan data Mbak Uni. Jadi kasus yang terakhir yang kita mediasi adalah kasus Tempo dengan Polri terkait dengan dua pemberitaan Edisi Tempo dan kemudian keputusan Dewan Pers yang ditaati oleh Tempo adalah Tempo harus memuat hak jawab dari Polri karena ada judul pada sampul Tempo itu yang memang tidak sesuai dengan fakta yang dibahas Majalah Tempo di halaman tengah itu. Jadi Tempo harus memuat hak jawab karena ada judul yang bertendensi untuk menghakimi Polri dan Tempo juga mau menerima konsekuensi itu dan hari kemarin, Hari Selasa, itu juga kami memediasi Jawa Post, tempatnya Mas Pohan dahulu, yang diadukan oleh Arif Afandi. Ini menarik, ini mantan Pemred Jawa Post mengadukan Jawa Post. Jadi sebagai kandidat Walikota Surabaya, dia merasa dirugikan oleh pemberitaan-pemberitaan Jawa Post dan kita periksa memang merugikan Arif Afandi maupun MK. MK memutuskan Pilkada di Surabaya di 5 kecamatan harus diulang dan seterusnya. Jawa Post kemarin bersedia juga menerima penilaian dan keputusan Dewan Pers bahwa Jawa Post harus memuat hak jawab Arif Afandi setengah halaman di Metropolis, itu salah satu. Beberapa kasus, IndoPost pernah memecat wartawan, kemudian Bisnis Indonesia pernah memberikan sanksi skors kepada wartawan yang menulis berita berdasarkan press release yang tidak jelas sumbernya, sementara beritanya merugikan pihak tertentu. Jadi ini sekedar tambahan. Terkait dengan infotainment ini sebenarnya sekali lagi kami menghargai otoritas KPI dan kami yakin KPI mempunyai data, mempunyai legitimasi untuk membuat rekomendasi terkait dengan status infotainment ini. Terkait dengan irisan seperti yang dikatakan oleh Mas Tantowi tadi bahwa bagaimana dengan jurnalisme televisi, itu ranah KPI sekaligus ranah Dewan Pers. Sebenarnya minggu depan ini, pertama Dewan Pers akan melakukan Rapat Pleno untuk membahas itu dan sehari kemudian sebenarnya kami merencakan untuk bertemu dengan KPI. Jadi KPI ini dengan Dewan Pers sebenarnya sudah lama ingin membuat MoU, tetapi tinggal soal jadwal. Saya kira dengan kasus infotainment itu men-trigger kami untuk menyegerakan saling pemahaman ini MoU antara Dewan Pers dengan KPI terkait dengan irisan tadi, irisan antara fungsi KPI dengan fungsi Dewan Pers, irisan antara rezim penyiaran dengan rezim kemerdekaan pers ini. Jadi kami akan segera melakukan ini dan kami anggap saja hari ini kami mendapatkan vitamin dari Komisi I DPR, mendapatkan tausiyah dari Gus Choi dan lain-lain tentang apa yang harus kami lakukan terkait dengan masalah ini. Jadi sekali lagi bukan kami yang memberikan laporan, tapi teman-teman Komisi I yang memberikan saran, pendapat dan masukan yang penting sekali untuk kami. Terima kasih soal itu. Kemudian terkait dengan pertanyaan Ibu Rachel tadi tentang bagaimana seharusnya etika wartawan menghadapi narasumber, kita bisa ambil contoh kasus misalnya kasus pemberitaan soal Luna Maya-Ariel-Cut Tari. Kami dua kali membuat diskusi soal ini. Dewan Pers juga membuat sikap yang tegas terkait ini. Jadi rujukannya pertama pada Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsirannya: 
Pertama, Wartawan harus menunjukkan identitas diri kepada narasumber. Jadi kami selalu menekankan bahwa kalau ada wartawan yang datang, dia tidak bisa menunjukkan identitas dirinya, sebenarnya sebagai narasumber kita bisa menolak,”Maaf, kami tidak mau wawancara.” Identitas wartawan itu bisa berupa ID Card, bisa juga berupa simbol-simbol misalnya dari TV mana kan biasanya kelihatan. Jadi itu standard sebetulnya. Jadi itu sebagai narasumber siapapun berhak untuk menanyakan itu. Kemudian menghormati privasi. Privasi ini sebenarnya berlaku bukan hanya di ruang privat, tapi juga di ruang publik. Jadi ketika Ariel-Luna Maya keluar dari Kepolisian, kemudian mencoba menghindar, sebenarnya itu juga dia masih punya privasi dan privasi itu juga harus dijaga. Maka dalam pernyataan Dewan Pers waktu itu tegas bahwa wartawan tidak boleh memaksa narasumber untuk bicara dan juga harus bisa menjaga jarak, misalnya kamera itu tidak boleh terlalu dekat, apalagi kemudian membentur, kemudian ada adegan mendorong- dorong, meskipun itu mungkin tidak sengaja, tetapi itu menjadi bagian dari catatan kami. Kemudian menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam menyajikan gambar, foto dan suara. Jadi kelompok-kelompok yang mengalami trauma, misalnya korban pemerkosaan dan seterusnya atau anak dari korban pemerkosaan atau anak dari pelaku tindakan asusila misalnya, itu memang harus dilindungi
18 
identitasnya dan juga pengaruh-pengaruh dari dampak tayangan media. Kemudian Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya. INTERUPSI F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Interupsi, Ketua. Saya kira yang bersifat normatif bisa kita baca pasal-pasal, ayat-ayat, bisa kita baca, tidak usah terlalu dibaca lagi di sini. Yang penting sikap kita. Kemudian data kasus-kasus, itu yang penting saya kira. Kemudian realitas bagaimana. Jadi kalau norma bisa kita baca semua saya kira. Dengan demikian, waktu bisa menjadi produktif. Begitu saya kira, Ketua. Yang kedua, tadi saya agak kaget ketika Mbak Uni menyampaikan PB NU. Memang ada surat, saya dari sana tadi. Setelah ini saya cek ke PB NU. Jadi begini Mbak, keputusan Munas Alim Ulama, musyawarah nasional Alim Ulama di Surabaya Tahun 2006 dan konferensi besar Nahdlatul Ulama itu memutuskan infotainment karena unsur ini, ini, ini termasuk penggunaan ranah publik yang salah, yang ngaco, yang ngawur, yang sembrono, menjadi haram hukumnya. Pak Said itu alim ulama, itu keputusan resmi PB NU. Pak Said di sini, ini saya cek. Pak Said waktu itu belum menjadi ketua umum Tahun 2009, belum terpilih. Kemudian setelah itu Pak Said merasa,”Lho, saya ini kok merasa digiring, dipojokkan”, tapi sudah terlanjur tanda tangan. Karena di sini ada Ilham Bintang, jadi mereka dikepung. Tapi Pak Said tidak mengerti, tidak ada yang memberi masukan, seolah-olah otomatis infotainiment yang sudah menurut penilaian tayangannya selama ini sudah putus haram, dia jalan sendiri dan kemudian Pak Hasyim menyesalkan setelah diketahui. Ini tadi saya cek semuanya. Makanya kalimatnya di sini menjadi seperti ini. Saya juga kaget sebelum saya cek. Jadi seolah otomatis infotainment secara total, baik namanya maupun content-nya itu karya jurnalistik, seolah-olah itu oke. Setelah saya lihat, saya cek lagi di sini ada nama begini, lalu dari sana itu cerita dahulu itu begini, begini, begini. Karena itu saya kira ini diabaikan, karena ini ada rekayasa politik, rekayasa kepentingan, yang direkayasa tidak terlalu mengerti, sadar setelah selesai semua. “Tapia pa boleh buat”, katanya,“Demi persaudaraan tidak perlu diklarifikasi.” Sudahlah, tidak usah statement berikut, demi persaudaraan. Tetapi menurut saya sekali lagi ini serius, soal isi, soal content yang ngawur. Menurut saya ini serius, sehingga saya menunggu kesimpulan Ketua nanti bagaimana, kita sepakatinya seperti apa. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Gus Choi. Bagaimana kalau kita penjelasan dari Dewan Pers diselesaikan dahulu, lalu kalau ada pendalaman nanti… Kalau begitu saya persilakan. Pak Agus tadi saya kira belum selesai. Daripada menekuk lidahnya lebih baik diteruskan dahulu sebentar. DEWAN PERS: Saya kira cukup. Nanti kalau ada yang kurang langsung saja ke Ibu Rachel. KETUA RAPAT: Baik, kalau begitu dari sini terlebih dahulu. DEWAN PERS (BEKTI NUGROHO): 
Nama saya Bekti Nugroho. Ini penting, karena begini, aura yang kita tangkap sebenarnya ini ada upaya-upaya untuk membenturkan KPI dengan Dewan Pers. Kita tidak ingin terjebak di situ, Pak. Jadi selama ini sebenarnya antara Dewan Pers dengan KPI itu tidak ada masalah. Saya sebut contoh beberapa kasus yang terkait dengan soal program katakanlah waktu itu “Empat Mata”, itu justru masukan dari Dewan Pers. Kemudian kita rapat dan kemudian muncullah sanksi macam itu. Kemudian kecerdasan teman- teman TV, maka kemudian ditambah menjadi “Bukan Empat Mata”. Tapi sekali lagi bahwa koordinasi selama ini sebetulnya jalan. Kasus infotainment memang sebetulnya kita sudah dalam program, dalam waktu dekat begitu selesai dengan Rakornas dan di Rakornas pun waktu itu ada rekan Agus yang ikut datang ke sana membahas hal itu. Memang kita akan coba ketemu untuk membahas khusus tentang itu. Bukan hanya infotainment, tapi juga reality show. Cuma saya tidak tahu bagaimana ini gerakannya kok tiba-tiba ada surat dari Komisi I yang kita juga masih belum ketemu tapi kita harus hadir karena kita tidak berani menolak. Terus terang, waktu kemarin kita rapat sampai tadi malam ba’da Maghrib, surat dari Komisi I tidak ada. Dicari ke staf kami tidak ada. Sampai kemudian saya sekitar Jam 21.00 atau Jam 22.00 bersama Mas Agus,”Mas, ini besok kita tetap hadir lho. Suratnya ada atau tidak?” Tidak ada. Tapi saya sudah bilang ke Mas Tantowi Yahya katanya hadir saja. Ini bagaimana? Tapi karena ini lembaga negara yang terhormat, kita harus datang. Kebetulan tadi pagi kita di-update, surat dan fax baru sampai Jam 11.00. Jadi kalau kemudian Mbak Uni…, Pak Enggar yang terhormat mantan bos saya di Majalah Editor, kalau Mbak Uni terkesan hati-hati memang bukan hati-hati. Terus terang memang kita agak kaget, karena sikap kita memang belum kita tune in dengan KPI. Tapi apapun keputusan KPI kita endorse, kita hormati. Karena apa? Jangan sampai jeruk makan jeruk. KPI sudah memutuskan itu dan saya sudah cek bahwa itu
19 
sebenarnya usulan dari KPID untuk dibahas, untuk diredefinisi sebenarnya. Kita akan ketemu membahas hal itu. Tapi begini Pak, infotainment ini soal nama sebenarnya. Kita jangan terjebak soal nama. Esensinya adalah bagaimana Dewan Pers itu untuk selalu tetap menjaga kemerdekaan pers, itu yang penting. Jangan sampai kemudian nanti keputusan yang muncul mengganggu kemerdekaan pers. Karena apa? Karena apapun produk-produk yang sekarang…, mungkin sekarang kita gugat, kita kritisi, tapi di pihak lain sebenarnya selama ini 10 tahun ini kita menikmati itu. Kita tidak ingin…, Dewan Pers sekali lagi tadi sudah disinggung oleh Mbak Uni dan Mas Agus, bahwa kita berpedoman pada Undang-Undang Pers yang waktu itu diketok juga oleh DPR. Bahwa kemudian di situ ada kelemahan-kelemahannya, itu persoalan lain. Kita juga sangat terbuka. Jadi esensinya adalah bahwa kita tidak usah terjebak soal nama. Yang menjadi acuan kita adalah substansinya dan Dewan Pers concern di situ. Dewan Pers selalu dalam berbagai program kegiatan adalah membuat wartawan itu profesional. Wartawan yang profesional tidak akan terjebak dengan hal-hal yang sensasional. Kalau disuruh memilih, yang mana yang anda pilih, hal-hal yang penting atau yang menarik, maka dia akan memilih, wartawan yang profesional pasti akan memilih hal yang penting dan ditambah lagi sekarang adalah hal yang genting, bukan hanya sensasional. Tugas Dewan Pers itu menyadarkan itu. Maka kemudian dibentuklah kode etik jurnalistik, kemudian ada standard perusahaan pers, ada standard kompetensi wartawan, itu dalam rangka untuk membina itu supaya ke depan, tadi yang disinggung oleh Mas Roy Suryo dan Mas Tantowi Yahya, bahwa layar ke depan itu benar-benar layar yang sehat atau kalaupun kita ibaratkan sekarang semua media massa termasuk cetak, maka kemerdekaan pers adalah oksigen. Maka oksigen yang kita hirup adalah oksigen yang benar-benar murni, bukan oksigen yang pengap. Saya pikir itu saja, Pak. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi sedikit, Pimpinan. Ada hubungannya dengan klarifikasi. Tapi karena ada surat dari PB NU, diklarifikasi oleh Gus Choi, di kesempatan yang sangat baik ini supaya semuanya clear saya juga ingin minta klarifikasi. Saya pernah melihat running text di salah satu televisi mengatakan “Dewan Pers: KPI tidak berhak menghentikan tayangan.” Itu murni sikap Dewan Pers secara resmi atau pribadi atau anggota Dewan Pers atau kesalahan TV-nya? Terima kasih. Tolong diklarifikasi. KETUA RAPAT: Baik, saya minta dijawab dahulu pertanyaan Roy Suryo ini, karena ini sangat penting. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Baik, terima kasih. Melalui Bapak Ketua,… INTERUPSI F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Mbak Uni, dijawab sekalian. Soal Saudara Bekti Nugroho, soal nama, nanti kalau namanya diubah itu kasusnya seperti ini, seperti “Empat Mata” menjadi “Bukan Empat Mata”, isinya sama. Nanti infotainment itu isinya itu, tapi diganti “Bukan Infotainment”. Jadi di sini kita berbicara bukan hanya simbol, bukan hanya substansi, juga simbol. Jangan sampai dibolak-balik isinya sama. KETUA RAPAT: Dipersilakan, Ibu Uni. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): 
Baik, itu juga membuat saya pusing dari Hari Minggu, Pak Roy. Jadi dari Hari Minggu siang itu justru saya mendapatkan informasi dari Pak Ilham Bintang di Grup Blackberry chats editors cut. Di situ dia mengatakan bahwa news seeker TV One: Dewan Pers, KPI tidak berwenang menegur stasiun televisi. Saya mengatakan,”Siapa itu yang bicara?” Bang Ilham mengatakan,”Mbak Uni tanya saja kepada Pak Karni Ilyas.” Lalu saya tanya ke Pak Karni Ilyas, Pemred TV One. Pak Karni mengatakan itu adalah statement dari Wina Armada yang kebetulan adalah anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan. Tapi karena space dari news seeker-nya TV One itu terbatas, maka namanya tidak disebut, jadi ditulis Dewan Pers. Lalu saya mengatakan kepada Pak Karni,”Tolong itu news seeker direvisi segera. Wina Armada: KPI tidak berwenang menegur stasiun televisi.” Sebab Dewan Pers tidak pernah membuat keputusan seperti itu. Dewan Pers memiliki satu tayang menunjukkan bagaimana cara atau prosedur pengambilan keputusan. Apalagi menyangkut pengambilan keputusan yang krusial, apalagi menyangkut sikap dari Dewan Pers terhadap suatu hal yang penting, apalagi terhadap lembaga lain. Jadi itu adalah Wina Armada. Saya sudah meminta Pak Karni untuk merevisi, karena ketika saya sampaikan itu
20 
kepada Bung Wina, Bung Wina bersikeras mengatakan bahwa dia tetap dengan pendirian itu, Tapi saya bilang,”Itu adalah penilaian pribadi anda dan itu bukan sikap Dewan Pers.” Lalu dia membolehkan saya untuk meminta revisi. Apakah kemudian itu direvisi? Terus terang saya tidak menonton. Jadi saya ingin sampaikan di sini itu adalah sikap pribadi dari Wina Armada dan itu bukan sikap dari Dewan Pers. Dewan Pers sejauh ini masih melihat bahwa KPI sesuai dengan undang-undang memiliki kewenangan untuk menegur stasiun televisi. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Interupsi. Tetapi bagaimana mungkin Ibu Uni Lubis, bahwa beliau sebagai anggota tetapi bukan Dewan Pers dan bagaimana kita memisahkan antara beliau sebagai seorang pribadi yang bekas wartawan atau katakanlah maksud saya bukan sebagai Dewan Pers? Bagaimana menjelaskannya? Apakah ada sebuah sidang khusus di Dewan Pers untuk menjernihkan persoalan tersebut? Menurut saya itu harus ada supaya tidak berulang di kemudian hari, apapun yang akan diputuskan. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Mohon izin, Ketua. KETUA RAPAT: Saya kira satu-persatu terlebih dahulu atau mau pendalaman semua? INTERUPSI F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Saya interupsi. Tapi sebelum saya bicara, Ibu Eva dahulu. KETUA RAPAT: Itu tadi satu pertanyaan, kemudian ditambahkan dari Ibu Evita, nanti saya serahkan lagi kepada Dewan Pers. F-PDIP (EVITA NURSANTY): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Tadi itu saya mendengar statement dari teman-teman Dewan Pers. Jadi saya melihatnya ini kita punya persepsi yang berbeda. Kenapa saya katakan persepsi yang berbeda? Tadi teman-teman Dewan Pers mengatakan bahwa para wartawan ini sudah dididik segala macam. Kita itu tidak menyalahkan wartawan. Wartawan itu mereka akan menjual berita yang bisa dibeli. Tetapi stasiun TV-nya yang kita salahkan sekarang. Paket-paket yang mereka kemas untuk disajikan ke masyarakat yang kita salahkan. Bagaimana dia menjaring berita itu yang kita salahkan. Jadi tidak ada kesalahan wartawan-wartawan itu akan mencari berita sebanyak-banyaknya. Yang bisa dia jual ke stasiun TV ya dia jual. Jadi yang kita harapkan bukan posisi dari Dewan Pers telah mendidik wartawan begini begini, tapi bagaimana Dewan Pers bersama KPI itu bisa membuat suatu SOP untuk ke depan ini bagaimana kita mengemas paket-paket hiburannya ke depan ini bisa disajikan dengan tepat kepada masyarakat. Kemudian yang kedua, itu tadi mungkin salah persepsi. Kita, Komisi I itu tidak pernah beranggapan bahwa Dewan Pers dan KPI itu ada masalah. Kehadiran Bapak di sini ini bukan kita mau konfrontir ada masalah, tidak. Kita ingin mengetahui sikap Dewan Pers seperti apa, itu yang kita ingin tahu langsung. Jadi tidak ada kalau Bapak bilang bahwa kita punya perasaan ada masalah dengan KPI, tidak ada sama sekali. Kita ingin mengetahui bagaimana sikap Dewan Pers dalam isu yang sedang kita angkat pada hari ini. Terima kasih. KETUA RAPAT: Ya, Pak Enggar. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Klarifikasi saja, Ketua. Jadi saya garis bawahi tadi, Mas Bekti Alhamdulillah masih konsisten dan Mbak Uni sekarang sudah mulai kembali ke jalan yang benar dengan pernyataan tadi. Saya agak lega juga. Sebab dahulu saya dimarahi terus oleh dia. 
Kita tidak ada pikiran membenturkan. Tapi sebelum anda terbentur dan dibenturkan dan sebelum masuk angin, maka kita ajak bicara dahulu di sini. Menurut saya, karena ini forum resmi, kita mengundang Dewan Pers, maka yang tadi disampaikan oleh Mas Bekti itu adalah sikap resmi Dewan Pers yaitu meng- endorse, menghargai, dan itu adalah ranahnya KPI. Maka itu adalah sikap resmi KPI, bukan di running text, tetapi ini adalah sikap Dewan Pers dan sikap KPI, karena ini adalah forum resmi kita. Jadi itu sudah cukup melegakan buat kita bahwa ini adalah memang kewenangannya KPI dan kita memberikan
21 
endorsement bahwa anda telah melakukan dengan baik sesuai dengan judgement dan penilaian yang dilakukan oleh KPI. Itu kesimpulan, satu kalimat selesai, putus kita, Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, terima kasih. Sebelum dilanjutkan, saya mohon maaf juga kalau ada surat yang tidak tersampaikan. Semalam saya Jam 23.00 mendapat SMS juga,”Bang, apakah benar?” Saya bilang,”Benar.” Saya mohon maaf, karena urusan surat-menyurat itu di sekretariat. Tetapi barangkali memang kita mendadak. Denga permintaan dari rekan-rekan kita menyelenggarakan, karena acara ini tidak ada di dalam jadwal. Tapi karena dipandang perlu, maka kita diskusi. Suasana kebatinan yang kita bangun saya kira sudah cukup bagus, tidak ada yang ingin dibenturkan atau merasa dibenturkan. Dalam suasana kebersamaan seperti ini harus kita jalin, bangun terus, demi bangsa dan negara. Saudara-saudara semua adalah garda paling depan didalam membentuk karakter bangsa ini. Sekarang saya persilakan kepada Ibu Uni yang saya pun baru tahu…, kita puluhan tahun kenal tapi baru tahu kalau pakai Zulfiah. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Saya kalau pakai nama itu disangka cowok, jadi Bapak. Jadi sejak awal saya seperti artis, jadi pakai nama populer yang mudah diingat, Uni Lubis. Baik Bung Ramadhan, saya pribadi, karena saya yang langsung mendapatkan informasi itu, saya meminta Rapat Pleno, karena itu memang harus diputuskan Rapat Pleno. Tapi memang sebagaimana tadi saya katakan banyak pimpinan, wakil pimpinan dan juga banyak anggota di luar kota. Kemarin sore kami mengadakan rapat terbatas, tapi itu tidak memenuhi kuorum, hanya 4 orang, harus 5 orang. Jadi 50% plus 1, karena kami ada 9. Maka Senin Pukul 14.00 Dewan Pers akan melakukan Rapat Pleno, termasuk membahas soal infotainment ranah jurnalistik, soal sanksi headline news Metro dan juga MoU antara Dewan Pers dengan KPI, termasuk juga soal bagaimana memisahkan antara sikap pribadi dengan sikap lembaga. Terima kasih. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Menambahkan sedikit. Pertama, mungkin pada pertemuan ini kami gunakan untuk minta maaf atas salah paham di running text TV One itu. Tapi penjelasan kami seperti tadi, itu bukan sikap Dewan Pers. Sikap Dewan Pers terkait dengan infotainment seperti tadi terkait dengan kewenangan KPI. Dewan Pers tetap melihat KPI berdasarkan Undang-Undang Penyiaran mempunyai wewenang untuk melakukan teguran, sanksi administratif terhadap lembaga penyiaran. Yang ingin kami diskusikan lebih lanjut dengan KPI adalah irisan tadi. Karena kalau terkait dengan jurnalisme televisi, itu kan tadi ranahnya KPI maupun Dewan Pers, formulanya seperti apa? Ini yang akan kami follow up-i melalui MoU. Insya Allah minggu depan kita akan duduk bersama membahas itu. Jadi misalnya nanti kalau ada kasus lagi terkait dengan Metro TV, kira-kira koordinasi antara Dewan Pers dengan KPI seperti apa dan seterusnya, tanpa mengurangi otoritas masing- masing berdasarkan undang-undang masing-masing. Untuk Ibu Eva… Maaf, Evita. F-PDIP (EVITA NURSANTY): Pak, kena raport merah. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Saya terpancing Mas Roy ini. Yang dimaksud oleh Mbak Uni tadi begini, tetapi kita tetap sama, kalau ada produk penyiaran, apakah itu berita dan semacamnya itu bermasalah, dikritik oleh masyarakat, dianggap melanggar kode etik, yang bertanggungjawab adalah pemimpin redaksi, baik itu cetak, online media, radio maupun televisi. Jadi penanggungjawab redaksinya yang bertanggungjawab itu. Sama ketika tayangan infotainment sebelum-sebelum ini bermasalah, itu yang bertanggungjawab adalah media televisi yang menyiarkan itu, bukan PH yang memproduksi. Jadi lembaga penyiaran yang bertanggungjawab. Tadi Mbak Uni hanya menjelaskan kami mempunyai formula lain untuk memperbaiki masalah ini yaitu melalui jalur pendidikan, jalur training. Jadi semuanya kami tempuh, penegakan peraturan kami tempuh, empowering, capacity building juga kami tempuh. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi, Pimpinan.
22 
Ini menarik dari Mas Agus. Saya kira nanti Dewan Pers dan KPI perlu hati-hati, infotainment itu memang ada dua jenis: infotainment yang diproduksi oleh PH (misalnya Grupnya Pak Ilham Bintang, grupnya Indigo dan kawan-kawan) dengan yang diproduksi oleh stasiun TV yang bersangkutan. Misalnya saya sebut saja Go Spot-RCTI, itu Pemrednya adalah Pemred RCTI. Jadi kalau itu dibuat tanggung jawab seharusnya nanti…, ini usulan saya supaya itu jelas, ranahnya juga jelas, dari teman-teman KPI juga jelas. Saya kira tambahan ini menarik. Terima kasih. KETUA RAPAT: Tadi Go Spot ya, bukan G-Spot. Saya kira kita sudah mengerucut. Saya sengaja membawa suasana ini supaya tidak tegang, ada solusi yang kita capai, kemudian tidak perlu harus saling melotot dan lain sebagainya dan kalau tidak ada lagi pertanyaan, mari kita masuk kepada kesimpulan akhir yang nanti akan kita pedomani bersama didalam karya dan kerja kita ke depan. Saya mohon untuk ditayangkan. INTERUPSI F-PG (DRS. H. A. MUCHAMAD RUSLAN): Interupsi, Pak Ketua. Tadi pertanyaan saya belum terjawab mengenai running text tadi. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, dari Pak Dadang. KETUA KPI: Baik, terima kasih. Tadi soal dengan Dewan Pers itu kita memang tidak ada masalah, sudah clear, tinggal kita melakukan langkah-langkah yang konstruktif ke depan berkaitan dengan tugas dan fungsi masing-masing. Kami ingin menjawab beberapa yang juga penting untuk ditanyakan supaya tidak ada yang kabur di masyarakat nanti. Kami persilakan Ibu Ezki terlebih dahulu, silakan. ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): Terima kasih. Pimpinan dan Bapak/Ibu Anggota Dewan yang terhormat, Saya hanya ingin menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan isi siaran, ingin meneruskan Mas Roy. Betul Mas Roy, hanya Global dan RCTI yang In house, karena sudah dapat datanya, yang lainnya PH, maksudnya yang masuk news. Obsesi di Global dan Go Spot itu masuk divisi news. Yang lainnya tidak masuk divisi news, produksi. Lalu menjawab pertanyaan Ibu Adjeng, kasus Metro TV ini berbeda dengan kasus video yang dibilang mirip. Saya mohon maaf, kalau bisa off the record buat teman-teman wartawan di atas, kami sudah serahkan rekamannya kepada Komisi I, tapi mohon dilihat sangat private dan dijaga betul, jangan sampai ada yang menggandakan. Mohon sekali lagi off the record buat teman-teman wartawan di atas, itu adalah pemutaran blue film di Metro TV, murni blue film, 5 detik pemutara di headline news Jam 05.00. F-PD (DR. HJ. R. ADJENG RATNA SUMINAR, S.H.,M.M.): Maaf, kalau TV yang lain? ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): TV yang lain yang kami tegur itu… F-PD (DR. HJ. R. ADJENG RATNA SUMINAR, S.H.,M.M.): Bukan yang mirip, misalnya kasus TV One yang Markus bohongan, kenapa tidak dibahas? ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): Memang kita sedang mengkaji untuk bertemu lagi dengan Dewan Pers. Karena pada waktu kita masih belum ada di KPI, kasus itu…, tapi yang khusus Metro TV dan kami sudah melakukan proses. Jadi sesuai dengan aturan yang ada. Jadi kami ada buktinya, lalu klarifikasi, yang datang Pemrednya sendiri dua kali, lalu kita memberikan penilaian dan memberikan penjatuhan sanksi.jadi betul-betul kasus Metro TV itu berbeda dengan kasus-kasus yang lainnya. Kami sudah serahkan kepada Komisi I semua buktinya. Tapi mohon sekali lagi tolong dijaga. 
Lalu ini ada yang menarik. Kalau tadi dimulai oleh Pak Hasanuddin mengenai yang di Kompas, kami sudah dapat disertasinya mengenai infotainment dan ini memperkuat Bapak/Ibu juga kami semua dan teman-teman KPI di waktu Rakornas bahwa ini memang bukan non faktual. Jadi disertasi ini yang kemarin
23 
dipresentasikan di Universitas Indonesia sudah kami dapatkan dan sedang kami minta izin dicopy dan nanti akan diberikan juga kepada Bapak dan Ibu di Komisi I sebagai bahan rujukan untuk itu. INTERUPSI F-PARTAI GERINDRA (RACHEL MARIAM SAYIDINA): Interupsi, Pimpinan. Jadi menimbulkan satu pertanyaan lagi. Tadi kan Go Spot dan Global masuk ke dalam divisi news. Nanti kalau kita menetapkan infotainment sebagai program non faktual, nasib mereka masuknya ke mana? ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): Mereka pindah ke bukan news. Dari saya itu saja. Mungkin nanti teman-teman yang lain. Mas Iwan Uyun? KETUA RAPAT: Silakan, Pak Uyun. Mohon maaf, pertanyaan Pak Ruslan itu kelihatannya belum terjawab. ANGGOTA KPI (YAZIRWAN UYUN): Mengenai running text antara adanya katakanlah persaingan antara Metro TV dengan TV One itu termasuk salah satu yang akan kita bahas untuk menjatuhkan kira-kira sanksi apa, termasuk juga kasus MNC dengan Mbak Tutut. Inilah yang akan kita bawa ke Dewan Pers, karena itu juga melibatkan jurnalistik. Saya sedikit menjawab pertanyaan Ibu kenapa kasus Markus tidak di-follow up. Pada waktu kasus Markus terjadi, KPI sudah demisioner. Oleh sebab itu, karena saya juga termasuk yang masih lama pada waktu itu, melakukan telepon kepada Dewan Pers, karena kita tidak ada kewenangan (sudah demisioner), untuk di- follow up oleh Dewan Pers dan kita sudah mempercayakan sepenuhnya sanksi apa yang diberikan oleh Dewan Pers. Juga mengenai infotainment, infotainment ini kalau kita lihat hanya 3 perusahaan yang memproduksi infotainment, sisanya diproduksi oleh TV. Oleh sebab itu, didalam memilah nanti apakah dia termasuk karya jurnalistik atau tidak, sebenarnya dengan pertemuan DPR ini kita sudah mendapatkan sesuatu kekuatan. Karena untuk mengubah P3SPS memerlukan pertemuan dengan stakeholder yang ada. Dewan Pers tadi sudah mengatakan,”Kami kembalikan kepada KPI.” Itu sudah suatu stakeholder yang potensial buat KPI, karena karya jurnalistiknya ada di mereka. Tadi malam saya melakukan pertemuan informal dengan Karni Ilyas. Apa yang disampaikan Karni Ilyas? Adalah,”Kami juga akan mengembalikan atas nama ATVSI kepada KPI.” Stakeholder kami yang lain adalah KPID. Semua KPID mungkin 80%-90% sudah menyatakan bahwa itu bukan merupakan karya jurnalistik. Artinya hampir seluruhnya dari stakeholder yang ada sudah mengatakan dan kami tinggal mem- follow up bersama-sama KPID dan stakeholder lainnya. Untuk perubahan mengenai P3SPS ini menyatakan bahwa program infotainment bukanlah program faktual. Cuma ada satu masalah yang nanti perlu kita pikirkan bersama adalah apabila dia termasuk program yang bukan faktual, bahwa wajib sensor, sementara lembaga sensor tidak ada di daerah. Ini juga perlu menjadi pertimbangan ke depan. Karena apakah mungkin kalau kita mengembangkan suatu TV di daerah, dia membuat infotainment harus mengirim LSF ke Jakarta? Ini adalah persoalan-persoalan yang akan kita hadapi. Itu mungkin tambahan dari saya, Pak Dadang. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Pimpinan… KETUA RAPAT: Baik, Pak. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Kalau dari KPI sudah ada, sebelum ditayangkan di kesimpulan, saya ingin memberikan tanggapan sedikit saja. KETUA RAPAT: Silakan, Pak. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Terima kasih. 
Dalam kesempatan ini sekali lagi saya melanjutkan dari teman-teman di Komisi I yang memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Komisi Penyiaran Indonesia, dimana kami memang benar-benar tidak salah pilih terhadap anda dan kita tiniggal melakukan penajaman-penajaman. Apa yang sudah dilakukan oleh
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment
Infotainment

