1. KAJIAN PENGALIHAN DANA DEKONSENTRASI DAN
TUGAS PEMBANTUAN YANG MENDANAI URUSAN
DAERAH MENJADI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK):
Tim Penyusun :
Dr. Hefrizal Handra, M.Soc.Sc
(Universitas Andalas)
Dr. Raksaka Mahi
(Universitas Indonesia)
Drs. Masrizal, M.Soc.Sc.
(Universitas Andalas)
Drs. Syariffudin, SE.Ak., M.Soc.Sc (Universitas Hasanuddin)
Drs. Erizal, MA
(Departemen Keuangan)
TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006
2. KAJIAN PENGALIHAN DANA DEKONSENTRASI DAN TUGAS PEMBANTUAN
YANG MENDANAI URUSAN DAERAH MENJADI DANA ALOKASI KHUSUS (DAK):
A. PENDAHULUAN
Tiga bentuk hubungan pusat dan daerah, desentralisasi, dekonsentrasi dan
tugas pembantuan, telah disepakati untuk diterapkan di Indonesia sebagaimana diatur
dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian diatur pula bagaimana
pendanaan ketiga bentuk hubungan pusat dan daerah tersebut dalam UU 33/2004
tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Sehingga kemudian terdapat pengaturan (1) dana perimbangan (dana desentralisasi)
agar Pemerintah Daerah dapat melaksanakan tugas desentralisasinya, (2) dana
dekonsentrasi untuk membiayai tugas yang didekonsentrasikan serta (3) dana tugas
pembantuan untuk membiayai pelaksanaan tugas tersebut oleh daerah.
Sejalan dengan UU 33/2004, dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
seyogianya ditujukan untuk membiayai urusan yang didekonsentrasikan ke Gubernur
dan ditugaspembantuankan ke daerah, bukan untuk mendanai urusan yang telah
didesentralisasikan ke daerah. Secara lebih khusus, dalam konteks hubungan
keuangan pusat dan daerah, dapat dikatakan bahwa kementrian/lembaga pusat harus
menghindari untuk melaksanakan sendiri ataupun mendanai urusan daerah yang telah
didesentralisasikan. Apabila kementrian/lembaga pusat memiliki program dalam
rangka mencapai tujuan nasional namun urusannya telah didesentralisasikan ke
daerah maka sebaiknya mekanisme pendanaannya adalah melalui specific grant (dana
alokasi khusus) ke daerah.
Dalam praktek penyelenggaraan negara tidak dapat dipungkiri telah terjadi bias
dari pelaksanaan hubungan pusat dan daerah ini. Terdapat Kementrian/Lembaga yang
melaksanakan/mendanai urusan yang telah didesentralisasikan ke daerah dan
sebaliknya ada pula Pemerintah Daerah yang mendanai instansi vertikal di daerah.
Untuk itulah barangkali muncul sebuah kebijakan penyelenggara negara di bidang
desentralisasi fiskal sebagaimana dituangkan dalam UU 33/2004, pasal 108, sbb:
Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan
bagian dari anggaran kementrian negara/lembaga yang digunakan untuk
melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan
menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi
Khusus.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
1
3. Secara positif dapat dipahami bahwa amanat dari aturan diatas adalah agar
kebijakan desentrasasi fiskal, sesuai dengan prinsip money follows functions, dapat
dilaksanakan
secara
konsisten
dengan
secara
gradual
mengalihkan
dana
kementrian/lembaga yang selama ini mendanai urusan daerah menjadi dana
desentralisasi. Namun diduga upaya untuk melaksanakan kebijakan dihadapkan
kepada berbagai hambatan dan tantangan. Penelitian ini dirancang agar dapat
mengungkapkan berbagai problematika dalam rangka pelaksanaan kebijakan ini.
B. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini dapat diringkas sbb:
1. Untuk mengkaji berbagai permasalahan pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas
pembantuan yang mendanai urusan daerah menjadi dana alokasi khusus (DAK).
sebagaimana dituangkan dalam UU 33/2004, pasal 108.
2. Untuk mengidentifikasi berbagai jenis dana dekonsentrasi/tugas pembantuan, serta
berbagai
persoalan
dalam
proses
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pertanggungjawaban dana tersebut.
3. Memberikan rekomendasi kebijakan dalam mengalihkan dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan yang membiayai urusan daerah menjadi DAK.
Sejalan dengan tiga bentuk hubungan pusat dan daerah yang telah
diamanatkan UU 32/2004, dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai bagian
dari anggaran kementrian/lembaga tentunya tetap akan ada sepanjang untuk
melaksanakan kewenangan/urusan kementrian/lembaga tersebut di daerah melalui
perangkat daerah. Untuk itu penelitian ini juga ditujukan untuk memahami bagaimana
praktek pengelolaan dana dekonsentrasi, mulai dari perencanaan sampai kepada
pertanggungjawabannya di daerah, sehingga dapat dianalisis kesenjangan antara
aturan yang ada dengan pelaksanaannya di daerah.
C. KERANGKA TEORITIS
C.1. Definisi Dana Dekonsentrasi
Definisi dekonsentrasi yang umum digunakan adalah sebagaimana yang
diberikan oleh Rondinelli (www.worldbank.org.), yakni:
The redistribution of decision making authority and financial and
management responsibilities among different levels of the central
government.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
2
4. Dari definisi di atas dapat dikatakan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan
otoritas pengambilan keputusan dari pemerintah pusat ke cabang-cabangnya. Kalau
kita bawa ke konteks Indonesia, dekonsentrasi adalah pelimpahan otoritas dari
Kementrian di pusat kepada kantor wilayah atau kantor departemennya di daerah.
Disini istilah dekonsentrasi hanya berlaku dalam konteks pendelegasian wewenang
dalam satu organisasi pemerintahan. Dengan kata lain dekonsentrasi tidak berlaku
untuk pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintahan otonom di
daerah.
Namun, kalau kita mengacu kepada UU 32/2004, maka yang bisa menerima
pelimpahan kewenangan dekonsentrasi adalah instansi vertikal di daerah serta
gubernur, sebagaimana menurut Pasal 1.8:
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah ke Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu
Jika definisi dekonsentrasikan ini dibandingkan dengan definisi dekonsentrasi
Rondinelli, dapat diartikan bahwa Gubernur adalah bagian dari organisasi Pemerintah
Pusat. Namun disisi lain menurut UU 32/2004, Gubernur adalah juga merupakan
kepala pemerintah propinsi yang menerima kewenangan desentralisasi. Sehingga
dapat dikatakan bahwa Gubernur adalah suatu organisasi yang memiliki dua peran,
yaitu sebagai (1) sebagai kepala daerah otonom dan (2) sebagai bagian (wakil) dari
pemerintah pusat di daerah.
Berbicara tentang definisi dana dekonsentrasi, tentunya terkait dengan definisi
dekonsentrasi itu sendiri. Kalau kita mengacu ke UU 32/2004, maka dana
dekonsentrasi berarti dana untuk membiayai kegiatan dekonsentrasi tersebut. Dengan
kata lain, dana dekonsentrasi adalah seluruh dana untuk membiayai pelaksanaan
tugas pemerintah pusat di daerah baik yang dilaksanakan oleh instansi vertikal di
daerah maupun yang dilaksanakan oleh Gubernur.
Namun ternyata definisi dana dekonsentrasi yang diberikan oleh UU 33/2004
berbeda dengan pengertian dana dekonsentrasi menurut UU 32/2004, sebagaimana
tercantum pada pasal 1.26 berikut:
Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup
semua penerimaan dan pengeluaran yang dalam rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi
vertikal pusat di daerah
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
3
5. Definisi di atas sejalan dengan definisi dekonsentrasi menurut UU 33/2004
yang lebih dipersempit sebagaimana tertulis di Pasal 1.9:
Dekonsentrasi
adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan
oleh
Pemerintah ke Gubernur sebagai wakil pemerintah.
UU 33/2004 mempersempit definisi dekonsentrasi menjadi hanya pelimpahan
wewenang
ke
gubernur,
tidak
wilayah/cabang.
Dengan
kata
termasuk
lain,
pelimpahan
seluruh
wewenang
dana
ke
kantor
pelaksanaan
tugas
kementrian/lembaga yang dilaksanakan sendiri kementrian/lembaga tersebut di daerah
bukan dikategorikan sebagai dana dekonsentrasi.
Selanjutnya dalam laporan penelitian ini, istilah dana dekonsentrasi mengaju
kepada definisi yang diberikan oleh UU 33/2004.
