4. Kata Pengantar
Dalam rangka meningkatkan penyebarluasan informasi tentang pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan di Indonesia, maka berbagai upaya dilakukan antara lain
melalui penerbitan Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jurnal ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk mengetahui
perkembangan pengendalian penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak
menular serta program penyehatan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan
Rl.
Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi terbitan
pertama, direncanakan akan terbit setiap tahun.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak atas kontribusi yang telah diberikan,
sehingga Jurnal ini dapat diterbitkan.
Semoga informasi yang kami tuliskan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
6. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
di Kabupaten Bireun, Provinsi Aceh
M. Sugeng Hidayat¹, Rifaunama R¹, Amir Addani²,
Toni Wandra¹
¹Subdit Pengendalian Penyakit jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
²Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun
Abstract
One of the main activities in controlling
cardiovascular disease is early detection of active
conduct of its risk factor in the community. Through
the early detection of risk factors can be expected
to handle as early as possible, so that the
prevalence of risk factors for heart disease and
blood vessels can be derived as optimal as
possible. The Objectives of this activity is to define
the prevalence of risk factors of cardiovascular
diseases in the community. This survey adopted
observational study design. It was conducted in
Bireun District, Aceh Province. There were 315
respondents involved in the study. Several
measurements were carried out including blood
pressure, weight, height, blood lipid and ECG. The
instrument of questionare was used to gain
anamnesa of behaviour factors. It found that the
percentage of respondent with family history of
cardiovascular disease, hypertension and stroke is
tend to high. The prevalence of daily smoking
prevalence is higher than the provincial and national
levels. Some risk factors of cardiovascular disease
showed an increase that need to take into account.
Latar Belakang
Salah
satu
masalah
kesehatan
masyarakat yang menjadi isu terkini adalah
adanya beban ganda penyakit (double burden
diseases), yaitu disatu pihak masih terdapat
penyakit infeksi yang harus ditangani, dilain
pihak semakin meningkatnya penyakit tidak
menular. Terdapat peningkatan yang cukup
signifikan kematian penyakit tidak menular,
dimana pada tahun 1995 tercatat 41,7%
meningkat menjadi 59,5% pada tahun 2007
(Riskesdas, 2007).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi beberapa
faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah seperti berat badan lebih dan obesitas
(obesitas umum) mencapai 19,1%, obesitas
sentral 18,8%, sering makan makanan asin
sebesar 24,5%, sering makan makanan
berlemak sebesar 12,8%, kurang makan sayur
buah 93,6%, kurang aktifitas fisik 48,2%,
gangguan mental emosional 11,6%, perokok
setiap hari 23,7% dan konsumsi alkohol dalam
12 bulan terakhir mencapai 4,6%.
Salah satu kegiatan pokok pengendalian
penyakit jantung dan pembuluh darah adalah
melaksanakan deteksi dini aktif faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah di
masyarakat. Melalui kegiatan deteksi dini
faktor risiko diharapkan dapat dilakukan
penanganannya sedini mungkin, sehingga
prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah dapat diturunkan serendah
mungkin.
Tujuan
Diketahuinya prevalensi faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah yang
dapat digunakan dalam penyusunan rencana
kegiatan pengendalian penyakit tidak menular
khususnya penyakit jantung dan pembuluh
darah di Kabupaten Bireun.
Cara
Deteksi dini
aktif
di masyarakat
dilaksanakan di Kecamatan Gandapura,
Kabupaten Bireun Provinsi Aceh pada bulan
Agustus 2011. Jumlah responden sebanyak
315 orang, usia ≥18 tahun. Pemilihan
kecamatan dilakukan secara multi-stage
random sampling.
Sebelum kegiatan deteksi dini, dilakukan
pelatihan tentang cara pengumpulan data
terhadap 20 enumerator yang terdiri dari 10
petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan,
analis) Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun
dan Puskesmas Gandapura dan 10 kader
kesehatan. Pelatihan petugas kesehatan dan
kader dilaksanakan secara terpisah.
Materi pelatihan meliputi: Cara pengisian
‖Kartu Kontrol‖ dan ‖Kartu Menuju Sehat,
Terhindar dari Faktor Risiko Penyakit Jantung
dan Pembuluh Darah (KMS FR-PJPD)‖;
Penentuan IMT; Pengukuran lingkar perut dan
tekanan darah; Penentuan skor FR-PJPD;
Pengukuran lemak darah dengan cardiocheck;
dan pemeriksaan Electrocardiogram (EKG).
Materi cara pemeriksaan lemak
darah
pemeriksaan EKG hanya diberikan kepada
petugas kesehatan.
Wawancara dan pengukuran dilakukan di
aula masjid desa dengan seizin pemuka
agama setempat. Responden terpilih diminta
hadir di tempat pemeriksaan tiga hari
1
7. sebelumnya melalui ketua Rukun Warga
setempat. Apabila responden berhalangan
datang ke tempat pemeriksaan, dilakukan
kunjungan rumah oleh petugas.
Pengumpulan data diawali dengan
pengisian KMS-FR-PJPD dan Kartu Kontrol
(KK) dengan wawancara serta pengukuran
berat badan, tinggi badan untuk menentukan
Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut dan
tekanan darah. Kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan
lemak
darah
dengan
menggunakan alat cardiocheck terhadap 100
responden yang dipilih dari total responden
berdasarkan total skor faktor risiko. Semakin
tinggi/banyak faktor risiko pada responden,
semakin diprioritaskan untuk pemeriksaan
lemak darah.
Pemeriksaan ECG dilakukan terhadap 10
responden yang dipilih dari 100 responden
yang diperiksa lemak darahnya apabila yang
bersangkutan memiliki riwayat penyakit
jantung (seperti berdebar-debar dan keluhan
lainnya) atau termasuk dalam kelompok 10-20
responden dengan skor tertinggi. Selanjutnya
KMS FR-PJPD yang telah terisi lengkap
diserahkan/disimpan oleh responden dan
diminta agar KMS-PJPD tersebut dibawa pada
saat kontrol ke Puskesmas bila diperlukan,
sedangkan Kartu Kontrol (KK) FR-PJPD
disimpan oleh petugas.
Hasil dan Pembahasan
1. Karakteristik responden
a. Jenis kelamin
- Laki-laki
: 129 (41%)
- Perempuan
: 186 (59%)
b. Umur responden (tahun)
- 18-24
: 30 (9,5 %)
- 25-34
: 70 (22,2%)
- 35-44
: 94 (29,8%)
- 45-54
: 51 (16,2% )
- 55-64
: 41 (13,0%)
- 65-74
: 25 (7,9%)
- ≥ 75
: 4 (1,3%)
c. Pendidikan Responden
-Tidak Sekolah
: 4 (1,3 %)
-Tidak Tamat SD
: 11 (3,5%)
-Tamat SD
: 81 (25,7%)
-Tamat SMP
: 101 (32,1%)
-Tamat SMA
: 81 (25,7%)
-Tamat Perguruan Tinggi : 37 (11,7%)
d. Pekerjaan responden
Tidak bekerja
: 157 (49,8%)
Sekolah
: 17 (5,4%)
Pedagang
PNS/Guru/TNI/ Polri
Pelajar / Mahasiswa
Lainnya
:
:
:
:
18
16
74
33
(5,7%)
(5,1%)
(23,5%)
(10,5%)
2. Riwayat keluarga
Persentase responden umur 18 tahun
ke atas yang mempunyai riwayat penyakit
jantung adalah 4,4%. Sedangkan responden
yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi 17,5% dan stroke 3,2%. Riwayat
keluarga merupakan salah satu faktor risiko
utama dalam penentuan prioritas pengukuran
lemak darah responden.
3. Perilaku Merokok
Hasil deteksi dini menunjukkan bahwa
prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
yang merokok setiap hari adalah 22,2%
(Tabel). Prevalensi responden merokok setiap
hari tertinggi pada kelompok umur 35-44 tahun
(30,9%), diikuti kelompok umur 45-54 tahun
dan 25-34 tahun masing-masing 29,4% dan
15,7%.
Risiko penyakit jantung koroner pada
perokok 2-4 kali lebih besar daripada yang
bukan perokok. Rokok dapat menyebabkan
penurunan kadar oksigen ke jantung,
peningkatan tekanan darah dan denyut nadi,
penurunan kadar kolesterol-HDL (―kolesterol
baik‖), peningkatan penggumpalan darah, dan
kerusakan endotel pembuluh darah koroner.
4. Perilaku Minum Minuman Beralkohol
Informasi minum alkohol diperoleh
dengan menanyakan kepada responden umur
18 tahun ke atas. Karena perilaku minum
alkohol seringkali periodik maka ditanyakan
perilaku minum alkohol dalam periode 12
bulan terakhir.
2
8. Hasil deteksi memperlihatkan prevalensi
responden umur 18 tahun ke atas peminum
alkohol 12 bulan terakhir, yaitu sebanyak
0,6% (Tabel).
Minuman
beralkohol
dapat
menyebabkan penyakit
gangguan hati,
kerusakan saraf otak dan jaringan di dalam
tubuh serta penyakit jantung dan pembuluh
darah.
5. Sering Makan Makanan Asin
Responden yang sering makan
makanan asin (makanan yang lebih dominan
rasa asin) dianggap sebagai berperilaku
mengkonsumsi makanan berisiko terkena
penyakit jantung dan pembuluh darah.
Perilaku
konsumsi
makanan
asin
dikelompokkan ―sering‖ apabila responden
mengkonsumsi makanan tersebut satu kali
atau lebih setiap hari.
Prevalensi responden umur 18 tahun
ke atas dengan konsumsi makanan asin yaitu
sebesar 43,9% responden (Tabel).
Prevalensi responden sering makan makanan
asin tampak tertinggi pada kelompok umur 75
tahun k atas (75,0%) diikuti kelompok umur
45-54 tahun dan umur 35-44 tahun masingmasing 64,7% dan 37,8%. Sebanyak 41,1%
responden yang sering makan makanan asin
adalah laki-laki.
Menurut pekerjaan, responden yang
paling sering makan makanan asin adalah
Petani/Buruh/Nelayan
(44,6%),
diikuti
responden yang tidak bekerja dan PNS/TNI/
POLRI/BUMN, masing-masing sebesar 44,5%.
Konsumsi makanan asin yang berlebih
terutama yang berasal dari garam dan sumber
lain, seperti produk susu dan bahan makanan
yang diawetkan dengan garam merupakan
pemicu timbulnya hipertensi. Hipertensi
penyebab tersering stroke dan serangan
jantung.
6. Sering Makan Makanan Tinggi Lemak
Responden yang sering makan
makanan tinggi lemak/berlemak (makanan
yang lebih dominan kandungan lemak)
dianggap sebagai berperilaku mengkonsumsi
makanan berisiko terkena penyakit jantung
dan pembuluh darah. Perilaku konsumsi
makanan tinggi lemak dikelompokkan ―sering‖
apabila responden mengkonsumsi makanan
tersebut satu kali atau lebih setiap hari.
Hasil deteksi dini menunjukkan
prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak
sebanyak 37,8%.
Prevalensi responden sering makan
makanan
tinggi lemak tertinggi pada
kelompok umur 25-34 (57,1%), sedangkan
menurut pekerjaan, responden yang sering
makan makanan tinggi lemak adalah
responden yang tidak bekerja (39,5%).
Makanan yang mengandung asam lemak tak
jenuh ganda dan tak jenuh tunggal umumnya
berasal dari makanan nabati, kecuali minyak
kelapa. Makanan sumber asam lemak jenuh
umumnya berasal dari hewan. Mengkonsumsi
lemak hewani secara berlebihan dapat
menyebabkan penyempitan pembuluh darah
arteri dan penyakit jantung koroner.
7. Kurang Sayur Buah
Responden
dikategorikan
kurang
sayur buah apabila makan sayur kurang dari 2
kali (2 porsi) perhari dan makan buah kurang
dari 3 kali (3 porsi) per hari selama 7 hari
dalam seminggu.
Survei di Bireun menunjukkan bahwa
secara keseluruhan responden umur 18 tahun
ke atas kurang konsumsi buah sayur sebesar
97,5%.
Prevalensi tertinggi yang kurang
mengkonsumsi sayur buah adalah kelompok
umur 18-24 (100%), diikuti kelompok umur 3544 tahun (98,9%).
Dewasa ini, perubahan pola makan
menjurus ke sajian siap santap yang tidak
sehat
dan
tidak
seimbang,
karena
mengandung kalori, lemak, protein, dan garam
tinggi, tetapi rendah serat pangan (dietary
fiber).
Jenis
makanan
ini
membawa
konsekuensi terhadap perubahan status gizi,
yaitu gizi lebih dan obesitas yang memicu
berkembangnya penyakit degeneratif, seperti
penyakit jantung dan pembuluh darah,
khususnya penyakit jantung koroner.
Makan makanan beraneka ragam
sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena
tidak ada satu jenis makanan yang
mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan
seseorang untuk tumbuh kembang menjadi
sehat dan produktif.
8. Kurang Aktivitas Fisik
Prevalensi kurang aktivitas fisik pada
responden 18 tahun ke atas adalah 84,4%.
Menurut jenis pekerjaan, responden yang
kurang aktivitas fisik pada umumnya adalah
pelajar/mahasiswa (94,1%).
Aktivitas
fisik
secara
teratur
bermanfaat untuk mengatur berat badan dan
menguatkan sistem jantung dan pembuluh
darah. Beberapa studi menunjukkan adanya
hubungan antara aktivitas fisik dengan
penyakit jantung dan pembuluh darah. Bila
melakukan latihan fisik (olahraga) minimal 30
menit setiap hari selama 3-4 hari dalam
seminggu, diharapkan tercapai hasil yang
3
9. optimal setelah latihan 4-6 minggu dan
kemampuan fisik meningkat sebesar 30-33%.
9. Stress
Data stres dikumpulkan secara
kualitatif pada responden umur 18 tahun ke
atas. Dikategorikan stres apabila responden
merasa panik, tegang atau cemas satu kali
atau lebih setiap hari.
Hasil
deteksi
memperlihatkan
prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
dengan stres, yaitu sebesar 4,7%.
Prevalensi responden yang sering mengalami
stres tampak tinggi pada kelompok umur ≥75
tahun (25,0%). Prevalensi pada laki-laki
(7,8%) lebih tinggi dibanding dengan
perempuan (2,6%). Sedangkan menurut
pekerjaan, responden yang stres umumnya
adalah Petani/Buruh/Nelayan (5,4%).
Dampak negatif stres antara lain:
Sikap agresif, frustasi, gugup, kejenuhan,
bosan dan kesepian; Alkoholik, merokok,
makan berlebihan, penyimpangan seks; Daya
pikir lemah, tidak mampu membuat keputusan,
tidak konsentrasi; Peningkatan tekanan darah,
denyut jantung, dan gula darah.
