1. Memotret Konsistensi dan
Harmonisasi Undang-Undang
Desa
KAJIAN INKONSISTENSI VERTIKAL DAN HORISONTAL UNDANG – UNDANG
DESA DALAM KERANGKA PERWUJUDAN INKLUSI SOSIAL
KONSORSIUM PEDULI DESA
2016
2. 1 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
1. LATAR BELAKANG
PEDULI merupakan sebuah program inklusi sosial di bawah koordinasi Kementerian
Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), dikelola oleh
berbagai organisasi masyarakat sipil yang dikoordinasikan The Asia Foundation. Sebagai
penguatan strategi perwujudan inklusi sosial, Program Peduli memanfaatkan momentum
pelaksanaan UUNo. 6/2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa).
UU Desa memberikan mandat tegas terhadap seluruh proses penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa untuk berorientasi dan berpihak terhadap
peningkatan kesejahteraan masyarakat, peningkatan ekonomi lokal desa dan
penanggulangan kemiskinan serta mencerminkan pembangunan yang berkeadilan untuk
semua. Implementasi UU Desa merupakan peluang memperkuat strategi perwujudan
inklusi sosial di masyarakat. Desa adalah tempat interaksi utama, dimana masyarakat
marjinal yang menjadi kelompok sasaran program berada.
Semenjak UU Desa disahkan dan diimplementasikan, belum ada satu kajian khusus yang
memotret konsistensi dan harmonisasi UU tersebut baik secara vertikal maupun horizontal.
Padahal, dalam sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia, UU ini merupakan satu
dari sedikit UU yang mendapatkan banyak perhatian dari berbagai pihak. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya aturan turunan yang dikeluarkan pemerintah dalam kurun waktu dua
tahun semenjak Januari 2014, saat UU tersebut disahkan.
Peduli Desa, yang merupakan inisiatif pendampingan bagi mitra Program Peduli dan
kelompok tereksklusi untuk mengakses manfaat dari pelaksanaan UU Desa, dipimpin oleh
INISIATIF, mengkaji berbagi aturan terkait dengan UU tersebut dalam kerangka perwujudan
inklusi sosial. Hasil kajian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perbaikan
pelaksanaan UU Desa dan berbagai aturan terkait lainnya di masa mendatang. Beberapa hal
yang dikaji berkaitan dengan kerangka Program Peduli yaitu terkait partisipasi masyarakat
marjinal dalam proses perencanaan dan pembangunan desa, akses terhadap layanan publik
bagi masyarakat marjinal serta berbagai kebijakan terkait dengan perwujudan inklusi sosial.
1.1Perkembangan Regulasi terkait UU Desa
Semenjak UUNo. 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) disahkan pada awal Januari 2014,
dalam kurun waktu kurang lebih dua tahun hingga penulisan kajian ini dibuat, April 2016,
telah terbit berbagai aturan turunannya. Regulasi tersebut berupa dua peraturan
pemerintah, 16 peraturan setingkat menteri serta satu surat keputusan bersama antara tiga
kementerian.
Peraturan pemerintah (PP) yang telah diterbitkan adalah: pertama, PP No. 43 Tahun 2014
tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah diubah
menjadi PP No. 47 Tahun 2015 tentang Desa. Kedua, PP No. 60 Tahun 2014 tentang Dana
3. 2 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Desa yang Bersumber dari APBN yang telah mengalami dua kali perubahan dengan terbitnya
PP No. 22 Tahun 2015 dan PP No. 8 Tahun 2016 tentang hal yang sama.
Dari enam belas peraturan setingkat menteri, empat aturan diterbitkan oleh Kementerian
Keuangan (Kemenkeu), tujuh aturan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), lima
peraturan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(KDPDTT) dan satu peraturan bersama tiga kementerian yaitu Kemenkeu, Kemendagri dan
KDPDTT.
Peraturan menteri sebagai regulasi turunan dari UU Desa yang pertama kali diterbitkan
adalah Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) No. 241 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan
dan Pertanggungjawaban Transfer ke Daerah dan Dana Desa dan Permenkeu No. 250 Tahun
2014 tentang Pengalokasian Transfer ke Daerah dan Dana Desa pada tanggal 24 Desember
2014.
Masih dalam bulan yang sama, pada tanggal 31 desember 2014 Kemendagri menerbitkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 111, 112, 113 dan 114 tahun 2014
tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa, Pemilihan Kepala Desa, Pedoman Pengelolaan
Keuangan Desa dan Pedoman Pembangunan Desa. Dalam Permendagri No. 114 tahun 2014,
ruang partisipasi masyarakat marjinal dalam proses pembangunan desa sangat terbuka.
Selanjutnya pada periode Januari–Maret 2015, KDPDTT, menerbitkan lima peraturan
menteri, yaitu: Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Permen DPDTT) No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Desa Berdasarkan Asal
Usul dan Skala Desa, Permen DPDTT No. 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Tertib dan
Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa, Permen DPDTT No. 3 Tahun 2015
tentang Pendampingan Desa, Permen DPDTT No. 4 Tahun 2015 tentang Pendirian,
Pengurusan dan Pengelolaan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa serta Permen DPDTT
No. 5 Tahun 2015 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015. Dalam Permen
DPDTT No. 1 Tahun 2016 desa memiliki kewenangan dalam menyelenggarakan
pemerintahan dan pelayanan publik yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa
termasuk masyarakat marjinal.
Pada bulan Mei 2015, Kemenkeu menerbitkan Permenkeu No. 93 Tahun 2015 tentang Tata
Cara Pengalokasian, Penyaluran, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa. Selanjutnya pada
bulan September 2015, Kemenkeu, KDPDTT dan Kemendagri menerbitkan Surat Keputusan
Bersama tentang Percepatan Penyaluran, Pengelolaan dan Penggunaan Dana Desa Tahun
2015.
Pada bulan Desember 2015, Kemendagri menerbitkan tiga peraturan terkait dengan desa.
Peraturan tersebut adalah Permendagri No. 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Kepala Desa, Permendagri No. 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan
Pemberhentian Perangkat Desa serta Permendagri No. 84 Tahun 2015 tentang Struktur
4. 3 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Sementara itu Kemenkeu menerbitkan
Permenkeu No. 247 Tahun 2015 tentang tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,
Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa untuk menyempurnakan Permenkeu No. 93 Tahun
2015. Pada awal tahun 2016, Permenkeu tersebut diperbaharui kembali dengan terbitnya
Permenkeu No. 49 Tahun 2016.
Pada perjalanannya, peraturan terkait dengan desa dapat bertambah atau diubah oleh
kementerian-kementerian tersebut untuk disempurnakan tergantung kebutuhan dan
dinamika yang terjadi. Demikian cepatnya regulasi turunan UUtersebut diterbitkan,
mengindikasikan sebagai salah satu bentuk keseriusan pemerintah untuk membangun desa.
Kemendagri dan KDPDTT adalah dua kementerian yang memiliki tanggung jawab dalam
mengurus desa (selain Kemenkeu) berdasarkan pada Perpres No. 11 Tahun 2015 tentang
Kementerian Dalam Negeri dan Perpres No. 12 tahun 2015 tentang Kementerian Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Dalam Perpres No. 11 Tahun 2015 Pasal 22, kewenangan Kemendagri yang terkait dengan
desa adalah dalam bentuk pembinaan pemerintahan desa. Pembinaan pemerintahan desa
yang dimaksud dalam lingkup perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan di
bidang fasilitasi penataan desa, penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa,
pengelolaan keuangan dan asset desa, pemilihan kepala desa, perangkat desa, pelaksanaan
penugasan urusan pemerintahan desa, kelembagaan desa, kerja sama pemerintahan serta
evaluasi perkembangan desa.
Sementara itu dalam Perpres No. 12 Tahun 2015 Pasal 3, KDPDTT memiliki fungsi
diantaranya perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang pembangunan
desa dan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, pengembangan daerah
tertentu, pembangunan daerah tertinggal, penyiapan, pembangunan permukiman, dan
pengembangan kawasan transmigrasi.
Namun demikian, cepatnya berbagai regulasi tersebut diterbitkan menimbulkan
kekhawatiran adanya kelemahan dalam regulasi-regulasi tersebut terutama menyangkut
konsistensi atas peraturan di atasnya serta harmonisasi dengan beberapa regulasi lainnya
yang mengatur hal yang sama, misalnya penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat desa,
perencanaan pembangunan, pengelolaan sumber daya alam dan lain-lain. Berdasarkan hal
tersebut maka kajian ini dilakukan dalam kondisi regulasi yang memungkinkan terjadi
perubahan sesuai perjalanan waktu.
1.2Akses Kelompok Marjinal dalam Pembangunan Desa
Salah satu tujuan pengaturan desa dalam UU No. 6 tahun 2014, adalah untuk memperkuat
masyarakat desa sebagai subyek pembangunan. Pembangunan desa dalam UUtersebut
adalah upaya peningkatan kualitas hidup dan kehidupan untuk sebesar-besarnya
kesejahteraan masyarakat desa.
5. 4 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Namun demikian, tidak semua kelompok masyarakat mendapatkan manfaat dari proses
pembangunan di desa. Masih terdapat kelompok-kelompok masyarakat desa lainnya yang
termarjinalisasi, terkucilkan dan terpinggirkan. Marjinalisasi tersebut diantaranya dapat
berupa ketiadaan akses untuk berpartisipasi dan menikmati manfaat pembangunan dan
sumber daya lainnya yang ada di desa. Selain itu, yang paling mendasar, keberadaan mereka
tidak dikenali sebagai salah satu elemen penting dari warga desa yang harus dipenuhi dan
diakomodir kebutuhan dan aspirasinya oleh pemerintah.
Besarnya potensi sumber daya pembangunan di desa belum tentu sepenuhnya menjamin
kebutuhan atau hak-hak dasar kelompok marjinal tersebut dapat dipenuhi. Hal ini
diantaranya disebabkan oleh masih minimnya keterlibatan kelompok marjinal tersebut
dalam proses pengambilan keputusan, termasuk di tingkat desa.
Pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Koordinasi
Kesejahteraan Rakyat (sekarang bernama Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia
dan Kebudayaan) meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Peduli. PNPM Peduli diselenggarakan dengan skema kerja sama antara pemerintah dan
organisasi masyarakat sipil dengan tujuan untuk memberdayakan kelompok masyarakat
yang paling marjinal diantara masyarakat miskin. Mereka adalah kelompok masyarakat
yang mengalami stigma dan diskriminasi karena hambatan fisik dan budaya yang
membuatnya dikecualikan eksistensinya sebagai anggota masyarakat. Partisipasi yang
dipengaruhi oleh prasangka masyarakat sekitarnya mengakibatkan mereka susah keluar
dari kemiskinan.
Pada tahun 2014, PNPM Peduli berubah nama menjadi Program Peduli dan telah memasuki
tahap II dengan fokus pada isu-isu eksklusi sosial seperti akses layanan publik, stigmatisasi,
diskriminasi, hak dan keadilan sosial yang mungkin tidak terdeteksi oleh indikator
kemiskinan biasa. Inklusi sosial mensyaratkan pendekatan dua arah yaitu pendekatan
penguatan pada pihak yang terpinggirkan dan pendekatan perubahan perilaku pada
masyarakat luas, maupun pemerintah untuk terwujudnya penerimaan dan toleransi. Di satu
sisi membangun kapasitas kelompok yang mengalami eksklusi agar mereka lebih berdaya
dan siap untuk berpartisipasi, sementara itu, di sisi lainnya, membangun penerimaan
masyarakat luas terhadap kelompok yang dipinggirkan.
Kelompok penerima manfaat Program Peduli adalah (1) anak dan remaja rentan (2)
masyarakat adat dan lokal yang tergantung pada sumber daya alam (3) korban pelanggaran
HAM berat (4) minoritas agama yang mengalami diskriminasi (5) waria dan (6) difabel.
Merujuk pada asas-asas pengaturan desa sebagaimana tertuang dalam UUDesa, pengaturan
desa berasaskan: rekognisi, subsidiaritas, keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan,
kekeluargaan, musyawarah, demokrasi, kemandirian, partisipasi, kesetaraan,
pemberdayaan dan berkelanjutan. Dengan demikian desa memiliki peran yang sangat
penting dalam mendorong tumbuh kembangnya kehidupan sosial masyarakat yang inklusif.
6. 5 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Asas-asas dalam pengaturan desa tersebut, merupakan sebagian nilai yang mendukung
inklusi termasuk keberagaman, kebersamaan, kegotongroyongan, kesetaraan serta
kekeluargaan.
Dalam proses membangun inklusi sosial di tingkat desa, sangat penting mempertimbangkan
daya dukung kebijakan yang memungkinkan hal tersebut dapat terwujud. Kebijakan yang
dimaksud adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan desa
ataupun peraturan perundang-undangan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan
pembangunan inklusi sosial di tingkat desa. Oleh karenanya, diperlukan identifikasi dan
kajian secara komprehensif atas peluang dan hambatan kebijakan dalam pembangunan
inklusi sosial di tingkat desa.
2. TUJUAN DAN PERTANYAAN STUDI
Merujuk pada uraian di atas, secara umum kajian regulasi ini ditujukan untuk
mengidentifikasi berbagai potensi hambatan regulasi yang terkait dengan pembangunan
desa dan pembangunan inklusi sosial di tingkat desa.
Kajian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan: “Apa saja substansi aturan dalam
peraturan perundang-undangan terkait desa yang menghambat tercapainya tujuan
pembangunan desa dan pembangunan inklusi sosial di tingkat desa?”
Pertanyaan tersebut diuraikan menjadi beberapa pertanyaan studi sebagai berikut:
a) Hal-hal apa saja dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri mengenai desa
yang tidak konsisten dengan asas-asas pengaturan desa dalam UU Desa?
b) Hal-hal apa saja dalam peraturan pemerintah dan peraturan menteri mengenai desa
yang bertentangan atau berbeda satu sama lain atau berpotensi menimbulkan
interpretasi yang beragam atas substansi aturan tersebut?
c) Hal-hal apa saja dalam peraturan perundang-undangan mengenai desa yang tidak
selaras dengan aturan perundang-undangan lainnya?
Ketiga pertanyaan tersebut merujuk pada tercapainya pembangunan inklusi di tingkat desa
khususnya dan yang relevan di tingkat kabupaten.
3. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI
Ruang lingkup kajian ini terbatas pada aspek-aspek yang terkait dengan pembangunan desa
dan pembangunan inklusi sosial di desa sebagai berikut:
a) Kewenangan desa;
b) Ketersediaan ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan penganggaran;
7. 6 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
c) Penataaan ruang dan pembangunan kawasan pedesaan, termasuk penentuan tata
batas desa;
d) Pengeloaan sumber daya alam; dan
e) Penyelenggaraan pelayanan publik;
Kajian atas aspek –aspek di atas dimaksudkan untuk memeriksa dan menemukan hambatan
dan peluang pembangunan inklusi di tingkat desa.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kajian cepat ini dimaksudkan untuk menelusuri dan
memotret potensi inkonsistensi dan disharmoni berbagai aturan perundang-undangan
terkait dengan desa. Secara sederhana inkonsistensi yang dimaksud berupa inkonsistensi
antara UU Desa dengan seluruh aturan turunannya. Sedangkan disharmoni yang dimaksud
yaitu ketidakselarasan antara UU Desa dengan UUlainnya yang memiliki kaitan langsung
ataupun tidak langsung atas implementasi UU Desa.
Oleh karena itu, kajian cepat ini dilaksanakan dengan metode analisis data sekunder (desk
study) atas beberapa dokumen peraturan perundang-undangan. Kajian cepat ini dilakukan
dengan melihat keterkaitan antara beberapa aspek pengaturan dalam peraturan
perundangan-undangan. Keterkaitan tersebut khususnya berupa inkonsistensi, kontradiksi
dan inharmoni pada beberapa aspek substansi aturan.
Selain regulasi turunan UU Desa, setidaknya terdapat 17 UUyang terkait dengan
implementasi UU Desa yang harus dilakukan harmonisasi dan penyesuaian, termasuk
regulasi turunannya, baik yang terkait dengan pembangunan desa ataupun pembangunan
inklusi sosial di desa.
Tabel 1
Daftar Aturan Perundang-Undangan yang Terkait Dengan Implementasi UU Desa
No Undang-Undang No Undang-Undang No Undang-Undang
1 UU No. 23 Tahun
2014 tentang
Pemerintah Daerah
7 UU No. 17 Tahun
2003 tentang
Keuangan Negara
13 UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem
Perencanaan
Pembangunan
Nasional
2 UU No. 33 Tahun
2004 tentang
Perimbangan
Keuangan
8 UU No. 41 Tahun
1999 tentang
kehutanan
14 UU No. 39 Tahun
2014 tentang
Perkebunan
8. 7 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Pemerintah Pusat dan
Daerah
3 UU No. 4 Tahun 2009
tentang
Pertambangan
Mineral dan Batubara
9 UU No. 1 Tahun
2014 tentang
Sumber Daya Pesisir
15 UU No. 11 Tahun
1974 tentang
Pengairan
4 UU No. 21 Tahun
2014 tentang Panas
Bumi
10 UU No. 37 Tahun
2014 tentang
Konservasi Tanah
dan Air
16 UU No. 36 Tahun
2014 tentang
Kesehatan
5 UU No 20 Tahun 2003
Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
11 UU No. 19 Tahun
2013 tentang
Perlindungan dan
Pemberdayaan
Petani
17 UU No. 13 Tahun
2011 tentang
Penanganan Fakir
Miskin
6 UU No. 26 Tahun
2009 tentang Tata
Ruang
12 UU No. 23 Tahun
2006 tentang
Administrasi
Kependudukan
sebagaimana telah
diubah menjadi UU
No. 24 Tahun 2013.
9. 8 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
4. TEMUAN KUNCI
4.1Tumpang Tindih Kewenangan
Dari hasil studi diketahui adanya tumpang tindih kewenangan pengaturan beberapa
permasalahan. Dalam konteks lapangan tumpang tindih tersebut berwujud dalam bentuk
pengurusan hal yang sama oleh pihak yang berbeda. Pengurusan hal yang sama tersebut
seperti permasalahan penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), penanganan
fakir miskin dan kewenangan desa.
Mengenai penyelenggaraan PAUD, Permen DPDTT No. 1 Tahun 2015 Pasal 10 mengatakan
bahwa desa memiliki kewenangan pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini,
pengadaan dan pengelolaan sanggar belajar, sanggar seni budaya dan perpustakaan Desa.
Namun, dalam Permendikbud No. 137 Tahun 2014 Pasal 17 menyebutkan bahwa
pengawasan pembelajaran dilakukan oleh kepala satuan atau program PAUD terhadap Guru
PAUD/Guru Pendamping/Guru Pendamping Muda. Satuan atau program dimaksud dibentuk
oleh desa atau kabupaten/kota.
Dari dua aturan tersebut dapat dilihat indikasi ketidakkonsistenan terletak pada upaya
pembinaan dan pengawasan. Mengacu pada aturan tersebut, terindikasi bahwa pembinaan
dilakukan oleh desa dan pengawasan oleh sekolah itu sendiri. Pembinaan dan pengawasan
masih dipandang terpisah padahal untuk konteks pengembangan sekolah maka upaya
pembinaan dan pengawasan merupakan sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan.
Mengenai kewenangan desa, UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 19 menyatakan bahwa kewenangan
desa terdiri atas: a) kewenangan berdasarkan hak asal usul; b) kewenangan lokal berskala
desa; c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau
pemerintah daerah kabupaten/kota; dan d) kewenangan lainnya yang ditugaskan oleh
pemerintah, pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Pasal 372 Ayat (1) disebutkan
bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota dapat
menugaskan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya kepada desa.
Yang dimaksud dengan “menugaskan’ dalam ayat ini sebagaimana tertuang dalam bagian
Penjelasan UUtersebut adalah pemberian tugas dari pemerintah pusat, daerah provinsi dan
kabupaten/kota kepada desa bukan dalam rangka penerapan Tugas Pembantuan.
Pasal 372 Ayat (1) tersebut dapat diinterpretasikan bahwa diluar empat kewenangan desa
yang tertuang dalam Pasal 9 UU No. 6 Tahun 2014, terdapat kewenangan desa lainnya yang
merupakan kewenangan penugasan dari supra desa selain dari Tugas Pembantuan.
10. 9 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Sementara itu, Pasal 372 Huruf (c) dan (d) dalam UU No. 6 Tahun 2014 dapat diartikan
sebagai Tugas Pembantuan dari supra desa ke desa. Hal ini mengingat bahwa pada bagian
Penjelasan UU No. 6 Tahun 2014 tidak ada uraian lebih jauh yang menjelaskan tentang Pasal
372 Huruf (c) dan (d) tersebut.
Pada prakteknya pelimpahan sebagian tugas pemerintah diluar desa kepada desa bukan
sebuah hambatan bagi desa. Namun dalam konteks penugasan sebagaimana disebutkan
pada Pasal 372 Ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 tersebut tidak disebutkan dengan jelas
penugasan tersebut masuk dalam klasifikasi kewenangan desa yang mana berdasarkan UU
No. 6 Tahun 2014.
Adanya urusan yang sama diurus oleh pihak yang berbeda mempunyai dampak terhadap
penerapan dilapangan. Dampak tersebut, yaitu adanya potensi terjadinya
duplikasi/program kegiatan antara pemerintah daerah dan pemerintah desa atau
berpotensi hal tersebut tidak diurus oleh pemerintah desa atau pemerintah daerah. Bagi
kelompok marjinal hal ini berpotensi menyebabkan mereka tidak mendapatkan pelayanan
publik yang memadai dari pemerintah daerah atau pemerintah desa.
4.2Terbatasnya Ruang Kewenangan Desa Pada Pembangunan Inklusi Sosial
4.2.1 Terbatasnya Kewenangan Desa dalam Pengambilan Keputusan Terkait
Pengelolaan Sumber Daya Alam
Keterbatasan ruang kewenangan desa ini dimaksudkan bahwa desa mempunyai
kewenangan dalam pengurusan beberapa hal strategis, namun proses pengambilan
keputusan pengurusan hal strategis tersebut diambil oleh pemerintah “supra desa” yaitu
pemerintah kabupaten dan kecamatan.
Beberapa contoh keterbatasan ruang kewenangan ini seperti dalam penentuan tapal batas
desa sekitar hutan dan perkebunan, perlindungan anak, perempuan dan perdagangan orang
dan pengelolaan sumber daya alam.
4.2.1.1 Penentuan Tapal Batas Desa Sekitar Hutan dan Perkebunan
Tema tapal batas berkaitan dengan tiga UUlain, yaitu: 1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintah Daerah; 2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; dan 3) UU No. 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan.
Dalam Permen DPDTT No. 1 Tahun 2015 Pasal 8 disebutkan bahwa desa mempunyai
kewenangan untuk menentukan batas-batas desanya. Sementara itu, UU No. 23 Tahun 2014
11. 10 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Pasal 2 menyebutkan bahwa wilayah kabupaten terdiri atas kecamatan dan kecamatan
terdiri dari atas desa-desa.
Untuk wilayah kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 15 menyebutkan bahwa pengukuhan
kawasan hutan dilaksanakan dalam bentuk penunjukan kawasan hutan, penentuan batas
hutan, pemetaan wilayah dan penetapan wilayah hutan. Mekanisme pengukuhan kawasan
hutan ini secara rinci diatur dalam Permenhut No. 25 Tahun 2014. Dalam Pasal 4 Permenhut
tersebut disebutkan bahwa menteri dapat menentukan tapal batas hutan berdasarkan
masukan dari panitia penentuan tapal batas.
Namun jika dianalisis lebih dalam terutama mengenai anggota panitia pengukur tapal batas
hutan tersebut ternyata tidak memasukan perwakilan dari unsur desa. Anggota penentuan
tapal batas hutan tersebut hanya sampai pada tingkat kecamatan. Hal ini berarti bahwa
keberadaaan desa telah diwakili oleh pihak kecamatan. Dengan demikian, tapal batas desa
di kawasan sekitar hutan ditentukan oleh supra desa. Hal ini tentu bertentangan dengan
substansi bahwa desa dapat menentukan sendiri batas-batasnya sebagaimana disebutkan
dalam UU Desa.
Untuk kawasan perkebunan, UU No. 39 Tahun 2014 Pasal 14 menyebutkan bahwa luas
maksimum dan minimum kebun ditentukan oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa desa
tidak memiliki peran dalam penentuan luas kebun karena ditentukan oleh supra desa. Sama
dengan desa-desa di kawasan sekitar hutan, maka tapal batas desa di kawasan sekitar
perkebunan juga ditentukan oleh supra desa.
Uraian di atas menunjukan bahwa dalam hal penentuan tapal batas desa, khususnya desa-
desa yang berada di sekitar kawasan hutan dan perkebunan, terdapat ketidakselarasan
aturan antara yang diatur dalam UU Desa dengan UU Kehutanan dan UU Perkebunan.
Ketidakselarasan ini salah satunya berdampak pada kejelasan status administrasi
kependudukan bagi penduduk yang berdomisili di wilayah pinggir hutan dan kebun.
4.2.1.2 Pengelolaan Sumber Daya Alam
Tema tentang pengelolaan sumber daya alam oleh desa sangat berkaitan dengan sembilan
UUlain, yaitu: 1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 2) UU No. 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan; 3) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan; 4) UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; 5) UU No. 1 Tahun 2014 tentang Sumber
Daya Pesisir; 6) UU No. 11 Tahun 1974 tentang Sumber Daya Pengairan; 7) UU No. 21 Tahun
2014 tentang Panas Bumi; 8) UU No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air; dan
9) UU No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Dalam Permen DPDTT No. 1 Tahun 2015 Pasal 9 Huruf (f) dijelaskan bahwa salah satu
kewenangan lokal berskala desa adalah memanfaatkan sumber daya alam yang berada di
12. 11 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
lingkungan desa. Hal ini berarti bahwa seluruh sumber daya alam yang berada di wilayah
desa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan seluruh masyarakat di desa tersebut.
Namun jika dikaitkan dengan tema sebelumnya mengenai penentuan tapal batas maka hal
ini mengindikasikan ketidakjelasan mengenai batas-batas lingkungan desa itu sendiri,
khususnya di wilayah sekitar hutan dan kebun. Pada satu sisi, desa-desa di sekitar kawasan
hutan dan kebun tidak memiliki peran dalam penentuan batas-batasnya. Sementara itu di
sisi lain, desa mempunyai kewenangan untuk mengelola sumber daya alam di lingkungan
desanya. Hal ini tentunya berpotensi untuk menimbulkan konflik antara masyarakat dengan
pengelola hutan dan kebun. Konflik tersebut sebagian diantaranya sering terjadi antara
pengelola hutan dan kebun dengan kelompok masyarakat adat dan desa adat yang berada di
sekitar kawasan hutan dan kebun.
Dalam UU No. 23 Tahun 2014 di Pasal 354 disebutkan bahwa pemerintah daerah wajib
untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam urusan pemerintahan daerah. Masyarakat
yang dimaksud dapat diartikan pula terdapat masyarakat desa didalamnya. Hal ini tentu saja
baik dan dapat dijadikan sebagai titik masuk bagi desa untuk memperkuat perannya dalam
merumuskan aturan yang menguntungkan pihak desa dalam mengelola sumber daya alam
di lingkungan desanya. Namun sayangnya, hingga kajian ini dibuat belum ada penjelasan
lebih lanjut mengenai bentuk, jenis dan mekanisme partisipasi yang dimaksud pada pasal
tersebut.
UU No. 41 Tahun 1999 Pasal 5 menguraikan dengan jelas bahwa masyarakat dapat
mengelola hutan negara dalam bentuk hutan desa. Hutan-hutan yang dapat dijadikan hutan
desa adalah hutan yang belum dikelola dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Secara sederhana, hal ini sepertinya memberikan angin segar kepada desa karena dapat
mengelola sumber daya alam di lingkungan sekitarnya dalam bentuk hutan dengan
menjadikan hutan tersebut sebagai hutan desa yang belum dikelola oleh pihak lain. Pihak
lain yang dimaksud adalah perusahaan swasta dan BUMN yang mengelola kawasan hutan.
Pemerintah telah memberikan mandat kepada PT Perhutani dan BUMN lainnya untuk
mengelola kawasan hutan dan PTPN untuk mengelola kawasan perkebunan. Khususnya di
Pulau Jawa, mayoritas lahan kebun atau lahan hutan di dominasi penguasaannya oleh
Perhutani, PTPN dan PTP Swasta. Hal ini berarti bahwa desa hanya dapat mengelola sumber
daya alam di luar kawasan-kawasan yang berada dalam penguasaan Perhutani dan PTP.
Pada UU No. 4 Tahun 2009 Pasal 21 dijelaskan bahwa peran desa dalam pengelolaan sumber
daya mineral dan batu bara hanya sebagai pemberi rekomendasi bagi para pihak yang akan
mengelola sumber daya mineral dan batubara di sekitar lingkungan desa. Rekomendasi desa
diberikan kepada pihak yang mengirimkan permohonan pengelolaan mineral dan batubara.
Selanjutnya, mengacu pada Permen LHK No.32 Tahun 2015 Pasal 4 disebutkan bahwa
masyarakat secara individu atau berkelompok dalam bentuk badan hukum dapat
13. 12 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
mengajukan permohonan hutan hak dengan bentuk hutan adat kepada menteri. Setelah
permohonan diajukan, menteri melalui dirjen melakukan verifikasi dan validasi atas
permohonan tersebut. Berdasar hasil verifikasi dan validasi tersebut menteri dapat
mengeluarkan Surat Keputusan (SK) mengenai penetapan hutan adat tersebut.
Perlu di garis bawahi bahwa aturan ini hanya berlaku bagi individu atau kelompok
masyarakat. Dalam aturan ini tidak diatur jika pemohon merupakan pihak desa adat. Hal ini
mengindikasikan bahwa desa adat tidak bisa mengajukan lahan yang ada di sekitar desa
untuk dijadikan sebagai hutan adat milik desa. Begitu juga dengan penentuan tapal batas
desa adat. Belum ada aturan yang jelas mengenai acuan desa adat dalam membuat tapal
batas desa adat.
Begitu juga dalam hal pemanfaatan sumber daya air. Dalam UU No. 11 Tahun 1974 Pasal 3
Ayat (1) menjelaskan bahwa wewenang untuk pengelolaan sumber daya air yang berada di
lingkungan desa diberikan kepada provinsi. Tidak dijelaskan bagaimana bentuk keterlibatan
desa mengenai pemanfaatan air tersebut. Hal ini tentu saja inkonsisten dengan semangat UU
No. 6 Tahun 2014 yang memberikan wewenang kepada desa untuk mengelola sumber daya
alam di lingkungan desa.
Sementara itu, dalam kaitannya dengan UU No. 21 Tahun 2014, peran desa sama sekali tidak
disebutkan namun peran masyarakat disebutkan. Dalam UUtersebut dijelaskan bahwa
peran masyarakat adalah menjaga, memelihara dan melindungi serta melaporkan bila ada
bahaya, pencemaran dan perusakan.
Berdasarkan uraian tersebut tentu saja peran masyarakat dan desa tidak lebih dari sekedar
“penjaga” yang perannya tidak terlalu penting. Desa dan masyarakat tentu saja tidak
mendapatkan manfaat langsung atas keberadaan panas bumi yang berada di lingkungannya.
Hal ini tentu saja ironis sebab ketika terjadi bencana di tempat pengolahan panas bumi maka
yang terkena penyebab langsung adalah masyarakat desa yang berada di sekitar pengolaan
dan sumber panas bumi.
Dalam UU No. 37 Tahun 2014 Pasal 7 disebutkan bahwa ijin pengelolaan air dan tanah
diberikan oleh pemerintah daerah. Dalam aturan tersebut tidak diatur mengenai pelibatan
masyarakat dan desa dalam upaya konservasi air dan tanah.
Senada dengan hal tersebut, dalam UU No. 19 Tahun 2013 tidak disebutkan peran desa
dalam upaya melindungi dan memberdayakan petani. Dalam UU No. 19 Tahun 2013
tersebut, desa tidak mendapatkan peran dalam melindungi daerah pertaniannya masing-
masing. Tentu saja hal ini menyebabkan desa tidak dapat melindungi hal-hal yang dapat
meyebabkan lahan pertanian menjadi berkurang dan tidak produktif. Dalam sudut pandang
yang lain ketiadaan peran desa dalam melindungi pertanian bisa dipandang sebagai salah
satu faktor berkurangnya lahan pertanian karena tidak mampu dan tidak punya wewenang
dalam mempertahankan fungsi tanah sebagai sarana vital pertanian.
14. 13 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Kaitannya dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Sumber Daya Pesisir, banyak desa yang
akan menjadikan kawasan pesisir menjadi salah satu obyek kawasan wisata desa. Hal ini
tentunya dapat meningkatkan pendapatan asli desa untuk kesejahteraan rakyat. Ternyata,
dalam pelaksanaannya selalu mengalami kendala dan hambatan terutama ketika sebagian
kecil jalan dan area tersebut di wilayah penguasaan Perhutani. Kerjasama yang diupayakan
oleh desa selalu kandas dengan apa yang menjadi kebijakan Perhutani. Bahkan, pada
akhirnya selalu muncul konflik yang cukup keras antara Perhutani dengan desa dengan
menggunakan alat Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Padahal LMDH dibentuk dan
di SK-kan oleh kepala desa.
4.2.2 Terbatasnya Penyelenggaraan Pelayanan Publik
4.2.2.1 Sarana dan Prasarana Sosial dan Infrastruktur Masyarakat Sekitar Hutan dan
Perkebunan
Untuk kelompok masyarakat marjinal di sekitar hutan dan perkebunan fasilitas layanan
publik dari pihak desa sangat terbatas. Salah satu faktor utama penyebab hal ini karena
masyarakat yang berada di sekitar hutan dan perkebunan tidak memiliki dokumen
administrasi kependudukan yang lengkap seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu
Keluarga (KK) dan akta kelahiran. Ketiadaan dokumen administrasi kependudukan ini
menyebabkan pemerintah desa tidak bisa menyediakan sarana dan prasarana sosial dan
infrastruktur sosial yang memadai.
4.2.2.2 Perlindungan Anak, Perempuan dan Perdagangan Orang
UUyang membahas tentang perlindungan anak adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Sedangkan UUyang membahas permasalahan perempuan dan
perdagangan orang adalah UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Dari studi yang dilakukan, di dalam kedua UUtersebut desa sama sekali
tidak mempunyai kewenangan dalam hal perlindungan anak, perempuan perdagangan
orang. Dalam kaitannya degan masalah anak desa hanya berkaitan dalam hal pembuatan
akta kelahiran.
4.2.2.3 Pencantuman Kolom Agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Dalam UU No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan /atau Penodaan
Agama dalam pasal penjelasan disebutkan bahwa agama yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Cu (Konfusius).
Dengan adanya pasal ini maka semua agama/ajaran di luar ajaran yang disebutkan
merupakan agama/ajaran yang tidak diakui. Hal ini berkaitan dengan UU No.23 Tahun 2006
15. 14 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
tentang Administrasi Kependudukan Pasal 61 ayat (1) yang menyatakan bahwa untuk
penduduk yang menganut agama/kepercayaan di luar agama/kepercayaan yang diakui
Negara maka kolom agama dalam KTP di kosongkan.
Pengosongan kolom agama bagi penganut agama/kepercayaan di luar agama yang diakui
seperti kelompok Samin atau Kepercayaan Marapu merupakan bentuk eksklusi sosial yang
nyata. Dengan kolom agama yang dikosongkan mereka menjadi kelompok yang tidak diakui
oleh kelompok lainnya.
4.2.2.4 Perencanaan dan Pembangunan Kawasan Pedesaan
Dalam PP No. 43 tahun 2014 yang kemudian diubah menjadi PP No. 47 tahun 2015 Pasal
123, Pembangunan kawasan perdesaan merupakan perpaduan pembangunan antar-desa
yang dilaksanakan dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat desa melalui pendekatan partisipatif.
Berdasarkan PP No. 47 tahun 2015 pasal 124, tahapan penetapan kawasan menjadi kawasan
perdesaan diusulkan oleh desa kepada bupati, kemudian ditetapkan oleh bupati setelah
dilakukan kajian. Usulan desa tentang penetapan kawasan perdesaan didasari hasil
inventarisasi dan identifikasi mengenai wilayah, potensi ekonomi, mobilitas penduduk, serta
sarana dan prasarana desa.
Perencanaan kawasan perdesaan diperkuat dalam Permendagri No. 114 Tahun 2014 Pasal
6 dimana desa memiliki kewenangan untuk menyusun rencana tata ruang. Pada UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 48 dan 49, rencana tata ruang kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten adalah bagian rencana tata ruang
wilayah kabupaten. Namun perencanaan kawasan perdesaan ini dalam hal perencanaan tata
ruang belum diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan lainnya yang merupakan
turunan dari UU No. 26 Tahun 2007.
Selanjutnya pada UU No. 23 Tahun 2014 Pasal 11, perencanaan tata ruang daerah
kabupaten/kota menjadi salah satu kewenangan daerah. Tidak ada penjelasan tentang
kewenangan desa dalam perencanaan tata ruang hubungannya dengan tata ruang
kabupaten/kota.
4.3 Perbedaan Istilah dan Defenisi
Dari hasil studi yang dilakukan diketahui adanya perbedaan dalam penggunaan istilah dan
defenisi untuk aspek pengaturan yang “mungkin” sama. Berapa istilah yang dimaksud terkait
dengan musyawarah desa, standar penyelenggaraan pelayanan dan tata ruang desa.
16. 15 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
4.3.1 Musyawarah Desa : Output, Penyelenggara, dan Perbedaan Istilah Musyawarah
Desa dengan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
4.3.1.1 Output Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa atau Musrenbang desa dalam Permendagri
No. 114 Tahun 2014 Pasal 1 Angka 7 adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan
Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa
untuk menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang
didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. Artinya, musrenbang desa
menghasilkan dua output yaitu prioritas yang akan didanai dari APB Desa dan prioritas yang
akan diusulkan melalui musrenbang kecamatan sebagai input untuk penyusunan Rencana
Kegiatan Pembangunan Daerah (RKPD).
Unsur masyarakat yang dimaksud pada Pasal 1 Angka 7 Permendagri No. 114 Tahun 2014
diuraikan secara rinci pada Pasal 15 ayat (3) yang terdiri dari unsur tokoh adat, tokoh
agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok
perajin, kelompok perempuan, kelompok pemerhati dan pelindungan anak, kelompok
masyarakat miskin, dan kelompok-kelompok masyarakat lain sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat Desa.
Akan tetapi dalam Pasal 20 ayat (1) PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah
sebagai turunan dari UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjelaskan bahwa
musrenbang desa hanya input untuk musrenbang RKPD Kab/Kota atau hanya ada satu
output yaitu usulan desa untuk RKPD. Oleh karenanya peraturan pemerintah tersebut masih
memposisikan desa tidak memiliki kewenangan dalam perencanaan desa.
4.3.1.2 Penyelenggara Musyawarah Desa
Dalam PP No. 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas PP No. 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 80 Ayat (1) disebutkan
bahwa musyawarah desa dilaksanakan oleh Badan Permusyawarahan Desa (BPD) dengan
difasilitasi oleh pihak kepala desa. Dalam konteks demikian maka yang mempunyai peran
dominan adalah BPD.
17. 16 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Dikaitkan dengan regulasi turunannya, yaitu dengan Permen DPDTT No. 2 Tahun 2015
tentang Musyawarah Desa, dalam Pasal 2 Ayat (1) tercantum bawa musyawarah desa
diselenggarakan oleh BPD dengan bantuan dari pihak desa dengan agenda menyepakati hal-
hal yang bersifat strategis.
Masih dalam Pasal 2 Ayat (2) diuraikan bahwa hal yang bersifat strategis sebagaimana
dimaksud meliputi: penataan desa, perencanaan desa, kerjasama desa, rencana investasi
yang masuk ke desa, pembentukan BUMDesa, penambahan dan pelepasan asset desa dan
kejadian luar bisa.
4.3.1.3 Perbedaan Istilah Musyawarah Desa dengan Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa?
Sementara itu dalam Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan
Desa, dikenal dua istilah musyawarah untuk menyusun rencana pembangunan desa.
Pertama, di Pasal 20 menguraikan bahwa penyusunan rencana pembangunan desa melalui
musyawarah desa yang diselenggarakan oleh BPD dengan dibantu oleh kepala desa dengan
agenda membahas: laporan hasil pengkajian desa, prioritas rencana kegiatan desa dalam
jangka waktu enam tahun, sumber pembiayaan rencana kegiatan pembangunan desa dan
rencana pelaksanaan kegiatan desa yang akan diselenggarakan oleh desa. Pada tahap
selanjutnya hasil kesepakatan tersebut akan menjadi pedoman bagi pemerintah desa untuk
membuat draft RPJMDesa.
Selanjutnya, dalam Pasal 25 diuraikan bahwa Penyusunan Rencana Pembangunan Desa
melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa yang diselenggarakan oleh kepala
desa dengan agenda menyepakati rancangan RPJMDesa yang telah disusun berdasarkan
musyawarah Rencana Pembangunan Desa sebelumnya.
Merujuk pada PP No. 47 Tahun 2015 Pasal 80 sebagaimana diuraikan sebelumnya, hanya
dikenal satu istilah musyawarah di desa yaitu musyawarah desa yang diselenggarakan oleh
BPD. Oleh karenanya, penggunaan istilah musyawarah perencanaan pembangunan desa
dalam Permendagri No. 114 Tahun 2014 Pasal 25 disinyalir tidak konsisten dengan istilah
musyawarah desa sebagaimana dimaksud dalam PP No. 47 Tahun 2015. Hal ini berbeda
dengan Permen DPDTT No. 2 Tahun 2015 Pasal 2 Ayat (1) yang telah menggunakan istilah
yang sama dengan peraturan pemerintah tersebut.
Munculnya istilah Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa dalam Permendagri No.
114 Tahun 2014 tersebut dapat dimaklumi mengingat mekanisme perencanaan
pembangunan telah diatur oleh aturan perundang-undangan tersendiri yaitu UU No. 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang kemudian dijabarkan
18. 17 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
dalam PP No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian, dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
4.3.2 Standar Penyelenggaraan Pelayanan Pemerintahan Desa
Pembangunan inklusi sosial di desa terkait erat dengan penyelenggaraan pelayanan publik.
Tema pelayanan publik ini berkaitan dengan beberapa UUlainnya, yaitu: 1) UU No. 25 Tahun
1999 tentang Pelayanan Publik; 2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional; 3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah; 4) UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan; 5) UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; dan 6) UU
No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah menjadi
UU No. 24 Tahun 2013.
Dalam UU No. 6 Tahun 2014 Pasal 113 disebutkan bahwa pemerintah memberikan
pembinaan kepada desa dengan memberikan pedoman dan standar pelaksanaan
penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Namun tidak dijelaskan apakah standar pelaksanaan
penyelenggaraan pemerintah yang dimaksud termasuk standar pelayanan publik atau
bukan.
Jika merujuk pada UU No. 25 Tahun 2009 disebutkan bahwa semua organisasi
penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun standar pelayanan. Organisasi
penyelenggara yang dimaksud adalah organisasi penyelenggara pelayanan publik adalah
satuan kerja penyelenggara pelayanan publik yang berada di lingkungan institusi
penyelenggaran negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan UU
untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik sesuai Pasal 1 Ayat (4).
Jika standar Pelayanan Pemerintahan yang dimaksud dalam UU No. 6 Tahun 2014 termasuk
standar Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 25 Tahun 2009, hal ini tidak
konsisten dengan Pasal 22 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 96 tahun 2012 yang
mengamanatkan bahwa penyusunan standar pelayanan tersebut harus dilaksanakan secara
partisipatif. Peraturan Pemerintah No. 96 Tahun 2012 tidak secara jelas mengamanatkan
standar pelayanan disusun secara partisipatif.
Dalam hal pelayanan kesehatan, Dalam UU No. 6 Tahun 2014 desa diberi kewenangan untuk
pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan tradisional. Hal ini sejalan dengan UU No. 36
Tahun 2009 yang memberikan kesempatan kepada masyarakat yang seluas-luasnya untuk
mengembangkan, meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang
dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
Namun sampai dengan sekarang, peraturan pemerintah tentang pelayanan kesehatan
tradisional yang bisa menjadi rujukan desa dalam melakukan pembinaan dan pengawasan
19. 18 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
belum ada. Pada prakteknya masyarakat mengembangkan pelayanan kesehatan tradisional
tersebut tanpa panduan yang jelas. Tentu saja hal ini dapat memicu masyarakat untuk
melakukan kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam hal penanganan fakir miskin, Pasal 78 Ayat (1) UU No. 6 Tahun 2014 menjelaskan
bahwa pembangunan desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan
dasar, pembangunan sarana dan prasarana Desa, pengembangan potensi ekonomi lokal,
serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. Namun dalam
kaitannya dengan UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, pemerintah desa
tidak memiliki kewenangan apapun tentang penanganan fakir miskin, dan hanya dilakukan
oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Hal ini akan mempersulit pemerintah desa
manakala dalam kewenangannya diperbolehkan untuk mengurusi kemiskinan desa sendiri.
4.3.3 Penataan Ruang Desa: Antara Menyusun dan Mengembangkan Tata Ruang
Desa
Permendagri No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa Pasal 11 Ayat
(1) menyebutkan bahwa rancangan peraturan desa yang wajib dievaluasi salah satunya
adalah rancangan peraturan desa tentang tata ruang. Dalam Permendagri No 114 Tahun
2014 tentang Pembangunan Desa Pasal 6 Ayat (2) Huruf (c) disebutkan bahwa desa
mempunyai wewenang untuk menyusun tata ruang desa. Sedangkan dalam Permen DPDTT
No. 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan
Kewenangan Lokal Berskala Desa Pasal 8 Huruf (c) disebutkan bahwa salah satu
kewenangan lokal berskala desa adalah pengembangan tata ruang dan peta sosial desa.
Pengembangan peta sosial desa yang dimaksud berisikan tidak hanya peta fisik dan batas
desa namun juga berapa kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Definisi menyusun tentu saja berbeda dengan mengembangkan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, menyusun1 dalam hal ini dapat diartikan upaya untuk
menata/mengatur/membuat rencana. Sedangkan mengembangkan2 dapat diartikan sebagai
1
me.nyu.sun v cak 1 mengatur dng menumpuk secara tindih-menindih; menaruh berlapis-lapis: adik ~ piring
yg selesai dicuci; cak 2 v mengatur secara baik: ~ karangan bunga ; cak 3 v menempatkan secara beraturan:
mereka sedang ~ kursi untuk rapat; cak 4 v membentuk pengurus (panitia dsb): organisasi itu sudah ~
pengurus baru; cak 5 v merencanakan: mereka sedang ~ rancangan kerja; cak 6 v mengarang buku (kamus,
ensiklopedi, dsb), Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia
2
me.ngem.bang.kan v ki 1 membuka lebar-lebar; membentangkan: ~ payung; ki 2 v menjadikan besar (luas,
merata, dsb): kerajaan itu ~ kekuasaannya; ki 3 v menjadikan maju (baik, sempurna, dsb): ~ kesenian rakyat;
20. 19 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
upaya untuk membuat menjadi lebih maju atau memperjelas dari sebelumnya atau dari
rujukan awalnya.
Terlepas dari perbedaan definisi atas kedua kata yang berbeda dalam dua peraturan menteri
tersebut, hal positif yang dapat diambil adalah adanya kewenangan desa dalam menentukan
(menyusun/mengembangkan) tata ruang desanya. Dalam hal pembangunan desa,
perencanaan tata ruang menjadi sangat penting sebagai pondasi dalam merencanakan dan
mengendalikan pembangunan desa. Masyarakat desa berhak terlibat dalam perencanaan
tata ruang dan mengendalikan pembangunan desa, karena masyarakat desa yang paling tahu
kondisi desanya. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan tata ruang diantaranya dalam
pengkajian keadaan desa, musyawarah perencanaan pengembangan ruang desa dan lain-
lain.
Dalam penerapan dilapangan, perbedaan istilah ini berpotensi memunculkan keragaman
interpretasi dan tindakan pemerintahan desa. Pada prakteknya keragaman interpretasi ini
berpotensi memperlambat pembangunan desa karena perbedaan interpretasi tersebut.
4.4 Dualisme Siklus Perencanaan dan Penganggaran di Tingkat Desa
Tata cara musyawarah perencanaan pembangunan, termasuk musyawarah perencanaan
pembangunan di desa diatur secara rinci dalam Permendagri No. 54 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008 tentang Tahapan dan Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah.
Permendagri dan PP tersebut merupakan penjabaran dari UU No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Pada sisi waktu (siklus) perencanaan pembangunan di tingkat desa, terdapat perbedaan
waktu pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan pada kedua Permendagri
tersebut. Pada Permendagri No. 114 Tahun 2014 dalam Pasal 29 disebutkan bahwa
perencanaan pembangunan tahunan desa dilakukan pada kurun waktu bulan Juli sampai
dengan September setiap tahunnya. Pada Pasal 31 Ayat (3) diuraikan bahwa Badan
Permusyawaratan Desa menyelenggarakan musyawarah Desa paling lambat bulan Juni
tahun berjalan. Pada Pasal 37 Ayat (3) menjelaskan bahwa APB Desa ditetapkan pada 31
Desember tahun berjalan.
-- hati ki 1 menggembirakan; menyenangkan ; -- sayap ki 1 memajukan dan meluaskan usaha dagang dsb,
Sumber: Kamus Besar Bahasa Indonesia
21. 20 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Sementara itu, Lampiran V Tahapan dan Tata Cara Penyusunan RKPD Permendagri No. 54
Tahun 2010, menyebutkan bahwa musrenbang desa/kelurahan dilaksanakan pada minggu
III-IV Januari setiap tahunnya.
Atas kondisi ini maka pemerintah desa mengalami kebingungan, apalagi dengan banyaknya
pemerintah daerah (kabupaten/provinsi) yang mengedarkan surat edaran tentang
penyelenggaraan musrenbang desa di bulan Januari. Hal ini berdampak bahwa jika
musrenbang desa yang diselenggarakan di bulan Januari ditujukan untuk penyusunan RKP
Desa n+1, maka pemerintah desa belum mendapatkan informasi apapun dari pemerintah
kabupaten sebagai materi pembahasan dalam musrenbang, baik informasi tentang pagu
indikatif maupun hasil evaluasi pembangunan desa tahun sebelumnya sebagaimana
tertuang dalam pasal 34 dan Paragraf 4 Permendagri No. 114 Tahun 2014. Akan tetapi, jika
musrenbang desa ditujukan untuk penyusunan RKP Desa untuk tahun n, maka desa pasti
terlambat menyusun APB Desa.
Dalam konteks penerapan dilapangan, hal ini menyebabkan desa berpotensi untuk
melaksanakan dua kali musyawarah untuk membahas hal yang sama. Tentu saja ini
menyebabkan inefektivitas dan inefisiensi dalam penyelenggaraan musyawarah desa. Selain
itu, saat Musyawarah Desa/Musrenbang Desa (Januari atau Juni), Pemerintah Desa tidak
mendapatkan informasi memadai tentang pagu indikatif anggaran maupun hasil evaluasi
pembangunan desa dan daerah tahun sebelumnya.
4.5 Kekurangjelasan Struktur APB Desa
Dalam PP No. 47 Tahun 2015 Pasal 100 Ayat (1) termaktub dengan jelas bahwa pembagian
proporsi belanja pemerintah desa adalah 70 %:30 %. Di sisi lain, Permendagri No. 113 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Pasal 10 Ayat (2) menyebutkan bahwa bantuan
keuangan bersifat khusus tidak dihitung dalam proporsi 30% :70%.
Sebagai contoh, misalnya dalam insentif untuk RT dan RW, dalam Permendagri No. 113
Tahun 2014 Pasal 15 masuk dalam kategori belanja kegiatan dalam klasifikasi belanja
barang dan jasa. Namun, tidak ada keterangan lebih lanjut belanja insentif untuk RT dan RW
tersebut masuk dalam proporsi 30% atau dalam proporsi 70%.
Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2015 Pasal 100 belanja insentif RT
dan RW masuk dalam proporsi belanja 30% sama dengan penghasilan tetap dan tunjangan
kepala desa dan staf, tunjangan dan operasional BPD. Dalam Penjelasan Pasal 100 Ayat (1)
Huruf (b) Angka (4) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “insentif RT dan RW” adalah
bantuan kelembagaan yang digunakan untuk operasional RT dan RW.
22. 21 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Persoalan lainnya adalah terkait dengan struktur belanja APB Desa yang tidak selaras
dengan struktur APBD. Semua keuangan desa yang bersumber dari Dana Transfer maupun
Bantuan Keuangan ke Desa melalui APBD.
Sebagai contoh, ketika Dana Desa masuk dalam kategori Dana Transfer dari pemerintah
pusat maka kewajiban desa hanya memberikan laporan kepada pemerintah pusat
sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014. Namun, jika Dana Desa masuk
dalam nomenklatur APBD sebagai Bantuan Keuangan dari pemerintah kabupaten ke desa,
seperti yang diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, maka desa wajib mengirimkan laporan pertanggungjawaban keuangan ke
pemerintah kabupaten. Selain itu, desa otomatis menjadi obyek audit yang harus memiliki
bukti pertanggungjawaban penggunaan dana tersebut. Pada situasi ini pemerintah desa
mengalami kebingungan bagaimana mengelola dokumen pertanggungjawaban keuangan,
apakah harus dikirim ke pemerintah kabupaten atau disimpan di desa sebagai bahan
pemeriksaan auditor.
Contoh lainnya adalah terkait dengan pengertian Belanja Modal. Dalam Permendagri No. 113
Tahun 2014 Pasal 16, definisi Belanja Modal adalah digunakan untuk pengeluaran dalam
rangka pembelian/pengadaan barang atau bangunan yang nilai manfaatnya lebih dari 12
(dua belas) bulan. Dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah, penganggaran Belanja Modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pengadaan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua
belas) bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan.
Dalam struktur APBD Belanja Modal misalnya berupa gedung, irigasi, jalan, dan asset
lainnya. Namun dalam lampiran Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang struktur APB
Desa, kategori Belanja Modal adalah pasir, batu, material lainnya dengan tidak memasukkan
Belanja Barang dan Jasa yang digunakan untuk membangun sehingga nilai asset dari belanja
modal pasti tidak sesuai dengan jumlah total nilai belanja semestinya. Misalnya, total belanja
pembangunan gedung adalah 100 juta rupiah. Dari total anggaran tersebut, senilai 30 juta
rupiah adalah untuk komponen Belanja Barang dan Jasa. Jika mengacu pada Permendagri
No. 113 Tahun 2014 maka nilai gedung tersebut hanya sebesar 70 juta rupiah.
Dalam konteks penerapan dilapangan, hal ini berdampak terhadap beberapa hal.
1. Pemerintah desa akan mengalami kebingungan dalam membuat laporan
pertanggungjawaban keuangan desa.
2. Terjadinya kesalahan pengalokasian berpotensi menjadi temuan saat pemeriksaan.
3. Pemerintah desa lebih banyak menunggu arahan dari pemerintahan/kabupaten kota
yang juga sama sedang mengalami kebingungan dengan aturan yang ada.
4. Dana Desa yang prioritas penggunaanya sudah ditentukan oleh pemerintah berpotensi
tidak selaras dengan kebutuhan pembangunan di desa, termasuk kebutuhan masyarakat
miskin dan marjinal.
23. 22 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Dari temuan studi yang telah di uraikan di bagian sebelumnya didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
1. Beberapa regulasi yang mengatur tentang desa terindikasi tidak konsisten dengan
aturan diatasnya, saling bertentangan serta berpotensi menimbulkan interpretasi
yang beragam.
2. UU Desa dan aturan turunannya berpotensi tidak selaras dengan aturan perundang-
undangan lainnya.
3. Kondisi di atas menyulitkan pemerintah desa dan pihak-pihak yang berkeinginan
membangun desa dalam menjalankan pembangunan desa dan pembangunan inklusi
sosial di desa.
5.2 Rekomendasi
Dari kesimpulan studi tersebut, beberapa rekomendasi yang diusulkan untuk pihak
eksekutif adalah sebagai berikut :
1. Kementerian yang mengurus desa (Kemen DPDTT, Kemendagri, Bappenas dan
Kemenkeu) perlu melakukan peninjauan kembali dan penyempurnaan beberapa
regulasi yang suda diterbitkan.
2. Kemenko PMK dapat mengkordinasikan kementerian yang mengurus desa dengan
kementerian lainnya untuk menyelaraskan beberapa substansi peraturan
perundang-undangan, khususnya yang terkait dengan pencapaian tujuan
pembangunan desa dan pembangunan inklusi sosial di desa.
3. Sebaiknya dilakukan dengan melibatkan banyak pihak yang berkompeten dan
berkepentingan secara langsung dengan isu-isu pembangunan pedesaan dan
pembangunan inkusi sosial di desa (misal : NGO, lembaga donor, perguruan tinggi,
asosiasi kepala desa/BPD/perangkat desa,dll).
Sedangkan rekomendasi yang diusulkan untuk pihak legislatif adalah sebagai berikut :
1. DPR bersama pemerintah perlu melakukan peninjauan kembali dan penyempurnaan
atas beberapa regulasi yang sudah diterbitkan
2. DPR perlu memastikan bahwa regulasi turunan UUdesa konsisten dengan substansi
yang diatur dengan UUdesa
3. DPR perlu memastikan bahwa pembangunan inklusi sosial masuk dalam berbagai
regulasi yang terkait dengan desa
24. 23 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Lampiran Matriks Kajian Regulasi
25. Tema : Pelayanan Publik
UU No 6 Dan Turunannya UU 23 Tahun 2014 UU Sisdiknas/Permendikud UU No.25 Tahun 2009
Pasal 10 Permen DPDTT
No 1/2015
Kewenangan lokal berskala
Desa di bidang pelayanan
dasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9
huruf a antara lain
meliputi:
a. pengembangan pos
kesehatan Desa dan
Polindes;
b. pengembangan tenaga
kesehatan Desa;
c. pengelolaan dan
pembinaan Posyandu
melalui:
1) layanan gizi untuk
balita;
2) pemeriksaan ibu hamil;
3) pemberian makanan
tambahan;
4) penyuluhan kesehatan;
5) gerakan hidup bersih
dan sehat;
6) penimbangan bayi; dan
7) gerakan sehat untuk
lanjut usia.
d. pembinaan dan
pengawasan upaya
kesehatan tradisional;
Penjelasan pembagian
urusan antara Pemerintah
Pusat, Provinsi dan Daerah
Penerbitan izin pendidikan
dasar yang diselenggarakan
masyarakat dan penerbitan
izin pendidikan anak usia
dini dan pendidikan
nonformal yang
diselenggarakan oleh
masyarakat menjadi
kewenangan Daerah
kabupaten/kota.
Pasal 28
(2) Pendidikan anak usia dini
dapat diselenggarakan melalui
jalur pendidikan formal,
nonformal, dan/atau informal.
(3) Pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan formal berbentuk
taman kanakkanak (TK), raudatul
athfal (RA), atau bentuk lain yang
sederajat.
(4) Pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan nonformal
berbentuk kelompok bermain
(KB), taman penitipan anak (TPA),
atau bentuk lain yang sederajat.
(5) Pendidikan anak usia dini pada
jalur pendidikan informal
berbentuk pendidikan keluarga
atau pendidikan yang
diselenggarakan oleh lingkungan.
26. 2 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 6 Dan Turunannya UU 23 Tahun 2014 UU Sisdiknas/Permendikud UU No.25 Tahun 2009
e. pemantauan dan
pencegahan
penyalahgunaan narkotika
dan zat adiktif di Desa;
f. pembinaan dan
pengelolaan pendidikan
anak usia dini;
g. pengadaan dan
pengelolaan sanggar
belajar, sanggar seni
budaya, dan perpustakaan
Desa; dan
h. fasilitasi dan motivasi
terhadap kelompok-
kelompok belajar di Desa.
Pasal 2 Permendikbud No
84/2012
Satuan PAUD dapat didirikan oleh:
a. pemerintah kabupaten/kota;
b. pemerintah desa;
c. orang perseorangan;
Pasal 113 UU No 6/2014
Pembinaan dan
pengawasan yang
dilakukan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112 ayat (1)
meliputi:
a. memberikan pedoman
dan standar pelaksanaan
penyelenggaraan
Pemerintahan Desa;
Pasal 1
(4) Organisasi
penyelenggara pelayanan
publik yang selanjutnya
disebut organisasi
penyelenggara adalah
satuan kerja penyelenggara
pelayanan publik yang
berada di lingkungan
institusi penyelenggaran
negara, korporasi, lembaga
27. 3 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 6 Dan Turunannya UU 23 Tahun 2014 UU Sisdiknas/Permendikud UU No.25 Tahun 2009
b. memberikan pedoman
tentang dukungan
pendanaan dari
Pemerintah, Pemerintah
Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota kepada
Desa;
independen yang dibentuk
berdasarkan UU untuk
kegiatan pelayanan publik
dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk
kegiatan pelayanan publik.
Pasal 15
Penyelenggara berkewajiban
:
a. Menyusun dan
menetapkan standar
pelayanan
b. Menyusun, menetapkan
dan mempublikasikan
maklumat pelayanan.
Pasal 22 PP No 96/2013
(1) Setiap Penyelenggara
wajib menyusun,
menetapkan,
dan menerapkan Standar
Pelayanan.
(2) Penyelenggara dalam
menyusun Standar
Pelayanan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib
mengikutsertakan
Masyarakat dan Pihak
Terkait
28. 4 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 6 Dan Turunannya UU 23 Tahun 2014 UU Sisdiknas/Permendikud UU No.25 Tahun 2009
serta mengacu pada
ketentuan teknis yang telah
ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
UU No. 13/2011 UU No. 23 Tahun 2006
Pasal 5
Penanganan fakir miskin dilaksanakan secara terarah,
terpadu, dan berkelanjutan oleh Pemerintah, pemerintah,
daerah, dan masyarakat.
Pasal 61 Ayat 2
Keterangan mengenai kolom agama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui
sebagal agama berdasarkan ketentuan Peraturan
Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak
diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database
Kependudukan
29. 5 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Penentuan Tapal Batas
UU No 6 Dan Turunannya UU 41 Kehutanan UU No 39/2014 Ttg
Perkebunan
UU No 23/2014 Ttg Pemda
Pasal 8 Huruf a Permen
DPDTT No 1
Kewenangan lokal berskala
Desa di bidang pemerintahan
Desa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf a antara
lain meliputi:
a. penetapan dan penegasan
batas Desa;
Pasal 15
Pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 dilakukan
melalui proses sebagai
berikut:
a. penunjukan kawasan
hutan,
b. penataan batas kawasan
hutan,
c. pemetaan kawasan hutan,
dan
d. penetapan kawasan hutan.
Pasal 14
(1) Pemerintah Pusat
menetapkan batasan luas
maksimum dan luas
minimum penggunaan lahan
untuk Usaha Perkebunan
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan
batasan luas diatur dalam
Peraturan Pemerintah
Pasal 2
Daerah kabupaten/kota
dibagi atas Kecamatan dan
Kecamatan dibagi atas
kelurahan dan/atau Desa.
Pasal 3 Permen 44/2012
Dalam hal suatu areal telah
ditunjuk dengan Keputusan
Menteri, telah ditata batas
dan berita acara tata batas
kawasan hutan telah
ditandatangani oleh Panitia
Tata Batas, maka yang
digunakan sebagai acuan
kawasan hutan adalah berita
acara tata batas yang telah
ditandatangani oleh Panitia
Tata Batas.
Pasal 4 Permen 25/2014
30. 6 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Anggota Panitia Tata Batas
Kawasan Hutan terdiri dari
unsur:
a. Dinas Kabupaten/Kota
yang membidangi kehutanan
sebagai sekretaris
merangkap anggota untuk
kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung, atau
Unit
UU No 6 Dan Turunannya UU 41 Kehutanan UU No 39/2014 Ttg
Perkebunan
UU No 23/2014 Ttg Pemda
Pelaksana Teknis yang
menangani urusan kawasan
hutan konservasi sebagai
sekretaris merangkap
anggota untuk kawasan
hutan konservasi;
b. Dinas Provinsi yang
membidangi kehutanan;
c. Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah
Kabupaten/Kota;
d. Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota;
e. Unit Pelaksana Teknis
lingkup Kementerian
Kehutanan terkait;
f. Perum Perhutani apabila
kawasan hutan merupakan
wilayah kerja Perum
Perhutani; dan
31. 7 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
g. Camat setempat.
32. 8 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Pengelolaan Sumber Daya Alam
UU No.60 Tahun 2014 UU.23 Tahun 2015 UU Kehutanan UU Minerba
Pasal 9 Permen DPDTT No
1/2014
Kewenangan lokal berskala
Desa di bidang
pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 huruf b
meliputi:
a. pelayanan dasar Desa;
b. sarana dan prasarana
Desa;
c. pengembangan ekonomi
lokal Desa; dan
d. pemanfaatan sumberdaya
alam dan lingkungan Desa.
d. pembangunan dan
pemeliharaan embung
Desa;f. pembangunan dan
pemeliharaan rumah ibadah;
Pasal 354
(1) Dalam
penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah,
Pemerintah
Daerah mendorong
partisipasi
masyarakat.
(3) Partisipasi
masyarakat
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) mencakup:
Pasal 5
Hutan berdasarkan statusnya
terdiri dari:
a. hutan negara, dan
b. hutan hak.
Pasal 20
Kegiatan pertambangan
rakyat dilaksanakan dalarn
suatu WPR.
Pasal 11 Kewenangan lokal
berskala Desa di bidang
sarana dan prasarana Desa
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf b antara
lain meliputi:
a. pembangunan dan
pemeliharaan kantor dan
balai Desa;b. pembangunan
dan pemeliharaan jalan
Desa;c. pembangunan dan
a. penyusunan Perda
dan kebijakan Daerah
yang mengatur dan
membebani
masyarakat;
b. perencanaan,
penganggaran,
pelaksanaan,
pemonitoran, dan
pengevaluasian
pembangunan Daerah;
Hutan negara dapat berupa hutan
adat, yaitu hutan negara yang
diserahkan pengelolaannya kepada
masyarakat hukum adat
(rechtsgemeenschap). Hutan adat
tersebut sebelumnya disebut hutan
ulayat, hutan marga, hutan
pertuanan, atau sebutan lainnya.
Hutan yang dikelola masyarakat
hukum adat dimasukkan di dalam
pengertian hutan negara sebagai
Pasal 21
WPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ditetapkan
oleh bupati/walikota setelah
berkonsultasi dengan Dewan
Penvakilan Rakyat Daerah
kabupaten/ kota.
33. 9 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No.60 Tahun 2014 UU.23 Tahun 2015 UU Kehutanan UU Minerba
pemeliharaan jalan usaha
tani;e. pembangunan energi
baru dan terbarukan; i.
pembangunan dan
pengelolaan air bersih
berskala Desa;
c. pengelolaan aset
dan/atau sumber daya
alam Daerah;
dan
d. penyelenggaraan
pelayanan publik.
konsekuensi adanya hak menguasai
oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat pada
tingkatan yang tertinggi dan prinsip
Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dengan dimasukkannya hutan adat
dalam pengertian hutan negara,
tidak meniadakan hak-hak
masyarakat hukum adat sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, untuk melakukan
kegiatan pengelolaan hutan.
Hutan negara yang dikelola oleh
desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa disebut hutan
desa.
Hutan negara yang pemanfaatan
utamanya ditujukan untuk
memberdayakan masyarakat
disebut hutan kemasyarakatan.
Hutan hak yang berada pada tanah
yang dibebani hak milik lazim
disebut hutan rakyat.
Pasal 5 Permenhut No 89/2014
Kriteria kawasan hutan yang dapat
ditetapkan sebagai areal kerja
hutan desa adalah hutan lindung
dan hutan produksi yang :
a. belum dibebani hak pengelolaan
atau izin pemanfaatan;
Pasal 25
Ketentuan lebih lanjut
mengenai pedoman,
prosedur, dan penetapan
WPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 23
diatur dengan peraturan
pemerintah.
34. 10 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No.60 Tahun 2014 UU.23 Tahun 2015 UU Kehutanan UU Minerba
b. berada dalam wilayah
administrasi desa yang
bersangkutan.
c. dalam hal areal kerja yang
dimohon berada pada Hutan
Produksi, mengacu peta indikatif
arahan pemanfaatan hutan pada
kawasan hutan
produksi yang tidak dibebani izin
untuk usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu.
Permen LHK No. 32 Tahun 2015
tentang hutan hak (1)
Masyarakat hukum adat,
perseorangan secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama dalam
kelompok atau badan hukum
mengajukan permohonan
penetapan kawasan hutan hak
kepada Menteri.
(2) Badan hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbentuk
koperasi yang dibentuk oleh
masyarakat setempat.
(3) Berdasarkan permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) Menteri melakukan
verifikasi dan validasi.
(5) Berdasarkan hasil verifikasi dan
validasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Direktur Jenderal
atas nama Menteri dalam waktu 14
Pasal 26 PP 22/2010
(1) Bupati/walikota
menyusun rencana
penetapan suatu wilayah di
dalam WP menjadi WPR
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf
b berdasarkan peta potensi
mineral dan/atau batubara
sebagaimana dimaksud
dalarn Pasal 12 ayat (1) serta
peta potensi/cadangan
mineral dan/atau batubara
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1)
35. 11 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No.60 Tahun 2014 UU.23 Tahun 2015 UU Kehutanan UU Minerba
(empat belas) hari kerja
menetapkan hutan hak sesuai
dengan fungsinya
Pasal 47 PP 23/2010
(1) IPR diberikan oleh
bupati/walikota berdasarkan
permohonan yang diajukan
oleh penduduk setempat,
baik orang perseorangan
maupun kelompok
masyarakat dan/atau
koperasi.
Pasal 48 PP 23/2010
(1) Setiap usaha
pertambangan rakyat pada
WPR dapat dilaksanakan
apabila telah mendapatkan
IPR.
(2) Persyaratan
administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
huruf a untuk:
a. orang perseorangan,
paling sedikit meliputi:
1. surat permohonan;
2. kartu tanda penduduk;
3. komoditas tambang
yang dimohon; dan
4. surat keterangan dari
kelurahan/desa setempat.
b. kelompok masyarakat,
paling sedikit meliputi:
36. 12 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No.60 Tahun 2014 UU.23 Tahun 2015 UU Kehutanan UU Minerba
1. surat permohonan;
2. komoditas tambang
yang dimohon; dan
3. surat keterangan dari
kelurahan/desa setempat.
c. koperasi setempat,
paling sedikit meliputi:
1. surat permohonan;
2. nomor pokok wajib
pajak;
3. akte pendirian koperasi
yang telah disahkan oleh
pejabat yang berwenang;
4. komoditas tambang
yang dimohon; dan
5. surat keterangan dari
kelurahan/desa setempat.
37. 13 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Pengelolaan Sumber Daya Alam
UU No 1/2014 Pesisir UU No 11/1974 UU Panas Bumi UU Konservasi Tanah dan
Air
Pasal 60
Dalam Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan PulauPulau Kecil,
Masyarakat mempunyai hak
untuk:
a. memperoleh akses
terhadap bagian Perairan
Pesisir yang sudah diberi
Izin Lokasi dan Izin
Pengelolaan;
b. mengusulkan wilayah
penangkapan ikan secara
tradisional ke dalam RZWP-
3-K;
c. mengusulkan wilayah
Masyarakat Hukum Adat ke
dalam RZWP-3-K;
Pasal 3
(1) Air beserta sumber-
sumbernya, termasuk
kekayaan alam yang
terkandung didalanmya
seperti dimaksud dalm Pasal
1 angka 3, 4 dan 5 UUini
dikuasai oleh Negara.
(2) Hak menguasai oleh
Negara tersebut dalam ayat
(1) pasal ini memberi
wewenang kepada
Pemerintah untuk :
a. Mengelola serta
mengembangkan
kemanfaatan air dan atau
sumber-sumber air;
b. Menyusun mengesahkan,
dan atau memberi izin
berdasarkan perencanaan
dan perencanaan teknis tata
pengaturan air dan tata
pengairan;
c. Mengatur, mengesahkan
dan atau memberi izin
peruntukan, penggunaan,
penyediaan air, dan atau
sumber-sumber air;
Pasal 65
(1) Dalam pelaksanaan
penyelenggaraan Panas
Bumi, masyarakat
mempunyai peran serta
untuk:
a. menjaga, melindungi, dan
memelihara kelestarian
wilayah kegiatan
pengusahaan Panas Bumi;
dan
b. menyampaikan laporan
terjadinya bahaya,
pencemaran, dan/ a tau
perusakan lingkungan di
wilayah kegiatan
pengusahaan Panas Bumi.
Pasal 7
(1) Pemerintah, Pcmcrintah
Daerah, pemegang hak atas
tanah, pemegang kuasa atas
tanah, pemegang izin,
dan/atau pengguna Lahan
bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan Konservasi
Tanah dan Air
38. 14 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 1/2014 Pesisir UU No 11/1974 UU Panas Bumi UU Konservasi Tanah dan
Air
d. Mengatur, mengesahkan
dan atau memberi izin
pengusahaan air, dan atau
sumber-sumber air;
e. Menentukan dan mengatur
perbuatan-perbuatan hukum
dan hubunganhubungan
hukum antara orang dan atau
badan hukum dalam
persoalan air dan atau
sumber-sumber air;
(3) Pelaksanaan atas
ketentuan ayat (2) pasal ini
tetap menghormati hak yang
dimiliki oleh masyarakat adat
setempat, sepanjang tidak
bertentangan dengan
kepentingan
Nasional
(2) Masyarakat dalam
Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
berkewajiban:
a. memberikan informasi
berkenaan dengan
Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil;
b. menjaga, melindungi, dan
memelihara kelestarian
Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil;
Pasal 4
Wewenang Pemerintah
sebagaimana tersebut dalam
Pasal 3 Undang- undang ini,
dapat dilimpahkan kepada
instansi-instansi Pemerintah,
baik Pusat maupun Daerah
dan atau
badan-badan hukum tertentu
yang syarat-syarat dan cara-
caranya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2) Dalam pelaksanaan
penyelenggaraan Panas
Bumi masyarakat berhak
untuk:
a. memperoleh informasi
yang berkaitan dengan
pengusahaan Panas Bumi
melalui Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya;
b. memperoleh manfaat atas
kegiatan pengusahaan Panas
(2) Dalam penyelenggaraan
Konservasi Tanah dan Air
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemerintah,
Pemerintah Daerah,
pemegang hak atas tanah,
pemegang kuasa atas tanah,
pemegang izin, dan/atau
pengguna Lahan wajib
mengikuti prinsip konservasi
dan menghormati irirk 1,ang
dimiliki Setiap Orang sesuai
39. 15 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 1/2014 Pesisir UU No 11/1974 UU Panas Bumi UU Konservasi Tanah dan
Air
c. menyampaikan laporan
terjadinya bahaya,
pencemaran, dan/atau
kerusakan lingkungan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil;
d. memantau pelaksanaan
rencana Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil; dan/atau
e. melaksanakan program
Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil yang
disepakati di tingkat desa.
Bumi melalui kewajiban
perusahaan untuk memenuhi
tanggung jawab sosial
perusahaan dan/ a tau
pengembangan masyarakat
sekitar;
c. memperoleh ganti rugi
yang layak akibat kesalahan
dalam kegiatan pengusahaan
Panas Bumi sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan;dan
d. mengajukan gugatan
kepada pengadilan terhadap
kerugian akibat kegiatan
pengusahaan Panas Bumi
yang menyalahi ketentuan.
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 5 PP 22/1982
Wewenang yang timbul dari
hak penguasaan negara
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (2)
UUNomor 11 Tahun 1974
atas air dan/atau sumber air
yang berada di wilayah-
wilayah sungai atau
bagianbagian daripada
wilayah sungai di dalam
suatu Daerah, dilimpahkan
dalam rangka tugas
pembantuan kepada
40. 16 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 1/2014 Pesisir UU No 11/1974 UU Panas Bumi UU Konservasi Tanah dan
Air
Pemerintah Daerah kecuali
ditetapkan lain dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
Guna menjamin kelestarian
fungsi dari bangunan-
bangunan pengairan untuk
menjaga tata pengairan dan
tata air yang baik, perlu
dilakukan kegiatankegiatan
eksploitasi dan pemeliharaan
serta perbaikan-perbaikan
bangunanbangunan
pengairan tersebut dengan
ketentuan
: a. Bagi bangunan-bangunan
pengairan yang ditujukan
untuk memberikan manfaat
langsung kepada sesuatu
kelompok masyarakat
dilakukan dengan mengikut
sertakan masyarakat, baik
yang berbentuk Badan
Hukum, Badan Sosial maupun
perorangan, yang
memperoleh manfaat
langsung dari adanya
bangunan-bangunan
tersebut, yang
41. 17 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
UU No 1/2014 Pesisir UU No 11/1974 UU Panas Bumi UU Konservasi Tanah dan
Air
pelaksanaannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
b. Bagi bangunan-bangunan
pengairan yang ditujukan
untuk kesejahteraan dan
keselamatan umum pada
dasarnya dilakukan oleh
Pemerintah, baik Pusat
maupun Daerah
Pasal 14 Permen PU No
6/2015
Badan usaha, kelompok
masyarakat, atau
perseorangan atas prakarsa
sendiri dapat melaksanakan
kegiatan operasi dan
pemeliharaan prasarana
sumber daya air untuk
kepentingan sendiri.
42. 18 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Tata Ruang Desa
PERMEN DPDTT NO 1 TAHUN 2015 PERMENDAGRI NO 114 TAHUN 2014
Pasal 8
Kewenangan lokal berskala Desa di bidang pemerintahan
Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a antara
lain meliputi:
a. penetapan dan penegasan batas Desa;
b. pengembangan sistem administrasi dan informasi Desa;
c. pengembangan tata ruang dan peta sosial Desa;
d. pendataan dan pengklasifikasian tenaga kerja Desa;
e. pendataan penduduk yang bekerja pada sektor pertanian
dan sektor non pertanian;
f. pendataan penduduk menurut jumlah penduduk usia kerja,
angkatan kerja, pencari kerja, dan tingkat partisipasi
angkatan kerja;
g. pendataan penduduk berumur 15 tahun ke atas yang
bekerja menurut lapangan pekerjaan jenis pekerjaan dan
status pekerjaan;
h. pendataan penduduk yang bekerja di luar negeri;
i. penetapan organisasi Pemerintah Desa;
j. pembentukan Badan Permusyaratan Desa;
k. penetapan perangkat Desa;
l. penetapan BUM Desa;
m. penetapan APB Desa;
n. penetapan peraturan Desa;
o. penetapan kerja sama antar-Desa;
p. pemberian izin penggunaan gedung pertemuan atau balai
Desa;
q. pendataan potensi Desa;
r. pemberian izin hak pengelolaan atas tanah Desa;
Pasal 6
(2) Bidang penyelenggaraan pemerintahan desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain:
a. penetapan dan penegasan batas Desa;
b. pendataan Desa;
c. penyusunan tata ruang Desa;
d. penyelenggaraan musyawarah Desa;
e. pengelolaan informasi Desa;
f. penyelenggaraan perencanaan Desa;
g. penyelenggaraan evaluasi tingkat perkembangan
pemerintahan Desa;
h. penyelenggaraan kerjasama antar Desa;
i. pembangunan sarana dan prasarana kantor Desa; dan
j. kegiatan lainnya sesuai kondisi Desa.
43. 19 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
PERMEN DPDTT NO 1 TAHUN 2015 PERMENDAGRI NO 114 TAHUN 2014
s. penetapan Desa dalam keadaan darurat seperti kejadian
bencana, konflik, rawan pangan, wabah penyakit, gangguan
keamanan, dan kejadian luar biasa lainnya dalam skala Desa;
t. pengelolaan arsip Desa; dan
u. penetapan pos keamanan dan pos kesiapsiagaan lainnya
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sosial masyarakat
Desa.
44. 20 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Musyawarah Desa
PP 47 TAHUN 2015 PERMEN DPDTT NO 2
TAHUN 2015
PERMENDAGRI NO 114
TAHUN 2014
PERMENDAGRI NO 111
TAHUN 2014
Pasal 80
(1) Musyawarah Desa
diselenggarakan oleh
Badan Permusyawaratan
Desa yang difasilitasi oleh
Pemerintah Desa.
(2) Musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diikuti oleh
Pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa,
dan unsur masyarakat.
Pasal 2
(1) Musyawarah Desa atau
yang disebut dengan nama
lain adalah musyawarah
antara Badan
Permusyawaratan Desa,
Pemerintah Desa, dan unsur
masyarakat yang
diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa
untuk menyepakati hal yang
bersifat strategis.
(2) Hal yang bersifat
strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. penataan Desa;
b. perencanaan Desa;
c. kerja sama Desa;
d. rencana investasi yang
masuk ke Desa;
e. pembentukan BUM Desa;
f. penambahan dan
pelepasan aset Desa; dan
g. kejadian luar biasa.
Penyusunan Rencana
Pembangunan Desa melalui
musyawarah Desa
Pasal 20
(1) Badan Permusyawaratan
Desa menyelenggarakan
musyawarah Desa berdasarkan
laporan hasil pengkajian
keadaan desa.
(2) Musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan terhitung
sejak diterimanya laporan dari
kepala Desa.
Pasal 7
(1) BPD dapat menyusun dan
mengusulkan rancangan
Peraturan Desa.
(2) Rancangan Peraturan
Desa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kecuali untuk
rancangan Peraturan Desa
tentang rencana
pembangunan jangka
menengah Desa, rancangan
Peraturan Desa tentang
rencana kerja Pemerintah
Desa, rancangan Peraturan
Desa tentang APB Desa dan
rancangan Peraturan Desa
tentang laporan
pertanggungjawaban
realisasi pelaksanaan APB
Desa.
Pasal 5
(1) Musyawarah Desa
diselenggarakan oleh Badan
Permusyawaratan Desa
Penyusunan Rencana
Pembangunan Desa Melalui
Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa
45. 21 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
PP 47 TAHUN 2015 PERMEN DPDTT NO 2
TAHUN 2015
PERMENDAGRI NO 114
TAHUN 2014
PERMENDAGRI NO 111
TAHUN 2014
yang difasilitasi oleh
Pemerintah Desa.
(2) Musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diikuti oleh
Pemerintah Desa, Badan
Permusyawaratan Desa, dan
unsur masyarakat.
Pasal 25
(1) Kepala Desa
menyelenggarakan musyawarah
perencanaan pembangunan
Desa yang diadakan untuk
membahas dan menyepakati
rancangan RPJM Desa.
(2) Musyawarah perencanaan
pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diikuti oleh Pemerintah
Desa, Badan Permusyawaratan
Desa, dan unsur masyarakat.
Pasal 6
(1) Badan Permusyawaratan
Desa bersama dengan Kepala
Desa mempersiapkan
rencana Musyawarah Desa
dalam dua bentuk yaitu:
a. Musyawarah Desa
terencana;
b. Musyawarah Desa
mendadak;
Pasal 27
(3) Kepala Desa menyusun
rancangan peraturan Desa
tentang RPJM Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Rancangan peraturan Desa
tentang RPJM Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dibahas
dan disepakati bersama oleh
kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan Desa untuk
ditetapkan menjadi Peraturan
Desa tentang RPJM Desa.
Penyusunan Perencanaan
Pembangunan Desa melalui
Musyawarah Desa
46. 22 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
PP 47 TAHUN 2015 PERMEN DPDTT NO 2
TAHUN 2015
PERMENDAGRI NO 114
TAHUN 2014
PERMENDAGRI NO 111
TAHUN 2014
Pasal 31
(1) Badan Permusyawaratan
Desa menyelenggarakan
musyawarah Desa dalam rangka
penyusunan rencana
pembangunan Desa.
(2) Hasil musyawarah Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi pedoman bagi
pemerintah Desa menyusun
rancangan RKP Desa dan daftar
usulan RKP Desa.
(3) Badan Permusyawaratan
Desa menyelenggarakan
musyawarah Desa sebagaimana
dimaksud ayat (1), paling lambat
bulan Juni tahun berjalan.
Penyelenggaraan Musyawarah
Perencanaan Pembangunan
Desa
Pasal 46
(1) Kepala Desa
menyelenggarakan musyawarah
perencanaan pembangunan
Desa yang diadakan untuk
membahas dan menyepakati
rancangan RKP Desa.
(2) Musyawarah perencanaan
pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada
47. 23 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
PP 47 TAHUN 2015 PERMEN DPDTT NO 2
TAHUN 2015
PERMENDAGRI NO 114
TAHUN 2014
PERMENDAGRI NO 111
TAHUN 2014
ayat (1) diikuti oleh Pemerintah
Desa, Badan Permusyawaratan
Desa, dan unsur masyarakat.
Pasal 49
(1) RKP Desa dapat diubah
dalam hal:
a. terjadi peristiwa khusus,
seperti bencana alam, krisis
politik, krisis ekonomi, dan/atau
kerusuhan sosial yang
berkepanjangan; atau
b. terdapat perubahan mendasar
atas kebijakan Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi,
dan/atau pemerintah daerah
kabupaten/kota.
Pasal 50
(1) Kepala Desa
menyelenggarakan musyawarah
perencanaan pembangunan
Desa yang diadakan secara
khusus untuk kepentingan
pembahasan dan penyepakatan
perubahan RKP Desa
sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 49.
(2) Penyelenggaraan
musyawarah perencanaan
pembangunan Desa
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), disesuaikan dengan
48. 24 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
PP 47 TAHUN 2015 PERMEN DPDTT NO 2
TAHUN 2015
PERMENDAGRI NO 114
TAHUN 2014
PERMENDAGRI NO 111
TAHUN 2014
terjadinya peristiwa khusus
dan/atau terjadinya perubahan
mendasar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat
(1).
49. 25 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Keuangan Desa
PP No 47 Tahun 2015 Permendagri No 113 Tahun 2014
Pasal 100
Belanja Desa yang ditetapkan dalam APB Desa digunakan
dengan ketentuan :
a. paling sedikit 70% (tujuh puluh per seratus) dari jumlah
anggaran belanja Desa digunakan untuk mendanai
penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan
pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan
pemberdayaan masyarakat Desa; dan
b. paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah
anggaran belanja Desa digunakan untuk:
1. penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan
perangkat Desa;
2. operasional pemerintahan Desa;
3. tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan Desa;
dan
4. insentif rukun tetangga dan rukun warga.
Pasal 10 Ayat (3)
(1) Bantuan Keuangan bersifat khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikelola dalam APBDesa tetapi tidak
diterapkan dalam ketentuan penggunaan paling sedikit 70%
(tujuh puluh perseratus) dan paling banyak 30% (tiga puluh
perseratus).
50. 26 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Pasal 100
paling banyak 30% (tiga puluh per seratus) dari jumlah
anggaran belanja Desa digunakan untuk:
1. Penghasilan tetap dan tunjangan kepala Desa dan
perangkat Desa;
2. Operasional pemerintahan Desa;
3. Tunjangan dan operasional Badan Permusyawaratan
Desa; dan
4. Insentif rukun tetangga dan rukun warga.
51. 27 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a
Tema : Kewenangan Desa
UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 19
Kewengan Desa terdiri atas:
- Kewenangan Hak Asal Usul
- Kewenangan Lokal Berskala Desa
- Tugas Perbantuan
- Tugas Perbanuan Lainnya
Pasal 372
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat menugaskan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi
kewenangannya kepada Desa.
52. 28 | M e m o t r e t K o n s i s t e n s i d a n H a r m o n i s a s i U n d a n g - U n d a n g D e s a