Contenu connexe

Tendances

Managemen public relation (2)
Managemen public relation (2)Managemen public relation (2)
Managemen public relation (2)pycnat
 
Managemen public relation
Managemen public relationManagemen public relation
Managemen public relationpycnat
 
Tugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danuTugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danuDanu Putra
 
Strategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network Process
Strategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network ProcessStrategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network Process
Strategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network ProcessMat Sahudi
 
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...fraksi balkon
 
Skripsi iklan politik imam
Skripsi iklan politik imamSkripsi iklan politik imam
Skripsi iklan politik imamiwan Alit
 
STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...
STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...
STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...Ismaya Indri Astuti
 
Risalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJII
Risalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJIIRisalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJII
Risalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJIIfraksi balkon
 
Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...
Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...
Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...musniumar
 
Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1
Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1
Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1musniumar
 

Tendances (14)

Bab 3sespimmen
Bab 3sespimmenBab 3sespimmen
Bab 3sespimmen
 
Managemen public relation (2)
Managemen public relation (2)Managemen public relation (2)
Managemen public relation (2)
 
Managemen public relation
Managemen public relationManagemen public relation
Managemen public relation
 
Bab 2 NKP sespimmen POLRI
Bab 2 NKP sespimmen POLRIBab 2 NKP sespimmen POLRI
Bab 2 NKP sespimmen POLRI
 
Tugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danuTugas hukum dan etika pers danu
Tugas hukum dan etika pers danu
 
Strategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network Process
Strategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network ProcessStrategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network Process
Strategi memenangkan pemilu dan pemilukada dengan Analytic Network Process
 
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
K1 risalah risalah_rapat_dengar_pendapat_umum_(rdpu)_dengan_direksi_pt_indosa...
 
Skripsi iklan politik imam
Skripsi iklan politik imamSkripsi iklan politik imam
Skripsi iklan politik imam
 
Makalah Pelayanan publik
Makalah Pelayanan publikMakalah Pelayanan publik
Makalah Pelayanan publik
 
STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...
STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...
STRATEGI MARKETING POLITIK PARTAI NASIONAL DEMOKRAT MENUJU PEMILIHAN UMUM TAH...
 
Risalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJII
Risalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJIIRisalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJII
Risalah RDPU Komisi I DPR RI dengan Ketua Umum MASTEL dan Ketua Umum APJII
 
Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...
Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...
Musni Umar: Satpol PP Bangun Cinta dan Empati, Hilangkan Citra Negatif di Mas...
 
Makalah kualitas pelayanan publik di indonesia
Makalah kualitas pelayanan publik di indonesiaMakalah kualitas pelayanan publik di indonesia
Makalah kualitas pelayanan publik di indonesia
 
Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1
Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1
Membangun Citra Positif Satpol PP di Tengah Masyarakat DKI Jakarta2013 1
 

En vedette

M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'
M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'
M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'mgonline
 
The Gupta Report Slideshow
The Gupta Report SlideshowThe Gupta Report Slideshow
The Gupta Report Slideshowmgonline
 
Women's site
Women's siteWomen's site
Women's sitemgonline
 
Goldfields comments
Goldfields commentsGoldfields comments
Goldfields commentsmgonline
 
M&G Hangout: Why a women's site?
M&G Hangout: Why a women's site?M&G Hangout: Why a women's site?
M&G Hangout: Why a women's site?mgonline
 
Women's site 30 august
Women's site 30 augustWomen's site 30 august
Women's site 30 augustmgonline
 
Gupta Intelligence Dealings
Gupta Intelligence DealingsGupta Intelligence Dealings
Gupta Intelligence Dealingsmgonline
 
Crime stats
Crime statsCrime stats
Crime statsmgonline
 

En vedette (8)

M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'
M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'
M&G Hangout: Gold Fields's Mbete 'bribe'
 
The Gupta Report Slideshow
The Gupta Report SlideshowThe Gupta Report Slideshow
The Gupta Report Slideshow
 
Women's site
Women's siteWomen's site
Women's site
 
Goldfields comments
Goldfields commentsGoldfields comments
Goldfields comments
 
M&G Hangout: Why a women's site?
M&G Hangout: Why a women's site?M&G Hangout: Why a women's site?
M&G Hangout: Why a women's site?
 
Women's site 30 august
Women's site 30 augustWomen's site 30 august
Women's site 30 august
 
Gupta Intelligence Dealings
Gupta Intelligence DealingsGupta Intelligence Dealings
Gupta Intelligence Dealings
 
Crime stats
Crime statsCrime stats
Crime stats
 

Similaire à Infotainment

Peran media terhadap dunia pendidikan
Peran media terhadap dunia pendidikanPeran media terhadap dunia pendidikan
Peran media terhadap dunia pendidikanWira Harjuman
 
Buku pembaharuan-komisi-informasi
Buku pembaharuan-komisi-informasiBuku pembaharuan-komisi-informasi
Buku pembaharuan-komisi-informasiAksi SETAPAK
 
Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021
Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021
Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021RepublikaDigital
 
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014Reformata.com
 
Anti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptx
Anti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptxAnti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptx
Anti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptxONGGroup
 
Anatomi dan prinsip 14 feb-2022
Anatomi dan prinsip 14 feb-2022Anatomi dan prinsip 14 feb-2022
Anatomi dan prinsip 14 feb-2022boijos
 
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
 
Problematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik JurnalistikProblematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik JurnalistikYohanes Widodo S.Sos, M.Sc
 
PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014
PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014
PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014Listiana Nurwati
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Kal Bu Lorca
 
Laporan Residensi Mahasiswa Choirn CS
Laporan Residensi Mahasiswa Choirn CSLaporan Residensi Mahasiswa Choirn CS
Laporan Residensi Mahasiswa Choirn CSSaenun Sugiyo
 
Laporan efektif bsi-14 april2021 pl
Laporan efektif bsi-14 april2021 plLaporan efektif bsi-14 april2021 pl
Laporan efektif bsi-14 april2021 plboijos
 
Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021
Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021
Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021boijos
 
Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
 Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
Media, Tembakau, dan Pertarungan WacanaPindai Media
 
4. daftar informasi publik (dip)
4. daftar informasi publik (dip)4. daftar informasi publik (dip)
4. daftar informasi publik (dip)~ gustulang
 
Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1
Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1
Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1Jaja Triharja
 

Similaire à Infotainment (20)

Peran media terhadap dunia pendidikan
Peran media terhadap dunia pendidikanPeran media terhadap dunia pendidikan
Peran media terhadap dunia pendidikan
 
Buku pembaharuan-komisi-informasi
Buku pembaharuan-komisi-informasiBuku pembaharuan-komisi-informasi
Buku pembaharuan-komisi-informasi
 
Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021
Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021
Risalah Rapat Komisi I DPR dan Menkominfo pada 1 Februari 2021
 
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
Tabloid reformata edisi 171 januari 2014
 
Anti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptx
Anti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptxAnti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptx
Anti Korupsi_Adiwijaya_Balai_Jogja.pptx
 
Anatomi dan prinsip 14 feb-2022
Anatomi dan prinsip 14 feb-2022Anatomi dan prinsip 14 feb-2022
Anatomi dan prinsip 14 feb-2022
 
Pers & Konflik
Pers & Konflik Pers & Konflik
Pers & Konflik
 
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
Akses Informasi Publik dan Keterbukaan Kontrak/Izin Industri Ekstraktif di 6 ...
 
Problematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik JurnalistikProblematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
Problematika Pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik
 
2013-2-01542-MC Bab1001.pdf
2013-2-01542-MC Bab1001.pdf2013-2-01542-MC Bab1001.pdf
2013-2-01542-MC Bab1001.pdf
 
Potret pers jakarta 2013 ok ref
Potret pers jakarta 2013 ok refPotret pers jakarta 2013 ok ref
Potret pers jakarta 2013 ok ref
 
PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014
PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014
PERAN MEDIA MASA TERHADAP PEMILIHAN PRESIDEN INDONESIA TAHUN 2014
 
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
Membangun independensi dan profesionalitas wartawan melalui kajian holistik p...
 
Pancasila
PancasilaPancasila
Pancasila
 
Laporan Residensi Mahasiswa Choirn CS
Laporan Residensi Mahasiswa Choirn CSLaporan Residensi Mahasiswa Choirn CS
Laporan Residensi Mahasiswa Choirn CS
 
Laporan efektif bsi-14 april2021 pl
Laporan efektif bsi-14 april2021 plLaporan efektif bsi-14 april2021 pl
Laporan efektif bsi-14 april2021 pl
 
Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021
Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021
Laporan efektif bsi-14 april philipus 2021
 
Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
 Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
Media, Tembakau, dan Pertarungan Wacana
 
4. daftar informasi publik (dip)
4. daftar informasi publik (dip)4. daftar informasi publik (dip)
4. daftar informasi publik (dip)
 
Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1
Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1
Kabinet bayangan-rumahpolitikindonesia-v1
 

Plus de fraksi balkon

Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015
Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015
Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015fraksi balkon
 
Irine yusiana roba putri
Irine yusiana roba putriIrine yusiana roba putri
Irine yusiana roba putrifraksi balkon
 
Nurhayati ali assegaf
Nurhayati ali assegafNurhayati ali assegaf
Nurhayati ali assegaffraksi balkon
 
Syaiful bahri anshori
Syaiful bahri anshoriSyaiful bahri anshori
Syaiful bahri anshorifraksi balkon
 
Mohammad arief suditomo
Mohammad arief suditomoMohammad arief suditomo
Mohammad arief suditomofraksi balkon
 
Hj. kartika yudhisti, b, eng, m.sc
Hj. kartika yudhisti, b, eng, m.scHj. kartika yudhisti, b, eng, m.sc
Hj. kartika yudhisti, b, eng, m.scfraksi balkon
 
H. andi muhammad ghalib,sh.mh
H. andi muhammad ghalib,sh.mhH. andi muhammad ghalib,sh.mh
H. andi muhammad ghalib,sh.mhfraksi balkon
 
H. syaifullah tamliha, s.pi, ms
H. syaifullah tamliha, s.pi, msH. syaifullah tamliha, s.pi, ms
H. syaifullah tamliha, s.pi, msfraksi balkon
 

Plus de fraksi balkon (20)

Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015
Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015
Risalah raker komisi i dpr ri dengan kemenkominfo, selasa, 27 januari 2015
 
Marinus gea
Marinus geaMarinus gea
Marinus gea
 
Irine yusiana roba putri
Irine yusiana roba putriIrine yusiana roba putri
Irine yusiana roba putri
 
Andi ridwan wittiri
Andi ridwan wittiriAndi ridwan wittiri
Andi ridwan wittiri
 
Charles honoris
Charles honorisCharles honoris
Charles honoris
 
Effendi sibolon
Effendi sibolonEffendi sibolon
Effendi sibolon
 
Evita nursanty
Evita nursantyEvita nursanty
Evita nursanty
 
Tb hasanuddin
Tb hasanuddinTb hasanuddin
Tb hasanuddin
 
Pramono anung
Pramono anungPramono anung
Pramono anung
 
Rudianto tjen
Rudianto tjenRudianto tjen
Rudianto tjen
 
Nurhayati ali assegaf
Nurhayati ali assegafNurhayati ali assegaf
Nurhayati ali assegaf
 
Zulkifli hasan
Zulkifli hasanZulkifli hasan
Zulkifli hasan
 
Budi youyastri
Budi youyastriBudi youyastri
Budi youyastri
 
Syaiful bahri anshori
Syaiful bahri anshoriSyaiful bahri anshori
Syaiful bahri anshori
 
Ida fauziyah
Ida fauziyahIda fauziyah
Ida fauziyah
 
Muhaimin iskandar
Muhaimin iskandarMuhaimin iskandar
Muhaimin iskandar
 
Mohammad arief suditomo
Mohammad arief suditomoMohammad arief suditomo
Mohammad arief suditomo
 
Hj. kartika yudhisti, b, eng, m.sc
Hj. kartika yudhisti, b, eng, m.scHj. kartika yudhisti, b, eng, m.sc
Hj. kartika yudhisti, b, eng, m.sc
 
H. andi muhammad ghalib,sh.mh
H. andi muhammad ghalib,sh.mhH. andi muhammad ghalib,sh.mh
H. andi muhammad ghalib,sh.mh
 
H. syaifullah tamliha, s.pi, ms
H. syaifullah tamliha, s.pi, msH. syaifullah tamliha, s.pi, ms
H. syaifullah tamliha, s.pi, ms
 

Dernier

KONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
KONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHANKONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
KONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHANDevonneDillaElFachri
 
Perlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdf
Perlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdfPerlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdf
Perlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdfjeffrisovana999
 
ASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptx
ASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptxASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptx
ASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptxAdrimanMulya
 
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...Shary Armonitha
 
KISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkks
KISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkksKISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkks
KISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkksdanzztzy405
 
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxUKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxzidanlbs25
 
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptxAbidinMaulana
 
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa IndonesiaSalinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesiasdn4mangkujayan
 
Contoh Algoritma Asosiasi pada data mining
Contoh Algoritma Asosiasi pada data miningContoh Algoritma Asosiasi pada data mining
Contoh Algoritma Asosiasi pada data miningSamFChaerul
 

Dernier (11)

KONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
KONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHANKONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
KONSEP DASAR ADVOKASI GIZI KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
 
Perlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdf
Perlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdfPerlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdf
Perlindungan Anak Dalam Hukum Perdata (2).pdf
 
ASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptx
ASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptxASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptx
ASUMSI DAN KARAKTERISTIK AKUNTANSI SYARIAH.pptx
 
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
Sistem operasi adalah program yang bertindak sebagai perantara antara user de...
 
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotecAbortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
Abortion pills in Jeddah+966543202731/ buy cytotec
 
KISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkks
KISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkksKISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkks
KISI KISI PSAJ IPS KLS IX 2324.docskskkks
 
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptxUKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
UKURAN PENTYEBARAN DATA PPT KELOMPOK 2.pptx
 
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
514034136-Tugas-Modul-4-5-Komputer-Dan-Media-Pembelajaran.pptx
 
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
Abortion pills in Kuwait salmiyah [+966572737505 ] Get Cytotec in Kuwait city...
 
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa IndonesiaSalinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
Salinan PPT TATA BAHASA Bahasa Indonesia
 
Contoh Algoritma Asosiasi pada data mining
Contoh Algoritma Asosiasi pada data miningContoh Algoritma Asosiasi pada data mining
Contoh Algoritma Asosiasi pada data mining
 