10. Obesitas Umum
Status gizi responden umur 18 tahun
ke atas dinilai dengan Indeks Massa Tubuh
(IMT). Indeks Massa Tubuh dihitung
berdasarkan berat badan dan tinggi badan
dengan rumus: BB(Kg)/TB(m)2.
Berikut ini adalah batasan IMT untuk
menilai status gizi responden umur 18 tahun
ke atas:
Kurus: IMT <18,5 (Kg/m2)
Normal: IMT 18,5-24,9 (Kg/m2)
BB lebih: IMT 25-27 (Kg/m2)
Obesitas: IMT >27 (Kg/m2)
Prevalensi responden umur 18 tahun ke atas
dengan obesitas umum adalah sebesar
23,5%. Prevalensi responden dengan obesitas
umum tertinggi pada kelompok umur 25-34
tahun (28,6%), prevalensi obesitas lebih tinggi
pada laki-laki (31,8%) dibandingkan dengan
perempuan (18,8%).
Fakta menunjukkan bahwa distribusi
lemak tubuh berperan penting dalam
peningkatan faktor risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
11. Lingkar Perut
Indikator status gizi yang lain adalah
ukuran lingkar perut (LP) untuk mengetahui
adanya obesitas sentral. Untuk laki-laki
dengan LP 90 cm atau lebih dan untuk
perempuan LP 80 cm atau lebih dinyatakan
sebagai obesitas sentral.
Dari hasil deteksi dini diketahui
bahwa prevalensi responden umur 18 tahun
ke atas dengan obesitas sentral sebesar
24,1%.
Prevalensi
responden
dengan
obesitas sentral tertinggi pada kelompok umur
45-54 tahun (25,5%). Obesitas sentral akan
meningkatkan risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
12. Hipertensi
Data hipertensi diperoleh dengan
metode pengukuran. Hipertensi berdasarkan
hasil pengukuran tekanan darah/tensi yang
ditetapkan menggunakan standar baku
pengukuran
tekanan
darah
(sphigmomanometer air raksa manual).
Pengukuran tekanan darah dilakukan pada
responden umur 18 tahun ke atas. Setiap
responden diukur tensinya minimal 2 kali, jika
hasil pengukuran kedua berbeda lebih dari 10
mmHg dibanding pengukuran pertama, maka
dilakukan pengukuran ketiga. Dua data
pengukuran dengan selisih kecil dihitung
reratanya sebagai sebagai hasil ukur tekanan
darah. Kriteria hipertensi yang digunakan
merujuk pada kriteria JNC VII 2003, yaitu hasil
pengukuran tekanan darah sistolik ≥120
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90
mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku
untuk usia 18 tahun ke atas.
Berdasarkan hasil deteksi, prevalensi
responden umur 18 tahun ke atas dengan
hipertensi sebesar 35,6%.
Prevalensi
responden
dengan
hipertensi tertinggi pada kelompok umur 45-54
tahun (61,0%), sedangkan hipertensi pada
kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar
28,6%. Prevalensi hipertensi lebih besar pada
laki-laki
(45,7%).
Sedangkan
menurut
pekerjaan,
prevalensi
tertinggi
adalah
Wiraswasta (47,4%).
Risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah meningkat sejalan dengan peningkatan
tekanan darah. Hasil penelitian Framingham
menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik
130-139 mmHg dan tekanan diastolik 85-89
mmHg meningkatkan risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah sebesar 2 kali
dibandingkan dengan tekanan darah kurang
dari 120/80 mmHg. Hipertensi merupakan
penyebab tersering penyakit jantung koroner
dan stroke, serta faktor utama dalam gagal
jantung kongestif.
13. Dislipidemia
Data dislipidemia pada responden
umur 18 tahun ke atas didapat dengan metode
pemeriksaan lipid darah menggunakan
4
10. Cardiocheck dan menggunakan standar nilai
normal sebagai berikut:
-Kolesterol total: ≥190 mg/dL
-Kolesterol-LDL: ≥115 mg/dL
-Kolesterol-HDL: <40 mg/dL (laki-laki) dan <45
mg/dL (perempuan)
-Trigliserida: > 150 mg/dL
Istilah dislipidemia digunakan apabila salah
satu atau lebih nilai stadar di atas tidak
normal. Berdasarkan pemeriksaan lemak
darah pada responden umur 18 tahun ke atas
ditemukan prevalensi dislipidemia sebesar
21,0%. Sedangkan responden
dengan
kolesterol total tinggi, kolesterol-LDL tinggi,
kolesterol-HDL rendah dan trigliserida tinggi
berturut-berturut 47,1%, 57,6%, 32,4% dan
35,3%. Prevalensi dislipidemia pada laki-laki
dan perempuan yaitu 96,9% dan 94,3%.
Untuk menurunkan risiko penyakit
jantung dan pembuluh darah, maka nilai
kolesterol total plasma harus <190 mg/dL dan
Low Density Lipoprotein (LDL) <115 mg/dL.
Pada pasien dengan DM atau pasien
asimptomatik dengan risiko penyakit jantung
dan pembuluh darah, maka target kadar
kolesterol total darah harus <175 mg/dL dan
LDL <100 mg/dL. Kadar High Density
Lipoprotein (HDL) <40 mg/dL pada laki-laki
dan <45 mg/dL pada perempuan, serta kadar
trigliserida
puasa
>150
mg/dL
akan
meningkatkan risiko penyakit jantung dan
pembuluh darah.
Perbadingan prevalensi faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah di
Kabupaten Bireun dengan prevalensi di
Provinsi Aceh dan Nasional hasil Riskesdas
2007 sebagaimanat terlihat pada Tabel.
Kesimpulan
Persentase responden 18 tahun ke atas
yang mempunyai riwayat keluarga dengan
hipertensi 17,5%, penyakit jantung 4,4% dan
stroke 3,2%.
Prevalensi merokok setiap hari pada
responden umur 18 tahun ke atas yaitu
sebesar 22,2%
Prevalensi peminum alkohol 12 bulan
terakhir adalah 0,6%.
Prevalensi sering mengkonsumsi makanan
asin sebanyak 43,9%.
Prevalensi sering mengkonsumsi makanan
tinggi lemak sebanyak 37,8%.
Prevalensi kurang makan sayur dan buah
sebesar 86,6% dan 96,8%
Prevalensi kurang aktivitas fisik adalah
77,7%.
Prevalensi stres sebesar 90,7%.
Prevalensi Berat Badan Lebih adalah
10,5%.
Prevalensi Obesitas adalah 13,0%.
Prevalensi Obesitas Umum (Berat Badan
Lebih dan Obesitas) adalah 23,5%.
Prevalensi Obesitas sentral adalah 30,2%.
Prevalensi hipertensi adalah 35,6%.
Prevalensi hipertensi sistolik adalah 15,9%.
Prevalensi hipertensi diastolik adalah
35,6%.
Prevalensi kolesterol total tinggi adalah
47,1%.
Prevalensi kolesterol-LDL tinggi adalah
57,6%.
Prevalensi kolesterol-HDL rendah adalah
32,4%.
Prevalensi trigliserida tinggi adalah 35,3%.
Prevalensi dislipidemia sebanyak 21,0%
Saran
Perlu penanganan faktor risiko
penyakit jantung dan pembuluh darah secara
intensif dan berkesinambungan, yaitu upaya
modifikasi gaya hidup (lifestyle) pada
responden dan masyarakat pada umumnya
dengan melaksanakan penyuluhan (KIE)
secara terus-menerus dan kontrol (follow up)
faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh
darah secara berkala.
Daftar Pustaka
1. AHA/ACC Scientific Statement, Assesment of
Cardiovascular Risk by Use of Multiple Risk Factor
Assesment Equations (1999), A Statement for Healthcare,
Professionals from the American Heart Association and
the American College of Cardiology. September 1999
2. AHA Scientific Statement, AHA Guidelines for Primary
prevention of Cardiovascular Diseases and Stroke : 2002
Update. July. 2002
3. Arisman, M.B. (2003). Gizi dalam daur kehidupan.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
4. Bowers, J. (1992). Fat and oil in foods, in Food Theory
and Application. Maxwell Macmillan International.
5. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (2010), Edisi I, cetakan-2, Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta
6. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah (2009), Kementerian Kesehatan RI,
Jakarta
7. Sunita Altmatsier. (2003). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT
Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
5
11. Registrasi Kanker Berbasis Populasi
di DKI jakarta
Mugi Wahidin, SKM
Subdit Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Abstrak
Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Data Riset Kesehatan
Dasar menunjukkan bahwa kanker merupakan
penyebab kematian nomor 7 dari semua jenis
penyakit. Akan tertapi, besaran permasalah kanker
baik angka kesakitan (prevelens, insindes) maupun
angka kematian belum tersedia karena belum ada
registrasi kanker berbasis populasi.
Sejak tahun 2007 sampai 2011, Sub Direkorat
Pengendalian Penyakit Kanker bekerja sama
dengan
berbagai
pihak
yang
berkaitan
mengembangan registrasi kanker berbasis populasi
dengan model di DKI Jakarta.
Registrasi kanker berbasis populasi dengan model
di DKI Jakarta dikembangkan dengan langkahlangkah advokasi dan sosialisasi, pembentukan tim
registrasi kanker tingkat nasional, provinsi DKI
Jakarta, 5 kota. Langkah-langkah reknis dalam
registrasi kanker mencakup pengumpulan data,
verifikasi, validasi, pengolahan, analisis data, dan
publikasi. Proses pengumpulan dan pengolahan
data dilakukan dengan menggunakan abstrak dan
software SRIKANDI, yang terdiri dari 3 komponen
utama yaitu informasi tentang pasien, tumor, dan
tindak lanjut. Sumber data registrasi kanker di DKI
Jakarta adalah 79 rumah sakit, 44 Puskesmas
Kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas
Kelurahan, 2 klinik, dan 90 laboratorium patologi.
Variabel yang dikumpulkan dari rumah sakit
sebanyak 32, sedangkan dari sumber lain 18
variabel.
Hasil registrasi menunjukkan bahwa insidens
kanker tertinggi di DKI Jakarta tahun 2005-2007
pada perempuan adalah kanker payudara, kanker
leher rahim/serviks, kanker kolorektal, kanker
bronkhus dan paru, dan kanker ovarium. Kanker
tertinggi pada laki-laki adalah kanker bronkhus dan
paru, kanker prostat, kanker kolorektal, kanker
pharing, dan kanker ginjal-pervis-kandung kemih.
Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17 tahun)
adalah 90,5 per 1 juta anak, tertinggi adalah
leukemia, kemudian kanker mata/retinoblastoma,
kanker tulang, CNS, dan limfoma.
Dengan pengembangan model registrasi kanker di
DKI Jakarta, mekanisme kerja registrasi kanker
sudah disepakati, diperoleh insidens kanker
tertinggi pada perempuan, laki-laki, dan anak-anak,
dan kesiapan pengembangan registrasi kanker di
wilayah lain diIndonesia mengacu pada model
Jakarta.
Latar Belakang
Salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia adalah penyakit
kanker. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, kanker merupakan
penyebab kematian nomor 7 dari seluruh
penyebab kematian di Indonesia, sebesar
5,7%. Sedangkan prevalensi nasional sebesar
4,3 per 1000 penduduk.
Data tersebut dapat menjadi data
dasar (baseline data) permasalahan kanker di
masyarakat. Akan tetapi, data tersebut belum
dapat menggambarkan permasalahan yang
valid pada suatu populasi/masyarakat, karena
masih berbentuk survei. Data kanker yang
valid dapat diperoleh melalui registrasi kanker
yang memungkinkan tidak adanya duplikasi
data.
Registrasi kanker adalah suatu proses
pengumpulan data yang sistematik dan terus
menerus yang meliputi kejadian, karakteristik
dan
outcome,
serta
pengolahan,
penyimpanan, dan penganalisaan data
menjadi informasi tentang kanker pada
populasi tertentu. Informasi tersebut dipakai
sebagai
dasar
kebijakan
pengendalian
penyakit kanker. Ada beberapa jenis registrasi
kanker berdasarkan cara perolehan data, yaitu
registasi kanker berbasis rumah sakit dan
registrasi kanker berbasis populasi.
Registrasi berbasis rumah sakit adalah
registrasi yang dilakukan berdasarkan data
kanker yang didiagnosa oleh seluruh bagian
RS yang menanggulangi kanker. Registrasi ini
bertujuan untuk membantu pihak administrasi
dalam merencanakan dan mengorganisir
sumber
daya
untuk
mengoptimalkan
penanggulangan penyakit kanker di RS
tersebut.
Registrasi kanker berbasis populasi/
masyarakat adalah registrasi yang dilakukan
berdasarkan data kanker yang ada di
masyarakat/populasi tertentu dari semua
sarana kesehatan (RS, Puskesmas, Lab,
Klinik, Catatan Sipil, dll) yang mendiagnosa/
terdapat informasi kanker mengenai tempat
dan jumlah penduduk. Registrasi ini bertujuan
mendapatkan besaran masalah kanker, baik
morbiditas (prevalens, insidens) dan kematian
untuk menjadi bahan perencanaan dan
evaluasi program pengendalian penyakit
kanker di masyarakat.
Upaya registrasi kanker telah dimulai
sejak tahun 1970 di Kota Semarang, Jawa
Tengah. Selanjutnya ada beberapa upaya
6
12. registrasi kanker di beberapa kota di Indonesia
sampai tahun 2004. Akan tetapi, upaya
registrasi kanker tersebut tidak berlanjut
(terhenti), karena berbagai hal, seperti tidak
adanya sumber daya manusia yang fokus
dalam pengembangan registrasi kanker dan
tidak adanya unit khusus di Kementerian
Kesehatan yang bertanggung jawab dalam
pengembangan registrasi kanker.
Untuk itu, sejak berdirinya Subdit
Pengendalian Penyakit Kanker di Direktorat
Pengendalian
Penyakit
Tidak
Menular,
registrasi kanker mulai dikembangkan lagi.
Registrasi kanker berbasis populasi yang
berkelanjutan mulai dikembangkan tahun
2007, dengan model di DKI Jakarta. Registrasi
kanker tersebut awalnya berbasis rumah sakit,
selanjutnya dikembangkan menjadi berbasis
populasi. Model ini dikembangkan oleh Sub
Direktorat Pengendalian Penyakit Kanker
bekerja sama dengan berbagai pihak seperti
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan, RS
Kanker Dharmais, dan Dinas Kesehatan
Provinsi DKI Jakarta. Model di DKI Jakarta ini
akan menjadi referensi dalam pengembangan
registrasi kanker di wilayah lain di Indonesia.
