SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  7
TINJAUAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LOAN TO VALUE PROPERTY
TERHADAP RISIKO PROPERTY BUBBLE DI INDONESIA
Isnu Rahadi Wiratama, Hendro Dwiyatno, Chabibah Nur Afida, Dian Bastiyan K,
Imam Garaudy, Andre Wijaya MP, Muhammad Arifin
Kelas 7A Program DIV Akuntansi Reguler, STAN, Tangerang Selatan
Kelas7areguler@gmail.com
Abstrak –
Bank Indonesia telah mengeluarkan aturan penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan
pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan property yang salah satunya berupa pengaturan besaran
loan to value terhadap kredit pemilikan property .Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bubble
ekonomi di sektor property sehingga menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Penulisan paper ini
bertujuan mengetahui sejauh mana efektifitas pengaturan besaran loan to value atas kredit pemilikan
property terhadap potensi property bubble yang nantinya akan berdampak pada pertumbuhan
ekonomi.
Kata Kunci: Loan To Value, Property Bubble, Kebijakan
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup
stabil meningkatkan pertumbuhan masyarakat kelas
menengah dan atas yang cukup signifikan seiring
dengan meningkatnya pendapatan perkapita per tahun.
Pertumbuhan ini juga dibarengi meningkatnya
pertumbuhan kredit konsumsi masyarakat termasuk di
sektor property. Bagaimana berkembangnya
penawaran property demi memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap property yang sebenarnya tidak
hanya untuk konsumsi semata tapi juga investasi. Hal
ini mendorong masyarakat yang berbondong-bondong
dalam mengajukan kredit pemilikan rumah, yang
berimbas meningkatnya pemberian kredit dari
perbankan. Bagaimana perbankan bersaing dalam hal
suku bunga pinjaman untuk menjaring semakin
banyak nasabah. Bank Indonesia dalam hal ini dirasa
perlu dalam melakukan pengetatan dalam kaitannya
dengan manajemen resiko mengantisipasi
meningkatnya resiko kredit bagi bank dengan kredit
property besar. Melalui surat edaran Bank Indonesia
No. 15/40/DKMP, bank Indonesia telah mengeluarkan
ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko pada
bank yang melakukan pemberian kredit atau
pembiayaan pemilikan properti, kredit atau
pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit
atau pembiayaan kendaraan bermotor. Salah satu poin
didalamnya adalah mengatur besaran loan to value
terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat
pemberian kredit. Peermasalahan yang akan dibahas
apakah dampak regulasi Bank Indonesia terhadap
kredit konsumsi dengan memperketat loan to value
pada kredit konsumsi akan mampu menjaga kestabilan
harga property dan mencegah terjadinya bubble di
sektor property.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Landasan Teori
Bubble ekonomi adalah sebuah ekonomi
yang besar dalam perhitungan kuantitas
moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil,
bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan
perkembangannya. Disebut bubble ekonomi
karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata
tidak berisi apa-apa kecuali udara.( agustianto,
2010)
Menurut Wikipedia.org gelembung ekonomi
gelembung spekulatif atau gelembung keuangan
adalah perdagangan dalam volume besar dengan
harga yang sangat berbeda dengan nilai
intrinsiknya. Dalam kata lain mempedagangkan
produk atau asset dengan harga yang lebih tinggi
dari pada nilai fundamentalnya. Gelembung
(bubble) seringkali dibentuk oleh ekspektasi pasar
yang berlebih, yang membuat harga suatu
barang/aset melonjak tanpa diiringi nilai
fundamentalnya. Oleh karenanya, gelembung
ekonomi (economic bubble) ditafsirkan sebagai
fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang
jauh di atas nilai fundamentalnya. Yang menarik
dalam hal ini, ekspektasi seringkali membuat
orang-orang bersikap irasional. Ketika harga
suatu aset menjadi semakin tinggi—dan tentu
dengan stok terbatas, orang-orang justru akan
semakin tergugah untuk membelinya.