Prinsip yang melandasi disediakannya Dana Dekonsentrasi adalah Money
Follow Functions. Sebagai mana tertera pada UU 32/2004 pasal 12 ayat 2:
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada gubernur, disertai dengan
pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan
Kemudian diperkuat oleh UU 33/2004 Pasal 87 ayat 1 yang menyatakan bahwa
Dana dekonsentrasi disediakan setelah adanya pelimpahan wewenang Pemerintah
melalui kementrian negara/lembaga kepada gubernur. Namun kemudian UU 33/2004
pasal 87 ayat 7 membatasi jenis pelimpahan wewenang yang bisa dibiayai dengan
dana dekonsentrasi yaitu hanya yang bersifat non-fisik.
Sebuah pertanyaan yang sangat prinsipil adalah apa tujuan yang ingin dicapai
dengan disediakannya dana dekonsentrasi. Dari analisis terhadap pasal demi pasal
secara khusus di UU 33/2004, dapat disimpulkan bahwa ada dua tujuan disediakannya
dana dekonsentrasi:
Pertama
dekonsentrasi.
adalah,
kecukupan
(Sufficiency)
untuk
pelaksanaan
tugas
Didasari oleh prinsip money follow functions, UU 32/2004 dan UU
33/2004 mengamanatkan bahwa pelimpahan kewenangan dekonsentrasi kepada
gubernur harus diikuti oleh pendanaan yang berkecukupan dari Pemerintah. Artinya
dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, gubernur tidak boleh menyediakan dana dari
APBD. Hal ini adalah konsekuensi logis dari akuntabilitas pelaksanaan tugas
dekonsentrasi yaitu kepada pemerintah (pemberi tugas).
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
4
6. Kedua, sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 2.3 UU 33/2004
menyatakan bahwa Dana Dekonstrasi adalah bagian integral dari Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal ini mengisyaratkan agar
pembagian dana dekonsentrasi ke gubernur dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi
nya
harus
mempertimbangkan
aspek
equity
(keadilan).
Maksudnya
adalah
pendistribusian dana dekonsentrasi ke gubernur tidak saja dihitung berdasarkan
kebutuhan untuk membiayai pelimpahan wewenang, tetapi juga didistribusikan dengan
mempertimbangkan aspek 'keadilan' antar daerah. Dengan kata lain, pendistribusian
dana dekonsentrasi juga mesti mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah.
C.2. Definisi Dana Tugas Pembantuan
Satu lagi bentuk penugasan dari satu pemerintahan ke pemerintahan otonom
lainnya (terutama yang dibawahnya) adalah tugas pembantuan. Berbeda dengan
dekonsentrasi yang merupakan penugasan dari unit di pusat ke unit di daerah dalam
satu organisasi pemerintahan (seperti dari kantor pusat ke kantor wilayah sebuah
kementrian), tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintahan otonom ke
pemerintahan otonom di bawahnya (seperti dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah dan ke pemerintah desa).
Tugas pembantuan juga berbeda dengan kewenangan desentralisasi dalam hal
pertanggungjawaban. Kewenangan desentralisasi yang dijalankan oleh pemerintah
daerah dipertanggungjawabkan kepada konstituen-nya menurut aturan yang berlaku,
sedangkan
pelaksanaan
tugas
pembantuan
dipertanggungjawabkan
kepada
pemerintah yang memberi tugas. Satu lagi perbedaannya adalah bahwa urusan
desentralisasi menjadi tugas rutin pemerintah daerah sedangkan tugas pembantuan
lebih bersifat temporer tergantung kebutuhan pemberi tugas.
Definisi tugas pembantuan yang diberikan oleh UU 32/2004 sejalan dengan
definisi yang berlaku umum, sebagaimana pada pasal 1.9 berikut:
Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau
desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk
melaksanakan tugas tertentu.
Sedikit berbeda dengan UU 32/2004, definisi yang diberikan oleh UU 33/2004
lebih sempit, sebagaimana tertulis pada pasal 1. 10 berikut:
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah
dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
5
7. Definisi yang diberikan UU 33/2004 nampaknya lebih spesifik sesuai dengan
tujuannya untuk mengatur hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia.
Definisi tugas pembantuan sejalan dengan upaya untuk mengatur dana tugas
pembantuan, sebagaimana tercantum pada pasal 1. 25
Dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang
dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan.
Sebagaimana dana dekonsentrasi, selanjutnya dalam penelitian ini definisi
dana tugas pembantuan yang digunakan adalah sebagaimana tercantum pada UU
33/2004.
C.3. Definisi Dana Alokasi Khusus (DAK): Bedanya dengan Dana Dekosentrasi
dan Tugas Pembantuan
Berbeda dengan dana dekonsentrasi (dekon) dan dana tugas pembantuan (TP)
yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan urusan pemerintah pusat yang
didekonsentrasikan ke Gubernur dan di-tugaspembantuan-kan ke daerah, dana alokasi
khusus (DAK) adalah untuk membiayai pelaksanaan urusan yang didesentralisasikan
ke daerah. Dengan kata lain, DAK adalah untuk membiayai pelaksanaan urusan
daerah, bukan urusan pemerintah pusat.
DAK merupakan salah satu jenis transfer dari pusat ke daerah di Indonesia.
Dalam literatur keuangan negara, sesuai dengan namanya, DAK masuk dalam
kategori bantuan spesifik (specific grant) atau bantuan bersyarat (conditional grant).
Kategori lain dari transfer adalah bantuan umum (general purpose grant) atau bantuan
tanpa syarat (unconditional grant) yang di Indonesia disebut Dana Alokasi Umum
(DAU).
Bantuan spesifik biasanya ditujukan untuk membiayai bidang tertentu yang
telah menjadi urusan daerah. Pemerintah Daerah (Pemda) sebagai si penerima tidak
boleh menggunakan dana tersebut kecuali untuk kegiatan yang telah ditentukan oleh
pusat. Berbeda dengan Dana Dekon dan TP, bantuan spesifik menjadi bagian dari
anggaran
Pemda
yang
menerima
dana
tersebut
dan
penerima
mempertanggungjawabkan sepenuhnya penggunaan dana tersebut dalam mekanisme
pertanggungjawaban keuangan desentralisasi. Sedangkan Dana Dekon dan TP
merupakan bagian dari anggaran kementrian/lembaga pusat.
Secara teori, bantuan spesifik sangat beragam jenisnya. Dia dapat diciptakan
oleh si pemberi untuk berbagai tujuan, diantaranya:
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
6
8. -
untuk mencapai tujuan dan prioritas nasional di bidang tertentu namun urusannya
telah di -desentralisasi-kan ke daerah,
-
untuk mempengaruhi pola belanja si penerima,
-
untuk mengakomodasi ”spill-over benefit” (penyediaan pelayanan publik oleh
daerah tertentu tetapi dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain/tentangga)
-
untuk mengakomodasi ke-khusus-an daerah tertentu.
Bantuan spesifik dapat digunakan oleh pusat untuk tujuan dan prioritas
nasional, misalnya untuk mencapai tujuan nasional di bidang pelayanan pendidikan,
kesehatan dan infrastrutur namun urusannya telah didesentralisasikan ke daerah.
Karena pusat tidak dapat mendikte daerah untuk penggunaan bantuan umum seperti
DAU, maka pusat dapat melakukannya dengan menyediakan bantuan spesifik.
Bantuan spesifik dapat juga ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah.
Dengan penggunaannya yang spesifik dan mensyaratkan dana pendamping dari
sumber pendapatan daerah lainnya, akan tersedia sejumlah dana yang harus
dibelanjakan oleh daerah untuk bidang yang diinginkan pusat. Lebih spesifik lagi,
bantuan dapat disediakan oleh si pemberi untuk mengakomodasi beban pembiayaan
bagi daerah tertentu, misalnya daerah yang menyediakan pelayanan yang juga
dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain. Bantuan spesifik tentunya juga dapat
disediakan oleh pusat untuk mengakomodasi ke-khusus-an daerah tertentu, yang
terkait dengan ketidakmampuan daerah tersebut untuk membiayai pelayanan yang
menjadi tujuan nasional.
Program nasional yang dibiayai oleh anggaran kementrian/lembaga teknis
vertikal tentunya juga dalam rangka mencapai tujuan dan prioritas nasional
sebagaimana
tujuan
bantuan
spesifik
untuk
daerah.
Namun
anggaran
kementrian/lembaga vertikal tersebut bukan untuk membiayai program prioritas
nasional yang telah menjadi urusan daerah. Sebagai contohnya di Indonesia adalah
penyelenggaraan pendidikan dasar (9 tahun). Prinsip desentralisasi fiskal khususnya
”money follow functions” mengharuskan pendanaan penyelenggaraan pendidikan
dasar (mulai dari gaji guru, biaya administrasi dan operational sekolah) menjadi
tanggungjawab daerah (APBD). Apabila daerah tidak memiliki kemampuan fiskal untuk
mendanai tanggungjawabnya, maka Pemerintah Pusat dapat menyediakan bantuan
melalui mekanisme transfer ke daerah (APBD), bukan dengan mekanisme dana
dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
7
9. UU 33/2004 mengatur secara jelas perbedaan ketiga jenis dana tersebut. DAK
diatur sebagai bagian dari dana perimbangan untuk membiayai tugas desentralisasi.
Dana Dekonsentrasi adalah dana untuk membiayai penugasan dekonsentrasi ke
gubernur. Dana Tugas Pembantuan ditujukan untuk membiayai tugas pembantuan ke
daerah propinsi, kabupaten/kota serta ke desa. Perbedaan antara DAK dengan Dana
Dekon dan TP menurut UU 33/2004 dapat dilihat pada table 1. Lihat juga lampiran 1
yang secara rinci membahas dana dekonsentrasi.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
8
10. Tabel 1.
DAK, Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan menurut UU 33/2004
Dana Alokasi Khusus
Jenis dana
Kegunaan
dana
Dana Dekonsentrasi
Merupakan Transfer
dari Pusat ke Daerah
dan sebagai
pendapatan dalam
APBD
Untuk membiayai
urusan desentralisasi
Merupakan Belanja
kementrian/lembaga
pusat
Keterkaitan
dengan
perencanaan
di daerah
Merupakan bagian dari
proses perencanaan
APBD
Yang
melaksanakan
Dilaksanakan oleh
SKPD yang terkait
dengan jenis DAK
Merupakan bagian dari
proses
pertanggungjawaban
APBD
Pertanggung
jawaban
Yang terkait
dengan aset
Semua barang yang
diperoleh dari DAK
otomatis merupakan
aset daerah
Kegiatan yang
dapat dibiayai
Dapat digunakan untuk
membiyai kegiatan
pembangunan fisik dan
non-fisik
(PP 55/2005
menyebutkan bahwa
DAK hanya untuk
membiayai kegiatan
pembangunan fisik)
Memerlukan dana
pendamping sekurangkurangnya 10%
Tidak diatur Undangundang
Dana
pendamping
Sisa dana di
akhir tahun
anggaran
Untuk membiayai
pelimpahan
kewenangan
dekonsentrasi ke
Gubernur
Gubernur
memberitahukan
rencana kerja dan
anggaran pusat yang
berkaitan dengan
kegiatan dekonsentrasi
kepada DPRD saat
pembahasan RAPBD
Dana Tugas
Pembantuan
Merupakan Belanja
kementrian/lembaga
pusat
Untuk membiayai
pelimpahan Tugas
Pembantuan kepada
Daerah dan/atau Desa
Dilaksanakan oleh
SKPD yang ditunjuk
oleh Gubernur
SKPD yang
melaksanakan
melaporkan ke
Gubernur dan kemudian
dilaporkan ke
kementrian/lembaga
Semua barang yang
diperoleh dari dana
dekonsentrasi
merupakan milik negara
namun dapat
dihibahkan kepada
daerah
Dibatasi untuk
membiayai kegiatan
non-fisik
Kepala Daerah
memberitahukan
rencana kerja dan
anggaran yang
berkaitan dengan
kegiatan Tugas
Pembantuan kepada
DPRD saat
pembahasan RAPBD
Dilaksanakan oleh
SKPD yang ditunjuk
Kepala Daerah
SKPD yang
melaksanakan
melaporkan ke Kepala
Daerah dan kemudian
dilaporkan ke
kementrian/lembaga
Semua barang yang
diperoleh dari dana
tugas pembantuan
merupakan milik negara
namun dapat
dihibahkan kepada
daerah
Dapat digunakan untuk
membiyai kegiatan
pembangunan fisik
Tidak memerlukan dana
pendamping
Tidak memerlukan dana
pendamping
Saldo kas dikembalikan
ke rekening kas umum
negara
Saldo kas dikembalikan
ke rekening kas umum
negara
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
9
11. C.4. Argumentasi Yang Mendukung Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan Yang Mendanai Urusan Daerah Menjadi DAK
Undang-undang
33/2004
telah
mengamanatkan
pengalihan
Dana
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan tertentu ke DAK. Tentunya amanat pengalihan
ini dilatarbelakangi oleh berbagai argumentasi. Beberapa argumen yang mendukung
kebijakan tersebut adalah:
(i) Disiplin Fiskal (Fiscal Dicipline)
Kebijakan pengalihan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan tertentu menjadi
DAK dapat dipandang sebagai sebuah upaya untuk memperkuat pelaksanaan
desentralisasi fiskal serta penegakan prinsip fiscal discipline. Disiplin fiskal dapat
mengurangi kemungkinan terjadi tumpang tindih pembiayaan urusan dan dengan
sendirinya
meningkatkan
didesentralisasikan
efisiensi
seharusnya
belanja pemerintahan.
dibiayai
dengan
dana
Urusan
yang
desentralisasi
telah
(dana
perimbangan dan berbagai pendapatan daerah).
(ii) Memperkuat Akuntabilitas
Dari sudut pandang akuntabilitas politik (political accountability) pengalihan
Dana Dekon dan TP yang mendanai urusan desentralisasi ke DAK akan memperjelas
prosesnya di daerah, karena DAK adalah bagian dari APBD maka segala proses mulai
dari perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan adalah merupakan bagian dari
proses politik lokal. Sehingga program/kegiatan yang dibiayai DAK diharapkan akan
semakin akuntabel dan merasa dimiliki oleh masyarakat daerah.
Urusan daerah yang didanai dengan anggaran kementrian/lembaga pusat
dalam bentuk Dana Dekon dan TP, akan mengaburkan akuntabilitas politik. Saling
lempar tanggung jawab bisa saja terjadi. Dari sisi pengelolaan keuangan, pengalihan
dana pusat yang membiayai urusan daerah ke DAK akan meningkatkan akuntabilitas
keuangan (financial accountability). Pengalihan juga akan memudahkan pihak
berkepentingan untuk menelurusi jumlah dana yang telah digunakan untuk membiayai
bidang tertentu di daerah.
(iii) Mengurangi Standar Ganda di Daerah
Dana Dekon dan TP dapat menimbulkan standar biaya yang ganda di daerah
apabila kementrian/lembaga ’memaksakan’ standar biaya nya untuk pelaksanaan
kegiatan yang didanainya. Dengan pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai
urusan daerah menjadi DAK tentunya akan mengurangi praktek standar ganda.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
10
12. Kedepan, hal ini perlu menjadi perhatian kementrian/lembaga pusat terkait.
Bagaimanapun juga Dana Dekon dan TP tetap akan ada karena urusan pusat yang di
daerah tidak akan pernah habis.
C.5. Berbagai Kemungkinan Problem Pengalihan
Bagian di atas memberikan argumentasi pentingnya pengalihan Dana Dekon
dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK. Namun diperkirakan proses
pengalihan ini akan berhadapan dengan berbagai problem dan tantangan. Paling
sedikit ada 3 masalah/tantangan pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi DAK.
Berikut uraiannya:
(i) Kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya untuk menilai mana dana
dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang dapat dialihkan menjadi DAK adalah
kejelasan pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Tanpa kejelasan pembagian
urusan, akan sulit untuk menentukan mana yang harus dialihkan mana yang tidak.
Pembagian urusan antar tingkat pemerintahan merupakan salah satu
permasalahan Indonesia terutama sejak desentralisasi dengan UU 22/99. Upaya
pertama yang pernah dilakukan adalah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah
tentang kewenangan pusat dan propinsi (PP 25/2000). Peraturan ini mengandung
banyak kelemahan dan kontroversi dalam pelaksanaannya. Daerah sekarang sedang
menunggu peraturan pengganti PP 25/2000 tetang pembagian urusan antar tingkat
pemerintahan di segala bidang.
(ii) Sempitnya Definisi DAK mengurangi fleksibilitas dalam menampung berbagai
cara Kementrian/Lembaga untuk menyalurkan dana sektoral.
DAK dalam UU 33/2004 telah diterjemahkan secara lebih sempit dari definisi
specific grant pada umumnya. DAK yang sekarang dipraktekkan pada dasarnya adalah
sejenis matching grant, yaitu bantuan spesifik yang mensyaratkan dana pendamping.
