Tinjauan efektivitas kebijakan loan to value terhadap risiko property bubble di Indonesia menemukan bahwa pertumbuhan kredit pemilikan rumah yang tinggi berkorelasi dengan kenaikan indeks harga properti. Bank Indonesia memperketat aturan loan to value pada 2013 untuk menjaga stabilitas harga properti dan mencegah gelembung ekonomi. Kebijakan ini diharapkan dapat mengendalikan pertumbuhan kredit properti dan menurunkan risiko gagal bayar.
1. TINJAUAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LOAN TO VALUE PROPERTY
TERHADAP RISIKO PROPERTY BUBBLE DI INDONESIA
Isnu Rahadi Wiratama, Hendro Dwiyatno, Chabibah Nur Afida, Dian Bastiyan K,
Imam Garaudy, Andre Wijaya MP, Muhammad Arifin
Kelas 7A Program DIV Akuntansi Reguler, STAN, Tangerang Selatan
Kelas7areguler@gmail.com
Abstrak –
Bank Indonesia telah mengeluarkan aturan penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan
pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan property yang salah satunya berupa pengaturan besaran
loan to value terhadap kredit pemilikan property .Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bubble
ekonomi di sektor property sehingga menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Penulisan paper ini
bertujuan mengetahui sejauh mana efektifitas pengaturan besaran loan to value atas kredit pemilikan
property terhadap potensi property bubble yang nantinya akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi.
Kata Kunci: Loan To Value, Property Bubble, Kebijakan
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup
stabil meningkatkan pertumbuhan masyarakat kelas
menengah dan atas yang cukup signifikan seiring
dengan meningkatnya pendapatan perkapita per tahun.
Pertumbuhan ini juga dibarengi meningkatnya
pertumbuhan kredit konsumsi masyarakat termasuk di
sektor property. Bagaimana berkembangnya
penawaran property demi memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap property yang sebenarnya tidak
hanya untuk konsumsi semata tapi juga investasi. Hal
ini mendorong masyarakat yang berbondong-bondong
dalam mengajukan kredit pemilikan rumah, yang
berimbas meningkatnya pemberian kredit dari
perbankan. Bagaimana perbankan bersaing dalam hal
suku bunga pinjaman untuk menjaring semakin
banyak nasabah. Bank Indonesia dalam hal ini dirasa
perlu dalam melakukan pengetatan dalam kaitannya
dengan manajemen resiko mengantisipasi
meningkatnya resiko kredit bagi bank dengan kredit
property besar. Melalui surat edaran Bank Indonesia
No. 15/40/DKMP, bank Indonesia telah mengeluarkan
ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko pada
bank yang melakukan pemberian kredit atau
pembiayaan pemilikan properti, kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit
atau pembiayaan kendaraan bermotor. Salah satu poin
didalamnya adalah mengatur besaran loan to value
terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat
pemberian kredit. Peermasalahan yang akan dibahas
apakah dampak regulasi Bank Indonesia terhadap
kredit konsumsi dengan memperketat loan to value
pada kredit konsumsi akan mampu menjaga kestabilan
harga property dan mencegah terjadinya bubble di
sektor property.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
Bubble ekonomi adalah sebuah ekonomi
yang besar dalam perhitungan kuantitas
moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil,
bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan
perkembangannya. Disebut bubble ekonomi
karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata
tidak berisi apa-apa kecuali udara.( agustianto,
2010)
Menurut Wikipedia.org gelembung ekonomi
gelembung spekulatif atau gelembung keuangan
adalah perdagangan dalam volume besar dengan
harga yang sangat berbeda dengan nilai
intrinsiknya. Dalam kata lain mempedagangkan
produk atau asset dengan harga yang lebih tinggi
dari pada nilai fundamentalnya. Gelembung
(bubble) seringkali dibentuk oleh ekspektasi pasar
yang berlebih, yang membuat harga suatu
barang/aset melonjak tanpa diiringi nilai
fundamentalnya. Oleh karenanya, gelembung
ekonomi (economic bubble) ditafsirkan sebagai
fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang
jauh di atas nilai fundamentalnya. Yang menarik
dalam hal ini, ekspektasi seringkali membuat
orang-orang bersikap irasional. Ketika harga
suatu aset menjadi semakin tinggi—dan tentu
dengan stok terbatas, orang-orang justru akan
semakin tergugah untuk membelinya.