Infotainment

  • 1. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA RISALAH RAPAT DENGAR PENDAPAT KOMISI I DPR RI Tahun Sidang : 2009-2010 Masa Persidangan : IV Jenis Rapat : Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR RI Sifat Rapat : Terbuka Hari/tanggal : Rabu, 14 Juli 2010 Waktu : Pukul 10.00 WIB Pimpinan Rapat : Tubagus Hasanuddin /Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sekretaris Rapat : Dra. Damayanti Tempat : Ruang Rapat Komisi I DPR RI, Gedung Nusantara II Lt. 1, Jl. Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta 10270 Acara : RDP Komisi I DPR RI dengan Ketua KPI dan Dewan Pers Pemerintah : Ketua KPI dan Ketua Dewan Pers Hadir : orang dari 47 orang Anggota Komisi I DPR RI Anggota yang hadir : - Pimpinan Komisi I DPR RI: 1. H. Hayono Isman, S.IP./Wakil Ketua Komisi I DPR RI/F-Partai Demokrat 2. Drs. Agus Gumiwang Kartasasmita/Wakil Ketua Komisi I DPR RI/F-PG 3. Tubagus Hasanuddin/Wakil Ketua Komisi I DPR RI/F-PDI Perjuangan - Anggota Komisi I DPR RI: F-PARTAI DEMOKRAT: 4. Mayjen TNI (Purn) Yahya Sacawiria, S.IP., MM. 5. Max Sopacua, S.E., M.Si. 6. Ir. H. Hari Kartana, MM. 7. Edhie Baskoro Yudhoyono, B.Com., M.Sc. 8. DR. Hj. R. Adjeng Ratna Suminar, S.H., M.H. 9. Mayjen TNI (Purn) Salim Mengga 10.Drs. Ramadhan Pohan, MIS 11.KRMT Roy Suryo Notodiprojo 12. Paula Sinjal, S.H. F-PG: 13. Ir. Neil Iskandar Daulay 14.Jeffrie Geovanie 15. Tantowi Yahya 16.Ahmed Zaki Iskandar Zulkarnaen, B.Bus. 17.Drs. H.A. Muchamad Ruslan. 18.Drs. Enggartiasto Lukita. 19.Paskalis Kossay, S.Pd., MM. 20.Yorrys Raweyai F-PDI PERJUANGAN: 21.Sidarto Danusubroto, S.H. 22.Dadoes Soemarwanto 23.Evita Nursanty F-PKS: 24.Prof. DR. H. Irwan Prayitno, P.si., M.Sc. F-PAN: 25.Ir. Muhammad Najib, M.Sc. 26.Prof. DR. Ismet Ahmad 27.Ir. H. Azwar Abubakar, MM. F-PPP: 28.H. Amin Suparmin, S.HI. F-PKB: 29.Hj. Lily Chodidjah Wahid 30.DR. H.A. Effendy Choirie, M.H.
  • 2. 2 F-GERINDRA: 31.Rachel Maryam Sayidina F-PARTAI HANURA: 32.Dra. Hj. Soemintarsi Muntoro, M.Si. Anggota yang Izin: 1. Kemal Azis Stamboel/Ketua Komisi I DPR RI/F-PKS 2. DR.Nurhayati Ali Assegaf, M.Si. /F-Partai Demokrat 3. Drs. H. Guntur Sasono, M.Si. /F-Partai Demokrat 4. Mirwan Amir./F-Partai Demokrat 5. Tjahjo Kumolo /F-PDI Perjuangan 6. H. Tri Tamtomo, SH/F-PDI Perjuangan 7. Helmy Fauzy /F-PDI Perjuangan 8. Luthfi Hasan Ishaaq, MA./F-PKS 9. Drs. Al Muzzammil Yusuf./F-PKS 10. DR. Muhammad Hidayat Nurwahid, MA. /F-PKS 11. H. Achmad DG. Sere, S.Sos./F-PKB 12. H. Ahmad Muzani./F-Gerindra Jalannya Rapat: KETUA RAPAT (TB. HASANUDDIN, S.E., M.M.): Anggota Komisi I yang saya hormati, Ketua KPI beserta Anggota yang lain, Dewan Pers, Ibu Uni cs, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak dan Ibu dalam acara yang boleh dikategorikan mendadak, ada satu hal yang perlu kita diskusikan dan kita bicarakan. Pada pertemuan Rapat Dengar Pendapat Umum siang ini ada 2 (dua) masalah yang ingin kita bicarakan: 1. Masalah Infotainment 2. Masalah keputusan MK, nanti barangkali ada informasi lain dari rekan-rekan yang baru saja barangkali atau telah berkomunikasi dengan MK. Masalah infotainment yang kami dapatkan informasinya adalah kira-kira sebagai berikut, dimana terjadi pendapat atau berbeda pendapat atau semacam diskusi dimana infotainment itu dimasukkan di dalam faktual dan non faktual. Ketika berbicara non faktual saya kira sudah clear diklarifikasikan oleh KPI. Kemudian ada hal-hal lain bagaimana kewenangan KPI didalam melaksanakan tugas pokoknya yang itu ada hubungannya juga dengan keputusan MK. Menarik untuk kita diskusikan barangkali, saya mencoba membaca di dalam Koran Kompas hari ini tentang infotainment yang kebetulan ini karya seorang Doktor di dalam desertasinya yang notabene menjadi pemahaman untuk kita, nanti akan kita diskusikan lebih lanjut. Izinkan saya untuk membacakan masalah ini sekilas. Beberapa alasan pokok penyebab maraknya infotainment antara lain perubahan struktural industri penyiaran dan telekomunikasi, integrasi vertikal dan horizontal industri media, tekanan pencapaian ekonomi serta munculnya pekerja media yang hanya memiliki keterikatan minim pada kode etik jurnalistik. Selain itu adanya cara pandang bahwa lapangan jurnalisme dan hiburan itu sama saja. Kemudian menurut Doktor ini proses produksi infotainment kerap melanggar prinsip-prinsip jurnalistik, sehingga tidak dapat disebut sebagai karya jurnalistik. Ini sebuah pendapat karya ilmiah yang harus kita diskusikan dan mungkin debatable. Prinsip kebenaran, klarifikasi, independent dan proporsional dalam pemberitaan yang merupakan beberapa elemen jurnalisme yang dihembuskan, mengacu kepada pendapat Bill Kovach misalnya, kerap dilanggar. Infotainment lebih banyak berdasarkan kepada gosip. Produksi dan distribusi program infotainment tentang budaya industri dalam kaitannya dengan relasi kekuasaan dipengaruhi etika kapitalis. Jurnalisme kian identik dengan bisnis atau terjadi pergeseran nilai jurnalistik yang semula mengedepankan fakta tetapi belakangan mengedepankan fungsi bisnis. Pertumbuhan jumlah tayangan infotainment dilatar-belakangi antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Kemudian dalam 1 minggu terdapat 49 program infotainment yang disajikan 11 industri televisi nasional. Stasiun televisi yang tidak menyajikan infotainment hanya TVRI. Ada sebuah fakta, ada sebuah hasil penelitian dari seorang Doktor dan barangkali hari ini nanti akan kita diskusikan, acaranya yang pertama saya mohon dahulu nanti Bapak Ketua KPI untuk menjelaskan masalah ini, termasuk juga di dalamnya itu adalah penjelasan tentang keputusan MK yang ada hubungannya dengan job description yang disandang oleh KPI. Kemudian yang kedua barangkali nanti mohon penjelasan seputar masalah itu dari Dewan Pers Yang terakhir nanti kita akan bertukar pikiran dengan Rekan-rekan Anggota Komisi I.
  • 3. 3 Saya persilakan kepada Pak Dadang. KETUA KPI (DADANG RAHMAT HIDAYAT): Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Yang saya hormati Pimpinan dan Anggota Komisi I DPR-RI, Yang saya hormati Rekan-rekan Komisioner KPI Pusat, Yang saya hormati Rekan-rekan dari Dewan Pers, dan Hadirin sekalian, Pertama-tama kami ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menjelaskan yang disampaikan oleh Bapak Pimpinan tadi tentang yang pertama berkaitan dengan masalah infotainment. Apa yang tadi dibacakan oleh Bapak Pimpinan tentang salah satu berita di koran barangkali itu juga yang menjadi salah satu latar belakang kenapa muncul masalah ini. Perlu kami sampaikan bahwa kami sudah membuat pandangan kami tentang apa yang ditanyakan. Jadi kami tidak akan membacakan semuanya, kami akan membaca khusus atau langsung kepada yang ditanyakan pokoknya. Yang dikaitkan dengan infotainment ini sebetulnya berasal dari Rakornas Komisi Penyiaran Indonesia yang dihadiri oleh KPI Pusat dan KPID seluruh Indonesia. Di dalam salah satu rekomendasinya menyebutkan bahwa meminta kepada KPI, khususnya KPI Pusat, untuk meninjau program-program yang dinyatakan sebagai program faktual di dalam P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran), khususnya untuk meninjau apakah infotainment dan reality show masih relevan untuk tetap dimasukkan ke dalam program faktual. Tentu ada alasan-alasan yang bersifat sosiologis, alasan-alasan yang bersifat normatif dan alasan-alasan yang bersifat hostoris, bahkan mungkin psikologis. Antara lain yang kita punyai data-data dari Januari sampai Juni kita mendapatkan aduan lebih dari 400 aduan berkaitan dengan isi siaran, 31,98% itu aduan tentang infotainment. Bahkan khusus pada Juni itu bisa mencapai di atas 98%, mungkin karena ada kasus video cabul yang kita sudah ketahui bersama. Ini tampaknya menjadi tugas bagi KPI Pusat untuk melakukan atau melaksanakan rekomendasi yang sudah dibuat oleh Rakornas, salah satunya adalah kami akan membicarakan ini dengan berbagai pihak yang memang berkepentingan tentang kedudukan apakah infotaiment ini masih tetap bisa dikategorikan sebagai program non faktual dalam konteks KPI atau mungkin dalam konteks yang lain apakah itu masih relevan sebagai karya jurnalistik. Melihat beberapa aduan yang disampaikan kepada kami dan termasuk juga penilaian-penilaian kami, ada beberapa yang seringkali dimasalahkan. Yang pertama yang berkaitan dengan isi siarannya atau isi infotainment itu. Apakah semuanya berkaitan dengan fakta? Apakah kemudian tidak ada rekayasa? Apakah isinya mungkin saja ada gosip atau tidak? Apakah cara pencarian beritanya sudah sesuai, termasuk juga cara penyajiannya, baik narasi maupun gambar-gambarnya? Barangkali ini yang menjadi hal yang sangat penting untuk disampaikan. Berikutnya juga mengenai jumlah durasi dan frekuensi tayangan-tayangan infotainment yang ada. Tadi disampaikan bahwa ada 49 jam tayang. Sebagiannya, bahkan mungkin sebagian besar tampaknya jam tayangnya pun tidak cocok. Yang dikupas masalah-masalah dewasa, yang dikupas masalah-masalah katakanlah pribadi, sementara jam tayangnya mulai dari bangun pagi, siang, sore sampai mau tidur acara- acara itu tetap ada. Itulah yang barangkali yang menjadi latar belakang apakah program infotainment ini masih dimasukkan ke dalam program faktual. Ada beberapa yang memang menjadi hal krusial dari konsekuensi program faktual atau program non faktual. Untuk program faktual memang itu sudah pasti tidak menjadi program yang bisa masuk ke lembaga sensor film misalnya. Berbeda dengan program non faktual. Program non faktual itu antara lain sinetron, iklan atau program-program hiburan lainnya yang memang masuk kriteria untuk masuk ke dalam lembaga sensor film. Kami pun sebetulnya tidak pernah menyatakan bahwa infotainment harus disensor. Namun jika nanti dikategorikan bukan sebagai program faktual tentunya kami akan berbicara dengan lembaga yang berwenang yaitu lembaga sensor film apakah ini termasuk menjadi program yang disensor atau tidak. Kalau misalnya tidak disensor, sekali lagi itu kewenangan dari lembaga sensor film. Ini barangkali yang menjadi pokok permasalahan yang sering dimunculkan. Tetapi terus terang saja kami mau menyampaikan juga beberapa hal yang berkaitan dengan teguran-teguran kepada stasiun TV terutama bahwa dalam rentang Januari sampai Juli ini KPI Pusat telah mengeluarkan 45 surat imbauan teguran, peringatan hingga penghentian sementara. Dari jumlah tersebut 7 diantaranya adalah surat peringatan dan teguran mengenai tayangan infotainment. Satu peringatan ditujukan kepada semua stasiun televisi pada Tanggal 8 Juni. Sebetulnya peringatan ini bukan sanksi, itu early warning pada saat RDP yang terdahulu kami sampaikan dikaitkan dengan kasus video yang waktu itu masih mirip artis, waktu itu saya katakan masih mirip artis. Enam diantaranya yang memang sudah dianggap melanggar P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standard Program Siaran). Dalam konteks infotainment pun teguran yang dikeluarkan oleh KPI kami tidak pernah melarang pemberitaannya, informasinya, tetapi hal-hal yang berkaitan khususnya kasus kemarin itu berkaitan dengan penayangan gambar-gambar yang menurut pandangan kami dan banyak pihak itu termasuk video cabul. Kemudian
  • 4. 4 juga kami melihat, apakah ini relevan atau tidak, tapi perlu kami sampaikan bahwa kalau melihat lagi aduan-aduan atau keberatan-keberatan masyarakat, Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang terhormat, keberatan, kritik hingga kecaman terhadap infotainment ini tidak hanya muncul dalam bentuk pengaduan masyarakat kepada KPI Pusat, termasuk juga kepada KPI Daerah, namun dapat juga disimak dari berbagai berita di internet, misalnya kapanlagi.com, okezone.com, detik,com dan lain-lain. Barangkali ini yang melatarbelakangi permasalahan itu muncul. Sampai saat ini kami ingin tegaskan bahwa infotaiment masih masuk dalam kriteria program faktual P3SPS KPI. Apa yang akan terjadi ke depan? Tentu berdasarkan pertemuan kami, koordinasi kami dengan masukan-masukan ke berbagai pihak, termasuk Hari Jumat ini, kami akan membuat dialog publik, mendapatkan masukan-masukan apakah memang masih masuk ke dalam program faktual atau tidak. Hari Jumat ini kami akan mengundang teman-teman dari Dewan Pers, tokoh atau ahli yang berkaitan dengan karya atau program faktual disamping KPI sendiri. Itu yang pertama. Yang kedua, yang dkaitkan dengan kewenangan KPI berdasarkan atau pasca keputusan Mahkamah Konstitusi. Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang kami hormati, Yang dimasalahkan yang tampak di media atau berdasarkan informasi langsung kepada kami bahwa KPI dipandang tidak mempunyai kewenangan untuk menegur stasiun televisi, setidaknya itu yang muncul di running text salah satu stasiun TV. Kami bisa menjelaskan seperti ini, pertama, putusan Mahkamah Konstitusi itu sebetulnya berkaitan dengan 2 (dua) pasal di dalan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Pasal 44 dan Pasal 62. Pasal 44 itu berkaitan dengan sanggahan yang kemudian itu juga diubah. Satu lagi Pasal 62. Pasal 62 itu berbunyi tentang kewenangan pembuatan PP yang asalnya pembuatan peraturan pemerintah itu dibuat oleh KPI bersama pemerintah. Dua frase yang dihapus adalah KPI bersama, sehingga bunyinya peraturan pemerintah itu dibuat oleh pemerintah. Itu clear, karena memang KPI tidak bisa membuat peraturan pemerintah. Tetapi di dalam halaman 80 amar putusan Mahkamah Konstitusi, itu nanti bisa di dalam Keppres kami itu ada, disebutkan bahwa: Sebagai lembaga negara berdasarkan Pasal 7 dan Pasal 8 Undang-Undang Penyiaran, KPI masih mempunyai kewenangan untuk mengatur hal-hal tentang penyiaran, termasuk membuat peraturan KPI sebagai pelaksanaan dari Undang- Undang 32 Tahun 2002 dan peraturan pemerintah. Dalam perkembangan berikutnya pemerintah berdasarkan kewenangannya sudah membuat 7 (tujuh) paket peraturan pemerintah dan seingat kami PP inipun pernah di-review oleh berbagai pihak, termasuk juga oleh KPI. Tapi putusan Mahkamah Agung mengatakan bahwa PP ini tetap berlaku. 7 (tujuh) tadi adalah PP Nomor 11, 12 dan 13 tentang Lembaga Penyiaran Publik, termasuk RRI dan TVRI, kemudian PP Nomor 49 tentang Siaran Berbahasa Asing, PP Nomor 50 tentang Lembaga Penyiaran Swasta, PP Nomor 51 tentang Lembaga Penyiaran Komunitas dan PP Nomor 52 tentang Lembaga Penyiaran Berlangganan. Kami akan ambilkan, karena berkaitan dengan masalah lembaga penyiaran swasta. Di dalam PP Nomor 50 Tahun 2005 itu dinyatakan berbagai kewenangan-kewenangan KPI untuk membuat peraturan. Di dalam Pasal 14 PP tersebut disebut tentang isi siaran. Di dalam Pasal 14 ayat (7) disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib mentaati pedoman perilaku dan standard program siaran KPI, itu di dalam Pasal 14 ayat (7). Kemudian Pasal 45 sampai Pasal 61 itu merupakan pasal-pasal yang memberikan tata cara pemberian sanksi, dimana sanksinya terhadap pelanggaran-pelanggaran di Pasal 14 tadi itu dapat berupa: yang pertama adalah sanksi administratif teguran tertulis; yang kedua, sanksi denda administratif; yang ketiga, sanksi penghentian sementara program, itu yang ada di dalam Pasal 45 sampai 61. Di Pasal 62-nya ditegaskan bahwa kewenangan untuk memberikan sanksi Pasal 45 sampai 61 itu merupakan kewenangan KPI. Jadi KPI melaksanakan putusan- putusannya sampai saat ini masih merupakan putusan yang normatif. Barangkali itu yang berkaitan dengan kewenangan pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Demikian, Bapak Pimpinan dan Bapak-bapak serta Ibu Anggota Komisi I yang terhormat. Mudah- mudahan penjelasan awal ini bisa menjadi bagian dari diskusi berikutnya. Ada yang ditambahkan? Tidak? Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, sebelum dilanjutkan, karena ini formasi baru, teman-teman ingin mempersilakan Bapak Ketua memperkenalkan satu-persatu. Kalau kenal barangkali sudah ketika kita melaksanakan fit and proper test. Tapi walaupun beberapa orang, di situ ada jabatan yang berbeda sedikit. Saya persilakan, Pak Dadang. KETUA KPI: Terima kasih. Saya pikir sudah dikenal semua oleh… Baik, yang paling kanan ini Bapak Yazirwan Uyun, Pak Yazirwan Uyun ini di bidang isi siaran. Kemudian di sebelah kanan saya ini Bapak Muhammad Riyanto, ini di bidang infrastruktur dan perizinan. Kemudian paling kiri terlebih dahulu Bapak Judha Riksawan di bidang kelembagaan, soal aturan-aturan juga ini, kerjasama dan segala macamnya. Kemudian sebelah kanan Pak Judha Riksawan adalah Ibu Azimah Subagyo, sama dengan Pak Judha Riksawan di bagian kelembagaan. Kemudian di sebelah kanannya Ibu Azimah adalah Pak Iswandi Syahputra, Doktor baru Komunikasi, di
  • 5. 5 bidang infrastruktur, sama dengan Pak Riyanto. Di sebelah kanannya lagi adalah Ibu Ezki Suyanto, Ibu Ezki Suyanto sama dengan Pak Yazirwan Uyun di bidang isi siaran. Saya sendiri Dadang Rahmat Hidayat, sampai saat ini masih sebagai Ketua. 2 (dua) orang lagi yang tidak bisa hadir, karena memang tadi sempat disampaikan oleh Pimpinan undangannya mendadak, 2 (dua) teman kami sedang dalam tugas, yang satu di Makassar dan yang satu lagi di Solo dalam kerangka media literasi dan evaluasi uji coba siaran. Kemudian juga kami didampingi oleh teman-teman dari sekretariat, ada asisten ahli dari sekretariat dan hadir teman-teman dari KPID Maluku, silakan berdiri. Barangkali itu teman-teman yang hadir pada saat ini. KETUA RAPAT: Terima kasih, Bapak Ketua. Sekarang saya persilakan, barangkali siapa yang mau berbicara. Ibu Uni? DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Selamat siang, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Bapak Pimpinan dan Bapak-bapak Anggota Komisi I DPR-RI, Saya Uni Lubis, Anggota Dewan Pers. Kebetulan juga mendapatkan tugas sebagai Ketua Komisi Pendidikan, Pelatihan dan Pengembangan Profesi Wartawan. Kemudian siang hari ini saya didampingi oleh 2 (dua) orang Anggota Dewan Pers. Di sebelah kiri saya adalah Agus Sudibyo, Ketua Komisi Pengaduan Masyarakat dan Penegakan Etika Pers. Kemudian di sebelah kanan saya adalah Bekti Nugroho, Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga. Mohon maaf Pak Pimpinan, karena hanya 3 (tiga) orang yang bisa memenuhi undangan dari Komisi I yang baru secara resmi kami terima Pukul 11.00 tadi. Bapak Ketua, Prof. Bagir Manan dan Bung Wina Armada sedang ada di Surabaya untuk mengadakan pelatihan saksi ahli, karena Dewan Pers sedang merekrut calon-calon saksi ahli untuk membantu menangani kasus-kasus pers yang sampai ke pengadilan. Kemudian Wakil Ketua, Bambang Hari Murti sedang cuti sampai dengan Tanggal 16 Juli dan yang lainnya masih ada di luar kota, jadi ini agak mendadak. Terima kasih atas undangannya. Sebetulnya terus terang saja karena tema hanya dituliskan temanya infotainment dan reality show, kami belum tahu apa yang mau ditanyakan ke Dewan Pers. Tapi mungkin satu hal yang tadi saya tangkap dari pertanyaan pertama dan kemudian penjelasan dari Ketua KPI, Bung Dadang, adalah bahwa apakah infotainment itu masuk dalam ranah jurnalistik atau tidak. Kalau reality show itu sudah pasti tidak, karena itu sudah pasti tidak masuk dalam ranah jurnalistik dan itu tidak menjadi area atau domain dari Dewan Pers untu menanganinya. Untuk infotainment ini memang yang menarik dan selalu menjadi perdebatan yang seru, termasuk hari-hari ini. Bagi Dewan Pers dasarnya itu adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang di situ dikatakan bahwa wartawan itu adalah orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik secara teratur, itu ada di Ketentuan Umum di Pasal 1. Kemudian juga di undang-undang tersebut dikatakan bahwa wartawan itu harus menaati kode etik jurnalistik. Jadi kalau ditanyakan kepada Dewan Pers apakah infotainment itu masuk ranah jurnalistik atau tidak, posisi Dewan Pers adalah siapapun yang menjalankan kegiatan jurnalistiknya secara teratur, jadi yang menjalankan kegiatan jurnalistik secara teratur dan dalam pelaksanaan pekerjaan dan produknya memenuhi kode etik jurnalistik, itu adalah pers, itu adalah jurnalis, itu adalah menghasilkan produk jurnalistik dank arena itu menjadi area dan domain dari Dewan Pers untuk melindungi kegiatannya. Tetapi kalau misalnya ada yang mengatasnamakan wartawan atau mengaku sebagai wartawan tetapi kemudian melanggar kode etik jurnalistik, melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dalam melaksanakan kegiatannya, maka itu tidak termasuk yang diakui oleh Dewan Pers sebagai menghasilkan produk jurnalistik. Jadi sebetulnya bagi Dewan Pers itu pegangannya memang hanya Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan juga kode etik jurnalistik, karena di Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 itu mengatakan di Pasal 15 fungsi dan peran dari Dewan Pers memang memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk memfasilitasi pembentukan kode etik jurnalistik dan kami sudah punya kode etik jurnalistik yang berlaku dan hasil kesepakatan dari 29 organisasi profesi dan juga perusahaan pers. Jadi itu saja barangkali jawaban awal kami terhadap pertanyaan besar di masyarakat dan juga barangkali di ruangan ini bagaimana sikap Dewan Pers terhadap pertanyaan apakah infotainment itu masuk dalam ranah jurnalistik atau tidak. Mungkin itu saja. Ada teman saya yang akan… Ada tambahan? Agus Sudibyo akan menambahkan. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Bismillaahirrahmaanirrahiim, Assalamu’alaikum Warahmatullahi Ta’ala Wabarakaatuh. Salam sejahtera buat Bapak-Ibu sekalian.