Padahal bantuan spesifik itu sangat beragam jenisnya, mulai dari bantuan spesifik
yang diblok untuk bidang pelayanan tertentu sampai kepada bantuan spesifik yang
dikompetisikan (competitive grant). Bahkan matching grant sendiri juga dapat dijadikan
open-ended matching grant (alokasi per daerah serta jumlah dana pendamping yang
diperlukan tergantung kepada tingkat pelayanan yang dibiayai) atau close-ended
matching grant (alokasi per daerah dan jumlah dana pendamping sudah ditentukan
dari awal)
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
11
13. Lebih sempit lagi, PP 55/2005 tentang dana perimbangan membatasi
penggunaan dana pendamping DAK yang hanya untuk kegiatan yang bersifat fisik.
DAK tidak dapat menampung kegiatan-kegiatan non fisik. Penyempitan definisi DAK di
peraturan perundang-undangan diperkirakan akan menyulitkan kementrian/lembaga
untuk mengalihkan Dana Dekon dan TP ke DAK. Kementrian/lembaga punya berbagai
macam cara/metode dalam mengalokasi anggarannya ke daerah dan belum tentu
kesemuanya dapat diakomodasi oleh DAK menurut aturan yang sedang berlaku.
(iii) Resistensi Kementrian/Lembaga Pusat
Pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK
memiliki konsekuensi berkurangnya anggaran kementrian/lembaga. Konsekuensi inilah
yang biasanya sulit diterima oleh lembaga pemerintahan di Indonesia. Lembaga
pemerintahan di Indonesia sudah terbiasa dengan praktek anggaran tradisional yang
bersifat line-item dan incremental. Turunnya anggaran, meskipun akibat pengalihan
itemnya ke lembaga lain seringkali dianggap sebagai punishment bagi lembaga
tersebut.
Selain itu, pengalihan akan mengurangi peranan kementrian/lembaga pusat
terhadap program sektoral di daerah. Meskipun kementrian/lembaga pusat dapat
memiliki peranan dalam membuat petunjuk teknis penggunaan DAK, namun sebagian
kontrol terhadap alokasi dana tersebut ke daerah ditarik oleh mekanisme dana
perimbangan. Resistensi diperkirakan tidak hanya karena kementrian/lembaga
kehilangan
kontrol
terhadap
pengalokasian
dana
tetapi
juga
karena
kementrian/lembaga khawatir target nasional tertentu yang menjadi tanggung jawab
kementrian/lembaga tidak dapat tercapai.
D. METODOLOGI
Untuk mencapai tujuan penelitian, peneliti memilih untuk melakukan langkah
berikut:
1. Pengumpulan data/dokumen anggaran kementrian/lembaga untuk mengidentifikasi
berbagai jenis program kementrian/lembaga yang disalurkan ke dinas/lembaga
teknis pemerintah daerah ataupun ke lembaga non-pemerintahan lainnya.
2. Melakukan wawancara mendalam dengan aparatur dinas/lembaga teknis daerah
yang melaksanakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Untuk ini perlu
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
12
14. dipilih beberapa daerah sebagai studi kasus. Daerah yang dipilih diharapkan dapat
merepresentasikan keragaman daerah di Indonesia termasuk keragaman kondisi
geografis dan potensi daerah.
Pedoman wawancara agar data yang dibutuhkan dari daerah sampel
didapatkan untuk menjawab tujuan penelitian ini dapat dilihat pada lampiran.
Metodologi ini diakui kurang komprehensif untuk mengungkapkan berbagai
problem dan dinamika dana kementrian/lembaga. Semestinya juga perlu dilakukan
wawancara mendalam dengan aparat perencana dan pengambil keputusan di
Kementrian/Lembaga terkait. Diharapkan hal ini dapat dilakukan pada penelitian
selanjutnya.
D.1. Data Anggaran Kementrian/Lembaga
Data
kementrian/lembaga
kementrian/lembaga
yang
yang
mendanai
dipilih
urusan
untuk
daerah
mengidentifikasi
adalah
data
belanja
anggaran
Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pekerjaan
Umum.
D.2. Daerah Sampel dan Instansi yang dikunjungi
Daerah yang dikunjungi adalah Propinsi Sumatra Selatan, Bengkulu, NAD,
Sumatra
Utara,
Jambi,
Sulawesi
Selatan,
Jawa
Barat.
Sejalan
dengan
Kementrian/Lembaga yang dipilih, pada setiap daerah, instansi yang dikunjungi adalah
Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas PU.
E. PEMBAHASAN
E.1. Pemahaman
Pejabat
Daerah
Terhadap
Dana
Dekonsentrasi,
Tugas
Pembantuan dan DAK
Dari jawaban yang diberikan oleh pejabat Pemda baik melalui forum diskusi
maupun jawaban terhadap kuisioner penelitian, pemahaman pejabat daerah terhadap
pengertian dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan dan DAK sangat beragam.
Ada yang memahaminya menurut aturan formal menurut UU 33/2004, bahwa dana
dekonsentrasi adalah dana untuk pelaksanaan tugas dekonsentrasi ke Gubernur
sedangkan tugas pembantuan dananya dapat ditujukan ke kabupaten/kota bahkan ke
desa. Namun ada juga pejabat yang memahami bahwa dana dekonsentrasi adalah
seluruh jenis belanja pemerintah pusat di daerah. Mereka tidak dapat membedakan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
13
15. mana yang dana sektoral, dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan. Yang
paling lemah pemahamannya adalah pejabat yang tidak tahu beda antara DAK dengan
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bahkan ada yang tidak tahu bahwa DAK
adalah bagian dari dana perimbangan dan merupakan bagian dari pendapatan daerah.
Dana dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh
Gubernur sebagai Wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang
dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah untuk pelaksanaan tugas
dekonsentrasi ke Gubernur
Dana dekonsentrasi adalah dana dari pusat untuk tingkat propinsi, sedangkan dana
tugas pembantuan adalah dana dari pusat untuk tingkat kabupaten/kota
Dana Pusat yang diberikan kepada Gubernur sebagai penanggungjawab dari
Pemerintah Pusat atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu.
Dana yang berasal dari APBN untuk pelaksanaan tugas dekonsentrasi ke Gubernur
Dana pusat (APBN) yang dilimpahkan pengelolaannya kepada Propinsi
Dana pelaksanaan kegiatan Kementrian/Lembaga di daerah
Dana untuk membiayai kegiatan yang didaerahkan
Dana dari pusat yang sangat penting untuk pelaksanaan pembangunan di daerah
Pemahaman pejabat daerah yang cukup beragam tentang dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan nampaknya terkait juga dengan ketidakjelasan kategori belanja
kementrian/lembaga di daerah. Belum ada ketegasan di belanja kementrian/lembaga
mana yang merupakan dekonsentrasi, mana yang tugas pembantuan dan mana yang
dilaksanakan sendiri oleh kementrian/lembaga tersebut. Memang ada rincian belanja
kementrian/lembaga menurut program dan kegiatan serta menurut propinsi/daerah
dimana program itu dilaksanakan, namun belum ada kejelasan apakah pelaksanaan
program dan kegiatan itu akan di dekonsentrasikan atau di tugaspembantuankan atau
dilaksanakan sendiri.
E.2. Persoalan Dalam Klasifikasi Jenis Dana Kementrian/Lembaga Pusat di
Daerah
Kalau kita perhatikan alur dana dari APBN ke daerah, sebagaimana terlihat di
diagram1, maka ada empat kelompok besar dana:
1. Dana Kementrian/Lembaga di daerah
2. Dana Dekonsentrasi
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
14
16. 3. Dana Tugas Pembantuan
4. Dana APBD yang berasal dari APBN sebagai dana perimbangan (Bagi hasil, DAU
dan DAK) serta dalam bentuk hibah dan dana darurat.
Diagram 1.
ALUR DANA APBN KE DAERAH
PUS AT
D AERAH
Belanja Pusat
di Pusat
Belanja
Pemerintah
Pusat
6 Urusan Mutlak
K/L
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Belanja Modal
Pembayaran Bunga Utang
Subsidi
Belanja Hibah
Bantuan Sosial
Belanja Lain-lain
A
P
B
N
Kanwil di Daerah
Belanja Pusat
di Daerah
Di luar 6 Urusan
Dikerjakan sendiri
Melalui UPT
Dana Sektoral
di Daerah
Dilimpahkan ke
Gubernur
Dana
Dekonsentrasi
Ditugaskan ke
Gub/Bupati/
Walikota
Dana Tugas
Pembantuan
Belanja
Daerah
APBD
1. Dana Perimbangan
2. Dana Otonomi Khusus
Dana
Desentralisasi
3. Dana Penyesuaian
Hibah
Dana Darurat
Dari hasil diskusi dengan para pejabat daerah diberbagai daerah sampel,
ternyata
sulit
bagi
daerah
untuk
membedakan
mana
program/kegiatan
kementrian/lembaga yang di-dekonsentrasi-kan dan di-tugaspembantuan-kan serta
dilaksanakan
sendiri
oleh
kementrian/lembaga
di
daerah.