Rasio Loan to Value atau Financing to
Value sebagaimana dijelaskan dalam surat edaran
Bank Indonesia No. 15/40/DKMP, adalah angka
rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang
dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan
berupa Properti pada saat pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir
2.2 Metode penelitian
Kajian untuk paper Tinjauan Efektivitas
Kebijakan Loan To Value Property Terhadap
Risiko Property Bubble Di Indonesia dilakukan
melalui metode observasi kepustakaan dan
pencarian data melalui internet.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kebijakan Loan To Value (Jilid II)
Dari tahun 2008, Bank Indonesia
mencatatkan pertumbuhan Kredit Kepemilikan
Rumah (KPR) lebih tinggi dari pertumbuhan
kredit agregat yang ditengarai memicu kenaikan
indeks harga property. Mayoritas kredit
perumahan yang diambil merupakan kredit
pemilikan rumah tipe 22 sampai dengan tipe 70
yang mencapai 43% dari total kredit perumahan.
Berdasarkan penelaahan terhadap hal-hal
terkait kondisi Kredit Pemilikan Rumah
ditemukan bahwa terdapat korelasi positif antara
pertumbuhan indeks harga properti dengan
jumlah penyaluran kredit properti. Dalam grafik
di bawah terlihat bahwa sejak tahun 2003, trend
pergerakan jumlah kredit properti dengan indeks
harga properti relatif searah. Bila kredit property
meningkat, maka indeks harga properti juga akan
meningkat
Dari pantauan kredit property dalam negeri
terdapat kenaikan yang cukup signifikan.
Kenaikan ini didominasi oleh besarnya kredit
perumahan terutama untuk rumah tipe 22 sampai
dengan tipe 70. Untuk tipe besar, tingkat skema
pembiayaan tunai dinilai masih cukup tinggi.
Dalam hal ini, factor-faktor yang dinilai cukup
mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan
skema pembiayaan kredit dalam memperoleh
property adalah tingkat suku bunga pinjaman
dari bank, pendapatan dan besaran uang muka.
Pertumbuhan KPR yang cukup tinggi akan
mendorong meningkatnya harga property yang
dapat menyebabkan pertumbuhan harga property
yang bersifat bubble dan meningkatkan resiko
kredit bagi bank dengan kredit property besar.
Selain itu, kenaikan harga properti yang tinggi
pada tipe rumah menengah dan besar
dikhawatirkan juga akan mendorong kenaikan
harga rumah tipe kecil, sehingga menyebabkan
harga rumah tipe kecil semakin tidak terjangkau.
Hal ini yang mendorong Bank Indonesia untuk
memperketat loan to value pada kredit konsumsi
terutama property agar mampu menjaga
kestabilan harga property.
Dari Pengalaman negara-negara yang pernah
mengalami krisis keuangan akibat bubble
property dan literatur (Holt:2009), terdapat
beberapa kondisi yang umumnya mendahului
terjadinya krisis. Pertama adalah kondisi suku
bunga rendah. Kondisi ini membuat banyak
pihak lebih mudah memperoleh pembiayaan
properti sehingga KPR dan produk turunannya
tumbuh dengan cepat. Kondisi kedua adalah
ketentuan kredit yang longgar, Ketentuan yang
tidak disesuaikan dengan perkembangan situasi
perekonomian dapat menyebabkan penyaluran
kredit yang kurang hati-hati ke suatu sektor
termasuk KPR terus meingkat dan menimbulkan
risiko yang semakin besar. Faktor ketiga adalah
adanya persepsi yang meluas di masyarakat
bahwa harga properti akan senantiasa naik dan
tidak pernah turun.
Faktor ketiga dipandang memiliki peran
paling besar atas terjadinya bubble property
karena beberapa alasan, yaitu (1) Persepsi
tersebut membuat masyarakat bersedia membeli
properti pada harga berapapun, baik dengan dana
sendiri maupun dengan dana pinjaman dari
lembaga keuangan, dengan harapan akan
mendapat keuntungan bila properti dijual
kembali. (2) Bila perbankan juga memiliki
persepsi yang sama, bank dapat terjebak
membiayai KPR tanpa memperhatikan
kemungkinan nilai properti yang dibiayai sudah
overvalued. Bank yang kurang berhati-hati
cenderung percaya bahwa harga properti yang
terus naik akan dapat menutup kewajiban debitur
yang gagal memenuhi kewajibannya.
