Artikel ini membahas tentang tantangan bagi pemimpin Indonesia untuk berkiprah di era globalisasi. Pemimpin Indonesia cenderung bersifat personable mediator namun kurang memiliki kemampuan teknis yang diperlukan di tingkat global. Untuk mengembangkan kompetensi kepemimpinan global, perlu adanya pengalaman internasional dini dan peningkatan kemampuan teknis secara sistematis.
2. Majalah Psikologi Angkatan Darat 14
U T A M A
Edisi X/IV/2013
P E R E K O N O M I A N d i
kawasan Asia tumbuh dengan
mengagumkan dalam beberapa
dekade belakangan ini. Hampir
semua perusahaan terkemuka dunia
berlomba untuk mengambil peran
secara aktif dan menuai keuntungan
dari pertumbuhan ekonomi yang
menjanjikan di area tersebut. Asia
- dengan dipimpin oleh China -
menarik sebagian besar investasi
langsung dari seluruh dunia.
Penandatanganan ACFTA (Asean
- China Free Trade Agreement)
memicu tren global baru yang
menitikberatkan pentingnya Asia,
dan menempatkan ACFTA sebagai
kawasan perdagangan bebas ketiga
terbesar di dunia - dan pertama
berdasarkan jumlah penduduknya -
serta menjadikannya sebagai kekuatan
sentral dalam perekonomian dunia.
Dalam konteks ini, Indonesia
diakui sebagai salah satu bintang Asia
yang sedang bersinar, bersama dengan
China, India, Malaysia, Republik
Korea, dan Thailand (berdasarkann
repot dari Asian Development Bank
Report, 2011). Indonesia menikmati
pertumbuhan ekonomi yang positif
secara konsisten sejak dekade terakhir
dan semakin menarik bagi investasi
asing (Sachs, 2009), khususnya setelah
memulihkan kembali predikatnya
dalam investment grade. Di bawah
sorotan tersebut, tampaknya saat
ini tidak ada perusahaan yang
mampu menghindarkan diri dari
dampak globalisasi, bahkan jika
pada awalnya mereka hanya
berstatus sebagai pemain lokal.
Kedatangan perusahaan raksasa
berskala internasional membuat
mereka harus menyusun strategi
untuk mempertahankan diri, serta
mengayun langkah untuk maju
dan merebut celah pasar. Kondisi
di mana ‘the world is flat’ tersebut
menuntut hadirnya pemimpin yang
berkinerja gemilang tidak hanya di
kandang sendiri, melainkan juga di
Komparasi Kepemimpinan yang
Efektif di Dunia Bisnis
Tantangan bagi Profesional Indonesia
untuk Berkiprah di Era Global
Prof. Dr. Hora Tjitra, Zhejiang University, China
Tjitra Management Consulting, Jakarta
Co-author : Kristina Ariyanti
an article from:
3. Majalah Psikologi Angkatan Darat15
U T A M A
Edisi X/IV/2013
kancah global.
Bila kita mencermati publikasi
mengenai para pemimpin Asia di
perusahaan - perusahaan besar
dunia saat ini, tampaknya China
dan terutama India merupakan
supplier global talent yang semakin
mendominasi untuk saat ini.
Bagaimana dengan Indonesia,
negara dengan jumlah penduduk
yang berjumlah sekitar 250 juta jiwa?
Walauadacukupbanyakprofessional
indonesia yang sukses berkarir di luar
negeri, secara potential, jumlahnya
jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan negara-negara Asia yang
lain. Dengan kondisi saat ini,
tampaknya Indonesia dilihat sebagai
pasar tenaga kerja professional yang
belum dimanfaatkan secara optimal,
dan masih menyimpan potensi laten
yang besar untuk dikembangkan.
Persepsi dan Adaptasi: Asia vs
Barat, Serupa vs Berbeda
Kerja sama bidang perdagangan
di antara sesama negara di Asia
merupakan pengalaman yang relatif
baru, dan belum terjalin intensif
layaknya kerja sama perdagangan
antara Asia dan Barat. Biasanya, kerja
sama dengan pihak Barat memiliki
aturan main yang jelas. Pihak Barat
memiliki power yang lebih tinggi, baik
dalamsegimanagement,teknologidan
pendanaan.Permasalahandalamkerja
sama lebih terletak pada perbedaan
bahasa dan fasilitas yang tersedia bagi
pihak - pihak yang terlibat. Saat ini,
globalisasi menyebabkan perubahan
aturan - dimana kerja sama yang
terjalin akan lebih bersifat egaliter,
dan fasilitas serta bahasa tidak lagi
menjadi penghalang utama.
Tantangan utama dalam
globalisasi modern ini lebih terletak
pada kecepatan beradaptasi , and
menciptakan sinergi dari pesertanya
terhadap partner kerja samanya.