Tidak
semua
Kementrian/Lembaga memberitahukan secara eksplisit ke Pemda kategori untuk
setiap program/kegiatan yang didaerahkan. Sehingga tidak mengherankan, jika
pejabat daerah mengeluarkan pernyataan sebagai berikut:
“Di dinas kami tidak ada dana dekonstrasi, yang ada hanyalah dana APBD
dan dana APBN”.
Meskipun demikian, ada juga dinas yang dapat mengklasifikasikan berbagai
dana APBN dan APBN tersebut, misalnya di Dinas Kesehatan Propinsi Jambi yang
menyatakan bahwa dana dekon dari Departemen Kesehatan hanya untuk membiayai
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
15
17. program non fisik dan dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi, sedangkan dana
TP untuk membiayai kegiatan fisik yang dilaksanakan oleh Kab/kota (terutama oleh
Rumah Sakit Daerah). Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaksanakan DAK.
Kesulitan yang dialami daerah tidak hanya untuk mengklasifikasikan jenis
pendanaan,
tetapi
juga
untuk
mengetahui
jumlah
dana
keseluruhan
untuk
program/kegiatan tertentu di daerah, karena tidak semuanya dikelola langsung oleh
daerah. Sebagai contoh di bidang pendidikan adalah dana BOS (beasiswa operasional
sekolah), dana tersebut tidak jelas kategorinya apakah merupakan dana dekonsentrasi
atau dana kementrian/lembaga. Sebagian besar Dana BOS juga langsung ditransfer
ke sekolah-sekolah sedangkan dinas pendidikan hanya mengetahui jumlah dana untuk
kegiatan monitoring dan evaluasinya.
Pertanyaan selanjutnya yang juga sulit untuk dijawab adalah apakah dana
tersebut mendanai urusan yang telah didesentralisasikan atau memang mendanai
pelaksanaan urusan yang didekonsentrasikan atau ditugaspembantuankan. Hal ini
belum dapat dijawab secara tegas karena belum jelasnya pembagian urusan antara
pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Berbagai jenis dana Tiga Kementrian/Lembaga
(Depdiknas, Depkes, dan Departemen PU) di daerah dapat dilihat dilampiran.
E.3. Perencanaan, Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Dana Dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan
E.3.1. Proses Mendapatkan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Terlepas sulitnya membedakan berbagai jenis dana kementrian/lembaga di
daerah, ada beberapa catatan penting yang terkait dengan kategorisasi dana
kementrian/lembaga termasuk dana dekon dan TP di daerah:
1. Dana kementrian/lembaga dan atau dana Dekon/TP yang dilaksanakan sudah
berjalan secara reguler. Jenis ini cukup dapat dipastikan dan bahkan pagu
sementaranya sudah diketahui oleh daerah pada bulan juli-agustus tiap tahunnya.
Dana yang membiayai kegiatan seperti ini memang dapat disingkronkan dengan
APBD Propinsi dan Kabupaten Kota.
2. Dana Dekon/TP yang bersifat temporer kadang ada kadang tidak dan yang
datangnya mendadak.
Dana jenis 1, khususnya di Bidang Pendidikan dan Kesehatan dirasakan oleh
daerah relatif lebih jelas dan ’reliable’. Proses hingga daerah mendapatkan kegiatan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
16
18. yang dibiayai oleh dana jenis 1 ini relatif transparan. Berikut beberapa pernyataan
pejabat daerah:
"Proses dimulai dari usulan masing-masing penanggungjawab program.
Usulan direkap dan dibahas pada Musrenbang Provinsi untuk
singkronisasi dengan Kabupaten/Kota. Selanjutnya dibahas oleh masingmasing penanggungjawab program dengan Departemen Kesehatan (di
masing-masing Dirjen) untuk singkronisasi berdasarkan pagu
indikatif/pagu sementara".
Hal yang sama diungkapkan oleh pejabat di Dinas Pendidikan Provinsi sebagai
berikut:
"Program/Kegiatan yang akan dibiayai dana dekon diusulkan oleh Provinsi
berdasarkan kebutuhan kabupaten/kota melalui Bappeda pada saat
Musrenbangda. Selanjutnya ditindaklanjuti oleh Dinas Pendidikan melalui
rakor dengan Depdiknas".
Namun untuk dana dekon/TP kategori 2, beberapa pejabat daerah yang
dikunjungi menyatakan:
“dana dekon muncul tiba-tiba”.
“Sekarang ini ketidakpastian terlalu tinggi dibanding di era orde baru”.
“Setelah musrenbangnas, tidak pernah ada pemberitahuan ke daerah
mana kegiatan yang diusulkan akan dibiayai oleh APBN. Biasanya sekitar
semester kedua baru diberitahu ada kegiatan yang dibiayai APBN. Yang
repotnya, kegiatan tersebut menghendaki penyediaan dana di APBD,
misalnya untuk penyediaan dan pembebasan tanah, biaya operasional dan
administrasi, dll, padahal APBD sudah disyahkan”.
“Masih lebih baik jika kegiatan yang dibiayai APBN yang menghendaki
dana pendamping di APBD diberitahu sebelum Perubahan APBD, yang
paling parah adalah dana dekon/TP diketahui ada setelah Perubahan
APBD (di triwulan terakhir)”.
“Sering juga terjadi kegiatan yang dibiayai APBN berbeda dengan yang
diusulkan. Kalau kegiatan itu memang masih bermanfaat bagi peningkatan
pelayanan di daerah tidak jadi masalah. Susahnya, kegiatan/proyek itu
tidak dibutuhkan oleh daerah”.
E.3.2. Peranan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Daerah
Dana dekon/TP sangat besar peranannya bagi pendanaan program di daerah.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jambi sbb:
"Dalam pencapaian target program program di bidang kesehatan dan
hampir 70-80% dibiayai oleh dana dekonsentrasi/Tugas Pembantuan dan
Pijaman dan Hibah Luar Negeri (PHLN)".
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
17
19. Hal yang sama diungkapkan oleh Dinas Pendidikan Propinsi Sumatera Selatan
sbb:
"Dana dekon sangat penting bagi program Pendidikan di Provinsi, karena
dari segi jumlah adalah hampir 3 kali lipat APBD untuk pendidikan".
Kotak berikut juga memperlihatkan kebergantungan daerah tertentu kepada
dana dekonsentrasi/tugas pembantuan:
Tingginya Kebergantungan Daerah kepada dana Dekonsentrasi dana Tugas
Pembantuan
Pentingnya dana dari APBN (Departemen Kesehatan) bagi program/kegiatan di daerah
disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan. Berikut
perbandingannya untuk tahun anggaran 2006:
Dana APBD
: 22,3 Milyar
Dana APBN
Dana Dekonsentrasi
: 95,5 Milyar
Dana Tugas Pembantuan ke Propinsi : 12,8 Milyar
Dana Tugas Pembantuan ke Kab/kota: 78,2 Milyar
Hal yang sama disampaikan oleh kepala Dinas Kesehatan Kota Cimahi. Perbandingan
pendanaan dari APBD dengan APBN untuk program bidang kesehatan hampir 1:10 artinya
jika APBD hanya menyediakan 1 milyar rupiah maka APBN menyediakan hampir 10 milyar
rupiah.
Peranan dana APBN (dana dekon/TP) yang sangat besar dibandingkan dengan APBD
untuk pelaksanaan program/kegiatan bidang tertentu di daerah mengakibatkan Pemerintah
Daerah akan selalu berupaya untuk melakukan ”lobi” dan menjadi ”anak manis” agar bisa
mendapatkan dana yang lebih besar lagi. Secara lebih khusus hal ini juga mengakibatkan
Dinas tertentu di daerah lebih berorientasi sebagai pelaksana kebijakan
Kementrian/Lembaga, bukannya sebagai pelaksana kebijakan daerah. Hal ini juga
membuat program/kegiatan daerah lebih banyak ’didikte’ oleh program/kegiatan
Kementrian/Lembaga dibandingkan dengan Rencana Pembangunan Daerah.
