1. Ujian Akhir Semester Muhammad Syaiful Rohman
KELOMPOK MARJINAL 10/306973/PSA/02293
INDONESIA NEGARA GAGAL ?
A. PENDAHULUAN
Kemiskinan, saat ini, adalah lebih dari sekedar isu ekonomi sederhana, namun juga suatu
konstruksi ideologis. Pada era neoliberal dewasa ini, sejatinya adalah era merkantilisme juga.
Liberal Containment telah digantikan oleh kapitalisme laissez-faire yang kemudian dikenal
sebagai free market (Pilger, 1998). Kebijakan-kebijakan dari IMF maupun WB telah banyak
memperoleh kritik pedas dari berbagai pihak dan umumnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak
membantu juga tidak akuntabel, bahkan menciptakan ketergantungan negara miskin kepada
negara kaya. Pada saat yang sama, structural adjustment sangat tidak menghormati keberagaman
budaya. Studi lain dikemukakan oleh McMurtry (1998) bahwa SAP berkontribusi terhadap
kematian dan penurunan standar kehidupan warganegara. Sebagai manifestasi penyesuaian yang
diagendakan SAP, maka pemerintah menempuhnya dengan cara mensiasati pengetatan anggaran
belanja negara, ditempuhlah pilihan mereduksi subsidi.
Salah satu akibat dari sistem ekonomi politik yang dianut oleh pemerintahan sekarang ini
yaitu Indonesia menganut sistem demokrasi elektoral. Ini adalah sebuah sistem yang
mensyaratkan agar mereka yang menduduki jabatan-jabatan publik yang penting dipilih langsung
oleh rakyat. Keberadaan kelompok-kelompok vigilante jelas bertolak belakang dengan politik
demokrasi elektoral. Kelompok ini tidak besar. Mereka tidak memiliki ‘popular mandate’ seperti
yang dimiliki oleh para elit politik, baik di tingkat nasional maupun lokal. Namun mereka
mampu melancarkan tekanan supaya kepentingan mereka bisa dijalankan.
B. KELOMPOK MARJINAL
Adalah FPI, MMI, FUI, FBR, FORKABI, PP, atau kelompok lain apapun namanya dari
yang mengatasnamakan agama, kesukuan, sampai yang mengatasnamakan kelompok pemuda
yang sering kita dengar gaungnya melalui berbagai media cetak maupun elektronik dan yang
sering terlibat dalam aksi kekerasan di jalanan bisa kita masukkan kedalam definisi vigilante
yang berarti seorang yang menegakkan hukum dengan caranya sendiri. Istilah ini berasal dari
1|Page
2. Ujian Akhir Semester Muhammad Syaiful Rohman
KELOMPOK MARJINAL 10/306973/PSA/02293
INDONESIA NEGARA GAGAL ?
bahasa Latin "Vigiles Urbani" yang diberikan kepada penjaga malam di Romawi kuno yang
bertugas memadamkan kebakaran dan menjaga keamanan.
Pelaku kekerasan bisa dipetakan dengan jelas. Beberapa dari mereka adalah kelompok
vigilante radikal yang mengaku berskala nasional. Artinya mereka memiliki jenjang organisasi
dari pusat Jakarta hingga ke daerah-daerah. Namun pada umumnya, sekalipun tampak sebagai
sebuah organisasi berskala nasional, mereka yang dianggap sebagai pemimpin seringkali tidak
bisa mengontrol apa yang diperbuat oleh orang-orang yang mengatasnamakan organisasi tersebut
di tingkat lokal. Rizieq Shihab boleh dianggap sebagai pemimpin Front Pembela Islam (FPI),
namun dalam banyak kesempatan dia mengelak bertanggungjawab atas tindakan FPI di daerah-
daerah atau bahkan di Jakarta sendiri.
Organisasi seperti FPI, Forum Umat Islam (FUI) atau Majelis Mujahidin Indonesia
(MMI), dikelola lebih sebagai organisasi persamaan kepentingan ketimbang oleh struktur
organisasional yang ketat. Di setiap daerah mereka memiliki orang-orang ‘kuat’ yang disegani,
yang dianggap sebagai pemimpin – baik karena wibawa maupun karena sikap keagamaannya
yang kuat (bukan berarti pintar secara teologis). Orang-orang ini memiliki keleluasaan untuk
bernegosiasi dengan para penguasa di daerah-daerah. Mereka juga memiliki fleksibilitas untuk
bertindak sesuai dengan situasi setempat.
Yang lebih menakjubkan dari organisasi-organisasi radikal ini adalah betapa besarnya
kekuasaan yang mereka miliki. Bahkan ketika mereka melakukan tindakan-tindakan yang sangat
brutal sekali pun, mereka tidak terkena tindakan hukum yang serius. Dalam kasus kekerasan
yang menimpa Jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, beberapa pelaku penyerangan yang brutal itu –
secara jelas tertangkap dalam gambar video – dikenai hukuman yang sangat ringan. Sementara
itu, warga Ahmadiyah sendiri malah dihukum juga karena dituduh sebagai pemicu kekerasan.
Elit politik Indonesia – baik yang berada di dalam maupun diluar administrasi
pemerintahan SBY – bersikap sangat toleran terhadap kelompok-kelompok ini. Demikian pula
aparat keamanan yang seringkali justru berpihak kepada mereka. Dalam banyak kejadian, aparat
2|Page
3. Ujian Akhir Semester Muhammad Syaiful Rohman
KELOMPOK MARJINAL 10/306973/PSA/02293
INDONESIA NEGARA GAGAL ?
keamanan biasanya datang setelah kelompok-kelompok ini melakukan aksinya. Alih-alih
mencegah terjadinya kekerasan, aparat biasanya justru menyalahkan pihak yang diserbu,
meminta mereka untuk menghentikan kegiatan, atau bahkan membiarkan pihak penyerbu
melanjutkan tindak kekerasannya.
Tidak berdayanya para elit politik dan aparat keamanan yang mewakili negara dalam
berhadapan dengan kelompok-kelompok vigilante ini tentu menimbulkan pertanyaan: Mengapa?
Apa keistimewaan kelompok-kelompok Islamis militan ini? Adakah mereka demikian kuat
sehingga semua aparatus negara menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan mereka?
Indonesia tidak pernah mengenal konsep negara pengertian Weberian. Dalam konsep
Max Weber, negara adalah institusi yang memegang monopoli atas penggunaan kekerasan fisik
untuk menciptakan ketertiban.
Banyak ahli telah menunjukkan bagaimana konsep negara Weberian ini tidak bekerja di
dalam masyarakat Indonesia. Ahli sejarah politik menunjukkan (antara lain Soemarsaid
Moertono yang menulis tentang statecraft di Jawa) bahwa negara di bumi Nusantara ini tidak
dikenal sebagai negara territorial. Para raja pertama-tama menguasai penduduk. Makin banyak
penduduk yang dikuasainya, makin besar kekuasaannya. Kekuasaan ini tercermin dalam konsep
Mandala, dimana kekuasaan ada di pusat, berpendar, dan makin melemah ketika jauh dari pusat.
Konsep negara dan kekuasaan yang non-territorial ini tentu tidak bisa dipertahankan
terutama ketika konsep negara modern – yang ditulangpunggungi oleh birokrasi dan militer –
diperkenalkan di wilayah Nusantara oleh penguasa Kolonial Belanda. Para pengelola negara
kolonial tahu persis bahwa mereka tidak bisa menguasai wilayah Indonesia secara langsung.
Negara kolonial memiliki keterbatasan yang amat serius dalam hal personil untuk
mengawasi rakyat dan wilayahnya. Untuk itulah, negara kolonial meneruskan kebijakan-
kebijakan sebelumnya yang dijalankan oleh VOC, yakni berkuasa lewat perantaraan penguasa-
penguasa lokal yang diikat dengan perjanjian-perjanjian jangka pendek.
3|Page
4. Ujian Akhir Semester Muhammad Syaiful Rohman
KELOMPOK MARJINAL 10/306973/PSA/02293
INDONESIA NEGARA GAGAL ?
Keterbatasan sumber daya memaksa negara kolonial untuk menggunakan agen-agen
kekerasan yang berada di luar negara. Agen-agen kekerasan itu biasanya berupa orang kuat, jago,
preman, hingga ke organisasi-organisasi paramiliter yang berlabel etnik atau agama. Studi Ann
Laura Stoler tentang perkebunan di Sumatera Utara, misalnya, menunjukkan preman dipakai
secara intensif untuk menghalau penyerobot tanah (squatters), mengintimidasi buruh, dan
menghalang-halanginya untuk berserikat.