Metodologi
Langkah-langkah
pengembangan
registrasi kanker dengan dengan model di DKI
Jakarta dimulai dengan advokasi dan
sosialisasi, pembentukan tim registrasi kanker
tingkat nasional, provinsi DKI Jakarta, 5 kota
(Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan),
penyusunan abstrak dan software, pelatihan,
implementasi di lapangan, monitoring, dan
evaluasi.
Langkah-langkah
reknis
dalam
registrasi kanker mencakup pengumpulan
data, verifikasi, validasi, pengolahan, analisis
data, dan publikasi. Pengumpulan data
dilakukan di fasilitas kesehatan yang
mempunyai data kanker oleh petugas regitrasi
(registrar). Di DKI Jakarta, sumber data adalah
79 rumah sakit, 44 Puskesmas Kecamatan
yang membawahi 301 Puskesmas Kelurahan,
2 klinik, dan 90 laboratorium patologi. Data
dikumpulkan menggunakan formulir abstrak
(ringkasan informasi kanker perorangan) dan
diiput ke dalam Software Sistem Registrasi
Kanker di Indonesia (SRIKANDI). Data mentah
kemudian dikumpulkan ke tim registrasi kanker
kabupaten/kota, dan selanjutnya dikumpulkan
di tim registrasi kanker provinsi. Pengumpulan
data
dilakukan
secara
pasif
mengadakan pertemuan 3 bulanan.
dengan
Verifikasi
data
dilakukan
untuk
memastikan keabsahan data kanker yang
dikumpulkan, jangan sampai ada data selain
kanker yang masuk. Verifikasi data dilakukan
di masing-masing fasilitas kesehatan yang
mengumpulkan data kanker oleh dokter
patologi atau dokter umum terlatih. Validasi
data dilakukan di tingkat kabupaten/kota,
tingkat provinsi, dan tingkat nasional oleh tim
registrasi kanker untuk membersihkan data
dari duplikasi. Selain validasi, di setiap tingkat
juga dilakukan verifikasi kembali dengan
memeriksa keabsahan data.
Pengolahan
dan
analisa
data
dilakukan di tingkat kabupaten/kota, provinsi,
dan nasional. Tim provinsi membantu
pengolahan dan analisa data tingkat provinsi,
dan tim provinsi membantu tim tingkat
kabupaten/kota.
Berhubung
software
SRIKANDI masih terbatas dalam mengolah
dan menganalisa data, kegiatan ini dapat
dilakukan dengan menggunakan Micosoft
Excel atau SPSS. Informasi hasil analisa
berupa angka kesakitan (prevalens, insidens)
maupuan angka kematian. Selanjutnya,
setelah data diolah dan dianalisa, hasilnya
dipublikasi
dengan
mengeluarkan
dokumen/buku resmi, seminar, maupaun lewat
media cetak maupun elektronik
Software
SRIKANDI
merupakan
adaptasi dari software
CanReg 4 yang
dikembangkan oleh International Association
of Cancer Registries (IACR). Software
SRIKANDI berisi 3 bagian pokok yaitu
informasi pasien, informasi tumor, dan tindak
lanjut (follow-up). Software berbasis Microsoft
Access dan bekerja independen (belum
online). Jumlah variabel yang dikumpulkan
untuk RS sebanyak 32 buah, sedangkan untuk
sumber lain (Puskesmas, Laboratorium, klinik)
sebanyak 18 buah.
Hasil dan Pembahasan
Data yang dihasilkan dari registrasi
kanker berbasis populasi di DKI Jakarta
menunjukkan bahwa 5 jenis kanker tertinggi
tahun 2005-2007 pada perempuan adalah
kanker payudara (insidens 31.2 per 100,000
perempuan), kanker leher rahim/serviks (17.6
per 100,000), kanker kolorektal (11.7 per
100,000), kanker bronkhus dan paru (7.7 per
100,000), dan kanker ovarium (7.6 per
100,000).
Kanker tertinggi pada laki-laki adalah
kanker bronkhus dan paru (insindens 19.6 per
100,000 laki-laki), kanker prostat (13.5 per
7
13. 100,000), kanker kolorektal(12.5 per 100,000)
kanker pharing (7.9 per 100,000), dan kanker
ginjal-pervis-kandung kemih (5.1 per 100,000).
Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17
tahun) adalah 90,5 per 1 juta anak. Leukemia
merupakan kanker tertinggi pada anak (28 per
1 juta), kemudian kanker mata/retinoblastoma
(24 per 1 juta), kanker tulang (9,7 per 1 juta),
CNS (8 per 1 juta) dan limfoma 7,5 per 1 juta.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Permasalahan kanker tertinggi di DKI
Jakarta adalah kanker payudara dan kanker
leher rahim (pada perempuan), kanker
brokhus dan paru dan kanker prostat (pada
laki-laki), serta leukemia dan kanker
mata/retinoblastoma (pada anak-anak)
Modeling registrasi kanker berbasis
populasi di DKI Jakarta telah dikembangkan
dengan
baik,
meskipun
memerlukan
perbaikan.
- Mekanisme registrasi kanker sudah
disepakati agar dapat diterapkan di wilayah
lain di Indonesia
Saran
Registrasi kanker di DKI Jakarta perlu
terus dilaksanakan agar berkesinambungan,
dengan kerja sama semua pihak yang terlibat
Pengoptimalan kerja tim registrasi kanker
baik di tingkat pusat, provinsi, maupun
kabupaten/kota di DKI Jakarta
Software
registrasi
kanker
perlu
disempurnakan untuk dipergunakan di seluruh
wilayah Indonesia
Pedoman registrasi kanker perlu segera
diterbitkan untuk menjadi panduan dalam
pengembangan registasi kanker
Perlunya intervensi pengendalian kanker
sesuai dengan besaran masalah kanker
berdasarkan hasil registrasi kanker di DKI
Jakarta
Pengembangan registrasi kanker di
wilayah lain di Indonesia dapat dilakukan
dengan mengacu kepada modeling di Jakarta
Daftar Pustaka
1. Parkin D.M., Chen V.W., Ferlay J., Galceran J., Storm
H. H., and Whelan S. L. Comparability and Quality
Control in Cancer Registration. IARC Technical Report
No. 19. Lyon, 1994
2. Parkin D.M., Jensen O.M., et.al. Cancer Registration
Principles and Methods, IARC Scientific Publication
No. 95. Lyon, 1991
3. Registrasi Kanker Berbasis Populasi di Kota
Semarang 1985-1989
4. Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI, 2008
8
14. Pemberdayaan Tuha Peut (Tokoh Masyarakat) dalam Program
Penanggulangan TB melalui Peningkatan Pengetahuan Masyarakat
di Kabupaten Bireuen Wilayah Pemerintah Aceh Tahun 2009
Mudatsir¹, Muhammad Jamil² , Ikhwanuddin³, Sarah Firdausa¹, Rima Novirianti¹, Chatarina Umbul
Wahyuni⁴
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, ²Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, ³Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Besar, ⁴Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak
Indonesia adalah penyumbang jumlah penderita TB
nomor lima setelah India, China, Afrika Selatan, dan
Nigeria (WHO, 2010).
Tahun 2009, terdapat
294731 penderita, maka diperkirakan setiap jam
muncul 34 penderita baru dan setiap jam muncul 20
penderita baru yang menular. Demikian juga di
Aceh setiap tahun insiden TB terus meningkat,
terdapat 6000-7000 kasus baru per tahun, 75%
penderita usia produktif (15-50 tahun), dari 4,67 juta
penduduk. Maka setiap 4 hari ada 1 penduduk
Aceh meninggal karena TB (100 orang
meninggal/tahun).
Apabila hal ini tidak
ditanggulangi secara radikal, akan mengakibatkan
kerugian dari segi ekonomi berupa hari kerja yang
hilang sehingga akan menurunkan produktivitasnya.
Permasalahan utama penanggulanan TB di Aceh
adalah rendahnya cakupan suspek atau Case
Detection Rate (CDR). Dengan intervensi kepada
Tuha Peut melalui pelatihan untuk selanjutnya Tuha
Peut menyuluh masyarakat sehingga terdapat
peningkatan pengetahuan masyarakat untuk
mendorong suspek TB mendatangi Puskesmas
untuk diagnosis dan pengobatan TB.
Kajian tentang Pemberdayaan Tuha Peut dalam
program TB yang telah dilakukan bertujuan untuk
mengetahui pengetahuan masyarakat tentang
program TB, angka kunjungan suspek TB ke
Puskesmas dan kendala-kendala Tuha Peut dalam
pemberdayaan masyarakat di daerah intervensi.
Penelitian ini menggunakan rancangan quasi
eksperimen. Dua kabupaten yang jaraknya satu
sama lain berjauhan terpilih sebagai daerah
penelitian (Kabupaten Bireuen sebagai daerah
intervensi dan Kabupaten Aceh Besar sebagai
daerah kontrol).
Panduan kuesioner tentang
program penanggulangan TB digunakan untuk
mengetahui pengetahuan masyarakat sebelum dan
sesudah intervensi oleh Tuha Peut.
Pengetahuan responden tentang program TB
(penyebab, gejala, cara pemeriksaan, cara
penularan, pencegahan, dan penyembuhan TB)
setelah intervensi meningkat pada kelompok
perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tetap.
Setelah Tuha Peut memberikan penyuluhan kepada
masyarakat dan memotivasinya mengakibatkan
kunjungan ke Puskesmas meningkat dari 64 suspek
pada 3 bulan terakhir (2008) menjadi 112 (2009)
pada periode waktu yang sama. Dimana 67 di
antaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan dibekali
T4 card, tetapi hanya 57 suspek (85%) yang
sampai ke Puskesmas.
Pada Tuha Peut kategori 3 (yang tidak mengirim
suspek) terdapat kendala dalam meningkatkan
pengetahuan masyarakat antara lain karena Tuha
Peut sebagai pedagang, tidak ada supervisi yang
berkelanjutan dan adanya stigma tentang TB di
masyarakat.
Kesimpulan:
Dapat
disimpulkan
bahwa
pengetahuan responden tentang TB setelah
perlakuan meningkat signifikan pada kelompok
intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tetap.
Pemberdayaan Tuha Peut dalam program
PenanggulanganTB
dapat
meningkatkan
pengetahuan masyarakat tentang TB dan
kemampuan Tuha Peut dalam memotivasi suspek
TB di masyarakat meningkatkan angka kunjungan
suspek TB ke Puskesmas. Namun kendala Tuha
Peut untuk memberdayakan masyarakat dalam
program TB, antara lain kurangnya waktu sebagian
Tuha Peut untuk berinteraksi dengan masyarakat,
dan adanya stigma tentang TB.
Rekomendasi: Dari hasil penelitian ini dapat
direkomendasikan pelibatan Tuha Peut sebagai
model
lokal
spesifik
dalam
program
penanggulangan TB di Aceh.
Pendahuluan
Data
dari
Dinas
Kesehatan
Pemerintah Aceh tahun 2007, terdapat 7000
kasus baru TB dari 4,2 juta penduduk, dengan
mortalitas 100 orang/tahun. Dari angka
tersebut sekitar 75% penderita berasal dari
usia produktif (15-50 tahun). (M.Thaib, 2008).
Permasalahan utama penanggulangan TB di
Aceh adalah rendahnya cakupan suspek dan
Case Detection Rate (CDR).
Untuk meningkatkan cakupan suspek
dan CDR ini, perlu adanya peran serta
masyarakat melalui peran serta tokoh
masyarakat. Di dalam struktur masyarakat
Aceh, terdapat kelompok yang keberadaannya
sangat berpengaruh yaitu Tuha Peut.
Kelompok ini mempunyai fungsi yang cukup
signifikan. Tuha Peut berfungsi terutama
dalam
mengambil
keputusan
dan
kebijaksanaan yang berkenaan dengan
kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka
diakui secara resmi dalam UU RI. No.11 tahun
2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun
Aceh No.08 tahun 2004 tentang Pemerintahan
Gampoeng (desa).
Penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengetahui efektifitas pemberdayaan Tuha
Peut dalam meningkatkan pengetahuan
9
15. masyarakat tentang program TB sebelum dan
sesudah perlakuan, menilai hubungan antara
kemampuan Tuha Peut dengan perubahan
angka kunjungan suspek ke puskesmas dan
mengidentifikasi kendala Tuha Peut dalam
meningkatkan pengetahuan masyarakat.
Metode
Penelitian
ini
menggunakan
rancangan quasi eksperimen. Populasi adalah
seluruh masyarakat yang tinggal di Aceh.
Sampel (responden) kasus diambil di
Kabupaten Bireuen dan sampel kontrol di
Kabupaten Aceh Besar yang berjarak 250 km.
Masing-masing sebanyak 210 responden
diambil secara simpel random. Variabel
dependen adalah pengetahuan, kunjungan
suspek dan kemampuan Tuha Peut. Variable
independen adalah karakteristik, tindakan dan
kemampuan motivasi Tuha Peut. Intervensi
dilakukan dengan memberikan pelatihan
kepada Tuha Peut tentang pengetahuan
Program Penanggulangan TB, membekali
tuha peut dengan modul, poster, leaflet, Tuha
Peut Card dan Form aktifitas Tuha Peut.
Selanjutnya
Tuha
Peut
memotivasi
masyarakat yang mempunyai gejala TB untuk
berkunjung ke Puskesmas dan dimonitor
setiap bulan selama 3 bulan dengan melihat
peningkatan jumlah suspek yang berkunjung.
Pengetahuan responden benar apabila
menjawab: penyebab TB karena kuman atau
M.tuberculosis,
Gejalanya;
demam,
berkeringat dan batuk berdarah, Pemeriksaan
Tb dengan laboratorium; Tb dapat menular,
TB dapat dicegah dan TB dapat disembuhkan.
Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji
statistik t-Test untuk melihat perbedaan
pengetahuan
responden
sebelum
dan
sesudah perlakuan.
Pembahasan
Hasil Penelitian:
Proporsi responden terbanyak pada kedua
daerah, berumur 26-55 tahun yaitu sekitar
68,8%, responden perempuan lebih dominan
(68,1%),
tingkat
pendidikan
responden
terbanyak adalah tingkat menengah (59,76%),
pekerjaan responden yang paling banyak
adalah ibu rumah tangga (48,85%).