Pengalaman beberapa negara memperlihatkan
bahwa keyakinan mengenai harga properti yang
tidak pernah turun dapat memicu perilaku
masyarakat untuk berinvestasi properti secara
berlebihan. Bila hal ini dibiayai dengan
menggunakan kredit, maka kredit properti akan
naik signifikan dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan berpoternsi mendorong terjadinya
Bubble.
Bank Indonesia menerbitkan ketentuan LTV
pertama kali pada tahun 2012. Hasil evaluasi
terhadap pelaksanaan ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa pertumbuhan KPR masih
cukup tinggi dibarengi dengan kenaikan Indeks
Harga Properti Residensial (IHPR). Rata-rata
pertumbuhan KPR tipe di atas 70 m2 pada
sembilan (9) bulan pertama 2013 mencapai 33,6
%(yoy) dengan pertumbuhan tertinggi mencapai
45,7% (yoy) pada Januari 2013. Rata rata
pertumbuhan kredit untuk flat/apartemen (KPA)
dengan luas di atas 70m2 untuk periode yang
sama tumbuh 65,3% (yoy) dengan pertumbuhan
tertinggi mencapai 71,4% pad April 2013.
Pertumbuhan ini jauh di atas pertumbuhan kredit
industri perbankan secara agregat sebesar 22,2%
pada 9 bulan pertama tahun 2013.
Sementara itu, pada triwulan I 2013 kenaikan
IHPR mencapai 11,2%. Kenaikan ini lebih
tinggi daripada pertumbuhan GDP Indonesia
pada saat yang sama.Angka pertumbuhan IHPR
terus naik menjadi 13,5% pada triwulan II dan
14,6% pada triwulan III.
Bila kondisi ini terus berlanjut, harga rumah
akan semakin sulit terjangkau oleh sebagian
masyarakat, terutama yang berpendapatan
rendah. Berdasarkan survei Bank Indonesia,
kenaikan harga rumah residensial ini tidak hanya
terjadi di jabodetabek namun telah menyebar ke
berbagai wilayah di Indonesia.
Tetap tinginya pertumbuhan beberapa tipe
KPR/KPA yang disertai kenaikan harga rumah
yang cukup signifikan, ditengarai tidak hanya
bersumber dari permintaan pemenuhan
kebutuhan Primer akan tempat tinggal.Karena
permintaan juga dikarenakan adanya permintaan
non primer, yaitu untuk tujuan Investasi. Survey
Khusus Sektor Riil (SKSR) mengungkapkan
adanya preferensi masyarakat yang
menggunakan properti sebagai instrumen
investasi. Responden yang menyatakan lebih
memilih properti sebagai alat investasi mencapai
64% lebih tinggi daripada yang memilih emas
(25,4%), deposito (13,8%) dan saham/reksadana
(6,4%). Sebanyak 81, 1 % responden yang
memilih properti berasalan adanya ekspektasi
kenaikan harga.
Temuan survei ini didukung oleh adanya data
bahwa per April 2013 terdapat 35.298 debitur
yang memiliki fasilitas KPR/KPA lebih dari satu
dengan baki debet Rp 31,8 Triliun. Jumlah ini
sekitar 12,4% dari total debet KPR/KPA posisi
April 2013 sebesar Rp 257,6 Triliun.
Biladitelusuri lebih lanjut, dalam tiga tahun
terakhir jumlah debitur yang memiliki fasilitas
KPR lebih dari satu cenderung meningkat (lihat
tabel). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan
kredit perbankan untuk keperluan pembelian
properti nonPrimer meningkat dari tahun ke
tahun.
Apabila perkembangan tersebut belangsung
tanpa terkendali, maka potensi terjadinya gagal
bayar akan menjadi lebih besar. Hasil stress test
menunjukkan bahwa saat ini bila terjadi 10%
default pada kredit properti, maka CAR industri
perbankan masih tetap sesuai ketentuan. Namun
demikian terdapat peningkatan NPL di beberapa
bank hingga menjadi di atas 5% sehingga bank
bank tersebut harus ditempatkan dalam
pengawasan khusus (Special Surveillance).