  • 6. 6 Yang terhormat Pimpinan Komisi I DPR, Yang terhormat Rekan-rekan saya Anggota Dewan di Komisi I DPR, Yang terhormat Teman-teman dari Komisi Penyiaran Indonesia, dan Rekan-rekan Wartawan yang di balkon, Saya ingin menambahkan dan menegaskan yang disampaikan oleh Mbak Uni Lubis tadi. Jadi pada dasarnya Dewan Per situ selalu terbuka untuk mengakomodasi produk-produk penyiaran maupun produk-produk media cetak maupun kelompok atau organisasi atau orang-orang yang ingin menjadi bagian dari jurnalisme, bagian dari pers dan seterusnya. Tetapi tolok ukurnya jelas sekali, kode etik jurnalistik, nilai-nilai berita dan keutamaan-keutamaan ruang publik. Jadi nilai-nilai berita bahwa yang disampaikan harus faktual, harus aktual, harus penting buat masyarakat, harus relevan dengan kehidupan bangsa dan seterusnya. Kode etik jurnalistik mengatur bahwa sebuah berita harus cover both side, harus menaati prinsip keberimbangan, harus akurat dalam menyampaikan informasi dan fakta, tidak menghakimi dan seterusnya. Keutamaan-keutamaan ruang publik berarti bahwa informasi yang diberikan kepada masyarakat selain menghibur itu juga harus bermuatan apakah itu pendidikan, apakah itu pencerahan, pemberdayaan, pengawasan sosial, solidaritas, menghargai prinsip-prinsip kemajemukan budaya, tidak bias gender dan ramah keluarga. Itu nilai-nilai yang digunakan oleh Dewan Pers untuk melihat apakah suatu produk, suatu tayangan yang disampaikan oleh media penyiaran itu bisa atau tidak disebut sebagai karya jurnalistik dan seterusnya. Dari sisi proses dan pelaku, apakah sebuah proses bisa dilihat sebagai proses jurnalistik, apakah seseorang atau kelompok orang bisa dianggap sebagai wartawan, menegaskan yang disampaikan oleh Mbak Uni tadi parameternya adalah bahwa dia harus profesional dan bisa menegakkan kode etik jurnalistik. Kode etik jurnalistik antara lain adalah tidak boleh memaksa narasumber untuk berbicara misalnya, harus menghargai privasi, harus berhati-hati, tidak boleh memaksa ataupun tidak boleh mengumpat narasumber dan seterusnya dan juga bisa memisahkan mana urusan publik dan mana urusan privat. Media adalah ruang publik sosial, maka hal-hal yang bisa dibahas disampaikan kepada masyarakat melalui media itu harus sebanyak-banyaknya adalah yang berurusan dengan publik secara langsung. Jadi fungsi media bukan sekedar memenuhi rasa ingin tahu masyarakat misalnya tentang hal- hal yang bersifat sensual, tapi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang informasi, fakta dan seterusnya yang dipastikan tidak berdampak buruk buat anak-anak, buat perempuan dan seterusnya dan memang bermanfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia dari sisi sosial, politik, budaya dan seterusnya, menghargai privasi dan juga wartawan Indonesia sudah pasti harus dapat menjaga martabat dan nama baik pers nasional. Jangan sampai karena perilaku, karena tindakan beberapa kelompok, maka martabat pers secara nasional menjadi tercoreng. Juga sebenarnya isu yang lain adalah kejelasan status dari katakanlah pekerja infotainment sendiri, misalnya apakah mereka bagian dari news room dan seterusnya, ini juga hal-hal yang saya kira perlu diperhatikan. Jadi sekali lagi tolok ukur Dewan Pers adalah nilai-nilai berita, kode etik jurnalistik, keutamaan-keutamaan ruang publik sosial yang semuanya telah terangkum dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik beserta produk-produk Dewan Pers yang lain. Mungkin kami juga melaporkan sebenarnya Dewan Pers periode yang lalu itu sudah menyusun standard kompetensi jurnalistik. Ini disusun bersama-sama, bukan hanya Dewan Pers, tapi dengan melibatkan asosiasi-asosiasi jurnalis dan juga asosiasi perusahaan media. Standard kompetensi jurnalis ini kemudian akan mencoba melakukan empowering, melakukan capacity building, sehingga dipastikan bahwa wartawan/jurnalis yang bekerja di lapangan adalah wartawan yang memang sudah mempunyai skill/pemahamanyang memadai tentang profesionalisme, tentang kode etik jurnalistik, tentang pernghargaan terhadap prinsip-prinsip ruang publik dan seterusnya. Jadi ini sebagai upaya Dewan Pers bersama unsur masyarakat pers secara umum untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas wartawan/jurnalis, sehingga diharapkan dengan meningkatnya kualitas dan kapasitas jurnalis, ini kemudian juga akan meningkatkan produk jurnalistik yang disampaikan kepada masyarakat. Saya kira demikian tambahan dari saya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu Uni dan juga Pak Bekti. INTERUPSI F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Interupsi, Ketua. Sebelum mulai, saya minta dari paparan itu sikap Dewan Pers ini infotainment ini karya jurnalistik atau bukan? Kita belum dengar sikap dari Dewan Pers. Karena kalau itu normatif betul, penjelasannya bagus betul, cuma judgement-nya apa Dewan Pers ini? Terima kasih, Ketua. KETUA RAPAT: Terima kasih.
  • 7. 7 Ibu Uni? DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Tadi sebetulnya sudah saya katakan itu tidak normatif. Jadi produk yang dikerjakan oleh wartawan yang melakukan tugasnya secara teratur dan kemudian memenuhi kode etik jurnalistik, itu adalah produk jurnalistik. Jadi selama ini Dewan Pers menangani kasusnya kasus per kasus. Kalau ada pengaduan menyangkut infotainment juga kami tangani sebagaimana tadi disebutkan oleh Agus Sudibyo dan kami juga menanganinya berdasarkan kode etik jurnalistik. Artinya kami terbuka terhadap produk-produk berita, termasuk berita-berita hiburan. Karena sebetulnya infotaiment ini kan berita juga, Pak Enggar. Kalau menurut Undang-Undang Pers bahwa pers itu adalah yang melakukan 6M (mencari, memiliki, menyimpan, mengolah, menginformasikan), maka apa yang dilakukan oleh teman-teman infotainment ini memenuhi kriteria 6M. Pertanyaan besar dari masyarakat dan dari kita adalah tadi yang dikatakan oleh Agus, apakah produknya dan proses kerjanya memenuhi kode etik jurnalistik dan apakah ada kepentingan publik dalam produk infotainment? Karena sebetulnya esensi jurnalisme itu kita bisa ketemu ribuan definisi. Tetapi jurnalisme itu adalah menyampaikan informasi kepada publik sedemikian, sehingga publik bisa mengambil keputusan yang bermanfaat baik bagi kehidupannya. Jadi jurnalisme atau jurnalistik haruslah menyangkut hal yang menjadi kepentingan publik dan membuat publik menjadi lebih baik. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Jadi jawabannya atas infotainment itu memenuhi atau tidak? DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Kalau infotainment itu content-nya adalah memenuhi kepentingan publik dan memenuhi kode etik jurnalistik, maka dia adalah produk jurnalistik. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Maaf, yang sekarang ini memenuhi atau tidak tayangan itu? Sebab kelihatannya agak berbeda antara Mbak Uni dengan… DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Tidak. Pak Enggar, sebetulnya ada 19 judul infotainment yang tayang di 10 stasiun TV swasta dalam sepekan dengan total durasi sekitar 80 jam. Kita tidak bisa mengatakan bahwa semuanya itu melanggar kode etik, karena tidak semuanya juga dianggap oleh masyarakat melanggar kode etik. Jadi sekali lagi kembali Dewan Pers akan melihatnya kasus per kasus apakah produk yang diadukan itu melanggar kode etik atau tidak. Melanggar misalnya apa yang disebut dalam Pasal 4 kode etik bahwa wartawan dilarang untuk memberitakan hal yang bersifat cabul misalnya atau Pasal 2 bahwa wartawan dalam melaksanakan kegiatannya harus bersikap profesional, antara lain tidak melanggar hak privasi. Terima kasih. INTERUPSI F-PAN (PROF. DR. ISMET AHMAD): Menurut KPI, selama ini yang mana saja, barangkali bisa tunjuk hidung, yang mana yang melanggar dan yang mana yang tidak. Terima kasih. INTERUPSI F… (………): Pimpinan, boleh menambahkan sedikit? KETUA RAPAT: Boleh, Pak. Saya mohon sebentar, jadi kita urut dahulu penjelasan dari Dewan Pers. Selesai itu… INTERUPSI F-PARTAI GERINDRA (RACHEL MARIAM SAYIDINA): Interupsi, Pimpinan. Sedikit saya ingin mendalami, karena masih agak berkaitan. Begini, tadi kan disebutkan wartawan yang menjadi tanggung jawab Dewan Pers itu adalah pekerja jurnalistik yang berkesinambungan, tapi juga harus memenuhi kode etik. Artinya kalau dia tidak memenuhi kode etik, Dewan Pers lepas tangan atau apa yang bisa dilakukan Dewan Pers terhadap hal-hal yang melanggar kode etik ini? KETUA RAPAT: Cukup barangkali? Saya persilakan atau dari Pak Agus?
  • 8. 8 DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Meskipun demikian, sebenarnya kami menghargai sikap dan otoritas KPI dalam memberikan keputusan karena ini, karena saya kira KPI mempunyai otoritas untuk memutuskan status infotainment itu seperti apa. KPI mempunyai data yang bisa mendukung itu. KPI juga menghadapi keluhan-keluhan aspirasi dari masyarakat. Jadi saya kira kita menghargai otoritas KPI, meskipun mungkin sikap Dewan Pers tidak sama persis dengan KPI, karena kami memang berada di ranah yang berbeda, rezimnya juga berbeda. Tapi dari sisi semangat, dari sisi kepedulian, saya kira kami sama. Jadi saya kira kita juga harus menghargai keputusan apapun ataupun rekomendasi dari KPI. Untuk pertanyaan dari Ibu Rachel, jadi prinsipnya kalau misalnya ada orang atau sekelompok orang yang katakanlah menjalankan proses yang katakanlah bisa dilihat sebagai proses jurnalis tetapi dia tidak menghargai kode etik, misalnya dia memaksa narasumber untuk berbicara dan dalam prosesnya kemudian terjadi insiden katakanlah membenturkan kamera ke tubuh narasumbernya, kita mengatakan itu jelas sekali dia tidak bisa diidentifikasi sebagai wartawan, karena wartawan Indonesia harus taat kepada kode etik. Sebenarnya lebih tepatnya dia belum bisa diidentifikasi sebagai wartawan. Ada proses upgrading yang akan dijalankan oleh Dewan Pers bersama dengan AJI, PWI, IJTI dan seterusnya. Dari proses pendidikan ini, itu sebenarnya yang formula lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan bukan hanya kapasitas, tapi juga penghargaan terhadap kode etik jurnalistik. Jadi siapapun yang tidak bisa menaati kode etik jurnalistik jelas dia bukan seorang wartawan dan tidak boleh mengaku dirinya sebagai wartawan. F-PAN (Ir. H. AZWAR ABUBAKAR, M.M.): Tidak ada ujungnya ini, susah. Saya sudah tidak mengerti makin tidak mengerti. Jadi begini Pak, definisi yang Ibu sampaikan benar, seseorang atau sekelompok orang yang secara teratur memproses berita dan sebagainya. Kemudian dia tidak melanggar kode etik. Berarti ada yang melanggar kode etik. Kalau yang melanggar kode etik seperti apa dibuat, kalau yang tidak melanggar seperti apa dilakukan, itu yang kita mau tahu. Itu yang pertama. Kemudian sikap terhadap infotainment, menurut Dewan Pers apakah masuk domain atau tidak? Itu dahulu yang tegas, itu bukan daerah kami. Soal menghargai itu soal lain. Jadi kita perlu tegas dahulu ini daerah siapa. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Pimpinan… KETUA RAPAT: Sebentar, Pak. Kita barangkali akan berbicara konsentrasi kita pada permintaan penjelasan yang lebih rinci bagaimana sikap dari KPI. Apakah perlu diulangi lagi atau langsung pada pertanyaan? INTERUPSI F-PG (TANTOWI YAHYA): Interupsi, Pimpinan. Saya rasa penjelasan dari KPI tadi sudah terang-benderang. Jadi mereka secara berani mengatakan dan ini domain mereka. Jadi Rakornas itu melahirkan keputusan apapun itu adalah hak dan wewenang mereka. Jadi dalam Rakornas tersebut tadi sudah dijelaskan secara jelas bahwa berdasarkan masukan-masukan yang jumlahnya ratusan itu dan pengamatan-pengamatan mereka dari berbagai perspektif, mereka memutuskan, walaupun belum masuk P3SPS, bahwa infotainment dan reality show itu tidak bisa diklasifikasikan sebagai program berita. Kalau nanti dalam P3SPS yang sudah direvisi mereka memasukkannya sebagai program non berita, itu hak mereka. Itu wewenang yang diberikan kepada mereka, tidak ada pihak yang berani atau boleh mengkritisi dan mempermasalahkan hal tersebut. Dampak dari kedua program tersebut masuk dalam P3SPS, dampak konsekuensi logisnya bahwa dia akan melalui proses censorship, itu juga adalah suatu mekanisme yang sekarang ini berjalan di televisi bahwa kalau dia bukan berita, maka dia wajib melalui proses censorship. Saya rasa itu sudah sangat jelas, Pak Ketua. Permasalahan sekarang ini adalah masih berada pada wilayah Dewan Pers. Tadi kalau kita lihat apapun penjelasan khususnya dari Mas Agus masuk akal, karena acuannya adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 yang disebut dengan berita itu apa, yang disebut dengan bukan berita itu adalah apa. Permasalahan sekarang ini adalah generalisasi. Katakanlah infotainment X, selama ini bagus, tapi dalam episode-episode tertentu dia melanggar kode etik jurnalistik, dia melanggar beberapa pasal yang ada dalam Undang-Undang Pers, maka lantas dia diberikan sanksi. Permasalahan yang muncul sekarang apakah kita menghukum merk tersebut? Apakah episodenya yang kita larang? Ini yang perlu kerjasama antara Dewan Pers dan KPI. Katakanlah programnya namanya ABC, selama ini bagus, tapi karena 1-2
  • 9. 9 episode dia melanggar kode etik, melanggar pasal-pasal di Undang-Undang tentang Pers itu, bagaimana sikap kita? Apakah dihukum selamanya, ini kan kalau kita bicara mekanisme hukuman, atau bagaimana? Di sini menurut saya masih abu-abu dalam konteks kerjasama antara Dewan Pers dan KPI. Karena walaupun suka atau tidak suka, dua lembaga ini beririsan tugas dan wewenang mereka. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, terima kasih. Jadi kalau sudah dianggap clear atau masih ada sesuatu, barangkali siapa? Pak Ramadhan? Kemudian nanti disusul oleh Pak Enggar. Saya persilakan, Pak Ramadhan. F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Terima kasih, Pimpinan. Teman-teman dari KPI dan Dewan Pers, Tadi sudah dijelaskan dari Dewan Pers, tetapi tidak memberikan kejelasan tertentu, malah menciptakan kebingungan yang lebih dalam. Saya kira bukan hanya kita Anggota Dewan yang bingung, tetapi juga publik bahkan lebih bingung lagi di sini. Jadi saya menginginkan ada ketegasan sikap dari Dewan Pers tentang jenis kelamin dari infotainment itu sendiri. Kalau misalnya mengambang, maka menjadi kabur lagi, kita bingung. Kalau penjelasan dengan Uni tadi kita bisa mengerti sebagai kasuistik, tetapi itu tidak akan menjelaskan tentang persoalan-persoalan yang ada. Karena kalau kita perhatikan aduan-aduan yang masuk kepada Dewan Pers juga banyak yang menyangkut yang sesungguhnya adalah infotainment. Kemudian dari KPI juga saya kira harus lebih tegas lagi sikapnya di sini. Karena kalau saya perhatikan kita suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, PWI yang menyatakan sikap yang sangat jelas terhadap infotainment bahwa itu adalah diakui oleh mereka. Tapi kalau Dewan Pers dan KPI itu belum ada kejelasan. Makanya tadi banyak sekali interupsi dari kawan-kawan di sebelah sana, di sebelah sini, itu juga karena ada kegalauan maksudnya bagaimana ini. Itu mohon untuk lebih ditegaskan lagi. Kalau memang belum ada sebuah sikap tegas yang bisa diambil pada saat ini mungkin silakan untuk dibicarakan lagi secara internal dan kita bertemu lagi. Kita bukan harus memaksakan hari ini kita harus punya satu sikap, tetapi yang kita inginkan adalah kejelasan. Jangan sampai nanti misalnya Uni Lubis nanti salah di sini, takut mengoreksinya, akhirnya masalah yang seperti itu misalnya, dengan Bung Agus Sudibyo juga. Jadi tidak perlu kita paksakan. Tetapi yang kita inginkan itu adalah kejelasan tentang jenis kelamin dari infotainment itu tadi. Demikian, Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Ramadhan. Kemudian kita sesuai dengan urutan giliran. Saya persilakan Pak Azwar Abubakar. F-PAN (Ir. H. AZWAR ABUBAKAR, M.M.): Tadi itu kan koreksi. Sekarang hak untuk bertanya, tapi belum saya gunakan. Nomor 3 saja nanti. KETUA RAPAT: Baik, kalau begitu lanjut Ibu Adjeng. F-PD (DR. HJ. R. ADJENG RATNA SUMINAR, S.H.,M.M.): Sebetulnya tadi sudah banyak terwakili oleh teman-teman. Tapi satu saja. Saya sudah mendengar dimana KPI pernah menegur atau memberikan peringatan ke salah satu produksi TV. Tapi saya ingin mengingatkan lagi jangan hanya satu. Katakanlah yang kemarin mungkin dikatakan salah satu TV yaitu televisi swasta atau TV tentang penayangan 05.30 kalau tidak salah atau Jam 05.00, Mereka sudah mengakui dan mereka sudah meminta maaf, mereka juga sudah menegur produsernya dan dipindahkan. Itu menurut saya Metro TV sudah sangat bagus mengikuti. Tapi yang ingin saya tanyakan kenapa hanya ke situ saja? Padahal ada beberapa TV swasta yang melakukan seperti itu, walaupun kasusnya lain. Maksud saya itu jangan pilih-pilih begitu, jangan pilih-pilih hanya Metro saja yang ditegur. Kenapa yang lain tidak ditegur? Padahal kasusnya juga hampir sama. Jadi tolong jangan pilih-pilih kalau untuk menegur. Itu saja, karena yang lain sudah terwakili. KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu Adjeng. Ibu Mien sekarang. F-PARTAI HANURA (DRA. HJ. SOEMINTARSIH MUNTORO, M.Si.): Terima kasih, Pimpinan.