Dari tabel 1 di bawah dapat dilihat bahwa
tingkat pengetahuan responden pada semua
variabel lebih baik pada kelompok intervensi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, akan
tetapi pada variabel pencegahan TB di daerah
intervensi lebih banyak menjawab tidak benar
dibandingkan yang menjawab benar. Hasil uji
statistik menunjukkan adanya perbedaan
signifikan antara pengetahuan responden
sebelum dengan sesudah perlakuan pada
daerah kontrol dan intervensi
Tabel 1. Pengetahuan responden tentang TB
di Kabupaten Aceh Besar dan Bireuen
pra dan pasca perlakuan Tahun 2009
Pra Perlakuan
Variabel
Jawaban
Penyebab TB
Benar
Gejala TB
Benar
Pemeriksaan
TB
Penularan TB
Benar
Benar
Pencegahan
Benar
TB
Penyembuhan Benar
TB
Tidak
Benar
Tidak
Tahu
Aceh
Besar
55
(13.1%)
136
(32.4%)
111
(26.4%)
108
(25.7%)
23
(5.5%)
173
(41.2%)
11
(2.6%)
26
(6.2%)
Bireuen
50
(11.9%)
162
(38.6%)
105
(25.0%)
109
(26.0%)
24
(5.7%)
162
(38.6%)
5
(1.2%)
43
(10.2%)
P
Value
0.573
0.005
0.313
0.922
0.887
0.033
Pasca Perlakuan
Penyebab TB
Benar
Gejala TB
Benar
Pemeriksaan TB
Benar
Penularan TB
Benar
Pencegahan TB
Benar
Penyembuhan TB Benar
Tidak
Benar
Tidak
Tahu
56
(13.3%)
55
(13.1%)
90
(21.4%)
83
(19.8%)
31
(7.4%)
184
(43.8%)
10
(2.4%)
16
(3.8%)
107
0.00
(25.5%)
124
0.00
(29,52%)
159
0.00
(37.9%)
137
0.00
(32.6%)
89
0.00
(21.2%)
166
0.001
(39.5%)
4
(1.0%)
(9.5%)
Adanya
motivasi
dari
Tuha
Peut
mengakibatkan kunjungan ke puskesmas
meningkat dari 64 suspek pada 3 bulan
terakhir (2008) menjadi 112 (2009) pada
periode waktu yang sama. Dimana 67
Diantaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan
dibekali T4 card, tetapi hanya 57 suspek
(85%)
yang
sampai
ke
puskesmas,
selengkapnya dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 1. Hubungan antara kemampuan Tuha Peut
dengan kunjungan suspek ke puskesmas di daerah
intervensi tahun 2009
10
16. Kendala Tuha Peut dalam meningkatkan
pengetahuan tentang TB antara lain karena
Tuha Peut berprofesi sebagai pedagang
keliling yang hampir setap hari tidak bersama
warga sehingga waktu untuk berinteraksi dan
memberikan penyuluhan menjadi sangat
terbatas dan adanya stigma tentang TB di
masyarakat, yang menganggap bahwa TB
merupakan
penyakit
yang
memalukan
sehingga tidak etis menyuluh di warung kopi,
sedangkan bagi masyarakat Aceh, warung
kopi merupakan pusat informasi, bersosialisasi
dan berinteraksi.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian itu dapat dilihat bahwa
tingkat pengetahuan masyarakat antara
kelompok kontrol (Aceh Besar) dan kelompok
intervensi (Bireuen) sebelum perlakuan relatif
sama. Sedangkan pascaperlakuan kepada
Tuha peut, pengetahuan responden antara
kelompok kontrol dengan kelompok intervensi
berbeda. Hal ini sesuai dengan temuan Hoa
PP, dkk (2006) bahwa pengetahuan tentang
TB pada masyarakat dipengaruhi oleh
banyaknya sumber informasi yang diakses
dari berbagai media. Dengan demikian
perlakuan terhadap tokoh masyarakat dapat
meningkatkan pengetahuan pada komunitas.
Menurut Ghimire dkk. (2010) di Nepal
menemukan bahwa walaupun pendidikan
masyarakat rendah tetap dapat dilibatkan
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat
lain di sekitarnya apabila dididik sebelumnya.
Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
responden tentang TB
setelah perlakuan
meningkat
signifikan
pada
kelompok
intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol
tetap. Pemberdayaan Tuha Peut dalam
program
Penanggulangan
TB
dapat
meningkatkan
pengetahuan
masyarakat
tetang TB dan kemampuan Tuha Peut dalam
memotivasi suspek TB di masyarakat
meningkatkan angka kunjungan suspek TB ke
Puskesmas. Namun kendalanya pada Tuha
Peut antara lain kurangnya waktu sebagian
Tuha Peut untuk berinteraksi dengan
masyarakat, dan adanya stigma tentang TB.
Dari
hasil
penelitian
ini
dapat
direkomendasikan pelibatan Tuha Peut
sebagai model lokal spesifik dalam program
penanggulangan TB di Aceh.
Daftar Pustaka
1. Hoa NP, Chuc NT, Thorson A, 2009.
Knowledge, attitudes, and practices about
tuberculosis and choice of communication
channels in a rural community in Vietnam.
Health Policy : 90(1):8-12.
2. Ida Leida, Widyaningrum, Anna Khuzaimah,
Muh. Nasrum Massi, Chatarina Umbul
3. Wahyuni. 2008. Efek Promosi Kesehatan Pada
Kelompok
Masyarakat
Informal
Dalam
Mendeteksi Suspek TB Di Kabupaten Gowa.
Makassar.
4. Mata JI. 1985. Integrating the client's
perspective in planning a tuberculosis education
and treatment program in Honduras. Med
Anthropol. 9(1):57-64.
5. M. Thaib. 2008. Situasi TB di NAD. Dinas
Kesehatan
Provinsi
Nanggroe
Aceh
Darussalam. Banda Aceh
6. Qanun Aceh No. 8 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Gampong (Desa)
11
17. Potensi Risiko Paparan Kadar PM2,5
Di Sekitar Semburan Lumpur Sidoarjo Tahun 2011
Drs. Arief Bintoro
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Surabaya
Abstrak
Pada tahun 2011, BBTKLPPM Surabaya melakukan
analisis potensi risiko kesehatan masyarakat yang
ditimbulkan oleh semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa
Timur, dengan membandingkan risiko antara jarak yang
dekat dan yang jauh dari pusat semburan lumpur.
Populasi berasal dari 2 desa, yaitu Desa Besuki dan
Desa Semampir Kecamatan Sedati. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar paparan
PM2,5; kejadian gangguan fungsi faal paru; serta
variabel lain, seperti umur, jenis kelamin, keberadaan
penghuni yang merokok, status gizi, penggunaan obat
nyamuk bakar, kepadatan hunian, dan luas ventilasi
rumah. Hasil analisis antara lain menunjukkan bahwa
ada pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat dan
jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo serta faktor
ventilasi dan kepadatan hunian rumah terhadap
gangguan fungsi faal paru penduduk sekitar pusat
semburan lumpur Sidoarjo. Peningkatan kesehatan
lingkungan permukiman di sekitar pusat semburan
lumpur Sidoarjo merupakan salah satu upaya yang
perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian dari pihakpihak terkait bersama masyarakat.
Pendahuluan
Bencana lumpur Sidoarjo diawali dengan
terjadinya penyemburan lumpur panas di lokasi
pengeboran PT Sidoarjo Brantas di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, pada 27 Mei 2006.
Semburan lumpur panas yang tereksplorasi tidak
terkendali menyebabkan tergenangnya kawasan
permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya serta memengaruhi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Selain itu,
kondisi lingkungan, sosial, dan kesehatan
masyarakat juga ikut terpengaruh. Semburan ini
berdampak
pada
pencemaran
udara
di
permukiman penduduk sekitar, berupa gas
berbahaya, zat kimia, dan debu dengan berbagai
ukuran dan komposisi. Akibat semburan lumpur
Sidoarjo, konsentrasi dan jenis bahan pencemar
udara bertambah di wilayah tersebut.
Gambaran kualitas udara ambien di wilayah
sekitar luapan lumpur Sidoarjo diperoleh dari
pengujian kualitas udara. Parameter pencemar
udara yang diukur, antara lain SO x, NOx, NH3,
H2S, HC, serta debu TSP (total suspended
particulate). Salah satu parameter pencemar yang
tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil
pengukuran kualitas udara tersebut adalah debu
TSP, dimana baku mutu TSP sesuai Peraturan
Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun
3
2009 adalah maksimal 0.26 µg/l (mg/m ).
Data hasil pengukuran kualitas udara,
khususnya TSP, oleh BBTKLPPM Surabaya tiap
tahunnya menunjukkan konsentrasi debu yang
fluktuatif menurut waktu dan tempat. Pada tahun
2007 pengambilan sampel udara di Desa Mindi
3
dengan kadar debu TSP 0.191 µg/m . Tahun
2008 diperoleh konsentrasi debu tertinggi di Desa
3
Siring, yaitu rata-rata 0.3652 µg/m . Pengukuran
kadar debu TSP tahun 2009 dilakukan di Desa
Glagah Arum dengan hasil konsentrasi 0.943
3
µg/m , sedangkan pengukuran konsentrasi debu
TSP tahun 2010 mengambil sampel di Desa
Siring Barat dengan kadar debu TSP maksimal
3
0.439 µg/m .
Penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronchitis
akut dan kronik, asma, pneumonia, emphysema
paru dan kanker paru merupakan manifestasi
penyakit saluran pernapasan akibat adanya
paparan terhadap polutan udara secara terusmenerus dan berlangsung cukup lama. Partikulat
debu yang melayang beterbangan selain
mengganggu pernapasan juga dapat menembus
paru-paru. Partikel udara yang lebih kecil, yaitu
PM2,5, dapat terhirup ke dalam paru-paru
dibandingkan partikel debu kasar atau PM10.
Partikel debu yang masuk ke saluran pernapasan
tersebut dapat mengganggu proses respirasi.
Sehubungan dengan situasi tersebut, pada
tahun 2011 BBTKLPPM Surabaya melakukan
analisis potensi risiko pada populasi dengan
membandingkan risiko antara jarak yang dekat
dengan yang jauh dari pusat semburan lumpur,
sehingga dapat diketahui gambaran dampak atau
potensi risiko yang diakibatkan oleh semburan
lumpur Sidoarjo dari segi kesehatan masyarakat.
12
18. Gambar 1. Lokasi Desa yang Menjadi Tempat Kajian
Metodologi
Pengambilan sampel dilakukan secara
purposive pada 2 desa yang memiliki jarak dekat
dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo, yaitu
Desa Besuki dengan jarak ± 500 meter, dan desa
yang memiliki jarak jauh dengan pusat semburan
lumpur
Sidoarjo,
yaitu
Desa
Semampir
Kecamatan Sedati dengan jarak ± 10 km. Adapun
gambaran yang ingin diperoleh adalah :
1. kadar paparan PM2,5;
2. kejadian gangguan fungsi faal paru; serta
3. variabel lain, meliputi umur, jenis kelamin,
keberadaan penghuni yang merokok, status
gizi, penggunaan obat nyamuk bakar,
kepadatan hunian, dan luas ventilasi rumah
yang merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan fungsi faal paru.
Secara
rinci distribusi responden
yang
diambil menurut desa terpilih seperti pada Tabel 1
di bawah ini
Tabel 1. Daftar Pengambilan Sampel dan Responden
Lokasi Dekat
Rumah
Ke1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Jumlah
Lokasi Jauh
Jumlah
Penghuni
Jumlah
Responden
Jumlah
Penghuni
Jumlah
Responden
5
5
6
5
4
5
5
6
4
4
4
4
4
-
5
4
5
4
4
5
4
5
4
4
4
4
3
55
5
6
5
4
5
6
5
5
6
6
6
-
5
6
5
4
4
6
5
4
5
6
5
55
Total Responden
110
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Potensi Risiko Gangguan Fungsi
Faal Paru akibat paparan PM2,5 di sekitar
semburan lumpur Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo,
dapat diuraikan sebagai berikut.
13
19. a. Analisis Situasi Berdasarkan Tempat
Grafik 2. Distribusi Responden Menurut Umur
Tabel 2. Distribusi kadar PM2,5 Menurut Jarak
Rumah Ke-
Jarak Dekat
(µg/nm3)
Jarak Jauh
(µg/nm3)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
56.4
67.3
66.5
43.6
47.5
68.2
66.6
67.2
48.1
43.2
41.4
68.4
71.6
66.4
18.5
32.7
65.7
56.3
53.3
34.6
54.1
67.4
46.8
31.6
#
#
Rata-Rata
58.2
47.9
Berdasarkan Grafik 2, diketahui bahwa
sebanyak 40 responden (36,36%) yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 19 responden (17,27%)
yang berusia kurang dari 40 tahun mengalami
gangguan fungsi faal paru.
Grafik 3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata kadar PM2,5 dalam rumah yang
berada pada jarak dekat dengan pusat semburan
lumpur lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
PM2,5 dalam rumah yang berada pada jarak jauh
dengan pusat semburan lumpur.
b. Analisis Situasi Berdasarkan Kasus
Grafik 1. Distribusi Responden Menurut
Status Fungsi Faal Paru
Berdasarkan Grafik 3, diketahui bahwa 27
responden (24,55%) laki-laki dan 32 responden
(29,91%) perempuan mengalami gangguan fungsi
faal paru.
c. Analisis Situasi Berdasarkan Faktor Risiko
Grafik 4. Perbandingan Paparan Kadar PM2,5
pada Jarak Dekat dan Jarak Jauh
dengan Gangguan Fungsi Faal Paru
Berdasarkan Grafik 1, diketahui bahwa
responden yang memiliki gangguan fungsi faal
paru sebanyak 59 orang (54%).
14
20. Berdasarkan Grafik 4 di atas diketahui bahwa
gangguan fungsi faal paru pada responden yang
berada dekat dengan pusat semburan lumpur
Sidoarjo lebih tinggi dibanding dengan gangguan
fungsi faal paru pada responden yang berada
jauh dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo.
Perhitungan secara statistik menunjukkan
bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden pada
jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan fungsi
faal paru dengan responden pada jarak rumah
dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang
mengalami gangguan fungsi faal paru memiliki
perbedaan yang bermakna. Selain itu, rata-rata
responden pada jarak rumah jauh dari pusat
semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami
gangguan fungsi faal paru dengan responden
pada jarak rumah dekat mengalami gangguan
fungsi faal paru juga memiliki perbedaan yang
bermakna.
Variabel lain yang dapat memengaruhi
kondisi tersebut adalah :
1. Umur
Secara statistik hubungan antara umur dengan
kejadian gangguan fungsi faal paru pada
responden dengan jarak rumah dekat dan jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak
bermakna.
2. Jenis kelamin
Secara statistik hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian gangguan fungsi faal paru
pada responden dengan jarak rumah dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
tidak bermakna.