Di samping itu dari hasil pengamatan,
terdapat korelasi posistif antara pertumbuhan
IHPR dengan pertumbuhan kredit properti.
Pergerakan IHPR dan kredit properti ini relatif
searah. Bila Kredit Properti naik, IHPR juga ikut
naik dan sebaliknya. Dengan demikian untuk
mengendalikan harga properti residensial perlu
dilakukan penaturan kredit properti.
Berdasarkan pertimbangan pertimbangan
terebut di atas Bank Indonesia melakukan
penyemurnaan ketentuan LTV melalui SE No.
15/40/DKMP tanggal 24 September 2013.
Dengan penyempurnaan ketentuan ini
diharapkan risiko kredit di sektor kredit sektor
properti lebih terjaga, pemerataan kesempatan
memperoleh pembiyaan kepemilikan rumah
tercipta, perlindungan konsumen sektor properti
meningkat dan pada akhirnya membuat sektor
properti dapat tumbuh secara sehat dan
berkelanjutan.
Sejak pemberlakuan ketentuan LTV yang
baru, sampai saat ini beberapa indiktor terkait
perkembangan KPR menunjukkan arah yang
sesuai harapan, antara lain NPL KPR yang
menurun. NPL KPR rata-rata pada sembilan
bulan pertama 2013 sebelum ketentuan LTV
baru berlaku adalah sebesar 2,4%. NPL ini turun
menjadi rata-rata 2,2% pada tiga bulan terakhir
2013. KPR tipe menengah (22-70m2) cenderung
tumbuh lebih tinggi (dari rata-rata 21,67% pada
Januari-September 2013 menjadi rata-rata
32,51% pada Oktober-Desember 2013).
Perkembangan ini sesuai dengan harapan bahwa
aturan LTV yang baru dapat lebih memberikan
pemerataan kesempatan memperoleh pembiyaan
kepemilikan rumah karena umunya tipe
menengah ini digunakan untuk pemenuhan
kebutuhan primer. Pertumbuhan IHPR pada
triwulan IV 2013 turun menjadi 1,77% qtq
(11,51% yoy). Hal ini menunjukkan bahwa
setelah penerapan ketentuan LTV yang baru
terjadi perlambatan pertumbuhan harga properti
residensial. Pertumbuhan debitur yang memilki
KPR lebih dari satu melamat dengan hanya 5.846
debitur selama 2013. Jumlah ini lebih kecil
dibandingkan penambahan debitur dengan KPR
lebih dari satu di tahun 2011 dan 2012
sebagaimana terdaat pada tabel.
3.2 Kebijakan Loan To Value pada Asian
Emerging Countries
Beberapa negara Asian dengan
perekonomian yang sedang berkembang pesat
telah berhasil menerapakan Loan To Value untuk
meredam peningkatan harga-harga rumah atau
properti.
3.2.1 Hongkong
History of LTV policy in Hong Kong (Wong
Fong, Li and Choi, 2011)
Pengalaman Hong Kong dalam segmen pasar
perumahan dapat ditunjukkan melalui kebijakan LTV
Jangka Panjang (LTV Long Run Effect) di dalam
sistem kestabilan bank. Kebijakan LTV Hong Kong
telah dijalankan selama 20 tahun.
Fase 1: Sebelum 1997
Sebelum adanya adaptasi kebijakan LTV tahun 1991,
firma keuangan terotorisasi diperbolehkan untuk
memberikan pinjaman mortage mencapai 90 % dari
harga pembelian atau harga pasar dari properti. Bulan
November 1995, Pemerintah Hong Kong
mengkonfirmasi bahwa 70% rasio LTV akan diadopsi
menjadi kebijakan jangka pangjang LTV.