2. Rasio Loan to Value atau Financing to
Value sebagaimana dijelaskan dalam surat edaran
Bank Indonesia No. 15/40/DKMP, adalah angka
rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang
dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan
berupa Properti pada saat pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir
2.2 Metode penelitian
Kajian untuk paper Tinjauan Efektivitas
Kebijakan Loan To Value Property Terhadap
Risiko Property Bubble Di Indonesia dilakukan
melalui metode observasi kepustakaan dan
pencarian data melalui internet.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan Loan To Value (Jilid II)
Dari tahun 2008, Bank Indonesia
mencatatkan pertumbuhan Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) lebih tinggi dari pertumbuhan
kredit agregat yang ditengarai memicu kenaikan
indeks harga property. Mayoritas kredit
perumahan yang diambil merupakan kredit
pemilikan rumah tipe 22 sampai dengan tipe 70
yang mencapai 43% dari total kredit perumahan.
Berdasarkan penelaahan terhadap hal-hal
terkait kondisi Kredit Pemilikan Rumah
ditemukan bahwa terdapat korelasi positif antara
pertumbuhan indeks harga properti dengan
jumlah penyaluran kredit properti. Dalam grafik
di bawah terlihat bahwa sejak tahun 2003, trend
pergerakan jumlah kredit properti dengan indeks
harga properti relatif searah. Bila kredit property
meningkat, maka indeks harga properti juga akan
meningkat
Dari pantauan kredit property dalam negeri
terdapat kenaikan yang cukup signifikan.
Kenaikan ini didominasi oleh besarnya kredit
perumahan terutama untuk rumah tipe 22 sampai
dengan tipe 70. Untuk tipe besar, tingkat skema
pembiayaan tunai dinilai masih cukup tinggi.
Dalam hal ini, factor-faktor yang dinilai cukup
mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan
skema pembiayaan kredit dalam memperoleh
property adalah tingkat suku bunga pinjaman
dari bank, pendapatan dan besaran uang muka.
Pertumbuhan KPR yang cukup tinggi akan
mendorong meningkatnya harga property yang
dapat menyebabkan pertumbuhan harga property
yang bersifat bubble dan meningkatkan resiko
kredit bagi bank dengan kredit property besar.
Selain itu, kenaikan harga properti yang tinggi
pada tipe rumah menengah dan besar
dikhawatirkan juga akan mendorong kenaikan
harga rumah tipe kecil, sehingga menyebabkan
harga rumah tipe kecil semakin tidak terjangkau.
Hal ini yang mendorong Bank Indonesia untuk
memperketat loan to value pada kredit konsumsi
terutama property agar mampu menjaga
kestabilan harga property.
Dari Pengalaman negara-negara yang pernah
mengalami krisis keuangan akibat bubble
property dan literatur (Holt:2009), terdapat
beberapa kondisi yang umumnya mendahului
terjadinya krisis. Pertama adalah kondisi suku
bunga rendah. Kondisi ini membuat banyak
pihak lebih mudah memperoleh pembiayaan
properti sehingga KPR dan produk turunannya
tumbuh dengan cepat. Kondisi kedua adalah
ketentuan kredit yang longgar, Ketentuan yang
tidak disesuaikan dengan perkembangan situasi
perekonomian dapat menyebabkan penyaluran
kredit yang kurang hati-hati ke suatu sektor
termasuk KPR terus meingkat dan menimbulkan
risiko yang semakin besar. Faktor ketiga adalah
adanya persepsi yang meluas di masyarakat
bahwa harga properti akan senantiasa naik dan
tidak pernah turun.
Faktor ketiga dipandang memiliki peran
paling besar atas terjadinya bubble property
karena beberapa alasan, yaitu (1) Persepsi
tersebut membuat masyarakat bersedia membeli
properti pada harga berapapun, baik dengan dana
sendiri maupun dengan dana pinjaman dari
lembaga keuangan, dengan harapan akan
mendapat keuntungan bila properti dijual
kembali. (2) Bila perbankan juga memiliki
persepsi yang sama, bank dapat terjebak
membiayai KPR tanpa memperhatikan
kemungkinan nilai properti yang dibiayai sudah
overvalued. Bank yang kurang berhati-hati
cenderung percaya bahwa harga properti yang
terus naik akan dapat menutup kewajiban debitur
yang gagal memenuhi kewajibannya.