3. Keberadaan penghuni yang merokok
Secara statistik hubungan antara keberadaan
penghuni yang merokok dengan kejadian
gangguan fungsi faal paru pada responden
dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat
semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna.
4. Status gizi
Secara statistik hubungan antara status gizi
dengan kejadian gangguan fungsi faal paru
pada responden dengan jarak rumah dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
tidak bermakna.
5. Penggunaan obat nyamuk bakar
Secara statistik hubungan antara penggunaan
obat nyamuk bakar dengan kejadian gangguan
fungsi faal paru pada responden dengan jarak
rumah dekat dan jauh dari pusat semburan
lumpur Sidoarjo tidak bermakna.
6. Kepadatan hunian
Secara statistik hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian gangguan fungsi faal
paru pada responden dengan jarak rumah jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
bermakna, sedangkan hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian gangguan
fungsi faal paru pada responden dengan jarak
rumah dekat dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo tidak bermakna.
7. Luas ventilasi rumah
Secara statistik hubungan antara luas ventilasi
rumah dengan kejadian gangguan fungsi faal
paru pada responden dengan jarak rumah
dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo tidak bermakna.
d. Analisis Kecenderungan
Pengaruh partikulat debu bentuk padat
maupun cair yang berada di udara sangat
bergantung pada ukurannya. Ukuran partikulat
debu yang membahayakan kesehatan berkisar
antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron.
Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5
mikron merupakan partikulat udara yang dapat
langsung masuk ke dalam paru-paru dan
mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti
bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5
mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang
lebih
besar
dapat
mengganggu
saluran
pernapasan bagian atas dan menyebabkan iritasi.
Keadaan ini akan lebih bertambah parah apabila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang
terdapat di udara juga.
PM2,5 lebih cytotoxic terhadap sel paru-paru in
vitro, rata-rata pajanan individu terhadap PM10 di
antara sekelompok masyarakat yang sensitif
adalah serupa dengan rata-rata konsentrasi PM2,5
di luar ruangan tetapi secara signifikan lebih tinggi
dari rata-rata konsentrasi di dalam ruangan. PM2,5
dan PM10 dapat menyebabkan pneumonia,
gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi,
dan bronchitis khronis. PM2,5 dapat masuk ke
dalam paru-paru yang berakibat timbulnya
emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paruparu serta
gangguan kardiovaskular atau
kardiovascular (KVS).
15
21. Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari
pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat
pembakaran dan aktifitas industri). Sumber dari
dalam rumah antara lain dapat berasal dari
perilaku merokok, penggunaan energi masak dari
bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat
nyamuk bakar.
Berdasarkan
hasil
pemantauan
yang
dilakukan oleh Tim BBTKLPPM Surabaya,
diperoleh bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden
pada jarak rumah jauh dari pusat semburan
lumpur Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan
fungsi faal paru dengan responden pada jarak
rumah dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
yang mengalami gangguan fungsi faal paru
memiliki perbedaan yang bermakna. Sementara
itu, rata-rata responden pada jarak rumah jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang
mengalami gangguan fungsi faal paru dengan
responden pada jarak rumah dekat mengalami
gangguan fungsi faal paru memiliki perbedaan
yang bermakna.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
penduduk yang berada pada jarak dekat
semburan lumpur Sidoarjo agar mendapatkan
penanganan segera sehingga tidak terjadi
dampak buruk terhadap kesehatan dalam jangka
panjang.
3. Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan, BTKLPPM Jakarta
(2008)
4. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya terhadap
Kesehatan, Ditjen PPM & PL, Depkes RI (2001)
5. Toksilogi Lingkungan, Mukono, H.J., Airlangga University
Surabaya (2005)
6. Deteksi Pencemar Air Minum, Pitojo Setijo, Aneka Ilmu
(2003)
7. Pedoman Pemantauan Terpadu Kualitas Air Sungai di
Jawa Timur. Bapedal Propinsi Jawa Timur (2007)
8. Permenkes No. 492/Menkes/PER/IV/2010 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum
9. Pergub Jatim No. 10 tahun 2009 Tentang Baku Mutu
Udara Ambien & Emisi Sumber Tidak Bergerak di Jatim
10. SK Menkes No. 718 tahun 1987 Tentang Kebisingan
11. Kepmenkes RI No. 87/Menkes/SK/VIII/2001 Tentang
Pedoman Teknis ADKL
Kesimpulan dan Saran
Hasil kajian ini secara statistik membuktikan
adanya pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
terhadap gangguan fungsi faal paru penduduk
sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Faktor
ventilasi dan kepadatan hunian rumah juga
berpengaruh terhadap gangguan fungsi faal paru
warga sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo.
Oleh karena itu, disarankan agar pihak-pihak
yang terkait bersama masyarakat perlu lebih
memperhatikan masalah kesehatan yang timbul
akibat bencana lumpur Sidoarjo, khususnya
mengenai kelayakan hidup di sekitar pusat
semburan lumpur Sidoarjo, antara lain melalui
upaya
peningkatan
kesehatan
lingkungan
permukiman.
Daftar Pustaka
1. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
Ditjen PP & PL, Depkes. (2008)
2. Bahan-bahan Berbahaya dan Dampaknya terhadap
Kesehatan manusia, Ditjen PP & PL, Depkes. (2001)
16
22. Kajian Kualitas Air Kolam Renang
Permenkes 416 tahun 1990
Dr. Hening Darpito, SKM, Dip SE
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Satya Negara Indonesia, Ketua I FORKAMI dan Ketua Kolegium
Kesehatan Lingkungan
Abstrak
Persyaratan Kualitas Air Kolam Renang terakhir
ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 416 tahun 1990. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan peningkatan kebutuhan manusia
akan kesehatan, kenyamanan dan relaksasi
mendorong kebutuhan akan kualitas air kolam
renang yang lebih baik. Beberapa peristiwa infeksi
penyakit menular pernafasan mencurigai ditularkan
oleh air kolam renang khususnya yang
mempergunakan air panas yang mengandung
bakteri Legionella terutama menginfeksi para
wisatawan manca negara. Untuk meningkatkan
perlindungan kesehatan bagi perenang perlu
ditetapkan persyaratan kesehatan yang baru.
Perlindungan kesehatan dengan penetapan kualitas
air ditujukan pada parameter fisik, kima dan
bakteriologi. Kualitas bakteriologi kolam renang
yang semula ditetapkan untuk Total coliform dan
jumlah kuman diusulkan dipersyarat menjadi E.coli,
jumlah kuman atau HPC dan ditambah parameter
bakteri Legionella dan Pseudomonas. Perlindungan
kesehatan penting lain dilakukuan dengan
memperbaiki persyaratan kandungan sisa klor
bebas dan sisa klor terikat. Perlindungan kesehatan
parameter sisa klor perlu dibedakan untuk air kolam
renang suhu ruangan, suhu panas, air kolam
bermain ataupun air kolam renang yang
mempergunakan sumber air alam.
Pendahuluan
Peningkatan pengguna kolam renang
dan kolam bermain di kota-kota merupakan
kebutuhan masyarakat untuk rekreasi dan olah
raga serta kebutuhan gaya hidup. Disinfeksi
air kolam renang dan kolam bermain bertujuan
untuk
menjamin
keamanan
air
yang
dipergunakan masyarakat. Air kolam harus
aman dan tidak menyebabkan gangguan atau
risiko kesehatan. Air kolam harus mempunyai
sisa
disinfektan
yang
cukup
guna
mengantisipasi bertambah banyaknya mikroorganisme dan organik.
Kolam renang dan kolam bermain dapat
dikategorikan ke dalam tiga kelompok risiko.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pengelompokan risiko adalah beban kolam,
kemampuan pengolahan kualitas air, tingkat
kontaminasi, suhu udara sekitar dan status
kesehatan pengguna kolam. Kolam yang
termasuk dalam kelompok risiko tinggi perlu
terus diawasi oleh tenaga yang mempunyai
kompetensi dan terlatih, pengetesan kualitas
air kolam dilakukan lima kali sehari. Kolam
dangkal yang padat oleh pengguna seperti
kolam bermain merupakan
berisiko tinggi.
kelompok kolam
Kolam risiko sedang, seperti kolam renang
yang ada di hotel dan resot perumahan yang
terbatas penggunanya, tetap memerlukan
pengawasan yang memadai. Kolam kategori
risiko rendah memerlukan pengawasan yang
tidak terlalu ketat, pengetesan kualitas air
dilakukan ketika kolam dipadati pengunjung.
Kolam yang termasuk kategori ini adalah
kolam renang yang berada di rumah,
perumahan yang pengunjungnya sangat
terbatas.
Perenang yang menggunakan kolam
renang kelompok risiko tinggi mempunyai
kesempatan
terkontaminasi
organisme
penyakit lebih beragam daripada yang
menggunakan kolam renang kelompok risiko
di bawahnya, karena kolam ini lebih terbuka
terhadap masyarakat umum. Organisme
penyebab penyakit yang mungkin menginfeksi
berasal dari banyak sumber utamanya dari
para perenang sendiri. Organisme ini bisa
disebarkan oleh perenang melalui kulit, ludah,
kencing atau tinja. Namun ada juga organisme
yang berasal dari debu, kotoran burung, atau
tanah yang terinjak oleh kaki perenang.
Beberapa organisme penyakit tersebut hidup
dan mungkin berkembang atau tumbuh di
dalam air kolam kecuali penyaringan air dan
pembubuhan disinfektan dilakukan terus
menerus sesuai dengan pedoman yang
berlaku.
Tujuan penulisan ini adalah untuk
menyiapkan materi teknis bagi Kementerian
Kesehatan dan para pakar dalam menetapkan
persyaratan kualitas air kolam renang yang
baru guna melindungi kesehatan para
perenang.
Metodologi
Tinjauan Kualitas Air Kolam Renang
Permenkes 416 Tahun 1990 ini dilakukan
dengan melakukan studi kepustakaan dan
diskusi berseri dengan berbagai stakeholder
pengelola,
ahli
laboratorium,
pejabat
pengambil keputusan sector terkait. Studi
kepustakaan dilakukan terhadap Peraturan
Menteri Kesehatan yang berkaitan dengan air
kolam renang, persyaratan kualitas air kolam
renang beberapa negara tetangga dan maju
17
23. serta pedoman atau guideline WHO terkait
Hasil dan Pembahasan
Suhu
Kolam renang yang mempergunakan air
panas atau suhu tinggi perlu melakukan
pengawasan yang lebih ketat, suhu air kolam
o
tidak boleh lebih tinggi dari 40 C. Standar air
kolam
renang
Queensland,
Australia
menyatakan, bila suhu air lebih tinggi dari
suhu tubuh, dianjurkan perenang dewasa yang
sehat tidak berada di kolam melebihi dari
waktu 20 menit. Permenkes 416 tahun 1990
tentang Syarat-syarat dan Pengawasan
Kualitas Air tidak mempersyaratkan suhu
untuk air kolam renang.
Kejernihan dan Kekeruhan:
Kejernihan air perlu dijaga sampai
mencapai
tingkat yangdipersyaratkan. Kejernihan
air
merupakan faktor penting dalam menjamin
keselamatan perenang. WHO menyatakan
kekeruhan air minum kurang dari 5 NTU masih
bisa diterima oleh masyarakat, sedangkan
untuk mendapatkan efektifitas disinfeksi
diperlukan kekeruhan kurang dari 0,5 NTU.
Untuk mengetahui kejernihan air, bisa
ditandai dengan masih dapat terlihat dengan
jelas marka atau tanda garis yang dibuat pada
dasar kolam terdalam dari tepi kolam.
Demikian pula Piringan Secchi yang diletakkan
di dasar kolam terdalam masih terlihat jelas.
Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas Air
menyatakan piringan Secchi yang diletakkan
pada dasar kolam terdalam dapat dilihat
dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 9
meter.
pH
pH ideal air kolam renang sangat diperlukan
untuk menjaga efisiensi proses disinfeksi dan
proses koagulasi, mencegah kerusakan
peralatan dan rasa nyaman. pH antara 7,2 dan
7,8 diperlukan untuk menjaga efektifitas
disinfeksi yang mempergunakan klorin.
Sisa Klor bebas dan sisa klor terikat
Klorin adalah disinfektan yang paling umum
dipergunakan, biasanya berbentuk gas, cair,
padat atau serbuk. Air yang mempunyai sisa
klor dianggap tetap mempunyai kemampuan
mendisinfeksi air dan tetap menjaga
kenyamanan air.
Dalam mengklorinasi air kolam renang
harus melewati Break Pont Chlorination (BPC)
untuk memastikan bahwa sisa klor adalah sisa
klor bebas. Sesudah melewati Breakpoint
Point Chlorination semua bentuk klorin yang
dengan kolam renang.
terikat telah dioksidasi oleh klorin, sehingga
keseluruhan sisa klor adalah sisa klor bebas.
Sisa klor bebas dapat dengan mudah
mengoksidasi bahan organik nitrogen yang
banyak diperoleh dari kencing dan sekresi
perenang. Sisa klor bebas dapat berikatan
dengan ammonia membentuk kloramin, yang
dapat menyebabkan mata terasa pedas
menyengat. Kloramin yang terbentuk masih
mempunyai daya disinfeksi tetapi sangat
lemah dan disebut sebagai sisa klor terikat.
Keberadaan kloramin dalam air kolam renang
harus dijaga seminimal mungkin, bila kloramin
berlebih harus dikurangi
dengan cara
mengklorinasi air kolam renang dengan dosis
tinggi.
Sisa klor bebas ini diperlukan untuk
membunuh kuman yang baru menginfeksi air
atau bahan organik yang dibuang oleh
perenang. Berbagai referensi menyebutkan
angka sisa klor bebas yang harus tetap ada
dalam air kolam renang sebesar 1,0 mg/L atau
bahkan 2,0 mg/L di seluruh bagian kolam
untuk menjaga air kolam tidak menimbulkan
risiko bagi kesehatan. WHO menyatakan sisa
klor bebas air kolam renang adalah 1,0 mg/L
dan untuk kolam air panas sebesar 2 – 3
mg/L.
Sementara itu sisa klor terikat harus
serendah mungkin, ada referensi sisa klor
terikat tidak boleh lebih dari setengah
konsentrasi sisa klor bebas, ada yang
mensyaratkan sebaiknya kandungan sisa klor
terikat kurang dari 0,5 mg/L dan bahkan WHO
mensyaratkan sebaiknya kurang dari 0,2 mg/L.
Air panas untuk hot tubs ataupun air untuk
terapi air (hydrotheraphy) memerlukan sisa
klor bebas yang lebih tinggi karena
mempergunakan suhu air lebih tinggi dan
biasanya rasio jumlah pemakai dan volume air
hot tubs juga lebih tinggi.
