MODUL AJAR BAHASA INGGRIS KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Kanker 2010
1. PRAKTIS
Terapi Cairan dan Darah
ISSN: 0125-913 X I 177 / vol.37 no. 4 / Mei - Juni 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk
hasil penelitian
Pengaruh Ekstrak Daun Singkong
(Manihot uttilisima) terhadap Fungsi
Hati dan Ginjal Tikus Putih yang
Diinduksi Karsinogen Nitrosamin
tinjauan pustaka
Penatalaksanaan Mual Muntah yang
Diinduksi Kemoterapi
Profil
Dr. Yow Pin, PHD,
Setiap Penemuan Dapat
Menolong Ribuan Pasien
2. | MEI - JUNI 2010 245
Petunjuk untuk Penulis
CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek keseha-tan,
kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepusta-kaan
ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk lapo-ran
kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang
khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan
dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai
nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggu-nakan
bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa
Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan
istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam ba-hasa
Indonesia.
Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya.
Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia
dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak ber-bahasa
Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2000 - 3000 kata
ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda,
font Eurostile atau Times New Roman 10 pt.
Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lemba-ga/
fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafi k/ilustrasi yang
melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam
program MS Word.
Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya
dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index
Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to
Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).
Contoh :
1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore,
London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.
2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-organisms.
Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic
physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders,
1974 ; 457-72.
3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan fi lariasis di Indonesia.
CDK. 1990; 64: 7-10.
Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh
atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.
Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui
e-mail ke alamat :
Redaksi CDK
Jl. Letjen Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685
Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online)
maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diter-bitkan
juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang
lebih luas.
Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail; oleh kar-ena
itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap den-gan
alamat e-mailnya.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat
masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan
atau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.
EDITORIAL 246
ENGLISH SUMMARY 248
ARTIKEL
Penatalaksanaan Mual Muntah
yang Diinduksi Kemoterapi
M. Adi Firmansyah 249
Peranan Hipermetilasi DNA pada Kanker
Putri Y. Suyanto, Ahmad R. Utomo,
Ferry Sandra 254
Penggunaan DHEA pada Tatalaksana
Anti Penuaan
Monik Setijoso 259
Terapi Sulih DHEA
sebagai Metode Anti Penuaan
Sem Samuel Surja, Victor Nugroho Wijaya 264
Peranan Sel Punca Endometrium
dalam Patogenesis Endometriosis
Grace Valentine, Kanadi Sumapraja 269
Pengaruh Ekstrak Daun Singkong (Manihot uttilisima)
terhadap Fungsi Hati dan Ginjal Tikus Putih
yang Diinduksi Karsinogen Nitrosamin
Cornelis Adimunca, Olwin Nainggolan 274
Pengaruh Pemberian Meniran
pada Hati Mencit yang Diberi CCl4
Siti Sundari Yuwono 278
BERITA TERKINI
Zotepine: Respon minggu pertama sebagai
prediktor perbaikan minggu ke-4 284
Endoskopi Dini untuk Perdarahan Ulkus Peptik 285
Vaksinasi Infl uenza Memberikan Perlindungan
Terhadap Infark Miokard 289
FDA Memberikan Peringatan Baru Mengenai
Interaksi Clopidogrel-Omeprazole 290
FDA Menyetujui Pemberian Rosuvastatin
pada Pasien dengan Kadar LDL Normal 291
SPARCLE: Atorvastatin Dosis Tinggi Pasca Stroke atau
TIA Mengurangi Kejadian Stroke dan Kardiovaskular 292
Pengobatan Alternatif Penderita Hepatitis C 293
Tips Menghindari Osteoporosis 294
Vitamin D Mencegah Penyakit Jantung dan Diabetes 295
Setelah Pemasangan DES, Tiga Antiplatelet Lebih Baik 297
Apakah Perluasan Indikasi Untuk Telmisartan
Merupakan Keputusan yang Tepat? 298
Efek Antimikroba Anestetik Lokal 299
Ekstrak Melon Membantu Mencegah Obesitas 300
Metformin Menurunkan Berat Badan
pada Remaja yang Obesitas 301
PRAKTIS 304
OPINI 310
PROFIL 312
INFO PRODUK 314
GERAI 317
ANTAR SEJAWAT 318
AGENDA 319
RPPIK 320
DAFTAR ISI
Dua Kasus Mutasi DNA pada Orang Indonesia 282
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 245 4/28/2010 9:29:12 PM
3. PRAKTIS
Terapi Cairan dan Darah
ISSN: 0125-913 X I 177 / vol.37 no. 4 / Mei - Juni 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk
HASIL PENELITIAN
Pengaruh Ekstrak Daun Singkong
(Manihot uttilisima) terhadap Fungsi
Hati dan Ginjal Tikus Putih yang
Diinduksi Karsinogen Nitrosamin
TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Mual Muntah yang
Diinduksi Kemoterapi
PROFIL
Dr. Yow Pin, PHD,
Setiap Penemuan Dapat
Menolong Ribuan Pasien
EDITORIAL
Beberapa masalah mutasi gen, juga kaitannya dengan agen dari luar
menjadi bahasan dalam edisi CDK ini; topik ini dilengkapi dengan artikel
yang membahas hormon DHEA dalam kaitannya dengan kemungkinan
penggunaannya dalam klinik.
Artikel lain yang menarik adalah penelitian pendahuluan manfaat beberapa
komponen zat/obat ‘tradisional’ untuk melindungi sel-sel tubuh terhadap
efek zat-zat karsinogen; penemuan ini bisa membuka jalan ke arah
pemanfaatannya dalam klinik, sekaligus juga memberikan dukungan ilmiah
bagi penggunaan obat tradisional yang sudah berjalan turun temurun.
Laporan kasus mengenai mutasi DNA yang ditemukan di Indonesia juga
menarik untuk disimak.
Selamat membaca,
Redaksi
246 | MEI - JUNI 2010
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 246 4/26/2010 8:34:11 PM
4. Redaksi Kehormatan
Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD
Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH
Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta
Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta
DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes
Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado
Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP
Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd
Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Pusat Jantung Nasional
Harapan Kita, Jakarta
Prof. DR. Dra. Arini Setiawati
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)
Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta
Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta
Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS
Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali
Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K)
Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi,
Semarang
Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD
Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta
Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI
Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K)
Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN
Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/
RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
Dr. Hendro Susilo, SpS(K)
Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo,
Surabaya
Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK
Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat
Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes
Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung
| MEI - JUNI 2010 247
ISSN: 0125-913 X
http://www.kalbe.co.id/cdk
Alamat Redaksi
Gedung KALBE
Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4
Cempaka Putih, Jakarta 10510
Tlp: 021-420 8171
Fax: 021-4287 3685
E-mail: cdk.redaksi@yahoo.co.id
http://twitter.com/CDKMagazine
Nomor Ijin
151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Penerbit Kalbe Farma
Pencetak Dian Rakyat
Susunan Redaksi
Ketua Pengarah
Dr. Boenjamin Setiawan, PhD
Pemimpin Umum
Dr. Erik Tapan
Ketua Penyunting
Dr. Budi Riyanto W.
Manajer Bisnis
Nofa, S.Si, Apt.
Dewan Redaksi
Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir, MSc.
Dr. Michael Buyung Nugroho
Dr. Karta Sadana
Dr. Sujitno Fadli
Drs. Sie Djohan, Apt.
Ferry Sandra, Ph.D.
Budhi H. Simon, Ph.D.
Tata Usaha
Dodi Sumarna
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 247 4/26/2010 8:34:12 PM
5. ENGLISH SUMMARY
Role of DNA
Hypermethylation in
Cancer
Putri Y. Suyanto, Ahmad R. Utomo,
Ferry Sandra
Cancer Division, Stem Cell and Cancer
Institute, Kalbe Pharmaceutical Company,
Indonesia
Recent studies on cancer-causing
genes have shown the importance of
promoter hypermethylation affecting
different tumor suppressor genes such
as cyclin dependent kinase inhibitor
2A (CDKN2A), E-cadherin (CDH1), hu-man
mismatch repair gene (MLH1),
and retinoblastoma1 (Rb1).
Promoter hypermethylation is one ex-ample
of epigenetic processes lead-ing
to repression of gene expression
without altering DNA sequence per
se and may serve as a promising bio-markers
in lieu of other classical im-munohistochemical
based markers
to stage the evolution of normal cells
into cancerous ones. A number of re-search
studies also show that some
hypermethylated genes also correlate
with aggressiveness and poor progno-sis
of different cancers.
There are several chemical agents act-ing
as nucleotide analogoues that have
demethylating activities such as 5-aza-cytidine
and 5-aza-2’-deoxycytidine.
These agents are proven to inhibit
the activity of DNA methyltransferase
(an enzyme responsible for promoter
methylation) and consequently to re-activate
gene expression that is initially
repressed due to methylation.
Key words: promoter hypermethyla-tion,
cancer, gene repression, tumor
supressor genes
CDK 2010; 37(4):254 - 8
DHEA in Anti-aging
Management
Monik Setijoso
Nirmala Clinic, Pasar Jumat, South Jakarta,
Indonesia
Dehydroepiandrosterone (DHEA) is a
hormon synthesized primarily by the
zona reticularis of the adrenal cortex.
The level of DHEA in the body reaches
its peak during young adulthood. Be-side
its function as a precursor for sex
hormones, studies has shown various
benefi ts such as improvement in cog-nitive
function, increase in bone mass
density, decrease of cardiovascular
risks, weight loss, etc. Considering the
benefi ts, DHEA is believed to be use-ful
as a part of anti aging management.
DHEA is now widely distributed as an
over-the-counter supplement. Further
research is necessary to analyze long
term effects. Physician’s monitoring is
strongly recommended.
Keywords: DHEA, anti aging,
supplement
CDK 2010; 37(4):259 - 263
DHEA Replacement
Therapy for Anti Aging
Sem Samuel Surja, Victor Nugroho
Wijaya
Student, Faculty of Medicine, Atmajaya
Catholic University, Jakarta, Indonesia
Dehydroepiandrosterone (DHEA)
and dehydroepiandrosterone sulfate
(DHEAS) are hormones naturally pro-duced
by human body. Level of DHEA
peaks after delivery and in 20-24 year
of age, and then decreased about
2-3% per year. Decreased level of the
hormones declines several body’s
functions. Many researches look into
the potential of maintaining the hor-mone
level as anti-aging method.
Many researches showed that DHEA
can improve testosterone and es-tradiol
level, improves Bone Mineral
Density (BMD) in certain bones and
lowers osteoclast’s activity. But other
researches showed that DHEA has no
effect on insulin, doesn’t improve mus-cle
mass and strength, and doesn’t in-fl
uence body composition.
DHEA replacement therapy has ben-efi
t in preventing aging by improving
bone quality. But, further long-term
248 | MEI - JUNI 2010
researches is still needed.
Keywords: DHEA, DHEA replacement
therapy, anti-aging.
CDK 2010; 37(4):264 - 8
Role of Endometrial
Stem Cell in the
Pathogenesis of
Endometriosis
Grace Valentine1, Kanadi Sumapraja2
1. Faculty of Medicine, University of Indone-sia
graduate
2.Immunoendocrinology and Reproduction
Subdept., Department of Obstetrics and
Gynecology, Faculty of Medicine, University
of Indonesia - Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta, Indonesia
Endometriosis is characterized by the
presence and growth of endometrial
tissue (glands and stroma) outside the
uterus. Endometriosis is a benign gy-necologic
condition which can cause
a signifi cant morbidity and occur in
6-10% women. Although endometrio-sis
has been part of the clinical prac-tice
for almost a century, endometrio-sis
pathogenesis remains an enigma.
There are direct evidence for the ex-istence
of adult stem/progenitor cells
in human endometrium, which may
have important roles in endometrium
regeneration.
Recent studies suggest a new hypoth-esis
of endometriosis pathogenesis :
endometrial stem/progenitor cells are
inappropriately shed during menstru-ation
and reach the peritoneal cavity
where they adhere and establish en-dometriotic
implants.
More studies on the specifi c role of en-dometrium
stem cells are needed to
improve understanding on endometri-osis
pathogenesis. This fundamental
studies on endometrial stem/progeni-tor
cells will provide new insights into
the pathogenesis of endometriosis.
CDK 2010; 37(4):269 - 273
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 248 4/28/2010 9:29:24 PM
6. TINJAUAN PUSTAKA
Penatalaksanaan Mual Muntah
yang Diinduksi Kemoterapi
| MEI - JUNI 2010 249
PENDAHULUAN
Kemoterapi, seperti halnya de-ngan
modalitas lain, mempunyai efek
samping. Efek samping terjadi karena
perubahan pada sel-sel normal. Ke-banyakan
komplikasi dapat diantisi-pasi
dan menurut beberapa ahli, be-berapa
di antaranya dapat dicegah1.
Kompikasi mielosupresi, mual mun-tah,
stomatitis dan alopesia adalah
beberapa komplikasi kemoterapi yang
sering diobservasi. Mual dan muntah,
stomatitis merupakan efek samping
kemoterapi yang sering terjadi.2,3 Ber-kat
perkembangan obat anti-emetik
maka penatalaksanaan mual muntah
yang diinduksi kemoterapi ini semakin
maju.1
Muntah tidak hanya mempengar-uhi
kualitas hidup, tetapi dapat me-nyebabkan
penolakan pengobatan
antineoplastik. Selain itu, muntah yang
tidak terkendali dapat menyebabkan
dehidrasi, ketidakseimbangan metab-olisme
mencolok, dan pengurangan
masukan zat makanan. Hal ini yang
menjadikan penatalaksanaan mual-muntah
akibat kemoterapi harus ber-jalan
efektif.
Mual dan muntah dapat terjadi secara
terpisah namun kebanyakan gejala ini
merupakan kesatuan dan diasumsikan
terjadi dalam jalur neural yang sama.3
Muntah biasanya mengikuti perasaan
mual namun tidak selalu. Muntah yang
berkaitan dengan proses peninggian
intrakranial misalnya, tidak diawali
dengan mual dan biasanya muntah
secara proyektil.4
Secara klinis, kadang-kadang sulit
dibedakan antara muntah, refl uks gas-troesofageal
(RGE), dan regurgitasi.