Saat bekerja sama dengan sesama
negara Asia, kita cenderung untuk
menganggap mereka serupa dengan
kita, dan kemudian terkaget -
kaget jika partner kerjasama kita
tidak berperilaku seperti apa yang
diharapkan. Hal tersebut seringkali
menghambat terjalinnya kerja sama
yang efektif. Sementara jika bekerja
sama dengan Barat, kita biasanya
sudahmengantisipasiterlebihdahulu
bahwa kita akan menghadapi pihak
yang berbeda dengan kita, sehingga
toleransi kita akan perbedaan pun
biasanya cenderung lebih besar.
Tidak hanya terhadap partner
kerja sama, adaptasi pun perlu
dilakukan terhadap proses kerja
sama yang sifatnya egaliter. Bagi
pemimpin Asia - khususnya
Indonesia - yang terbiasa dengan
pola hierarki dalam hubungan,
Gambar 1. Meningkatnya perdagangan di antara sesama negara Asia
an article from:
4. Majalah Psikologi Angkatan Darat 16
U T A M A
Edisi X/IV/2013
pentingnya buy-in dari anggotanya
dapat menjadi suatu pengalaman
yang aneh, mengingat banyak
pemimpin yang tidak terbiasa untuk
memberikan penjelasan dengan
data dan fakta karena legitimate
power yang terbiasa dimilikinya,
dan terkejut ketika anggotanya
tidak serta merta menurut, namun
meminta penjelasan detil. Dengan
demikian, adaptasi tampak sebagai
point of learn penting bagi para
pemimpin saat berkiprah di area
global.
Dalam tema kerja sama antar
negara, adaptasi budaya di tingkat
individu juga menjadi kompetensi
global yang penting bagi kesehatan
mental individu yang menjalani
penugasan internasional. Hasil
penelitian menemukan bahwa
ketidakmampuan expatriate
dalam menyesuaikan diri akan
menghasilkan kerugian besar di
pihak organisasi, contoh akibatnya
adalah hubungan buruk dengan
klien dan rusaknya image organisasi.
Secara spesifik, kompetensi adaptasi
tersebut disebut sebagai intercultural
competences, faktor yang dapat
digunakan untuk memprediksi
keberhasilan penugasan internasional.
Salah satu bentuk kompetensi yang
paling penting adalah intercultural
sensitivity, yakni kemampuan untuk
mengelola perbedaan budaya dan
adanya keinginan untuk menerima
sudut pandang orang lain yang
berbeda budaya (Bhawuk & Brislin,
1992).
Kompetensi Kepemimpinan
Indonesia dan Tantangan untuk
Menjalin Sinergi
Sebuah studi hasil kolaborasi
antara Zhejiang University, China
dan Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya, Jakarta yang disponsori
oleh Human Capital Leadership
Institute (HCLI), Singapura mengenai
kepemimpinanAsia(China,Singapore,
dan Indonesia) menggambarkan
pemimpin Indonesia sebagai
personable mediator. Studi kualitatif
ini melibatkan sekitar 137 responden
di tingkat manajerial serta rekan
kerja mereka yang berbeda budaya.
Personable mediator digambarkan
sebagai pendengar yang baik, peka
terhadap berbagai pendapat dan
mampu mengolahnya sehingga bisa
diterima oleh berbagai pihak (Tjitra,
et.al., 2012).
Salahsatukarakteristikkuatyang
dihargai dari pemimpin Indonesia
adalah “halus”. Akan tetapi,
ketika orang yang sama menjadi
pemimpin di setting budaya China,
maka ke”halus’‘an tersebut dapat
dipersepsi sebagai pemimpin yang
lemah. Di sisi lain, pemimpin yang
dianggap kuat di budaya China,
dapat dipersepsi sebagai pemimpin
yang kasar di budaya Indonesia.
Hal ini menunjukkan etnosentrisme,
dimana kita akan melihat nilai - nilai
di negara lain dengan konsep yang
berlaku di negara kita sendiri.
Gambar 2. Etnosentrisme: Dua sisi mata uang
an article from:
5. Majalah Psikologi Angkatan Darat17
U T A M A
Edisi X/IV/2013
Contoh lainnya: bagi masyarakat
China, tingginya kesibukan
seseorang sering dipandang sebagai
indikasi kesuksesan. Sebaliknya,
di Indonesia, konsep priyayi dan
work-life balance lebih penting.
Orang yang terlalu sibuk, justru
dikasihani karena itu berarti dia
belum berhasil dalam karirnya.