Sisa klor untuk kolam renang umum tidak
lebih dari 5 mg/L. Bilamana ozon atau sinar
UV juga dipergunakan sebagai disinfeksi
mendampingi klorin, maka sisa klor sebesar
0,5 mg/L cukup memadai. Jika pengelola
kolam
renang
mempergunakan
asam
isosianurat untuik menstabilkan klorin, maka
asam sianurat tidak boleh lebih dari 100 mg/L.
Sisa asam sianurat yang ada dalam air dijaga
antara 50 – 100 mg/L dan tidak boleh lebih
dari 100 mg/L.
HPC (Heterotrophic Plate Count)
Pemeriksaan
HPC
dilakukan
untuk
mengetahui angka kerapatan bakteri secara
umum dalam air kolam renang. Konsentrasi
HPC diharapkan selalu di bawah suatu angka
tertentu, ada yang menyatakan di bawah 200
18
24. cfu/mL atau ada yang menyebutkan di bawah
100 cfu/mL (colony form units).
Pertumbuhan kembali
bakteri setelah
pengolahan air di dalam kolam bisa saja
terjadi, hal ini dapat diindikasi dari tingginya
hasil pemeriksaan HPC air sampel.
E. coli
E.coli
adalah
anggota
keluarga
O
Enterobacteriaceae, tumbuh pada 44 – 45 C
pada media yang komplek, menghasilkan
asam dan gas. E.coli dianggap merupakan
indikator paling cocok untuk mengetahui
adanya pencemaran tinja. Secara umum
populasi
bakteri
coliform
termotoleran
didominasi oleh E.coli, dengan demikian E.coli
tepat dipergunakan sebagai indikator dalam
penetapan persyaratan
dan monitoring
kualitas air. E.coli juga dipergunakan sebagai
indikator keberhasilan proses disinfeksi air
tetapi hasilnya diketahui jauh lebih terlambat
dibandingkan
dengan
memeriksa
sisa
disinfektan. Namun demikian, pengetesan
E.coli ini lebih sensitif untuk mengetahui
adanya virus dan protozoa. Kerapatan E.coli
dalam air kolam renang dari semua referensi
harus kurang dari 1/100 mL air.
Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas
aeruginosa
adalah
mikroorganisme
anaerobik
yang banyak
dijumpai dalam air, tanam-tanaman dan tanah.
Manusia yang terinfeksi menjadi sumber
utama P.
aeruginosa di
kolam
renang
dan kolam air panas. Lingkungan sekitar yang
hangat, saluran air, lantai kolam, bisa menjadi
tempat pertumbuhan. P. aeruginosa tumbuh
dengan baik dalam suhu sampai dengan 41
O
C, terutama pada saringan pengolahan air
yang tidak dirawat dengan baik.
Pemeriksaan
P.aeruginosa
secara
teratur direkomendasikan untuk kolam air
panas. Di samping itu, disarankan segera
dilakukan pemeriksaan ketika diketahui terjadi
kegagalan atau masalah dalam sistem
penyaringan air. WHO merekomendasikan air
yang didisinfeksi secara terus menerus jumlah
P. aeruginosa tidak boleh lebih dari 1 per 100
mL, sedangkan air kolam sumber air alam
yang tidak didisinfeksi tidak boleh lebih dari 10
per 100 mL air.
Legionella spp.
Legionella spp. merupakan
bakteri
heterotrofik yang dapat ditemukan di berbagai
lingkungan
air
dan dapat
berkembang
O
biak pada suhu di atas 25 C. Bakteri ini
mungkin ada dalam jumlah banyak di air
panas yang peralatannya kurang terpelihara.
Legionella spp. juga dapat berkembang
pada bahan saringan air, termasuk karbon
aktif.
Pemeriksaan Legionella secara berkala
sangat berguna, terutama kolam air panas,
kerapatan harus kurang dari 1/100 mL.
Bilamana tidak dipenuhi maka kolam harus
ditutup, dikeringkan dan dibersihkan. Apabila
diduga saringan pengolahan air menjadi
sumber Legionella, maka perlu dilakukan
klorinasi
dengan
dosis
tinggi.
WHO
menyarankan air kolam renang yang airnya
didisinfeksi, ketika diperiksa jumlah kuman
Legionella spp. harus kurang dari satu setiap
100 mL sampel, sedangkan untuk air hot tubs
dan natural water juga harus kurang dari 1 per
100 mL.
Kesimpulan dan Saran
O
1. Suhu ( C). Persyaratan kesehatan suhu
air kolam renang perlu diatur, karena bila
o
suhu air melebihi 40 C dikhawatirkan
dapat mengganggu konsentrasi perenang
karena berada di kolam dalam waktu yang
lama dapat meyebabkan gangguan dan
keselamatan.
Beberapa
referensi
menyatakan air yang panas tidak baik
untuk wanita hamil, anak-anak, orang tua,
orang
dengan
kelemahan
jantung.
Temperatur tinggi akan menyebabkan
daya bunuh disinfektan menurun, menjadi
tempat yang ideal untuk pertumbuhan
bakteri seperti Legionella, juga bisa
menyebabkan heat stress.
2. pH air sangat perlu dijaga dalam batas
tertentu
untuk
menjaga
efektifitas
disinfeksi, pengolahan air kolam, dan
kesetimbangan parameter kimia yang lain
seperti kesadahan, korosifitas air dll. pH
air di atas tujuh akan mengurangi daya
atau kekuatan sisa klor bebas demikian
juga pada pH rendah akan menurunkan
kekuatan klorin. Disarankan pH air ideal
adalah antara 7,2 – 7,6; namun bila sulit
dicapai disarankan tidak lebih dari 7,8.
3. Sisa klor bebas berupa Cl2, HOCl atau
OCl merupakan sisa klor yang diharapkan
tetap selalu ada dalam air kolam renang.
Sisa klor rendah kurang dari 1 mg/L
menyebabkan
air
kondusif
untuk
terbentuknya kloramin. Seperti diketahui
saat awal air dibubuhi, klorin akan
bereaksi dengan bahan organik, bakteri
dan amonia. Reaksi klorin dengan amonia
menghasilkan kloramin. Kloramin masih
mempunyai
daya
disinfeksi
walau
kekuatannya tidak sekuat klor bebas,
namun bila konsentrasinya kloramin tinggi
bisa menyebabkan air kolam berbau dan
19
25. menyebabkan iritasi dan gatal pada kulit.
Dilaporkan penambahan klorin yang
menghasilkan sisa klor bebas akan
mempunyai kekuatan disinfeksi 50 kali
lebih efektif daripada sisa klor terikat.
Penambahan klorin lebih lanjut akan juga
menghancurkan kloramin yang ada.
Kloramin
berlebihan
yang
sulit
dihancurkan bisa dikurangi dengan
melakukan disinfeksi klorin dosis tinggi.
Kondisi ini menjamin bahwa air bebas dari
bakteri peyebab penyakit. Berkaitan
dengan disinfeksi air kolam dengan klorin
disarankan:
a. Air kolam renang yang di disinfeksi
dengan klorin mempunyai sisa klor
bebas ideal 1,0 – 1,5 mg/L, minimal 1,0
mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
b. Air kolam renang yang di disinfeksi
dengan klorin yang dikombinasi dengan
Ozon atau sinar UV disarankan
mempunyai sisa klor bebas ideal 1,0 –
1,5 mg/L, minimal 0,5 mg/L dan
maksimal 5,0 mg/L,
c. Air kolam renang air panas yang
didisinfeksi dengan klorin disarankan
mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 –
3,0 mg/L, minimal 1,0 mg/L dan
maksimal 5,0 mg/L,
d. Air kolam renang yang didisinfeksi
dengan klorin yang dikombinasi dengan
asam sianurat disarankan mempunyai
sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L,
minimal 2,0 mg/L dan maksimal 5,0
mg/L,
e. Air kolam bermain yang didisinfeksi
dengan klorin disarankan mempunyai
sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L,
minimal 1,5 mg/L dan maksimal 5,0
mg/L,
f. Sisa klor terikat yang ideal untuk
semua air kolam disarankan < 0,5 mg/L
dan maksimal < 1 mg/L.
4. Eschericia coli merupakan mikroba yang
jumlahnya sangat banyak di dalam perut
manusia, binatang dan burung. Air yang
tercemar tinja dikhawatirkan mengandung
mikro-organisme
yang
dapat
menyebabkan
penyakit
bagi
para
perenang.
Dengan
demikian
dipersyaratkan setiap 100 mL air kolam
renang mengandung E.coli kurang dari
satu.
5. Heterotrophic Plate Count atau HPC atau
jumlah kuman secara umum. Pemeriksaan
HPC < 100 per mL yang dilakukan pada
o
suhu 35 – 37 C dalam jangka waktu 48
jam menunjukkan air kondisi baik.
Disarankan kerapatan kuman air kolam
renang adalah < 200 per 100 mL dan
untuk kolam renang air panas adalah <
100 per mL.
6. Monitoring teratur terhadap Pseudomonas
aeroginosa disarankan untuk air kolam
renang air panas dan air sumber alam.
Pemeriksaan juga dilakukan terhadap air
kolam renang yang mengalami masalah
proses penyaringan atau disinfeksi.
Disarankan untuk air yang didisinfeksi
tidak dijumpai P. aeroginosa dalam 100
mL air dan untuk air kolam yang tidak
disinfeksi tidak boleh ada dalam 10 mL air.
7. Pemeriksaan secata teratur Legionella sp.
bermanfaat untuk air kolam panas.
Legionella bisa dijumpai dalam jumlah
yang banyak dalam air sumber alam yang
panas dan tumbuh dalam air kolam panas
yang
tidak
dirawat
dengan
baik.
Disarankan kerapatan Legionella sp untuk
semua jenis air tidak boleh ada dalam 100
mL air.
Kepustakaan
Christiane Höller, Pool water quality–The German
philosophy, Bayerisches Landesamt für,
Gesundheit
und
Lebensmittelsicherheit,
Bavarian Health and Food Safety Authority,
German,
Department of Human Services Victoria, The Pool
Operator’s Handbook 2000,
Australian
Pesticide and Veterinary medicine Autority,
APVMA GUIDE FOR DEMONSTRATING
EFFICACY OF POOL AND SPA SANITISERS,.
APVMA Australia, 2007
Direktorat
Penyehatan Lingkungan, Naskah Teknis
Pedoman Pengawasan Kualitas Air Kolam
Renang, Kementerian Kesehatan, 2011
ENVIRONMENTAL
HEALTH
DEPARTMENT,
ENVIRONMENTAL
PUBLIC
HEALTH
DIVISION, Code Practice on Environmental
Health, NATIONAL ENVIRONMENT AGENCY,
SINGAPORE, 2005
Great Lakes-Upper Mississippi River Board of State and
Province Public Health and Environmental
Managers, Recommended Standard for
Swimming Pools Design and Operation,
USA, 1996
Kementerian Kesehatan RI, Permenkes
416 tahun 1990 tentang Syaratsyarat dan Pengawasan Kualitas
Air, 1990.
New South Wales HEALTH, PUBLIC SWIMMING POOL
AND SPA POOL GUIDELINES, Department of
Health New South Wales, 1996
Oregon Public Health Division, Pool Operator Training
Manual, Oregon Health Authority, 2011
Saskatchewan HEALTH, Swimming pools
Design/Operational
Standards,
The
Swimming Pool Regulations, Saskatchewan,
1999
20
26. Queensland Government, Queensland Health, Swimming
and Spa Pool Water Quality and Operational
Guidelines, Queensland Health, 2004
WHO,
Guidelines for safe recreational water
environments VOL 2 SWIMMING POOLS
AND SIMILAR ENVIRONMENTS, WHO, 2006
21
27. Pengembangan Database Registri Cedera
di Rumah Sakit
Dra. Woro Riyadina, M.Kes, Anna Maria Sirait, SKM, M.Kes dan Dra. Marice Sihombing, MSi
Peneliti Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI
Abstrak
Beban cedera makin meningkat sehingga
dibutuhkan penyediaan dan penyajian data yang
cepat dan terbaru. Sistem dokumentasi data cedera
dari berbagai sumber masih bersifat manual
sehingga pemanfaatan data kurang optimal.
Diperlukan model sistem registri data dasar trauma
yang sederhana, aplikatif, informatif dan mudah
diakses oleh pengguna sebagai penunjang sistem
surveilans cedera. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model database registri cedera yang
aplikatif dan informatif.
Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan
potong lintang dengan ujicoba formulir dan software
registri cedera di 3 rumah sakit yaitu RSUD Koja
Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat dan
RS Dr. Kariadi Semarang, Januari – Agustus 2010
sebanyak 962 kasus. Selanjutnya data dianalisa
dengan uji Kai Kuadrat.
Hasil penelitian berupa model database
(formulir dan software) registri cedera yang berisi 9
variabel inti (core) dan 31 variabel tambahan
(additional). Program (software) cedera2010.exe
menggunakan aplikasi Microsoft Acces dan data
berbentuk .mdb sehingga mudah ditransfer ke
program lain untuk dianalisis lanjut. Tampilan hasil
software berupa grafik batang (jumlah kasus) dan
grafik lingkaran (persentase kasus). Proporsi cedera
pada pasien rawat inap di rumah sakit mayoritas
akibat kecelakaan transportasi darat (59,6%),
mengalami cedera di bagian kepala (47,5%) dengan
jenis luka patah tulang (27,3%) dan mengalami
kematian sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda
bermakna (p<0.05) menurut jenis rumah sakit.
Model database registri cedera dirancang dan
dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan cepat.
Penelitian lanjut diperlukan untuk ujicoba dan
standarisasi penerapan formulir dan program
(software) registri cedera di rumah sakit.
Pendahuluan
Cedera telah menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat. Lebih dari dua per tiga
masalah cedera dialami oleh negara-negara
1,2
berkembang. Kematian
akibat
cedera
diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi
8,4 juta (9,2% dari kematian global) dan
diestimasikan menempati peringkat ketiga dari
DALYs (Disability adjusted life years) pada
3,4
tahun 2020. Cedera menduduki peringkat ke
delapan dari 15 penyebab kematian pada
kelompok umur 15-29 tahun terutama untuk
cedera akibat kecelakaan lalu lintas, bunuh diri,
dibunuh,
tenggelam,
terbakar,
perang,
5
keracunan dan jatuh.
Masalah cedera
memberikan kontribusi pada kematian 15%,
beban penyakit 25% dan kerugian ekonomi 5%
6
GDP (Growth Development Product). Hasil
Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun
2007 menunjukkan bahwa prevalensi cedera
sekitar 8% sedangkan menurut laporan rutin
dari rumah sakit menggambarkan bahwa
jumlah korban cedera mengalami kenaikan
yang cukup signifikan dari tahun ke tahun yaitu
56.818 kasus pada tahun 2004 menjadi 72.281
8
kasus di tahun 2005.