  • 10. 10 Ibu/Bapak Anggota Komisi I yang saya hormati, Ibu/Bapak dari KPI dan Dewan Pers yang saya muliakan, Pertama barangkali saya ingin re-evaluasi bahwa yang penting itu adanya satu persepsi menuju Indonesia yang beretika dan bermoral itu seperti apa? jadi content siaran yang diharapkan dapat mencerdaskan dan menjaga martabat bangsa itupun harus sudah memasuki sebuah struktur pemikiran yang sama. Ketika kita berbicara tentang produk informasi, kemudian ada sebuah kategori itu adalah infotainment, maka dunia usaha berbondong-bondong mendekati dari opportunity yang ada itu, sedangkan konsumennya adalah masyarakat bangsa yang ingin dicerdaskan dan ingin dibangun etika moral masyarakat itu sendiri. Tadi sudah disampaikan oleh KPI dan dengan 10 penjabaran turunan daripada Undang-Undang Dasar 1945 yang ingin mewujudkan masyarakat adil dan makmur dengan segala etika bangsa itu, itu barangkali menjadikan pilar penegakan segala moral dan etika itu sendiri. Ini saya pikir sudah jelas. KPI sudah berusaha dan sesuai tugas pokok dan fungsinya menjalankan tugas itu, kecuali didalam proses pembangunan bangsa dan negara ini barangkali ada hal-hal yang memang agak menyimpang dan seterusnya kita kawal bersama. Kemudian memasuki Dewan Per situ sendiri tadi sudah disampaikan bahwa di dalamnya tugas pokok dan fungsi itu adalah mengandung prinsip perimbangan, tidak menghakimi, tidak bias gender, ramah keluarga dan seterusnya. Semuanya itu indah sekali, semuanya beretika. Kemudian tadi disampaikan ada abu-abu ketika disampaikan bahwa wartawan itu kadang-kadang tidak paham akan menjalankan tugas dan fungsinya dan ini bagaimana dalam team work teritegrasi Dewan Pers itu sendiri untuk mengawal ketika kita memang ingin berketahanan etika dan moral bangsa itu. Jadi barangkali kalau kita terpanggil membangun konsumen dan produsen apapun bentuknya itu, infotainment yang isinya itu mungkin segala macam yang bentuknya memerosotkan kecerdasan dan moral bangsa, itu kita harus bersama-sama menghakimi dan tidak ada persepsi yang berbeda atau konflik diantara pandangan-pandangan ini. Jadi maksud saya lagi-lagi barangkali semangat kita ini harus semangatnya satu, ketahanan etika moral itu. Jadi kita ini harus beretika berketahanan itu, menjaga keuletan dan ketangguhan bangsa itu dari segala ancaman, hambatan, tantangan, gangguan, baik dari dalam maupun dari luar tadi. Globalisasi itu adalah sebuah tantangan kemajuan elektronika dan teknologi, tapi tidak menutupi bahwa kita ini menjaga pilar- pilar itu dengan seluruh aturan dan kita sendiri bagaimana melaksanakan kepribadian kita atau langkah- langkah ke arah itu. Terima kasih, Pak. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. KETUA RAPAT: Terima kasih. Pak Azwar meminta haknya. Jadi saya persilakan, Pak. F-PAN (Ir. H. AZWAR ABUBAKAR, M.M.): Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh. Pimpinan dan Anggota Komisi I yang saya hormati, Rekan-rekan Ketua dan Anggota KPI, Pimpinan dan Anggota Dewan Pers yang berbahagia, Ini satu pertemuan yang sangat penting. Setelah mendengar penjelasan dari Pak Tantowi, saya agaknya menjadi clear. Jadi kembali ke laptop. Kalau kita lihat infotainment, walaupun kadang-kadang kita suka, kita menonton, nurani kita mengatakan banyak jeleknya daripada manfaatnya, banyak ruginya daripada manfaatnya. Sampai keponakan saya bertanya,”Om, itu apa erotika? Erotis itu apa?”, kira-kira begitu pertanyaannya, sudah sangat mengganggu. Belum lagi fatwa ulama bahwa itu ghibah. Jadi kalau kita membiasakan anak-anak kita mendengarkan resmi TV menceritakan kejelekan orang lain, itu kan membuat dia biasa juga menceritakan kejelekan orang lain, sehingga tidak tahu lagi mana yang privat dan mana yang non privat. jadi secara filosofis yang seperti itu harus dihentikan, dikembalikan kepada yang normal. Boleh ada berita untuk menjadi contoh untuk kebaikan, saya kira perlu, tapi jangan seperti sekarang. Intinya kejelekan itu harus dihentikan, itu prinsip. Untuk itulah KPI dibentuk. Persoalan sekarang kan ada undang-undang, ada peraturan, ada perbedaan pendapat. Saya punya dua alternatif: 1. Masukkan dalam kelompok non faktual, sehingga bisa disensor, tidak apa-apa; 2. Biarkan saja, kalau salah langsung berhentikan. Ada dua pilihan. Filosofinya itu berhenti. Jadi dua pilihan: non faktual, sensor dan yang satu lagi faktual, kalau salah buat berita ditutup. Yang mana saja boleh, yang penting hasilnya dihentikan. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Jelas, tegas.
  • 11. 11 Pak Tantowi masih mau bertanya atau tidak? Atau sebelah sini? Kalau tidak, saya persilakan dahulu sesuai urutan. Pak Enggar dahulu, Pak Roy, kemudian ada korban infotainment barangkali, Gus Choi. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Tausiyah dari Gus Choi dahulu. F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Baik, terakhir saja nanti. Kesimpulan terakhir nanti. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Ibu/Bapak Anggota Komisi I yang kami hormati, KPI dan Dewan Pers yang kami hormati, Saya mengenal Mbak Uni Lubis ini dari zaman dahulu, tetapi sedikit terjadi perubahan. Kalau dahulu ini begitu keras, apalagi yang mengganggu moral, rumah tangga, langsung bersikap. Tetapi sekarang mungkin karena sudah pada posisi tertentu, sehingga sangat hati-hati dalam menjawab. Terjadi perubahan, sehingga saya baru kirim SMS ke Mas Iwan bahwa Mbak Uni ini sekarang terjadi perubahan yang luar biasa, itu yang saya kagumi, sehingga mungkin agak berbeda dengan Mas Agus yang masih muda-muda. Mudah-mudahan anda masih tetap seperti itu. Hanya kesimpulannya barangkali anda tidak bisa melawan Mbak Uni, karena lebih senior. Tidak bisa menjawab apakah infotainment ini masuk karya jurnalistik atau bukan atau yang masuk yang mana dan yang bukan yang mana. Ini rinciannya bagus sekali, menjurus, tetapi finishing-nya tidak berani anda lakukan, karena langsung mendapat teguran dari Mbak Uni yang sekarang menjadi sangat hati-hati dan masuk kelompok birokrat. Sudah pas pada pemerintahan. Yang kedua, izinkan saya menyatakan kebanggaan kepada Komisi I memilih anda, KPI ini, bahwa kami akhirnya menyatakan kami tidak salah pilih anda. Tapi tolong, kita ini bukan yang pertama dan kami akan ikuti terus. Sebab kalau anda konsisten seperti ini, kami bangga dengan anda. Untuk itu kami endorse memberikan dukungan sepenuhnya atas keputusan yang berdasarkan nurani dan kepentingan masyarakat dan bangsa ini. Kadangkala kita harus melawan arus. Tetapi itulah yang terbaik yang anda lakukan. Kalau memang berhati-hati, Dewan Pers kita pakai kalimat ini saja, kesimpulannya adalah menghargai dan itu wilayahnya KPI, Dewan Pers menyetujui, sudah selesai, Ketua. Tutup saja rapat ini kesimpulan itu. Terima kasih, Ketua. KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Enggar. Sebenarnya saya jauh lebih mengenal Ibu Uni, cuma mungkin berbeda tempat. Baik, pertanyaan berikutnya saya persilakan Pak Roy. F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Terima kasih, Pimpinan. Saya kira hasil kesimpulan rapat sudah hampir kena. Jadi sudah jelas barangnya. Cuma saya ingin memberikan tambahan saja dan mungkin juga bagi teman-teman Dewan Pers dan juga KPI supaya lebih tegas dan lebih berani saja. Jadi kita kembalikan saja kepada definisinya. Infotainment itu kan information on entertainment. Jadi ada entertainment. Entertainment is not information, hanya di dalam entertainment itu ada information, sehingga kita kembalikan saja barangnya dahulu. Kalau itu sifatnya murni, clear information, itu ranahnya Dewan Pers. Kalau itu ranah entertainment, itu berarti program non berita, itu ranahnya KPI. Saya ingin mengusulkan, mungkin jalan keluarnya mudah. Saya usul kepada teman-teman Dewan Pers, meskipun ini sedikit agak kembali ke masa lalu, tapi demi ketertiban. Sekarang yang diakui sebagai wartawan atau katakanlah wartawan yang menyiarkan program-program hard news misalnya, itu adalah anggota AJI, anggota PWI dan juga anggota IJTI, tiga itu. Andaikata produk itu diproduksi oleh non anggota tiga badan itu berarti itu bukan produk berita hard news yang menjadi wewenangnya Dewan Pers. Sudah, itu serahkan kepada KPI dan kita harus hormati keputusan dari KPI. Dnegan demikian itu semakin clear, semakin berani Dewan Pers menegaskan sikap kami adalah kepada anggota kami saja yang masuk organisasi ini. yang non organisasi itu adalah wewenangnya KPI dan kita berikan penghargaan sekali lagi kepada KPI atas keberaniannya memberikan sikap. Jadi sekali lagi saya ingin pastikan bahwa sikap sebagian besar saya kira, semua dari kami, itu adalah supaya jelas, tegas, Dewan Pers juga berani ini ranah kami, KPI juga berani ini ranah kami, yang namanya infotainment (information on entertainment) itu adalah bukan program berita, sehingga masuk menjadi bagian kewenangan KPI. Saya kira singkat saja itu, Pimpinan. Terima kasih.
  • 12. 12 KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Roy. Saya persilakan Ibu Rachel. F-PARTAI GERINDRA (RACHEL MARIAM SAYIDINA): Terima kasih, Pimpinan. Saya ingin memberi dukungan atas pernyataan Pak Roy tadi. Kedua, saya mau memberi apresiasi juga kepada KPI yang sudah berani memberikan sanksi administratif terhadap program tayangan Metro TV Pukul 05.00. Itu membuktikan bahwa KPI kita saat ini sudah melakukan tugas dan fungsinya secara baik. Mungkin pertanyaan saya lebih ke… Selain Metro TV itu ka nada tabloid-tabloid juga sebetulnya menampilkan gambar-gambar cuplikan-cuplikan juga, misalnya banyak sekali media cetak yang melanggar. Yang saya ingin tanyakan ini bagaimana dengan media cetak ini? Tindakan apa selanjutnya dari KPI? Kemudian kepada Dewan Pers, saya ingin bertanya tentang kode etik pers dalam mewawancarai narasumber, seperti kejadian yang kemarin, sehingga sering terjadi bentrokan antara narasumber dengan Dewan Pers. Sebetulnya mekanisme permintaan wawancara itu seperti apa? Kode etiknya itu seperti apa? apakah ada mekanisme tahapan-tahapan yang harus dilalui pers dalam meminta izin narasumber berwawancara? Jadi supaya jelas kenapa bentrokan itu bisa terjadi. Terima kasih. F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Terima kasih, Ketua. Pimpinan Komisi I dan Teman-teman Dewan Pers, KPI, Pertama, pendapat saya, sikap saya atau pandangan saya, concern saya, komitmen saya sama saya kira dengan teman-teman sebelumnya. Yang kedua, saya yakin KPI dan Dewan Pers sudah tahu domainnya masing-masing, tidak akan ada overlap, bahkan akan saling menunjang, meskipun di Dewan Pers ini ada Mbak Uni yang tadi oleh Pak Enggar dinilai sudah berubah. Tidak tahu perubahannya itu dari idealis menjadi pragmatis atau dari pragmatis menjadi idealis atau menggabungkan idealisme dengan pragmatisme atau bagaimana, saya hanya mengenal dari jauh tentang Mbak Uni ini. Yang ketiga, saya ingin mengatakan melalui forum ini kepada KPI, saya kira inilah momentumnya KPI untuk tampil apa adanya. Apa adanya maksudnya tampil sesuai dengan porsi dan proporsinya, dimana KPI diberi tempat, diberi domain, diberi wilayah untuk mengurus content dunia penyiaran. Dua periode sebelumnya menurut saya tidak tampil. Hanya ada, tetapi seperti tidak adanya. Dalam bahasa agamanya disebut wujuduka adamihi. Ini semi tausiyah. Saya ingin yang sekarang ini ada dan seperti adanya. Moment terkait dengan infotainment, orang sedang memperbincangkan ini, ini saya kira moment spesifik tetapi punya implikasi yang luar biasa. Menurut saya ketika sifat jelas, meskipun nanti ada dipilah-pilah, tetapi secara general rakyat pada umumnya protes. Rakyat pada umumnya senang menonton, tetapi sesungguhnya hatinya menolak dengan berbagai macam implikasi, pemahaman dan segala macam. Menurut saya ini alat atau event atau momentum untuk tampil. Saya tidak tahu caranya bagaimana. Kita diskusikan, melarang atau tadi itu menyusur atau bagaimana. Ini saya kira harus ada formula yang tepat yang tidak mengganggu juga kebebasan. Tetapi juga harus ingat ini penggunaan gelombang frekuensi, ranah publik yang terbatas. Di sini harus selalu ingat. Agama menurut keputusan Nahdlatul Ulama dinilai seluruhnya, tentu data-datanya dahulu mungkin dari KPI, seluruhnya itu mengandung unsur ghibah, unsur fitnah, unsur logho, unsur memubazirkan sesuatu dan macam-macam, ada beberapa alasan dalam perspektif agama, yang kemudian ditambah lagi dengan perspektif kita penggunaan ranah publik yang terbatas ini untuk digunakan ngaco. Ini lalu kemudian hukumnya dijatuhkan haram infotainment. Soal rokok memang beda dengan Muhammadiyah. Rokok bagi NU mubah saja, artinya boleh saja. Kalau Muhammadiyah haram. Tetapi meskipun Muhammadiyah tidak berfatwa bahwa infotainment itu haram dalam konteks agama, tapi hampir semua itu menyetujui ini haram. Saya kira ini menjadi landasan modal. Jadi anda bergerak di sana bukan hanya menggunakan aturan-aturan dengan proporsi yang diberikan kepada anda itu bergerak di bidang content, terutama yang terkait dengan ini. Tetapi juga ada argumen keagamaan, meskipun tidak masuk secara letterlijk di situ, ini dengan argumen ini masyarakat Indonesia mayoritas muslim. Terlepas dari muslimnya taat atau tidak, itu tidak ada urusan, tapi muslim, religious. Di situ sebetulnya landasan yang digunakan memang landasan hukum-hukum Islam. Tetapi secara nilai yang diambil oleh NU nilai yang bersifat universal, sehingga agama lainpun menyetujui dan cocok dengan ajarannya, sehingga argumen yang digunakan sangat religious. Norma ketuhanan, norma religiusitas yang dianut oleh seluruh orang penganut agama, baik agama samawi maupun agama ardhi, agama yang dari langit maupun agama yang diyakini oleh orang yang hidup di bumi ini. Oleh karena itu landasannya menurut saya luar biasa. Oleh karena itu, forum ini harus jelas arahnya. Ardhi itu bumi, samawi itu langit. Ini dari aspek sikap kita, di forum ini harus melahirkan yang lebih jelas. Kalau menurut saya sekedar sensor
  • 13. 13 itu ringan. Itu nanti lama lagi. Itu ada satu proses yang harus ditempuh lagi. Tapi KPI punya sikap jelas bersama Komisi I dan kita punya otoritas untuk membuat tafsir untuk meyakini keputusan politik kita bahwa infotainment yang selama ini mengandung unsur-unsur dominan menyesatkan, menggunakan ranah publik yang salah, mengarahkan bangsa ini secara salah dan segala macam melalui itu, anak bangsa diberi racun tiap saat, ini harus kita yakini itu salah, sehingga kita mengambil keputusan ini ditutup. Persoalan ada proses berikutnya nanti kita urus. Tapi keputusan itu harus ada dengan keyakinan ini yang paling tepat. Kita menjual barang bagus itu saya kira lebih bagus daripada menjual barang yang… Karena itu nanti masuk ke kepala kita, otak kita, hati kita. Apa tidak ada program lain yang lebih bagus yang sesuai dengan norma? Saya kira bisa untuk menjual sesuatu, saya kira bisa. Mbak Uni, saya kira televisinya tidak termasuk itu yang dipimpin, tidak membuat program-program yang membuat racun generasi baru, racun bangsa ini, termasuk infotainment. Itu saya khutbah saya. KETUA RAPAT: Itulah pandangan dari seorang nahdliyin dan betapa indahnya pluralisme. Saya persilakan untuk melengkapi pluralisme kita kepada Ibu Paula Sinjal. F-PD (PAULA SINJAL): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Saya mau bertanya, tapi sudah terwakili rupanya oleh Gus Choi. Torang ternyata sama ya Gus Choi. Teman-teman dari KPI dan Dewan Pers, Saya tadi mendapat kliping koran mengenai tayangan infotainment terlalu berlebihan. Saya pikir itu sebenarnya jawabannya. Jadi kita tidak perlu ragu-ragu lagi dan itu adalah ketegasan, karena benar-benar infotainment ini sudah melanggar, sudah sangat berlebihan. Contoh, saya pagi-pagi itu sebelum bangun anak saya sudah membangunkan,”Ma, tadi saya lihat ada Bapak Roy Suryo di TV.” Waduh, kenapa ya? Saya jadi berpikir anak sekecil ini, 5 tahun, sudah bicara mengenai teman saya. Itu berarti dia mengikuti berita-berita trend masa kini. Saya jadi berpikir bahwa kasihan juga nanti anak-anakl seumur anak saya itu, 5 tahun, seumur dia itu sudah mencerna infotainment-infotainment yang terlalu berlebihan dan ini tidak baik dan disiarkan pula pada pagi hari. Jadi sesudah berita langsung itu. Jadi mereka semua duduk di situ dan melihat di situ. Akhirnya saya tahu teman saya ini, teman saya ini, teman saya ini, dan mereka hafal sekali. Itu memang tidak mendidik dan perlu ada ketegasan. Setuju sekali sebenarnya dan saya bangga dengan KPI yang sudah berani mengambil sikap sanksi administratif. Sangat bangga, salut untuk teman-teman di KPI. Mungkin hanya itu, Pak Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu. Masih ada satu pertanyaan barangkali dari Pak Ruslan. Saya persilakan. F-PG (DRS. H. A. MUCHAMAD RUSLAN): Saudara Pimpinan yang saya hormati, Rekan-rekan Anggota Komisi I DPR yang saya hormati, Rekan-rekan di Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia yang saya hormati, Pertama-tama saya ingin menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada rekan-rekan di Dewan Pers maupun di KPI. Saya memandang sikap-sikap yang disampaikan oleh Dewan Pers maupun KPI itu sudah jelas, sudah tegas. Mungkin bahasanya saja yang berbeda. Karena ketika seorang wartawan tidak melaksanakan 5W+1H saja berarti dia bukanlah seorang wartawan, artinya tidak melaksanakan kode etik jurnalistik. Beberapa pasal dari kode etik jurnalistik disampaikan tidak dengan jujur, itupun berarti bukanlah sebuah berita. Jadi menurut pandangan saya sikap Dewan Pers sudah cukup jelas. Untuk itulah saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya. Saya agak beralih sedikit ingin bertanya tentang di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008, itu ada hal yang memang harus dihindari: persoalan bisnis, persoalan privasi dan persoalan keamanan negara. Pertanyaan saya, akhir-akhir ini sebuah siaran televisi selalu menyampaikan di dalam running text- nya perbedaan pandangannya dengan televisi yang lain. Dua pemilik televisi berbeda pandangan, tetapi yang satu menyampaikan pandangan-pandangannya itu setiap hari melalui running text kepada publik. Mudah-mudahan televisi yang lain yang bertentangan dengan televisi yang bersangkutan tidak menyampaikan pandangan-pandangannya. Yang saya agak khawatir kalau ada dua siaran televisi menyampaikan pendapat-pendapat yang berlawanan dalam satu kesempatan yang sama mau dikemanakan fungsi pers sebagai fungsi pendidik mengangkat persoalan bisnis antar dua perusahaan ke
  • 14. 14 tengah-tengah publik. Pertanyaan saya tentu saja mohon ini diantisipasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia maupun mungkin suatu ketika akan masuk ke Dewan Pers. Sekian dan terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Pak Ruslan. INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi, Pimpinan. Mungkin pertanyaan tadi bisa ditegaskan, karena dalam penilaian saya juga ada dua perbedaan. Kalau tadi Bapak menyebutkan TV mana yang beradu pendapat… Karena terus terang saja misalnya antara pemiliknya Metro dengan pemiliknya TVOne, ANTV, atau antara kepemilikan RCTI, TPI, Global. Itu biar jelas saja yang mana. F-PG (DRS. H. A. MUCHAMAD RUSLAN): Yang saya lihat adalah running text. Apakah pertentangan atau perbedaan pendapat antara Metro dengan TVOne melalui running text atau tidak saya belum melihat itu. F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Jadi menurut saya, saya ingin membantu saja, ada dua menurut saya yang dipermasalahkan. Jadi dua itu, jadi antara persoalan Metro dan grup TVOne, ANTV, dan antara kepemilikan MNC dengan pemilik yang lama. Saya kira itu bisa menjadi catatan yang menarik. Terima kasih, Pimpinan. INTERUPSI F-PG (TANTOWI YAHYA): Interupsi, Ketua. Mungkin begini Pak Dadang dan rekan-rekan komisioner, di sini kita ingin mendapatkan kejelasan sikap dari KPI terhadap penggunaan ranah publik yang dipergunakan oleh dua pemilik media untuk saling beradu argumentasi dalam rangka menciptakan opini publik yang akan berpihak kepada mereka. Jadi mohon tanggapannya itu bagaimana. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Dipersilakan Ibu. F-PDIP (EVITA NURSANTY): Terima kasih, Bapak Ketua. Mungkin tadi kalau mengenai infotainment teman-teman semua sudah banyak yang bicara. Tapi kebetulan ada Dewan Pers, ada KPI di sini, saya juga sangat prihatin dengan berita-berita SERGAP, BUSER itu. Itu ditayangkan pagi hari saat di Malaysia itu mereka sedang breakfast. Jadi dari Malaysia, Singapura itu seakan-akan negara kita ini tidak aman dan mengerikan kesannya kalau dibaca oleh pemirsa di luar negeri. Saya sendiri sebagai orang Indonesia ngeri melihat berita itu. Mungkin cara penayangannya lebih dipercantik sedikit kalau mau menyajikan suatu berita, terutama berita itu di pagi hari. Kemudian yang kedua, menambahkan sedikit mengenai infotainment. Sebenarnya kita mendukung apa yang dilakukan oleh KPI pada saat ini, karena dampak daripada berita-berita di infotainment itu sangat berpengaruh kepada hidup dan penghidupan dari bangsa kita. National character building kita itu sangat ditentukan salah satunya juga dari tayangan yang ditonton oleh anak-anak kita. Saya tidak tahu, kalau di luar negeri kalau tidak salah tidak ada yang namanya infotainment-infotainment ini. Tapi sedikit, tidak ada yang khusus seperti kita infotainment. Karena kadang-kadang terus terang saja berita di infotainment, maaf sedikit memakan…, kalau berita perselingkuhan antara seorang petinggi atau apa dengan artis itu langsung di infotainment. Dahulu Yahya Zaini dengan Eva segala macam itu, sebenarnya kan berita itu tidak konsumsi publik. Kemudian dengan penyanyi dangdut Kristina, berita yang diungkap itu bukan berita perselingkuhan awalnya, tapi itu ada berita hukum yang ada kaitan dengan kasus hukum. Tapi teman-teman infotainment ini menyebarluaskannya ke aspek perselingkuhannya, sehingga bayangkan saja istrinya melihat, anaknya melihat. Bayangkan kalau kita punya anak dan terjadi pada diri kita, bagaimana nasib anak-anak kita di sekolah dengan teman-temannya dipertontonkan bapaknya seperti itu. Jadi mungkin teman-teman dari Dewan Pers ini juga bisa membantu teman-teman KPI didalam mencari solusi ke depan ini seperti apa seharusnya berita-berita yang ada kaitannya dengan infotainment ini disajikan ke masyarakat. Terima kasih.