Fase 2 : dari 1997 sampai 1999
Untuk merespon kenaikan signifikasn harga
perumahan tahun 1996, tanda-tanda aktivitas spekulasi
dan peningkatan pemberian pinjaman mortgage,
HKMA menerbitkan panduan kepada seluruh firma
keuangan terotorisasi pada Januari 1997 dengan
rekomendasi LTV maksimum sebesar 60% untuk
Properti dengan nilai lebih dari HK$ 12 juta atau yang
dinamakan properti mewah. Dengan adanya krisis
keuangan Asia, Harga properti Hong Kong jatuh
signifikan lebih dari 40% dari September 1997 ke
September 1998 namun Mortgage Delinquency Ratio
tetap berada di bawah 1,43%.
Fase 3: dari 2000 sampai 2008
Oktober 2001, HKMA menurunkan LTV rasio 60%
untuk segmen mewah (luxury) dan mengembalikan
LTV ratio maksmum sebesar 70%. Dikarenakan
Pendaptan Rumah Tangga menurun tajam setelah
adanya krisis asia, Calon Pembeli Rumah mengalami
kesulitan berat dalam pasar perumahan, yang mana
menjadi sebab pelonggaran LTV menjadi 70%.
Fase 4: dari 2009 sampai saat ini
Sebagai Akibat dari kuatnya aliran modal dan tingkat
bunga tidak biasa dan kebijakan lebih longgar dari
bank sentral sejak awal 2009, Harga perumahan di
Hong Kong meningkat secara tajam. Sebagai alat
ukuran kehati hatian, HKMA menerbitkan panduan
bahwa semua firma keuangan terotorisasi harus
mengurangi LTV ratio maksimum terhadap properti
dengan nilai HK$20 juta atau lebih dengan tarif 70%
sampai dengan 60%.
Kebijakan LTV Hong Kong efektif mengurangi risiko
sistemik berkenaan dengan Booming di Bisnis
Properti dan Bukti bukti empiris menunjukkan bahwa
program asuransi Mortgage dapat memitigasi batasan
likuiditas tanpa meng-undermining keefektifitan Rasio
LTV sebagai alat kebijakan 9hkma 2011).
Implikasi : Ketika Pembuat kebijakan tidak dapat
menjalankan tarif moneter otomatis atau nilai tukar
seperti Euro, KTV dapat membantu sebagai penjaga
dari Properti Buble. Regulator Keuangan dapat
menghindari atau mengurangi biaya sosial tidak perlu
dengan menerapkan kebijakan Jaga-Jaga (Back Up
Policy).
Sebuah anggapan bahwa MIP bisa menurunkan
keefektifan dari kebijakan LTV karena membolehkan
pemilik rumah meningkatkan rasionya. Yang
berakibat meningkatkan resiko ketidakbayaran, dalam
teory, yang akibatnya merugikan bank. Tetapi pada
kenyataannya HKMC MIP portofolio menikmati ratio
ketidaktertagihan yang lebih rendah daripada Hong
Kong sektor perbankan, yang mengindikasikan
bahwa, MIP sebenarnya membantu HKMC untuk
menutupi kekurangan yang ada.Mulai tahun 2009
sebagai hasil dari banyaknya aliran modal yang masuk
dan tingkat bunga rendah yang tidak biasa serta
pelonggaran peraturan oleh bank sentral, membuat
harga properti meningkat dengan tajam dengan
kisaran di atas harga pasar. Sebagai lembaga makro
prudential, HKMA mengeluarkan peraturan yang
memaksa Als untuk menurunkan rasio LTV dengan
harga property diatas $20 juta dollar hong kong dari
70% menjadi 60% pada agustus 2010, untuk lebih
membantu menjaga stabilitas perbankan dan
membantu bank-bank memanage resiko kredit dengan
lebih hati-hati, HKMA juga mengeluarkan
menerapkan maxium LTV rasio untuk properti dengan
harga setidaknya $12 juta dollar hong kong yang
tergolong tidak ditinggali pemilik dengan rasio 60%.