Sesuai defi nisi, muntah merupakan
proses dikeluarkannya isi lambung
melalui mulut secara ekspulsif. Usaha
mengeluarkan isi lambung akan terli-hat
sebagai kontraksi otot perut. Se-dangkan
RGE didefi nisikan sebagai
kembalinya isi lambung ke dalam es-ofagus
tanpa terlihat ada usaha dari
penderita. Apabila bahan dari lam-bung
tersebut dikeluarkan melalui
mulut maka keadaan ini disebut seba-gai
regurgitasi.5
Mual Dan Muntah yang Diinduksi
Oleh Kemoterapi
Mual dan muntah yang diinduksi oleh
kemoterapi (chemotherapy-induced
nausea and vomiting atau CINV), se-cara
potensial adalah kondisi yang
paling berat dan sangat tidak menye-nangkan
pasien. Dalam sebuah survei
terhadap pasien kanker di Amerika
Serikat pada tahun 1983, ditemukan
bahwa mual-muntah akibat kemo-terapi
merupakan pengalaman paling
berat yang mereka rasakan selama
menjalani terapi kanker.6
Mual dan muntah yang disebabkan
obat-obat kemoterapi memerlukan
penatalaksanaan yang sama efektifnya
dengan mual muntah akibat lainnya.
Dalam kepustakaan dikatakan hampir
70 - 80% pasien yang diberi kemote-rapi
mengalami mual dan muntah. Ber-bagai
faktor mempengaruhi insidens
M. Adi Firmansyah
PPDS Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta
ABSTRAK
Kemoterapi sebagai salah satu modalitas terapi dalam tatalaksana keganasan sering menimbulkan efek samping mual
muntah. Mual muntah yang diinduksi kemoterapi (chemotherapy-induced-nausea and vomiting – CINV) merupakan
pengalaman yang sangat tidak menyenangkan bagi pasien selama menjalani terapi kanker. Hal ini dapat menyebabkan
penolakan pengobatan antineoplastik yang berpotensi menghambat penyembuhan selain dapat berdampak dehidrasi,
ketidakseimbangan metabolisme yang mencolok, dan pengurangan asupan zat makanan. Hal inilah yang menjadi-kan
penatalaksanaan mual-muntah akibat kemoterapi harus efektif. Pemberian terapi antiemetik didasarkan pada tipe
mual muntah akibat kemoterapi itu sendiri, dan umumnya menggunakan golongan antagonis reseptor serotonin tipe-3
(5-HT3).
Kata Kunci: mual muntah yang diinduksi kemoterapi, kualitas hidup pasien, antagonis reseptor serotonin tipe-3
(5-HT3).
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 249 4/26/2010 8:34:13 PM
7. dan beratnya muntah karena kemo-terapi,
termasuk jenis obat kemotera-pi,
dosis, cara, dan jadual pemberian,
dan variabel pasien (misalnya 10 sam-pai
40% pasien mengalami mual atau
muntah dalam antisipasi kemoterapi
mereka [anticipatory vomiting]).7
Muntah tidak hanya mempenga-ruhi
kualitas hidup, tetapi dapat me-nyebabkan
penolakan pengobatan
antineoplastik. Selain itu, muntah yang
tidak terkendali dapat menyebabkan
dehidrasi, ketidakseimbangan me-tabolisme
yang mencolok, dan pen-gurangan
masukan zat makanan. Hal
ini yang menjadikan penatalaksanaan
mual-muntah akibat kemoterapi harus
berjalan efektif.
Kemajuan signifi kan telah mendapat-kan
obat-obat antiemetik yang efektif
dan bertoleransi baik. Tetapi, pada
survei terhadap pasien kanker pada
tahun 1993 setelah generasi terbaru
obat antiemetik yang efektif (golon-gan
antagonis reseptor serotonin
tipe-3) luas digunakan, mual-muntah
masih menjadi salah satu efek samp-ing
yang penting dalam penatalaksan-aan
kemoterapi.6
Tujuan penatalakanaan CINV adalah
untuk secara sempurna mencegah
CINV itu sendiri. Dan penatalaksanaan
yang baik, tentu saja berdasarkan atas
pemahaman patofi siologi mual-mun-tah
dan mekanisme obat kemoterapi
dalam menginduksi mual-muntah.6
Tipe Mual-Muntah akibat Kemo-terapi
Secara garis besar, didasarkan pada
onsetnya, terdapat 3 (tiga) tipe mual-muntah
yang diinduksi kemoterapi
(CINV), yaitu 2,7:
1. CINV Akut (acute nausea and
vomiting)
CINV akut didefi nisikan sebagai mual-muntah
yang terjadi dalam 24 jam
setelah pasien mendapat kemoterapi.
Pada pasien yang tidak mendapat
profi laksis, keadaan ini dapat terjadi
dalam satu sampai dua jam setelah
kemoterapi, dengan insiden puncak
rata-rata pada empat sampai enam
jam pertama.
2. CINV Lambat (delayed nausea
and vomiting)
CINV disebut onset lambat bila mual-muntah
terjadi setelah 24 jam set-elah
kemoterapi. Sering terjadi pada
pemberian cisplatin dosis tinggi. Jika
pasien tidak mendapat terapi profi lak-sis,
biasanya keadaan ini terjadi sekitar
48 sampai 72 jam setelah kemoterapi
diberikan, dan berkurang secara ber-tahap
setelah 2 sampai 3 hari sesudah-nya.
Meskipun dibandingkan dengan
episode akut, kekerapan episode lam-bat
ini lebih rendah, namun episode ini
kurang dapat diatasi dengan baik oleh
obat-obat antiemetik yang ada bila
dibandingkan dengan episode akut.
Episode ini, selain akibat pemberian
terapi sisplatin, dapat juga oleh karbo-platin,
siklofosfamid, dan antrasiklin.3
3. CINV Antisipasi (anticipatory
nausea and vomiting)
Kondisi ini adalah sebuah kondisi re-spon
pasien yang pernah mengalami
mual-muntah selama siklus kemotera-pi
sebelumnya. Pemberian antiemetik
selama siklus awal kemoterapi me-nyebabkan
kondisi ini tidak lagi men-jadi
masalah signifi kan.
Tipe-tipe CINV ini mempengaruhi ren-cana
penatalaksanaan selanjutnya.
OBAT KEMOTERAPI
Telah diketahui beberapa obat kemo-terapi
yang spesifi k dapat mengin-duksi
mual dan muntah pada pasien
kanker. Berdasarkan potensinya da-lam
menyebabkan mual dan muntah,
obat-obat tersebut dibagi menjadi
beberapa kategori yakni 2,7:
a. Potensial emetik kuat (high
emetogenic potential)
Yang termasuk dalam kategori ini ada-lah
sisplatin (dosis ≥ 50 mg/m2), met-kloretamin,
streptozocin, dakarbazin,
karmustin (dosis > 250 mg/m2), sik-lofosfamid
250 | MEI - JUNI 2010
(dosis >1500 mg/m2) dan
daktinomisin.
b. Potensial kuat-sedang (moder-ate-
high emetogenic potential)
Yang termasuk dalam kategori ini
adalah sisplatin (dosis < 50 mg/m2),
sitarabin (dosis > 1000 mg/m2), dok-sorubisin
(dosis ≥ 60 mg/m2), karmus-tin
(dosis ≤ 250 mg/m2), siklofosfamid
(dosis ≤ 1500 mg/m2), karboplatin, dan
epirubisin (dosis ≥ 90 mg/m2).
3. Potensial sedang-lemah (low-moderate
emetogenic potential)
Yang termasuk dalam kategori ini ada-lah
topotekan, irinotekan, prokarba-zin,
paklitaksel, tenoposid, mitomisin,
fl orourasil (dosis < 1000 mg/m2) dan
metotreksat (dosis 50 - 250 mg/m2)
4. Potensial lemah (low emetogen-ic
potential)
Yang termasuk ke dalam kategori ini
adalah bleomisin, fl udarabin, hidrok-siurea,
metotreksat (dosis ≤ 50 mg/m2),
vinkristin, vinblastin, dan etoposid.
Patofi siologi Mual dan Muntah
akibat Kemoterapi
Daerah yang berperan dalam proses
mual dan muntah adalah pusat mun-tah
yang terletak di formasio lentiku-lar
lateral dari medula oblongata dan
daerah pemicu kemoreseptor (CTZ)
yang terletak di area postrema. Obat-obat
kemoterapi (atau metabolitnya)
dapat mengaktivasi langsung daerah
pemicu kemoreseptor atau di pusat
muntah. Beberapa reseptor di kedua
daerah tersebut, termasuk dopamin
tipe 2 (DA2) dan serotonin tipe 3 (5-HT3)
berperan penting. Sering pula, warna
dan bau obat-obat kemoterapi (dan
bahkan rangsangan yang berhubun-gan
dengan kemoterapi, seperti tanda
di ruang pengobatan atau dokter atau
perawat yang memberi terapi) da-pat
mengaktivasi pusat muntah yang
lebih tinggi di pusat otak dan memicu
muntah. Obat-obat kemoterapi dapat
pula bekerja secara perifer, dengan
menyebabkan kerusakan sel di saluran
pencernaan, dan melepaskan sero-
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 250 4/26/2010 8:34:13 PM
8. tonin dari sel enterokromafi n mukosa
usus halus. Serotonin yang dilepaskan
akan mengaktifkan reseptor 5-HT3
pada saraf vagus dan serat aferen ner-vus
splanknikus yang kemudian mem-bawa
sinyal sensoris ke medula se-hingga
terjadi respons muntah.2,6,7
Obat-obat Antimuntah untuk Mual-muntah
akibat kemoterapi
Mengingat rumitnya mekanisme yang
terlibat dalam proses muntah, tidak
mengherankan bila obat-obat antie-metik
hadir dalam berbagai kelas dan
rentang aktivitas. Tidak semua kelas
obat antiemetik, efektif mengendali-kan
mual dan muntah yang disebab-kan
kemoterapi.
Kategori utama obat-obat yang di-gunakan
untuk mengendalikan mual
muntah akibat kemoterapi mencakup:
2,7
1. Fenotiazin
Kelompok pertama obat-obat yang
efektif sebagai obat antimuntah, feno-tiazin,
misalnya proklorperazin, bek-erja
menghambat reseptor dopamin.
Obat kelompok ini efektif terhadap
efek muntah ringan sampai sedang
dari obat-obat kemoterapi. Walau-pun
meningkatkan dosis memperbaiki
aktivitas antiemetik, efek samping,
termasuk hipotensi dan kegelisahan,
merupakan hambatan. Efek samping
lain yang sering timbul adalah gejala
ekstrapiramidal dan sedasi.
2. Pengganti Benzamid
Satu di antaranya, metoklopramid san-gat
efektif pada dosis tinggi terhadap
obat penyebab muntah yang kuat (mis-alnya
sisplatin). Obat ini dapat mence-gah
muntah pada 30 - 40% pasien dan
mengurangi muntah pada sebagian
besar pasien. Namun mengingat dosis
efektifnya cukup tinggi, efek samping
perlu diperhatikan, misalnya sedasi,
diare, gejala ekstrapiramidal. Efek
samping ini membatasi penggunaan
dosis besar dan paling sering timbul
pada pasien-pasien muda.
3. Butirofenon
Contoh kelompok ini adalah halo-peridol,
droperidol, dan domperi-don;
bekerja menghambat reseptor
dopamin (antagonis D2). Butirofenon
merupakan obat antimuntah dengan
efektivitas sedang; dosis tinggi halo-peridol
hampir sama efektif dengan
metoklopramid dosis tinggi dalam
mencegah muntah yang disebabkan
sisplatin. Efek samping yang sering
timbul adalah kram perut.
4. Benzodiazepin
Potensi antimuntah lorazepam dan
alprazolam rendah. Efeknya mungkin
disebabkan dari efek sedasi, ansioli-tik,
dan amnesiknya. Sifat-sifat ini yang
mendasari penggunaan kelompok ini
dalam mengobati muntah tipe antisi-patori.
5. Kortikosteroid
Deksametason dan metilprednisolon
yang digunakan tunggal efektif untuk
kemoterapi penyebab muntah yang
ringan sampai sedang. Mekanisme
efek antimuntahnya tidak diketahui
pasti, tetapi diduga melibatkan peng-hambatan
prostaglandin. Obat-obat
ini dapat menyebabkan insomnia dan
hiperglikemia pada pasien diabetes
melitus.
6. Kanabinoid
Derivat mariyuana, termasuk dron-abinol
dan nabilon, efektif terhadap
kemoterapi penyebab muntah yang
sedang. Namun, kelompok ini jarang
menjadi obat antimuntah pilihan per-tama
mengingat efek sampingnya
yang serius, termasuk disforia, halusi-nasi,
sedasi, vertigo, dan disorientasi.
Meskipun memiliki sifat-sifat psikotro-pik,
namun efek antimuntah kanabioid
tidak melibatkan otak. Kanabinoid sin-tetik
tidak memiliki aktivitas psikotro-pik,
namun merupakan antimuntah.
7. Antagonis reseptor serotonin
tipe 3 (5-HT3)
Antagonis spesifi k reseptor 5-HT3,
ondansetron dan granisetron meng-hambat
252 | MEI - JUNI 2010
reseptor 5-HT3 di perifer se-cara
selektif (serat aferen viseral) dan
di otak (zona pemicu kemoreseptor).
Obat-obat ini dapat diberikan seba-gai
obat tunggal sebelum kemoterapi
(intravena atau per oral) dan efektif
terhadap semua tingkatan terapi pe-nyebab
muntah. Salah satu percobaan
melaporkan kedua obat ini mencegah
muntah pada 50-60% pasien yang
diobati dengan sisplatin.6 Ondanse-tron
juga disetujui untuk mencegah
mual dan/atau muntah pasca operasi.
Dalam sebuah penelitian uji klinik di
Amerika Serikat, generasi terbaru go-longan
ini, palonosetron 3,9, terbukti
lebih efektif mengatasi dan mence-gah
mual muntah akibat kemoterapi
baik itu tipe akut maupun tipe lambat
dibandingkan dengan ondansetron
dan granisetron. Efek samping yang
sering dijumpai dari obat-obat ini ada-lah
nyeri kepala. Satu hal yang patut
menjadi pertimbangan, obat golo-ngan
ini sangat mahal.
8. Obat-obat kombinasi
Obat-obat antimuntah sering dikom-binasi
dengan tujuan meningkatkan
efektivitas dan menurunkan toksisi-tas.
Kortikosteroid, paling sering
deksametason, meningkatkan aktivi-tas
antimuntah bila diberikan bersama
metoklopramid dosis tinggi, antago-nis
reseptor 5-HT3, fenotiazin, butiro-fenon,
golongan kanabinoid atau go-longan
benzodiazepin. Antihistamin
seperti difenhidramin sering diberikan
dalam kobinasi dengan metoklopro-pamid
dosis tinggi untuk mengurangi
efek ekstrapiramidal, atau kortikoster-oid,
untuk mengatasi diare yang dise-babkan
oleh metoklopramid.