Hubungan antara negara dengan agen-agen kekerasan non-negara ini saling
menguntungkan. Agen-agen kekerasan ini diberikan keleluasaan untuk beraksi. Mereka tidak
dikenakan sangsi atau hukuman. Sebaliknya, mereka melakukan apa yang tidak sepenuhnya
mampu dilakukan oleh negara, yakni menciptakan ketaatan lewat rasa takut di kalangan massa-
rakyat.
Yang lebih unik adalah hubungan antara aparatus keamanan negara dengan agen-agen
kekerasan non-negara ini. Aparat-aparat intelijen dan kepolisian pada jaman kolonial banyak
memakai preman, jago, atau orang kuat untuk menjalankan operasi-operasi intel. Praktek seperti
ini berlanjut setelah negara kolonial berubah menjadi negara Indonesia.
Pada jaman Orde Baru, hubungan antara aparatus keamanan dengan agen-agen kekerasan
non-negara ini semakin intensif, sekalipun negara pada jaman Orde Baru dikuasai oleh militer.
Aparat intelijen dan militer melakukan apa yang disebut sebagai ‘penggalangan’ di kalangan
preman dan organisasi-organisasi kekerasan untuk memuluskan kerja dan agenda politik mereka.
Pada tahun 1982-83, pemerintah Orde Baru melakukan kampanye anti-preman yang
terkenal dengan sebutan ‘Petrus’ (Penembakan Misterius). Aparat-aparat militer di banyak
daerah di Indonesia, bergerak menahan orang-orang yang mereka anggap sebagai preman (atau
orang yang bertatto), menembak mati, dan meletakkannya di jalanan. Metode ini dikenal sebagai
‘shock therapy’ yang sesungguhnya metode teror psikologis dengan mengirimkan pesan brutal
kepada seluruh massa-rakyat untuk menunjukkan siapa yang sesungguhnya berkuasa.
4|Page
5. Ujian Akhir Semester Muhammad Syaiful Rohman
KELOMPOK MARJINAL 10/306973/PSA/02293
INDONESIA NEGARA GAGAL ?
Sekalipun diklaim sebagai kampanye untuk mengenyahkan preman, ‘Petrus’
sesungguhnya dipakai sebagai sarana untuk menundukkan preman agar sepenuhnya berada
dalam kontrol militer. Studi Loren Ryter (2002) tentang preman menunjukkan bahwa ‘Petrus’
kemudian dipakai sebagai awal kelahiran organisasi-organisasi kepemudaan. Salah satu yang
peling terkenal adalah Pemuda Pancasila.
Agen-agen kekerasan non-negara ini dalam periode-periode selanjutnya dipakai sebagai
agen untuk mematikan gerakan-gerakan massa-rakyat dari bawah. Gerakan buruh di Indonesia,
misalnya, yang bangkit kembali pada pertengahan tahun 1980-an seiring dengan pesatnya
pertumbuhan ekonomi substitusi impor pada waktu itu juga harus berhadapan dengan agen-agen
kekerasan non-negara ini. Intimidasi, terror, dan bahkan serangan langsung kepada buruh sering
dilakukan oleh preman-preman yang terorganisir.
Mobilisasi preman pun dipakai dalam politik. Organisasi seperti Pemuda Pancasila dan
saingannya Pemuda Panca Marga, resmi diterima dalam organisasi kepemudaan korporatik
KNPI, yang pada akhirnya dipakai untuk memenangkan Golkar. Di daerah-daerah, organisasi
yang berafiliasi dengan militer lokal – seperti Angkatan Muda Siliwangi di Jawa Barat– juga
diinkorporasi sebagai organisasi ‘resmi’ di bawah patronase militer.
C. PENUTUP
Secara umum, yang menjadi target dalam kekerasan agama adalah mereka yang paling
rentan (vulnerable) dalam masyarakat. Mereka tidak memiliki dukungan secara politik maupun
ekonomi. Mereka powerless dan tidak memiliki patron di dalam lingkaran kekuasaan di negeri
ini. Dalam kasus-kasus penyerangan terhadap Jemaah Ahmadiyah, kita melihat ketidakadilan
yang sangat telanjang yang dilakukan oleh negara terhadap warganya. Di beberapa tempat di
Indonesia, Jemaah Ahmadiyah diusir dari tempat tinggalnya. Para penguasa lokal bahkan
menciptakan Kamp pengasingan di pulau terpencil. Mirip seperti gettho terhadap orang-orang
Yahudi di Eropa pada jaman dulu. Namun nasib mereka jauh lebih buruk dari orang Yahudi,
karena mereka diasingkan, dirampas hak-haknya, dan dinistakan.
5|Page