Untuk memperkuat terhadap resiko dalam sektor
perbankan bisnis RML. HKMA mengeluarkan
peraturan mengeluarkan peraturan pada 19 november
2010 yaitu: (1) menurunkan rasio LTV dari 60-50%
untuk properti dengan harga setidaknya $12 juta dollar
hong kong ; (2) menurunkan rasio maksimal LTV
untuk properti perumahan dengan harga setidaknya $8
- %12 juta dollar hong kong dari 70%-60%; (3) tidak
merubah rasio LTV maksimum 70% yang tergolong
properti yang ditinggali dengan harga dibawah $8 juta
dollar hong kong, tetapi melarang pinjaman kredit
perumahan melebihi $4,8 juta dollar hong kong; (4)
menurunkan rasio LTV maksimum menjadi 50%
untuk semua properti yang tergolong perumahan yang
tidak ditinggali, properti yang dimiliki perusahaan,
tidak memandang berapapun harga pasar roperti
tersebut.
3.2.2 Singapore
Property Prices index (Datastream: March
2007=100)
Outstanding housing loan by LTV(MAS)
Permintaan Tertarget Singapura (Singapore
targeted demand) dapat dibedakan menjadi tiga
segmen pembeli properti yang berbeda : (1)
Spekulan Properti, (2) Investor. Singkatnya, The
Seller Stamp Duty (SSD) bertujuan menurunkan
pembelian spekulatif jangka pendek dengan tarif
pajak lebih tinggi untuk dijual kembali dalam
periode yang lebih pendek. Menurunkan rasio
LTV untuk pembeli noon-perseorangan (non-
individual) dan para pembeli dengan pinjaman
KPR (housing loan) menyasar investor properti
tanpa mempengaruhi pemilik rumah pertama
kali.
Otoritas Singapura menggunakan alat
kebijakan yang berbeda untuk respon yang
efektif dan koheren terhadap tekanan pasar
perumahan. Kebijakan tersebut disasarkan pada
segmen pasar berbeda, dengan mengumumkan
kebijakan tersebut dalam satu paket akan
mengirmkan sinyal yang kuat terhadap
ekspektasi pasar. Beberapa koordinasi
membutuhkan kolaborasi level tinggi di antara
para pihak yang berwenang dan terlibat.,
termasuk berbagi informasi dan intelijen pasar
dan menyepakati kebijakan yang
menguntungkan.
Implikasi: Dengan kebijakan LTV Singapura
telah mencapai apa yang ditargetkan, pembedaan
penyebab permintaan perumahan dan
pertimbangan faktor-faktor penyesdia.
3.2.3 China
Di China, booming harga konstruksi dan
properti sampai dengan 30% terjadi tahun 2000
sampai dengan 2005. Pertumbuhan pendapatan
nasional yang kuat, dipadukan dengan
pelarangan investasi di luar negeri, limited
battery of investment at home dan arus modal
masuk telah menaikkan harga rumah telampau
tinggi, dan timbul kekhawatiran baru akan
munculnya bubble. Kebaikan harga rumah tetap
lebih dari 10% selama bertahun tahun.
LTV maksimum sebesar 80% diterapkan
pada awal 2001 dan penurunan menjadi 70%
diterapkan untukbeberapa segmen tertentu tahun
2005 dan 2006. Limit DTI melebihi 50%
diperkenalkan tahun 2004. Kebijaka ini
dibarengi dengan peningkayan tarif hipotik dan
persyaratan simpanan wajib bank (bank
mandatory reserve). Akhir 2009, Otoritas
pemerintah China mengadopsi satu set
pengukuran baru untuk mengendalikan pasar
property. Kebijakan ini juga termasuk
pengecualian insentif pajak tertentu,
memperketat persyaratan proyek pengembangan
lahan dan lain lain. Tahun 2010, limit adalah
80% LTV secara umum, sedangkan 70% untuk
pembelian rumah pertama, 40% untuk
pembelian rumah kedua, dan tidak ada
peminjaman untuk rumah ketiga.
Housing market activity in selected Chinese cities
(NBS, BIS)
3.2.4 Malaysia
Malaysia memulai LTV maksimum sebesar 60%
untuk pembelian rumah di atas RM 150.000
tahun 1995 dan menambahn LTV maksmimum
sebesar 70% untuk pembelian properti ketiga
tahun 2011. Saat ini, Malaysia bahkan
menerapkan 100% (sebelumnya 75%)
berdasarkan perhitungan risk-weighted assets
untuk agunan dimana LTV sebesar 90% atau
lebih.