Secara garis besar, penatalaksanaan
dalam mengatasi mual muntah akibat
kemoterapi didasarkan juga pada tipe
mual muntah itu sendiri (tabel 1,2 dan
3). Antiemetik diberikan sebagai pro-fi
laksis, kira-kira 30 sampai 60 menit
sebelum pemberian obat kemotera-pi.
2
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 252 4/26/2010 8:34:13 PM
9. Tabel 1. Antiemetik pada Mual-muntah akibat Kemoterapi tipe Akut 2
Potensial emetogenik Antiemetik
Kuat / kuat–sedang Antagonis 5-HT3 + kortikosteroid
Sedang-lemah Antagonis 5-HT3 atau kortikosteroid atau antagonis dopamin
TINJAUAN PUSTAKA
| MEI - JUNI 2010 253
atau tanpa profi laksis
Lemah Tidak perlu profi laksis
Tabel 2. Antiemetik pada Mual-muntah akibat Kemoterapi tipe Lambat 2
Potensial emetogenik Antiemetik
Kuat / kuat-sedang Kortikosteroid (+ antagonis 5-HT3 atau antagonis dopamin)
Sedang-lemah/ lemah Tidak perlu profi laksis
Tabel 3. Antiemetik pada Mual-muntah akibat Kemoterapi dalam Kondisi Khusus 2
Kondisi khusus Antiemetik
Kemoterapi > 1 hari Seperti terapi pada tipe akut pada hari-hari pemberian
kemoterapi atau seperti tipe lambat, 1 sampai 2 hari setelah
pemberian kemoterapi.
Mual muntah refrakter Tambahkan antagonis dopamin pada antagonis 5-HT3 dan
kortikosteroid.
Mual muntah
antisipatori
Lorazepam atau golongan benzodiazepin lainnya.
Kemoterapi dosis tinggi Kortikosteroid, antagonis 5-HT3 dan antagonis dopamin dalam
dosis penuh secara intravena.
PENUTUP
Mual dan muntah merupakan salah
satu komplikasi yang sering terjadi
pada pasien yang mendapat kemotera-pi,
umumnya disebabkan oleh obat-obat
kemoterapi yang digunakan.
Kondisi ini dapat menjadi pengalaman
yang tidak menyenangkan bagi pasien
kemoterapi. Mengingat mual muntah
dapat menyebabkan dehidrasi dan
gangguan asupan zat makanan, serta
penolakan pasien terhadap pengoba-tan
antineoplastik maka penatalaksa-naan
mual-muntah akibat kemoterapi
harus efektif. Secara garis besar, tata-laksana
untuk mengatasi mual muntah
akibat kemoterapi didasarkan pada
tipe mual muntah itu. Meski kelas anti-muntah
beragam, tidak semua efektif
dalam mengendalikan mual dan mun-tah
yang disebabkan oleh kemoterapi.
Salah satu yang sering digunakan ada-lah
dari golongan antagonis reseptor
5-HT3 misalnya ondansetron.. Obat-obat
ini dapat diberikan sebagai obat
tunggal sebelum kemoterapi (intrave-na
atau per oral) dan efektif terhadap
semua tingkatan terapi penyebab
muntah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Makmun D. Pendekatan klinik mual dan muntah. In: Rani AA, Manan C, Djojoningrat D, Kolopaking MS, Makmun D, Abdullah M, et al., eds. Dispepsia: Sains dan
aplikasi klinik. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan; 2002. p. 71-9.
2. Gralla RJ, Osoba D, Kris MG. Recommendations for guidelines for the use of antiemetics: Evidence-based clinical practice guidelines. J Clin Oncol 1999; 17:
2971-2994.
3. Grote T, Hajdenberg J, Cartmell A. Palonosetron (PALO) plus aprepitant (APREP) and dexamethasone (DEX) for the prevention of chemotherapy-induced nausea
and vomiting (CINV) after emetogenic chemotherapy (CT). In: Proc. 40th Annual Meeting of the American Society of Clinical Oncology; 2004; New Orlands, LA;
2004.
4. Lindsay KW, Bone I, Callander R. Raised intracranial pressure. In: Neurology and Neurosurgery Illustrated. 3rd ed. London: Churchill Livingstone; 1997. p. 77.
5. Hegar B, Vandenplas Y. Gastroesophageal refl ux in infancy. J Pediatr Gastroenterol Nutr 1999(14):13-9.
6. Hesketh PJ. Pathophysiology and prediction of chemotherapy-induced emesis. In: UpToDate; 2003.
7. Brezenoff H, Giuliano R, Mycek MJ. Drugs used to control nausea chemotherapy-induced emesis. In: Harvey RA, Champe PC, eds. Lippincott’s illustrated re-views:
pharmacology. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 245-9.
8. Grunberg S, Vanden JB, Berry S. Prevention of delayed nausea and vomiting (D-CINV):carryover effect analysis of pooled data from 2 phase III studies of
palonosetron (PALO). In: Proc. 40th Annual Meeting of the American Society of Clinical Oncology; June 2004; New Orleans, LA; June 2004.
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 253 4/26/2010 8:34:13 PM
10. TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Hipermetilasi DNA pada Kanker
Putri Y. Suyanto, Ahmad R. Utomo, Ferry Sandra
PENDAHULUAN
Kanker merupakan proses yang me-libatkan
banyak faktor baik faktor ge-netik
maupun faktor lingkungan yang
multi-kompleks. Perubahan dari sel
normal menjadi sel kanker (proses
transformasi) diakibatkan oleh peruba-han
struktur/mutasi DNA, ekspresi/
transkripsi mRNA, dan fungsi protein
yang melibatkan beberapa gen. Gen
– gen pencetus kanker sebagai faktor
penting yang mengatur kondisi dalam
tubuh secara internal mulai dipelajari
mendalam. Kanker dapat dipicu oleh
ekspresi onkogen (gen pendukung
transformasi sel normal menjadi sel
kanker), atau tidak aktifnya gen yang
berperan sebagai penghalang atau
penekan pertumbuhan kanker (tu-mor
suppressor genes), serta kelainan
pada gen yang berperan pada perbai-kan
DNA (DNA repair genes)(1, 2).
METILASI DNA DAN EKSPRESI GEN
Sejumlah penelitian mulai mempela-jari
bahwa aktivasi dan inaktivasi gen
yang berperan dalam kanker, salah sa-tunya
akibat proses metilasi DNA pada
gen tersebut. Metilasi sebagai proses
epigenetik tidak mengubah sekuens
DNA bila dibandingkan dengan mu-tasi
yang menyebabkan terjadinya pe-rubahan
struktur DNA. Metilasi meru-pakan
salah satu modifi kasi pada DNA
dengan cara penambahan gugus metil
pada posisi ke -5 dari basa sitosin oleh
enzim DNA metiltransferase (DNMTs)
dengan menggunakan donor dari S-adenosil
M-metionin (SAM)(1). Proses
ini umumnya terjadi pada Sitosin (C)
dari CpG dinukleotida di daerah CpG
island. CpG nukleotida adalah untaian
pendek DNA yang banyak mengand-ung
basa sitosin (C) dan basa guanin
(G). Bila persentase CpG dinukleotida
lebih dari atau sama dengan 55 %
maka disebut sebagai CpG island.
Metilasi pada CpG island terjadi se-lama
fase embrionik dan akan dikon-trol
secara teliti setelah memasuki fase
pertumbuhan(3).
Ada kalanya, metilasi DNA juga ikut
berperan dalam mutasi di suatu untaian
DNA. Proses deaminasi menyebabkan
sitosin berubah menjadi urasil (C U).
Perubahan atau mutasi pada DNA ini
dapat diperbaiki oleh agen perbaikan
254 | MEI - JUNI 2010
DNA. Pada kasus metilasi DNA, sitosin
termetilasi (me5C) akan berubah men-jadi
timin (me5C T) dengan adanya
deaminasi. Mesin – mesin untuk per-baikan
DNA tidak dapat mengenali
timin sehingga secara tidak langsung
mutasi yang terjadi pada sekuen DNA
tersebut tidak dapat diperbaiki(1).
Hambatan ekspresi gen akan terjadi
bila metilasi terjadi di bagian promo-tor
gen tersebut. Metilasi yang ter-jadi
di daerah selain promotor tidak
akan menghentikan transkripsi gen
walaupun di daerah tersebut banyak
mengandung CpG Island. Inaktivasi
juga tidak terjadi secara langsung
akibat metilasi melainkan karena
adanya penempelan sejumlah protein
di bagian promotor gen tersebut(4, 5).
Pada sel yang normal, sebagian besar
daerah di sekitar CpG islands dimeti-lasi
sedangkan bagian CpG islands di
bagian promotor gen tidak dimetilasi
sehingga memungkinkan proses tran-skripsi
tetap berjalan. Pada sel kanker
terjadi hal yang sebaliknya, CpG is-lands
pada promotor gen dimetilasi
sehingga terjadi inaktivasi gen(1).
Cancer Division, Stem Cell and Cancer Institute,
Kalbe Pharmaceutical Company, Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
Studi berkelanjutan mengenai sejumlah gen yang diduga menjadi inaktif pada kanker membawa pemahaman baru
tentang konsep hipermetilasi yang terjadi pada promotor tumor suppressor genes seperti cyclin dependent kinase
inhibitor 2A (CDKN2A), E-cadherin (CDH1), human mismatch repair gene (MLH1), dan retinoblastoma1 (Rb1). Meti-lasi
merupakan salah satu proses epigenetik yang memungkinkan terjadinya perubahan ekspresi gen tanpa merubah
sekuens DNA sehingga DNA termetilasi dapat digunakan sebagai penanda kondisi dan tahap dari kanker dengan
gabungan pemeriksaan menggunakan teknik IHC. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hipermetilasi pada promo-tor
tumor suppressor genes berkorelasi dengan aggresivitas dan buruknya prognosis dari sejumlah kanker. Sejumlah
senyawa kimia agen demetilasi yang bekerja sebagai analogi nukleosida seperti 5-Azacytidine, 5-aza-2’-deoxycytidine,
dan Zebularin terbukti mampu menghambat enzim DNMTs dan mengaktivasi kembali gen – gen yang inaktif karena
hipermetilasi pada kanker.
Kata-kata kunci : hipermetilasi, kanker, inaktivasi, tumor suppressor gene
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 254 4/26/2010 8:34:13 PM
11. TINJAUAN PUSTAKA
| MEI - JUNI 2010 255
Hipermetilasi promotor DNA dan
Inaktivasi Tumor Suppressor Genes
pada Kanker
Metilasi DNA pada tumor suppres-sor
genes di sel normal dapat me-nyebabkan
transformasi sel ke arah
sifat malignant karena hilangnya sifat
alami untuk kontrol pertumbuhan. Se-jumlah
penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan mRNA dan biosintesis
protein DNMT1 dan DNMT3B pada
sejumlah tipe kanker berkorelasi de-ngan
hipermetilasi CpG Island yang
berlokasi pada bagian promotor dari
beberapa tumor suppressor genes
seperti cyclin dependent kinase inhibi-tor
2A (CDKN2A), E-cadherin (CDH1),
human mismatch repair gene (MLH1),
dan retinoblastoma1 (Rb1)(6). Over-ekspresi
DNMT1 dan DNMT3B pada
kanker payudara di manusia berkore-lasi
dengan peningkatan aggresivitas
dari kanker payudara (7). Mekanisme
inaktivasi tumor suppressor genes
yang dikenal dengan Knudson’s two-hit
hypothesis menyatakan bahwa
tidak berfungsinya tumor suppressor
genes membutuhkan (1) fi rst hit de-ngan
hilangnya fungsi gen tersebut
di salah satu kopi kromosom melalui
mutasi yang diturunkan (hereditary,
or germline mutation), (2) second hit
dengan hilangnya daerah kromosom
di sel somatik yang mengandung kopi
yang lain dari gen tersebut (Loss of
Heterozygosity or LOH) (1, 3). Dengan
ditemukannya proses metilasi di tu-mor
suppressor gene, maka metilasi
pun bisa menjadi faktor second hit.
Dengan demikian, syarat Knudson Hy-pothesis
terpenuhi dalam menginak-tivasi
gen tersebut, ketika salah satu
dari kopi kromosom sudah termutasi
atau sudah mengalami LOH.
Ada dua dugaan mekanisme peng-hambatan
transkripsi melalui metilasi
pada promotor DNA(1, 7). Mekanisme
pertama menyatakan bahwa metilasi
DNA menghambat secara langsung
melalui pengikatan faktor transkripsi
seperti AP-2, c-Myc, E2F dan NFkB
pada binding site dalam sekuen pro-motor.
Pada mekanisme ini, CpG Is-land
berada di dalam sekuen promo-tor.
Mekanisme represi yang kedua
menyatakan terjadi pengikatan pro-tein
spesifi k untuk metilasi DNA pada
m5CpG dinukleotida. Metilasi DNA
membutuhkan protein m5CpG-binding
(MeCP) dan m5CpG-binding domain
(MBD) yang akan menempel pada
DNA termetilasi dan akan mencegah
terjadinya transkripsi(7).
Sejumlah penelitian menunjukkan
bahwa hipermetilasi dan inaktivasi
transkripsi ditemukan pada 33 % kasus
kanker payudara, 60 % kanker prostat,
23 % sel karsinoma dari ginjal, dan 92
% cell line dari kanker kolon(8). Gen–
gen yang mengalami hipermetilasi
pada sejumlah kasus kanker dapat di-lihat
pada tabel 1.(6, 9, 10).
Hipermetilasi DNA dan Deteksi
Kanker
Besarnya peranan metilasi pada proses
gene silencing dari tumor suppressor
genes di berbagai kasus kanker mem-bawa
pada suatu pemikiran, bahwa
terjadinya metilasi bisa digunakan un-tuk
mendeteksi kanker. Metilasi DNA
terjadi pada tahap awal dari pemben-tukan
kanker dan terlihat di berbagai
macam jaringan tumor. Metilasi DNA
sendiri digolongkan stabil secara
kimia dan relatif mudah didapat seba-gai
penanda kanker(1). Sumber metilasi
DNA dapat diperoleh dari serum yang
mengandung banyak DNA di samp-ing
dari hasil biopsi jaringan tumor.
Sejumlah sampel biologi yang men-gandung
DNA tumor seperti darah,
cairan tubuh, semen, urin, dan tinja
dari pasien dapat digunakan sebagai
sampel untuk analisis(6).
Analisis yang dilakukan untuk kanker
prostat, menunjukkan bahwa hiperme-tilasi
4 panel gen, GSTP1, RARβ, TIG1,
APC ditemukan berkorelasi 100% den-gan
kanker tersebut. Gabungan anali-sis
4 panel gen di atas dengan anali-sis
histologi memberikan ketepatan
97% untuk deteksi kasus adenocarci-noma
prostat jika dibandingkan den-gan
analisis histologi saja yang hanya
memberikan ketepatan 64% (6, 11).