E.3.3. Pelaksanaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Pelaksanaan kegiatan/proyek yang dibiayai oleh APBN (dana dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan) dimulai dengan penetapan satuan kerja (Satker). Personil
pada Satker adalah aparat daerah. Mengenai pejabat yang menetapkan personil
satker, terdapat beragam jawaban dari Pemda. Dinas PU Propinsi Sumsel, misalnya
menyatakan bahwa Satker ditetapkan dengan SK Menteri. Hal yang sama
diungkapkan oleh Dinas PU Propinsi Jambi. Namun ada juga Dinas daerah
menyatakan bahwa Satker untuk pelaksanaan Dana TP ditetapkan dengan SK Kepala
Daerah. Sementara itu Pemerintah Kota Makasar menyatakan bahwa pengadaan
peralatan untuk pelaksanaan tugas pembantuan dilaksanakan langsung oleh
Pemeritah Pusat, daerah hanya menerima saja.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
18
20. Keberagaman ini memperlihatkan bahwa interpretasi pejabat baik di daerah
maupun di kementrian/lembaga terhadap aturan yang ada sangat beragam. Kalau
merujuk kepada UU 33/2004, maka satuan kerja pelaksana dana dekonsentrasi dan
tugas pembantuan adalah SKPD yang ditunjuk oleh Gubernur (untuk dana
dekonsentrasi) dan Kepala Daerah (untuk dana tugas pembantuan). Namun versi UU
17/2003 mengatakan bahwa karena Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
adalah anggaran Kementrian/Lembaga pusat, maka sebagai pengguna anggaran,
Menteri lah yang seharusnya menunjuk satuan kerja sebagai kuasa pengguna
anggaran di daerah.
Cara pelaksanaan kegiatan juga beragam. Ada yang melalui proses tender
yang dilakukan di daerah sesuai dengan ketentuan berlaku (Kepres 80/2003 tentang
pengadaan barang dan jasa). Namun ada juga yang dilaksanakan secara swakelola,
terutama program/kegiatan non fisik.
Pelaksana kegiatan yang dibiayai dana dekon/tp biasanya dapat honorarium
yang standar-nya berbeda dengan standar daerah.
E.3.4. Pertanggungjawaban Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
Pada umumnya dinas daerah menyatakan bahwa proses pertanggungjawaban
pelaksanaan dana dekon/TP cukup jelas. Di Jambi, misalnya, pelaporan pelaksanaan
dana dekon/TP disampaikan kepada Gubernur melalui Bappeda. Selain itu Dinas juga
menyampaikannya
ke
Departemen.
Pengawasan
serta
monev
terhadap
program/kegiatan yang dibiayai dana dekon/TP dilakukan secara internal oleh Dinas
Provinsi bersama dengan Bappeda dan Irjen. Kemudian pemeriksaan juga dilakukan
oleh BPKP dan BPK.
Namun pihak yang sering mengeluh terhadap proses ini di daerah adalah
Biro/Bagian Keuangan Sekretariat Daerah yang tidak dilibatkan sama sekali. Beberapa
kepala Biro/Bagian Keuangan menyatakan bahwa persoalannya adalah ketika mereka
juga dituntut oleh pimpinan untuk melaporkan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan.
Terkait dengan status aset hasil dari kegiatan dana dekon/TP, pada umum nya
pejabat daerah menyatakan bahwa status kepemilikannya diserahkan kepada daerah.
Bahkan aset yang pengadaannya dilakukan oleh pusat (daerah hanya menerima saja)
biasanya juga diserahkan kepada daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
19
21. Tabel berikut memperlihatkan kesenjangan antara peraturan tentang dana
dekonsentras/tugas pembantuan dan pelaksanaan di daerah.
Tabel 2.
Dana Dekonsentrasi Antara Peraturan Dan Pelaksanaannya di Daerah (Propinsi Jambi,
Propinsi Sumsel, Propinsi Bengkulu, Propinsi Lampung, Propinsi Sumut)
Kegunaan
dana
Dana Dekonsentrasi Menurut
UU 33/2004
Untuk membiayai pelimpahan
kewenangan dekonsentrasi ke
Gubernur
Keterkaitan
dengan
perencanaan
di daerah
Gubernur memberitahukan
rencana kerja dan anggaran
pusat yang berkaitan dengan
kegiatan dekonsentrasi kepada
DPRD saat pembahasan
RAPBD
Yang
melaksanakan
Dilaksanakan oleh SKPD yang
ditunjuk oleh Gubernur
Pertanggungja
waban
SKPD yang melaksanakan
melaporkan ke Gubernur dan
kemudian dilaporkan ke
kementrian/lembaga
Yang
terkait
dengan aset
Kegiatan yang
dapat dibiayai
Semua barang yang diperoleh
dari dana dekonsentrasi
merupakan milik negara namun
dapat dihibahkan kepada
daerah
Dibatasi untuk membiayai
kegiatan non-fisik
Dana
Pendamping
dari APBP
Tidak memerlukan dana
pendamping, karena prinsip
"money follow functions".
Praktek di Daerah Saat Ini
Terdapat berbagai kewenangan daerah
yang dibiayai dengan dana
dekonsentrasi. Namun untuk
membedakannya diperlukan aturan yang
jelas, khususnya pembagaian
kewenangan antara pusat, propinsi dan
kabupaten/kota (PP)
Belum sepenuhnya dapat dilaksanakan
karena program/ kegiatan serta jumlah
dana dekon belum semuanya diketahui
oleh Pemda saat pembahasan RAPBD.
Bahkan Bappeda Propinsi menyatakan
bahwa mereka tidak diikutkan dalam
diskusi membahas dana ini (termasuk
diskusi bersama Kanwil DJPB).
Dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan
oleh Menteri. Teknis sebagai kuasa
anggaran yang dapat saja diserahkan
oleh Mentri ke Kuasa Pengguna Anggara
(Satuan Kerja).
Prakteknya masih kontroversi. Dinas
Kesehatan dan Dinas Pendidikan Propinsi
secara tegas menyatakan bahwa
program/kegiatan yang dibiayai
dilaporkan ke Gubernur dan ke
Departemen. Namun Biro Keuangan
Propinsi juga menyatakan bahwa mereka
tidak pernah diberitahu dan terlibat dalam
proses perencanaan dan
pertanggungjawaban dana ini.
Semua barang yang diperoleh dari dana
dekonsentrasi selalu dihibahkan ke
daerah.
Daerah belum dapat secara tegas
membedakan mana dana dekon mana
dana TP, sehingga tidak bisa dipastikan
apakah dana dekon masih membiayai
kegiatan non-fisik.
Pada prakteknya, seringkali kegiatan
yang dibiayai oleh dana dekon
memerlukan kegiatan pendamping yang
dibiayai oleh APBD
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
20
22. Tabel 3.
Dana Tugas Pembantuan Antara Peraturan Dan Pelaksanaannya di Daerah (Propinsi
Jambi, Propinsi Sumsel, Propinsi Bengkulu, Propinsi Lampung, Propinsi Sumut)
Dana Tugas Pembantuan
Untuk membiayai pelimpahan
Tugas Pembantuan kepada
Daerah dan/atau Desa
Kegunaan
dana
Keterkaitan
dengan
perencanaan
di daerah
Yang
melaksanakan
Kepala Daerah
memberitahukan rencana kerja
dan anggaran yang berkaitan
dengan kegiatan Tugas
Pembantuan kepada DPRD
saat pembahasan RAPBD
Dilaksanakan oleh SKPD yang
ditunjuk Kepala Daerah
Pertanggungja
waban
SKPD yang melaksanakan
melaporkan ke Kepala Daerah
dan kemudian dilaporkan ke
kementrian/lembaga
Yang
terkait
dengan aset
Semua barang yang diperoleh
dari dana tugas pembantuan
merupakan milik negara namun
dapat dihibahkan kepada
daerah
Dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan yang
bersifat fisik
Tidak memerlukan dana
pendamping, karena prinsip
"money follow functions".
Kegiatan yang
dapat dibiayai
Dana
pendamping
Praktek di Daerah saat ini
Belum jelas mana program/kegiaitan yang
dibiayai dana tugas pembantuan, kecuali
di bidang kesehatan yang menyatakan
bahwa seluruh pembiayaan dari Pusat ke
Rumah Sakit Daerah adalah merupakan
Tugas Pembantuan.
Belum sepenuhnya dapat dilaksanakan
karena program/kegiatan yang
merupakan tugas pembantuan tidak
semuanya diketahui oleh Pemda saat
pembahasan RAPBD
Masih belum jelas. Ada yang menyatakan
dilaksanakan oleh Satker yang ditetapkan
oleh Menteri, ada juga yang menyatakan
dilaksanakan oleh SKPD yang ditetapkan
oleh Kepala Daerah
Prakteknya masih kontroversi. Dinas
Kesehatan dan Dinas Pendidikan Propinsi
secara tegas menyatakan bahwa
program/kegiatan yang dibiayai
dilaporkan ke Gubernur dan ke
Departemen. Namun Biro Keuangan
Propinsi juga menyatakan bahwa mereka
tidak pernah diberitahu dan terlibat dalam
proses perencanaan dan
pertanggungjawaban dana ini.