Permasalahan ketersediaan data cedera
di Indonesia membutuhkan perhatian yang
serius. Data dari berbagai sumber tersebut
perlu digabung menjadi satu set data sehingga
informasi lebih lengkap. Untuk itu diperlukan
suatu sistem atau jejaring informasi data
cedera yang mudah diakses. Sistem surveilans
cedera merupakan salah satu solusi sebagai
jejaring data cedera lintas sektor. Jejaring
informasi data cedera antar rumah sakit perlu
dibentuk sebagai embrio dari sistem surveilans
cedera lintas sektor.
Database registri cedera merupakan
upaya menyatukan (agregrasi) data dari
berbagai sumber data baik yang ada di rumah
sakit ataupun dari lintas sektor. Data dari
registri data dasar trauma seharusnya dapat
digabung
dalam
registri
regional
dan
disambungkan dengan data dari seluruh
tahapan perawatan (pre rumah sakit, di rumah
sakit dan rehabilitasi) yang mudah diakses
9
dalam 1 set data.
Selain itu, registri data dan pelaporan
cedera di rumah sakit yang ada sekarang ini
masih bersifat laporan rutin yang bersifat
manual sehingga belum optimal. Untuk itu
diperlukan suatu sistem elektronik registri data
dasar trauma (computerized) yang aplikatif
sehingga memudahkan input data dan
pembuatan laporannya serta informatif. Data
dasar tersebut diupayakan dapat disambung
(link) dengan jejaring antar rumah sakit dan
atau pihak terkait untuk dimanfaatkan.
Untuk menjawab tantangan tersebut maka
diperlukan suatu pengembangan model
database dengan cara merancang model
22
28. database registri cedera yang aplikatif dan
informatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model database registri
cedera yang aplikatif dan informatif berupa
formulir dan program/software. Rancangan
registri data dasar trauma ini diharapkan dapat
digunakan oleh petugas rumah sakit untuk
memudahkan menyimpan data dan membuat
laporan rutin serta dimanfaatkan sebagai
penyedia informasi data yang standar
penunjang sistem surveilans cedera secara
keseluruhan. Manfaat lain diharapkan dapat
sebagai embrio untuk terbentuknya jejaring
surveilans cedera antar rumah sakit dan lintas
sektor dalam perencanaan upaya pencegahan
cedera.
Metodologi
Artikel ini merupakan sebagian hasil dari
penelitian ―Pengembangan Database Registri
Trauma sebagai Penunjang Sistem Surveilans
Cedera‖. Tahapan penelitian ini meliputi
pengembangan formulir dan pembuatan
program (software) registri cedera. Penelitian
dengan desain potong lintang dengan metode
pengisian formulir (abstraksi) dan ujicoba entri
962 kasus cedera pada pasien rawat inap di
bagian rekam medis 3 rumah sakit (RSUD Koja
Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat
dan RSUP Dr. Kariadi Semarang, Jawa
Tengah) dari bulan Januari – Agustus 2010.
Data dianalisis secara deskriptif dengan
aplikasi software cedera2010.exe dan analisis
lanjut dengan uji statistik kai kuadrat.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian
ini
merupakan
tahapan
kegiatan merancang model database registri
cedera meliputi kegiatan penyusunan formulir
dan membuat software registri cedera.
a.Formulir Registri Cedera
Tahap awal merancang database cedera
adalah dengan penyusunan formulir registri
cedera sebagai bahan materi (substansi) untuk
merancang software database registri cedera.
Formulir registri cedera yang sudah disepakati
dalam pertemuan dengan lintas sektor terdiri 2
halaman tampilan atau 1 lembar bolak-balik.
Jumlah keseluruhan variabel ada 40 variabel
yang terdiri dari 9 variabel inti dan 31 variabel
tambahan.
Penambahan jumlah variabel atau data
suplemen masih sangat dimungkinkan untuk
mengakomodasi perkembangan kebutuhan
data dan informasi.
b.Pengisian
formulir
registri
cedera
(abstraksi)
Langkah awal untuk membuat database cedera
yang lengkap adalah dengan melakukan
proses abstraksi (menyalin data) dari rekam
medis ke dalam formulir registri cedera. Proses
ini memerlukan upaya mencari sumber data
selain di rekam medis, seperti data biaya
perawatan di rumah sakit dari bagian
bendahara. Idealnya semua variabel dalam
formulir registri bisa terisi untuk mendapatkan
data yang lengkap. Kenyataannya bahwa ada
beberapa variabel yang tidak dapat terisi
dikarenakan kesulitan untuk mendapatkan
informasi (tabel 1).
Tabel 1.
Prosentase variabel yang sulit mendapatkan informasi
No.
Nama variable
Jumlah
yang
kosong
(missing)
%
1.
Aktivitas menjelang
cedera
332
34,5
2.
Pemakaian helm
237
24,6
3.
Cara angkut pasien
230
23,9
4.
Pekerjaan
225
23,1
5.
Pendidikan
171
17,8
6.
Jam kejadian cedera
118
12,3
7.
Biaya pengobatan di
rumah sakit
51
5,3
Tabel 1 terlihat bahwa variabel aktivitas
menjelang cedera merupakan variabel yang
paling banyak tidak terisi atau diisi tidak tahu
yaitu sebanyak 34%. Data demografi pasien
untuk pendidikan dan pekerjaan yang
merupakan variabel inti (core) dalam registri
cedera perlu ditegaskan agar data penting
tersebut bisa diisi secara lengkap. Biaya
perawatan cedera diperlukan untuk kebutuhan
analisis biaya terkait dengan beban ekonomi.
Idealnya untuk formulir registri cedera
seharusnya digabung dalam rekam medis.
Secara teknis formulir diisi oleh petugas di
bagian IGD dan tahap akhir dilengkapi oleh
petugas di bagian rekam medis.
Ada empat jenis kesalahan utama yang
teridentifikasi dalam registri trauma meliputi
kegagalan untuk mengidentifikasi pasien yang
terkait, inklusi pasien yang tidak sesuai, record
data rumah sakit tidak cukup atau tidak akurat
dan data di registri trauma tidak cukup atau
tidak akurat. Registri trauma di Queensland
10
menemukan 5% kesalahan data rumah sakit.
23
29. c. Software Registri Cedera
Software registri cedera terdapat dalam satu
folder CEDERA yang terdiri dari 3 file yaitu
dbase-cedera, file cedera2010.exe dan file
INITDB.UDL. Tampilan program terdiri dari 2
sheet (halaman) yaitu halaman registri dan
halaman laporan (tabel dan grafik). Tampilan
program entri (registri) terdiri dari 5 layar yang
menunjukkan sub bagian dalam formulir yaitu
identitas pasien (variabel 01 – 09), penyebab
luar cedera (variabel 10 – 16), penyebab luar
cedera (variabel 17 – 20), penanganan di UGD
RS (variabel 22 – 31) dan jenis cedera dan
anggota tubuh cedera (32 – 40). Fasilitas
tampilan grafik dalam bentuk Bar (batang) dan
Pie (lingkaran). Program (software) ini
dirancang sangat praktis dan mudah dalam
pengoperasiannya (entri, edit dan analisis)
serta menghasilkan produk laporan dalam
tampilan grafik yang menarik dan informatif.
Aplikasi pembuatan laporan dalam bentuk
grafik tersedia menurut 11 variabel yaitu jenis
kelamin,
kelompok
umur,
pendidikan,
pekerjaan, domisili, sumber biaya, penyebab
luar cedera, tempat kejadian, hari kejadian,
bagian tubuh cedera, sifat/jenis cedera.
Pengembangan awal registri cedera harus
melibatkan teknisi dalam mengoperasikan
sistem seperti hardware, software, sistem
operasionalisasi, dukungan memori dan
keamanan
(security).
Database
cedera
membutuhkan biaya yang mahal dan apabila
tidak dirancang dengan baik maka akan tidak
11
efektif.
d. Tampilan hasil analisis dari program
(software) registri cedera
Salah satu kelebihan program (software)
registri cedera adalah menampilkan laporan
hasil dalam bentuk grafik yang menarik dan
informatif dengan cara yang sangat mudah.
Kemudahan
ditunjukkan
dengan
hanya
mengaplikasikan ―mouse‖ (―klik‖) pada pilihan
laporan yang ingin ditampilkan. Grafik tersebut
dapat secara langsung dilakukan cetak
hasilnya apabila langsung dihubungkan dengan
printer.
Analisis deskriptif dihasilkan dalam bentuk
tampilan grafik batang (jumlah kasus) dan
lingkaran (persentase/proporsi). Contoh grafik
untuk jumlah kasus dan proporsi cedera
menurut jenis kelamin dan kelompok umur
ditampilkan pada gambar 1 dan 2
Gambar 1.
Jumlah Kasus Cedera Menurut Jenis Kelamin Pasien
Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara,
Januari-Agustus 2010
Gambar 2.
Persentase Kasus Cedera Menurut Kelompok Umur pada
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara,
Januari-Agustus 2010
e. Proporsi cedera pada pasien rawat inap
di rumah sakit.
Sumber data berasal dari database cedera di 3
rumah sakit yang merupakan hasil entri dengan
program (software) cedera 2010.exe. Data
dianalisis lanjut dengan melakukan transfer
data.mdb ke data.sav, selanjutnya dianalisis
dengan uji Kai Kuadrat di program SPSS.
Urutan proporsi terbanyak penyebab cedera
pada pasien rawat inap menurut rumah sakit
disajikan pada tabel 2.
24
30. Tabel 2.
Urutan proporsi terbanyak penyebab luar cedera menurut
rumah sakit
Tabel 3.
Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera menurut RS
RumahSakit
RumahSakit
Penyebab luar
cedera
Bagian tubuh yang
terkena cedera
RS
RS
Sumber RS Koja
Kariadi
Waras
n (%)
n (%)
n (%)
Total
n (%)
Kepala
379
(52,7)
197
(27,4)
143
(19,9)
749
(100)
Leher
4
(44,5)
2
(22,2)
3
(33,3)
9
(100)
Dada
67
(77,0)
3
(3,5)
17
(19,5)
87
(100)
21 (60,0) 35 (100)
Perut,punggung,
pinggang,panggul
23
(40,4)
19
(33,3)
15
(26,3)
57
(100)
11 (42,3)
7 (26,9) 26 (100)
Bahu, lenganatas
12 (48,0)
7 (28,0) 25 (100)
59
(69,4)
20
(23,5)
6
(7,1)
85
(100)
Siku , lengan
bawah
36
(52,9)
14
(20,6)
18
(26,5)
68
(100)
Pergelangan
tangan,
56
(58,9)
17
(17,9)
22
(23,2)
95
(100)
Sendi pinggul,
Tungkai atas
26
(49,1)
15
(28,3)
12
(22,6)
56
(100)
Lutut, tungkai
bawah
30
(43,5)
20
(29,0)
19
(27,5)
69
(100)
RS
Kariadi
n (%)
RS
Sumber
Waras
n (%)
RS Koja
n (%)
Total
n (%)
Transportasi
darat
240
(41,9)
196
(34,2)
137
(23,9)
573
(100)
Terjatuh
35
(26,0)
77
(57,0)
23
(17,0)
135
(100)
Terkena benda
tajam
7
(6,0)
10
(8,5)
100
(85,5)
117
(100)
5 (14,3)
9 (25,7)
Terkena mesin 8 (30,8)
Kejatuhan
benda
6 (24,0)
Terkena api
0 (0,0)
1 (12,5)
7 (87,5)
8 (100)
KDRT
0 (0,0)
1 (14,3)
6 (85,7)
7 (100)
Kriminalitas
Terkena benda 0 (0,0)
1 (20,0) 4 (80,0) 5 (100)
panas
*Proporsi penyebab luar cedera yang lain di bawah ≤ 0,1%
Proporsi penyebab luar cedera yang
menempati urutan teratas adalah transportasi
darat untuk ketiga rumah sakit. Apabila
dibandingkan ketiga rumah sakit tersebut
tampak bahwa proporsi tertinggi ada di Rumah
Sakit Kariadi Semarang yaitu sekitar 41,9%.
Hasil ini lebih jauh lebih tinggi jika dibandingkan
hasil survei di populasi masyarakat (Riskesdas
12
tahun 2007)
yaitu 27%. Urutan kedua
penyebab cedera terbanyak adalah terjatuh
dan proporsi terbesar terdapat di RS Sumber
Waras yaitu 57%. Hasil tersebut hampir sesuai
dengan hasil Riskedas 2007 yaitu sekitar
59,5%. Sedangkan posisi ke tiga penyebab
cedera adalah terkena benda tajam yang
mayoritas pasiennya dirawat di RS Koja yakni
sebesar 85,5%. Hasil analisis lanjut ini
menambah bukti bahwa penanganan dan
pencegahan cedera akibat transportasi darat
perlu segera dilakukan dan diprioritaskan.
Perbedaan proporsi bagian tubuh yang
terkena cedera menurut rumah sakit tercantum
dalam tabel 3.
Pergelangan kaki
10
17
18
46
(21,7)
(37,0)
(41,3)
(100)
* Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries)
* Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05
Proporsi cedera terbanyak adalah bagian
kepala. Sebagian besar proporsi cedera di
hampir semua bagian tubuh didominasi oleh
pasien yang dirawat di RS Kariadi, hanya untuk
cedera di bagian pergelangan kaki tertinggi
pada pasien di RS Koja yaitu 41,3%.
Karakteristik bagian tubuh yang cedera
menurut rumah sakit akan memberikan
masukan dan infomasi bagi rumah sakit untuk
ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
untuk peningkatan pelayanan pasien cedera.
Perbedaan proporsi jenis cedera menurut
rumah sakit disajikan dalam tabel 4.
Tabel 4
Proporsi jenis cedera menurut rumah sakit
RumahSakit
Jenis cedera
RS
Kariadi
n (%)
RS
Sumber RS Koja
Waras
n (%)
n (%)
Total
n (%)
Superfisial
28
(31,1)
50
(55,6)
12
(13,3)
90
(100)
Luka terbuka
52
(28,7)
20
(11,1)
109
(60,2)
181
(100)
Patah tulang
(gigi)
276
(66,8)
87
(21,1)
50
(12,1)
413
(100)
Dislokasi/sprain,
strain
15
(68,2)
6
(27,3)
1
(4,5)
22
(100)
Cedera
saraf/sumsum
tulang belakang
2
(33,3)
1
(16,7)
3
(50,0)
6
(100)
25
31. RumahSakit
Jenis cedera
RS
Kariadi
n (%)
RS
Sumber RS Koja
Waras
n (%)
n (%)
Total
n (%)
Superfisial
28
(31,1)
50
(55,6)
12
(13,3)
90
(100)
Luka terbuka
52
(28,7)
20
(11,1)
109
(60,2)
276
(66,8)
87
(21,1)
50
(12,1)
413
(100)
Dislokasi/sprain,
strain
15
(68,2)
6
(27,3)
1
(4,5)
22
(100)
Cedera
saraf/sumsum
tulang belakang
2
(33,3)
1
(16,7)
3
(50,0)
6
(100)
Cedera
pembuluh darah
1
(14,3)
6
(85,7)
0
(0,0)
Cedera otot dan
tendo
7
(50,0)
3
(21,4)
Cedera mata
12
(85,7)
Cedera
jantung/organ
intra abdomen
Tabel 5.
Proporsi keadaan pasien cedera saat keluar dari rumah
sakitmenurut rumah sakit
181
(100)
Patah tulang
(gigi)
Mortalitas akibat cedera pada pasien rawat
inap di rumah sakit diperlihatkan dengan
proporsi keadaan pasien saat keluar dari
rumah sakit (tabel 5).
RumahSakit
Keadaanpasie
RS
nsaatkeluar
RS
Sumber RS Koja
RS
Kariadi
Waras
n (%)
n (%)
n (%)
Total
n (%)
Hidup
294
(91,8)
321
(99,4)
316
(99,1)
931
(96,8)
7
(100)
Meninggal
26
(83,9)
2
(6,5)
3
(0,9)
31
(3,2)
4
(28,6)
14
(100)
Total
320
(32,3)
323
(33,5)
319
(33,2)
962
(100)
1
(7,2)
1
(7,1)
14
(100)
5
(62,5)
2
(25,0)
1
(12,5)
8
(100)
Cedera organ
thorax
lainnya/pelvis
29
(70,7)
5
(12,2)
7
(17,1)
41
(100)
Komosiocerebri
82
(33,9)
94
(38,8)
66
(27,3)
242
(100)
Kontusio,
laserasi dan
perdarahan
dalam otak
95
(85,6)
7
(6,3)
9
(8,1)
111
(100)
Perdarahan
epidural
26
(74,3)
6
(17,1)
3
(8,6)
35
(100)
Perdarahan
subdural
36
(87,8)
4
(9,8)
1
(2,4)
41
(100)
Remuk
2
(100,0)
0
(0,0)
0
(0,0)
2
(100)
Amputasi
7 (63,6) 2 (18,2) 2 (18,2) 11 (100)
Lainnya
15
30
5
50
(30,0)
(60,0)
(10,0)
(100)
*Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries)
* Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05
Proporsi terbesar untuk cedera superfisial
terbanyak dialami oleh pasien di rumah sakit
Sumber Waras (55,6%), luka terbuka di RS
Koja (60,2%), patah tulang di RS Kariadi
(66,8%), komosio cerebri di RS Sumber Waras
(38,8%), kontusio, laserasi dan pendarahan
dalam otak di RS Kariadi (85,6%), perdarahan
epidural dan subdural di RS Kariadi masingmasing 74,3% dan 87,8%. Proporsi jenis
cedera ini dapat menggambarkan tingkat
keparahan pasien cedera. Pola cedera pada
pasien rawat inap di rumah sakit sangat
berbeda dengan hasil Riskesdas 2007
dikarenakan untuk pola cedera di masyarakat
menunjukkan cedera yang lebih ringan tingkat
keparahannya dibandingkan dengan pasien
cedera yang harus dirawat inap.
Mortalitas pasien cedera yang dirawat inap di
rumah sakit sekitar 3,2%. Hasil tersebut
tampak lebih tinggi apabila dibandingkan
dengan hasil Riskesdas 2007 sekitar 6,5 per
mil dan merupakan penyebab kematian urutan
ke 4 setelah strok, TB dan hipertensi. Hasil ini
bisa dijadikan data untuk evaluasi pelayanan
dan tingkat keparahan cedera. Proporsi
kematian pasien cedera di RS Kariadi paling
tinggi (83,9%) dibandingkan dengan RS lain.
Hal tersebut sesuai dengan tingkat keparahan
cedera pada pasien yang dirawat di RS Kariadi.
Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian mendapatkan model
database (formulir dan program/software)
registri cedera yang berisi elemen 9 variabel
inti (core) dan 31 variabel tambahan
(additional).
Program
(software)
cedera2010.exe
menggunakan
aplikasi
Microsoft Acces dan data berbentuk .mdb
sehingga mudah ditransfer ke program lain
untuk dianalisis lanjut. Laporan hasil analisis
dalam bentuk grafik batang (jumlah kasus) dan
grafik lingkaran (persentase). Pola cedera
pasien rawat inap menunjukkan bahwa
proporsi cedera mayoritas akibat kecelakaan
transportasi darat (59,6%), mengalami cedera
di bagian kepala (47,5%) dengan jenis luka
patah tulang (27,3%) dan mengalami kematian
sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda
bermakna (p<0,05) menurut jenis rumah sakit.
Model database registri cedera dirancang dan
dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan
cepat. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk
melakukan ujicoba dan standarisasi penerapan
formulir dan program (software) registri cedera
di rumah sakit.
26
32. Daftar Pustaka
1. Smith GS, Barss P: Unintentional injuries in developing
countries:
Epidemiology of neglected problem.
Epidemiol Rev 1991, 13:228-66.
2. Forjuoh SN, Gyebi-Ofosu E: Injury Surveiillance: should
it be a concern to developing countries?. J Public
Health Pol 1993, 14:355-9.
3.
8.
9.
information
4.
5.
6.
7.
systems-Projections
of
mortality
and
http://www.who.int.
Murray CJ, Lopez AD: Alternative projections of
mortality and disability by cause 1990-2020: Global
Burden of Diseases Study. Lancet 1997, 349:1498-504.
Injuries, Violence and Disabilities BIENNIAL REPORT
2004–2005, World Health Organization 2006, WHO
Press. Geneva.
Etienne G., Krug, MD,MPH.,Gyanendra K., Sharma,
MD, MSc and Rafael, Lozano, MD, MSC, The global
burden of injuries, Am J Public Health. 2000;90:523526.
Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan
10.
11.
12.
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan
RI. Desember 2008, hal: 160 – 169.
Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dirjen
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Depkes RI. Kebijakan Pelaksanaan Program
Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan.
Makalah. Subdit Gangguan Akibat Cedera. Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Depkes RI.
Jakarta. 2007.
Clark,DE And Hahn,DR. Hospital Trauma Registries
Linked with Population-Based Data. J Trauma. 1999
Sep;47(3):448-54
McKenzie K, Walker S, Besenyei A, Aitken LM, Allison
B. Assessing the concordance of trauma registry data
and hospital records.HIM J. 2005;34(1):3-7.
Acosta JA, Hatzigeorgiou C, Smith LS. Developing a
trauma registry in a forward deployed military hospital:
Preliminary report. J Trauma. 2006;61:256–260.
Riyadina,W. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia.
Analisis lanjut data Riskesdas 2007. Laporan Hasil.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan
Penyakit. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Jakarta. 2008
27
33. Ujicoba Efektivitas Desinfektan Kaporit Dan Lisol Terhadap Jarum Suntik Yang
Dihancurkan/Tanpa Dihancurkan
Hadi Suhatman, S.Si
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Jakarta
Abstrak
Menurut laporan WHO tahun 1999, melaporkan
bahwa di Prancis pernah terjadi 8 kasus pekerja
kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus
diantaranya menimpa petugas yang menangani
limbah medis. Pemakaian alat suntik setiap bulan
untuk pengobatan mencapai 10 juta pelayanan.
Padahal selain untuk pengobatan, alat suntik juga
digunakan dalam program imunisasi bagi bayi dan
anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4.9 juta
anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan.
Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di
indonesia menjadi sangat tinggi.
Kemampuan kaporit sebagai desinfektan sangat
baik dibandingkan dengan lisol dengan diperoleh
-0,126
hubungan sebagai berikut Ntk = Ntl 0,0096 [C]
,
dengan variasi konsentrasi yang sama untuk
desinfektan yang digunakan jumlah kuman setelah
dikontakan untuk kaporit lebih kecil dibandingkan
dengan lisol.
Terhadap variasi waktu perendaman terhadap
penurunan jumlah kuman, untuk lisol memiliki hasil
uji F berbeda bermakna, artinya sifat desinfeksi
tergantung dari konsentrasi sedangkan terhadap
variasi konsentrasi terhadap jumlah penurunan
kuman tidak berbeda bermakna, artinya variasi
konsentrasi menghasilkan grafik jumlah penurunan
kuman yang sama.
Pendahuluan
Limbah tajam adalah obyek atau alat
yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau
bagian menonjol yang dapat memotong atau
menusuk kulit seperti jarum hipodermik,
perlengkapan
intravena,
pipet
pasteur,
pecahan gelas, dan pisau bedah. Semua
benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan
dapat menyebabkan cidera melalui sobekan
atau tusukan. Benda-benda tajam yang
terbuang tersebut mungkin terkontaminasi
oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi,
bahan beracun yang mempunyai risiko untuk
menularkan penyakit atau bahaya lainnya.
Menurut laporan WHO tahun 1999,
melaporkan bahwa di Prancis pernah terjadi 8
kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui
luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas
yang menangani limbah medis. Pemakaian
alat suntik setiap bulan untuk pengobatan
mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain
untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan
dalam program imunisasi
bagi bayi dan anak-anak yang setiap
tahunnya mencapai 4.9 juta anak dan setiap
anak memerlukan 8 suntikan. Dengan
demikian jumlah limbah medis tajam di
Indonesia menjadi sangat tinggi.
Hasil survey dilakukan di dua puskesmas di
Kabupaten Tangerang oleh BBTKL-PPM
Jakarta tahun 2007, menunjukkan bahwa
penggunaan jarum suntik rata-rata perbulan
untuk Puskesmas Balaraja sebanyak 9.348
buah dan Puskesmas Kresek sebanyak 1.912
buah. Sebagian besar limbah tersebut beasal
dari kegiatan imunisasi. Jumlah puskesmas
yang ada di Kabupaten Tangerang ± 46
puskesmas.
Total
kapasitas
limbah
diperkirakan 87.952 – 430.008 buah/bulan,
kapasitas limbah tersebut belum termasuk
kegiatan rumah sakit, laboratorium klinik dan
balai pengobatan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas,
BBTKL-PPM Jakarta merasa terpanggil sesuai
dengan tugas pokok dan fungsinya untuk
mencari alternatif penanganan limbah tajam
dari jarum suntik yang aman dan akseptik.
Penanganan
limbah
tersebut
dengan
menggunakan sistem pengikisan secara
mekanikal.
Tujuan
Tujuan Umum
Memberikan
kontribusi
dalam
meningkatkan kesehatan manusia untuk
mencegah kontaminasi limbah tajam dengan
menciptakan alat pengolah limbahnya.
Tujuan Khusus
Mencari limit kadar dan jenis desinfektan
komersil dan efektif.
Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam
penangan limbah tajam infeksius (jarum
suntik) terdiri atas dua tahap :
a) Uji dosis desinfektan
Tahap ini dilakukan ujicoba dosis
efektivitas
desinfektan
untuk
membunuh bakteri, virus dan lain-lain.
Desinfektan yang digunakan adalah
kaporit dan lisol dengan variasi
konsentrasi.
28
34. b) Uji dosis terhadap variasi waktu
Ujicoba dilakukan dengan variasi
waktu perendaman terhadap jumlah
kuman dengan variasi konsentrasi
desinfektan
Alat dan Bahan
Alat :
Gurinda dengan pengaman
Alat Pelindung Personal
BSL Tipe 1
Petri Dish
Bunsen
Korek Api
Pinset
Pipet 1 mL / 10 mL
Bahan :
Alkohol 70%
Spiritus
Plate Count Agar (APHA)
Limbah jarum infeksius dan spuit
Lisol
Kaporit
Prosedur
1. Siapkan cairan desinfeksi yang umum
digunakan (seperti lisol dan kaporit)
pada berbagai kadar untuk merendam
serpihan jarum hasil gurinda
2. Lakukan gurinda untuk limbah tajam
infeksius, seperti limbah jarum.
3. Rendam jarum hasil gurinda/tanpa
dihancurkan cairan desinfektan yang
telah dipersiapkan tersebut dengan
pembedaan
durasi
waktu
pendesinfeksian.
4. Secara aseptis ambil 1 mL cairan
desinfektan yang telah dimasuki jarum
hasil gurinda, letakkan dalam petri
steril (spesimen cairan).
5. Secara aseptis ambil pula sejumlah
serpihan
jarum
dengan
pinset,
letakkan dalam petri steril (spesimen
jarum).
6. Tuangkan PCA hangat (jangan terlalu
panas) ke dalam petri yang telah berisi
baik
spesimen
cairan
maupun
spesimen jarum.
7. Inkubasikan dalam inkubator suhu
37C selama 48 jam.
8. Amati dan hitung koloni kuman yang
tumbuh.
9. Catat
dalam
buku
catatan
pemeriksaan
hasil
untuk
menginterpretasikan hasil penelitian
uji limbah tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1
Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan jarum
suntik (tanpa dihancurkan) terhadap variasi
konsentrasi desinfektan selama perendaman 24 jam
Konsentrasi
Lisol
Blanko
L – 0,1%
L – 0,5%
L – 1,0%
L – 5,0%
L – 10%
L – 30%
Konsentrasi
Kaporit
Angka Kuman
(CFU/mL)
Jarum
0
3
0
19
68
0
10
Angka Kuman
(CFU/mL)
Cairan
411
214
154
30
109
0
0
Angka Kuman
(CFU/mL)
Jarum
Blanko
K – 0,1%
K – 0,5%
K – 1,0%
K – 5,0%
K – 10%
K – 30%
17
1
1
1
1
1
0
Angka
Kuman
(CFU/mL)
Cairan
392
3
1
1
0
0
0
Tabel 2
Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan hancuran jarum
terhadap variasi waktu perendaman
Konsentrasi
Desinfektan
Lisol 2, 5 %
Lisol 5 %
Lisol 7,5 %
Kaporit 0,1 %
Kaporit 0,5 %
Kaporit 1 %
Blanko Positip
Waktu Ke(Menit)
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
5
20
35
50
65
Angka
Kuman
(CFU/mL)
Cairan
27
21
18
14
15
4
2
3
7
2
1
1
1
2
2
Angka
Kuman
(CFU/mL)
Jarum
3
1
7
6
3
0
1
1
3
2
2
2
2
2
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
143
0
0
0
2
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
Positip
29