Pengalaman beberapa negara memperlihatkan
bahwa keyakinan mengenai harga properti yang
tidak pernah turun dapat memicu perilaku
masyarakat untuk berinvestasi properti secara
berlebihan. Bila hal ini dibiayai dengan
menggunakan kredit, maka kredit properti akan
3. naik signifikan dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan berpoternsi mendorong terjadinya
Bubble.
Bank Indonesia menerbitkan ketentuan LTV
pertama kali pada tahun 2012. Hasil evaluasi
terhadap pelaksanaan ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa pertumbuhan KPR masih
cukup tinggi dibarengi dengan kenaikan Indeks
Harga Properti Residensial (IHPR). Rata-rata
pertumbuhan KPR tipe di atas 70 m2 pada
sembilan (9) bulan pertama 2013 mencapai 33,6
%(yoy) dengan pertumbuhan tertinggi mencapai
45,7% (yoy) pada Januari 2013. Rata rata
pertumbuhan kredit untuk flat/apartemen (KPA)
dengan luas di atas 70m2 untuk periode yang
sama tumbuh 65,3% (yoy) dengan pertumbuhan
tertinggi mencapai 71,4% pad April 2013.
Pertumbuhan ini jauh di atas pertumbuhan kredit
industri perbankan secara agregat sebesar 22,2%
pada 9 bulan pertama tahun 2013.
Sementara itu, pada triwulan I 2013 kenaikan
IHPR mencapai 11,2%. Kenaikan ini lebih
tinggi daripada pertumbuhan GDP Indonesia
pada saat yang sama.Angka pertumbuhan IHPR
terus naik menjadi 13,5% pada triwulan II dan
14,6% pada triwulan III.
Bila kondisi ini terus berlanjut, harga rumah
akan semakin sulit terjangkau oleh sebagian
masyarakat, terutama yang berpendapatan
rendah. Berdasarkan survei Bank Indonesia,
kenaikan harga rumah residensial ini tidak hanya
terjadi di jabodetabek namun telah menyebar ke
berbagai wilayah di Indonesia.
Tetap tinginya pertumbuhan beberapa tipe
KPR/KPA yang disertai kenaikan harga rumah
yang cukup signifikan, ditengarai tidak hanya
bersumber dari permintaan pemenuhan
kebutuhan Primer akan tempat tinggal.Karena
permintaan juga dikarenakan adanya permintaan
non primer, yaitu untuk tujuan Investasi. Survey
Khusus Sektor Riil (SKSR) mengungkapkan
adanya preferensi masyarakat yang
menggunakan properti sebagai instrumen
investasi. Responden yang menyatakan lebih
memilih properti sebagai alat investasi mencapai
64% lebih tinggi daripada yang memilih emas
(25,4%), deposito (13,8%) dan saham/reksadana
(6,4%). Sebanyak 81, 1 % responden yang
memilih properti berasalan adanya ekspektasi
kenaikan harga.
Temuan survei ini didukung oleh adanya data
bahwa per April 2013 terdapat 35.298 debitur
yang memiliki fasilitas KPR/KPA lebih dari satu
dengan baki debet Rp 31,8 Triliun. Jumlah ini
sekitar 12,4% dari total debet KPR/KPA posisi
April 2013 sebesar Rp 257,6 Triliun.
Biladitelusuri lebih lanjut, dalam tiga tahun
terakhir jumlah debitur yang memiliki fasilitas
KPR lebih dari satu cenderung meningkat (lihat
tabel). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan
kredit perbankan untuk keperluan pembelian
properti nonPrimer meningkat dari tahun ke
tahun.
Apabila perkembangan tersebut belangsung
tanpa terkendali, maka potensi terjadinya gagal
bayar akan menjadi lebih besar. Hasil stress test
menunjukkan bahwa saat ini bila terjadi 10%
default pada kredit properti, maka CAR industri
perbankan masih tetap sesuai ketentuan. Namun
demikian terdapat peningkatan NPL di beberapa
bank hingga menjadi di atas 5% sehingga bank
bank tersebut harus ditempatkan dalam
pengawasan khusus (Special Surveillance).
Di samping itu dari hasil pengamatan,
terdapat korelasi posistif antara pertumbuhan
IHPR dengan pertumbuhan kredit properti.
Pergerakan IHPR dan kredit properti ini relatif
searah. Bila Kredit Properti naik, IHPR juga ikut
naik dan sebaliknya. Dengan demikian untuk
mengendalikan harga properti residensial perlu
dilakukan penaturan kredit properti.
Berdasarkan pertimbangan pertimbangan
terebut di atas Bank Indonesia melakukan
penyemurnaan ketentuan LTV melalui SE No.
15/40/DKMP tanggal 24 September 2013.
Dengan penyempurnaan ketentuan ini
diharapkan risiko kredit di sektor kredit sektor
properti lebih terjaga, pemerataan kesempatan
memperoleh pembiyaan kepemilikan rumah
tercipta, perlindungan konsumen sektor properti
meningkat dan pada akhirnya membuat sektor
properti dapat tumbuh secara sehat dan
berkelanjutan.
Sejak pemberlakuan ketentuan LTV yang
baru, sampai saat ini beberapa indiktor terkait
perkembangan KPR menunjukkan arah yang
sesuai harapan, antara lain NPL KPR yang
menurun. NPL KPR rata-rata pada sembilan
bulan pertama 2013 sebelum ketentuan LTV
baru berlaku adalah sebesar 2,4%. NPL ini turun
menjadi rata-rata 2,2% pada tiga bulan terakhir
2013. KPR tipe menengah (22-70m2) cenderung
tumbuh lebih tinggi (dari rata-rata 21,67% pada
Januari-September 2013 menjadi rata-rata
32,51% pada Oktober-Desember 2013).
Perkembangan ini sesuai dengan harapan bahwa
aturan LTV yang baru dapat lebih memberikan
pemerataan kesempatan memperoleh pembiyaan
kepemilikan rumah karena umunya tipe
menengah ini digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan primer. Pertumbuhan IHPR pada
triwulan IV 2013 turun menjadi 1,77% qtq
(11,51% yoy). Hal ini menunjukkan bahwa
setelah penerapan ketentuan LTV yang baru
terjadi perlambatan pertumbuhan harga properti
residensial. Pertumbuhan debitur yang memilki
KPR lebih dari satu melamat dengan hanya 5.846
debitur selama 2013. Jumlah ini lebih kecil
dibandingkan penambahan debitur dengan KPR
4. lebih dari satu di tahun 2011 dan 2012
sebagaimana terdaat pada tabel.
3.2 Kebijakan Loan To Value pada Asian
Emerging Countries
Beberapa negara Asian dengan
perekonomian yang sedang berkembang pesat
telah berhasil menerapakan Loan To Value untuk
meredam peningkatan harga-harga rumah atau
properti.
3.2.1 Hongkong
History of LTV policy in Hong Kong (Wong
Fong, Li and Choi, 2011)
Pengalaman Hong Kong dalam segmen pasar
perumahan dapat ditunjukkan melalui kebijakan LTV
Jangka Panjang (LTV Long Run Effect) di dalam
sistem kestabilan bank. Kebijakan LTV Hong Kong
telah dijalankan selama 20 tahun.
Fase 1: Sebelum 1997
Sebelum adanya adaptasi kebijakan LTV tahun 1991,
firma keuangan terotorisasi diperbolehkan untuk
memberikan pinjaman mortage mencapai 90 % dari
harga pembelian atau harga pasar dari properti. Bulan
November 1995, Pemerintah Hong Kong
mengkonfirmasi bahwa 70% rasio LTV akan diadopsi
menjadi kebijakan jangka pangjang LTV.
Fase 2 : dari 1997 sampai 1999
Untuk merespon kenaikan signifikasn harga
perumahan tahun 1996, tanda-tanda aktivitas spekulasi
dan peningkatan pemberian pinjaman mortgage,
HKMA menerbitkan panduan kepada seluruh firma
keuangan terotorisasi pada Januari 1997 dengan
rekomendasi LTV maksimum sebesar 60% untuk
Properti dengan nilai lebih dari HK$ 12 juta atau yang
dinamakan properti mewah. Dengan adanya krisis
keuangan Asia, Harga properti Hong Kong jatuh
signifikan lebih dari 40% dari September 1997 ke
September 1998 namun Mortgage Delinquency Ratio
tetap berada di bawah 1,43%.
Fase 3: dari 2000 sampai 2008
Oktober 2001, HKMA menurunkan LTV rasio 60%
untuk segmen mewah (luxury) dan mengembalikan
LTV ratio maksmum sebesar 70%. Dikarenakan
Pendaptan Rumah Tangga menurun tajam setelah
adanya krisis asia, Calon Pembeli Rumah mengalami
kesulitan berat dalam pasar perumahan, yang mana
menjadi sebab pelonggaran LTV menjadi 70%.
Fase 4: dari 2009 sampai saat ini
Sebagai Akibat dari kuatnya aliran modal dan tingkat
bunga tidak biasa dan kebijakan lebih longgar dari
bank sentral sejak awal 2009, Harga perumahan di
Hong Kong meningkat secara tajam. Sebagai alat
ukuran kehati hatian, HKMA menerbitkan panduan
bahwa semua firma keuangan terotorisasi harus
mengurangi LTV ratio maksimum terhadap properti
dengan nilai HK$20 juta atau lebih dengan tarif 70%
sampai dengan 60%.
Kebijakan LTV Hong Kong efektif mengurangi risiko
sistemik berkenaan dengan Booming di Bisnis
Properti dan Bukti bukti empiris menunjukkan bahwa
program asuransi Mortgage dapat memitigasi batasan
likuiditas tanpa meng-undermining keefektifitan Rasio
LTV sebagai alat kebijakan 9hkma 2011).
Implikasi : Ketika Pembuat kebijakan tidak dapat
menjalankan tarif moneter otomatis atau nilai tukar
seperti Euro, KTV dapat membantu sebagai penjaga
dari Properti Buble. Regulator Keuangan dapat
menghindari atau mengurangi biaya sosial tidak perlu
dengan menerapkan kebijakan Jaga-Jaga (Back Up
Policy).
Sebuah anggapan bahwa MIP bisa menurunkan
keefektifan dari kebijakan LTV karena membolehkan
pemilik rumah meningkatkan rasionya. Yang
berakibat meningkatkan resiko ketidakbayaran, dalam
teory, yang akibatnya merugikan bank. Tetapi pada
kenyataannya HKMC MIP portofolio menikmati ratio
ketidaktertagihan yang lebih rendah daripada Hong
Kong sektor perbankan, yang mengindikasikan
bahwa, MIP sebenarnya membantu HKMC untuk
menutupi kekurangan yang ada.Mulai tahun 2009
sebagai hasil dari banyaknya aliran modal yang masuk
dan tingkat bunga rendah yang tidak biasa serta
pelonggaran peraturan oleh bank sentral, membuat
harga properti meningkat dengan tajam dengan
kisaran di atas harga pasar. Sebagai lembaga makro
prudential, HKMA mengeluarkan peraturan yang
memaksa Als untuk menurunkan rasio LTV dengan
harga property diatas $20 juta dollar hong kong dari
5. 70% menjadi 60% pada agustus 2010, untuk lebih
membantu menjaga stabilitas perbankan dan
membantu bank-bank memanage resiko kredit dengan
lebih hati-hati, HKMA juga mengeluarkan
menerapkan maxium LTV rasio untuk properti dengan
harga setidaknya $12 juta dollar hong kong yang
tergolong tidak ditinggali pemilik dengan rasio 60%.
Untuk memperkuat terhadap resiko dalam sektor
perbankan bisnis RML. HKMA mengeluarkan
peraturan mengeluarkan peraturan pada 19 november
2010 yaitu: (1) menurunkan rasio LTV dari 60-50%
untuk properti dengan harga setidaknya $12 juta dollar
hong kong ; (2) menurunkan rasio maksimal LTV
untuk properti perumahan dengan harga setidaknya $8
- %12 juta dollar hong kong dari 70%-60%; (3) tidak
merubah rasio LTV maksimum 70% yang tergolong
properti yang ditinggali dengan harga dibawah $8 juta
dollar hong kong, tetapi melarang pinjaman kredit
perumahan melebihi $4,8 juta dollar hong kong; (4)
menurunkan rasio LTV maksimum menjadi 50%
untuk semua properti yang tergolong perumahan yang
tidak ditinggali, properti yang dimiliki perusahaan,
tidak memandang berapapun harga pasar roperti
tersebut.
3.2.2 Singapore
Property Prices index (Datastream: March
2007=100)
Outstanding housing loan by LTV(MAS)
Permintaan Tertarget Singapura (Singapore
targeted demand) dapat dibedakan menjadi tiga
segmen pembeli properti yang berbeda : (1)
Spekulan Properti, (2) Investor. Singkatnya, The
Seller Stamp Duty (SSD) bertujuan menurunkan
pembelian spekulatif jangka pendek dengan tarif
pajak lebih tinggi untuk dijual kembali dalam
periode yang lebih pendek. Menurunkan rasio
LTV untuk pembeli noon-perseorangan (non-
individual) dan para pembeli dengan pinjaman
KPR (housing loan) menyasar investor properti
tanpa mempengaruhi pemilik rumah pertama
kali.
Otoritas Singapura menggunakan alat
kebijakan yang berbeda untuk respon yang
efektif dan koheren terhadap tekanan pasar
perumahan. Kebijakan tersebut disasarkan pada
segmen pasar berbeda, dengan mengumumkan
kebijakan tersebut dalam satu paket akan
mengirmkan sinyal yang kuat terhadap
ekspektasi pasar. Beberapa koordinasi
membutuhkan kolaborasi level tinggi di antara
para pihak yang berwenang dan terlibat.,
termasuk berbagi informasi dan intelijen pasar
dan menyepakati kebijakan yang
menguntungkan.
Implikasi: Dengan kebijakan LTV Singapura
telah mencapai apa yang ditargetkan, pembedaan
penyebab permintaan perumahan dan
pertimbangan faktor-faktor penyesdia.
3.2.3 China
Di China, booming harga konstruksi dan
properti sampai dengan 30% terjadi tahun 2000
sampai dengan 2005. Pertumbuhan pendapatan
nasional yang kuat, dipadukan dengan
pelarangan investasi di luar negeri, limited
battery of investment at home dan arus modal
masuk telah menaikkan harga rumah telampau
tinggi, dan timbul kekhawatiran baru akan
munculnya bubble. Kebaikan harga rumah tetap
lebih dari 10% selama bertahun tahun.
LTV maksimum sebesar 80% diterapkan
pada awal 2001 dan penurunan menjadi 70%
diterapkan untukbeberapa segmen tertentu tahun
2005 dan 2006. Limit DTI melebihi 50%
diperkenalkan tahun 2004. Kebijaka ini
dibarengi dengan peningkayan tarif hipotik dan
persyaratan simpanan wajib bank (bank
mandatory reserve). Akhir 2009, Otoritas
pemerintah China mengadopsi satu set
pengukuran baru untuk mengendalikan pasar
property. Kebijakan ini juga termasuk
pengecualian insentif pajak tertentu,
memperketat persyaratan proyek pengembangan
lahan dan lain lain. Tahun 2010, limit adalah
80% LTV secara umum, sedangkan 70% untuk
pembelian rumah pertama, 40% untuk
pembelian rumah kedua, dan tidak ada
peminjaman untuk rumah ketiga.
6. Housing market activity in selected Chinese cities
(NBS, BIS)
3.2.4 Malaysia
Malaysia memulai LTV maksimum sebesar 60%
untuk pembelian rumah di atas RM 150.000
tahun 1995 dan menambahn LTV maksmimum
sebesar 70% untuk pembelian properti ketiga
tahun 2011. Saat ini, Malaysia bahkan
menerapkan 100% (sebelumnya 75%)
berdasarkan perhitungan risk-weighted assets
untuk agunan dimana LTV sebesar 90% atau
lebih.
3.3 USULAN REKOMENDASI
Kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam
menjaga agar tidak terjadi property cricis via
property bubble yakni :
1. Mencoba perubahan paradigma tentang
membangun bisnis perumahan, dimana
selama ini fokus dari pemerintah adalah
membangun rumah yang terkesan
membutuh lahan yag cukup luas, sudah saat
pembangunan perumahan menggunakan
sistem apatemen mengingat lahan yang
terdapat di Indonesia semakin sempit dan
penduduk Indonesia tumbuh semakin besar.
Dengan menggunakan pembangunan sistem
apartemen lahan yang diperlukan tentunya
lebih sedikit dan lahan yang tersisa bisa
digunakan sebagai lahan yang lebih
produktif
2. Dengan adanya kebijakan LTV maka sudah
dapat dipastikan bahwa masyarkat sedikit
mengalami penurunan minat dalam membeli
perumahan apabila hal ini terus menerus
berlaku maka kondisi iklim bisnis
perumahan akan menurun untuk mengatasi
permasalah tersebut pemerintah diharapkan
mampu mengkaji sistem sewa perumahan
yang di Indonesia. Hal ini dikarenakan
apabila masyarakat yang kesulitan untuk
membeli rumah diakibatkan uang muka
yang terlalu tinggi maka sudah dipastikan
masyarakat akan beralih ke sistem sewa
perumahan yang dinggap lebih murah2.
3. Dengan adanya kebijakan LTV maka sudah
dapat dipastikan bahwa masyarkat sedikit
mengalami penurunan minat dalam membeli
perumahan apabila hal ini terus menerus
berlaku maka kondisi iklim bisnis
perumahan akan menurun untuk mengatasi
permasalah tersebut pemerintah diharapkan
mampu mengkaji sistem sewa perumahan
yang di Indonesia. Hal ini dikarenakan
apabila masyarakat yang kesulitan untuk
membeli rumah diakibatkan uang muka
yang terlalu tinggi maka sudah dipastikan
masyarakat akan beralih ke sistem sewa
perumahan yang dinggap lebih murah
4. Pemerintah Indonesia perlu membuat
instrument pengendalian pertumbuhan
sektor properti antara lain dengan membuat
instrumen pengendali dari sisi fiskal.
5. Pemerintah perlu Meminimalisasi
Penggunaan Istilah Property Bubble dalam
Berkomunikasi kepada Masyarakat
Istilah property bubble dalam
banyak hal merupakan sebuah kata yang
sarat dengan berbagai penafsiran yang
bervariasi. Masyarakat dapat menafsirkan "
gelembung " sebagai kesempatan untuk
short selling . Beberapa mungkin
menafsirkan istilah ini sebagai berarti
‘kecelakaan’ yang sudah dekat. Akibatnya,
ucapan otoritas pemerintah maupun moneter
tentang property bubble dapat menyebabkan
harga aset untuk bereaksi, sering kali dalam
cara yang tidak terduga
6. Pembatasan Kepemilikan Properti oleh
InvestorAsing
Investorasing pada umumnya
memiliki dana yang relatife besar
dibandingkan dengan calon konsumen dari
Indonesia. Hal ini menyebabkan daya tawar
mereka yang relatif besar atas properti di
Indonesia. Pada akhirnya, tanpa pembatasan
kepemilikan asing, akan terjadi peningkatan
harga properti yang dapat mendorong
terjadinya property bubble.
Pembatasan kepemilikan asing dapat
dilakukan dengan beberapa cara.
Diantaranya adalah penetapan pajak properti
yang sangat tinggi atas investor asing.
Pemerintah juga dapat mengeluarkan
peraturan terkait pembatasan kepemilikan
asing atas aset-aset tertentu, misalnya
7. perumahan. Pemerintah Inggris menerapkan
cara pertama untuk menekan properprti
bubble di negaranya.
7. Pengetatan Perizinan dari BPN atas
Pembangunan Kompek Perumahan.
Bubble properti tidak terlepas dari
sifat alami pengembang yang cenderung
melakukan pembelian tanah dengan harga
yang rendah dan menjualnya dengan harga
yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilakukan
pengembang dengan membangun kawasan
perumahan yang mewah di lahan yang pada
awalnya memiliki nilai pasar yang sangat
rendah. Fenomena seperti ini bisa menjadi
katalis bagi terciptanya property bubble.
Kontrol atas perilaku pengembang
seperti ini berada pada Badan Pertanahan
Nasional (BPN). BPN perlu mengeluarkan
kebijakan terkait pembatasan pembangunan
perumahan, tentu dengan pertimbangan
kemajuan ekonomi di wilayahnya.
4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas didapat gambaran
penting mengenai LTV sebagai alat kebijakan makro-
prudensial mengenai efektivitas dan kelemahannya.
Pengalaman menunjukkan bahwa LTV efektif dalam
mengurangi resiko sistemik yang berhubungan dengan
bubble dan siklus putaran di pasar properti.
DAFTAR REFERENSI
[1]