  • 15. 15 KETUA RAPAT: Terima kasih, Ibu Evita. Barangkali yang lain? Kalau tidak ada dan cukup, saya persilakan kepada Ibu Uni Lubis cs untuk menjawab beberapa pertanyaan dan lainnya. Terima kasih. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Yang pertama, terima kasih atas nostalgianya dari Pak Enggar, dari Gus Choi. Memang kita punya nostalgia masing-masing dari tempat yang berbeda-beda. Sebenarnya tidak ada yang berubah dari saya, sikap saya pribadi. Tapi memang harus dipisahkan dari sikap sebagai lembaga. Personally saya hampir tidak pernah menonton infotainment dan memang saya merasakan keberatan yang sama. Tetapi sebagai Dewan Pers, maka pegangan kita haruslah undang-undang, aturan yang juga dibuat bersama- sama oleh Bapak-bapak dan pihak eksekutif. Jadi itu saja masalahnya sebetulnya. Itu sebabnya mengapa sejak awal Dewan Pers sekali lagi memang selalu menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang. Masalah memang muncul ketika kemudian ada produk jurnalistik yang juga ditayangkan di lembaga penyiaran, dalam hal ini adalah televisi. Saya ingin meyakinkan Bapak/Ibu sekalian bahwa sejauh ini dan terutama dalam periode 4 tahun terakhir saya kira kerjasama antara Dewan Pers dengan KPI berjalan dengan sangat baik. KPI secara tanpa ada MoU tertulis itu menyerahkan dan berkoordinasi dengan Dewan Pers untuk memberikan sanksi dan memberikan eksaminasi atas produk-produk jurnalistik yang dianggap menyalahi P3SPS dan P3SPS itu semangatnya sebetulnya hampir seratus persen sama dengan kode etik jurnalistik. Hanya saja di P3SPS itu diatur lebih detail, lebih panjang. Kalau di kode etik jurnalistik itu hanya 11 pasal dan hanya prinsip-prinsipnya saja, tetapi semangatnya sama. Jadi itu sebenarnya yang terjadi dan justru dalam merespon perkembangan apa yang terjadi di masyarakat dan juga apa yang kita bicarakan siang hari ini sebetulnya sudah ada rencana untuk segera. Jadi saya menggarisbawahi segera duduk bersama antara Dewan Pers dengan KPI untuk merumuskan mengenai persoalan infotainment apakah dia masuk ranah program non faktual atau faktual. Karena sebetulnya yang sudah mengkategorikan secara jelas itu adalah P3SPS KPI yang Tahun 2009. Tapi selama ini hampir semuanya, saya katakan hampir semuanya keputusan dari KPI yang terkait dengan produk jurnalistik itu dikoordinasikan dan sebagian besar malah dikerahkan kepada Dewan Pers untuk menjalankan. Jadi saya rasa Gus Choi mungkin ikut merumuskan Undang-Undang Nomor 40. Kita tidak bisa lari dari yang Pasal 1 itu bahwa yang 6M itu memang disebut sebagai wartawan, tinggal nanti kita harus memagarinya dengan wartawan itu adalah menjalankan kode etik jurnalistik. Pak Roy Suryo, Pasal 7 di undang-undang itu juga mengatakan bahwa wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Jadi Dewan Pers tidak bisa serta-merta kemudian hanya melindungi anggota AJI, anggota PWI, anggota IJTI dan kemudian tidak melindungi wartawan yang lainnya. Dewan Pers melindungi semua wartawan profesional dan itu artinya yang menjalankan kode etik jurnalistik. Jadi sebetulnya dari segi peraturan tidak cuma sekedar teriak-teriak. Dewan Pers itu sudah cukup tegas, karena sudah membuat standard perusahaan pers, standard kompetensi wartawan, standard organisasi wartawan dan itu sudah diratifikasi oleh pemilik-pemilik perusahaan pers pada Hari Pers Nasional 9 Februari di Palembang. Ini akan kita tegakkan, artinya kita akan melakukan upaya audit, semacam audit kepada media-media apakah dia misalnya perusahaan-perusahaan yang mengaku sebagai perusahaan pers ini betul-betul memenuhi standard perusahaan pers. Apa itu? Panjang list-nya. Tapi saya ingin sebutkan dua hal: 1. Dia sudah membekali wartawannya dengan pendidikan mengenai kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Pers; 2. Perlindungan. Jadi sebetulnya ini akan kita terapkan dan aturannya sudah ada. Jadi sebetulnya kalau kita bicara infotainment, maka nanti kepada perusahaan-perusahaan infotainment yang memproduksi infotainment, yang mengaku dirinya adalah perusahaan pers, karena kemudian dia menganggap dirinya memproduksi perusahaan pers akan kita cek apakah wartawannya sudah pernah mendapatkan pembekalan pengetahuan kode etik jurnalistik Undang-Undang Nomor 40 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Jadi sebetulnya kita membantu KPI. Saya harus katakan bahwa Dewan Pers untuk soal pelatihan lebih responsif. Kami dalam 1,5 bulan terakhir sedang melakukan dan itu akan berlanjut ke depan. Melihat respon masyarakat yang mengkritisi tayangan televisi, maka Dewan Pers bekerja sama dengan ATVSI sedang dalam proses melatih wartawan-wartawan TV. Produser, koordinator liputan atau wartawan, kemudian koordinator cameraman-cameraman editor, ada 6 (enam) angkatan dan masing-masing 50 orang senior-senior training for trainer, sehingga kami (suara tidak jelas) dalam waktu 3 bulan ada 300 wartawan cukup senior di 10 stasiun TV swasta dan TV lokal yang ada di Jakarta yang mendapatkan pembekalan mengenai kode etik jurnalistik yang tingkat advance, jadi dengan studi kasus, P3SPS KPI, pengajarnya adalah dari KPI, meliput jurnalisme dengan jurnalisme damai untuk liputan konflik, karena banyak keluhan mengenai peliputan rusuh Koja yang dianggap media ikut berperan meningkatkan eskalasi
  • 16. 16 dari kerusuhan dan juga bagaimana menghasilkan karya jurnalistik yang bermanfaat bagi publik. Jadi sebetulnya Dewan Pers sudah melakukan dan sedang dalam proses, dengan catatan bahwa Dewan pers punya banyak keterbatasan. Kami tidak sama dengan KPI yang punya KPID-KPID. Kami hanya di pusat. 9 orang, tapi toh ini kami lakukan. Tentu saja kami ingin melakukannya dengan teman-teman TV yang ada di daerah. Tetapi kita mulai dahulu, karena keluhan paling banyak adalah kepada tayangan yang muncul di 10 stasiun TV swasta nasional. Jadi proses sudah berjalan dan audit akan kami lakukan, apakah perusahaan-perusahaan yang mengaku dan memproduksi produk-produk pers ini memenuhi standard perusahaan pers. Semuanya sudah ada di sini. Jadi secara produk regulasi Dewan Pers sudah siap. Tetapi kembali lagi, kalau ditanyakan apakah misalnya kami harus menjawab produk jurnalistik, apakah infotainment termasuk produk jurnalistik atau tidak, jawabannya tetap sama. Kalau ada Prof. Bagir Manan pun akan sama, karena ini adalah sikap kami selama ini, bahwa selama dia memenuhi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan menjalankan kode etik, maka dia adalah pekerja jurnalistik dan menghasilkan karya jurnalistik. Cuma mengingatkan saja, Gus Choi. Pengurus besar Nahdlatul Ulama dan pengurus pusat PWI Tanggal 29 Desember 2009 itu pernah membuat pernyataan bersama terkait dengan jurnalistik infotainment. Jadi kalau Gus Choi tadi mengatakan bahwa harusnya tidak, di sini poin kedua adalah: “infotainment sebagai bagian dari kemerdekaan pers merupakan karya jurnalistik yang juga perlu mendapat perlindungan hukum”. Jadi PB NU Tanggal 29 Desember 2009 yang ditandatangani oleh Prof. Agil Siradj menyatakan seperti itu. Saya rasa ini adalah salah satu suara dari masyarakat yang harus kami dengar sebagai Dewan Pers. Daripada kemudian mereka tidak mendapatkan, lepas begitu saja. Sejauh ini kami menganggap bahwa selama mereka memang masih mau menjalankan kode etik, maka silakan menjadi bagian dari pers, tapi itu saja syaratnya. Kalau tidak, maka Dewan Pers tidak pernah segan-segan untuk mengenakan sanksi. Saya rasa track record Dewan Pers sejak Tahun 2003 yang independent itu justru tidak segan-segan untuk mengenakan sanksi, bahkan terhadap penerbitan besar sekalipun. Kami tidak ada minder-mindernya untuk mengenakan sanksi. Mungkin untuk tambahan jawaban mengenai bagaimana prosedur kerja wartawan… INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Interupsi. Mohon kejelasan sanksi yang sudah pernah diberikan Dewan Pers kepada media besar nasional seperti apa. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Jenis sanksi yang diberikan oleh Dewan Pers adalah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan kode etik jurnalistik yaitu hak jawab, permohonan maaf, koreksi. Jadi memang semangat dari Dewan Pers adalah dalam menjaga kemerdekaan pers, tidak ada kriminalisasi terhadap pers. Saya rasa hampir semua perusahaan pers besar sudah pernah mendapatkan sanksi. Majalah Tempo misalnya pernah kami minta untuk membuat hak jawab dengan memuat artikel baru 4 halaman, karena protes terhadap 10 halaman di rubrik investigasnya. Kompas pernah, Jakarta Post pernah, Bisnis Indonesia pernah, hampir semuanya. TV juga seperti itu. Tapi sanksi itu memang berdasarkan Undang-Undang Nomor 40. Memang kami tidak pernah memenjarakan atau mengirim wartawan ke penjara. Tetapi kasus mengenai penerbitan porno sekitar Tahun 2006, pada saat itu saya masih menjadi anggota Dewan Pers pertama kali, kami justru pernah mendukung polisi mengusut 3 penerbitan porno. Saya katakan penerbitan karena kami tidak menganggap itu pers, karena dia semata-mata hanya menjual pornografi. Mayoritas isinya cuma porno. 3 penerbitan ini Pemrednya sudah diperiksa oleh polisi dan didukung oleh Dewan Pers. Pertanyaan berikutnya apakah polisi menindaklanjuti sampai ke pengadilan? Itu yang saya katakan ketika kami bicara di depan Humas-humas Polda se-Indonesia bahwa yang tidak konsisten adalah follow up. Ketika ada penerbitan porno justru disokong oleh Dewan Pers untuk diusut oleh polisi. Jadi beda, ini bukan pers. Dari awal Dewan Pers mengatakan ini bukan pers dan sudah pernah kami dorong untuk ke polisi, tapi tidak tahu sampai di mana prosesnya. Silakan, mungkin Pak Ketua boleh meminta… INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi sedikit, Pimpinan. Sebelum berpindah, menjawab yang tadi, jadi terserah apapun organisasinya, whatever organisasinya, saya setuju. Saya sangat berharap agar langkah yang tadi sudah dilakukan akan mendidik lebih kurang 300 teman-teman yang ada di media, itu akan sangat membawa citra baru bagi perkembangan layar Indonesia. Karena jangan sampai kemudian kekhawatiran dari Ibu Uni ini terjadi, ketika kemudian dipisahkan antara wartawan yang memang benar profesional kemudian yang lain menamakan dirinya apakah awak media ataukah misalnya pekerja media yang mereka bukan bagian dari itu. Karena jangan sampai keterpengaruhan dari gaya infotainment ini justru masuk ke media-media yang tadinya sudah sangat baik. Saya berani sebut misalnya salah satu acara di TV, misalnya di Metro ada yang namanya News Maker, itu gayanya adalah gaya infotainment, karena sudah mengulang-ulangi adegan,
  • 17. 17 ada adegan orang jalan diulang-ulang begini. Kemudian TV One juga mau ikut-ikutan, meskipun gayanya lain dengan plus plus apa itu namanya, pembawa acaranya Mas Wendo itu. Jadi saya kira ini menjadi perhatian kita. Jangan sampai gaya yang sudah benar, Metro TV yang sudah bagus secara keseluruhan, TV One yang sudah bagus secara keseluruhan dan 8 televisi lain dengan beritanya masing-masing yang sudah baik, kemudian code and code teracuni gaya infotainment. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih. Kami persilakan, Pak Agus. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Terima kasih, Ketua. Saya menambahkan data Mbak Uni. Jadi kasus yang terakhir yang kita mediasi adalah kasus Tempo dengan Polri terkait dengan dua pemberitaan Edisi Tempo dan kemudian keputusan Dewan Pers yang ditaati oleh Tempo adalah Tempo harus memuat hak jawab dari Polri karena ada judul pada sampul Tempo itu yang memang tidak sesuai dengan fakta yang dibahas Majalah Tempo di halaman tengah itu. Jadi Tempo harus memuat hak jawab karena ada judul yang bertendensi untuk menghakimi Polri dan Tempo juga mau menerima konsekuensi itu dan hari kemarin, Hari Selasa, itu juga kami memediasi Jawa Post, tempatnya Mas Pohan dahulu, yang diadukan oleh Arif Afandi. Ini menarik, ini mantan Pemred Jawa Post mengadukan Jawa Post. Jadi sebagai kandidat Walikota Surabaya, dia merasa dirugikan oleh pemberitaan-pemberitaan Jawa Post dan kita periksa memang merugikan Arif Afandi maupun MK. MK memutuskan Pilkada di Surabaya di 5 kecamatan harus diulang dan seterusnya. Jawa Post kemarin bersedia juga menerima penilaian dan keputusan Dewan Pers bahwa Jawa Post harus memuat hak jawab Arif Afandi setengah halaman di Metropolis, itu salah satu. Beberapa kasus, IndoPost pernah memecat wartawan, kemudian Bisnis Indonesia pernah memberikan sanksi skors kepada wartawan yang menulis berita berdasarkan press release yang tidak jelas sumbernya, sementara beritanya merugikan pihak tertentu. Jadi ini sekedar tambahan. Terkait dengan infotainment ini sebenarnya sekali lagi kami menghargai otoritas KPI dan kami yakin KPI mempunyai data, mempunyai legitimasi untuk membuat rekomendasi terkait dengan status infotainment ini. Terkait dengan irisan seperti yang dikatakan oleh Mas Tantowi tadi bahwa bagaimana dengan jurnalisme televisi, itu ranah KPI sekaligus ranah Dewan Pers. Sebenarnya minggu depan ini, pertama Dewan Pers akan melakukan Rapat Pleno untuk membahas itu dan sehari kemudian sebenarnya kami merencakan untuk bertemu dengan KPI. Jadi KPI ini dengan Dewan Pers sebenarnya sudah lama ingin membuat MoU, tetapi tinggal soal jadwal. Saya kira dengan kasus infotainment itu men-trigger kami untuk menyegerakan saling pemahaman ini MoU antara Dewan Pers dengan KPI terkait dengan irisan tadi, irisan antara fungsi KPI dengan fungsi Dewan Pers, irisan antara rezim penyiaran dengan rezim kemerdekaan pers ini. Jadi kami akan segera melakukan ini dan kami anggap saja hari ini kami mendapatkan vitamin dari Komisi I DPR, mendapatkan tausiyah dari Gus Choi dan lain-lain tentang apa yang harus kami lakukan terkait dengan masalah ini. Jadi sekali lagi bukan kami yang memberikan laporan, tapi teman-teman Komisi I yang memberikan saran, pendapat dan masukan yang penting sekali untuk kami. Terima kasih soal itu. Kemudian terkait dengan pertanyaan Ibu Rachel tadi tentang bagaimana seharusnya etika wartawan menghadapi narasumber, kita bisa ambil contoh kasus misalnya kasus pemberitaan soal Luna Maya-Ariel-Cut Tari. Kami dua kali membuat diskusi soal ini. Dewan Pers juga membuat sikap yang tegas terkait ini. Jadi rujukannya pertama pada Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik yang menyatakan wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Penafsirannya: Pertama, Wartawan harus menunjukkan identitas diri kepada narasumber. Jadi kami selalu menekankan bahwa kalau ada wartawan yang datang, dia tidak bisa menunjukkan identitas dirinya, sebenarnya sebagai narasumber kita bisa menolak,”Maaf, kami tidak mau wawancara.” Identitas wartawan itu bisa berupa ID Card, bisa juga berupa simbol-simbol misalnya dari TV mana kan biasanya kelihatan. Jadi itu standard sebetulnya. Jadi itu sebagai narasumber siapapun berhak untuk menanyakan itu. Kemudian menghormati privasi. Privasi ini sebenarnya berlaku bukan hanya di ruang privat, tapi juga di ruang publik. Jadi ketika Ariel-Luna Maya keluar dari Kepolisian, kemudian mencoba menghindar, sebenarnya itu juga dia masih punya privasi dan privasi itu juga harus dijaga. Maka dalam pernyataan Dewan Pers waktu itu tegas bahwa wartawan tidak boleh memaksa narasumber untuk bicara dan juga harus bisa menjaga jarak, misalnya kamera itu tidak boleh terlalu dekat, apalagi kemudian membentur, kemudian ada adegan mendorong- dorong, meskipun itu mungkin tidak sengaja, tetapi itu menjadi bagian dari catatan kami. Kemudian menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam menyajikan gambar, foto dan suara. Jadi kelompok-kelompok yang mengalami trauma, misalnya korban pemerkosaan dan seterusnya atau anak dari korban pemerkosaan atau anak dari pelaku tindakan asusila misalnya, itu memang harus dilindungi
  • 18. 18 identitasnya dan juga pengaruh-pengaruh dari dampak tayangan media. Kemudian Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya. INTERUPSI F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Interupsi, Ketua. Saya kira yang bersifat normatif bisa kita baca pasal-pasal, ayat-ayat, bisa kita baca, tidak usah terlalu dibaca lagi di sini. Yang penting sikap kita. Kemudian data kasus-kasus, itu yang penting saya kira. Kemudian realitas bagaimana. Jadi kalau norma bisa kita baca semua saya kira. Dengan demikian, waktu bisa menjadi produktif. Begitu saya kira, Ketua. Yang kedua, tadi saya agak kaget ketika Mbak Uni menyampaikan PB NU. Memang ada surat, saya dari sana tadi. Setelah ini saya cek ke PB NU. Jadi begini Mbak, keputusan Munas Alim Ulama, musyawarah nasional Alim Ulama di Surabaya Tahun 2006 dan konferensi besar Nahdlatul Ulama itu memutuskan infotainment karena unsur ini, ini, ini termasuk penggunaan ranah publik yang salah, yang ngaco, yang ngawur, yang sembrono, menjadi haram hukumnya. Pak Said itu alim ulama, itu keputusan resmi PB NU. Pak Said di sini, ini saya cek. Pak Said waktu itu belum menjadi ketua umum Tahun 2009, belum terpilih. Kemudian setelah itu Pak Said merasa,”Lho, saya ini kok merasa digiring, dipojokkan”, tapi sudah terlanjur tanda tangan. Karena di sini ada Ilham Bintang, jadi mereka dikepung. Tapi Pak Said tidak mengerti, tidak ada yang memberi masukan, seolah-olah otomatis infotainiment yang sudah menurut penilaian tayangannya selama ini sudah putus haram, dia jalan sendiri dan kemudian Pak Hasyim menyesalkan setelah diketahui. Ini tadi saya cek semuanya. Makanya kalimatnya di sini menjadi seperti ini. Saya juga kaget sebelum saya cek. Jadi seolah otomatis infotainment secara total, baik namanya maupun content-nya itu karya jurnalistik, seolah-olah itu oke. Setelah saya lihat, saya cek lagi di sini ada nama begini, lalu dari sana itu cerita dahulu itu begini, begini, begini. Karena itu saya kira ini diabaikan, karena ini ada rekayasa politik, rekayasa kepentingan, yang direkayasa tidak terlalu mengerti, sadar setelah selesai semua. “Tapia pa boleh buat”, katanya,“Demi persaudaraan tidak perlu diklarifikasi.” Sudahlah, tidak usah statement berikut, demi persaudaraan. Tetapi menurut saya sekali lagi ini serius, soal isi, soal content yang ngawur. Menurut saya ini serius, sehingga saya menunggu kesimpulan Ketua nanti bagaimana, kita sepakatinya seperti apa. Terima kasih. KETUA RAPAT: Terima kasih, Gus Choi. Bagaimana kalau kita penjelasan dari Dewan Pers diselesaikan dahulu, lalu kalau ada pendalaman nanti… Kalau begitu saya persilakan. Pak Agus tadi saya kira belum selesai. Daripada menekuk lidahnya lebih baik diteruskan dahulu sebentar. DEWAN PERS: Saya kira cukup. Nanti kalau ada yang kurang langsung saja ke Ibu Rachel. KETUA RAPAT: Baik, kalau begitu dari sini terlebih dahulu. DEWAN PERS (BEKTI NUGROHO): Nama saya Bekti Nugroho. Ini penting, karena begini, aura yang kita tangkap sebenarnya ini ada upaya-upaya untuk membenturkan KPI dengan Dewan Pers. Kita tidak ingin terjebak di situ, Pak. Jadi selama ini sebenarnya antara Dewan Pers dengan KPI itu tidak ada masalah. Saya sebut contoh beberapa kasus yang terkait dengan soal program katakanlah waktu itu “Empat Mata”, itu justru masukan dari Dewan Pers. Kemudian kita rapat dan kemudian muncullah sanksi macam itu. Kemudian kecerdasan teman- teman TV, maka kemudian ditambah menjadi “Bukan Empat Mata”. Tapi sekali lagi bahwa koordinasi selama ini sebetulnya jalan. Kasus infotainment memang sebetulnya kita sudah dalam program, dalam waktu dekat begitu selesai dengan Rakornas dan di Rakornas pun waktu itu ada rekan Agus yang ikut datang ke sana membahas hal itu. Memang kita akan coba ketemu untuk membahas khusus tentang itu. Bukan hanya infotainment, tapi juga reality show. Cuma saya tidak tahu bagaimana ini gerakannya kok tiba-tiba ada surat dari Komisi I yang kita juga masih belum ketemu tapi kita harus hadir karena kita tidak berani menolak. Terus terang, waktu kemarin kita rapat sampai tadi malam ba’da Maghrib, surat dari Komisi I tidak ada. Dicari ke staf kami tidak ada. Sampai kemudian saya sekitar Jam 21.00 atau Jam 22.00 bersama Mas Agus,”Mas, ini besok kita tetap hadir lho. Suratnya ada atau tidak?” Tidak ada. Tapi saya sudah bilang ke Mas Tantowi Yahya katanya hadir saja. Ini bagaimana? Tapi karena ini lembaga negara yang terhormat, kita harus datang. Kebetulan tadi pagi kita di-update, surat dan fax baru sampai Jam 11.00. Jadi kalau kemudian Mbak Uni…, Pak Enggar yang terhormat mantan bos saya di Majalah Editor, kalau Mbak Uni terkesan hati-hati memang bukan hati-hati. Terus terang memang kita agak kaget, karena sikap kita memang belum kita tune in dengan KPI. Tapi apapun keputusan KPI kita endorse, kita hormati. Karena apa? Jangan sampai jeruk makan jeruk. KPI sudah memutuskan itu dan saya sudah cek bahwa itu