Metilasi DNA yang diambil dari sekret
vagina dapat digunakan untuk deteksi
kanker endometrium(6). Deteksi 3 gen,
DAPK1, RARβ, TWIST1 dari sampel
cervical neoplasia memberikan spesi-fi
sitas hingga 95% bergantung pada
tahapan tumornya (74% untuk kanker
invasif, dan 52% untuk cervical intra-ephitelial
neoplasia dan carcinoma in
situ (6, 12).
Hipermetilasi dapat dijumpai pada ta-hap
awal kasus kanker payudara tetapi
tidak dijumpai pada tahap kanker
payudara jinak dan pada payudara nor-mal.
Gen DAPK, APC, dan RASSF1A
ditemukan pada 94 % kasus tumor
payudara dan 76 % berkorelasi dengan
sampel dari DNA serum (6, 13, 14).
Kasus hipermetilasi berhubungan da-lam
prognosis beberapa penyakit mi-salnya
metilasi E-cadherin berhubun-gan
dengan disease free survival (DFS)
kanker lambung dan carcinoma lidah
nodul positif (6, 15). Protein E-cadherin
berperan dalam perlekatan sel epitel,
hipermetilasi gen ini memacu pada
pembentukan tumor dan resiko me-tastasis.
Hipermetilasi gen ATM yang
berperan untuk perbaikan DNA ber-korelasi
dengan peningkatan radio-sensitivitas
pada cell line tumor col-orectal
(6).
AGEN DEMETILASI DNA
Inhibitor metilasi DNA dapat digo-longkan
menjadi tiga golongan be-sar
berdasarkan mekanisme kerjanya
untuk menghambat enzim DNMT
yaitu analogi nukleosida, analogi non
nukleosida, dan antisense oligonuk-leosida.
Analogi nukleosida misalnya
5-Azacytidine, 5-aza-2’-deoxycytidine,
dan Zebularin, sedangkan analogi non
nukleosida seperti Procainamine dan
Procain(16). Golongan analogi nukleo-sida
lebih dulu dikembangkan sehing-ga
lebih banyak diteliti dibandingkan
dengan golongan analogi non nukle-osida.
Mekanisme kerja secara detail
golongan analogi non nukleosida be-lum
banyak diketahui pasti(17).
Agen demetilasi 5-Azacytidine dan
5-aza-2’-deoxycytidine dalam dosis
rendah tidak menghambat prolif-erasi
sel tetapi mampu menghambat
DNMT. 5-Azacytidine dan 5-aza-2-
’-deoxycytidine telah disetujui peng-gunaannya
oleh FDA untuk pengo-
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 255 4/26/2010 8:34:14 PM
12. TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 1. Gen – gen yang umumnya termetilasi pada kanker di manusia dan peranannya dalam pembentukan tumor(6, 9, 10).
Gen Peranan dalam Pembentukan Tumor Jenis Tumor
APC Proliferasi sel, migrasi sel, reorganisasi sitoskeletal, stabilitas kromosom
| MEI - JUNI 2010 257
yang tidak terkontrol
Payudara
Paru - paru
Esophageal
BRCA1 Gangguan perbaikan DNA dan aktivasi transkripsi Payudara
Ovarium
CDKN2A/p16 Menghambat proliferasi sel Gastrointestinal
Kepala dan leher
Non-Hodgkin lymphoma
Paru - paru
DAPK1 Menghambat apoptosis Paru - paru
E-cadherin Meningkatkan proliferasi, invasi dan metastasis Payudara
Tiroid
Lambung
ER Resistensi untuk estrogen Payudara
Prostat
GSTP1 Hilangnya kemampuan detoksifi kasi metabolit dari bahan - bahan
karsinogen
Prostat
Payudara
Renal
hMLH1 Gangguan perbaikan DNA dan mutasi gen Kolon
Lambung
Endometrium
Ovarium
MGMT Gangguan perbaikan DNA dan resistensi obat Paru - paru
Otak
p15 Proliferasi sel yang tidak terkendali Leukemia
Lymphoma
Sel karsinoma squamosa paru - paru
RASSF1A Hilangnya regulator negatif untuk kontrol proliferasi sel melalui fase G1-S Paru - paru
Ovarium
Ginjal
Nasofaring
Rb Kegagalan menghambat transkripsi gen - gen untuk replikasi DNA dan
pembelahan sel
Retinoblastoma
VHL Gangguan stabilitas RNA melalui degradasi RNA yang berikatan protein Renal
Keterangan: APC, adenomatous polyposis coli; BRCA1, breast cancer 1; CDKN2A/p16, cyclin dependent kinase 2A; DAPK1, death associated protein kinase 1; ER,
estrogen receptor; GSTP1, glutathione S-transferase P1; hMLH1, Mut L homologue 1; MGMT, O-6 methylguanine-DNA methyltransferase; RASSF1A, Ras association
domain family member 1; Rb,retinoblastoma; VHL, von Hippel-Lindau.
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 257 4/26/2010 8:34:17 PM
13. serta hanya mempengaruhi rata-rata
6 macam gen dari 13.300 gen yang
terdemetilasi dibandingkan pada sel
fi broblast normal(20).
DAFTAR PUSTAKA
1. Herman J, Baylin S. Gene silencing in cancer in
association with promoter hypermethylation.
N Engl J Med 2003;.349: 2042-2054.
2. Baylin S. DNA methylation and gene silencing
in cancer. Nat Clin Pract Oncol., 2005; 2: S4-
11,
3. Yang X, Yan L, Davidson N. DNA methylation
in breast cancer. Endocr Relat Cancer 2001; 8:
115-127,
4. Fiegl H, Millinger S, Goebel G, Muller-Holzner
E, Marth C, Laird PW, Widschwendter M.
Breast Cancer DNA Methylation Profi les in
Cancer Cells and Tumor Stroma: Association
with HER-2/neu Status in Primary Breast Can-cer.
Cancer Res. 2006; 66: 29-33,
5. Krueger KE, Srivastava S. Posttranslational
Protein Modifi cations: Current Implications for
Cancer Detection, Prevention, and Therapeu-tics.
Mol Cell Proteomics 2006;5: 1799-1810,
6. Paluszczak J, Baer-Dubowska W. Epigenetic
diagnostics of cancer--the application of DNA
methylation markers. J Appl Genet2006; 47:
365-375,
7. Luczak M, Jagodzinski P. The role of DNA
methylation in cancer development. Folia His-tochem
Cytobiol 2006; 44: 143-154,
8. Gilbert J, Gore S D, Herman JG, Carducci MA.
The Clinical Application of Targeting Cancer
through Histone Acetylation and Hypomethy-lation.
Clin Cancer Res 2004;10: 4589-4596.
9. Das PM, Singal R. DNA Methylation and Can-cer.
J Clin Oncol 2004; 22: 4632-4642,
10. Robertson K. DNA methylation, methyltrans-ferases,
and cancer. Oncogene 2001;20: 3139-
3155,
11. Tokumaru Y, Harden SV, Sun D.-I, Yamashita
K, Epstein JI, Sidransky D. Optimal Use of a
Panel of Methylation Markers with GSTP1 Hy-permethylation
in the Diagnosis of Prostate
Adenocarcinoma. Clin Cancer Res.2004;10:
5518-5522,
TINJAUAN PUSTAKA
258 | MEI - JUNI 2010
12. Feng Q, Balasubramanian A, Hawes SE, Toure
P, Sow PS, Dem A, Dembele B, Critchlow CW,
X, L, Lu H, McIntosh MW, Young AM, Kiviat
NB. Detection of Hypermethylated Genes in
Women with and Without Cervical Neoplasia.
J. Natl. Cancer Inst., 2005; 97: 273-282,
13. Dulaimi E, Hillinck J, de Caceres II, Al-Saleem
T, Cairns P. Tumor Suppressor Gene Promoter
Hypermethylation in Serum of Breast Cancer
Patients. Clin Cancer Res. 2004;10: 6189-6193
14. Hoque MO, Feng Q, Toure P, Dem A, Critch-low
CW, Hawes SE, Wood T, Jeronimo C,
Rosenbaum E, Stern J, Yu M, Trink B, Kiviat NB,
Sidransky D. Detection of Aberrant Methyla-tion
of Four Genes in Plasma DNA for the De-tection
of Breast Cancer. J Clin Oncol. 2006;24:
4262-4269,
15. Waki T, Tamura G, Tsuchiya T, Sato K, Nishi-zuka
S, Motoyama T. Promoter Methylation
Status of E-Cadherin, hMLH1, and p16 Genes
in Nonneoplastic Gastric Epithelia. Am J
Pathol.2002;161: 399-403.
16. Peedicayil J. Epigenetic therapy--a new devel-opment
in pharmacology. Indian J Med Res.,
2006;123: 17-24,
17. Issa J.-P. J. DNA Methylation as a Therapeu-tic
Target in Cancer. Clin Cancer Res. 2007;13:
1634-1637,
18. Dowell JE, Minna JD. Cancer Chemotherapy
Targeted at Reactivating the Expression of
Epigenetically Inactivated Genes. J Clin On-col.
2004; 22: 1353-1355,
19. Yoo CB, Cheng JC, Jones PA. Zebularine: a
new drug for epigenetic therapy. Biochem.
Soc. Trans.2004; 32: 910-912,
20. Cheng JC, Yoo CB, Weisenberger DJ, Chuang,
J, Wozniak C, Liang G, Marquez VE, Greer S.
Orntoft TF, Thykjaer T, Jones PA. Preferential
response of cancer cells to zebularine. Cancer
Cell 2004; 6: 151-158
batan neoplasma (myelodysplastic
syndrome). Limitasi dari analog nukle-osida
ini adalah memerlukan inkorpo-rasi
DNA dan sintesis DNA aktif, jadi
terbatas pada sel yang hipo-proliferasi
(termasuk yang berpotensial sebagai
cancer stem cell)(17), tidak stabil dalam
bentuk larutan dan harus diberikan
secara parenteral atau subkutan, serta
berefek samping myelosupresi (1), atau
menimbulkan efek hipometilasi pada
beberapa gen pertumbuhan(18). Secara
in vitro obat di atas terbukti mampu
mengurangi aktivitas DNMT1, DN-MT3A
dan DNMT3B pada konsentrasi
mikromolar dan menginduksi deme-tilasi
dari CDKN2A, RB1, MLH1, dan
tumor suppressor gene lainnya pada
sel kanker. 5-Azacytidine akan difos-forilasi
oleh uridin-sitidin nukleotida
kinase menjadi 5-Azacytidine difosfat
yang dapat direduksi oleh ribonukle-otida
reduktase menjadi 5-aza-deoxy-cytidine
difosfat yang akan inkorporasi
dengan DNA. 5-aza-deoxycytidine
nukleosida dari DNA membentuk ika-tan
kovalen dengan DNMT sehingga
terjadi inaktivasi enzim ini. Perlakuan
5-aza-deoxycytidine pada HCT116 sel
kanker kolon manusia menunjukkan
adanya penurunan aktivitas DNMT1
sehingga menginduksi ekspresi MLH1
dan menyebabkan penghentian per-tumbuhan
sel(7).
Zebularine merupakan alternatif ked-ua
setelah 5-Azacytidine dan 5-aza-
2’-deoxycytidine(19). Obat ini relatif
lebih stabil dan memiliki waktu paruh
kurang lebih 44 jam pada 37°C di PBS
pada pH 1.0 dan kurang lebih 508 jam
pada pH 7.0 sehingga memungkinkan
untuk dibuat sediaan oral. Penelitian
menunjukkan pemberian obat ini se-cara
oral pada nude mice yang ditrans-plan
dengan sel tumor manusia dapat
menyebabkan demetilasi dan reakti-vasi
gen p16. Zebularine juga memi-liki
efek sitotoksik yang lebih rendah
baik secara in vitro maupun in vivo.
Pemberian Zebularine sebagai terapi
lanjutan setelah 5-aza-deoxycytidine
dapat mencegah terjadinya remeti-lasi
DNA(19). Perlakuan Zebularine in
vitro pada sel kanker T24, HCT-15,
CFPAC-1, SW48, dan HT-29 menunjuk-kan
adanya penurunan level DNMT,
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 258 4/26/2010 8:34:17 PM
14. 10
400
350
300
250
200
150
100
50
0
TINJAUAN PUSTAKA
20 30 40 50 60 70 80 90
Pria
Wanita
Usia (tahun)
| MEI - JUNI 2010 259
PENDAHULUAN
Dehydroandrosterone (DHEA) dan
metabolit aktifnya, DHEA Sulfat
(DHEAS) adalah hormon endogen
yang sebagian besar disintesis dan
diekskresikan oleh zona retikularis ko-rteks
adrenal sebagai respon terhadap
hormon adrenokortikotropik. Mekan-isme
kerja dan peran klinis DHEA dan
DHEAS sesungguhnya masih belum
jelas. Data epidemiologis menunjuk-kan
adanya hubungan antara kadar
DHEA dan DHEAS dengan berkurang-nya
frekuensi kanker, penyakit kardio-vaskular,
peningkatan densitas tulang,
terapi lupus, perbaikan fungsi kognitif,
penurunan berat badan dan keuntung-an-
keuntungan lainnya.1, 2
Tidak dapat dipungkiri bahwa DHEA
adalah salah satu faktor yang paling
penting dalam diagnosis penyakit-penyakit
yang berhubungan dengan
usia (Ronald Klatz, presiden American
Academy of Anti-Aging Medicine).
Penggunaan DHEA sebagai terapi
anti penuaan menyebabkan DHEA
sebagai suplemen tersebar luas di
masyarakat. Banyak kegunaan terse-but
dapat dilihat pada percobaan he-wan,
namun masih harus dibuktikan
pada manusia.2, 3
SINTESIS DHEA
DHEA adalah hormon yang tertinggi
kadarnya di dalam tubuh. Sintesis
DHEA dan DHEAS pada wanita dapat
dikatakan hampir terjadi seluruhnya
di korteks adrenal, sedangkan pada
laki-laki, testis mensekresi sekitar 5 %
DHEAS dan 10-20 % DHEA. Jumlah
sangat kecil disintesis di otak. Kadar
DHEA dan DHEAS meningkat pesat
saat pubertas dan pada dewasa muda,
korteks adrenal mensekresikan sekitar
4 mg DHEA setiap hari hingga menca-pai
puncak pada usia 20-30 tahun, yaitu
sebesar 200-300 mikrogram/dl darah
untuk wanita dan 300-400 mikrogram/
dl darah untuk pria. Kadar tersebut ke-mudian
turun kurang lebih 2 % setiap
tahun, dan pada dekade ke delapan
atau ke sembilan, akan hanya tersisa
5-20% dari jumlah puncaknya. Peme-riksaan
standar untuk mengevaluasi
status DHEA adalah dengan meng-ukur
DHEAS. 2, 3, 4
Penggunaan DHEA
pada Tatalaksana Anti Penuaan
Monik Setijoso
Klinik Nirmala, Pasar Jumat, Jakarta Selatan, Indonesia
ABSTRAK
Dehydroepiandrosterone (DHEA) adalah hormon yang sebagian besar disintesis oleh zona retikularis korteks adrenal.