Hasil dari dua hal yang berbeda
tersebut tampak dalam salah satu
cerita di hasil penelitian tersebut:
Walaupun perusahaan-perusahaan
China di Indonesia memiliki tingkat
turnover karyawan yang tinggi dan
menghadapi banyak tantangan
untuk memotivasi professional
lokal, namun terindikasikan juga
bahwa mereka berhasil lebih cepat
untuk merebut pasar untuk bisnis
mereka. Hasil wawancara dengan
lokal talent perusahaan Indonesia di
China mengindikasikan professional
lokal yang lebih loyal dan engaged,
tetapi bisnis berjalan lebih lambat
untuk merebut pasar. Agar dapat
menjalin sinergi dalam kerja sama,
kedua belah pihak perlu untuk
menyesuaikancarapandangmereka.
Pihak China perlu menurunkan
ekspektasi mereka akan etos ‘kerja
keras‘ sementara , dan terutama
belajar bagaimana membentuk etos
kerja di Indonesia. Pihak Indonesia
pun perlu menaikkan standar ‘kerja‘
dan hasil yang mereka anut.
Lesson Learned dan Upaya
Pengembangan
Dalam studi lainnya mengenai
kepemimpinan Indonesia dan
Jerman, diperoleh beberapa hal
menarik yang dapat menjadi poin
pembelajaran. Seorang pemimpin
di Indonesia lebih diharapkan untuk
memberikan arahan dan motivasi.
Tidak harus menguasai tema secara
detil, namun mampu mengetahui
gambaran besar arah yang ingin
dicapai. Sebaliknya, pemimpin di
Jerman diharapkan untuk memiliki
kemampuan teknis yang tinggi,
bahkan juga memberi masukan dari
segi teknis kepada bawahannya. Di
jalur karirnya, pemimpin Indonesia
seringkali terlalu cepat berpindah
dari specialist - technical ke general
management. Kemampuan teknis
yang belum sempurna, ditambah lagi
dengan kemampuan berkomunikasi
yang tidak sebaik rekan - rekan
dari negara Asia lainnya membuat
pemimpin Indonesia seringkali tidak
tampak cemerlang di kancah global.
Mereka yang berhasil di luar negeri
biasanya memiliki latar belakang
kemampuanteknisyangkuat,sehingga
dapat menunjukkan hasil kerjanya
tanpa perlu berkomunikasi terlalu
jauh. Sebaliknya, para pemimpin
Indonesia yang memiliki kemampuan
berpikir strategik yang baik, seringkali
kurang didukung oleh kemampuan
teknis yang kuat. Hal - hal tersebut
merupakan tantangan manusia
Indonesia dalam mengembangkan
karir internasional.
Belajar dari mereka yang sukses
berkarir global, ternyata ada bebe-
rapa hal yang dapat dikembangkan
secara sistematik untuk mendukung
pengembangan talent Indonesia.
Langkah pertama adalah mening-
katkan pengalaman akan pengenalan
bisnis internasional, lalu dilanjutkan
dengan mengoptimalkan pengalaman
dalam team dan kepemimpinan
dengan memiliki kolega dan atasan
dari negara yang berbeda, tetapi
masih dalam setting Indonesia. Lang-
kah berikutnya bisa dalam bentuk
memberikan tanggung jawab dalam
proyek internasional, misalnya bisa
dimulai dengan melalui tim virtual,
hingga akhirnya berkarir di luar
negeri. Beberapa hal yang penting
untuk dicermati adalah bahwa
pengalaman awal tersebut sebaiknya
terjadi sesegera mungkin, dan bahwa
kepercayaan diri serta passion untuk
terus belajar juga menjadi hal yang
penting untuk dikembangkan bagi
individu.
Sebagai kesimpulan akhir,
peran terpenting psikologi dalam
pengembangan kompetensi
kepemimpinan efektif adalah
usaha - usaha yang dilakukan untuk
mengetahui kelebihan dan keunikan
manusia Indonesia - bukan hanya
sekadar mengikuti arus dan trend,
serta mengembangkannya secara
sistematik.
Sumber :
Asian Development Bank Report.
(2011). Asia 2050: Realizing the
Asian Century.
Bhawuk, D.P.S & R. Brislin.
(1992). The Measurement of
intercultural sensitivity using
the concepts of individualism
and collectivism. International
Journal of Intercultural
Relations. 16, 413- 436.
Sachs, G. (2009). The Long-Term
Outlook for the BRICs and N-11
Post Crisis Global Economics
Paper No. 192.
Tjitra, H.W., Ramakrishnan, M. &
Panggabean, H. (2012). Building
the Global Competence for
Asian Leaders. In W. Mobley, Y.
Wang & M. Li (eds.). Advance
in Global Leadership Vol. 7.
Bingley, UK: Emerald Group.
(269 - 290)
an article from: