SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  128
Télécharger pour lire hors ligne
MERGA SILIMA - RAKUT SITELU - TUTUR SIWALUH
Untuk Kalangan Sendiri
Tidak diperjualbelikan
KARO – Dulu & Sekarang
Disadur dari Internet
Untuk Perpulungen MERGA SILIMA
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur
Oleh: makaroAdit
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 1 of 128
[Type the document subtitle]
BAB I
PROFIL ORANG KARO
1. Orang Karo
Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat,
Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang
disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo enggan disebut sebagai orang Batak karena merasa berbeda.
Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan
warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan
Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini
berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan
Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan
beberapa desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh
Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di
Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee.
Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui
oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh
Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara
itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping
Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim
bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang
Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka.
Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian
terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan
perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di
suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus
dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan
mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang
merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya.
Sifat dan perwatakan manusia Karo yang berwujud pada perilaku atau perbuatan dan pola pikirnya, yang masih melekat
pada anggota masyarakat Karo pada umumnya adalah sebagai berikut: jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak
serakah dan tahu akan hak, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian tetap dan pragmatis, sopan, jaga nama keluarga
dan harga diri, rasional dan kritis, mudah menyesuaikan diri, gigih mencari ilmu, tabah, beradat, suka membantu dan
menolong, pengasih dan hemat, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di balik sifat-sifat baik di atas, masih ada sifat lain yang juga terdapat di dalam masayarakat Karo seperti anceng, cian,
cikurak, yang merupakan sifat jelek yang dimiliki orang Karo, termasuk merupakan kritik terhadap sikap hidup orang Karo
yang hendak mencelakakan sesamanya. Kalau dalam istilah orang Manado kita kenal baku cungkel. Umumnya sikap ini
muncul oleh karena perasaan iri, motif dendam, atau atau perasaan kurang senang. Sifat jelek seperti ini dapat dipastikan
tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi semua suku bangsa yang ada di Indonesia, bahkan suku bangsa di dunia
memiliki sifat yang saling menjatuhkan, seperti yang juga diungkapkan oleh Sartre homo homini lupus.
Istilah ―cian‖ dalam bahasa Karo berarti iri atau dengki. Yang terdekat dari sifat ini adalah cemburu. Sifat ini biasanya selalu
mengarah kepada hal-hal yang tidak baik, oleh karena tujuannya adalah merusak. Hal ini mestinya dapat dihilangkan dari
setiap pikiran dan sikap manusia. Paling tidak berusaha untuk mengarahkan diri pada hal-hal yang tidak merugikan, atau
lebih positif bersaing secara sehat.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 2 of 128
Masih ada dua sifat yang juga bersemi di atara orang-orang Karo, yang sebenarnya juga kurang bermanfaat, yaitu
kebiasaan mengata-ngatai orang lain (menjelek-jelekan orang lain) secara negatif yang dikenal dalam bahasa Karo dengan
istilah ―cekurak‖, dan satu lagi adalah istilah ―anceng‖, yaitu melakukan gangguan atau kendala bagi sesuatu pekerjaan
orang lain dengan niat merusak
35
. Untuk membentengi diri dari sifat-sifat semacam ini, hendaknya insan Karo mengubah
pola pikir untuk dapat menerima sebuah keadaan dengan terbuka. Hal ini bisa dilakukan dengan menambah wawasan
(belajar dari orang lain) dalam bangku pendidikan, atau juga mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga dapat hidup saling
mengasihi. Ini berarti kemampuan penguasan diri terhadap naluri merusak (destruktif), juga pemanusiawian apa-apa yang
membuatnya menjadi liar, brutal dan mau berkuasa liar
Pada seminar Adat istiadat Karo tahun 1977 (1983 : 1-2) menyimpulkan mengenai sifat orang Karo ada 6 macam yaitu :
1. Tabah
2. Beradat
3. Suka membantu dan menolong
4. Pengasih dan hemat
5. Dendam
6. Mengetahui harga diri
Enam sifat ini ( tidak diiringi pembahasan) ditambah menjadi 9 macam dalam buku yang ditulis oleh Djaja S. Meliala, S.H.
dan Aswin Perangin-angin, S.H. (1978 :1-2) yaitu dengan tambahan, jujur dan berani, hormat, sopan, dan percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Pembahasan mengenai sifat-sifat orang Karo yang relatif baru adalah dalam buku Manusia Karo oleh Drs. Tridah Bangun
(1986 : 155-171 ) yang mengemukakan 15 macam sifat dan watak orang Karo dikemukakan dalam satu bab tersendiri),
yaitu :
1. Jujur
2. Tegas
3. Berani
4. Percaya diri
5. Pemalu
6. Tidak serakah
7. Mudah tersinggung
8. Berpendirian teguh
9. Sopan
10. Jaga nama baik diri dan keluarga
11. Rasional dan kritis
12. Mudah menyesuaikan diri
13. Gigih mencari pengetahuan
14. Pragmatis
15. Iri, cemburu
Sifat-sifat orang Karo yang dikemukakan di atas adalah berdasar pendapat ‗orang dalam‘ yaitu orang Karo sendiri. Jauh
sebelum sifat-sifat tersebut diuraikan oleh penulisnya, seorang penulis barat yaitu Jhon Anderson tahun 1823 menulis
mengenai orang Karo mempunyai sifat-sifat ; rajin, pelit, senang harta, kerja keras, tekun dan tidak suka pamer.
Orang Batak Karo yang rajin, bersifat kikir dan senang pada harta itu, telah mendorong mereka untuk kerja keras berusaha
sepanjang hari...... Karena kerajinannya dan ketekunannya, mampu mengumpulkan uang dalam jumlah besar dengan tidak
memamerkan diri dan kekayaannya‘ (Reid, 1987
D.H. Penny dan Masri Singarimbun (1967 :6) menjelaskan, sifat kikir yaitu hemat dan suka menabung, dulunya adalah tidak
ekonomis. Orang Karo mencari harta dan menabung hanya untuk berjaga-jaga dan demi prestise, tetapi belakangan (mulai
tahun 1960-an ) barulah aktif mengadakan investasi untuk
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 3 of 128
Hal – hal yang produktif.
Mengenai keadaan fisik orang Karo, berdasar pengamatan khusus terhadap orang yang telah uzur (umur 75 sd 100 tahun
), Drs Tridah Bangun (1986 :155-156) mengemukakan:
 Tinggi rata-rata 150-160 cm
 Rambut hitam antara lurus dan bergelombang
 Mata biasa antara sipit dan miring
 Wajah agak bundar mirip raut muka bangsa mongol
 Hidung agak pesek
 Bibir tebal, lebar
 Kulit sawo matang
Namun dijelaskan pula, bahwa saat ini keadaan fisik tersebut telah berubah, telah hampir sama dengan keadaan fisik suku
bangsa Indonesia lainnya, sukar membedakannya sepintas lalu. Hal ini dibenarkan oleh Masri Singarimbun (1989), yang
mengemukakan bahwa :
Nama-namanya sudah berubah dari Batu, Gajah, Malem, Bulan, Kade, Kursi, Meja, Kamar menjadi Regina, Bertalysa, Lita,
Siska, dan laki – laki sangat berubah.
Mengenai wanita yang lebih banyak jumlahnya dari pria di Kabupaten Karo, dalam cerita rakyat sering berperan sebagai
pemegang peranan utama. Berdasar cerita Beru Ginting Pase, Beru Rengga Kuning dan dari Telu Turi-turin si Adi, oleh
Ngukumi Barus dan Masri Singarimbun (1988) disimpulkan, wanita Karo adalah:
 Mempunyai kepribadian yang tangguh
 Menjadi juru selamat keluarga yang tangguh
 Tokoh yang sanggup mengambil keputusan yang menentukan
 Pintar an bijaksana
 Aktif dalam percintaan
 Tidak pasrah dalam menunggu
 Penggorbanan yang tinggi terhadap saudara
 Bukan tampil sebagai makhluk yang lembut, halus dan pemaaf. Tetapi sebaliknya
Gambaran wanita Karo yang jadi kenyataan memang sangat aktif dalam kehidupan ekonomi. Tetapi dalam banyak hal, jauh
berbeda dengan cerita rakyat tersebut, seperti dikemukakan oleh Ny. Wallia Keliat
Di daerah pedesaan Karo, wanita selain bertugas sebagai istri dan ibu, juga tulang punggung dalam produksi hasil
pertanian. Sikap tradisional turun temurun sebagai pengaruh di adat dan kebudayaan Karo terhadap wanita, mempunyai
pengaruh yang besar pada wanita pedesaan itu sendiri, yang cenderung untuk menerima posisi mereka yang lebih rendah,
kurang percaya diri, bergantung pada kaum pria dalam mengambil keputusan, dan tidak berani mengeluarkan pendapat
sendiri. Hal ini diterima oleh wanita itu dengan sangat biasa sekali, bukan sesuatu yang sangat merugikan ataupun sesuatu
yang perlu dirubah.
Reh Malem Sitepu (1986 : 24-25 ) mengemukakan, bahwa wanita Karo secara tradisional mempunyai peranan yang sangat
penting dan peranan yang tidak penting. Dalam banyak hal, wanita adalah penentu kebijaksanaan seperti dalam hal
kebersihan rumah tangga, pendidikan, sosialisasi anak dan penentu dalam usaha pertanian (memilih bibit, waktu tanam,
panen dll ), dukun beranak dan guru sibaso. Peranan wanita dalam adat hanyalah pelengkap, tidak bisa lepas atau berdiri
sendiri, sebab wanita tunduk terhadap peraturan adat rakut sitelu. Dalam pembangunan desa, pada umumnya wanita tidak
diajak dalam perencanaan, walaupun dalam pelaksanaannya di lapangan, wanita aktif berperan serta.
Mengenai penampilan wanita pedesaan, Drs Tridah Bangun (1986 : 156-157) mengemukakan:
 Gadis-gadis masih menunjukan cirri seperti leluhur mereka
 Aktif membantu ibunya bekerja keras dirumah dan diladang
 Tubuhnya kekar
 Betis atau kaki agak besar
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 4 of 128
 Leher pendek dan raut muka tegang
Penampilan ini berbeda dengan gadis-gadis Karo di kota-kota, yang umumnya tinggi semampai dan ramping, karena tidak
mengerjakan pekerjaan kasar atau berat seperti di desa.
Ada beberapa ungkapan yang maknanya mempertegas perwatakan Karo, yaitu :
 Gelar na-e ateku lang ( caranya itu yang tidak aku setujui)
 Adi perbahan buahna maka mbongkar batangna labo dalih (Karena buahnya lebat maka jebol atau tumbuh
batangnya tidak apalah).
 Keri pe lau pola e labo dalih gelah mejile penangketken kandi-kandina (Habispun nira itu diambil orang tidak
apalah, asalkan tempat nira tersebut diletakkan dengan baik pada tempatnya).
 Sada matawari pe ateku la ras ia (tidak ada kompromi)
 Arah bas padang rusakna (isi yang penting bukan kulit)
Kelimanya itu bermakna harga diri, keluhuran jiwa di atas segala-galanya, cara, norma, aturan dinomorsatukan, yang
lainnya termasuk ekonomi dinomorduakan. Begitu kadang idealismenya orang Karo ini, sehingga rela berkorban demi
menurutkan hati nuraninya. Hal ini relevan dengan sungai-sungai yang bersumber, berhulu dari dataran tinggi Tanah Karo
Simalem. Begitu berbeda dengan ungkapan Minang yang telah diterjemahkan :
Kalau mau buah yang masak harus pandai menghujung dahan
Menyuruk bukan berate pinggang yang patah, asalkan sampai disasaran.
Yak an apa saja kata orang asal kita mendapatkan apa yang kita inginkan
Ketiga ungkapan yang saling mendukung dan satu paket ini bermakna ; berhasil, dan mendapat. Tegasnya, ekonomi
adalah di atas segala-galanya. Cara, norma, aturan dinomorduakan. Sejajar dengan ini, ungkapan lama mengatakan : Cina
mati karena uang dan katanya lagi : ―yang penting adalah kucing itu bisa menangkap tikus, tidak peduli kucing itu berkurap,
kakinya patah dan sebagainya‖. Seperti menghalalkan seluruh cara . Maka itu, kalau kita bicara tentang ekonomi atau
dagang, bergurulah kita kepada Minang dan Cina.
Jawa lain lagi, mereka mengatakan rame in gawe seping pamrih, legowo, nerimo, tepa seliro. Maksudnya banyak berbuat
tanpa balas jasa, iklas, terima saja apa adanya dan tenggang rasa. Kalau dia diberi setengah gelas air minum,
diucapkannya : ―Syukur alhamdulilah‖. Bukan seperti kita orang Sumatera, termasuk orang Karo mengatakan : mana
setengah gelas lagi, mengapa tidak penuh dan seterusnya. Diakui, banyak persamaan Karo dan Jawa, lebih-lebih
mengenai harga diri dan tepa salira.
Tetapi orang Karo kurang pasrah dan kurang nerimo.
Ada lagi ungkapan yang mengatakan : Ola belasken kata situhuna, belaskenlah kata sitengteng, terjemahan bebasnya :
―Terbeloh-beloh kam muat Bapa Nandendu, jadilah manok si-beru-beru‖. Ini mengajak orang Karo itu untuk bersifat
diplomatis menghadapi sesuatu, pandai-pandai menyesuaikan diri, rendah hati seperti ayam yang sedang mengeram, diam
tidak bicara, tetapi nerpoh menerjang bila diganggu. Kelemahannya ialah kurang berterus terang dan agak tertutup seperti
yang telah kita sebut dimuka.
Kalau orang Jerman malu dikatakan pemalas, orang Belanda malu kalau tidak menabung, orang Jepang malu kalau tidak
menghargai seniornya, maka Indonesia, lebih-lebih etnis Karo, malu kalau tidak beradat.
Saat ini, individualisme, materialisme, sebahagian dari ciri-ciri modernisasi, sudah menjalar ke desa-desa. Demikianpun
mehangke, mereha, hampir-hampir hilang. Hampir-hampir pola kehidupan lama (tradisional) ditinggalkan. Sementara yang
baru belum melembaga, atau seperti adanya pergeseran nilai-nilai walaupun masih dalam batas-batas tertentu. Budaya
arih-arih, runggu nampaknya masih terpelihara, namun aron atau taron secara fisik mulai menurun.
Kelemahan orang karo pada umumnya adalah:
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 5 of 128
 Permela atau pemalu, umpamanya malu atau meminta, atau mindo malu minta tolong, malu minta maaf, malu
mengucapkan terimakasih, bahkan kalau tak berhasil, andai kata zaman dahulu bisa saja gantung diri.
 Pergelut atau mudah tersinggung
 Permenek atau sakit hati yang melekat, dan disimpan sendiri.
 Percian, berarti iri hati dan dengki
 Permbenceng/perbencit atau mudah merajuk
 Perdegil/puluk atau pelit dan kikir, yang ditandai dengan menanam uang perak ditanah pekarangan, diladang atau
dikolong rumah pada jaman dahulu.
Dalam tulisannya, Economic Activity among The Karo Batak of Indonesia : A case study of Economi Change BIES No.06
(hal 31-65) David Penny dan Masri Singarimbun (1967) menjelaskan bahwa sifat orang Karo yang suka menghemat dan
menabung, dulunya tidak ekonomis. Orang Karo mencari harta dan menabung hanya untuk berjaga-jaga dan prestise,
tetapi belakangan ini (mulai tahun 1960-an),barulah aktif mengadakan investasi.
Menurut Rita Kipp (1983) dalam bukunya: Beyond Samosir, Recent Studies of Batak Peoples of Sumatera, Ohio University
Center for International Studies South Asia Program, Ohio menyatakan, walaupun suku Karo dalam Literatur Anthropologi
dimasukkan sebagai salah satu suku dari 6 kelompok Batak yang dikenal sebagai system Patrilineal yang terkuat di
Indonesia, tetapi orang Karo lebih suka menamakan dirinya Orang Karo atau Batak Karo, bukan Batak.
Bahasa Batak Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara
pada wilayah Kepulauan Indonesia [1]. Istilah “Batak” sendiri mengacu pada sekumpulan kelompok yang memiliki kaitan
secara kultural yang mendiami sebagian besar wilayah pedalaman Provinsi Sumatera Utara yang berpusat di daerah
Danau Toba [2]. Tiap-tiap kelompok ini memiliki riwayat, tatanan sosial, serta bahasa yang khas satu sama lain.
Masyarakat Batak Toba yang berdiam di wilayah Pulau Samosir yang terletak di tengah-tengah Danau Toba serta wilayah
sebelah timur, selatan, dan tenggara dari danai ini telah menjadi bahan kajian linguistik dan antropologi selama lebih dari
satu abad lamanya. Bahasa yang mereka gunakan pertama kali mulai mendapat sorotan pada saat H.N. van der Tuuk
menerbitkan karya gramatika klasik pada tahun 1864 yang berjudul Tobasche Spraakkunst (kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris pada tahun 1971).
Di paruh abad terakhir ini terdapat sejumlah besar masyarakat Batak Toba yang bermigrasi ke seluruh penjuru wilayah dan
menumbuhkan sejumlah besar komunitas masyarakat Batak Toba di sepanjang pesisir timur wilayah Sumatera Utara, di
Aceh, dan juga di Pulau Jawa, maupun di berbagai wilayah suku Batak lain. Terutama sebagai akibat dari mobilitas sosial
mereka yang tinggi serta penyebaran yang meluas secara geografis, istilah ―Batak‖ ini telah hampir secara murni
diselaraskan dengan pengertian ―Batak Toba‖.
Selain kefasihan dalam berbahasa Karo, ciri identitas terpenting seorang Karo dapat diketahui dari nama marga yang
bersangkutan. Orang-orang Karo memiliki lima macam klan patrilineal atau marga, yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan,
Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap marga ini terpecah lagi menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara
keseluruhan dapat dijumpai sbanyak 83 submarga. Seluruh marga dan submarga ini merupakan nama-nama khas yang
ada pada masyarakat Karoo, naum sering juga tampak memiliki keterkaitan dengan nama-nama marga dari kelompok
masyarakat suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak Simalungun dan Batak Pakpak. Identitas dan subetnis
orang Batak ini pada umumnya dapat langsung diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan Sembiring adalah
marga khas Batak Karo, nama Saragih dan Damanik adalah marga khas Batak Simalungun, nama Bancin dan Berutu
adalah marga khas Batak Pakpak, dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat juga nama-nama marag yang sama dari asal
subetnis Batak lain, maka nama-nama tertentu semacam ini biasanya selalu disebutkan berikut dengan subetnisnya pada
saat memperkenalkan diri dengan anggota subentis Batak lain, misalnya ―Saya Purba Karo‖ atau ―Saya Purba Simalungun‖.
Seseorang yang berasal dari luar masyarakat Karo yang hendak bergabung ke dalam masyarakat Karo juga diberikan
nama marga patrilineal atau matrilineal Karo karena tanpa memiliki acuan identitas sosial semacam ini yang bersangkutan
mustahil berinteraksi dalam acara-acara penting di luar batas kegiatan sehari-hari.
Istilah ―Batak‖ umumnya tidak digunakan pada saat mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain kecuali jika mereka
sedang memperkenalkan diri mereka dengan orang-orang dari etnis lain (Sunda, Jawa, dll). Di kalangan masyarakat
mereka maupun subetnis Batak lain biasanya mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai ―kalak Karo‖ atau orang Karo.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 6 of 128
Sedangkan bahasa asli Karo mereka sebut sebagai ―cakap Karo‖ atau ―bahasa Karo―. Berbeda halnya dengan kaum
masyarakat Batak Pakpak dan Batak Simalungun yang bertetangga dengan mereka, masyarakat Karo belum begitu banyak
terpengaruh oleh bahasa dan budaya masyarakat Batak Toba. Selain dari kaum anak-anak dan kaum usia lanjut, orang-
orang Karo umumnya juga mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia.
2. Kehidupan Masyarakat Karo
Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat agraris yang religius. Hal ini dapat
dibuktikan dengan masih dijumpai aktivitas religi yang berhubungan dengan pertanian, seperti kerja tahun pada masa kini.
Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek. populasi penduduk belum
ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu
dua. Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.
1. Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan
kampung yang lain. Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja. Hanya pedagang
yang disebut dengan ―Perlanja Sira‖ yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)
2. Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah), ditambah menggembalakan ternak
bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita. Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa. Alat
dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya, walau ada
juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.
Dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena
hubungan perkawinan, dapat direduksi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak
beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu sama dengan sangkep
si telu, iket si telu, rakut si telu
13
. Pada suku-suku Batak yang lain seperti Toba, Mandailing, dan Angkola, maksud yang
sama dikenal dengan istilah dalihan na tolu. Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur
14
,
sedangkan si telu adalah tiga)
15
. Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat, menyusupi aspek-
aspek kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat, di dalam upacara-upacara,
hukum, dan di zaman yang lampau mempunyai arti yang penting di dalam kehidupan ekonomi dan politik
16
. Pada masa
sebelum penjajahan Belanda, juga termasuk ritual, dan segala aktifitas sosial. Di dalam sangkep si telu inilah terletak azas
gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya.
Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Tulisan ini
disadur dari makalah berjudul ―Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo : Kajian Sistem
Pengendalian Sosial‖ oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.
Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu tiga). Arti ini menunjuk
pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk
menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari
tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup).
Menurut Drs. Pertampilan Brahmana, konsep ini tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi juga ada dalam masyarakat
Toba dan Mandailing dengan istilah Dalihan Na Tolu juga masyarakat NTT dengan istilah Lika Telo
Unsur Daliken Sitelu ini adalah
 Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))
 Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))
 Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing))
Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada
situasi dan kondisi saat itu.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 7 of 128
 Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat
Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga
dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.
Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu
(kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya,
demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak
kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang
diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal
dilaksanakan atau tidak masalah lain.
Oleh Darwan Prints, kalimbubu diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang.
Kalimbubu dapat dibagi atas 2:
 Kalimbubu berdasarkan tutur
 Kalimbubu Bena-Bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga pemberi dara
kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara awal dari keluarga
itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi
dara sekurang-kurangnya tiga generasi.
 Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status
kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat
berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di
Tanah Karo.
 Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan)
 Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau
pihak clan (semarga) dari ibu kandung ego (paman kandung ego). (Petra : ego maksudnya
orang, objek yang dibicarakan)
 Kalimbubu I Perdemui atau (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua ego.
Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina dan sembuyaknya
dengan ketentuan bahwa si pemberi wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-
Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.
 Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak subclan pemberi anak dara
terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak subclan dari istri saudara laki-laki istri
ego.
 Kalimbubu Senina. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina dari
kalimbubu ego. Dalam pesta-pesta adat, kedudukannya berada pada golongan kalimbubu ego,
peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok subclan kalimbubu ego.
 Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan
kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon (akan dijelaskan pada
halaman-halaman selanjutnya) pemilik pesta.
Ada pun hak kalimbubu ini dalam struktur masyarakat Karo
 Dihormati oleh anakberunya
 Dapat memberikan perintah kepada pihak anakberunya
Tugas dan kewajiban dari kalimbubu
 Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya
 Memerintahkan pendamaian kepada anakberu yang saling berselisih
 Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 8 of 128
 Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam acara-acara adat
 Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda
mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang anggota anakberunya yang meninggal, yang menerima
seperti ini disebut Kalimbubu Simada Dareh.
Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada
dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang
 Anak Beru
Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints,
anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim
moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan
tersebut.
Anakberu dapat dibagi atas 2:
 Anakberu berdasarkan tutur
 Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara
bertingkat terus menerus
minimal tiga generasi.
 Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.
 Anakberu berdasarkan kekerabatan
 Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang
langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan
seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.
 Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama
karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang
sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini
anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus
dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan
mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah
Anakberu Jabu.
 Anakberu Menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan-
penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang
berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anakberu dari
pemilik acara adat.
 Anakberu Singikuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi saran,
petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan acara adat peran anakberu adalah yang paling penting. Anakberulah yang pertama datang
dan juga yang terakhir pada acara adat tersebut. Lebih lanjut tugas-tugasnya antara lain
 Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat.
 Menyiapkan hidangan pada pesta.
 Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.
 Menanggulangi sementara semua biaya pesta.
 Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda
kalimbubunya.
 Menjadwal pertemuan keluarga.Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak
kalimbubunya berduka cita.
 Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya.
 Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya,
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 9 of 128
Anakberu berhak untuk
 Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak.
 Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang dan disebut
morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang-
kenangan.
Selain itu juga karena pentingnya kedudukan anakberu, biasanya pihak kalimbubu menunjukkan kemurahan hati
dengan
 Meminjamkan tanah perladangan secara cuma-cuma kepada anakberunya.
 Memberikan hak untuk mengambil hasil hutan (dahulu karena pihak kalimbubu adalah pendiri kampung,
mereka mempunyai hutan sendiri di sekeliling desanya).
 Merasa bangga dan senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anakberunya. Ini akan
melanjutkan dan mempererat hubungan
kekerabatan yang sudah terjalin.
 Mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu menanti kelahiran
bayi atau lanjut usia.
 Membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anakberunya pada waktu pesta
besar di dalam clan anakberunya.
Adapun istilah-istilah yang diberikan kalimbubu, kepada anakberunya adalah
 Tumpak Perang, atau Lemba-lemba. Artinya adalah ujung tombak. Maksudnya, bila kalimbubunya ingin
pergi ke satu daerah, maka yang berada di depan sebagai pengaman jalan dan sebagai perisai dari
bahaya adalah pihak anakberu. Dalam bahasa lain anakberu sebagai tim pengaman jalan.
 Kuda Dalan (Kuda jalan/beban). Dahulu sebelum ada alat transportasi hanya kuda, untuk membawa
barang-barang atau untuk menyampaikan informasi dari satu desa ke desa lain, dipergunakanlah kuda.
Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat atau kenderaan yang dipakai kemana saja, termasuk untuk
berperang, untuk membawa barang-barang yang diperlukan pihak kalimbubunya atau untuk
menyampaikan berita tentang kalimbubunya, dan sekaligus sebagai hiasan bagi kewibawaan martabat
kalimbubunya.
 Piso Entelap (pisau tajam). Dalam pesta adat atau pekerjaan adat pisau tajam dipergunakan untuk
memotong daging atau kayu api atau untuk mendirikan teratak tempat berkumpul. Setiap anakberu harus
memiliki pisau yang yang demikian agar tangkas dan sempurna mengerjakan pekerjaan yang diberikan
kalimbubunya. Menjadi kebiasaan dalam tradisi Karo, pisau dari pihak kalimbubu yang meninggal dunia
diserahkan kepada anakberunya. Pisau ini disebut maneh-maneh, pemberiannya bertujuan agar
pekerjaan kalimbubu terus tetap dilanjutkan oleh penerimanya. Dalam pengertian lain dalam acara-acara
adat di dalam keluarga kalimbubu, anakberulah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut,
mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga jenis pekerjaan di atas, dikerjakan
tanpa mendapat imbalan materi apapun, maka anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya
dianggap tercela di mata masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam
lingkungan keluarga dari anakberu yang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai kutukan dari
arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu.


 Senina/Sembuyak
Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan.
Senina ini dapat dibagi dua :
 Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan (merga).
 Senina berdasarkan kekerabatan
 Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 10 of 128
 Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga
mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.
 Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga
dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan
(beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka
dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau
pendapat apabila tidak diminta.
 Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan
(bersembuyak).
Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah
organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar
tidak terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anakberu.
Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim),
tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas
sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu
rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya.
Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke
dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan.
Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu
subclan sama dengan saudara kandung.
Sembuyak dapat dibagi dua bagian
 Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen
(merga).
 Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:
 Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.
 Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung.
 Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.
Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian
merga didasarkan pada Merga Silima, yaitu ;
1. Ginting
2. Karo-Karo
3. Peranginangin
4. Sembiring
5. Tarigan
Sementara Sub Merga, dipakai di belakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub
Merga tersebut.
Adapun Merga dan Sub Merga serta sejarah, legenda, dan ceritanya adalah sebagai berikut:
1. Merga Ginting
Merga Ginting terdiri atas beberapa Sub Merga seperti :
o Ginting Pase
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 11 of 128
Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan
Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita
Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke
Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah
cerita tentang Beru Ginting Pase.
Ginting Munthe
Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta
Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe
telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali
lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune.
o Ginting Manik
Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging
terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba.
o Ginting Sinusinga
o Ginting Seragih
Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang
tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi.
o Ginting Sini Suka
Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo
dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan
Satu Ginting), yakni :
 Ginting Babo
 Ginting Sugihen
 Ginting Guru Patih
 Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)
 Ginting Beras
 Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)
 Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)
 Ginting Ajar Tambun
 Ginting Jadi Bata
Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br
Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau
sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte.
o Ginting Jawak
Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo.
o Ginting Tumangger
Marga ini juga ada di Pak Pak, yakni Tumanggor.
o Ginting Capah
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 12 of 128
Capah berarti tempat makan besar terbuat dari kayu, atau piring tradisional Karo.
2. Merga Karo-Karo
Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga, yaitu :
o Karo-Karo Purba
Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang,
seorang puteri umang dan seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga :
 Purba
Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata.
 Ketaren
Dahulu merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena
Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut
budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek
moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler (referensi K.E. Ketaren).
 Sinukaban
Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban..
Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :
 Karo-Karo Sekali
Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa.
 Sinuraya/Sinuhaji
Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung
Aji.
 Jong/Kemit
Merga ini mendirikan kampung Mulawari.
 Samura
 Karo-Karo Bukit
Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo
tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri
normal.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 13 of 128
o Karo-Karo Sinulingga
Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe.
Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan
kampong lingga. Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :
 Kaban
Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah,
 Kacaribu
Merga ini medirikan kampung Kacaribu.
 Surbakti
Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian
menjadi Merga Torong.
Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di
Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai Karo-Karo Ulun Jandi. Merga Lingga juga
terdapat di Gayo/Alas dan Pak Pak.
o Karo-Karo Kaban
Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan
menetap di Bintang Meriah dan Pernantin.
o Karo-Karo Sitepu
Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus
ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga
dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken.
Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken
menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu.
o Karo-Karo Barus
Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya
Sibelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus
mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di
Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut
Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring.
(Petra : Wuih, sejarah nenek moyang gw jelek juga, ya….)
o Karo-Karo Manik
Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik.
3. Merga Peranginangin
Merga Peranginangin terbagi atas beberapa sub merga, yakni :
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 14 of 128
o Peranginangin Sukatendel
Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian
bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi
menjadi :
 Peranginangin Kuta Buloh
Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong
serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.
 Peranginangin Jombor Beringen
Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar
ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.
 Peranginangin Jenabun
Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari
keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung
ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama
nahkoda tersebut tinggal.
o Peranginangin Kacinambun
Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun.
o Peranginangin Bangun
Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka
telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan
Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung
Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar
anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun
Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah,
Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung.
Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu
Karang bernama Sigenderang.
Merga ini juga pecah menjadi :
 Keliat
Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di
Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut
Keliat Sibayak Barus Jahe.
 Beliter
Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan
diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta
Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara
kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin
Beliter.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 15 of 128
o Peranginangin Mano
Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam
di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong.
o Peranginangin Pinem
Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama Enggang yang bersaudara dengan Lambing, nenek
moyang merga Sebayang dan Utihnenek moyang merga Selian di Pakpak.
o Sebayang
Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian
mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan
lain-lain. Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo/Alas.
o Peranginangin Laksa
Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar.
o Peranginangin Penggarun
Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional
suku Karo.
o Peranginangin Uwir
o Peranginangin Sinurat
Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta,
merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan
ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga
Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi,
lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai
perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda.
o Peranginangin Pincawan
Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan
orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya
disebut Pincawan.
o Peranginangin Singarimbun
Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari
Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun
kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjong Pulo)
sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga
Nderket.
o Peranginangin Limbeng
Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam
buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul Sejarah dan Kebudayaan Karo.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 16 of 128
o Peranginangin Prasi
Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut
budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika
orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru.
4. Merga Sembiring
Merga Sembiring secara umum membagi diri menjadi dua kelompok yaitu Sembiring yang memakan anjing dan
Sembiring yang berpantang memakan anjing.
o Sembiring Siman Biang (Sembiring yang memakan biang (anjing))
 Sembiring Kembaren
Menurut Pustaka Kembaren, asal-usul merga ini terdiri dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah
ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek
moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala, berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu
dengan membawa pisau kerajaan bernama Pisau Bala Bari. Keturunannya kemudian mendirikan
kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan. Dari sana kemudian menyebar ke Liang
Melas, saperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negerijahe, Gunong
Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah dan lain-lain. Merga ini juga tersebar luas di
Kab. Langkat saperti Lau Damak, Batu Erjong-Jong, Sapo Padang, Sijagat, dll.
 Sembiring Keloko
Menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu keturunan dengan Sembiring Kembaren. Merga
Sembiring Keloko tinggal di Rumah Tualang, sebuah desa yang sudah ditinggalkan antar Pola
Tebu dengan Sampe Raya. Merga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa
keluarga di Buah Raya dan Limang.
 Sembiring Sinulaki
Sejarah merga Sembiring Sinulaki dikatakan juga sama dengan sejarah Sembiring Kembaren,
karena mereka masih dalam satu rumpun. Merga Sinulaki berasal dari Silalahi.
 Sembiring Sinupayung
Merga ini menurut cerita bersaudara dengan Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma
Raja dan Negeri.
o Keempat merga ini boleh memakan anjing sehingga disebut Sembiring Siman Biang.
o Sembiring Singombak
Adalah kelompok merga Sembiring yang menghanyutkan abu-abu jenasah keluarganya yang telah
meninggal dunia dalam perahu kecil melalui Lau Biang (Sungai Wampu).
Adapun kelompok merga Sembiring Singombak tersebut adalah sebagai berikut :
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 17 of 128
 Sembiring Brahmana
Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India
yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu
Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan
Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya
kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa
Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan,
sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke
Limang.
 Sembiring Guru Kinayan
Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari
Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu
bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar
ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya
kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.
 Sembiring Colia
Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni kerajaan Cola di India.
Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.
 Sembiring Muham
Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari
merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia,
dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal
kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir,
ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).
 Sembiring Pandia
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari
kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.
 Sembiring Keling
Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan
mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau
dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya
terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di
Raja Berneh dan Juhar.
( Keling juga ada di Wikipedia yakni orang India yang berasal dari Kalingga, India)
 Sembiring Depari
Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan
(Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar
Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 18 of 128
kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang
lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.
 Sembiring Bunuaji
Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.
 Sembiring Milala
Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara
melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras
Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal
di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain.
Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.
 Sembiring Pelawi
Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga
Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep
Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau
Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki.
Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji,
Bekancan dan lain-lain.
 Sembiring Sinukapor
Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan
Sarintonu.
 Sembiring Tekang
Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya,
Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga
terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki
di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun
Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah
Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada
perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga.
5. Merga Tarigan
Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. Legenda Merga Tarigan dalam bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978 ) yang
menyebutkan merga Tarigan ini tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba sekarang.
Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat
banyak mengeluarkan darah. Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau. Cerita ini
menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes,
dan Tongtong Batu. Tiga orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu diserang
oleh burung Sigurda-Gurda berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan
guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut.
Sementara di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan. Ketika burung Sigurda-gurda
datang dan hendak menerkam anak gadis itu, maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep)
kepala burung garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi di balik dahan kayu.
Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 19 of 128
mungkin sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan anak-anak gadis di Tongging.
Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya
tersebut
Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini diberi nama menurut keahliannya
masing-masing, yakni ; Tarigan Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan Pernangkih-nangkih
(ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara
penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu.
Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya
adalah Tarigan (Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di Tongging dan
keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di
Simalungun. Beberapa generasi kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke Juhar,
yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak
mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng
adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama
rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita).
Adapun cabang-cabang dari merga Tarigan ini adalah sebagai berikut :
o Tarigan Tua
kampong asalnya di Purba Tua dekat Cingkes dan Pergendangen
o Tarigan Bondong
di Lingga
o Tarigan Jampang
di Pergendangen
o Tarigan Gersang
di Nagasaribu dan Beras Tepu
o Tarigan Cingkes
di Cingkes
o Tarigan Gana-gana
di Batu Karang ;
o Tarigan Peken
di Sukanalu dan Namo Enggang
o Tarigan Tambak
di Kebayaken dan Sukanalu
o Tarigan Purba
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 20 of 128
di Purba
o Tarigan Sibero
di Juhar, Kuta Raja, Keriahen Munte, Tanjong Beringen, Selakar, dan Lingga
o Tarigan Silangit
di Gunung Meriah (Deli Serdang)
o Tarigan Kerendam
di Kuala, Pulo Berayan dan sebagian pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana
o Tarign Tegur
di Suka
o Tarigan Tambun
di Rakut Besi dan Binangara
o Tarigan Sahing
di Sinaman
Elemen yang paling mendasar di dalam masyarakat Karo adalah merga atau marga, yang oleh banyak orang Karo diartikan
sebagai sesuatu yang ―berharga‖. Ada lima marga yang terdapat pada masyarakat Karo, yaitu: Karo-Karo, Sembiring,
Tarigan, Ginting, Perangin-angin, beserta sub-sub marga yang ada dalam masing-masing marga itu.
Dalam kesatuan lima marga itu (Merga Silima), itulah yang disebut orang Karo. Seorang anak laki-laki akan terus
mewariskan marga itu dari ayahnya. Seorang perempuan akan menyandang juga marga ayahnya sebagai beru
(perempuan), dan akan terus disandang sampai menikah. Di samping identitas marga dan beru, setiap orang Karo juga
memiliki bere-bere (marga yang diperoleh dari ibu/beru). Dua orang yang memiliki bere-bere yang sama dipandang sebagai
saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin yang sama) atau turang (dalam jenis
kelamin yang berbeda).
Yang mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat keputusan dan melakukan apa
saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup
yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang
sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sebagai contoh,
seseorang yang telah menikah dan memiliki anak, maka untuk memanggilnya tidak boleh lagi menyebut nama, tetapi nama
anaknya disebutkan. Jadi ia akan dipanggil sebagai bapak si ―anu‖. Ini sebagai sebuah tanda penghargaan, karena
seseorang yang sudah memiliki anak telah mendapatkan tuah(berkat). Dengan memanggil seperti itu berarti ia telah
dihormati. Banyak lagi panggilan-panggilan yang lain yang dibubuhkan kepada seseorang untuk menggantikan namanya
sesuai dengan posisinya dan juga usianya. Nama tidak lagi dipakai, itulah sebagai ungkapan hukum adat yang
diberlakukan.
Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan
melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain)
harus memanggil apa dan dalam posisi apa.
Di dalam keluarga, baik suami maupun istri pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga satu dan yang
lain, dan saling menghargai. Sikap seperti ini tumbuh dalam sistem ikatan penghormatan terhadap sangkep si telu yang
sudah disebutkan tadi.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 21 of 128
Budaya Ertutur
Untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur (ber-tutur) adalah salah
satu ciri orang Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya diawali dengan menanyakan
marga, kemudian bere-bere (marga ibu) seseorang yang juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka
kenal, bahkan mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk mengetahui tingkat kekerabatan tersebut.
Menurut Henry Guntur Tarigan
26
, tutur adalah sebuah pemeo Karo yang berbunyi ―Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe‖,
yang berarti ―kalau tidak pandai ber-tutur, takkan ada tempat ke mana pun‖. Namun, nampaknya pemeo ini akan lebih
terasa pada masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan.
Adapun melalui tutur seseorang dapat mengetahui tingkatannya dalam jenis-jenis sebagai berikut: bapa (bapak), nande
(ibu), mama (paman), mami (bibi/istri paman), bengkila (panggilan istri terhadap mertua laki-laki), bibi (panggilan istri
terhadap mertua perempuan), senina (saudara karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu), turang (laki-laki
terhadap saudara perempuan, atau perempuan sama berunya dengan marga seorang laki-laki), Impal (laki-laki yang bere-
bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo), silih (abang ipar atau adik ipar),
bere-bere (seorang yang memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere seorang lainnya), anak (anak), kempu (cucu),
ente (cicit), entah (buyut), turangku (hubungan yang dahulu tabu untuk berbicara langsung, misalnya antara istri kita
dengan suami dari saudara perempuan kita), agi (adik), kaka (abang laki-laki/perempuan), permen (sebutan mertua laki-
laki terhadap menantu perempuan), nini bulang (kakek), nini tudung/nondong (nenek), empung (kakek dari ayah atau
ibu) beru (nenek dari ayah atau ibu).
Budaya ertutur dalam masyarakat Karo terdiri dari enam lapis. Berikut ini penjelasan dari keenam lapis proses ertutur yang
dikenal di kalangan masyarakat Karo:
1. Marga/Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara
turun temurun bagi anak laki-laki). Sedangkan bagi anak wanita marga ayahnya disebut beru yang tidak
diwariskan bagi anaknya kemudian.
2. Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Bila ibu saya beru Karo, maka bere-
bere saya menjadi bere-bere Karo.
3. Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya.
4. Kempu (perkempun), adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu.
5. Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari
ayah).
6. Soler adalah nama keluraga yang diwarisi dari beru empong (nenek dari ibu)
29
.
Lazimnya, proses ertutur dalam masyarakat Karo yang dipakai oleh seseorang hanya sampai kepada lapis kedua.
Sedangkan pada lapis ketiga dan seterusnya hanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak
berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan marga atau beru yang pas, maka diusutlah sampai tingkat ke empat dan
enam.
Setiap orang yang bertemu dengan orang Karo atau menetap dan tinggal di masyarakat Karo, atau kawin dengan orang
Karo dari suku yang lain, untuk dapat membangun kekerabatan melalu proses ertutur ini akan dianugerahi atau dikenakan
beru atau marga tertentu. Setelah sistem kekerabatan dapat ditentukan dengan seorang Karo lainnya melalui ertutur ini,
maka jalinan hubungan kekerabatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga ikatan yang dikenal dengan istilah rakut si telu
(ikatan yang tiga), sebagaimana telah dijelaskan dalam butir (a).
Kemudian orang Karo juga mengenal istilah tutur si waluh yang sebenarnya kurang tepat artinya. Sebagaimana tentang
tutur sudah disinggung sebelumnya, tutur itu ada 23. Sedangkan yang disebut waluh (delapan) adalah sangkep nggeluh.
Jadi sebenarnya sangkep nggeluh si waluh (delapan kelengkapan hidup), yang merupakan pengembangan fungsi dari rakut
si telu30
.
Sangkep nggeluh si waluh itu antara lain adalah: pertama, pengembangan dari tegun kalimbubu adalah (1) puang
kalimbubu, dan (2) kalimbubu. Kedua, pengembangan dari tegun senina adalah: (1) senina, (2) sembuyak, (3) senina
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 22 of 128
sepemeren, (4) senina siparibanen. Ketiga, pengembangan dari tegun anak beru adalah: (1) anak beru dan (2) anak beru
menteri. Jadi jumlah keseluruhan menjadi 2+4+2=8. Itulah yang disebut sebagai sangkep nggeluh si waluh dalam
masyarakat Karo.
Budaya ertutur ini merupakan salah satu bentuk pengungkapan identitas Karo. Seseorang akan dikenal dengan baik kalau
ia mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekerabatan dalam ikatan keluarganya. Di samping itu, ia mampu mengenali
marga/beru-nya dan bere-bere-nya, sehingga ketika melakukan perkenalan dengan orang lain (ertutur), ia dapat
memposisikan dirinya. Berdasarkan pengalaman penulis saat melakukan penelitian, ataupun saat bergaul dengan pemuda-
pemuda di gereja, ketika proses ertutur ini dilakukan antara satu orang dengan yang lain, yang baru pertama kali bertemu,
secara cepat dan spontan salah satu atau kedua-duanya dari mereka mengatakan ―Aku enggak bisa ertutur!‖, (aku enggak
bisa berkenalan). Ini menandakan betapa perhatian terhadap hal-hal paling kecil, paling mendasar dalam identitas kekaroan
(yaitu masalah marga/beru) sudah tidak terlalu dipahami lagi. Ini jelas fenomena yang menunjukkan bahwa bentukan
identitas yang diinginkan oleh sebagian generasi muda bukanlah identitas yang kaku, rumit dan tidak populer seperti
―identitas kekaroan‖ (dalam pandangan mereka). Padahal kekhasan orang Karo salah satunya adalah pada proses ertutur
itu sendiri.
Namun, harapan masih tetap ada, mungkin saja sikap-sikap yang ditunjukkan oleh generasi muda (dari pandangan orang
tua terhadap orang muda yang diketahui penulis lewat wawancara) akibat dari ketidaktahuan, atau kurang sadarnya
pemuda/i Karo akan pentingnya nilai sebuah identitas. Mungkin saja kalau kesadaran mereka dibangkitakan, semangat
mereka akan bangkit pula untuk melestarikan, memelihara dan mengembangkan budayanya, sekalipun hal itu kelihatannya
rumit. Bukankah kepopulerannya akan sangat tergantung pada bagaimana cara kita memeliharanya?
BAB II
SEKILAS WILAYAH GEOGRAFI MASYARAKAT KARO
Masyarakat Karo sendiri bermukim di wilayah sebelah barat laut Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar 5.000
kilometer persegi yang secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan 3′30″ lintang utara serta 98′ dan 98′30″ bujur timur.
Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama sebagai berikut:
 Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaen Karo dan pusat administratifnya di kota
Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten Dairi
(khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan
Si Lima Kuta yang terletak di Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah pemukiman dataran
tinggi ini dengan nama Karo Gugung.
 Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah kecamatan dari Kabupaten Langkat dan Kabupaten
Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung selatan secara geografis ( namun tertinggi secara topografis).
Wilayah ini dimulai dari plato Tanah Karo yang membentang ke bawah hingga mencapai sekitar kampung-
kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur Batu, dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba,
Tiga Juhar, dan Gunung Meriah di sisi timur. Masyarakat Karo menyebut daerah ini dengan nama Karo Jahe
(Karo Hilir).
Wilayah dataran tinggi Tanah Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan dan tanah asli nenek moyang masyarakat Batak
Karo. Di wilayah ini, bahasa tidak banyak tersentuh oleh pengaruh-pengaruh luar dan ikatan kekerabatan serta kehidupan
tradisional masih terpelihara sangat kuat. Kebanyakan masyarakat dataran tinggi Karo hidup dari bercocok tanam kecil-kecil
dengan menanam padi dan sayur-sayuran untuk konsumsi sehari-hari serta berbagai tanam-tanaman komersial untuk
kebutuhan pasar domestik dan ekspor.
Wilayah pemukiman dataran rendah yang ada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang umumnya lebih
terorientasi pada produksi tanam-tanaman budidaya seperti karet dan kelapa sawit. Wilayah dataran rendah Karo ini lebih
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 23 of 128
banyak menyerap pengaruh masyarakat Melayu pesisir yang pada umumnya menganut agama Islam dant erkadang
mengharuskan mereka menyisihkan nama marga mereka sehingga hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara mereka
di dataran tinggi jadi terputus.
Sejarah Wilayah
Kerajaan Aru atau Haru adalah diperkirakan pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama
Kerajaan Aru disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai salah satu kerajaan taklukan Majapahit. Dalam
Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan
arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang.
[Lokasi Kerajaan Haru
Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru.
[1]
. Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang
berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan
lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan.
Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). [2]
Sejarah
Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya
penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295.
Negarakartagama menyebut Haru sebagai salah satu negara bawahan Majapahit.
Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13
[2]
. Kemungkinan penduduk Haru lebih dulu memeluk agama
Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires
[1]
. Terdapat indikasi
bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang
mengandung nama dan marga Karo.
[2]
Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada
Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali
mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru
menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan
baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu.
Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511
menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan
baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya.
Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan
raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu
negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak.
[1]
Catatan
Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya,
ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus
Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.[1]
Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan
kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16
kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor.
Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta
pada 1607. Dalam suratnya bertanggal tahun 1613 kemenangannya atas Haru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga
digantikan dengan nama Deli.
Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 24 of 128
Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya
Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya . Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan
Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga
mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13.
Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa,
pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah
menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi,
maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka
juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengkonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan
mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan
kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik,
kain sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96)
[2]
.
Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India.
[3]
.Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan
yang besar.
[1]
. Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat pedagang yang pada
masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan.
[3]
Haru memakai adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja
Pahlawan" dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya, dan unsur-unsur adat non-
Melayu (Batak/Karo) masih ada.
[1]
Menelusuri Jejak Kejayaan Kerajaan Aru
Oleh: Ery Soedewo dan R. Wahyu Oetomo
Bayangkan seusai pertama kali kita datang berkunjung ke suatu tempat, pasti akan tersimpan dalam ingatan kita beberapa
hal yang khas dari tempat itu.
Entah makanannya, keseniannya, adat kebiasaannya maupun sejarah beserta tinggalan-tinggalan kunonya sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari khasanah kebudayaan setempat. Kita ambil contohnya adalah, Yogyakarta dalam benak kita
mungkin akan tersimpan manis atau legitnya nasi gudeg, atau gemulai tarian tradisionalnya, serta lemah lembut tutur
masyarakatnya, dan tentu tidak akan terlewatkan adalah kemegahan candi-candi dari masa Mataram Kuno yang banyak
bertebaran di sana seperti Prambanan dan Borobudur.
Lalu bagaimana dengan Kota Medan ? Tentunya juga memiliki sejumlah kekhasan yang tidak akan mudah dilupakan oleh
para pengunjung baik dalam negeri maupun mancanegara. Sebut saja sajian kuliner khasnya yakni bika ambon, atau
rancaknya gerakan para penari Serampang Duabelas, maupun kelugasan tutur dan sikap warganya, dan tidak terlewatkan
adalah kemegahan Mesjid Raya Al-Mashun maupun keindahan Istana Maimun.
Sebagai sebuah kota besar, perjalanan sejarah Medan sebenarnya tidak kalah panjangnya dibanding sejumlah kota besar
lain di Indonesia. Jejak masa lalunya tidak terhenti pada keberadaan Mesjid Raya Al-Mashun atau Istana Maimun –yang
keduanya berasal dari akhir abad XIX dan awal abad XX M- saja. Sebab sejumlah data arkeologis menunjukkan embrio
kota besar ini dapat dirunut sedini abad ke-11 M, walaupun data historisnya merujuk pada abad ke-14 M. Embrio dimaksud
adalah sebuah kerajaan yang pernah sangat berpengaruh di kawasan Selat Malaka yang dalam sumber-sumber sejarah
dikenal sebagai Aru atau Haru.
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 25 of 128
Kilas Sejarah Aru
Kata Aru atau Haru merupakan nama dari suatu kerajaan yang keberadaannya telah disebut-sebut dalam berbagai sumber
tertulis baik lokal maupun mancanegara antara abad ke-14 M hingga abad ke-17 M. Sumber tertulis tertua yang
menyebutkan tentang Aru adalah yang berasal dari Prapanca, seorang pujangga istana Majapahit pada pertengahan abad
ke-14 M. Dalam pujasastra karyanya yang berjudul Desawarnana (Pemerincian/Deskripsi Negara) atau yang lebih dikenal
sebagai Negarakertagama Prapanca menyebutkan sejumlah nama tempat yang berada di Pulau Sumatera. Pada pupuh
ke-13 bait ke-1 disebutkannya antara lain ...ksoni ri Malayu, ... Kampe, Haru, athawe Mandahiling... yang artinya kurang
lebih ... terletak di bumi Malayu (penyebutan Pulau Sumatera kala itu) ...Kampai, Haru, Mandailing... .
Data tertulis berikutnya berasal dari awal abad ke-15 M yang merujuk pada laporan Ma Huan, seorang penerjemah muslim
China yang turut dalam armada penjelajahan samudera Laksamana Cheng Ho. Dalam karyanya yang berjudul Ying-Yai
Sheng-Lan (Survei Menyeluruh Terhadap Pantai-Pantai Samudera) disebutkan tentang A-lu (Aru) yang berbatasan dengan
Su-men-ta-la (Samudera-Pasai); penduduknya adalah kaum muslim yang bercocok tanam dan menangkap ikan sebagai
mata pencahariannya.
Memasuki abad ke-16 M, makin banyak sumber tertulis yang berkaitan dengan keberadaan Aru. Data dari masa tersebut
terutama berasal dari para penulis Eropa antara lain Tome Pires (orang Portugis) yang memerikan Aru di awal abad ke-16
M. Dalam karyanya yang berjudul Suma Oriental (ditulis antara tahun 1512 hingga 1515). Aru disebut sebagai suatu
kerajaan besar bahkan yang terbesar di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumatera. Rajanya adalah seorang
muslim yang hidup di daerah pedalaman yang banyak dialiri sungai. Walaupun pusat kerajaannya di pedalaman dia
memiliki armada lancara (nama sejenis perahu) yang digunakannya untuk merompak di lautan.
Namun kejayaan Aru sebagai kerajaan dengan armada lautnya yang disegani mulai terancam oleh perkembangan kerajaan
Aceh. Setelah penaklukan bandar Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, banyak pedagang yang mengalihkan
perniagaannya ke Pulau Sumatera. Salah satu kerajaan yang diuntungkan oleh
kondisi itu adalah kerajaan Aceh.
Seiring berkembangnya perekonomiannya, semakin besar pula pengaruh kerajaan
Aceh terhadap daerah sekelilingnya. Dalam pandangan geopolitik masa itu
keberadaan Aru sebagai kerajaan besar di pantai timur Sumatera jelas merupakan
pesaing potensial bagi bandar Aceh. Oleh karena itu maka keberadaan Aru sebagai
ancaman potensial bagi Aceh harus ditundukkan, dan hal itu terwujud ketika pada
tahun 1539 Aru diserang oleh Aceh. Menyadari kekuatan yang akan diserangnya bukanlah kerajaan kecil, kerajaan Aceh
mengerahkan segala daya yang dimilikinya termasuk satu kompi prajurit Turki yang terdiri dari 60 prajurit reguler dan 40
orang pasukan istimewa kesultanan Turki Utsmani (Ottoman) yang disebut Janisari.
Setelah bertahan sekian lama akhirnya benteng Aru berhasil ditembus pasukan Aceh. Orang-orang Aru yang selamat
dalam sumber-sumber tertulis lokal di antaranya adalah janda penguasa Aru yang berhasil meloloskan diri melalui alur
sungai Deli hingga menyeberangi Selat Malaka menuju Johor untuk memohon bantuan. Adakah tokoh perempuan ini (janda
penguasa Aru) yang dalam sumber-sumber tutur tradisional --Melayu maupun Karo-- disebut sebagai Puteri Hijau ?
Kiranya hingga ditemukannya bukti sejarah yang relevan hal itu masih terus dipertanyakan.
Jejak-jejak Kejayaan Aru
Perjalanan menelusuri jejak kerajaan Aru kita mulai dari sebuah situs purbakala yang terletak di sekitar objek wisata Danau
Siombak, daerah Medan Labuhan yang dikenal di kalangan arkeolog dan sejarawan sebagai situs Kota China.
Kota China adalah sebuah situs dengan bukti-bukti arkeologis yang sementara ini oleh para sejarawan dan ahli purbakala
dianggap merupakan jejak tertua yang dapat dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Aru. Keberadaan situs yang meliputi
kawasan seluas sekitar 10 hektar di daerah Medan Labuhan ini pertama kali dilaporkan oleh Edward McKinnon pada tahun
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 26 of 128
1972.
Beberapa kali penelitian arkeologis terhadap situs ini menghasilkan sejumlah data kepurbakalaan baik yang sifatnya
monumental maupun non-monumental. Tinggalan monumental dimaksud adalah sisa-sisa dari struktur suatu bangunan
bata yang diduga merupakan bangunan keagamaan Hindu atau Buddha. Tidak jauh dari tempat ditemukannya struktur bata
tersebut ditemukan 4 arca batu, yang terdiri dari 2 arca Buddha dan dan 2 arca lainnya menggambarkan sosok dewa-dewa
Hindu yakni Wisnu dan Laksmi.
Kini 3 dari keempat arca tersebut dapat dilihat di Museum Negeri Sumatera Utara di
Jalan H.M. Joni, Medan, sedangkan 1 arca Buddha disimpan oleh satu keluarga
Tionghoa tidak jauh dari Kota China sebagai sosok pujaan dalam pekong keluarga
tersebut.
Berdasarkan gaya seninya arca-arca dari Kota China tersebut tampak sangat
dipengaruhi oleh gaya seni Chola (India selatan). Masa kejayaan Kota China
diperkirakan berlangsung antara abad ke-11 M hingga abad ke-14 M, yang
didasarkan atas penemuan pecahan-pecahan keramik China dari masa Dinasti Sung (abad ke-11 hingga ke-13 M) hingga
Dinasti Yuan (abad ke-13 hingga ke-14 M).
Situs lain yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan Aru adalah situs Benteng Putri Hijau di daerah Deli Tua. Situs ini
secara administratif terletak di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang. Keberadaan bangunan
pertahanan yang dibuat dari timbunan tanah ini dapat dihubungkan dengan pemberitaan Tome Pires (dari awal abad ke-16
M) tentang pusat kerajaan Aru yang berada di pedalaman yang banyak dialiri sungai. Mungkin yang dimaksud oleh Pires
adalah aliran Sungai Deli yang di bagian hulu dikenal sebagai Sungai Petani.
Data lain yang memperkuat dugaan bahwa situs ini berasal dari kurun abad ke-15 adalah banyaknya pecahan keramik
berwarna putih biru dari masa Dinasti Ming (antara abad ke-14 M hingga abad ke-17 M). Data artefaktual lain yang
ditemukan di situs ini oleh masyarakat setempat adalah koin-koin emas beraksara Jawi (Arab Melayu) yang oleh para pakar
numismatik (mata uang kuno) dipastikan sebagai mata uang dari masa Kesultanan Aceh Darussalam atau yang dikenal
sebagai uang Dirham.
Setelah lelah menelusuri sisa-sisa Benteng Putri Hijau, kita dapat menyegarkan diri dengan kesegaran dan kesejukan air
dari sumber air yang oleh masyarakat dikenal sebagai Pancuran Putri Hijau dan Pancuran Gading. Kedua sumber air
tersebut hingga kini oleh sebagian anggota masyarakat dipercaya memiliki daya tertentu sehingga pada hari-hari tertentu
tempat ini ramai dikunjungi.
Refleksi Perjalanan
Konon, mahluk hidup yang mempunyai kemampuan menyimpan memori akan masa lalunya hanya 2 jenis –-keduanya dari
kelas mamalia-- yakni kita manusia dan yang lain adalah gajah. Para zoologist (ahli margasatwa) mengamati perilaku gajah
di Afrika yang pada masa-masa tertentu datang di suatu tempat yang merupakan tempat matinya salah satu anggota
kelompok mereka. Seolah manusia yang menziarahi makam keluarganya, gajah-gajah itu mengendus dan
menghembuskan tanah di sekitar tempat matinya anggota kelompok mereka. Lebih kompleks dari tingkah gajah itu adalah
perilaku manusia yang tidak saja mendatangi makam keluarganya, mereka juga sering mendatangi tempat-tempat yang
memiliki kaitan dengan sejarah masa lalu mereka. Entah tujuannya itu dilatarbelakangi kebutuhan religius maupun yang
sekedar rekreatif, keduanya berpangkal pada satu hal yakni kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri.
Mungkin sebagian orang menganggap perjalanan ini sebagai suatu kesiasiaan belaka, yang tidak membawa dampak dan
manfaat bagi kehidupan kini dan mendatang. Sepintas pendapat tersebut boleh jadi benar, namun coba kita telaah lebih
jernih dan tenang tentang kemajuan atau kemapanan negara-negara yang kita kenal sekarang. Secara asal saja silahkan
sebut barang 1, 2, atau 3 negara maju yang saat ini mapan secara perekonomiannya, seperti Amerika Serikat, Jepang, atau
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 27 of 128
jiran kita Singapura, semuanya memiliki apresiasi yang baik terhadap tinggalan budayanya termasuk di dalamnya tinggalan
purbakalanya.
Anda yang tidak sependapat dengan ide tersebut pasti akan berkilah, ‖Semua negara yang Anda sebutkan itu sudah
mapan secara ekonomi, oleh karena itu urusan perut tidak lagi menjadi prioritas bagi mereka, sehingga wajar jika mereka
memiliki perhatian terhadap hal-hal seperti itu.‖
Maaf bila jawaban berikut ini membuat telinga sebagian dari yang mempunyai pikiran seperti itu menjadi merah. Ketiga
negara itu dalam kondisi seperti saat ini salah satu sebabnya adalah karena sedari awal mereka memiliki kesadaran bahwa
segala bentuk warisan budaya bangsa yang dimilikinya adalah aset penting yang tidak saja memiliki arti penting secara
ideologis atau akademis, bahkan ke depan akan mendatangkan nilai ekonomis. Ambil contohnya Singapura, jejak
perjalanan masa lalu mereka hanya sedikit meninggalkan tinggalan fisik (situs maupun artefaktual), salah satunya adalah
situs dari masa Perang Dunia II yakni Bukit Chandu yang merupakan kubu pertahanan 1 kompi pasukan Inggris yang terdiri
dari orang-orang Melayu. Situs bersehaja yang berupa bukit kecil ini sepintas dilihat hanyalah bukit biasa namun karena
terdapat 1 museum kecil berkaitan dengan sejarahnya serta dikelola secara profesional, maka berdatanganlah para
wisatawan ke situs ini, dan ini berarti devisa (baca uang).
Benteng Putri Hijau jauh lebih memiliki potensi dibanding situs Bukit Chandu, sebab situs yang terletak di Deli Tua ini masih
menyisakan bentang fisiknya yang berupa benteng tanah, sejumlah artefak hasil temuan masyarakat, serta ditunjang pula
oleh keberadaan mata air Pancuran Putri Hijau dan Pancuran Gading makin memberi nilai tambah dibanding apa yang
dimiliki Singapura.
Bila ditinjau dari segi ideologis-akademis, ada yang bilang masa lalu kita termasuk di dalamnya sejarah perjalanan bangsa
ini adalah kaca spion bagi kita agar dalam melangkah kita lebih bijak dalam bertindak. Jika tidak ada benda itu ibarat kita
adalah --maaf-- babi hutan yang --memang-- selalu maju terus tapi dalam wujud yang paling brutal, sruduk sana sruduk sini
tanpa kendali. Adakah kita babi hutan ? jawabannya pasti tidak, kita adalah manusia yang memiliki pikiran sehingga punya
kebijakan sebelum bertindak.
Sarana untuk itu sebenarnya kita miliki namun belum sepenuhnya kita manfaatkan, sehingga sebagai bangsa sepertinya
kita selalu ceroboh dalam bertindak. Kekacauan dan ketidakpastian bangsa ini salah satu sebabnya adalah kita malas
untuk belajar dari masa lalu kita, padahal apa yang terjadi saat ini, menurut para sejarawan tidak lain adalah pengulangan
dari peristiwa-peristiwa di masa lalu, yang membedakannya hanyalah konteks masa dan budaya yang melingkupinya,
namun wujudnya pada dasarnya tidak jauh berbeda.
Tentu kita bukanlah bangsa babi hutan, juga bukan bangsa keledai (yang katanya tidak pernah terperosok di lubang yang
sama). Oleh karena itu marilah kita belajar dari masa lalu kita, dan tentunya untuk itu mari lestarikan jejak-jejak masa lalu
itu jangan sampai lenyap, sebab dari situlah kita bercermin.
••• Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Medan.
Situs Aru Harus Dilindungi
Medan, isekolah.org - Artefak berusia ratusan tahun peninggalan Kerajaan Aru kembali
ditemukan.Sejarawan,arkeolog,dan Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI) Sumut meminta pemerintah melindungi
kawasan itu.
‘‘Kami berkumpul di sini untuk meminta kepada pemerintah agar temuan-temuan benda bersejarah dilindungi. Begitu juga
dengan kawasan lokasi penemuan, untuk pengembangan hasil penelitian,‖papar Ketua ISMI Sumut Umar Zein kepada
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 28 of 128
wartawan ketika di Istana Maimun kemarin. Zein menyatakan, penemuan arkeologis di tanah Melayu harus mendapat
perhatian dari pemerintah.
Sebab, hal itu berkaitan dengan sejarah peradaban Melayu. Kerajaan Aru merupakan cikal bakal dari Kesultanan Deli.
Untuk itu, penting menggali kembali sisa-sisa peninggalan untuk penelitian lanjutan.Tanpa penelitian, etnis Melayu akan
kehilangan akar sejarahnya.
Dia juga mengimbau agar masyarakat di sekitar Sungai Bedra, Kelurahan Terjun Medan Marelan––tempat ditemukannya
peninggalan sejarah terakhir––turut menjaga dan melindungi penemuan tersebut. Pemerintah juga dapat memberikan
kompensasi ganti rugi bagi warga yang menemukan atau memiliki benda bersejarah.
Zein menambahkan, selain untuk kepentingan riset arkeologi dan disiplin ilmu lain,kawasan peninggalan sejarah dapat
juga dijadikan objek wisata sejarah dan budaya. ‘‘Jika pemerintah punya niat baik melindungi kawasan situs
bersejarah,banyak keuntungan yang dapat diperoleh,‖ ujarnya yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas (Kadis)
Kesehatan Kota Medan itu.
Arkeolog dari Balai Besar Arkeologi Medan Eri Sudewo memaparkan,dari penemuan yang mereka peroleh terdapat
beberapa benda peninggalan dua dinasti di China, yaitu Dinasti Song 1127–1279 masehi dan Yuan 1280–1360
masehi.Beberapa peninggalan keramik dan tembikar berasal dari daerah Guangdong, Minnan, dan Jingdezhen.
‘‘Kami menemukan beberapa peninggalan dari pengerukan Sungai Bedra tersebut, mulai tempayan, mangkuk, guci,
maupun buli-buli tempat menyimpan minyak kamper. Keseluruhannya kami identifikasi dari Dinasti Song
danYuan,‖paparnya. Ketua Pusat Studi Ilmu Sosial dan Sejarah (Pusiss) Universitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan
Azhari merasa yakin bahwa masih banyak peninggalan di kawasan tersebut yang belum tergali.
Apa yang ditemukan masyarakat dan tim arkeologi membuktikan masih banyak peninggalan sejarah yang perlu
terpendam. Karena itulah perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk segera memugar tempat tersebut. ‘‘Saya yakin kami
bisa menemukan prasasti sejarah jika dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, kawasan tersebut terlebih dulu harus
dilindungi dan dipugar,‖ungkapnya.
Menurut dia, jika prasasti tersebut ditemukan,dapat dipastikan dari mana zaman kerajaan benda kuno tersebut
berasal.Sebab, pecahan keramik dan guci yang ditemukan merupakan bukti bahwa tempat itu pernah menjadi pusat
perdagangan internasional.
Berdasarkan logika, jika terdapat pusat perdagangan, sangat dimungkinkan telah ada pemerintahan administratif
berbentuk kerajaan di wilayah tersebut.Namun, itu semua tidak akan pernah terungkap jika tidak ada dukungan dari
pemerintah.
Menurut beberapa pendapat, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti sama sekali.
Namun, Edmund E. McKinnon (Arkeolog Inggris) menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti
sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976
dan hasilnya adalah ‖Pulau Kompei‖. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur
hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau
maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang
menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai
diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei
Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli).
Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ‖Karo‖ yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini
mengklaim bahwa masyarakat Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau
demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah-
pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru
berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh
orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut
disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga
ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan
Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser
Disadur dari Internet by makaroAdit Page 29 of 128
bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo.
Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada
zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah
banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya,
nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada
tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ‖Sejarah Melayu‖ yang banyak menyebut
tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa
pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam.
Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis
serta carbon dating terhadap temuan keramik, ditemukannya batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic
tuff) dengan ornamentasi Jawi dimana nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli
Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo.
Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut
bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok.
Kemudian, dalam ‖Sejarah Melayu‖ juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah
berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat
dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ‖Sejarah
Melayu‖ tersebut adalah Kota Rentang.
Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal
ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah
Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ‖Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa,
amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik,
samana isun amukti Palapa‖. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ‖Gajah Mada:
Pahlawan Persatuan Nusantara ‖(2005).
Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada awal abad ke-13
yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR Batak Timur pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota
Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi
Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata
uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan
bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum jatuh ketangan Aceh. Sebagai dampak serbuan yang terus menerus
maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin
Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh.
Benteng Putri Hijau Deli Tua
Edmund Edwards McKinnon (2008) menulis ‖Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His
wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married
the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom‖. Selanjutnya, ―a sixteenth century account by
the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru
made her way to Johor and the events that transpired thereafter‖.
Seperti yang dicatat dalam literature sejarah bahwa laskar Aceh tidak saja menyerang Kerajaan ARU tetapi juga Portugis
dan kerajaan Johor yang merupakan sekutu ARU. Oleh karena itu, sejak kejatuhan ARU ketangan Aceh, maka centrum
kerajaan ARU yang baru berpusat di Deli Tua (Old Deli) serta dipimpin oleh ratu ARU yang didukung oleh Portugis dan
Kerajaan Johor. Dalam kisah Putri Hijau, ratu ARU inilah yang disebut sebagai Putri Hijau. Sedangkan nama ‘Putri Hijau‘ itu
sendiri menurut McKinnon ada dikenal dalam cerita rakyat di India Selatan.
Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang
masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam
bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di
Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto,
penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‗Panecitan‘ (Lau Patani) yang
dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan
kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah
meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis.
Temuan lainnya adalah mata uang Aceh (Dirham) yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih
kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok
pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang
Karo dulu-dan-sekarang

Contenu connexe

Tendances

Badan kerjasama ekonomi internasional
Badan kerjasama ekonomi internasionalBadan kerjasama ekonomi internasional
Badan kerjasama ekonomi internasionalArya Ningrat
 
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester Ganjil
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester GanjilSoal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester Ganjil
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester Ganjilahmad sururi
 
Agama dan kearifan lokal - H.A.MOESHODDIK
Agama dan kearifan lokal  - H.A.MOESHODDIKAgama dan kearifan lokal  - H.A.MOESHODDIK
Agama dan kearifan lokal - H.A.MOESHODDIKMushoddik Indisav
 
Visi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu Pemerintahan
Visi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu PemerintahanVisi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu Pemerintahan
Visi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu PemerintahanDadang Solihin
 
Power point toleransi
Power point toleransiPower point toleransi
Power point toleransigalihlatiano
 
Makalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistemMakalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistemZainal Abidin
 
Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,
Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,
Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,Eka Zay
 
Agama dan masyarakat
Agama dan masyarakatAgama dan masyarakat
Agama dan masyarakatnaufalando
 
Intelegensi, Kemampuan Berpikir, dan Emosi
Intelegensi, Kemampuan Berpikir, dan EmosiIntelegensi, Kemampuan Berpikir, dan Emosi
Intelegensi, Kemampuan Berpikir, dan EmosiMaya Sy
 
Konsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi BeragamaKonsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi BeragamaAnis Masykhur
 
Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesiaPancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesiaUnique Hartianti
 
PPT SRI HANDAYANTI.pptx
PPT SRI HANDAYANTI.pptxPPT SRI HANDAYANTI.pptx
PPT SRI HANDAYANTI.pptxTopazXpress
 
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEKPancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEKBwidow
 
PPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di Persia
PPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di PersiaPPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di Persia
PPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di Persiakacangtom
 
Demokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islamDemokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islamkanoalghifari
 

Tendances (20)

Badan kerjasama ekonomi internasional
Badan kerjasama ekonomi internasionalBadan kerjasama ekonomi internasional
Badan kerjasama ekonomi internasional
 
Perkembangan emosi remaja
Perkembangan emosi remajaPerkembangan emosi remaja
Perkembangan emosi remaja
 
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester Ganjil
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester GanjilSoal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester Ganjil
Soal dan jawaban UTS MK Pancasila Prodi Adm Negara Semester Ganjil
 
Makalah jihad
Makalah jihadMakalah jihad
Makalah jihad
 
Agama dan kearifan lokal - H.A.MOESHODDIK
Agama dan kearifan lokal  - H.A.MOESHODDIKAgama dan kearifan lokal  - H.A.MOESHODDIK
Agama dan kearifan lokal - H.A.MOESHODDIK
 
Visi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu Pemerintahan
Visi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu PemerintahanVisi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu Pemerintahan
Visi Indonesia, Karakteristik Bangsa dan Tantangan Ilmu Pemerintahan
 
Power point toleransi
Power point toleransiPower point toleransi
Power point toleransi
 
Makalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistemMakalah pancasila sebagai suatu sistem
Makalah pancasila sebagai suatu sistem
 
Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,
Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,
Pertemuan 1 Dasar-dasar Pendidikan Pancasila secara historis, filosofis,
 
Bab i.aliran filsafat
Bab i.aliran filsafatBab i.aliran filsafat
Bab i.aliran filsafat
 
Agama dan masyarakat
Agama dan masyarakatAgama dan masyarakat
Agama dan masyarakat
 
Makalah pancasila sebagai ideologi negara
Makalah pancasila sebagai ideologi negaraMakalah pancasila sebagai ideologi negara
Makalah pancasila sebagai ideologi negara
 
Intelegensi, Kemampuan Berpikir, dan Emosi
Intelegensi, Kemampuan Berpikir, dan EmosiIntelegensi, Kemampuan Berpikir, dan Emosi
Intelegensi, Kemampuan Berpikir, dan Emosi
 
Konsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi BeragamaKonsep Moderasi Beragama
Konsep Moderasi Beragama
 
Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesiaPancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia
Pancasila dalam sejarah perjuangan bangsa indonesia
 
PPT SRI HANDAYANTI.pptx
PPT SRI HANDAYANTI.pptxPPT SRI HANDAYANTI.pptx
PPT SRI HANDAYANTI.pptx
 
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEKPancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
Pancasila Sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK
 
PPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di Persia
PPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di PersiaPPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di Persia
PPT Peradaban Islam Pada Masa Daulah Syafawi di Persia
 
Demokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islamDemokrasi dalam islam
Demokrasi dalam islam
 
Ideologi
IdeologiIdeologi
Ideologi
 

Karo dulu-dan-sekarang

  • 1. MERGA SILIMA - RAKUT SITELU - TUTUR SIWALUH Untuk Kalangan Sendiri Tidak diperjualbelikan KARO – Dulu & Sekarang Disadur dari Internet Untuk Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser, Kalimantan Timur Oleh: makaroAdit
  • 2. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 1 of 128 [Type the document subtitle] BAB I PROFIL ORANG KARO 1. Orang Karo Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Sebagian besar masyarakat suku Karo enggan disebut sebagai orang Batak karena merasa berbeda. Suku Karo mempunyai sebutan sendiri untuk orang Batak yaitu Kalak Teba. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas. Dalam beberapa literatur tentang Karo, etimologi Karo berasal dari kata Haru. Kata Haru ini berasal dari nama kerajaan Haru yang berdiri sekitar abad 14 sampai abad 15 di daerah Sumatera Bagian Utara. Kemudian pengucapan kata Haru ini berubah menjadi Karo. Inilah diperkirakan awal terbentuknya nama Karo. Pada jaman keemasannya kekuasaan Kerajaan Haru/Karo mulai dari Aceh Besar sampai sungai Siak di Riau. Eksistensi Haru/Karo di Aceh dapat dipastikan dengan beberapa desa di sana yang berasal dari bahasa Karo. Misalnya Kuta Raja atau Banda Aceh sekarang, Kuta Binjei di Aceh Timur, Kuta Karang, Kuta Alam, Kuta Lubok, Kuta Laksamana Mahmud, Kuta Cane, dan lainnya. Dan terdapat suku karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Terdapat suku Karo di Aceh Besar yang dalam logat Aceh disebut Karee. Keberadaan suku Haru-Karo di Aceh ini diakui oleh H. Muhammad Said dalam bukunya "Aceh Sepanjang Abad", (1981). Beliau menekankan bahwa penduduk asli Aceh Besar adalah keturunan mirip Batak. Namun tidak dijelaskan keturunan dari batak mana penduduk asli tersebut. Sementara itu, H. M. Zainuddin dalam bukunya "Tarikh Aceh dan Nusantara" (1961) dikatakan bahwa di lembah Aceh Besar disamping Kerajaan Islam ada kerajaan Karo. Selanjunya disebutkan bahwa penduduk asli atau bumi putera dari Ke-20 Mukim bercampur dengan suku Karo yang dalam bahasa Aceh disebut Karee. Brahma Putra, dalam bukunya "Karo Sepanjang Zaman" mengatakan bahwa raja terakhir suku Karo di Aceh Besar adalah Manang Ginting Suka. Kelompok karo di Aceh kemudian berubah nama menjadi "Kaum Lhee Reutoih" atau kaum tiga ratus. Penamaan demikian terkait dengan peristiwa perselisihan antara suku Karo dengan suku Hindu di sana yang disepakati diselesaikan dengan perang tanding. Sebanyak tiga ratus (300) orang suku Karo akan berkelahi dengan empat ratus (400) orang suku Hindu di suatu lapangan terbuka. Perang tanding ini dapat didamaikan dan sejak saat itu suku Karo disebut sebagai kaum tiga ratus dan kaum Hindu disebut kaum empat ratus. Dikemudian hari terjadi pencampuran antar suku Karo dengan suku Hindu dan mereka disebut sebagai kaum Jasandang. Golongan lainnya adalah Kaum Imam Pewet dan Kaum Tok Batee yang merupakan campuran suku pendatang, seperti: Kaum Hindu, Arab, Persia, dan lainnya. Sifat dan perwatakan manusia Karo yang berwujud pada perilaku atau perbuatan dan pola pikirnya, yang masih melekat pada anggota masyarakat Karo pada umumnya adalah sebagai berikut: jujur, tegas dan berani, percaya diri, pemalu, tidak serakah dan tahu akan hak, mudah tersinggung dan dendam, berpendirian tetap dan pragmatis, sopan, jaga nama keluarga dan harga diri, rasional dan kritis, mudah menyesuaikan diri, gigih mencari ilmu, tabah, beradat, suka membantu dan menolong, pengasih dan hemat, percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di balik sifat-sifat baik di atas, masih ada sifat lain yang juga terdapat di dalam masayarakat Karo seperti anceng, cian, cikurak, yang merupakan sifat jelek yang dimiliki orang Karo, termasuk merupakan kritik terhadap sikap hidup orang Karo yang hendak mencelakakan sesamanya. Kalau dalam istilah orang Manado kita kenal baku cungkel. Umumnya sikap ini muncul oleh karena perasaan iri, motif dendam, atau atau perasaan kurang senang. Sifat jelek seperti ini dapat dipastikan tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi semua suku bangsa yang ada di Indonesia, bahkan suku bangsa di dunia memiliki sifat yang saling menjatuhkan, seperti yang juga diungkapkan oleh Sartre homo homini lupus. Istilah ―cian‖ dalam bahasa Karo berarti iri atau dengki. Yang terdekat dari sifat ini adalah cemburu. Sifat ini biasanya selalu mengarah kepada hal-hal yang tidak baik, oleh karena tujuannya adalah merusak. Hal ini mestinya dapat dihilangkan dari setiap pikiran dan sikap manusia. Paling tidak berusaha untuk mengarahkan diri pada hal-hal yang tidak merugikan, atau lebih positif bersaing secara sehat.
  • 3. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 2 of 128 Masih ada dua sifat yang juga bersemi di atara orang-orang Karo, yang sebenarnya juga kurang bermanfaat, yaitu kebiasaan mengata-ngatai orang lain (menjelek-jelekan orang lain) secara negatif yang dikenal dalam bahasa Karo dengan istilah ―cekurak‖, dan satu lagi adalah istilah ―anceng‖, yaitu melakukan gangguan atau kendala bagi sesuatu pekerjaan orang lain dengan niat merusak 35 . Untuk membentengi diri dari sifat-sifat semacam ini, hendaknya insan Karo mengubah pola pikir untuk dapat menerima sebuah keadaan dengan terbuka. Hal ini bisa dilakukan dengan menambah wawasan (belajar dari orang lain) dalam bangku pendidikan, atau juga mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga dapat hidup saling mengasihi. Ini berarti kemampuan penguasan diri terhadap naluri merusak (destruktif), juga pemanusiawian apa-apa yang membuatnya menjadi liar, brutal dan mau berkuasa liar Pada seminar Adat istiadat Karo tahun 1977 (1983 : 1-2) menyimpulkan mengenai sifat orang Karo ada 6 macam yaitu : 1. Tabah 2. Beradat 3. Suka membantu dan menolong 4. Pengasih dan hemat 5. Dendam 6. Mengetahui harga diri Enam sifat ini ( tidak diiringi pembahasan) ditambah menjadi 9 macam dalam buku yang ditulis oleh Djaja S. Meliala, S.H. dan Aswin Perangin-angin, S.H. (1978 :1-2) yaitu dengan tambahan, jujur dan berani, hormat, sopan, dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pembahasan mengenai sifat-sifat orang Karo yang relatif baru adalah dalam buku Manusia Karo oleh Drs. Tridah Bangun (1986 : 155-171 ) yang mengemukakan 15 macam sifat dan watak orang Karo dikemukakan dalam satu bab tersendiri), yaitu : 1. Jujur 2. Tegas 3. Berani 4. Percaya diri 5. Pemalu 6. Tidak serakah 7. Mudah tersinggung 8. Berpendirian teguh 9. Sopan 10. Jaga nama baik diri dan keluarga 11. Rasional dan kritis 12. Mudah menyesuaikan diri 13. Gigih mencari pengetahuan 14. Pragmatis 15. Iri, cemburu Sifat-sifat orang Karo yang dikemukakan di atas adalah berdasar pendapat ‗orang dalam‘ yaitu orang Karo sendiri. Jauh sebelum sifat-sifat tersebut diuraikan oleh penulisnya, seorang penulis barat yaitu Jhon Anderson tahun 1823 menulis mengenai orang Karo mempunyai sifat-sifat ; rajin, pelit, senang harta, kerja keras, tekun dan tidak suka pamer. Orang Batak Karo yang rajin, bersifat kikir dan senang pada harta itu, telah mendorong mereka untuk kerja keras berusaha sepanjang hari...... Karena kerajinannya dan ketekunannya, mampu mengumpulkan uang dalam jumlah besar dengan tidak memamerkan diri dan kekayaannya‘ (Reid, 1987 D.H. Penny dan Masri Singarimbun (1967 :6) menjelaskan, sifat kikir yaitu hemat dan suka menabung, dulunya adalah tidak ekonomis. Orang Karo mencari harta dan menabung hanya untuk berjaga-jaga dan demi prestise, tetapi belakangan (mulai tahun 1960-an ) barulah aktif mengadakan investasi untuk
  • 4. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 3 of 128 Hal – hal yang produktif. Mengenai keadaan fisik orang Karo, berdasar pengamatan khusus terhadap orang yang telah uzur (umur 75 sd 100 tahun ), Drs Tridah Bangun (1986 :155-156) mengemukakan:  Tinggi rata-rata 150-160 cm  Rambut hitam antara lurus dan bergelombang  Mata biasa antara sipit dan miring  Wajah agak bundar mirip raut muka bangsa mongol  Hidung agak pesek  Bibir tebal, lebar  Kulit sawo matang Namun dijelaskan pula, bahwa saat ini keadaan fisik tersebut telah berubah, telah hampir sama dengan keadaan fisik suku bangsa Indonesia lainnya, sukar membedakannya sepintas lalu. Hal ini dibenarkan oleh Masri Singarimbun (1989), yang mengemukakan bahwa : Nama-namanya sudah berubah dari Batu, Gajah, Malem, Bulan, Kade, Kursi, Meja, Kamar menjadi Regina, Bertalysa, Lita, Siska, dan laki – laki sangat berubah. Mengenai wanita yang lebih banyak jumlahnya dari pria di Kabupaten Karo, dalam cerita rakyat sering berperan sebagai pemegang peranan utama. Berdasar cerita Beru Ginting Pase, Beru Rengga Kuning dan dari Telu Turi-turin si Adi, oleh Ngukumi Barus dan Masri Singarimbun (1988) disimpulkan, wanita Karo adalah:  Mempunyai kepribadian yang tangguh  Menjadi juru selamat keluarga yang tangguh  Tokoh yang sanggup mengambil keputusan yang menentukan  Pintar an bijaksana  Aktif dalam percintaan  Tidak pasrah dalam menunggu  Penggorbanan yang tinggi terhadap saudara  Bukan tampil sebagai makhluk yang lembut, halus dan pemaaf. Tetapi sebaliknya Gambaran wanita Karo yang jadi kenyataan memang sangat aktif dalam kehidupan ekonomi. Tetapi dalam banyak hal, jauh berbeda dengan cerita rakyat tersebut, seperti dikemukakan oleh Ny. Wallia Keliat Di daerah pedesaan Karo, wanita selain bertugas sebagai istri dan ibu, juga tulang punggung dalam produksi hasil pertanian. Sikap tradisional turun temurun sebagai pengaruh di adat dan kebudayaan Karo terhadap wanita, mempunyai pengaruh yang besar pada wanita pedesaan itu sendiri, yang cenderung untuk menerima posisi mereka yang lebih rendah, kurang percaya diri, bergantung pada kaum pria dalam mengambil keputusan, dan tidak berani mengeluarkan pendapat sendiri. Hal ini diterima oleh wanita itu dengan sangat biasa sekali, bukan sesuatu yang sangat merugikan ataupun sesuatu yang perlu dirubah. Reh Malem Sitepu (1986 : 24-25 ) mengemukakan, bahwa wanita Karo secara tradisional mempunyai peranan yang sangat penting dan peranan yang tidak penting. Dalam banyak hal, wanita adalah penentu kebijaksanaan seperti dalam hal kebersihan rumah tangga, pendidikan, sosialisasi anak dan penentu dalam usaha pertanian (memilih bibit, waktu tanam, panen dll ), dukun beranak dan guru sibaso. Peranan wanita dalam adat hanyalah pelengkap, tidak bisa lepas atau berdiri sendiri, sebab wanita tunduk terhadap peraturan adat rakut sitelu. Dalam pembangunan desa, pada umumnya wanita tidak diajak dalam perencanaan, walaupun dalam pelaksanaannya di lapangan, wanita aktif berperan serta. Mengenai penampilan wanita pedesaan, Drs Tridah Bangun (1986 : 156-157) mengemukakan:  Gadis-gadis masih menunjukan cirri seperti leluhur mereka  Aktif membantu ibunya bekerja keras dirumah dan diladang  Tubuhnya kekar  Betis atau kaki agak besar
  • 5. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 4 of 128  Leher pendek dan raut muka tegang Penampilan ini berbeda dengan gadis-gadis Karo di kota-kota, yang umumnya tinggi semampai dan ramping, karena tidak mengerjakan pekerjaan kasar atau berat seperti di desa. Ada beberapa ungkapan yang maknanya mempertegas perwatakan Karo, yaitu :  Gelar na-e ateku lang ( caranya itu yang tidak aku setujui)  Adi perbahan buahna maka mbongkar batangna labo dalih (Karena buahnya lebat maka jebol atau tumbuh batangnya tidak apalah).  Keri pe lau pola e labo dalih gelah mejile penangketken kandi-kandina (Habispun nira itu diambil orang tidak apalah, asalkan tempat nira tersebut diletakkan dengan baik pada tempatnya).  Sada matawari pe ateku la ras ia (tidak ada kompromi)  Arah bas padang rusakna (isi yang penting bukan kulit) Kelimanya itu bermakna harga diri, keluhuran jiwa di atas segala-galanya, cara, norma, aturan dinomorsatukan, yang lainnya termasuk ekonomi dinomorduakan. Begitu kadang idealismenya orang Karo ini, sehingga rela berkorban demi menurutkan hati nuraninya. Hal ini relevan dengan sungai-sungai yang bersumber, berhulu dari dataran tinggi Tanah Karo Simalem. Begitu berbeda dengan ungkapan Minang yang telah diterjemahkan : Kalau mau buah yang masak harus pandai menghujung dahan Menyuruk bukan berate pinggang yang patah, asalkan sampai disasaran. Yak an apa saja kata orang asal kita mendapatkan apa yang kita inginkan Ketiga ungkapan yang saling mendukung dan satu paket ini bermakna ; berhasil, dan mendapat. Tegasnya, ekonomi adalah di atas segala-galanya. Cara, norma, aturan dinomorduakan. Sejajar dengan ini, ungkapan lama mengatakan : Cina mati karena uang dan katanya lagi : ―yang penting adalah kucing itu bisa menangkap tikus, tidak peduli kucing itu berkurap, kakinya patah dan sebagainya‖. Seperti menghalalkan seluruh cara . Maka itu, kalau kita bicara tentang ekonomi atau dagang, bergurulah kita kepada Minang dan Cina. Jawa lain lagi, mereka mengatakan rame in gawe seping pamrih, legowo, nerimo, tepa seliro. Maksudnya banyak berbuat tanpa balas jasa, iklas, terima saja apa adanya dan tenggang rasa. Kalau dia diberi setengah gelas air minum, diucapkannya : ―Syukur alhamdulilah‖. Bukan seperti kita orang Sumatera, termasuk orang Karo mengatakan : mana setengah gelas lagi, mengapa tidak penuh dan seterusnya. Diakui, banyak persamaan Karo dan Jawa, lebih-lebih mengenai harga diri dan tepa salira. Tetapi orang Karo kurang pasrah dan kurang nerimo. Ada lagi ungkapan yang mengatakan : Ola belasken kata situhuna, belaskenlah kata sitengteng, terjemahan bebasnya : ―Terbeloh-beloh kam muat Bapa Nandendu, jadilah manok si-beru-beru‖. Ini mengajak orang Karo itu untuk bersifat diplomatis menghadapi sesuatu, pandai-pandai menyesuaikan diri, rendah hati seperti ayam yang sedang mengeram, diam tidak bicara, tetapi nerpoh menerjang bila diganggu. Kelemahannya ialah kurang berterus terang dan agak tertutup seperti yang telah kita sebut dimuka. Kalau orang Jerman malu dikatakan pemalas, orang Belanda malu kalau tidak menabung, orang Jepang malu kalau tidak menghargai seniornya, maka Indonesia, lebih-lebih etnis Karo, malu kalau tidak beradat. Saat ini, individualisme, materialisme, sebahagian dari ciri-ciri modernisasi, sudah menjalar ke desa-desa. Demikianpun mehangke, mereha, hampir-hampir hilang. Hampir-hampir pola kehidupan lama (tradisional) ditinggalkan. Sementara yang baru belum melembaga, atau seperti adanya pergeseran nilai-nilai walaupun masih dalam batas-batas tertentu. Budaya arih-arih, runggu nampaknya masih terpelihara, namun aron atau taron secara fisik mulai menurun. Kelemahan orang karo pada umumnya adalah:
  • 6. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 5 of 128  Permela atau pemalu, umpamanya malu atau meminta, atau mindo malu minta tolong, malu minta maaf, malu mengucapkan terimakasih, bahkan kalau tak berhasil, andai kata zaman dahulu bisa saja gantung diri.  Pergelut atau mudah tersinggung  Permenek atau sakit hati yang melekat, dan disimpan sendiri.  Percian, berarti iri hati dan dengki  Permbenceng/perbencit atau mudah merajuk  Perdegil/puluk atau pelit dan kikir, yang ditandai dengan menanam uang perak ditanah pekarangan, diladang atau dikolong rumah pada jaman dahulu. Dalam tulisannya, Economic Activity among The Karo Batak of Indonesia : A case study of Economi Change BIES No.06 (hal 31-65) David Penny dan Masri Singarimbun (1967) menjelaskan bahwa sifat orang Karo yang suka menghemat dan menabung, dulunya tidak ekonomis. Orang Karo mencari harta dan menabung hanya untuk berjaga-jaga dan prestise, tetapi belakangan ini (mulai tahun 1960-an),barulah aktif mengadakan investasi. Menurut Rita Kipp (1983) dalam bukunya: Beyond Samosir, Recent Studies of Batak Peoples of Sumatera, Ohio University Center for International Studies South Asia Program, Ohio menyatakan, walaupun suku Karo dalam Literatur Anthropologi dimasukkan sebagai salah satu suku dari 6 kelompok Batak yang dikenal sebagai system Patrilineal yang terkuat di Indonesia, tetapi orang Karo lebih suka menamakan dirinya Orang Karo atau Batak Karo, bukan Batak. Bahasa Batak Karo adalah bentuk bahasa Austronesia Barat yang digunakan di daerah Pulau Sumatera sebelah utara pada wilayah Kepulauan Indonesia [1]. Istilah “Batak” sendiri mengacu pada sekumpulan kelompok yang memiliki kaitan secara kultural yang mendiami sebagian besar wilayah pedalaman Provinsi Sumatera Utara yang berpusat di daerah Danau Toba [2]. Tiap-tiap kelompok ini memiliki riwayat, tatanan sosial, serta bahasa yang khas satu sama lain. Masyarakat Batak Toba yang berdiam di wilayah Pulau Samosir yang terletak di tengah-tengah Danau Toba serta wilayah sebelah timur, selatan, dan tenggara dari danai ini telah menjadi bahan kajian linguistik dan antropologi selama lebih dari satu abad lamanya. Bahasa yang mereka gunakan pertama kali mulai mendapat sorotan pada saat H.N. van der Tuuk menerbitkan karya gramatika klasik pada tahun 1864 yang berjudul Tobasche Spraakkunst (kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1971). Di paruh abad terakhir ini terdapat sejumlah besar masyarakat Batak Toba yang bermigrasi ke seluruh penjuru wilayah dan menumbuhkan sejumlah besar komunitas masyarakat Batak Toba di sepanjang pesisir timur wilayah Sumatera Utara, di Aceh, dan juga di Pulau Jawa, maupun di berbagai wilayah suku Batak lain. Terutama sebagai akibat dari mobilitas sosial mereka yang tinggi serta penyebaran yang meluas secara geografis, istilah ―Batak‖ ini telah hampir secara murni diselaraskan dengan pengertian ―Batak Toba‖. Selain kefasihan dalam berbahasa Karo, ciri identitas terpenting seorang Karo dapat diketahui dari nama marga yang bersangkutan. Orang-orang Karo memiliki lima macam klan patrilineal atau marga, yaitu Karo-karo, Ginting, Tarigan, Sembiring, dan Peranginangin. Tiap-tiap marga ini terpecah lagi menjadi 13 hingga 18 submarga, sehingga secara keseluruhan dapat dijumpai sbanyak 83 submarga. Seluruh marga dan submarga ini merupakan nama-nama khas yang ada pada masyarakat Karoo, naum sering juga tampak memiliki keterkaitan dengan nama-nama marga dari kelompok masyarakat suku-suku Batak lain, khususnya masyarakat Batak Simalungun dan Batak Pakpak. Identitas dan subetnis orang Batak ini pada umumnya dapat langsung diketahui dari nama marganya, misal marga Tarigan dan Sembiring adalah marga khas Batak Karo, nama Saragih dan Damanik adalah marga khas Batak Simalungun, nama Bancin dan Berutu adalah marga khas Batak Pakpak, dan sebagainya. Dalam hal ini terdapat juga nama-nama marag yang sama dari asal subetnis Batak lain, maka nama-nama tertentu semacam ini biasanya selalu disebutkan berikut dengan subetnisnya pada saat memperkenalkan diri dengan anggota subentis Batak lain, misalnya ―Saya Purba Karo‖ atau ―Saya Purba Simalungun‖. Seseorang yang berasal dari luar masyarakat Karo yang hendak bergabung ke dalam masyarakat Karo juga diberikan nama marga patrilineal atau matrilineal Karo karena tanpa memiliki acuan identitas sosial semacam ini yang bersangkutan mustahil berinteraksi dalam acara-acara penting di luar batas kegiatan sehari-hari. Istilah ―Batak‖ umumnya tidak digunakan pada saat mereka saling memperkenalkan diri satu sama lain kecuali jika mereka sedang memperkenalkan diri mereka dengan orang-orang dari etnis lain (Sunda, Jawa, dll). Di kalangan masyarakat mereka maupun subetnis Batak lain biasanya mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai ―kalak Karo‖ atau orang Karo.
  • 7. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 6 of 128 Sedangkan bahasa asli Karo mereka sebut sebagai ―cakap Karo‖ atau ―bahasa Karo―. Berbeda halnya dengan kaum masyarakat Batak Pakpak dan Batak Simalungun yang bertetangga dengan mereka, masyarakat Karo belum begitu banyak terpengaruh oleh bahasa dan budaya masyarakat Batak Toba. Selain dari kaum anak-anak dan kaum usia lanjut, orang- orang Karo umumnya juga mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di Indonesia. 2. Kehidupan Masyarakat Karo Masyarakat Karo merupakan masyarakat yang sejak dahulu dikenal sebagai masyarakat agraris yang religius. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih dijumpai aktivitas religi yang berhubungan dengan pertanian, seperti kerja tahun pada masa kini. Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek. populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua. Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai. 1. Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain. Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja. Hanya pedagang yang disebut dengan ―Perlanja Sira‖ yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang) 2. Pekerjaan yang dilakukan hanyalah kesawah dan keladang (kujuma kurumah), ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita. Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa. Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya, walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran. Dalam hubungan kekerabatan pada masyarakat Karo, baik berdasarkan pertalian darah maupun pertalian karena hubungan perkawinan, dapat direduksi menjadi tiga jenis kekeluargaan, yaitu: kalimbubu, senina atau sembuyak, dan anak beru, yang biasanya disimpulkan dalam banyak istilah, tetapi maksudnya sama yaitu: daliken si telu sama dengan sangkep si telu, iket si telu, rakut si telu 13 . Pada suku-suku Batak yang lain seperti Toba, Mandailing, dan Angkola, maksud yang sama dikenal dengan istilah dalihan na tolu. Daliken si telu (daliken adalah tungku batu tempat memasak di dapur 14 , sedangkan si telu adalah tiga) 15 . Hubungan antara ketiganya tidak dapat dipisahkan di dalam hal adat, menyusupi aspek- aspek kehidupan secara mendalam, menentukan hak-hak dan kewajiban di dalam masyarakat, di dalam upacara-upacara, hukum, dan di zaman yang lampau mempunyai arti yang penting di dalam kehidupan ekonomi dan politik 16 . Pada masa sebelum penjajahan Belanda, juga termasuk ritual, dan segala aktifitas sosial. Di dalam sangkep si telu inilah terletak azas gotong-royong, dan musyawarah dalam arti kata yang sedalam-dalamnya. Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo atau sering disebut Daliken Sitelu atau Rakut Sitelu. Tulisan ini disadur dari makalah berjudul ―Daliken Si Telu dan Solusi Masalah Sosial Pada Masyarakat Karo : Kajian Sistem Pengendalian Sosial‖ oleh Drs. Pertampilan Brahmana, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si = yang, Telu tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api (memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep nggeluh (kelengkapan hidup). Menurut Drs. Pertampilan Brahmana, konsep ini tidak hanya ada pada masyarakat Karo, tetapi juga ada dalam masyarakat Toba dan Mandailing dengan istilah Dalihan Na Tolu juga masyarakat NTT dengan istilah Lika Telo Unsur Daliken Sitelu ini adalah  Kalimbubu (Hula-hula (Toba), Mora (Mandailing))  Sembuyak/Senina (Dongan sabutuha (Toba), Kahanggi (Mandailing))  Anak Beru (Boru (Toba, Mandailing)) Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik sebagai kalimbubu, senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.
  • 8. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 7 of 128  Kalimbubu Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain. Oleh Darwan Prints, kalimbubu diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang. Kalimbubu dapat dibagi atas 2:  Kalimbubu berdasarkan tutur  Kalimbubu Bena-Bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi anak dara awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara sekurang-kurangnya tiga generasi.  Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun. Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.  Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan)  Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah, atau pihak clan (semarga) dari ibu kandung ego (paman kandung ego). (Petra : ego maksudnya orang, objek yang dibicarakan)  Kalimbubu I Perdemui atau (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak kelompok dari mertua ego. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena- Bena dan Kalimbubu Si Mada Dareh.  Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak subclan pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak subclan dari istri saudara laki-laki istri ego.  Kalimbubu Senina. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur senina dari kalimbubu ego. Dalam pesta-pesta adat, kedudukannya berada pada golongan kalimbubu ego, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi kelompok subclan kalimbubu ego.  Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen, sepengalon (akan dijelaskan pada halaman-halaman selanjutnya) pemilik pesta. Ada pun hak kalimbubu ini dalam struktur masyarakat Karo  Dihormati oleh anakberunya  Dapat memberikan perintah kepada pihak anakberunya Tugas dan kewajiban dari kalimbubu  Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya  Memerintahkan pendamaian kepada anakberu yang saling berselisih  Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga
  • 9. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 8 of 128  Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam acara-acara adat  Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang anggota anakberunya yang meninggal, yang menerima seperti ini disebut Kalimbubu Simada Dareh. Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu, minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang  Anak Beru Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri. Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan. Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut. Anakberu dapat dibagi atas 2:  Anakberu berdasarkan tutur  Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek moyang yang secara bertingkat terus menerus minimal tiga generasi.  Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung selesai didirikan.  Anakberu berdasarkan kekerabatan  Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang simpanan kalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.  Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya. Yang boleh mencampurinya hanyalah Anakberu Jabu.  Anakberu Menteri adalah anakberu dari anakberu. Fungsinya menjaga penyimpangan- penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi dukungan kepada kalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.  Anakberu Singikuri adalah anakberu dari anakberu menteri, fungsinya memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi dukungan tenaga yang diperlukan. Dalam pelaksanaan acara adat peran anakberu adalah yang paling penting. Anakberulah yang pertama datang dan juga yang terakhir pada acara adat tersebut. Lebih lanjut tugas-tugasnya antara lain  Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat.  Menyiapkan hidangan pada pesta.  Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.  Menanggulangi sementara semua biaya pesta.  Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui harta benda kalimbubunya.  Menjadwal pertemuan keluarga.Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya berduka cita.  Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat) bagi kalimbubunya.  Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya,
  • 10. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 9 of 128 Anakberu berhak untuk  Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak menolak.  Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa barang dan disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian almarhum dan lainnya sebagai kenang- kenangan. Selain itu juga karena pentingnya kedudukan anakberu, biasanya pihak kalimbubu menunjukkan kemurahan hati dengan  Meminjamkan tanah perladangan secara cuma-cuma kepada anakberunya.  Memberikan hak untuk mengambil hasil hutan (dahulu karena pihak kalimbubu adalah pendiri kampung, mereka mempunyai hutan sendiri di sekeliling desanya).  Merasa bangga dan senang bila anak perempuannya dipinang oleh pihak anakberunya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan kekerabatan yang sudah terjalin.  Mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu menanti kelahiran bayi atau lanjut usia.  Membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi anakberunya pada waktu pesta besar di dalam clan anakberunya. Adapun istilah-istilah yang diberikan kalimbubu, kepada anakberunya adalah  Tumpak Perang, atau Lemba-lemba. Artinya adalah ujung tombak. Maksudnya, bila kalimbubunya ingin pergi ke satu daerah, maka yang berada di depan sebagai pengaman jalan dan sebagai perisai dari bahaya adalah pihak anakberu. Dalam bahasa lain anakberu sebagai tim pengaman jalan.  Kuda Dalan (Kuda jalan/beban). Dahulu sebelum ada alat transportasi hanya kuda, untuk membawa barang-barang atau untuk menyampaikan informasi dari satu desa ke desa lain, dipergunakanlah kuda. Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat atau kenderaan yang dipakai kemana saja, termasuk untuk berperang, untuk membawa barang-barang yang diperlukan pihak kalimbubunya atau untuk menyampaikan berita tentang kalimbubunya, dan sekaligus sebagai hiasan bagi kewibawaan martabat kalimbubunya.  Piso Entelap (pisau tajam). Dalam pesta adat atau pekerjaan adat pisau tajam dipergunakan untuk memotong daging atau kayu api atau untuk mendirikan teratak tempat berkumpul. Setiap anakberu harus memiliki pisau yang yang demikian agar tangkas dan sempurna mengerjakan pekerjaan yang diberikan kalimbubunya. Menjadi kebiasaan dalam tradisi Karo, pisau dari pihak kalimbubu yang meninggal dunia diserahkan kepada anakberunya. Pisau ini disebut maneh-maneh, pemberiannya bertujuan agar pekerjaan kalimbubu terus tetap dilanjutkan oleh penerimanya. Dalam pengertian lain dalam acara-acara adat di dalam keluarga kalimbubu, anakberulah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas tersebut, mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga jenis pekerjaan di atas, dikerjakan tanpa mendapat imbalan materi apapun, maka anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya dianggap tercela di mata masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam lingkungan keluarga dari anakberu yang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai kutukan dari arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu.    Senina/Sembuyak Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua :  Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan (merga).  Senina berdasarkan kekerabatan  Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara.
  • 11. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 10 of 128  Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.  Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat apabila tidak diminta.  Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami mereka sesubclan (bersembuyak). Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi friksi-friksi ketika akan memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anakberu. Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan (dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena perempuan mengikuti suaminya. Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak, sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara kandung. Sembuyak dapat dibagi dua bagian  Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen (merga).  Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:  Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.  Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung.  Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung. Berdasarkan Keputusan Kongres Kebudayaan Karo. 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi, pemakaian merga didasarkan pada Merga Silima, yaitu ; 1. Ginting 2. Karo-Karo 3. Peranginangin 4. Sembiring 5. Tarigan Sementara Sub Merga, dipakai di belakang Merga, sehingga tidak terjadi kerancuan mengenai pemakaian Merga dan Sub Merga tersebut. Adapun Merga dan Sub Merga serta sejarah, legenda, dan ceritanya adalah sebagai berikut: 1. Merga Ginting Merga Ginting terdiri atas beberapa Sub Merga seperti : o Ginting Pase
  • 12. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 11 of 128 Ginting Pase menurut legenda sama dengan Ginting Munthe. Merga Pase juga ada di Pak-Pak, Toba dan Simalungun. Ginting Pase dulunya mempunyai kerajaan di Pase dekat Sari Nembah sekarang. Cerita Lisan Karo mengatakan bahwa anak perempuan (puteri) Raja Pase dijual oleh bengkila (pamannya) ke Aceh dan itulah cerita cikal bakal kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Untuk lebih jelasnya dapat di telaah cerita tentang Beru Ginting Pase. Ginting Munthe Menurut cerita lisan Karo, Merga Ginting Munthe berasal dari Tongging, kemudian ke Becih dan Kuta Sanggar serta kemudian ke Aji Nembah dan terakhir ke Munthe. Sebagian dari merga Ginting Munthe telah pergi ke Toba (Nuemann 1972 : 10), kemudian sebagian dari merga Munthe dari Toba ini kembali lagi ke Karo. Ginting Muthe di Kuala pecah menjadi Ginting Tampune. o Ginting Manik Ginting Manik menurut cerita masih saudara dengan Ginting Munthe. Merga ini berasal dari Tongging terus ke Aji Nembah, ke Munthe dan Kuta Bangun. Merga Manik juga terdapat di Pak-pak dan Toba. o Ginting Sinusinga o Ginting Seragih Menurut J.H. Neumann (Nuemann 1972 : 10), Ginting Seragih termasuk salah satu merga Ginting yang tua dan menyebar ke Simalungun menjadi Saragih, di Toba menjadi Seragi. o Ginting Sini Suka Menurut cerita lisan Karo berasal dari Kalasan (Pak-Pak), kemudian berpindah ke Samosir, terus ke Tinjo dan kemudian ke Guru Benua, disana dikisahkan lahir Siwah Sada Ginting (Petra : bacanya Sembilan Satu Ginting), yakni :  Ginting Babo  Ginting Sugihen  Ginting Guru Patih  Ginting Suka (ini juga ada di Gayo/Alas)  Ginting Beras  Ginting Bukit (juga ada di Gayo/Alas)  Ginting Garamat (di Toba menjadi Simarmata)  Ginting Ajar Tambun  Ginting Jadi Bata Kesembilan orang merga Ginting ini mempunyai seorang saudara perempuan bernama Bembem br Ginting, yang menurut legenda tenggelam ke dalam tanah ketika sedang menari di Tiga Bembem atau sekarang Tiga Sukarame, kecamatan Munte. o Ginting Jawak Menurut cerita Ginting Jawak berasal dari Simalungun. Merga ini hanya sedikit saja di daerah Karo. o Ginting Tumangger Marga ini juga ada di Pak Pak, yakni Tumanggor. o Ginting Capah
  • 13. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 12 of 128 Capah berarti tempat makan besar terbuat dari kayu, atau piring tradisional Karo. 2. Merga Karo-Karo Merga Karo-Karo terbagi atas beberapa Sub Merga, yaitu : o Karo-Karo Purba Merga Karo-Karo Purba menurut cerita berasal dari Simalungun. Dia disebutkan beristri dua orang, seorang puteri umang dan seorang ular. Dari isteri umang lahirlah merga-merga :  Purba Merga ini mendiami kampung Kabanjahe, Berastagi dan Kandibata.  Ketaren Dahulu merga Karo-Karo Purba memakai nama merga Karo-Karo Ketaren. Ini terbukti karena Penghulu rumah Galoh di Kabanjahe, dahulu juga memakai merga Ketaren. Menurut budayawan Karo, M.Purba, dahulu yang memakai merga Purba adalah Pa Mbelgah. Nenek moyang merga Ketaren bernama Togan Raya dan Batu Maler (referensi K.E. Ketaren).  Sinukaban Merga Sinukaban ini sekarang mendiami kampung Kaban.. Sementara dari isteri ular lahirlah anak-anak yakni merga-merga :  Karo-Karo Sekali Karo-Karo sekali mendirikan kampung Seberaya dan Lau Gendek, serta Taneh Jawa.  Sinuraya/Sinuhaji Merga ini mendirikan kampung Seberaya dan Aji Siempat, yakni Aji Jahe, Aji Mbelang dan Ujung Aji.  Jong/Kemit Merga ini mendirikan kampung Mulawari.  Samura  Karo-Karo Bukit Kelima Sub Merga ini menurut cerita tidak boleh membunuh ular. Ular dimaksud dalam legenda Karo tersebut, mungkin sekali menggambarkan keadaan lumpuh dari seseorang sehingga tidak bisa berdiri normal.
  • 14. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 13 of 128 o Karo-Karo Sinulingga Merga ini berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak, disana mereka telah menemui Merga Ginting Munthe. Sebagian dari Merga Karo-Karo Lingga telah berpindah ke Kabupaten Karo sekarang dan mendirikan kampong lingga. Merga ini kemudian pecah menjadi sub-sub merga, seperti :  Kaban Merga ini mendirikan kampung Pernantin dan Bintang Meriah,  Kacaribu Merga ini medirikan kampung Kacaribu.  Surbakti Merga Surbakti membagi diri menjadi Surbakti dan Gajah. Merga ini juga kemudian sebagian menjadi Merga Torong. Menilik asal katanya kemungkinan Merga Karo-karo Sinulingga berasal dari kerajaan Kalingga di India. Di Kuta Buloh, sebagian dari merga Sinulingga ini disebut sebagai Karo-Karo Ulun Jandi. Merga Lingga juga terdapat di Gayo/Alas dan Pak Pak. o Karo-Karo Kaban Merga ini menurut cerita, bersaudara dengan merga Sinulingga, berasal dari Lingga Raja di Pak-Pak dan menetap di Bintang Meriah dan Pernantin. o Karo-Karo Sitepu Merga ini menurut legenda berasal dari Sihotang (Toba) kemudian berpindah ke si Ogung-Ogung, terus ke Beras Tepu, Naman, Beganding, dan Sukanalu. Merga Sitepu di Naman sebagian disebut juga dengan nama Sitepu Pande Besi, sedangkan Sitepu dari Toraja (Ndeskati) disebut Sitepu Badiken. Sitepu dari Suka Nalu menyebar ke Nambiki dan sekitar Sei Bingai. Demikian juga Sitepu Badiken menyebar ke daerah Langkat, seperti Kuta Tepu. o Karo-Karo Barus Merga Karo-Karo barus menurut cerita berasal dari Baros (Tapanuli Tengah). Nenek moyangnya Sibelang Pinggel (atau Simbelang Cuping) atau si telinga lebar. Nenek moyang merga Karo-Karo Barus mengungsi ke Karo karena diusir kawan sekampung akibat kawin sumbang (incest). Di Karo ia tinggal di Aji Nembah dan diangkat saudara oleh merga Purba karena mengawini impal merga Purba yang disebut Piring-piringen Kalak Purba. Itulah sebabnya mereka sering pula disebut Suka Piring. (Petra : Wuih, sejarah nenek moyang gw jelek juga, ya….) o Karo-Karo Manik Di Buluh Duri Dairi (Karo Baluren), terdapat Karo Manik. 3. Merga Peranginangin Merga Peranginangin terbagi atas beberapa sub merga, yakni :
  • 15. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 14 of 128 o Peranginangin Sukatendel Menurut cerita lisan, merga ini tadinya telah menguasai daerah Binje dan Pematang Siantar. Kemudian bergerak ke arah pegunungan dan sampai di Sukatendel. Di daerah Kuta Buloh, merga ini terbagi menjadi :  Peranginangin Kuta Buloh Mendiami kampung Kuta Buloh, Buah Raja, Kuta Talah (sudah mati), dan Kuta Buloh Gugong serta sebagian ke Tanjung Pura (Langkat) dan menjadi Melayu.  Peranginangin Jombor Beringen Merga ini mendirikan, kampung-kampung, Lau Buloh, Mburidi, Belingking,. Sebagian menyebar ke Langkat mendirikan kampung Kaperas, Bahorok, dan lain-lain.  Peranginangin Jenabun Merga ini juga mendirikan kampong Jenabun,. Ada cerita yang mengatakan mereka berasal dari keturunan nahkoda (pelaut) yang dalam bahasa Karo disebut Anak Koda Pelayar. Di kampung ini sampai sekarang masih ada hutan (kerangen) bernama Koda Pelayar, tempat pertama nahkoda tersebut tinggal. o Peranginangin Kacinambun Menurut cerita, Peranginangin Kacinambun datang dari Sikodon-kodon ke Kacinambun. o Peranginangin Bangun Alkisah Peranginangin Bangun berasal dari Pematang Siantar, datang ke Bangun Mulia. Disana mereka telah menemui Peranginangin Mano. Di Bangun Mulia terjadi suatu peristiwa yang dihubungkan dengan Guru Pak-pak Pertandang Pitu Sedalanen. Di mana dikatakan Guru Pak-pak menyihir (sakat) kampung Bangun Mulia sehingga rumah-rumah saling berantuk (ersepah), kutu anjing (kutu biang) mejadi sebesar anak babi. Mungkin pada waktu itu terjadi gempa bumi di kampung itu. Akibatnya penduduk Bangun Mulia pindah. Dari Bangun Mulia mereka pindah ke Tanah Lima Senina, yaitu Batu Karang, Jandi Meriah, Selandi, Tapak, Kuda dan Penampen. Bangun Penampen ini kemudian mendirikan kampung di Tanjung. Di Batu Karang, merga ini telah menemukan merga Menjerang dan sampai sekarang silaan di Batu Karang bernama Sigenderang. Merga ini juga pecah menjadi :  Keliat Menurut budayawan Karo, Paulus Keliat, merga Keliat merupakan pecahan dari rumah Mbelin di Batu Karang. Merga ini pernah memangku kerajaan di Barus Jahe, sehingga sering juga disebut Keliat Sibayak Barus Jahe.  Beliter Di dekat Nambiki (Langkat), ada satu kampung bernama Beliter dan penduduknya menamakan diri Peranginangin Beliter. Menurut cerita, mereka berasal dari merga Bangun. Di daerah Kuta Buluh dahulu juga ada kampung bernama Beliter tetapi tidak ditemukan hubungan anatara kedua nama kampung tersebut. Penduduk kampung itu di sana juga disebut Peranginangin Beliter.
  • 16. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 15 of 128 o Peranginangin Mano Peranginangin Mano tadinya berdiam di Bangun Mulia. Namun, Peranginangin Mano sekarang berdiam di Gunung, anak laki-laki mereka dipanggil Ngundong. o Peranginangin Pinem Nenek moyang Peranginangin Pinem bernama Enggang yang bersaudara dengan Lambing, nenek moyang merga Sebayang dan Utihnenek moyang merga Selian di Pakpak. o Sebayang Nenek Moyang merga ini bernama Lambing, yang datang dari Tuha di Pak-pak, ke Perbesi dan kemudian mendirikan kampung Kuala, Kuta Gerat, Pertumbuken, Tiga Binanga, Gunung, Besadi (Langkat), dan lain-lain. Merga Sembayang (Sebayang) juga terdapat di Gayo/Alas. o Peranginangin Laksa Menurut cerita datang dari Tanah Pinem dan kemudian menetap di Juhar. o Peranginangin Penggarun Penggarun berarti mengaduk, biasanya untuk mengaduk nila (suka/telep) guna membuat kain tradisional suku Karo. o Peranginangin Uwir o Peranginangin Sinurat Menurut cerita yang dikemukakan oleh budayawan Karo bermarga Sinurat seperti Karang dan Dautta, merga ini berasal dari Peranginangin Kuta Buloh. Ibunya beru Sinulingga, dari Lingga bercerai dengan ayahnya lalu kawin dengan merga Pincawan. Sinurat dibawa ke Perbesi menjadi juru tulis merga Pincawan (Sinurat). Kemudian merga Pincawan khawatir merga Sinurat akan menjadi Raja di Perbesi, lalu mengusirnya. Pergi dari Perbesi, ia mendirikan kampung dekat Limang dan diberi nama sesuai perladangan mereka di Kuta Buloh, yakni Kerenda. o Peranginangin Pincawan Nama Pincawan berasal dari Tawan, ini berkaitan dengan adanya perang urung dan kebiasaan menawan orang pada waktu itu. Mereka pada waktu itu sering melakukan penawanan-penawanan dan akhirnya disebut Pincawan. o Peranginangin Singarimbun Peranginangin Singarimbun menurut cerita budayawati Karo, Seh Ate br Brahmana, berasal dari Simaribun di Simalungun. Ia pindah dari sana berhubung berkelahi dengan saudaranya. Singarimbun kalah adu ilmu dengan saudaranya tersebut lalu sampailah ia di Tanjung Rimbun (Tanjong Pulo) sekarang. Disana ia menjadi gembala dan kemudian menyebar ke Temburun, Mardingding, dan Tiga Nderket. o Peranginangin Limbeng Peranginangin Limbeng ditemukan di sekitar Pancur Batu. Merga ini pertama kali masuk literatur dalam buku Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH berjudul Sejarah dan Kebudayaan Karo.
  • 17. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 16 of 128 o Peranginangin Prasi Merga ini ditemukan oleh Darwan Prinst, SH dan Darwin Prinst, SH di desa Selawang-Sibolangit. Menurut budayawan Karo Paulus Keliat, merga ini berasal dari Aceh, dan disahkan menjadi Peranginangin ketika orang tuanya menjadi Pergajahen di Sibiru-biru. 4. Merga Sembiring Merga Sembiring secara umum membagi diri menjadi dua kelompok yaitu Sembiring yang memakan anjing dan Sembiring yang berpantang memakan anjing. o Sembiring Siman Biang (Sembiring yang memakan biang (anjing))  Sembiring Kembaren Menurut Pustaka Kembaren, asal-usul merga ini terdiri dari Kuala Ayer Batu, kemudian pindah ke Pagaruyung terus ke Bangko di Jambi dan selanjutnya ke Kutungkuhen di Alas. Nenek moyang mereka bernama Kenca Tampe Kuala, berangkat bersama rakyatnya menaiki perahu dengan membawa pisau kerajaan bernama Pisau Bala Bari. Keturunannya kemudian mendirikan kampung Silalahi, Paropo, Tumba dan Martogan. Dari sana kemudian menyebar ke Liang Melas, saperti Kuta Mbelin, Sampe Raya, Pola Tebu, Ujong Deleng, Negerijahe, Gunong Meriah, Longlong, Tanjong Merahe, Rih Tengah dan lain-lain. Merga ini juga tersebar luas di Kab. Langkat saperti Lau Damak, Batu Erjong-Jong, Sapo Padang, Sijagat, dll.  Sembiring Keloko Menurut cerita, Sembiring Keloko masih satu keturunan dengan Sembiring Kembaren. Merga Sembiring Keloko tinggal di Rumah Tualang, sebuah desa yang sudah ditinggalkan antar Pola Tebu dengan Sampe Raya. Merga ini sekarang terbanyak tinggal di Pergendangen, beberapa keluarga di Buah Raya dan Limang.  Sembiring Sinulaki Sejarah merga Sembiring Sinulaki dikatakan juga sama dengan sejarah Sembiring Kembaren, karena mereka masih dalam satu rumpun. Merga Sinulaki berasal dari Silalahi.  Sembiring Sinupayung Merga ini menurut cerita bersaudara dengan Sembiring Kembaren. Mereka ini tinggal di Juma Raja dan Negeri. o Keempat merga ini boleh memakan anjing sehingga disebut Sembiring Siman Biang. o Sembiring Singombak Adalah kelompok merga Sembiring yang menghanyutkan abu-abu jenasah keluarganya yang telah meninggal dunia dalam perahu kecil melalui Lau Biang (Sungai Wampu). Adapun kelompok merga Sembiring Singombak tersebut adalah sebagai berikut :
  • 18. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 17 of 128  Sembiring Brahmana Menurut cerita lisan Karo, nenek moyang merga Brahmana ini adalah seorang keturunan India yang bernama Megitdan pertama kali tinggal di Talu Kaban. Anak-anak dari Megit adalah, Mecu Brahmana yang keturunannya menyebar ke Ulan Julu, Namo Cekala, dan kaban Jahe. Mbulan Brahmana menjadi cikal bakal kesain Rumah Mbulan Tandok Kabanjahe yang keturunannya kemudian pindah ke Guru Kinayan dan keturunannya mejadi Sembiring Guru Kinayan. Di desa Guru Kinayan ini merga Brahmana memperoleh banyak kembali keturunan. Dari Guru Kinayan, sebagian keturunananya kemudian pindah ke Perbesi dan dari Perbesi kemudian pindah ke Limang.  Sembiring Guru Kinayan Sembiring Guru Kinayan terjadi di Guru Kinayan, yakni ketika salah seorang keturunan dari Mbulan Brahmana menemukan pokok bambo bertulis (Buloh Kanayan Ersurat). Daun bambo itu bertuliskan aksara Karo yang berisi obat-obatan. Di kampung itu menurut cerita dia mengajar ilmu silat (Mayan) dan dari situlah asal kata Guru Kinayan (Guru Ermayan). Keturunannya kemudian menjadi Sembiring Guru Kinayan.  Sembiring Colia Merga Sembiring Colia, juga menurut sejarah berasal dari India, yakni kerajaan Cola di India. Mereka mendirikan kampung Kubu Colia.  Sembiring Muham Merga ini juga dikatakan sejarah, berasal dari India, dalam banyak praktek kehidupan sehari-hari merga ini sembuyak dengan Sembiring Brahmana, Sembiring Guru Kinayan, Sembiring Colia, dan Sembiring Pandia. Mereka inilah yang disebut Sembiring Lima Bersaudara dan itulah asal kata nama kampung Limang. Menurut ahli sejarah Karo. Pogo Muham, nama Muham ini lahir, ketika diadakan Pekewaluh di Seberaya karena perahunya selalu bergempet (Muham).  Sembiring Pandia Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa merga Sembiring Pandia, juga berasal dari kerajaan Pandia di India. Dewasa ini mereka umumnya tinggal di Payung.  Sembiring Keling Menurut cerita lisan Karo mengatakan, bahwa Sembiring Keling telah menipu Raja Aceh dengan mempersembahkan seekor Gajah Putih. Untuk itu Sembiring Keling telah mencat seekor kerbau dengan tepung beras. Akan tetapi naas, hujan turun dan lunturlah tepung beras itu, karenanya terpaksalah Sembiring Keling bersembunyi dan melarikan diri. Sembiring Keling sekarang ada di Raja Berneh dan Juhar. ( Keling juga ada di Wikipedia yakni orang India yang berasal dari Kalingga, India)  Sembiring Depari Sembiring Depari menurut cerita menyebar dari Seberaya, Perbesi sampai ke Bekacan (Langkat). Mereka ini masuk Sembiring Singombak, di daerah Kabupaen Karo nama kecil (Gelar Rurun) anak laki-laki disebut Kancan, yang perempuan disebut Tajak. Sembiring Depari
  • 19. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 18 of 128 kemudian pecah menjadi Sembiring Busok. Sembiring Busok ini terjadi baru tiga generasi yang lalu. Sembiring Busok terdapat di Lau Perimbon dan Bekancan.  Sembiring Bunuaji Merga ini terdapat di Kuta Tengah dan Beganding.  Sembiring Milala Sembiring Milala, juga menurut sejarah berasal dari India, mereka masuk ke Sumatera Utara melalui Pantai Timur di dekat Teluk Haru. Di Kabupaten Karo penyebarannya dimulai dari Beras Tepu. Nenek moyang mereka bernama Pagit pindah ke Sari Nembah. Merka umumnya tinggal di kampung-kampung Sari Nembah, Raja Berneh, Kidupen, Munte, Naman dan lain-lain. Pecahan dari merga ini adalah Sembiring Pande Bayang.  Sembiring Pelawi Menurut cerita Sembiring Pelawi diduga berasa dari India (Palawa). Pusat kekuasaan merga Pelawi di wilayah Karo dahulu di Bekancan. Di Bekancan terdapat seorang Raja, yaitu Sierkilep Ngalehi, menurut cerita, daerahnya sampai ke tepi laut di Berandan, seperti Titi Pelawi dan Lau Pelawi. Di masa penjajahan Belanda daerah Bekancan ini masuk wilayah Pengulu Bale Nambiki. Kampung-kampung merga Sembiring Pelawi adalah : Ajijahe, Kandibata, Perbesi, Perbaji, Bekancan dan lain-lain.  Sembiring Sinukapor Sejarah merga ini belum diketahui secara pasti, mereka tinggal di Pertumbuken, Sidikalang, dan Sarintonu.  Sembiring Tekang Sembiring Tekang dianggap dekat/bersaudara dengan Sembiring Milala. Di Buah Raya, Sembiring Tekang ini juga menyebut dirinya Sembiring Milala. Kedekatan kedua merga ini juga terlihat dari nama Rurun anak-anak mereka. Rurun untuk merga Milala adalah Jemput (laki-laki di Sari Nembah) / Sukat (laki-laki di Beras Tepu) dan Tekang (wanita). Sementara Rurun Sembiring Tekang adalah Jambe (laki-laki) dan Gadong (perempuan). Kuta pantekennya adalah Kaban, merga ini tidak boleh kawin-mengawin dengan merga Sinulingga, dengan alasan ada perjanjian, karena anak merga Tekang diangkat anak oleh merga Sinulingga. 5. Merga Tarigan Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. Legenda Merga Tarigan dalam bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978 ) yang menyebutkan merga Tarigan ini tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba sekarang. Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat banyak mengeluarkan darah. Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau. Cerita ini menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes, dan Tongtong Batu. Tiga orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu diserang oleh burung Sigurda-Gurda berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut. Sementara di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan. Ketika burung Sigurda-gurda datang dan hendak menerkam anak gadis itu, maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep) kepala burung garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi di balik dahan kayu. Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini
  • 20. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 19 of 128 mungkin sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan anak-anak gadis di Tongging. Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya tersebut Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini diberi nama menurut keahliannya masing-masing, yakni ; Tarigan Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan Pernangkih-nangkih (ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke Tongtong Batu. Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya adalah Tarigan (Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di Tongging dan keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di Simalungun. Beberapa generasi kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke Juhar, yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan Dombat (wanita). Adapun cabang-cabang dari merga Tarigan ini adalah sebagai berikut : o Tarigan Tua kampong asalnya di Purba Tua dekat Cingkes dan Pergendangen o Tarigan Bondong di Lingga o Tarigan Jampang di Pergendangen o Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Beras Tepu o Tarigan Cingkes di Cingkes o Tarigan Gana-gana di Batu Karang ; o Tarigan Peken di Sukanalu dan Namo Enggang o Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu o Tarigan Purba
  • 21. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 20 of 128 di Purba o Tarigan Sibero di Juhar, Kuta Raja, Keriahen Munte, Tanjong Beringen, Selakar, dan Lingga o Tarigan Silangit di Gunung Meriah (Deli Serdang) o Tarigan Kerendam di Kuala, Pulo Berayan dan sebagian pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana o Tarign Tegur di Suka o Tarigan Tambun di Rakut Besi dan Binangara o Tarigan Sahing di Sinaman Elemen yang paling mendasar di dalam masyarakat Karo adalah merga atau marga, yang oleh banyak orang Karo diartikan sebagai sesuatu yang ―berharga‖. Ada lima marga yang terdapat pada masyarakat Karo, yaitu: Karo-Karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, Perangin-angin, beserta sub-sub marga yang ada dalam masing-masing marga itu. Dalam kesatuan lima marga itu (Merga Silima), itulah yang disebut orang Karo. Seorang anak laki-laki akan terus mewariskan marga itu dari ayahnya. Seorang perempuan akan menyandang juga marga ayahnya sebagai beru (perempuan), dan akan terus disandang sampai menikah. Di samping identitas marga dan beru, setiap orang Karo juga memiliki bere-bere (marga yang diperoleh dari ibu/beru). Dua orang yang memiliki bere-bere yang sama dipandang sebagai saudara kandung dan juga menjadi senina (saudara kandung dalam jenis kelamin yang sama) atau turang (dalam jenis kelamin yang berbeda). Yang mempererat masyarakat Karo adalah adat, sebuah relasi tradisional untuk membuat keputusan dan melakukan apa saja. Akan terlihat bahwa adat tidak dapat dibedakan secara jelas dari kepercayaan, agama dan tindakan, kenyataan hidup yang sangat rumit bagi orang-orang Karo yang telah berpikiran modern dalam masyarakat pluralis saat ini. Adat dipandang sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang supranatural dan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Sebagai contoh, seseorang yang telah menikah dan memiliki anak, maka untuk memanggilnya tidak boleh lagi menyebut nama, tetapi nama anaknya disebutkan. Jadi ia akan dipanggil sebagai bapak si ―anu‖. Ini sebagai sebuah tanda penghargaan, karena seseorang yang sudah memiliki anak telah mendapatkan tuah(berkat). Dengan memanggil seperti itu berarti ia telah dihormati. Banyak lagi panggilan-panggilan yang lain yang dibubuhkan kepada seseorang untuk menggantikan namanya sesuai dengan posisinya dan juga usianya. Nama tidak lagi dipakai, itulah sebagai ungkapan hukum adat yang diberlakukan. Setiap orang Karo, di mana pun ia berada, ketika bertemu, untuk mengetahui posisi masing-masing dalam kekerabatan melakukan ertutur atau berkenalan. Dalam proses ertutur inilah nantinya mereka akan menemukan (satu dengan yang lain) harus memanggil apa dan dalam posisi apa. Di dalam keluarga, baik suami maupun istri pada dasarnya memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga satu dan yang lain, dan saling menghargai. Sikap seperti ini tumbuh dalam sistem ikatan penghormatan terhadap sangkep si telu yang sudah disebutkan tadi.
  • 22. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 21 of 128 Budaya Ertutur Untuk menunjukkan tingkatan kekerabatan di dalam masyarakat Karo dikenal istilah ertutur. Ertutur (ber-tutur) adalah salah satu ciri orang Karo bila ia berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenalnya. Biasanya diawali dengan menanyakan marga, kemudian bere-bere (marga ibu) seseorang yang juga bisa dikaitkan dengan keluarga yang masing-masing mereka kenal, bahkan mungkin menanyakan trombo (silsilah) untuk mengetahui tingkat kekerabatan tersebut. Menurut Henry Guntur Tarigan 26 , tutur adalah sebuah pemeo Karo yang berbunyi ―Adi la beluh ertutur, labo siat ku japa pe‖, yang berarti ―kalau tidak pandai ber-tutur, takkan ada tempat ke mana pun‖. Namun, nampaknya pemeo ini akan lebih terasa pada masyarakat Karo yang masih tinggal di pedesaan. Adapun melalui tutur seseorang dapat mengetahui tingkatannya dalam jenis-jenis sebagai berikut: bapa (bapak), nande (ibu), mama (paman), mami (bibi/istri paman), bengkila (panggilan istri terhadap mertua laki-laki), bibi (panggilan istri terhadap mertua perempuan), senina (saudara karena marga, atau sembuyak untuk yang satu ibu), turang (laki-laki terhadap saudara perempuan, atau perempuan sama berunya dengan marga seorang laki-laki), Impal (laki-laki yang bere- bere-nya sama dengan beru seorang wanita, pasangan yang ideal dalam peradatan Karo), silih (abang ipar atau adik ipar), bere-bere (seorang yang memiliki bere-bere yang sama dengan bere-bere seorang lainnya), anak (anak), kempu (cucu), ente (cicit), entah (buyut), turangku (hubungan yang dahulu tabu untuk berbicara langsung, misalnya antara istri kita dengan suami dari saudara perempuan kita), agi (adik), kaka (abang laki-laki/perempuan), permen (sebutan mertua laki- laki terhadap menantu perempuan), nini bulang (kakek), nini tudung/nondong (nenek), empung (kakek dari ayah atau ibu) beru (nenek dari ayah atau ibu). Budaya ertutur dalam masyarakat Karo terdiri dari enam lapis. Berikut ini penjelasan dari keenam lapis proses ertutur yang dikenal di kalangan masyarakat Karo: 1. Marga/Beru adalah nama keluarga yang diberikan (diwariskan bagi seseorang dari nama keluarga ayahnya secara turun temurun bagi anak laki-laki). Sedangkan bagi anak wanita marga ayahnya disebut beru yang tidak diwariskan bagi anaknya kemudian. 2. Bere-bere adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru ibunya. Bila ibu saya beru Karo, maka bere- bere saya menjadi bere-bere Karo. 3. Binuang adalah nama keluarga yang diwarisi seorang suku Karo dari bere-bere ayahnya. 4. Kempu (perkempun), adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere ibu. 5. Kampah adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari beru yang dimiliki oleh nenek buyut (nenek dari ayah). 6. Soler adalah nama keluraga yang diwarisi dari beru empong (nenek dari ibu) 29 . Lazimnya, proses ertutur dalam masyarakat Karo yang dipakai oleh seseorang hanya sampai kepada lapis kedua. Sedangkan pada lapis ketiga dan seterusnya hanya dipakai dalam acara-acara adat. Kecuali, bila dua orang yang hendak berkenalan, sama sekali tidak memiliki hubungan marga atau beru yang pas, maka diusutlah sampai tingkat ke empat dan enam. Setiap orang yang bertemu dengan orang Karo atau menetap dan tinggal di masyarakat Karo, atau kawin dengan orang Karo dari suku yang lain, untuk dapat membangun kekerabatan melalu proses ertutur ini akan dianugerahi atau dikenakan beru atau marga tertentu. Setelah sistem kekerabatan dapat ditentukan dengan seorang Karo lainnya melalui ertutur ini, maka jalinan hubungan kekerabatan itu dapat dikelompokkan menjadi tiga ikatan yang dikenal dengan istilah rakut si telu (ikatan yang tiga), sebagaimana telah dijelaskan dalam butir (a). Kemudian orang Karo juga mengenal istilah tutur si waluh yang sebenarnya kurang tepat artinya. Sebagaimana tentang tutur sudah disinggung sebelumnya, tutur itu ada 23. Sedangkan yang disebut waluh (delapan) adalah sangkep nggeluh. Jadi sebenarnya sangkep nggeluh si waluh (delapan kelengkapan hidup), yang merupakan pengembangan fungsi dari rakut si telu30 . Sangkep nggeluh si waluh itu antara lain adalah: pertama, pengembangan dari tegun kalimbubu adalah (1) puang kalimbubu, dan (2) kalimbubu. Kedua, pengembangan dari tegun senina adalah: (1) senina, (2) sembuyak, (3) senina
  • 23. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 22 of 128 sepemeren, (4) senina siparibanen. Ketiga, pengembangan dari tegun anak beru adalah: (1) anak beru dan (2) anak beru menteri. Jadi jumlah keseluruhan menjadi 2+4+2=8. Itulah yang disebut sebagai sangkep nggeluh si waluh dalam masyarakat Karo. Budaya ertutur ini merupakan salah satu bentuk pengungkapan identitas Karo. Seseorang akan dikenal dengan baik kalau ia mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekerabatan dalam ikatan keluarganya. Di samping itu, ia mampu mengenali marga/beru-nya dan bere-bere-nya, sehingga ketika melakukan perkenalan dengan orang lain (ertutur), ia dapat memposisikan dirinya. Berdasarkan pengalaman penulis saat melakukan penelitian, ataupun saat bergaul dengan pemuda- pemuda di gereja, ketika proses ertutur ini dilakukan antara satu orang dengan yang lain, yang baru pertama kali bertemu, secara cepat dan spontan salah satu atau kedua-duanya dari mereka mengatakan ―Aku enggak bisa ertutur!‖, (aku enggak bisa berkenalan). Ini menandakan betapa perhatian terhadap hal-hal paling kecil, paling mendasar dalam identitas kekaroan (yaitu masalah marga/beru) sudah tidak terlalu dipahami lagi. Ini jelas fenomena yang menunjukkan bahwa bentukan identitas yang diinginkan oleh sebagian generasi muda bukanlah identitas yang kaku, rumit dan tidak populer seperti ―identitas kekaroan‖ (dalam pandangan mereka). Padahal kekhasan orang Karo salah satunya adalah pada proses ertutur itu sendiri. Namun, harapan masih tetap ada, mungkin saja sikap-sikap yang ditunjukkan oleh generasi muda (dari pandangan orang tua terhadap orang muda yang diketahui penulis lewat wawancara) akibat dari ketidaktahuan, atau kurang sadarnya pemuda/i Karo akan pentingnya nilai sebuah identitas. Mungkin saja kalau kesadaran mereka dibangkitakan, semangat mereka akan bangkit pula untuk melestarikan, memelihara dan mengembangkan budayanya, sekalipun hal itu kelihatannya rumit. Bukankah kepopulerannya akan sangat tergantung pada bagaimana cara kita memeliharanya? BAB II SEKILAS WILAYAH GEOGRAFI MASYARAKAT KARO Masyarakat Karo sendiri bermukim di wilayah sebelah barat laut Danau Toba yang mencakup luas wilayah sekitar 5.000 kilometer persegi yang secara astronomis terletak sekitar antara 3′ dan 3′30″ lintang utara serta 98′ dan 98′30″ bujur timur. Wilayah Tanah Karo tersusun atas dua wilayah utama sebagai berikut:  Dataran tinggi Tanah Karo, yang mencakup seluruh wilayah Kabupaen Karo dan pusat administratifnya di kota Kabanjahe. Wilayah dataran tinggi Tanah Karo ini menjorok ke selatan hingga masuk ke wilayah Kabupaten Dairi (khususnya Kecamatan Taneh Pinem dan Tiga Lingga), serta ke arah timur masuk ke bagian wilayah Kecamatan Si Lima Kuta yang terletak di Kabupaten Simalungun. Masyarakat Karo menyebut wilayah pemukiman dataran tinggi ini dengan nama Karo Gugung.  Dataran rendah Tanah Karo yang mencakup wilayah-wilayah kecamatan dari Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang yang terletak pada bagian ujung selatan secara geografis ( namun tertinggi secara topografis). Wilayah ini dimulai dari plato Tanah Karo yang membentang ke bawah hingga mencapai sekitar kampung- kampung Bahorok, Namo Ukur, Pancur Batu, dan Namo Rambe yang ada di sebelah utara, serta Bangun Purba, Tiga Juhar, dan Gunung Meriah di sisi timur. Masyarakat Karo menyebut daerah ini dengan nama Karo Jahe (Karo Hilir). Wilayah dataran tinggi Tanah Karo dianggap sebagai pusat kebudayaan dan tanah asli nenek moyang masyarakat Batak Karo. Di wilayah ini, bahasa tidak banyak tersentuh oleh pengaruh-pengaruh luar dan ikatan kekerabatan serta kehidupan tradisional masih terpelihara sangat kuat. Kebanyakan masyarakat dataran tinggi Karo hidup dari bercocok tanam kecil-kecil dengan menanam padi dan sayur-sayuran untuk konsumsi sehari-hari serta berbagai tanam-tanaman komersial untuk kebutuhan pasar domestik dan ekspor. Wilayah pemukiman dataran rendah yang ada di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang umumnya lebih terorientasi pada produksi tanam-tanaman budidaya seperti karet dan kelapa sawit. Wilayah dataran rendah Karo ini lebih
  • 24. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 23 of 128 banyak menyerap pengaruh masyarakat Melayu pesisir yang pada umumnya menganut agama Islam dant erkadang mengharuskan mereka menyisihkan nama marga mereka sehingga hubungan kekerabatan dengan sanak-saudara mereka di dataran tinggi jadi terputus. Sejarah Wilayah Kerajaan Aru atau Haru adalah diperkirakan pernah berdiri di wilayah pantai timur Sumatera Utara sekarang. Nama Kerajaan Aru disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama sebagai salah satu kerajaan taklukan Majapahit. Dalam Sulalatus Salatin Haru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai. Peninggalan arkeologi yang dihubungkan dengan Kerajaan Haru telah ditemukan di Kota Cina dan Kota Rantang. [Lokasi Kerajaan Haru Terdapat perdebatan tentang lokasi tepatnya dari pusat Kerajaan Haru. [1] . Winstedt meletakkannya di wilayah Deli yang berdiri kemudian, namun ada pula yang berpendapat Haru berpusat di muara Sungai Panai. Groeneveldt menegaskan lokasi Kerajaan Aru berada kira-kira di muara Sungai Barumun (Padang Lawas) dan Gilles menyatakan di dekat Belawan. Sementara ada juga yang menyatakan lokasi Kerajaan Aru berada di muara Sungai Wampu (Teluk Haru/Langkat). [2] Sejarah Haru pertama kali muncul dalam kronik Cina masa Dinasti Yuan, yang menyebutkan Kublai Khan menuntut tunduknya penguasa Haru pada Cina pada 1282, yang ditanggapi dengan pengiriman upeti oleh saudara penguasa Haru pada 1295. Negarakartagama menyebut Haru sebagai salah satu negara bawahan Majapahit. Islam masuk ke kerajaan Haru paling tidak pada abad ke-13 [2] . Kemungkinan penduduk Haru lebih dulu memeluk agama Islam daripada Pasai, seperti yang disebutkan Sulalatus Salatin dan dikonfirmasi oleh Tome Pires [1] . Terdapat indikasi bahwa penduduk asli Haru berasal dari suku Karo, seperti nama-nama pembesar Haru dalam Sulalatus Salatin yang mengandung nama dan marga Karo. [2] Pada abad ke-15 Sejarah Dinasti Ming menyebutkan bahwa "Su-lu-tang Husin", penguasa Haru, mengirimkan upeti pada Cina tahun 1411. Setahun kemudian Haru dikunjungi oleh armada Laksamana Cheng Ho. Pada 1431 Cheng Ho kembali mengirimkan hadiah pada raja Haru, namun saat itu Haru tidak lagi membayar upeti pada Cina. Pada masa ini Haru menjadi saingan Kesultanan Malaka sebagai kekuatan maritim di Selat Malaka. Konflik kedua kerajaan ini dideskripsikan baik oleh Tome Pires dalam Suma Oriental maupun dalam Sejarah Melayu. Pada abad ke-16 Haru merupakan salah satu kekuatan penting di Selat Malaka, selain Pasai, Portugal yang pada 1511 menguasai Malaka, serta bekas Kesultanan Malaka yang memindahkan ibukotanya ke Bintan. Haru menjalin hubungan baik dengan Portugal, dan dengan bantuan mereka Haru menyerbu Pasai pada 1526 dan membantai ribuan penduduknya. Hubungan Haru dengan Bintan lebih baik daripada sebelumnya, dan Sultan Mahmud Syah menikahkan putrinya dengan raja Haru, Sultan Husain. Setelah Portugal mengusir Sultan Mahmud Syah dari Bintan pada 1526 Haru menjadi salah satu negara terkuat di Selat Malaka. Namun ambisi Haru dihempang oleh munculnya Aceh yang mulai menanjak. [1] Catatan Portugal menyebutkan dua serangan Aceh pada 1539, dan sekitar masa itu raja Haru terbunuh oleh pasukan Aceh. Istrinya, ratu Haru, kemudian meminta bantuan baik pada Portugal di Malaka maupun pada Johor (yang merupakan penerus Kesultanan Malaka dan Bintan). Armada Johor menghancurkan armada Aceh di Haru pada 1540.[1] Aceh kembali menaklukkan Haru pada 1564. Sekali lagi Haru berkat bantuan Johor berhasil mendapatkan kemerdekaannya, seperti yang dicatat oleh Hikayat Aceh dan sumber-sumber Eropa. Namun pada abad akhir ke-16 kerajaan ini hanyalah menjadi bidak dalam perebutan pengaruh antara Aceh dan Johor. Kemerdekaan Haru baru benar-benar berakhir pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dari Aceh, yang naik tahta pada 1607. Dalam suratnya bertanggal tahun 1613 kemenangannya atas Haru. Dalam masa ini sebutan Haru atau Aru juga digantikan dengan nama Deli. Wilayah Haru kemudian mendapatkan kemerdekaannya dari Aceh pada 1669, dengan nama Kesultanan Deli.
  • 25. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 24 of 128 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Raja Haru dan penduduknya telah memeluk agama Islam, sebagaimana disebutkan dalam Yingyai Shenglan (1416), karya Ma Huan yang ikut mendampingi Laksamana Cheng Ho dalam pengembaraannya . Dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan Sejarah Melayu disebutkan kerajaan tersebut diislamkan oleh Nakhoda Ismail dan Fakir Muhammad, yang juga mengislamkan Merah Silu, Raja Samudera Pasai pada pertengahan abad ke-13. Sumber-sumber Cina menyebutkan bahwa adat istiadat seperti perkawinan, adat penguburan jenazah, bahasa, pertukangan, dan hasil bumi Haru sama dengan Melaka, Samudera dan Jawa. Mata pencaharian penduduknya adalah menangkap ikan di pantai dan bercocok tanam. Tetapi karena tanah negeri itu tidak begitu sesuai untuk penanaman padi, maka sebagian besar penduduknya berkebun menanam kelapa, pisang dan mencari hasil hutan seperti kemenyan. Mereka juga berternak unggas, bebek, kambing. Sebagian penduduknya juga sudah mengkonsumsi susu. Apabila pergi ke hutan mereka membawa panah beracun untuk perlindungan diri. Wanita dan laki-laki menutupi sebagian tubuh mereka dengan kain, sementara bagian atas terbuka. Hasil-hasil bumi dibarter dengan barang-barang dari pedagang asing seperti keramik, kain sutera, manik-manik dan lain-lain. (Groeneveldt, 1960: 94-96) [2] . Peninggalan arkeologi di Kota Cina menunjukkan wilayah Haru memiliki hubungan dagang dengan Cina dan India. [3] .Namun dalam catatan Ma Huan, tidak seperti Pasai atau Malaka, pada abad ke-15 Haru bukanlah pusat perdagangan yang besar. [1] . Agaknya kerajaan ini kalah bersaing dengan Malaka dan Pasai dalam menarik minat pedagang yang pada masa sebelumnya aktif mengunjungi Kota Cina. Raja-raja Haru kemudian mengalihkan perhatian mereka ke perompakan. [3] Haru memakai adat Melayu, dan dalam Sulalatus Salatin para pembesarnya menggunakan gelar-gelar Melayu seperti "Raja Pahlawan" dan "Sri Indera". Namun adopsi terhadap adat Melayu ini mungkin tidak sepenuhnya, dan unsur-unsur adat non- Melayu (Batak/Karo) masih ada. [1] Menelusuri Jejak Kejayaan Kerajaan Aru Oleh: Ery Soedewo dan R. Wahyu Oetomo Bayangkan seusai pertama kali kita datang berkunjung ke suatu tempat, pasti akan tersimpan dalam ingatan kita beberapa hal yang khas dari tempat itu. Entah makanannya, keseniannya, adat kebiasaannya maupun sejarah beserta tinggalan-tinggalan kunonya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari khasanah kebudayaan setempat. Kita ambil contohnya adalah, Yogyakarta dalam benak kita mungkin akan tersimpan manis atau legitnya nasi gudeg, atau gemulai tarian tradisionalnya, serta lemah lembut tutur masyarakatnya, dan tentu tidak akan terlewatkan adalah kemegahan candi-candi dari masa Mataram Kuno yang banyak bertebaran di sana seperti Prambanan dan Borobudur. Lalu bagaimana dengan Kota Medan ? Tentunya juga memiliki sejumlah kekhasan yang tidak akan mudah dilupakan oleh para pengunjung baik dalam negeri maupun mancanegara. Sebut saja sajian kuliner khasnya yakni bika ambon, atau rancaknya gerakan para penari Serampang Duabelas, maupun kelugasan tutur dan sikap warganya, dan tidak terlewatkan adalah kemegahan Mesjid Raya Al-Mashun maupun keindahan Istana Maimun. Sebagai sebuah kota besar, perjalanan sejarah Medan sebenarnya tidak kalah panjangnya dibanding sejumlah kota besar lain di Indonesia. Jejak masa lalunya tidak terhenti pada keberadaan Mesjid Raya Al-Mashun atau Istana Maimun –yang keduanya berasal dari akhir abad XIX dan awal abad XX M- saja. Sebab sejumlah data arkeologis menunjukkan embrio kota besar ini dapat dirunut sedini abad ke-11 M, walaupun data historisnya merujuk pada abad ke-14 M. Embrio dimaksud adalah sebuah kerajaan yang pernah sangat berpengaruh di kawasan Selat Malaka yang dalam sumber-sumber sejarah dikenal sebagai Aru atau Haru.
  • 26. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 25 of 128 Kilas Sejarah Aru Kata Aru atau Haru merupakan nama dari suatu kerajaan yang keberadaannya telah disebut-sebut dalam berbagai sumber tertulis baik lokal maupun mancanegara antara abad ke-14 M hingga abad ke-17 M. Sumber tertulis tertua yang menyebutkan tentang Aru adalah yang berasal dari Prapanca, seorang pujangga istana Majapahit pada pertengahan abad ke-14 M. Dalam pujasastra karyanya yang berjudul Desawarnana (Pemerincian/Deskripsi Negara) atau yang lebih dikenal sebagai Negarakertagama Prapanca menyebutkan sejumlah nama tempat yang berada di Pulau Sumatera. Pada pupuh ke-13 bait ke-1 disebutkannya antara lain ...ksoni ri Malayu, ... Kampe, Haru, athawe Mandahiling... yang artinya kurang lebih ... terletak di bumi Malayu (penyebutan Pulau Sumatera kala itu) ...Kampai, Haru, Mandailing... . Data tertulis berikutnya berasal dari awal abad ke-15 M yang merujuk pada laporan Ma Huan, seorang penerjemah muslim China yang turut dalam armada penjelajahan samudera Laksamana Cheng Ho. Dalam karyanya yang berjudul Ying-Yai Sheng-Lan (Survei Menyeluruh Terhadap Pantai-Pantai Samudera) disebutkan tentang A-lu (Aru) yang berbatasan dengan Su-men-ta-la (Samudera-Pasai); penduduknya adalah kaum muslim yang bercocok tanam dan menangkap ikan sebagai mata pencahariannya. Memasuki abad ke-16 M, makin banyak sumber tertulis yang berkaitan dengan keberadaan Aru. Data dari masa tersebut terutama berasal dari para penulis Eropa antara lain Tome Pires (orang Portugis) yang memerikan Aru di awal abad ke-16 M. Dalam karyanya yang berjudul Suma Oriental (ditulis antara tahun 1512 hingga 1515). Aru disebut sebagai suatu kerajaan besar bahkan yang terbesar di antara kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumatera. Rajanya adalah seorang muslim yang hidup di daerah pedalaman yang banyak dialiri sungai. Walaupun pusat kerajaannya di pedalaman dia memiliki armada lancara (nama sejenis perahu) yang digunakannya untuk merompak di lautan. Namun kejayaan Aru sebagai kerajaan dengan armada lautnya yang disegani mulai terancam oleh perkembangan kerajaan Aceh. Setelah penaklukan bandar Malaka oleh Portugis pada tahun 1511, banyak pedagang yang mengalihkan perniagaannya ke Pulau Sumatera. Salah satu kerajaan yang diuntungkan oleh kondisi itu adalah kerajaan Aceh. Seiring berkembangnya perekonomiannya, semakin besar pula pengaruh kerajaan Aceh terhadap daerah sekelilingnya. Dalam pandangan geopolitik masa itu keberadaan Aru sebagai kerajaan besar di pantai timur Sumatera jelas merupakan pesaing potensial bagi bandar Aceh. Oleh karena itu maka keberadaan Aru sebagai ancaman potensial bagi Aceh harus ditundukkan, dan hal itu terwujud ketika pada tahun 1539 Aru diserang oleh Aceh. Menyadari kekuatan yang akan diserangnya bukanlah kerajaan kecil, kerajaan Aceh mengerahkan segala daya yang dimilikinya termasuk satu kompi prajurit Turki yang terdiri dari 60 prajurit reguler dan 40 orang pasukan istimewa kesultanan Turki Utsmani (Ottoman) yang disebut Janisari. Setelah bertahan sekian lama akhirnya benteng Aru berhasil ditembus pasukan Aceh. Orang-orang Aru yang selamat dalam sumber-sumber tertulis lokal di antaranya adalah janda penguasa Aru yang berhasil meloloskan diri melalui alur sungai Deli hingga menyeberangi Selat Malaka menuju Johor untuk memohon bantuan. Adakah tokoh perempuan ini (janda penguasa Aru) yang dalam sumber-sumber tutur tradisional --Melayu maupun Karo-- disebut sebagai Puteri Hijau ? Kiranya hingga ditemukannya bukti sejarah yang relevan hal itu masih terus dipertanyakan. Jejak-jejak Kejayaan Aru Perjalanan menelusuri jejak kerajaan Aru kita mulai dari sebuah situs purbakala yang terletak di sekitar objek wisata Danau Siombak, daerah Medan Labuhan yang dikenal di kalangan arkeolog dan sejarawan sebagai situs Kota China. Kota China adalah sebuah situs dengan bukti-bukti arkeologis yang sementara ini oleh para sejarawan dan ahli purbakala dianggap merupakan jejak tertua yang dapat dikaitkan dengan keberadaan kerajaan Aru. Keberadaan situs yang meliputi kawasan seluas sekitar 10 hektar di daerah Medan Labuhan ini pertama kali dilaporkan oleh Edward McKinnon pada tahun
  • 27. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 26 of 128 1972. Beberapa kali penelitian arkeologis terhadap situs ini menghasilkan sejumlah data kepurbakalaan baik yang sifatnya monumental maupun non-monumental. Tinggalan monumental dimaksud adalah sisa-sisa dari struktur suatu bangunan bata yang diduga merupakan bangunan keagamaan Hindu atau Buddha. Tidak jauh dari tempat ditemukannya struktur bata tersebut ditemukan 4 arca batu, yang terdiri dari 2 arca Buddha dan dan 2 arca lainnya menggambarkan sosok dewa-dewa Hindu yakni Wisnu dan Laksmi. Kini 3 dari keempat arca tersebut dapat dilihat di Museum Negeri Sumatera Utara di Jalan H.M. Joni, Medan, sedangkan 1 arca Buddha disimpan oleh satu keluarga Tionghoa tidak jauh dari Kota China sebagai sosok pujaan dalam pekong keluarga tersebut. Berdasarkan gaya seninya arca-arca dari Kota China tersebut tampak sangat dipengaruhi oleh gaya seni Chola (India selatan). Masa kejayaan Kota China diperkirakan berlangsung antara abad ke-11 M hingga abad ke-14 M, yang didasarkan atas penemuan pecahan-pecahan keramik China dari masa Dinasti Sung (abad ke-11 hingga ke-13 M) hingga Dinasti Yuan (abad ke-13 hingga ke-14 M). Situs lain yang berkaitan dengan keberadaan kerajaan Aru adalah situs Benteng Putri Hijau di daerah Deli Tua. Situs ini secara administratif terletak di Desa Deli Tua, Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang. Keberadaan bangunan pertahanan yang dibuat dari timbunan tanah ini dapat dihubungkan dengan pemberitaan Tome Pires (dari awal abad ke-16 M) tentang pusat kerajaan Aru yang berada di pedalaman yang banyak dialiri sungai. Mungkin yang dimaksud oleh Pires adalah aliran Sungai Deli yang di bagian hulu dikenal sebagai Sungai Petani. Data lain yang memperkuat dugaan bahwa situs ini berasal dari kurun abad ke-15 adalah banyaknya pecahan keramik berwarna putih biru dari masa Dinasti Ming (antara abad ke-14 M hingga abad ke-17 M). Data artefaktual lain yang ditemukan di situs ini oleh masyarakat setempat adalah koin-koin emas beraksara Jawi (Arab Melayu) yang oleh para pakar numismatik (mata uang kuno) dipastikan sebagai mata uang dari masa Kesultanan Aceh Darussalam atau yang dikenal sebagai uang Dirham. Setelah lelah menelusuri sisa-sisa Benteng Putri Hijau, kita dapat menyegarkan diri dengan kesegaran dan kesejukan air dari sumber air yang oleh masyarakat dikenal sebagai Pancuran Putri Hijau dan Pancuran Gading. Kedua sumber air tersebut hingga kini oleh sebagian anggota masyarakat dipercaya memiliki daya tertentu sehingga pada hari-hari tertentu tempat ini ramai dikunjungi. Refleksi Perjalanan Konon, mahluk hidup yang mempunyai kemampuan menyimpan memori akan masa lalunya hanya 2 jenis –-keduanya dari kelas mamalia-- yakni kita manusia dan yang lain adalah gajah. Para zoologist (ahli margasatwa) mengamati perilaku gajah di Afrika yang pada masa-masa tertentu datang di suatu tempat yang merupakan tempat matinya salah satu anggota kelompok mereka. Seolah manusia yang menziarahi makam keluarganya, gajah-gajah itu mengendus dan menghembuskan tanah di sekitar tempat matinya anggota kelompok mereka. Lebih kompleks dari tingkah gajah itu adalah perilaku manusia yang tidak saja mendatangi makam keluarganya, mereka juga sering mendatangi tempat-tempat yang memiliki kaitan dengan sejarah masa lalu mereka. Entah tujuannya itu dilatarbelakangi kebutuhan religius maupun yang sekedar rekreatif, keduanya berpangkal pada satu hal yakni kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Mungkin sebagian orang menganggap perjalanan ini sebagai suatu kesiasiaan belaka, yang tidak membawa dampak dan manfaat bagi kehidupan kini dan mendatang. Sepintas pendapat tersebut boleh jadi benar, namun coba kita telaah lebih jernih dan tenang tentang kemajuan atau kemapanan negara-negara yang kita kenal sekarang. Secara asal saja silahkan sebut barang 1, 2, atau 3 negara maju yang saat ini mapan secara perekonomiannya, seperti Amerika Serikat, Jepang, atau
  • 28. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 27 of 128 jiran kita Singapura, semuanya memiliki apresiasi yang baik terhadap tinggalan budayanya termasuk di dalamnya tinggalan purbakalanya. Anda yang tidak sependapat dengan ide tersebut pasti akan berkilah, ‖Semua negara yang Anda sebutkan itu sudah mapan secara ekonomi, oleh karena itu urusan perut tidak lagi menjadi prioritas bagi mereka, sehingga wajar jika mereka memiliki perhatian terhadap hal-hal seperti itu.‖ Maaf bila jawaban berikut ini membuat telinga sebagian dari yang mempunyai pikiran seperti itu menjadi merah. Ketiga negara itu dalam kondisi seperti saat ini salah satu sebabnya adalah karena sedari awal mereka memiliki kesadaran bahwa segala bentuk warisan budaya bangsa yang dimilikinya adalah aset penting yang tidak saja memiliki arti penting secara ideologis atau akademis, bahkan ke depan akan mendatangkan nilai ekonomis. Ambil contohnya Singapura, jejak perjalanan masa lalu mereka hanya sedikit meninggalkan tinggalan fisik (situs maupun artefaktual), salah satunya adalah situs dari masa Perang Dunia II yakni Bukit Chandu yang merupakan kubu pertahanan 1 kompi pasukan Inggris yang terdiri dari orang-orang Melayu. Situs bersehaja yang berupa bukit kecil ini sepintas dilihat hanyalah bukit biasa namun karena terdapat 1 museum kecil berkaitan dengan sejarahnya serta dikelola secara profesional, maka berdatanganlah para wisatawan ke situs ini, dan ini berarti devisa (baca uang). Benteng Putri Hijau jauh lebih memiliki potensi dibanding situs Bukit Chandu, sebab situs yang terletak di Deli Tua ini masih menyisakan bentang fisiknya yang berupa benteng tanah, sejumlah artefak hasil temuan masyarakat, serta ditunjang pula oleh keberadaan mata air Pancuran Putri Hijau dan Pancuran Gading makin memberi nilai tambah dibanding apa yang dimiliki Singapura. Bila ditinjau dari segi ideologis-akademis, ada yang bilang masa lalu kita termasuk di dalamnya sejarah perjalanan bangsa ini adalah kaca spion bagi kita agar dalam melangkah kita lebih bijak dalam bertindak. Jika tidak ada benda itu ibarat kita adalah --maaf-- babi hutan yang --memang-- selalu maju terus tapi dalam wujud yang paling brutal, sruduk sana sruduk sini tanpa kendali. Adakah kita babi hutan ? jawabannya pasti tidak, kita adalah manusia yang memiliki pikiran sehingga punya kebijakan sebelum bertindak. Sarana untuk itu sebenarnya kita miliki namun belum sepenuhnya kita manfaatkan, sehingga sebagai bangsa sepertinya kita selalu ceroboh dalam bertindak. Kekacauan dan ketidakpastian bangsa ini salah satu sebabnya adalah kita malas untuk belajar dari masa lalu kita, padahal apa yang terjadi saat ini, menurut para sejarawan tidak lain adalah pengulangan dari peristiwa-peristiwa di masa lalu, yang membedakannya hanyalah konteks masa dan budaya yang melingkupinya, namun wujudnya pada dasarnya tidak jauh berbeda. Tentu kita bukanlah bangsa babi hutan, juga bukan bangsa keledai (yang katanya tidak pernah terperosok di lubang yang sama). Oleh karena itu marilah kita belajar dari masa lalu kita, dan tentunya untuk itu mari lestarikan jejak-jejak masa lalu itu jangan sampai lenyap, sebab dari situlah kita bercermin. ••• Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Medan. Situs Aru Harus Dilindungi Medan, isekolah.org - Artefak berusia ratusan tahun peninggalan Kerajaan Aru kembali ditemukan.Sejarawan,arkeolog,dan Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI) Sumut meminta pemerintah melindungi kawasan itu. ‘‘Kami berkumpul di sini untuk meminta kepada pemerintah agar temuan-temuan benda bersejarah dilindungi. Begitu juga dengan kawasan lokasi penemuan, untuk pengembangan hasil penelitian,‖papar Ketua ISMI Sumut Umar Zein kepada
  • 29. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 28 of 128 wartawan ketika di Istana Maimun kemarin. Zein menyatakan, penemuan arkeologis di tanah Melayu harus mendapat perhatian dari pemerintah. Sebab, hal itu berkaitan dengan sejarah peradaban Melayu. Kerajaan Aru merupakan cikal bakal dari Kesultanan Deli. Untuk itu, penting menggali kembali sisa-sisa peninggalan untuk penelitian lanjutan.Tanpa penelitian, etnis Melayu akan kehilangan akar sejarahnya. Dia juga mengimbau agar masyarakat di sekitar Sungai Bedra, Kelurahan Terjun Medan Marelan––tempat ditemukannya peninggalan sejarah terakhir––turut menjaga dan melindungi penemuan tersebut. Pemerintah juga dapat memberikan kompensasi ganti rugi bagi warga yang menemukan atau memiliki benda bersejarah. Zein menambahkan, selain untuk kepentingan riset arkeologi dan disiplin ilmu lain,kawasan peninggalan sejarah dapat juga dijadikan objek wisata sejarah dan budaya. ‘‘Jika pemerintah punya niat baik melindungi kawasan situs bersejarah,banyak keuntungan yang dapat diperoleh,‖ ujarnya yang juga menjabat sebagai Kepala Dinas (Kadis) Kesehatan Kota Medan itu. Arkeolog dari Balai Besar Arkeologi Medan Eri Sudewo memaparkan,dari penemuan yang mereka peroleh terdapat beberapa benda peninggalan dua dinasti di China, yaitu Dinasti Song 1127–1279 masehi dan Yuan 1280–1360 masehi.Beberapa peninggalan keramik dan tembikar berasal dari daerah Guangdong, Minnan, dan Jingdezhen. ‘‘Kami menemukan beberapa peninggalan dari pengerukan Sungai Bedra tersebut, mulai tempayan, mangkuk, guci, maupun buli-buli tempat menyimpan minyak kamper. Keseluruhannya kami identifikasi dari Dinasti Song danYuan,‖paparnya. Ketua Pusat Studi Ilmu Sosial dan Sejarah (Pusiss) Universitas Negeri Medan (Unimed) Ichwan Azhari merasa yakin bahwa masih banyak peninggalan di kawasan tersebut yang belum tergali. Apa yang ditemukan masyarakat dan tim arkeologi membuktikan masih banyak peninggalan sejarah yang perlu terpendam. Karena itulah perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk segera memugar tempat tersebut. ‘‘Saya yakin kami bisa menemukan prasasti sejarah jika dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun, kawasan tersebut terlebih dulu harus dilindungi dan dipugar,‖ungkapnya. Menurut dia, jika prasasti tersebut ditemukan,dapat dipastikan dari mana zaman kerajaan benda kuno tersebut berasal.Sebab, pecahan keramik dan guci yang ditemukan merupakan bukti bahwa tempat itu pernah menjadi pusat perdagangan internasional. Berdasarkan logika, jika terdapat pusat perdagangan, sangat dimungkinkan telah ada pemerintahan administratif berbentuk kerajaan di wilayah tersebut.Namun, itu semua tidak akan pernah terungkap jika tidak ada dukungan dari pemerintah. Menurut beberapa pendapat, disebut bahwa Teluk Aru adalah pusat kerajaan ARU dan belum pernah diteliti sama sekali. Namun, Edmund E. McKinnon (Arkeolog Inggris) menolak apabila kawasan tersebut dinyatakan belum pernah diteliti sekaligus juga menolak apabila Teluk Aru disebut sebagai pusat kerajaan Aru. Teluk Aru telah diteliti pada tahun 1975-1976 dan hasilnya adalah ‖Pulau Kompei‖. Diakui bahwa terdapat peninggalan di wilayah Teluk Aru, tetapi berdasarkan jalur hinterland kurang mendukung Teluk Aru sebagai satu centrum kerajaan. Seperti diketahui bahwa jalur dari Karo plateau maupun hinterland menuju pantai timur, dari utara ke selatan melalui gunung adalah: Buaya, Liang, Negeri, Cingkem yang menuju ke Sei Serdang maupun ke Sei Deli, Sepuluhdua Kuta, Bekancan, Wampu ke Bahorok. Maupun jalur sungai diantara Sei Wampu bagian hilir sekitar Stabat dan Sei Sunggal ke Belawan. Fokusnya diwilayah pantai diantara Sei Wampu dan Muara Deli (Catatan Anderson tentang pentingnya Muara Deli). Penulis Karo mengemukakan bahwa (H)Aru adalah asal kata ‖Karo‖ yang berevolusi. Oleh karena itu, kelompok ini mengklaim bahwa masyarakat Aru adalah masyarakat yang memiliki clan Karo dan didirikan oleh clan Kembaren. Walau demikian, penulis Karo seperti Brahmo Putro (1979) sependapat dan mengakui bahwa centrum kerajaan ini berpindah- pindah hingga ke Aceh, Deli Tua, Keraksaan (Batak Timur), Lingga, Mabar, maupun Barumun. Disebutkan bahwa (H)Aru berada di Balur Lembah Gunung Seulawah di Aceh Besar sekarang yang pada awalnya juga telah banyak dihuni oleh orang Karo, dan telah ada sebelum kesultanan Aceh pertama yakni Ali Mukhayat Syah pada tahun 1496-1528. Lebih lanjut disebut bahwa kerajaan (H)Aru Balur ditaklukkan oleh Sultan Aceh pada tahun 1511 dalam rencana unifikasi Aceh hingga ke Melaka dan salah seorang rajanya clan Karo dan keturunan Hindu Tamil menjadi Islam bersama seluruh rakyatnya dan
  • 30. Perpulungen MERGA SILIMA Kabupaten Paser Disadur dari Internet by makaroAdit Page 29 of 128 bertugas sebagai Panglima Sultan Aceh di wilayah Batak Karo. Demikian pula penulis Melayu yang mengemukakan bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan Melayu yang sangat besar pada zamanya, lokasi kerajaanya tidak menetap akibat gempuran musuh terutama yang datangnya dari Aceh. Hal ini telah banyak dicatat oleh Lukman Sinar dalam jilid pertama bukunya dengan judul Sari Sedjarah Serdang (1986). Menurutnya, nama ARU muncul pertama kalinya dalam catatan resmi Tiongkok pada saat ARU mengirimkan misi ke Tiongkok pada tahun 1282 pada era kepemimpinan Kublai-Khan. Demikian pula dalam buku ‖Sejarah Melayu‖ yang banyak menyebut tentang kerajaan ARU. Berdasarkan literatur tersebut, Lukman Sinar dalam penjelasan lebih lanjut mengemukakan bahwa pusat kerajaan ARU adalah Deli Tua dan telah menganut Islam. Barangkali, yang dimaksud oleh tulisan-tulisan tersebut adalah Kota Rentang karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis serta carbon dating terhadap temuan keramik, ditemukannya batu kubur (nisan) yang terbuat dari batu Cadas (Volcanoic tuff) dengan ornamentasi Jawi dimana nisan sejenis banyak ditemukan di tanah Aceh. Sedangkan tanda-tanda ARU Deli Tua dinyatakan islam hampir tidak diketemukan selain sebuah meriam buatan Portugis bertuliskan aksara Arab dan Karo. Lagi pula, berdasarkan laporan kunjungan admiral Cheng Ho yang mengunjungi Pasai pada tahun 1405-1407 menyebut bahwa nama raja ARU pada saat itu dituliskan So-Lo-Tan Hut-Sing (Sultan Husin) dan membayar upeti ke Tiongkok. Kemudian, dalam ‖Sejarah Melayu‖ juga diceritakan suatu keadaan bahwa ARU telah berdiri sekurang-kurangnya telah berusia 100 tahun sebelum penyerbuan Iskandar Muda (1607-1636) pada tahun 1612 dan 1619. Dengan demikian, kuat dugaan bahwa centrum ARU yang telah terpengaruh Islam yang dimaksud pada laporan-laporan penulis Cina dan ‖Sejarah Melayu‖ tersebut adalah Kota Rentang. Diyakini bahwa kerajaan ARU adalah kerajaan yang besar dan kuat sehingga dianggap musuh oleh kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dibuktikan dari sumpah Amukti Palapa sebagaimana yang ditulis dalam kisah Pararaton (1966), yaitu: Sira Gajah Madapatih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah mada: ‖Lamun awus kalah nusantara isun amuktia palapa, amun kalah ring Guran, ring Seran, Tanjung Pura, ring HARU, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti Palapa‖. Hal senada juga dikemukakan oleh Muh. Yamin dalam bukunya dengan judul ‖Gajah Mada: Pahlawan Persatuan Nusantara ‖(2005). Dari penjelasan diatas diketahui bahwa berdasarkan periodeisasinya maka kerajaan ARU berdiri pada awal abad ke-13 yakni pasca runtuhnya kerajaan NAGUR Batak Timur pada tahun 1285. Pusat kerajaan ARU yang pertama ini adalah Kota Rentang dan telah terpengaruh Islam yang sesuai dengan bukti-bukti arkeologis yakni temuan nisan dengan ornamentasi Jawi yang percis sama dengan temuan di Aceh. Demikian pula temuan berupa stonewares dan earthenwares ataupun mata uang yang berasal dari abad 13-14 yang banyak ditemukan dari Kota Rentang. Bukti-bukti ini telah menguatkan dugaan bahwa lokasi ARU berada di Kota Rentang sebelum jatuh ketangan Aceh. Sebagai dampak serbuan yang terus menerus maka centrum ARU pindah ke Deli Tua yakni pada akhir abad ke-14, dan pada permulaan abad ke-15 Sultan Alauddin Riayat Syah Al Kahar (1537-1568) mulai berkuasa di Aceh. Benteng Putri Hijau Deli Tua Edmund Edwards McKinnon (2008) menulis ‖Aru was attacked by Aceh and the ruler killed by subterfuge and treachery. His wife fled into the surrounding forest on the back of an elephant and eventually made her way to Johor, where she married the ruling Sultan who helped her oust the Acehnese and regain her kingdom‖. Selanjutnya, ―a sixteenth century account by the Portuguese writer Pinto states that Aru was conquered by the Acehnese in 1539 and recounts how the Queen of Aru made her way to Johor and the events that transpired thereafter‖. Seperti yang dicatat dalam literature sejarah bahwa laskar Aceh tidak saja menyerang Kerajaan ARU tetapi juga Portugis dan kerajaan Johor yang merupakan sekutu ARU. Oleh karena itu, sejak kejatuhan ARU ketangan Aceh, maka centrum kerajaan ARU yang baru berpusat di Deli Tua (Old Deli) serta dipimpin oleh ratu ARU yang didukung oleh Portugis dan Kerajaan Johor. Dalam kisah Putri Hijau, ratu ARU inilah yang disebut sebagai Putri Hijau. Sedangkan nama ‘Putri Hijau‘ itu sendiri menurut McKinnon ada dikenal dalam cerita rakyat di India Selatan. Bukti-bukti peninggalan ARU Deli Tua adalah seperti benteng pertahanan (kombinasi alam dan bentukan manusia) yang masih bisa ditemukan hingga saat ini. Catatan resmi tentang benteng ini dapat diperoleh dari catatan P.J. Vet dalam bukunya Het Lanschap Deli op Sumatra (1866-1867) maupun Anderson pada tahun 1823 dimana digambarkan bahwa di Deli Tua terdapat benteng tua berbatu yang tingginya mencapai 30 kaki dan sesuai untuk pertahanan. Menurut Pinto, penguasa Portugis di Malaka tahun 1512-1515 bahwa ibukota (H)ARU berada di sungai ‗Panecitan‘ (Lau Patani) yang dapat dilalui setelah lima hari pelayaran dari Malaka. Pinto juga mencatat bahwa raja (H)ARU sedang sibuk mempersiapkan kubu-kubu dan benteng-benteng dan letak istananya kira-kira satu kilometer kedalam benteng. (H)ARU mempunyai sebuah meriam besar, yang dibeli dari seorang pelarian Portugis. Temuan lainnya adalah mata uang Aceh (Dirham) yang terbuat dari emas, dimana masyarakat disekitar benteng masih kerap menemukanya. Temuan ini sekaligus menjadi bukti bahwa Aceh pernah menyerang ARU Deli Tua dengan menyogok pengawal kerajaan dengan mata uang emas. Selanjutnya, menurut Lukman Sinar (1991) di Deli Tua pada tahun 1907