Kadar DHEA di dalam tubuh mencapai puncaknya pada usia dewasa muda. Selain fungsinya sebagai prekursor hormon
seks, penelitian-penelitian menunjukkan bahwa DHEA dapat memberikan berbagai keuntungan lainnya seperti perbai-kan
fungsi kognitif, peningkatan densitas tulang, penurunan risiko kardiovaskular, penurunan berat badan, dsb. Dengan
beragam keuntungannya, DHEA dipercaya dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari tatalaksana anti penuaan. DHEA
kini tersedia sebagai suplemen yang telah tersebar luas di masyarakat dan dapat dibeli bebas. Penelitian lebih lanjut
masih diperlukan untuk mengetahui efeknya, terutama pada penggunaan jangka panjang. Pengawasan oleh dokter
sangat dianjurkan saat mengkonsumsi suplemen DHEA.
Kata kunci: DHEA, anti penuaan, suplemen
mcg/100ml
Gambar 1. Grafi k produksi DHEA. Produksi DHEA di dalam tubuh mencapai kadar puncak pada usia 20-30
tahun, kemudian menurun. Pada dekade ke-8 dan ke-9 hanya tersisa 5-20% dari kadar puncaknya. 5
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 259 4/26/2010 8:34:18 PM
15. DHEA dapat dikonversi menjadi DHEAS
dan sebaliknya oleh sulfohydrolase di
jaringan perifer dan adrenal. 2
Sebenarnya pembentukan hormon
adrenal dimulai dengan kolesterol
yang membentuk pregnenolone.
Pregnenolone kemudian diubah men-jadi
DHEA. DHEA menjadi bahan
mentah untuk membentuk hormon-hormon
adrenal, termasuk hormon
seks estrogen, progesteron, dan tes-tosteron.
Sintesis DHEA dapat dilihat
pada Gambar 2.
pembuluh-pembuluh darah mikro dan
mengurangi faktor risiko penyakit kar-diovaskular,
seperti agregasi trombosit
dan iskemia. 2, 4
DHEA diduga berperan positif pada
modulasi sistem imun. Studi klinis
pada orang-orang lanjut usia menun-jukkan
dosis oral 50 mg/hari mening-katkan
kadar IGF-1 dan menyebabkan
aktivasi sel T. Kadar serum interleu-kin-
6 (suatu sitokin proinfl amasi yang
terlibat dalam proses patogenesis
osteoporosis, atherosklerosis, penya-aktif,
260 | MEI - JUNI 2010
termasuk androstenedione, tes-tosteron,
estron, estradiol dan estriol.
Waktu paruh eliminasi DHEA adalah
15-38 menit, sedangkan waktu paruh
DHEAS adalah 7-22 jam. Ekskresi oleh
ginjal mencakup 51-73% dari eliminasi
DHEAS dan metabolit-metabolitnya.2
Untuk memaksimalkan terapi, suple-men
dikonsumsi 20-30 menit sebelum
makan. Umumnya DHEA dikonsumsi di
pagi hari sesuai dengan produksi ala-miahnya
oleh korteks adrenal. DHEA
akan meningkatkan metabolisme, se-
Gambar 2. Sintesis DHEA 2
Keterangan. aro = aromatase, DOC = deoxycorticosterone, HSD = hydrosteroid dehydrogenase, HSO = hydrosteroid axidoreductase, HSS = hydrosteroid sul-fatase,
KSR = ketosteroid reductase, R = reductase, SH = sulfohydrolase, P-S = pregnenolone sulfate, THDOC = tetrahydrodeoxycorticosterone, THP = tetrahydro-progesterone
DHEA dan DHEAS berperan sebagai
prekursor hormon androgen (50 %)
pada pria dan estrogen pada wanita.
Selain itu, beberapa mekanisme kerja
DHEA dan DHEAS telah diajukan,
antara lain sebagai inhibitor sinte-sis
thromboxane A2, sebagai zat neu-rotropik
dan inhibitor interleukin-6. 2-6
DHEA dengan dosis oral 100-300
mg/hari pada manusia menghasil-kan
inhibisi sintesis thromboxane
A2 dan meningkatkan kadar serum
insulin-like growth factor (IGF-1). Efek
tersebut mengarahkan kemungkinan
bahwa DHEA dapat digunakan un-tuk
memperbaiki sirkulasi darah di
kit Alzheimer, dan sebagainya) men-ingkat
bermakna seiring dengan per-tambahan
umur. Namun DHEA dan
DHEAS dapat menghambat produksi
interleukin-6. 2-6
DHEA mempunyai pengaruh yang
sangat luas, akibatnya penurunan
produksi DHEA akan sangat berpen-garuh
terhadap semua sistem, semua
organ dan semua jaringan di dalam
tubuh. 2-6
FARMAKOKINETIK
Absorpsi DHEA secara oral sangat
baik. DHEA dan DHEAS akan dikon-versi
menjadi beberapa metabolit
hingga dapat meningkatkan zat-zat
radikal bebas dalam tubuh. Penggu-naan
anti-oksidan seperti alpha lipoic
acid, vitamin E dan teh hijau dapat
mensupresi radikal bebas tersebut. 4
Penggunaan DHEA dapat dibarengi
dengan pregnenolone, yaitu prekursor
DHEA. Dengan pemberian preg-nenolone,
tubuh akan memproduksi
lebih banyak DHEA. Diperlukan pe-mantauan
ketat (setiap beberapa
bulan) agar kadar DHEA dan preg-nenolone
berada dalam jumlah yang
diinginkan. Banyak hormon yang
mempunyai negative feedback, seper-ti
hormon kortisol dan hormon tiroid;
Cholesterol
P-450aro
SH
DHEA
DHEAS
Pregnenolone Progesteron
Glucocorticoid Mineralocorticoid
Androstenedione Testosterone
Androsterone Estradiol
Cortisol DOC
THP
PS
HSS
3β-HSD
17β-HSD
THDOC
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 260 4/26/2010 8:34:18 PM
16. tubuh akan mengurangi produksinya
jika kadar di dalam tubuh sudah terlalu
tinggi. Tidak demikian dengan DHEA.
Pemberian DHEA dan pregnenolone
tidak akan menyebabkan berkurang-nya
produksi hormon-hormon terse-but
oleh tubuh ataupun atrofi korteks
adrenal. 3
Produk DHEA dibuat dari diosgenin,
suatu ekstrak Mexican wild yam, dari
famili Dioscorea, semacam tumbuhan
talas. Di Jepang dikenal dengan sebu-tan
taro. Ahli biokimia dapat meng-konversi
diosgenin menjadi DHEA
melalui serangkain teknik kimiawi.
Banyak produk DHEA terbuat dari
produk yam yang telah diolah menjadi
kapsul, mengaku sebagai DHEA alam-i.
Namun, belum dapat dibuktikan bah-wa
tubuh manusia bisa mengubah dios-genin
menjadi DHEA. Perubahan terse-but
hanya terjadi di laboratorium. 3
Perlu diketahui bahwa suplemen
DHEA di pasaran belum mendapatkan
persetujuan dari Food and Drug Asso-ciation
(FDA) Amerika Serikat karena
produk tersebut dikategorikan seba-gai
suplemen, bukan obat. 3
STUDI KLINIS
Penelitian menegaskan bahwa kadar
DHEA rendah adalah tanda berbagai
penyakit degeneratif, seperti penyakit
Alzheimer, penyakit autoimun, kanker,
chronic fatigue syndrome, diabetes,
penyakit kardiovaskular, osteoporosis,
obesitas, gangguan stres. Banyak pe-nelitian
mendukung peran DHEA da-lam
anti penuaan. 2, 4
Meskipun kadar DHEA menurun
seiring dengan umur, tidak diketa-hui
apakah suplemen hormon dapat
membalikkan proses penuaan. Perco-baan-
percobaan hewan mendapatkan
bahwa binatang dengan suplemen
DHEA mempunyai rentang usia yang
lebih panjang. Namun sistem metabo-lisme
manusia yang berbeda belum ten-tu
akan menghasilkan hasil serupa. 2
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP
DAN FUNGSI KOGNITIF
Penelitian pertama pada manusia den-gan
kontrol plasebo dipublikasikan
pada tahun 1994 di Journal of Clini-cal
Endocrinology and Metabolism.
Penelitian itu mengevaluasi efek tera-peutik
DHEA replacement therapy.
Partisipan yang mengkonsumsi DHEA
menjadi lebih berenergi, tidur lebih
nyenyak dan mempunyai toleransi ter-hadap
stres yang lebih besar daripada
partisipan yang mengkonsumsi plase-bo.
Para peneliti menyimpulkan bah-wa
DHEA akan memperbaiki kualitas
hidup dan akan menunda efek-efek
tidak menyenangkan akibat penuaan,
seperti lelah dan kelemahan otot. 3
Evans, Malouf, Huppert dan Van
Niekerk mengumpulkan data dan
menganalisis lima penelitian menfaat
DHEA untuk gangguan fungsi kog-nitif
pada lansia. Hasilnya menunjuk-kan
tidak ada bukti cukup kuat untuk
menyatakan bahwa DHEA sungguh
bermanfaat untuk perbaikan fungsi
kognitif. 7
DHEA memberikan proteksi terhadap
efek peningkatan kadar hormon korti-sol
saat stres. Saat tubuh mengalami
stres, kelenjar adrenal akan menge-luarkan
kortisol dalam jumlah besar
yang justru dapat merusak jaringan
tubuh dan mempercepat proses pen-uaan.
Umumnya, mereka yang berusia
di atas 40 tahun mempunyai pening-katan
kortisol. Suplementasi DHEA
dapat mengurangi efek kortisol dan
meningkatkan toleransi terhadap
stres. 4
PENINGKATAN SISTEM IMUN
DHEA dapat meningkatkan produksi
antibodi dan memaksimalkan fungsi
limfosit sel T. Kemampuan DHEA
meningkatkan sistem imun sangat
berhubungan dengan potensinya un-tuk
melawan proses penuaan. Imuni-tas
yang meningkat akan juga men-ingkatkan
proteksi terhadap oksidasi
sehingga dapat memberikan proteksi
terhadap penyakit degeneratif. Se-gala
sesuatu yang dapat menguatkan
sistem imun juga dapat memperpan-jang
kehidupan. 4, 6
Salah satu peran DHEA yang signifi kan
adalah meningkatkan produksi insulin-like
growth factor-1 (IGF-1), molekul
262 | MEI - JUNI 2010
menyerupai hormon yang sering digu-nakan
untuk mengukur kadar human
growth hormone. 3, 4, 6
PENYAKIT KARDIOVASKULAR
Dosis DHEA oral 100-300mg/hari pada
manusia menyebabkan inhibisi sintesis
thromboxane A2, mengurangi plasma
plasminogen activator inhibitor type 1.
Efek-efek tersebut menunjukkan bah-wa
DHEA dapat memperbaiki pere-daran
darah dan mengurangi faktor
risiko penyakit kardiovaskular, seperti
agregasi platelet dan iskemia. 2, 3, 4, 6
Proses infl amasi kronik dikatakan
berkaitan dengan penyakit-penyakit
kardiovaskular, aterosklerosis dan Al-zheimer.
Efek DHEA dan DHEAS da-pat
menginhibisi produksi interleukin-6
yang terlibat dalam proses infl amasi. 2-6
PENINGKATAN DENSITAS TULANG
Pada percobaan Baulieu et al., 280
pria dan wanita sehat berusia 60 – 79
tahun diberi DHEA 50 mg/hari per oral
selama 12 bulan. Sedikit peningkatan
densitas tulang didapatkan pada kel-ompok
wanita di atas 70 tahun, tapi
tidak pada kelompok lainnya. 3
DHEA replacement therapy pada lan-sia
selama dua tahun ingin menilai
apakah suplementasi DHEA yang
dikombinasi dengan vitamin D dan
kalsium akan memperbaiki densitas
tulang pada lansia. Hasilnya menun-jukkan
suplementasi DHEA pada wan-ita
(tidak pada pria) memperbaiki den-sitas
tulang belakang jika dikombinasi
dengan vitamin D dan kalsium. 8
EFEK FISIK
Percobaan Morales et al. mengevalua-si
efek DHEA 100mg/hari per oral pada
16 subyek berusia 50-65 tahun. Kadar
DHEA, DHEAS, androstenedione, tes-tosterone
dan dihydrotestosterone
subyek tersebut pada batas minimum
(atau bahkan di bawahnya) kadar dew-asa
muda. Hasilnya, wanita mengalami
peningkatan kadar androstenedione,
testosterone dan dihydrotestosterone
tiga sampai lima kali lipat. Sedangkan
pada pria, hanya androstenedione
yang mengalami peningkatan. Pada
pria (tidak pada wanita), terjadi pen-
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 262 4/26/2010 8:34:20 PM
17. TINJAUAN PUSTAKA
| MEI - JUNI 2010 263
gurangan lemak tubuh sebanyak 6,1%
dan terdapat peningkatan kekuatan
sendi lutut dan tulang punggung.
Tidak ditemukan perubahan basal
metabolic rate, densitas tulang, kadar
glukosa, kortisol ataupun lipid, baik
pada pria maupun wanita. 3
Penelitian di Mayo Clinic menunjuk-kan
bahwa suplementasi DHEA tidak
memperbaiki komposisi tubuh, per-forma
fi sik, ataupun kualitas hidup.
Percobaan ini melibatkan 87 pria dan
57 wanita berusia 60 tahun yang mem-punyai
kadar DHEA rendah selama
dua tahun. Konsumsi suplemen DHEA
menaikkan kadar DHEA ke kadar nor-mal,
namun tidak mengubah massa
otot maupun pengukuran lainnya. 9, 10
Masalah utama pada penelitian atau
studi DHEA adalah bahwa hampir se-mua
penelitian tersebut melibatkan
partisipan dalam jumlah kecil. Peneli-tian
dengan partisipan dalam jumlah
yang lebih banyak dan dalam kurun
waktu yang lebih panjang diperlukan
untuk dapat mengevaluasi keamanan
DHEA, terutama dalam jangka lama. 2,
9, 10
DOSIS
Dosis individu sehat berusia lebih dari
40 tahun umumnya adalah 20-50 mg/
hari untuk pria dan 10-30 mg/hari un-tuk
wanita, per oral. Dosis tersebut
biasanya cukup untuk meningkatkan
kadar DHEAS serum mencapai kadar
pada dewasa muda 20-30 tahun, mem-berikan
efek peningkatan densitas tu-lang
pada wanita post menopasuse
dan peningkatan rasa well-being, ser-ta
meminimalkan efek samping yang
mungkin terjadi. Replacement therapy
biasanya diberikan di pagi hari. 2-4
Sebelum DHEA replacement therapy
dimulai, kadar DHEA serum harus di-periksa
terlebih dahulu, kemudian seb-ulan
sekali setelah terapi dimulai. Jika
kadar DHEA telah stabil dalam batas
yang diinginkan, tes dapat dilakukan
sekali setahun untuk menjaga agar ka-darnya
masih dalam batas normal. 3
Sebagian besar percobaan meng-gunakan
dosis maksimal 300mg/hari.
Tummala dan Svec menunjukkan
bahwa peningkatan kadar DHEA dan
DHEAS mencapai plateau pada dosis
oral 300mg/hari. Dosis yang lebih be-sar
tidak memberikan tambahan efek
terapeutik. 11
EFEK SAMPING
Efek samping yang telah dilaporkan
berupa peningkatan sebum di wajah,
dermatitis acneiform dan hirsutisme
pada wanita yang mengkonsumsi
DHEA 25-200mg/hari. Kondisi terse-but
akan hilang jika penggunaan
DHEA dihentikan atau dikurangi do-sisnya.
Efek jangka panjang belum
diketahui. 2, 3
KONTRAINDIKASI
Suplementasi DHEA dikontraindikasi-kan
pada pasien dengan riwayat
kanker yang responsif terhadap hor-mon
seks, seperti kanker payudara,
kanker ovarium, kanker endometrium
dan kanker prostat. Wanita dengan
riwayat kanker yang sensitif terhadap
estrogen atau pria dengan hipertrofi
prostat jinak atau riwayat keluarga har-us
hati-hati menggunakan suplemen
DHEA dan mempertimbangkan risiko
dan keuntungan yang didapat. Jika re-placement
therapy sangat diperlukan,
pemantauan ketat DHEAS dan metab-olitnya
harus dilakukan. Suplementasi
DHEA harus dihindari selama kehami-lan
dan menyusui. 2
Individu di bawah usia 35 tahun dan
individu dengan kadar DHEA nor-mal
tidak memerlukan suplementasi
DHEA. Kadar normal yang dimaksud
adalah kadar pada dewasa muda. 4
SIMPULAN
Data klinis menunjukkan bahwa DHEA
mempunyai peran dalam hormone
replacement therapy pasien den-gan
kadar DHEA dan DHEAS endo-gen
rendah; tetapi tidak sedikit yang
menunjukkan sebaliknya. Penelitian-penelitian
yang telah dilakukan belum
cukup memadai untuk membuktikan
apakah suplementasi DHEA dapat di-gunakan
dalam tatalaksana anti penu-aan.
Sebagai prekursor hormon seks
yang poten, DHEA diduga dapat se-cara
bermakna mempertinggi risiko
dan progresivitas kanker yang sensitif
terhadap estrogen dan testosteron.
Suplemen DHEA sebaiknya dikon-sumsi
secara hati-hati di bawah pen-gawasan
dokter.
DAFTAR PUSTAKA
1. Eustice R. Eustice C. What is DHEA? New York:
The New York Times 2006 [cited 2009 Jul 8].
Available from: http://www.arthritis.about.
com/.
2. Pepping J. DHEA: Dehydroepiandrosterone.
Am J of Health-System Pharmacy. 2000 Nov
[cited 2009 Jul 8]. Available from: http://www.
medscape.com/.
3. Smith JT. Renewal: The Anti Aging Revolution.
2nd ed. New York: St Martin’s Press. 1998: 426-
43
4. DHEA: Dehydroandrosterone, A Dietary Sup-plement.
New Spirit Naturals [updated 2009
Feb 27; cited 2009 Jul2]. Available from: http://
www.naturalways.com/.
5. Stewart PM. Aging and Fountain-of-Youth
Hormones. N Engl J Med. 2006 Oct; 355(16):
1724.
6. Klatz R, Goldman R. The Offi cial Anti Aging
Revolution. 4th ed. California: Basic Health
Publications; 2007: 87-102.
7. Grimley EJ, Huppert FA, Van Niekerk JK, Her-bert
J. Dehydroepiandrosterone (DHEA) sup-plementation
for cognitive function in healthy
elderly people. Freiburg: The Cochrane Col-laboration;
from 2008 [cited 2009 June 20].
Available from: http://www.cochrane.org/.
8. Weiss E. Et al. Dehydroepiandrosterone re-placement
therapy in older adults: 1- and 2- y
effects on bone. Am J of Clin Nutrition. 2009;
89: 1459-67
9. Stibich M. Does DHEA Slow Aging? New York:
The New York Times Comp; from 2008 [cited
2009 Jul 10]. Available from: http://www.about.
com/.
10. Sreekumaran K. et al. DHEA in Elderly Women
and DHEA or Testosterone in Elderly Men. N
Engl J Med. 2006; 355(16): 1647-59
11. Tummala S, Svec F. Correlation between the
Administered Dose of DHEA and Serum Lev-els
of DHEA and DHEAS in Human Volunteers:
analysis of published data. Clin Biochem. 1999;
32(5): 355-61
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 263 4/26/2010 8:34:21 PM
18. Terapi Sulih DHEA
sebagai Metode Anti Penuaan
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya,
Dehidroepiandrosteron (DHEA) dan Dehidroepiandrosteron Sulfat (DHEAS) merupakan hormon yang sebenarnya
diproduksi secara alami di tubuh manusia. Kadar DHEA dalam tubuh mencapai puncaknya pada saat lahir dan pada usia
20-24 tahun, kemudian menurun sebanyak 2-3% per tahun setelahnya. Berkurangnya hormon ini akan menyebabkan
penurunan beberapa fungsi tubuh. Karena berpotensi besar sebagai salah satu metode anti penuaan, DHEA banyak
dipelajari efektivitasnya pada manusia.
Karya tulis ini berbentuk tinjauan pustaka, bertujuan mempelajari manfaat terapi sulih DHEA. Pada beberapa penelitian,
DHEA terbukti dapat meningkatkan kadar testosteron dan estradiol, meningkatkan Bone Mineral Density (BMD) be-berapa
tulang tertentu dan mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas. Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan
hasil berbeda, antara lain bahwa DHEA tidak berpengaruh terhadap hormon insulin, tidak dapat meningkatkan massa
dan kekuatan otot, dan tidak mempengaruhi komposisi lemak tubuh. Kesimpulan kami, terapi sulih DHEA bermanfaat
mencegah penuaan dalam meningkatkan kualitas tulang. Namun, masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan
waktu penelitian yang cukup panjang.
Kata kunci: DHEA, terapi sulih DHEA, anti penuaan.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini populasi lanjut usia makin
bertambah. Penduduk lansia di In-donesia
berjumlah 15,8 juta jiwa atau
sekitar 7,25% dari seluruh penduduk
Indonesia (2005).1 Umur harapan hidup
(UHH) manusia pun makin meningkat,
UHH manusia di Indonesia pada tahun
2006 adalah sekitar 69,4 tahun dan
meningkat menjadi 70,6 tahun pada
tahun 2009.4 Seiring bertambahnya
usia, manusia mengalami penurunan
fungsi normal organ dan sistem or-gan,
dan beberapa penyakit dege-naratif
seperti kanker, Alzheimer dan
sebagainya makin sering ditemui.2,3
Walaupun UHH makin tinggi, jika
tidak dibarengi dengan kualitas hidup
yang tinggi pula, banyak orang pada
Sem Samuel Surja, Victor Nugroho Wijaya
Jakarta, Indonesia
ABSTRAK
usia tuanya akan mengalami banyak
penderitaan dan tidak lagi menikmati
hidupnya.5
Sampai saat ini beragam metode
anti penuaan telah dikembangkan, di
antaranya memperbaiki gaya hidup,
mencegah stres, membasmi polusi,
sampai pengembangan berbagai
macam suplemen anti penuaan. Salah
satu metode yang sedang marak
diteliti adalah terapi sulih hormon.
Terapi sulih hormon bekerja mem-perbaiki
fungsi tubuh yang menurun
akibat penurunan produksi hormon
saat penuaan. Tetapi penelitian DHEA
terutama pada manusia belum ban-yak
dilakukan. Manfaat DHEA dalam
memperbaiki kualitas hidup pada usia
tua pun masih dipertanyakan.
264 | MEI - JUNI 2010
Tujuan
Tujuan penulisan adalah untuk menge-tahui
efek terapi sulih DHEA yang
berkaitan dengan anti penuaan pada
beberapa sistem organ manusia dan
kelemahan-kelemahannya.
DHEA
DHEA (dehidroepiandrosteron) meru-pakan
steroid yang dibentuk di ko-rteks
adrenal. DHEA dan bentuk sul-fatnya
dehidroepiandrosteron sulfat
(DHEAS) merupakan prekursor andro-gen
dan diproduksi di zona fasikulata
dan retikularis korteks adrenal.6 Selain
itu, ada indikasi DHEA juga disintesis
di otak dan berperan dalam fungsi dan
perkembangan otak.7 Metabolisme
DHEA terangkum dalam gambar 1.
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 264 4/26/2010 8:34:21 PM
19. 3β-HSD
DHEA berperan sebagai pro hormon
steroid seks. DHEA mengimbangi efek
glukokortikoid.12 Di samping itu, peran
fi siologis DHEA dan DHEAS juga ter-gantung
pada hasil transformasi DHEA
dan DHEAS, yakni testosteron dan
estradiol.13 DHEA juga berperan da-lam
penghambatan glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD), jalur pentose
shunt, ornithine decarboxylase, atau
blokade K-channel dan juga beberapa
sitokin. DHEA bersifat hipolipidemik,
berhubungan dengan kadar koles-terol
khususnya low-density lipopro-tein
(LDL).12 Dalam hal imunitas tubuh,
DHEA dapat meningkatkan produksi
interleukin-2 (IL-2) dan fungsi efektor
sel limfosit T; berarti DHEA berperan
dalam regulasi fi siologis respon imun
TINJAUAN PUSTAKA
| MEI - JUNI 2010 265
17β-HSD
Androstenedione Testosterone
Androstarone
Glucocorticoids
Mineralocorticoids
Progesterone
Cholesterol
17,20-Desmolase Pregnenolone (P)
Cortisol DOC
DHEA
DHEAS
HSS
SH HSS
SH
P-S
5 α-R 5 α-R
5 α-R
5 α-R
3α-HSD
3α-HSO
3α5α-THP
3α5α-THP
P-450α
P-450α
Estradiol
17-KSR
17β-HSD
3β-HSD
3β-HSD
THDOC
Gambar 1. Metabolisme DHEA8
Age (years)
DHEA dan DHEAS dapat mengalami
interkonversi secara metabolik oleh
enzim phosphoadenosine-phospho-sulfate-
Secara umum, saat usia 20-35 tahun,
kadar DHEA dan DHEAS pada pria
10-20% lebih besar daripada wanita.2
Pada dewasa muda, sekresi DHEA ± 4
mg/hari, sedangkan sekresi DHEAS ±
25 mg/hari.3
Konsentrasi DHEAS mencapai puncak
saat fetus, saat lahir konsentrasinya
menurun cepat. Pada usia sekitar enam
tahun, konsentrasi DHEAS meningkat
kembali, disebut adrenarche, menca-pai
puncaknya pada usia 20-30 tahun,
kemudian akan turun seiring dengan
bertambahnya usia.2,10 (Gambar 2).
DHEAS (nmol/l)
dependent sulfotransferase.9
10
8000
4000
Birth
Fetal
Life
0
20 30 40 50 60 70
Gambar 2. Variasi Konsentrasi DHEAS dalam Darah berdasarkan Pertambahan Usia11
tubuh.14 Selain itu, DHEA dan DHEAS
memiliki fungsi penting mengatur
neokorteks selama perkembangan
otak. Dalam hal ini DHEA dan DHEAS
terbukti memiliki fungsi neurotropik. 15
Penuaan
Penuaan adalah proses berkurang-nya
fungsi tubuh yang berhubungan
dengan pertambahan usia makhluk
hidup. Hal ini dihubungkan den-gan
berkurangnya sintesis protein,
berkurangnya massa tubuh bebas
lemak (lean body mass) dan massa
tulang, serta meningkatnya lemak tu-buh.
16 Proses penuaan dapat disebab-kan
oleh berbagai hal; beberapa di
antaranya adalah perubahan hormon,
pemendekan telomer, stress oksidatif,
dan sebagainya.17
Penuaan berhubungan dengan me-kanisme
selular dan berkaitan erat
dengan fungsi jaringan. Perubahan
jaringan yang berhubungan dengan
proses penuaan paling jelas terlihat
pada kekakuan progresif yang ber-pengaruh
terhadap berbagai sistem
tubuh, termasuk pembuluh darah,
pernapasan, dan muskuloskeletal.
Penuaan meningkatkan otoantibodi
dan kompleks imun (ikatan antibodi-antigen)
dan menurunkan toleransi
imun terhadap sel tubuh sendiri, yang
selanjutnya dapat menurunkan efekti-fi
tas sistem imun.
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 265 4/26/2010 8:34:21 PM
20. Berkurangnya ovum pada wanita dan
berkurangnya spermatogenesis pada
pria juga merupakan efek penuaan.
Penurunan kecepatan pengosongan
lambung, penurunan sekresi hormon
lambung dan asam hidroklorid meru-pakan
efek penuaan pada lambung.
Pada otot terjadi atrofi dan penurunan
kontraktilitas yang berpengaruh pada
gerak dan mobilitas. Sarkopenia dapat
terjadi seiring dengan penuaan. Kulit
juga mengalami atrofi dan berkerut.
Terjadi perubahan tubuh secara total
termasuk penurunan tinggi badan,
penurunan lingkar leher, paha, dan
lengan, pelebaran panggul, peman-jangan
hidung dan telinga. Beberapa
perubahan tersebut adalah akibat
atrofi jaringan dan penurunan massa
tulang akibat osteoporosis dan os-teoarthritis.
Komposisi tubuh juga turut terpen-garuh
oleh proses penuaan. Pada usia
paruh baya dapat terjadi pertambah-an
berat badan dan massa lemak yang
diikuti dengan penurunan massa sel
tubuh dan massa tubuh bebas lemak.
Peningkatan lemak tubuh menyebab-kan
massa air tubuh berkurang. Pen-ingkatan
massa lemak tubuh dan dis-tribusi
lemak terpusat di abdomen
berhubungan dengan non-insulin de-pendent
diabetes mellitus (NIDDM)
dan penyakit jantung.18
HUBUNGAN KADAR DHEA/DHEAS
DENGAN PENUAAN
Penurunan kadar DHEAS plasma
proposional dengan tingkat kepara-han
penyakit pada pasien gagal jan-tung
kronis.19 Kadar DHEA dan DHEAS
rendah secara signifi kan pada pasien
penyakit jantung.20
Kadar DHEA rendah pada pasien
diabetes.21 Obesitas yang sering ber-hubungan
dengan penuaan juga
menyebabkan penurunan kadar
DHEAS.22
Kadar DHEA pada pasien kanker pros-tat
rendah secara signifi kan.20 Pada
pasien laki- laki dengan kanker paru,
kadar DHEAS rendah.23 Demikian
pula, pada pasien kanker payudara,
kadar DHEAS menurun.24
Penuaan juga ditandai dengan degra-dasi
kemampuan sistem imunitas tu-buh.
Hal ini sering berkaitan dengan
meningkatnya insidensi infeksi bakteri
maupun virus. Berkurangnya kadar
DHEA berhubungan dengan pening-katan
progresi infeksi Human Immu-nodefi
Tabel 1. Ringkasan Randomised Controlled Trial mengenai Efek Terapi Sulih DHEA Sebagai Terapi Anti Penuaan
266 | MEI - JUNI 2010
ciency Virus (HIV).25
PEMBAHASAN
Ringkasan penelitian terapi sulih
DHEA sebagai metode anti penuaan
terangkum dalam tabel 1.
Efek Terapi Sulih DHEA terhadap
Sistem Endokrin
Efek terhadap hormon seks
Terdapat peningkatan testosteron dan
estradiol pada pemberian 50 mg/hari
DHEA dibanding plasebo.26
Efek terhadap hormon insulin
Salah satu efek positif DHEA yang di-harapkan
adalah efek terhadap hor-mon
insulin karena penurunan kadar
dan aksi insulin turut berpengaruh ter-hadap
terjadinya diabetes mellitus.
Villareal Holloszy (2004) menyatakan
bahwa terapi sulih DHEA dapat mem-perbaiki
aksi insulin secara signifi kan.27
Namun, Nair dkk (2006) menyatakan
tidak ada efek signifi kan terapi sulih
DHEA terhadap sensitivitas insulin.28
Basu dkk (2007) juga menyatakan
terapi sulih hormon tidak memper-baiki
aksi insulin.29 Perbedaan hasil
tadi karena jangka waktu penelitian
Villareal Holloszky hanya enam bu-lan,
sedangkan Nair dkk dan Basu dkk
Penulis Tahun Besar
Sampel
(orang)
Durasi Intervensi Hasil
Flynn dkk 1999 39 9 bulan DHEA 100 mg/hari atau
plasebo
tidak ada perubahan komposisi tubuh dan parameter
urinalisis
Baulieu dkk 2000 280 12 bulan DHEA 50 mg/hari atau
plasebo
peningkatan kadar testosteron dan estradiol, kualitas
tulang, libido, dan status kulit
Percheron dkk 2003 280 12 bulan DHEA 50 mg/hari atau
plasebo
tidak ada efek positif pada kekuatan otot
Villareal Holloszy 2004 54 6 bulan DHEA 50 mg/hari atau
plasebo
perbaikan aksi insulin dan penurunan kadar lemak perut
Jankowski dkk 2006 140 12 bulan DHEA 50 mg/hari atau
plasebo
perbaikan BMD tulang panggul pria dan wanita dan
BMD tulang punggung wanita
Villareal Holloszy 2006 51 10 bulan DHEA 50 mg/hari atau
plasebo
peningkatan massa otot dan kekuatan otot
Nair dkk 2006 144 2 tahun DHEA 75 mg/hari atau
plasebo
tidak ada efek signifi kan pada komposisi tubuh,
konsumsi oksigen, kekuatan otot, sensitivitas insulin,
hasil bermakna pada pengukuran BMD
Basu dkk 2007 112 2 tahun DHEA 50 mg/hari,
75 mg/hari, atau
plasebo
tidak mengubah IMT, lemak viseral, persentase lemak
tubuh, atau massa tubuh bebas lemak pada lanjut usia,
tidak memperbaiki aksi insulin dan tidak menambah
sekresi insulin, tidak terbukti memperbaiki toleransi
glukosa dan tidak mengubah pola metabolisme glukosa
postprandial pada sampel pria dan wanita
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 266 4/26/2010 8:34:21 PM
21. TINJAUAN PUSTAKA
| MEI - JUNI 2010 267
mencapai dua tahun. Oleh karena itu
disimpulkan bahwa terapi sulih DHEA
tidak berpengaruh terhadap hormon
insulin.
Efek Terapi Sulih DHEA terhadap
sistim muskuloskeletal
Efek terhadap kekuatan dan massa
otot
Tidak ditemukan perubahan kekuatan
genggaman tangan dan kekuatan otot
lutut isokinetik pada kelompok DHEA
dibandingkan dengan kelompok
plasebo.30 Nair dkk (2006) juga tidak
menemukan perubahan kekuatan
otot ekstensor lutut pada konsumsi
DHEA.28 Namun, Villareal dan Holloszy
(2006) menyebutkan adanya pening-katan
massa otot paha dan kekuatan
otot lengan serta otot ekstensor lutut
setelah empat bulan latihan pada kel-ompok
yang mengonsumsi DHEA.31
Dari rangkuman di atas, dua penelitian
konsisten bahwa terapi sulih DHEA
tidak dapat meningkatkan massa mau-pun
kekuatan otot manusia walaupun
digunakan dalam jangka waktu dua ta-hun.
Namun, terapi sulih DHEA mung-kin
dapat membantu peningkatan
massa dan kekuatan otot apabila dis-ertai
dengan latihan rutin pada otot.
Efek terhadap bone mineral density
(BMD)
Baulieu dkk (2000) menunjukkan per-baikan
BMD di beberapa bagian tu-lang
seperti leher femur dan Ward’s
triangle pada wanita dan radius pada
pria; juga ditemukan penurunan re-sorpsi
tulang akibat penurunan aktivi-tas
osteoklas.26 Jankowsky dkk (2006)
menunjukkan perbaikan BMD daerah
panggul dan beberapa bagian femur
(kecuali leher femur) pada pengkon-sumsi
DHEA.32 Nair dkk (2006) menya-takan
ada peningkatan BMD radius ul-tradistal
pada wanita dan leher femur
pada pria.28
Dari hasil tiga penelitian di atas, terapi
sulih DHEA dapat memperbaiki atau
meningkatkan BMD beberapa bagian
tulang baik pada pria maupun pada
wanita. Tulang-tulang yang menga-lami
perbaikan belum dapat diketahui
secara spesifi k karena hasil penelitian
yang bervariasi. Terdapat juga hasil
terjadinya penurunan resorpsi tu-lang
oleh osteoklas pada terapi sulih
DHEA.
Efek Terapi Sulih DHEA terhadap
komposisi tubuh
Efek DHEA ditandai dengan peruba-han
komposisi lemak tubuh. Flynn
dkk (1999) tidak berhasil menemukan
adanya perubahan pada komposisi
lemak tubuh pada pemberian DHEA
selama sembilan bulan.16 Villareal dan
Holloszy (2004) menemukan hasil ber-beda,
yakni penurunan komposisi le-mak
abdomen yang bermakna pada
enam bulan terapi sulih DHEA.27 Tetapi
Basu dkk (2007) dengan jumlah sam-pel
114 orang dan jangka waktu yang
cukup lama yaitu dua tahun, tidak me-nemukan
perubahan komposisi lemak
pada pemberian terapi sulih DHEA.29
Oleh karena itu, disimpulkan bahwa
terapi sulih DHEA tidak mempengar-uhi
komposisi lemak tubuh.
Efek samping terapi sulih DHEA
Sampai saat ini, sebagian besar pene-litian
tidak menemukan efek samping
bermakna dalam aplikasi terapi sulih
DHEA pada manusia.27,28,31 Efek samp-ing
serius tidak bermakna yang pernah
ditemukan adalah serangan iskemia
transien dan infeksi saluran kemih32.
Keterbatasan data terapi sulih
DHEA
Penggunaan terapi sulih DHEA masih
tergolong baru di dunia medis. Pada
umumnya penelitian terapi sulih DHEA
mempunyai jangka waktu pendek (≤
2 tahun), menyebabkan efek jangka
panjang terapi sulih DHEA sebagai
anti penuaan tidak diketahui. Sampai
saat ini belum didapatkan dosis terapi
sulih DHEA yang akurat. Selain itu me-kanisme
pasti mendasari efek terapi
sulih DHEA sebagai anti penuaan
masih belum diketahui.
SIMPULAN
Seiring bertambahnya usia, berba-gai
fungsi tubuh manusia mengalami
penurunan. Hal tersebut dicoba dice-gah
dengan berbagai metode mence-gah
penuaan, contohnya terapi sulih
hormon. Salah satu hormon yang telah
banyak digunakan adalah dehidroe-piandrosteron
(DHEA). DHEA sebe-narnya
diproduksi secara alami oleh
tubuh manusia, namun produksinya
menurun seiring dengan bertambah-nya
usia.
Penelitian telah dilakukan untuk men-cari
manfaat terapi sulih DHEA seba-gai
metode anti penuaan. Beberapa
hasilnya kurang menggembirakan,
antara lain bahwa DHEA tidak ber-pengaruh
terhadap hormon insulin,
tidak dapat meningkatkan massa dan
kekuatan otot, dan tidak mempengar-uhi
komposisi lemak tubuh. Namun,
pada beberapa penelitian lain, DHEA
terbukti dapat meningkatkan kadar
testosteron dan estradiol serta men-ingkatkan
bone mineral density (BMD)
beberapa tulang tertentu dan mengu-rangi
resorpsi tulang oleh osteoklas.
Di samping itu, penelitian-penelitian
yang ada memiliki berbagai keter-batasan,
antara lain tidak ada yang
berjangka waktu lebih dari dua ta-hun;
sehingga sulit mengetahui efek
jangka panjang terapi sulih DHEA. Se-lain
itu, belum ada dosis akurat serta
penelitian efek samping. Yang cukup
penting adalah belum diketahuinya
mekanisme pasti yang mendasari efek
anti penuaan terapi sulih DHEA. Oleh
karena itu, perlu penelitian lebih lanjut
terutama dengan jangka waktu pene-litian
yang cukup panjang (lebih dari
dua tahun).
UCAPAN TERIMA KASIH
Kami berterima kasih kepada dr. Pop-py
K. Sasmita, Sp.S, M.Kes, PA yang
telah membimbing penulisan karya
ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Biro Pusat Statistik. Jumlah Penduduk menu-rut
Kelompok Umur, Jenis Kelamin, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota, 2005 Number of Popu-lation
by Sex and Age Group [homepage
on the Internet]. c2008 [updated 2005; cited
2008 Jan 19]. Available from http://demografi .
bps.go.id/versi2/index.php?option=com_
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 267 4/26/2010 8:34:22 PM
22. tabeltask=Itemid=45lang=en
2. Kamel NS, Gammack J, Cepeda O, Flaherty
JH. Antioxidants and hormones as antiaging
therapies: High hopes, disappointing results.
Cleve Clin J Med 2006;73(12):1049-58.
3. Leow MKS, Loh KC. Controversial endocrine
intervention for the aged. Singapore Med J
2006; 47(7):569-579.
4. Departemen Kesehatan. Menyongsong Lan-jut
Usia Tetap Sehat dan Berguna [homepage
on the Internet]. c2008 [updated 2007 Jun 28;
cited 2008 Jan 19]. Available from http://www.
depkes.go.id/index.php?option=newstask=
viewarticlesid=2674
5. Buford TW, Willoughby DS. Impact of DHEA(S)
and cortisol on immune function in ag-ing:
a brief review. Appl Physiol Nutr Metab
2008;33:429-33.
6. Granner DK. The Diversity of the Endocrine
System. In: Murray RK, Granner DK, Mayes
PA, Rodwell VW (Eds). Harper’s Illustrated
Biochemistry 27th ed. Singapore: McGraw-Hill,
2006; p:448.
7. Maninger N, Wolkowitz OM, Reus VI, Epel
ES, Mellon SH. Neurobiological and neurop-sychiatric
effects of dehydroepiandrosterone
(DHEA) and DHEA sulfate (DHEAS). Front
Neuroendocrinol. [serial on the Internet]. (2009
,Jan), [cited January 11, 2009];30(1):65-91.
8. Synthesis of dehydroepiandrosterone
(DHEA), DHEA sulfate (DHEAS), and other
steroids. [image on the Internet]. c2000.
Available from: http://www.medscape.com/
viewarticle/406925_4.
9. Baulieu E. Dehydroepiandrosterone (DHEA): a
fountain of youth?. J Clin Endocrinology Me-tab
[serial on the Internet]. (1996, Sep), [cited
January 9, 2009]; 81(9): 3147-3151.
10. Auchus RJ, Rainey WE. Adrenarche: Physiol-ogy,
Biochemistry and Human Disease. Clin
Endocrinol [serial on the internet]. (2004,Mar),
[cited January 12,2009];60(3):288-296. Avail-able
from: http://www.medscape.com/
viewarticle/470730_1
11. Variation in circulating deydroepiandrosterone
sulphate (DHEA-S) concentrations throughout
human life. [image on the Internet]. c2004.
Available from: http://www.medscape.com/co
ntent/2004/00/47/07/470730/470730_fi g.html
12. Shealy C. A review of dehydroepiandrosterone
(DHEA). Integrative Physiological And Behav-ioral
Science: The Offi cial Journal Of The Pav-lovian
Society [serial on the Internet]. (1995,
Sep), [cited January 11, 2009]; 30(4): 308-313.
13. Buvat J. Androgen therapy with dehydroe-piandrosterone.
World J.Urol. [serial on the
Internet]. (2003, Nov 10), [cited January 11,
2009]; 21(5): 346-355.
14. Suzuki T, Suzuki N, Daynes R, Engleman E. De-hydroepiandrosterone
enhances IL2 produc-tion
and cytotoxic effector function of human
T cells. Clin. Immunol. and Immunopathol. [se-rial
on the Internet]. (1991, Nov), [cited January
11, 2009]; 61(2 Pt 1): 202-211.
15. Compagnone N, Mellon S. Dehydroepiandros-terone:
a potential signalling molecule for
neocortical organization during development.
Proc Natl Acad Sci USA [serial on the Internet].
(1998, Apr 14), [cited January 11, 2009]; 95(8):
4678-4683.
16. Flynn M, Weaver-Osterholtz D, Sharpe-Timms
K, Allen S, Krause G. Dehydroepiandrosterone
replacement in aging humans. J Clin Endo-crinol.
Metab [serial on the Internet]. (1999,
May), [cited January 10, 2009]; 84(5): 1527-
1533.
17. Caruso LB, Silliman RA. Geriatric Medicine
(Some Theories of Aging). In: Fauci AS, Braun-wald
E, Kasper DL et al, editors. Harrison’s
Principle of Internal Medicine 17th ed. New
York: McGraw-Hill, 2008; p.54, t.9-1.
18. McCance KL, Grey TC. Altered Cellular and
Tissue Biology. In: McCance KL, Huether SE,
eds. Pathophysiology: The Biologic Basic for
Disease in Adults and Children. 5th ed. St.
Louis: Mosby Inc, 2006; p.86.
19. Moriyama Y, Yasue H, Yoshimura M, Mizuno
Y, Nishiyama K, Tsunoda R, et al. The plasma
levels of dehydroepiandrosterone sulfate are
decreased in patients with chronic heart failure
in proportion to the severity. J Clin Endocrinol.
Metab [serial on the Internet]. (2000, May),
[cited January 11, 2009]; 85(5): 1834-1840.
20. Stahl F, Schnorr D, Pilz C, Dörner G. Dehy-droepiandrosterone
(DHEA) levels in patients
with prostatic cancer, heart diseases and un-der
surgery stress. Exp Clin Endocrinol [se-rial
on the internet]. (1992), [cited January
12,2009];99(2):68-70.
21. Buffi ngton C, Pourmotabbed G, Kitabchi A.
Case report: amelioration of insulin resistance
in diabetes with dehydroepiandrosterone.
AJMS [serial on the Internet]. (1993, Nov),
[cited January 11, 2009]; 306(5): 320-324.
22. Williams D, Boyden T, Pamenter R, Lohman T,
Going S. Relationship of body fat percentage
and fat distribution with dehydroepiandroster-one
sulfate in premenopausal females. J Clin
Endocrinol. Metab [serial on the Internet]. (1993,
July), [cited January 11, 2009]; 77(1): 80-85.
23. Bhatavdekar J, Patel D, Chikhlikar P, Mehta R,
Vora H, Karelia N, et al. Levels of circulating
268 | MEI - JUNI 2010
peptide and steroid hormones in men with
lung cancer. Neoplasma [serial on the Inter-net].
(1994), [cited January 11, 2009]; 41(2):
101-103.
24. Bhatavdekar J, Patel D, Shah N, Giri D, Vora
H, Karelia N, et al. Endocrine status in stage II
vs. advanced premenopausal and postmeno-pausal
breast cancer patients. Neoplasma [se-rial
on the Internet]. (1992), [cited January 11,
2009]; 39(1): 39-42.
25. Jacobson MA, Fusaro RE, Galmarini M, Lang
W. Decreased serum dehydroepiandrosterone
is associated with an increased progression
of human immunodefi ciency virus infection in
men with CD4 cell counts of 200-499. J Infect
Dis [serial on the internet]. (1991, Nov), [cited
January 12 , 2009];164(5):864-8.
26. Baulieu EE, Thomas G, Legrain, Lahlou N,
Roger M, Debuire B, et al. Dehydroepiandros-terone
(DHEA), DHEA sulfate, and aging: Con-tribution
of the DHEAge Study to a sociobio-medical
issue. Proc Natl Acad Sci U S A 2000;
97(8): 4279–84.
27. Villareal DT, Holloszy JO. Effect of DHEA on
abdominal fat and insulin action in elderly
women and men: a randomized controlled
trial. JAMA 2004; 292(18): 2243-8.
28. Nair KS, Rizza RA, O’Brien P, Dhatariya K, Short
KR, Nehra A, et al. DHEA in elderly women
and DHEA or testosterone in elderly men. N
Engl J Med 2006; 355(16): 1647-59.
29. Basu R, Dalla Man C, Campioni M, Basu A,
Nair KS, Jensen MD, et al. Two years of treat-ment
with dehydroepiandrosterone does not
improve insulin secretion, insulin action, or
postprandial glucose turnover in elderly men
or women. Diabetes 2007; 56(3): 753-66.
30. Percheron G, Hogrel JY, Denot-Ledunois S,
Fayet G, Forette F, Baulieu EE et al. Effect of
1-Year Oral Administration of Dehydroepi-androsterone
to 60- to 80-Year-Old Individuals
on Muscle Function and Cross-sectional Area.
Arch Intern Med. 2003; 163: 720-7.
31. Villareal DT, Holloszy JO. DHEA enhances
effects of weight training on muscle mass
and strength in elderly women and men.
Am J Physiol Endocrinol Metab 2006; 291(5):
E1003-8.
32. Jankowski CM, Gozansky WS, Schwartz RS,
Dahl DJ, Kittelson JM, Scott SM, et al. Effects
of dehydroepiandrosterone replacement ther-apy
on bone mineral density in older adults: a
randomized, controlled trial. J Clin Endocrinol
Metab 2006; 91(8): 2986-93.
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 268 4/26/2010 8:34:22 PM
23. Peranan Sel Punca Endometrium
dalam Patogenesis Endometriosis
| MEI - JUNI 2010 269
LATAR BELAKANG
Endometriosis adalah kelainan di mana
jaringan endometrium dapat ditemu-kan
di luar kavum uteri. Endometrio-sis
diperkirakan merupakan kelainan
ginekologik yang terjadi pada sekitar
6-10% wanita. Kondisi endometriosis
dapat memicu masalah klinis serius
pada wanita karena dapat berhubun-gan
dengan kejadian nyeri panggul
kronik, dan infertilitas pada wanita usia
reproduksi.1
Sejak beberapa dekade terakhir te-lah
banyak penelitian dilakukan untuk
meningkatkan pemahaman menge-nai
penyebab penyakit ini. Salah satu
hipotesis yang sering digunakan untuk
menjelaskan terjadinya endometriosis
adalah teori patogenesis Sampson
(1929), yang dihubungkan dengan ke-jadian
menstruasi retrograd. Beberapa
teori lain juga telah diperkenalkan ter-masuk
teori metaplasia, teori penye-baran
limfogen atau hematogen serta
hasil temuan lain yang mencoba men-ghubungkan
kejadian endometriosis
dengan karakteristik jaringan endo-metrium
yang abnormal, faktor gene-tik,
perubahan lingkungan peritone-um,
penurunan fungsi imunitas, serta
peningkatan kemampuan angiogene-sis.
2 Dasar-dasar teori yang diajukan
tersebut sebenarnya ditujukan untuk
mencari penjelasan, mengapa jaring-an
endometrium memiliki tingkat
survival yang tinggi meski berada di
lingkungan di luar cavum uteri. Diper-kirakan
tingkat survival yang tinggi ini
disebabkan oleh karakteristik jaring-an
endometrium tersebut atau oleh
kondisi lingkungan sekitar yang san-gat
mendukung. Berbagai pemikiran
tersebut pada akhirnya memunculkan
dugaan adanya keterkaitan antara
mekanisme regenerasi jaringan endo-metrium
dengan tingkat kemampuan
survival jaringan endometrium di luar
cavum uteri.
Lapisan endometrium adalah salah
satu jaringan yang memiliki tingkat
regenerasi yang cukup baik. Hal ini
dibuktikan dengan selalu terbentuknya
lapisan endometrium baru pada siklus
haid berikutnya, meski sebelumnya
telah terjadi peluruhan lapisan endo-metrium
apabila tidak terjadi kehamil-an.
Lapisan endometrium yang luruh
pada saat haid berasal dari lapisan
fungsional. Oleh karena itu lapisan
basal cavum uteri diperkirakan memi-liki
fungsi yang cukup esensial untuk
proses regenerasi lapisan endome-trium.
Hal ini terbukti pada kasus Ash-erman
Syndrome, kerusakan lapisan
endometrium basal akibat tindakan
kuret berlebihan dapat mengakibat-kan
gangguan regenerasi jaringan en-dometrium.
Akibatnya pasien dapat
mengalami amenorea sekunder.
Akhir-akhir ini peran sel punca dalam
proses regenerasi jaringan pada um-umnya
telah banyak dibahas. Konsep
regenerasi sel endometrium yang di-mediasi
oleh sel punca endometrium
telah dipostulasikan sejak 35 tahun
yang lalu. Penulisan makalah ini ditu-jukan
untuk menelaah kemungkinan
adanya peran sel punca/ progenitor
endometrium dalam patogenesis en-dometriosis.
Sel Punca
Sel punca adalah sel yang mampu
memperbaharui dirinya sendiri (self re-newal)
dan memiliki kemampuan dife-rensiasi
menjadi banyak tipe sel lain
di dalam tubuh. Sel punca berdasar-kan
asalnya dapat dibagi menjadi sel
punca embrionik, yang berarti be-rasal
dari jaringan embrionik dan sel
punca dewasa, yang berarti berasal
dari jaringan dewasa. Berdasarkan
kemampuan diferensiasi, sel punca
embrionik memiliki plastisitas lebih
tinggi dibandingkan dengan sel pun-ca
dewasa; berarti kemampuan dife-rensiasi
sel punca embrionik akan lebih
lebar dibandingkan dengan sel punca
dewasa.3,4 Kehadiran sel punca perlu
dibuktikan dengan teridentifi kasinya
fungsi sel punca, yaitu klonogenisitas,
kemampuan proliferasi, memperba-harui
dirinya sendiri (self-renewal) dan
diferensiasi.5 Klonogenisitas adalah
kemampuan sel tunggal untuk mengi-nisiasi
suatu koloni sel saat sel tung-gal
tersebut ditanamkan pada media
cloning densitas rendah atau melalui
dilusi terbatas. Cara ini digunakan un-tuk
melakukan karakterisasi sel punca
dewasa dan sel progenitornya serta
mencari petanda sel punca.6 Diferen-siasi
adalah perubahan fenotip sel aki-bat
aktivitas ekspresi gen. Sel punca
Grace Valentine1, Kanadi Sumapraja2
1. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2. Bagian Imunoendokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 269 4/28/2010 9:29:40 PM
24. TINJAUAN PUSTAKA
Niche sel punca adalah suatu lingkun-gan
fi siologis yang spesifi k bagi sel
punca (sel niche bersama dengan ma-triks
ekstraselular) dan memiliki fungsi
regulasi terhadap sel punca.8 Fungsi
utama niche sel punca ini adalah untuk
mendeteksi kebutuhan perbaikan dan
penggantian jaringan, yang selanjut-nya
akan mengeluarkan sinyal-sinyal
terhadap sel punca setempat untuk
mengadakan proliferasi dan diferen-siasi.
Regenerasi lapisan endometrium
Lapisan endometrium merupakan
salah satu jaringan di tubuh manusia
Gambar 1. Hirarki
diferensiasi sel punca 7
| MEI - JUNI 2010 271
dewasa bersifat multipoten yang be-rarti
sel punca dewasa hanya dapat
berdiferensiasi menjadi komponen sel
pada jaringan tempat sel punca dew-asa
ini berada.7 Kemampuan pemba-ruan
diri adalah kemampuan sel punca
untuk memproduksi sel punca anak
yang identik. Hal ini dapat dilakukan
melalui pembelahan asimetris mau-pun
pembelahan simetris. Pembelah-an
asimetris artinya menghasilkan satu
sel anak yang identik dan satu sel anak
yang telah terdiferensiasi.5 Sementara
itu pembelahan simetris akan meng-hasilkan
2 sel anak yang identik atau 2
sel progenitor transit amplifying (TA).
Sel progenitor atau tissue-specifi c
stem cells hanya akan memiliki jalur
diferensiasi tertentu saja dan hanya
akan memiliki kemampuan pembaru-an
diri yang terbatas. Sedangkan sel
TA yang dihasilkan selanjutnya dari sel
progenitor anak akan memiliki prop-erti
yang terletak di antara sel punca
dan sel yang telah berdiferensiasi;
yaitu potensi proliferasi yang terbatas
dan tidak mampu memperbarui diri.
Selanjutnya sel TA akan melalui beber-apa
tingkat pembelahan sel progresif
sebagai bagian dari amplifi kasi selular
dan kemudian mengalami diferensiasi
terminal.8
9
yang sangat dinamis, karena menga-lami
regenerasi secara siklik pada tiap
siklus haid. Pada dasarnya secara rutin
lapisan endometrium akan mengalami
proses regenerasi, diferensiasi dan pe-luruhan
pada masa reproduksi.10
Lapisan endometrium manusia da-pat
dibagi menjadi 2 lapisan, yaitu
lapisan basalis (stratum basal) dan
lapisan fungsional (stratum fungsional)
(2/3 atas). Lapisan basalis tidak ikut
luruh pada saat haid dan bertang-gung
jawab dalam proses regenerasi
lapisan fungsional pada siklus haid
berikutnya. Proses proliferasi dan dife-
rensiasi lapisan fungsional dipicu oleh
perubahan sekuensial hormon steroid
selama siklus haid. Sebaliknya lapisan
basalis hanya akan mengalami pro-liferasi
minimal dan tidak sensitif ter-hadap
perubahan hormonal selama
siklus haid.
Adanya efek hormon steroid pada
lapisan endometrium dibuktikan den-gan
adanya ekspresi reseptor hormon
steroid pada lapisan endometrium.
Hormon estrogen berfungsi mengen-dalikan
survival, viabilitas, dan efek mi-togenik
melalui reseptor estrogen 1
(ESR1). Reseptor ESR1 merupakan re-septor
estrogen yang cukup dominan
ditemukan di lapisan endometrium.
Sebaliknya reseptor estrogen 2 (ESR2)
ternyata hanya sedikit diekspresikan
di lapisan endometrium. Pengamatan
selanjutnya menunjukkan bahwa ESR2
ternyata berfungsi memicu diferen-siasi
sel epitel melalui mekanisme
regulasi negatif terhadap respon yang
terjadi melalui ESR1.11
Pada fase proliferasi di mana hormon
estrogen cukup dominan, terda-pat
aktivitas proliferasi endometrium
yang cukup ekstensif sehingga ter-bentuklah
lapisan fungsional. Namun
saat mendekati ovulasi, tingkat pro-liferasi
akan menurun secara gradual
dan lapisan fungsional yang terbentuk
akan mengalami diferensiasi di bawah
pengaruh hormon progesteron yang
merupakan hormon yang dominan
pada fase sekresi. Pada fase sekresi,
sel stroma akan mengalami reaksi
CDK ed_177 mei ok DR (245-281).indd 271 4/26/2010 8:34:23 PM