  • 19. 19 sebenarnya usulan dari KPID untuk dibahas, untuk diredefinisi sebenarnya. Kita akan ketemu membahas hal itu. Tapi begini Pak, infotainment ini soal nama sebenarnya. Kita jangan terjebak soal nama. Esensinya adalah bagaimana Dewan Pers itu untuk selalu tetap menjaga kemerdekaan pers, itu yang penting. Jangan sampai kemudian nanti keputusan yang muncul mengganggu kemerdekaan pers. Karena apa? Karena apapun produk-produk yang sekarang…, mungkin sekarang kita gugat, kita kritisi, tapi di pihak lain sebenarnya selama ini 10 tahun ini kita menikmati itu. Kita tidak ingin…, Dewan Pers sekali lagi tadi sudah disinggung oleh Mbak Uni dan Mas Agus, bahwa kita berpedoman pada Undang-Undang Pers yang waktu itu diketok juga oleh DPR. Bahwa kemudian di situ ada kelemahan-kelemahannya, itu persoalan lain. Kita juga sangat terbuka. Jadi esensinya adalah bahwa kita tidak usah terjebak soal nama. Yang menjadi acuan kita adalah substansinya dan Dewan Pers concern di situ. Dewan Pers selalu dalam berbagai program kegiatan adalah membuat wartawan itu profesional. Wartawan yang profesional tidak akan terjebak dengan hal-hal yang sensasional. Kalau disuruh memilih, yang mana yang anda pilih, hal-hal yang penting atau yang menarik, maka dia akan memilih, wartawan yang profesional pasti akan memilih hal yang penting dan ditambah lagi sekarang adalah hal yang genting, bukan hanya sensasional. Tugas Dewan Pers itu menyadarkan itu. Maka kemudian dibentuklah kode etik jurnalistik, kemudian ada standard perusahaan pers, ada standard kompetensi wartawan, itu dalam rangka untuk membina itu supaya ke depan, tadi yang disinggung oleh Mas Roy Suryo dan Mas Tantowi Yahya, bahwa layar ke depan itu benar-benar layar yang sehat atau kalaupun kita ibaratkan sekarang semua media massa termasuk cetak, maka kemerdekaan pers adalah oksigen. Maka oksigen yang kita hirup adalah oksigen yang benar-benar murni, bukan oksigen yang pengap. Saya pikir itu saja, Pak. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi sedikit, Pimpinan. Ada hubungannya dengan klarifikasi. Tapi karena ada surat dari PB NU, diklarifikasi oleh Gus Choi, di kesempatan yang sangat baik ini supaya semuanya clear saya juga ingin minta klarifikasi. Saya pernah melihat running text di salah satu televisi mengatakan “Dewan Pers: KPI tidak berhak menghentikan tayangan.” Itu murni sikap Dewan Pers secara resmi atau pribadi atau anggota Dewan Pers atau kesalahan TV-nya? Terima kasih. Tolong diklarifikasi. KETUA RAPAT: Baik, saya minta dijawab dahulu pertanyaan Roy Suryo ini, karena ini sangat penting. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Baik, terima kasih. Melalui Bapak Ketua,… INTERUPSI F-PKB (DR. H. A. EFFENDY CHOIRIE): Mbak Uni, dijawab sekalian. Soal Saudara Bekti Nugroho, soal nama, nanti kalau namanya diubah itu kasusnya seperti ini, seperti “Empat Mata” menjadi “Bukan Empat Mata”, isinya sama. Nanti infotainment itu isinya itu, tapi diganti “Bukan Infotainment”. Jadi di sini kita berbicara bukan hanya simbol, bukan hanya substansi, juga simbol. Jangan sampai dibolak-balik isinya sama. KETUA RAPAT: Dipersilakan, Ibu Uni. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Baik, itu juga membuat saya pusing dari Hari Minggu, Pak Roy. Jadi dari Hari Minggu siang itu justru saya mendapatkan informasi dari Pak Ilham Bintang di Grup Blackberry chats editors cut. Di situ dia mengatakan bahwa news seeker TV One: Dewan Pers, KPI tidak berwenang menegur stasiun televisi. Saya mengatakan,”Siapa itu yang bicara?” Bang Ilham mengatakan,”Mbak Uni tanya saja kepada Pak Karni Ilyas.” Lalu saya tanya ke Pak Karni Ilyas, Pemred TV One. Pak Karni mengatakan itu adalah statement dari Wina Armada yang kebetulan adalah anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan. Tapi karena space dari news seeker-nya TV One itu terbatas, maka namanya tidak disebut, jadi ditulis Dewan Pers. Lalu saya mengatakan kepada Pak Karni,”Tolong itu news seeker direvisi segera. Wina Armada: KPI tidak berwenang menegur stasiun televisi.” Sebab Dewan Pers tidak pernah membuat keputusan seperti itu. Dewan Pers memiliki satu tayang menunjukkan bagaimana cara atau prosedur pengambilan keputusan. Apalagi menyangkut pengambilan keputusan yang krusial, apalagi menyangkut sikap dari Dewan Pers terhadap suatu hal yang penting, apalagi terhadap lembaga lain. Jadi itu adalah Wina Armada. Saya sudah meminta Pak Karni untuk merevisi, karena ketika saya sampaikan itu
  • 20. 20 kepada Bung Wina, Bung Wina bersikeras mengatakan bahwa dia tetap dengan pendirian itu, Tapi saya bilang,”Itu adalah penilaian pribadi anda dan itu bukan sikap Dewan Pers.” Lalu dia membolehkan saya untuk meminta revisi. Apakah kemudian itu direvisi? Terus terang saya tidak menonton. Jadi saya ingin sampaikan di sini itu adalah sikap pribadi dari Wina Armada dan itu bukan sikap dari Dewan Pers. Dewan Pers sejauh ini masih melihat bahwa KPI sesuai dengan undang-undang memiliki kewenangan untuk menegur stasiun televisi. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Interupsi. Tetapi bagaimana mungkin Ibu Uni Lubis, bahwa beliau sebagai anggota tetapi bukan Dewan Pers dan bagaimana kita memisahkan antara beliau sebagai seorang pribadi yang bekas wartawan atau katakanlah maksud saya bukan sebagai Dewan Pers? Bagaimana menjelaskannya? Apakah ada sebuah sidang khusus di Dewan Pers untuk menjernihkan persoalan tersebut? Menurut saya itu harus ada supaya tidak berulang di kemudian hari, apapun yang akan diputuskan. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Mohon izin, Ketua. KETUA RAPAT: Saya kira satu-persatu terlebih dahulu atau mau pendalaman semua? INTERUPSI F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Saya interupsi. Tapi sebelum saya bicara, Ibu Eva dahulu. KETUA RAPAT: Itu tadi satu pertanyaan, kemudian ditambahkan dari Ibu Evita, nanti saya serahkan lagi kepada Dewan Pers. F-PDIP (EVITA NURSANTY): Terima kasih, Bapak Pimpinan. Tadi itu saya mendengar statement dari teman-teman Dewan Pers. Jadi saya melihatnya ini kita punya persepsi yang berbeda. Kenapa saya katakan persepsi yang berbeda? Tadi teman-teman Dewan Pers mengatakan bahwa para wartawan ini sudah dididik segala macam. Kita itu tidak menyalahkan wartawan. Wartawan itu mereka akan menjual berita yang bisa dibeli. Tetapi stasiun TV-nya yang kita salahkan sekarang. Paket-paket yang mereka kemas untuk disajikan ke masyarakat yang kita salahkan. Bagaimana dia menjaring berita itu yang kita salahkan. Jadi tidak ada kesalahan wartawan-wartawan itu akan mencari berita sebanyak-banyaknya. Yang bisa dia jual ke stasiun TV ya dia jual. Jadi yang kita harapkan bukan posisi dari Dewan Pers telah mendidik wartawan begini begini, tapi bagaimana Dewan Pers bersama KPI itu bisa membuat suatu SOP untuk ke depan ini bagaimana kita mengemas paket-paket hiburannya ke depan ini bisa disajikan dengan tepat kepada masyarakat. Kemudian yang kedua, itu tadi mungkin salah persepsi. Kita, Komisi I itu tidak pernah beranggapan bahwa Dewan Pers dan KPI itu ada masalah. Kehadiran Bapak di sini ini bukan kita mau konfrontir ada masalah, tidak. Kita ingin mengetahui sikap Dewan Pers seperti apa, itu yang kita ingin tahu langsung. Jadi tidak ada kalau Bapak bilang bahwa kita punya perasaan ada masalah dengan KPI, tidak ada sama sekali. Kita ingin mengetahui bagaimana sikap Dewan Pers dalam isu yang sedang kita angkat pada hari ini. Terima kasih. KETUA RAPAT: Ya, Pak Enggar. F-PG (DRS. ENGGARTIASTO LUKITA): Klarifikasi saja, Ketua. Jadi saya garis bawahi tadi, Mas Bekti Alhamdulillah masih konsisten dan Mbak Uni sekarang sudah mulai kembali ke jalan yang benar dengan pernyataan tadi. Saya agak lega juga. Sebab dahulu saya dimarahi terus oleh dia. Kita tidak ada pikiran membenturkan. Tapi sebelum anda terbentur dan dibenturkan dan sebelum masuk angin, maka kita ajak bicara dahulu di sini. Menurut saya, karena ini forum resmi, kita mengundang Dewan Pers, maka yang tadi disampaikan oleh Mas Bekti itu adalah sikap resmi Dewan Pers yaitu meng- endorse, menghargai, dan itu adalah ranahnya KPI. Maka itu adalah sikap resmi KPI, bukan di running text, tetapi ini adalah sikap Dewan Pers dan sikap KPI, karena ini adalah forum resmi kita. Jadi itu sudah cukup melegakan buat kita bahwa ini adalah memang kewenangannya KPI dan kita memberikan
  • 21. 21 endorsement bahwa anda telah melakukan dengan baik sesuai dengan judgement dan penilaian yang dilakukan oleh KPI. Itu kesimpulan, satu kalimat selesai, putus kita, Ketua. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, terima kasih. Sebelum dilanjutkan, saya mohon maaf juga kalau ada surat yang tidak tersampaikan. Semalam saya Jam 23.00 mendapat SMS juga,”Bang, apakah benar?” Saya bilang,”Benar.” Saya mohon maaf, karena urusan surat-menyurat itu di sekretariat. Tetapi barangkali memang kita mendadak. Denga permintaan dari rekan-rekan kita menyelenggarakan, karena acara ini tidak ada di dalam jadwal. Tapi karena dipandang perlu, maka kita diskusi. Suasana kebatinan yang kita bangun saya kira sudah cukup bagus, tidak ada yang ingin dibenturkan atau merasa dibenturkan. Dalam suasana kebersamaan seperti ini harus kita jalin, bangun terus, demi bangsa dan negara. Saudara-saudara semua adalah garda paling depan didalam membentuk karakter bangsa ini. Sekarang saya persilakan kepada Ibu Uni yang saya pun baru tahu…, kita puluhan tahun kenal tapi baru tahu kalau pakai Zulfiah. DEWAN PERS (UNI Z. LUBIS): Saya kalau pakai nama itu disangka cowok, jadi Bapak. Jadi sejak awal saya seperti artis, jadi pakai nama populer yang mudah diingat, Uni Lubis. Baik Bung Ramadhan, saya pribadi, karena saya yang langsung mendapatkan informasi itu, saya meminta Rapat Pleno, karena itu memang harus diputuskan Rapat Pleno. Tapi memang sebagaimana tadi saya katakan banyak pimpinan, wakil pimpinan dan juga banyak anggota di luar kota. Kemarin sore kami mengadakan rapat terbatas, tapi itu tidak memenuhi kuorum, hanya 4 orang, harus 5 orang. Jadi 50% plus 1, karena kami ada 9. Maka Senin Pukul 14.00 Dewan Pers akan melakukan Rapat Pleno, termasuk membahas soal infotainment ranah jurnalistik, soal sanksi headline news Metro dan juga MoU antara Dewan Pers dengan KPI, termasuk juga soal bagaimana memisahkan antara sikap pribadi dengan sikap lembaga. Terima kasih. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Menambahkan sedikit. Pertama, mungkin pada pertemuan ini kami gunakan untuk minta maaf atas salah paham di running text TV One itu. Tapi penjelasan kami seperti tadi, itu bukan sikap Dewan Pers. Sikap Dewan Pers terkait dengan infotainment seperti tadi terkait dengan kewenangan KPI. Dewan Pers tetap melihat KPI berdasarkan Undang-Undang Penyiaran mempunyai wewenang untuk melakukan teguran, sanksi administratif terhadap lembaga penyiaran. Yang ingin kami diskusikan lebih lanjut dengan KPI adalah irisan tadi. Karena kalau terkait dengan jurnalisme televisi, itu kan tadi ranahnya KPI maupun Dewan Pers, formulanya seperti apa? Ini yang akan kami follow up-i melalui MoU. Insya Allah minggu depan kita akan duduk bersama membahas itu. Jadi misalnya nanti kalau ada kasus lagi terkait dengan Metro TV, kira-kira koordinasi antara Dewan Pers dengan KPI seperti apa dan seterusnya, tanpa mengurangi otoritas masing- masing berdasarkan undang-undang masing-masing. Untuk Ibu Eva… Maaf, Evita. F-PDIP (EVITA NURSANTY): Pak, kena raport merah. DEWAN PERS (AGUS SUDIBYO): Saya terpancing Mas Roy ini. Yang dimaksud oleh Mbak Uni tadi begini, tetapi kita tetap sama, kalau ada produk penyiaran, apakah itu berita dan semacamnya itu bermasalah, dikritik oleh masyarakat, dianggap melanggar kode etik, yang bertanggungjawab adalah pemimpin redaksi, baik itu cetak, online media, radio maupun televisi. Jadi penanggungjawab redaksinya yang bertanggungjawab itu. Sama ketika tayangan infotainment sebelum-sebelum ini bermasalah, itu yang bertanggungjawab adalah media televisi yang menyiarkan itu, bukan PH yang memproduksi. Jadi lembaga penyiaran yang bertanggungjawab. Tadi Mbak Uni hanya menjelaskan kami mempunyai formula lain untuk memperbaiki masalah ini yaitu melalui jalur pendidikan, jalur training. Jadi semuanya kami tempuh, penegakan peraturan kami tempuh, empowering, capacity building juga kami tempuh. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (KMRT. ROY SURYO NOTODIPROJO): Interupsi, Pimpinan.
  • 22. 22 Ini menarik dari Mas Agus. Saya kira nanti Dewan Pers dan KPI perlu hati-hati, infotainment itu memang ada dua jenis: infotainment yang diproduksi oleh PH (misalnya Grupnya Pak Ilham Bintang, grupnya Indigo dan kawan-kawan) dengan yang diproduksi oleh stasiun TV yang bersangkutan. Misalnya saya sebut saja Go Spot-RCTI, itu Pemrednya adalah Pemred RCTI. Jadi kalau itu dibuat tanggung jawab seharusnya nanti…, ini usulan saya supaya itu jelas, ranahnya juga jelas, dari teman-teman KPI juga jelas. Saya kira tambahan ini menarik. Terima kasih. KETUA RAPAT: Tadi Go Spot ya, bukan G-Spot. Saya kira kita sudah mengerucut. Saya sengaja membawa suasana ini supaya tidak tegang, ada solusi yang kita capai, kemudian tidak perlu harus saling melotot dan lain sebagainya dan kalau tidak ada lagi pertanyaan, mari kita masuk kepada kesimpulan akhir yang nanti akan kita pedomani bersama didalam karya dan kerja kita ke depan. Saya mohon untuk ditayangkan. INTERUPSI F-PG (DRS. H. A. MUCHAMAD RUSLAN): Interupsi, Pak Ketua. Tadi pertanyaan saya belum terjawab mengenai running text tadi. Terima kasih. KETUA RAPAT: Baik, dari Pak Dadang. KETUA KPI: Baik, terima kasih. Tadi soal dengan Dewan Pers itu kita memang tidak ada masalah, sudah clear, tinggal kita melakukan langkah-langkah yang konstruktif ke depan berkaitan dengan tugas dan fungsi masing-masing. Kami ingin menjawab beberapa yang juga penting untuk ditanyakan supaya tidak ada yang kabur di masyarakat nanti. Kami persilakan Ibu Ezki terlebih dahulu, silakan. ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): Terima kasih. Pimpinan dan Bapak/Ibu Anggota Dewan yang terhormat, Saya hanya ingin menjawab beberapa pertanyaan berkaitan dengan isi siaran, ingin meneruskan Mas Roy. Betul Mas Roy, hanya Global dan RCTI yang In house, karena sudah dapat datanya, yang lainnya PH, maksudnya yang masuk news. Obsesi di Global dan Go Spot itu masuk divisi news. Yang lainnya tidak masuk divisi news, produksi. Lalu menjawab pertanyaan Ibu Adjeng, kasus Metro TV ini berbeda dengan kasus video yang dibilang mirip. Saya mohon maaf, kalau bisa off the record buat teman-teman wartawan di atas, kami sudah serahkan rekamannya kepada Komisi I, tapi mohon dilihat sangat private dan dijaga betul, jangan sampai ada yang menggandakan. Mohon sekali lagi off the record buat teman-teman wartawan di atas, itu adalah pemutaran blue film di Metro TV, murni blue film, 5 detik pemutara di headline news Jam 05.00. F-PD (DR. HJ. R. ADJENG RATNA SUMINAR, S.H.,M.M.): Maaf, kalau TV yang lain? ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): TV yang lain yang kami tegur itu… F-PD (DR. HJ. R. ADJENG RATNA SUMINAR, S.H.,M.M.): Bukan yang mirip, misalnya kasus TV One yang Markus bohongan, kenapa tidak dibahas? ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): Memang kita sedang mengkaji untuk bertemu lagi dengan Dewan Pers. Karena pada waktu kita masih belum ada di KPI, kasus itu…, tapi yang khusus Metro TV dan kami sudah melakukan proses. Jadi sesuai dengan aturan yang ada. Jadi kami ada buktinya, lalu klarifikasi, yang datang Pemrednya sendiri dua kali, lalu kita memberikan penilaian dan memberikan penjatuhan sanksi.jadi betul-betul kasus Metro TV itu berbeda dengan kasus-kasus yang lainnya. Kami sudah serahkan kepada Komisi I semua buktinya. Tapi mohon sekali lagi tolong dijaga. Lalu ini ada yang menarik. Kalau tadi dimulai oleh Pak Hasanuddin mengenai yang di Kompas, kami sudah dapat disertasinya mengenai infotainment dan ini memperkuat Bapak/Ibu juga kami semua dan teman-teman KPI di waktu Rakornas bahwa ini memang bukan non faktual. Jadi disertasi ini yang kemarin
  • 23. 23 dipresentasikan di Universitas Indonesia sudah kami dapatkan dan sedang kami minta izin dicopy dan nanti akan diberikan juga kepada Bapak dan Ibu di Komisi I sebagai bahan rujukan untuk itu. INTERUPSI F-PARTAI GERINDRA (RACHEL MARIAM SAYIDINA): Interupsi, Pimpinan. Jadi menimbulkan satu pertanyaan lagi. Tadi kan Go Spot dan Global masuk ke dalam divisi news. Nanti kalau kita menetapkan infotainment sebagai program non faktual, nasib mereka masuknya ke mana? ANGGOTA KPI (EZKI SUYANTO): Mereka pindah ke bukan news. Dari saya itu saja. Mungkin nanti teman-teman yang lain. Mas Iwan Uyun? KETUA RAPAT: Silakan, Pak Uyun. Mohon maaf, pertanyaan Pak Ruslan itu kelihatannya belum terjawab. ANGGOTA KPI (YAZIRWAN UYUN): Mengenai running text antara adanya katakanlah persaingan antara Metro TV dengan TV One itu termasuk salah satu yang akan kita bahas untuk menjatuhkan kira-kira sanksi apa, termasuk juga kasus MNC dengan Mbak Tutut. Inilah yang akan kita bawa ke Dewan Pers, karena itu juga melibatkan jurnalistik. Saya sedikit menjawab pertanyaan Ibu kenapa kasus Markus tidak di-follow up. Pada waktu kasus Markus terjadi, KPI sudah demisioner. Oleh sebab itu, karena saya juga termasuk yang masih lama pada waktu itu, melakukan telepon kepada Dewan Pers, karena kita tidak ada kewenangan (sudah demisioner), untuk di- follow up oleh Dewan Pers dan kita sudah mempercayakan sepenuhnya sanksi apa yang diberikan oleh Dewan Pers. Juga mengenai infotainment, infotainment ini kalau kita lihat hanya 3 perusahaan yang memproduksi infotainment, sisanya diproduksi oleh TV. Oleh sebab itu, didalam memilah nanti apakah dia termasuk karya jurnalistik atau tidak, sebenarnya dengan pertemuan DPR ini kita sudah mendapatkan sesuatu kekuatan. Karena untuk mengubah P3SPS memerlukan pertemuan dengan stakeholder yang ada. Dewan Pers tadi sudah mengatakan,”Kami kembalikan kepada KPI.” Itu sudah suatu stakeholder yang potensial buat KPI, karena karya jurnalistiknya ada di mereka. Tadi malam saya melakukan pertemuan informal dengan Karni Ilyas. Apa yang disampaikan Karni Ilyas? Adalah,”Kami juga akan mengembalikan atas nama ATVSI kepada KPI.” Stakeholder kami yang lain adalah KPID. Semua KPID mungkin 80%-90% sudah menyatakan bahwa itu bukan merupakan karya jurnalistik. Artinya hampir seluruhnya dari stakeholder yang ada sudah mengatakan dan kami tinggal mem- follow up bersama-sama KPID dan stakeholder lainnya. Untuk perubahan mengenai P3SPS ini menyatakan bahwa program infotainment bukanlah program faktual. Cuma ada satu masalah yang nanti perlu kita pikirkan bersama adalah apabila dia termasuk program yang bukan faktual, bahwa wajib sensor, sementara lembaga sensor tidak ada di daerah. Ini juga perlu menjadi pertimbangan ke depan. Karena apakah mungkin kalau kita mengembangkan suatu TV di daerah, dia membuat infotainment harus mengirim LSF ke Jakarta? Ini adalah persoalan-persoalan yang akan kita hadapi. Itu mungkin tambahan dari saya, Pak Dadang. Terima kasih. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Pimpinan… KETUA RAPAT: Baik, Pak. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Kalau dari KPI sudah ada, sebelum ditayangkan di kesimpulan, saya ingin memberikan tanggapan sedikit saja. KETUA RAPAT: Silakan, Pak. INTERUPSI F-PD (Drs. RAMADHAN POHAN, M.I.S.): Terima kasih. Dalam kesempatan ini sekali lagi saya melanjutkan dari teman-teman di Komisi I yang memberikan apresiasi yang tinggi terhadap Komisi Penyiaran Indonesia, dimana kami memang benar-benar tidak salah pilih terhadap anda dan kita tiniggal melakukan penajaman-penajaman. Apa yang sudah dilakukan oleh