Semua barang yang diperoleh dari dana
TP selalu dihibahkan ke daerah.
Di bidang kesehatan secara tegas telah
dinyatakan bahwa dana TP dibatasi untuk
membiayai kegiatan fisik
Pada prakteknya, seringkali kegiatan
yang dibiayai oleh dana TP memerlukan
kegiatan pendamping yang dibiayai oleh
APBD
E.4. Persepsi Pejabat Daerah Terhadap Pengalihan
Terdapat dua kelompok pandangan pejabat daerah tentang pengalihan dana
dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, yaitu:
(1) Setuju
dialihkan
karena
daerah
akan
lebih
bertanggungjawab
dalam
pelaksanaannya. Namur demikian ada beberapa catatan penting yang diberikan
untuk persetujuan tersebut.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
21
23. (2) Tidak Setuju dialihkan karena Dana Dekon dan TP lebih netral dari diintervensi
oleh DPRD dibanding dengan DAK.
Kelompok yang setuju dengan pengalihan dana dekon dan TP yang mendanai
urusan daerah menjadi DAK, mengemukakan beberapa permintaan mereka:
1. DAK jangan mensyaratkan dana pendamping. Hal ini akan memberatkan daerah
apabila jumlah DAK nya besar sekali seperti dana BOS. Dana pendamping akan
menyedot dana lain di APBD yang juga dibutuhkan untuk pembangunan sektor
lainnya.
2. DAK juga mesti ada untuk propinsi, bahkan kalau bisa DAK untuk kabupaten/kota
harus di koordinasikan oleh Propinsi.
3. Proses pencairan DAK yang rumit sebaiknya lebih disederhanakan. Terlalu banyak
instansi yang terlibat dalam pencairan DAK termasuk Kanwil DJPB yang akhirnya
menambah panjang jalur birokrasi. Mestinya DAK dapat langsung ditransfer ke
daerah sebagaimana DAU.
Meskipun begitu umumnya pejabat menganggap bahwa dana dekonsentrasi
dan Tugas Pembantuan tetap diperlukan untuk tugas pusat yang didekonsentrasikan
ke Gubernur serta yang ditugaspembantuankan ke daerah.
E.5. Berbagai Permasalahan Pengalihan
E.5.1. Pembagian Kewenangan/Urusan
Pemindahan Dana Dekon/TP yang mendanai urusan daerah menjadi DAK
menghendaki kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Aturan yang masih berlaku saat ini adalah PP 25/2000 tentang kewenangan
pemerintah pusat dan propinsi. Sebagai aturan yang masih berlaku selama ini
menimbulkan ketidakjelasan
dan
berbagai
masalah
dan
kontroversi
seputar
pembagian kewenangan antara pusat dan daerah di berbagai bidang pemerintahan.
Sementara itu, RPP tentang pembagian urusan antara pusat propinsi dan
kabupaten/kota sebagai pengganti PP 25/2000 yang diharapkan dapat memperjelas
pembagian urusan masih belum rampung.
E.5.2. Kerancuan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah
Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah yang diatur dengan UU 33/2004
nampaknya tidak/belum dijadikan acuan oleh semua kementrian/lembaga pusat dalam
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
22
24. melaksanakan programnya. UU 33/2004 telah menentukan berbagai instrumen
pendanaan tugas desentralisasi, urusan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Secara
tegas dinyatakan bahwa untuk pelaksanaan urusan yang telah didesentralisasikan
harus dibiayai dengan dana desentralisasi (DAU, DAK, dan Bagi Hasil) dan
pendapatan asli daerah (PAD).
UU 33/2004 juga mengisyaratkan bahwa pusat tidak boleh mendanai
pelaksanaan urusan desentralisasi dengan anggaran kementrian/lembaga. Jika ini
dikaitkan dengan aktifitas Menteri Pendidikan yang membuat MOU dengan pemerintah
daerah untuk sharing pembiayaan pendidikan yang merupakan urusan daerah,
tentunya menjadi pertanyaan besar, dimana letak MOU itu dalam konteks hubungan
keuangan pusat dan daerah.
Seluruh Proponsi (bersama Kabupaten/Kota) untuk sharing dana pendidikan.
Prosentase sharing beragam dari satu propinsi ke propinsi yang lain. Di Jambi, sebagai
contoh, prosentase sharing adalah 50% oleh pusat, 20% oleh propinsi, dan 30% oleh
kabupaten/kota. Di Propinsi Sumsel, sharing nya adalah 50% oleh pusat, 30% oleh
propinsi, dan 20% oleh kabupaten/kota.
Sharing dimaksud adalah untuk mendanai berbagai program pendidikan seperti
rehabilitasi gedung sekolah, program penuntasan wajar 9 tahun, program peningkatan
APK Pendidikan Usia Dini, dll.
Problematika
Pengalihan
Dana
Dekonsentrasi
dan
Tugas
Pembantuan
Departemen Pendidikan Nasional Yang Mendanai Urusan Daerah Menjadi DAK.
Pendanaan penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah sampai saat ini
dilakukan oleh ketiga level pemerintahan (pusat, propinsi, kabupaten/kota). Pemerintah
Kabupaten di APBD menyediakan gaji dan tunjangan bagi guru PNS di SD, SLTP dan
SMU/SMK di daerahnya, dana untuk pembangunan sekolah, dll sebagainya.
Departement Pendidikan Nasional menyediakan berbagai dana seperti dana BOS dan
dana penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, pembangunan unit sekolah
baru, dll. Demikian juga beberapa Pemerintah Propinsi menyediakan dana untuk
pembangunan sekolah dll.
Beberapa Dana Depdiknas yang ada di lampiran 1. belum dapat dikategorikan
secara pasti apakah sebagai dana Kementrian/Lembaga, dana dekonsentrasi dan
dana tugas pembantuan. Namun yang jelas bahwa Depdiknas menyediakan
pendanaan untuk penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah. Kita tahu bahwa,
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
23
25. hingga saat tulisan ini dibuat, kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan
menengah adalah di level Pemerintah Kabupaten/Kota. Sehingga jika dana-dana
tersebut dikategorikan sebagai dana dekonsentrasi dan/atau dana tugas pembantuan,
sesuai dengan UU 33/2004 pasal 108, harus secara bertahap dialihkan menjadi DAK.
Ada beberapa problematika jika dana Depdiknas yang mendanai urusan daerah
dijadikan DAK, diantaranya:
• Diperkirakan sebanyak 15-20 triliun rupiah dana di Depdiknas akan beralih menjadi
DAK. Konsekuensi dari hal ini adalah belanja Pemerintah Pusat bidang pendidikan
akan berkurang prosentasinya, karena DAK pendidikan belum diperhitungkan
sebagai bagian dari belanja Pemerintah Pusat bidang pendidikan.
• Belanja Depdiknas di daerah sangat bervariasi bentuk dan jenisnya, mulai dari
bantuan untuk operasional sekolah, sampai kepada blokgrant bagi programprogram tertentu disekolah. Pemindahan berbagai jenis dana tersebut menjadi DAK
tentunya akan mempersempit ruang lingkupnya. DAK sebagaimana ditetapkan oleh
UU hanya untuk membiayai kegiatan yang bersifat fisik, padahal belanja Depdiknas
di daerah juga untuk membiayai kegiatan non-fisik di sekolah-sekolah.
• Pemindahan belanja Depdiknas yang mendanai urusan daerah menjadi DAK akan
meningkatkan jumlah DAK bidang pendidikan secara signifikan, sehingga
meningkatkan dana pendamping yang harus disediakan daerah. Hal ini telah
menjadi keberatan bagi daerah-daerah tertentu.
F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
F.1. Kesimpulan
Pengalihan secara bertahap dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang
mendanai urusan daerah menjadi dana perimbangan khususnya DAK, sebagaimana
diamanatkan UU 33/2004 penting untuk dilaksanakan dalam rangka memperkuat
pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal, terutama dari sisi keleluasaan daerah
dalam melakukan alokasi sumber daya. Peranan dana kementrian/lembaga dan atau
dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang sangat besar bagi pelaksanaan program
di daerah tertentu dan sektor tertentu menjadikan daerah tersebut hanya sebagai
pelaksana program kementrian/lembaga dan APBD hanya digunakan sebagai sumber
belanja administrasi. Hal ini jelas melemahkan proses desentralisasi.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
24
26. Namun demikian terdapat berbagai permasalahan dalam upaya pemindahan
dana
dekonsentrasi/tugaspembantuan
yang
mendanai
urusan
menjadi
DAK,
diantaranya:
1. Belum selesainya revisi PP 25/2000 tentang pembagian urusan pemerintah pusat,
propinsi dan kabupaten/kota.
2. Belum jelasnya kategorisasi belanja kementrian/lembaga bagi daerah. Belum ada
kejelasan mana yang dilaksanakan sendiri, mana yang didekonsentrasikan dan
mana yang ditugaspembantuankan. Hal ini menyulitkan untuk mengidentifikasi
mana dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang dapat dialihkan menjadi DAK.
3. Sempitnya definisi DAK yang diberikan aturan yang ada saat ini, terutama PP
55/2004 tentang dana perimbangan, mengakibatkan DAK menjadi kurang fleksibel
untuk menampung berbagai jenis dana dekonsentrasi/tugas pembantuan.
4. Khusus
untuk
bidang
pendidikan,
pemindahan
dana
dekonsentrasi/tugas
pembantuan menjadi DAK pendidikan akan mengurangi prosentasi belanja
pemerintah di bidang pendidikan, karena DAK pendidikan adalah bagian belanja
daerah.
Selain itu penelitian ini juga menemukan berbagai hal-hal yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan terkait dengan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan
itu sendiri, diantaranya:
1. Pemahaman yang cukup beragam oleh pejabat daerah tentang pengertian dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
2. Terdapat kesenjangan antara aturan pelaksanaan dana dekonsentrasi/tugas
pembantuan menurut UU 33/2004 dengan praktek pelaksanaannya di daerah.
Respon pejabat Pemda terhadap rencana pengalihan dana dekonsentrasi/tugas
pembantuan yang mendanai urusan daerah menjadi DAK terbagi kedalam kelompok
yang setuju dan tidak setuju dengan alasan masing-masing. Namun demikian,
sebagian besar pejabat Pemda setuju bahwa dana dekonsentrasi/tugas pembantuan
tetap harus ada untuk mendanai pelaksanaan tugas kementrian/lembaga di daerah
oleh instansi Pemda.
F.2. Rekomendasi
Terlepas dari setuju atau tidaknya pejabat Pemda, pengalihan secara bertahap
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang mendanai tugas daerah menjadi
DAK, sebagaimana diamanatkan oleh UU 33/2004, sebaiknya dilakukan dalam rangka
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
25
27. memperkuat proses desentralisasi fiskal. Namun berbagai prakondisi yang diperlukan
untuk terujudnya proses pengalihan perlu disiapkan, diantaranya adalah (1) kejelasan
pembagian urusan antara pusat propinsi dan kabupaten/kota, (2) kejelasan klasifikasi
belanja kementrian/lembaga di daerah, (3) Perluasan cakupan kegiatan yang bisa
didanai oleh DAK, tidak hanya untuk kegiatan pembangunan fisik tetapi juga untuk
kegiatan operasional, dll. (4) kemungkinan DAK khususnya bidang pendidikan
diperhitungkan sebagai bagian dari belanja pusat.
Klasifikasi jenis dana nampaknya harus dilakukan di level kementrian/lembaga,
sehingga di setiap kementrian/lembaga jelas mana yang akan dilaksanakan sendiri,
mana
yang
didekonsentrasikan,
mana
yang
di
Tugas
Pembantuankan.
Pengklasifikasian sebaiknya sudah dimulai ditahap penyusunan Renja KL diteruskan
ke RKA-KL sehingga dapat disingkronkan dengan RKA SKPD dan disempurnakan
ditahapan DPA KL.
Sejalan dengan penyempurnaan PP tentang pembagian urusan, klasifikasi
anggaran KL perlu dievuasi setiap tahunnya oleh sebuah task force lintas departemen
untuk dijadikan rekomendasi bagi penyusunan anggaran tahun berikutnya. Hasil
evaluasi akan merekomendasikan jenis dana dekonsentrasi/tugas pembantuan yang
harus dialihkan menjadi DAK.
Sebagai catatan, hal yang juga penting untuk dipertimbangkan adalah sifat dari
pendanaan tersebut. Meskipun dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan mendanai
urusan daerah, namun bersifat temporer (1-3 tahun), maka perlu dipertimbangkan
untuk tetap dipertahankan sebagai dana dekonsentrasi/tugas pembantuan.
Mengingat telah terjadi kesenjangan antara aturan dan pelaksanaan dana
dekonsentrasi/tugas pembantuan di daerah, maka sangat diperlukan sebuah Peraturan
Pemerintah tentang dana dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang harus dijadikan
pedoman
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pertanggungjawaban
bagi
kementrian/lembaga serta Pemda.
Peraturan Pemerintah tentang dana dekonsentrasi/tugas pembantuan haruslah
(1) Dapat memperbaiki transparansi/klasifikasi belanja kementrian/lembaga di daerah
(2) Men-singkronkan APBD dengan dana dekonsentrasi/tugas pembantuan.
(3) Memperjelas pertanggungjawaban dana tersebut.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
26
28. Daftar Bacaan
Alm, James, R.H.Aten dan Roy Bahl (2001) Can Indonesia Decentralize successfully?
Plans, Problems and Prospects”, Bulletin of Indonesian Economic Studies
(BIES) 37 (1), hal. 83-102.
BPS, Bappenas dan UNDP (2005): Indonesian Human Development Report 2004: The
Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia”, BPS,
Bappenas and UNDP.
Elfindri & Handra (2005), Perimbangan Keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah:
Tantangan Bagi Pemerataan Pelayanan Publik, Makalah disampaikan pada
Semiloka Evaluasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi, Jakarta 2-3 Juni 2005.
Fane,
George, 2003, 'Change and Continuity in Indonesia's
Decentralisation Arrangements', BIES Vol.39, No.1, p.156-176.
New
Fiscal
Handra, Hefrizal (2005), "A Study of Indonesia's Fiscal Equalisation Mechanims In the
Early Stages of Decentralisation", Ph.D Thesis, Faculty of Social Science,
Flinders University of South Australia.
Hidayat, S. (2001) “Hubungan kekuasaan Pusat-Daerah Dalam Perspektif Elit
Penyelenggara Pemerintah Daerah”, dalam Sjarif Hidayat (ed.), Otonomi
Daerah dalam Perspektif Lokal”, P2E-LIPI.
Hofman, Bert & Kaiser, Kai, 2002, The Making of the Big Bang and its Aftermath: A
Political Economy Perspective, Paper Presented at the Conference: Can
Decentralization Help Rebuild Indonesia? May 1-3 2002, Andrew Young School
of Policy Studies, Atlanta.
Lewis, Blane D. (2001) “The New Indonesian Equalization Transfer”, BIES 37 (3), hal.
309-324.
Lewis, Blane D. Jasmin Chakeri (2004) “Central Development Spending in the Regions
Post-Decentralization, BIES, Vol 40, No. 3, hal. 379-394.
Lewis, Blane D., 2003, 'Indonesia', Chapter 5 in Intergovernmental Fiscal Transfers in
Asia: Current Practice and Challenges for the Future, edited by Paul Smoke &
Yun-Hwai
Kim,
Asian
Development
Bank,
available
at:
http://www.adb.org/Documents/Books/Intergovernmental_Fiscal_Transfers/defa
ult.asp, accessed by July 2003.
Matsui, Kazuhisa (2005) “ Post-Decentralization Regional Economies and Actors:
Putting the Capacity of Local Government to The Test”, The Developing
economies, XLIII-1, march, hal 171-189.
Rondinelli, Denis, 'What is Decentralisation? in Decentralisation Briefing Notes, World
Bank Institute, available in http:/www.worldbank.org/.
Silver Christover, Iwan J. Aziz dan Larry Scroeder (2001) “Intergovernmental Transfers
and Decentralization in Indonesia”, BIES 37 (3), hal. 345-363.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
i
29. Smith B.C. (1985) “Decentralization: The Teritorial Dimension of the State”, George
Allen & Irwin.
Undang undang 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang undang 33/2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
Unity in Diversity? He Creation of New Local Governments in a Decentralizing
Indonesia (2005), “BIES, Vol 41 (1), hal. 57-80.
Van De Walle, Dominique (1998) “Assessing the Welfare Impacts of Public Spending”,
World Development, Vol 26, No. 3, hal 365-379.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006)
ii