3.3 USULAN REKOMENDASI
Kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam
menjaga agar tidak terjadi property cricis via
property bubble yakni :
1. Mencoba perubahan paradigma tentang
membangun bisnis perumahan, dimana
selama ini fokus dari pemerintah adalah
membangun rumah yang terkesan
membutuh lahan yag cukup luas, sudah saat
pembangunan perumahan menggunakan
sistem apatemen mengingat lahan yang
terdapat di Indonesia semakin sempit dan
penduduk Indonesia tumbuh semakin besar.
Dengan menggunakan pembangunan sistem
apartemen lahan yang diperlukan tentunya
lebih sedikit dan lahan yang tersisa bisa
digunakan sebagai lahan yang lebih
produktif
2. Dengan adanya kebijakan LTV maka sudah
dapat dipastikan bahwa masyarkat sedikit
mengalami penurunan minat dalam membeli
perumahan apabila hal ini terus menerus
berlaku maka kondisi iklim bisnis
perumahan akan menurun untuk mengatasi
permasalah tersebut pemerintah diharapkan
mampu mengkaji sistem sewa perumahan
yang di Indonesia. Hal ini dikarenakan
apabila masyarakat yang kesulitan untuk
membeli rumah diakibatkan uang muka
yang terlalu tinggi maka sudah dipastikan
masyarakat akan beralih ke sistem sewa
perumahan yang dinggap lebih murah2.
3. Dengan adanya kebijakan LTV maka sudah
dapat dipastikan bahwa masyarkat sedikit
mengalami penurunan minat dalam membeli
perumahan apabila hal ini terus menerus
berlaku maka kondisi iklim bisnis
perumahan akan menurun untuk mengatasi
permasalah tersebut pemerintah diharapkan
mampu mengkaji sistem sewa perumahan
yang di Indonesia. Hal ini dikarenakan
apabila masyarakat yang kesulitan untuk
membeli rumah diakibatkan uang muka
yang terlalu tinggi maka sudah dipastikan
masyarakat akan beralih ke sistem sewa
perumahan yang dinggap lebih murah
4. Pemerintah Indonesia perlu membuat
instrument pengendalian pertumbuhan
sektor properti antara lain dengan membuat
instrumen pengendali dari sisi fiskal.
5. Pemerintah perlu Meminimalisasi
Penggunaan Istilah Property Bubble dalam
Berkomunikasi kepada Masyarakat
Istilah property bubble dalam
banyak hal merupakan sebuah kata yang
sarat dengan berbagai penafsiran yang
bervariasi. Masyarakat dapat menafsirkan "
gelembung " sebagai kesempatan untuk
short selling . Beberapa mungkin
menafsirkan istilah ini sebagai berarti
‘kecelakaan’ yang sudah dekat. Akibatnya,
ucapan otoritas pemerintah maupun moneter
tentang property bubble dapat menyebabkan
harga aset untuk bereaksi, sering kali dalam
cara yang tidak terduga
6. Pembatasan Kepemilikan Properti oleh
InvestorAsing
Investorasing pada umumnya
memiliki dana yang relatife besar
dibandingkan dengan calon konsumen dari
Indonesia. Hal ini menyebabkan daya tawar
mereka yang relatif besar atas properti di
Indonesia. Pada akhirnya, tanpa pembatasan
kepemilikan asing, akan terjadi peningkatan
harga properti yang dapat mendorong
terjadinya property bubble.
Pembatasan kepemilikan asing dapat
dilakukan dengan beberapa cara.
Diantaranya adalah penetapan pajak properti
yang sangat tinggi atas investor asing.
Pemerintah juga dapat mengeluarkan
peraturan terkait pembatasan kepemilikan
asing atas aset-aset tertentu, misalnya
perumahan. Pemerintah Inggris menerapkan
cara pertama untuk menekan properprti
bubble di negaranya.
7. Pengetatan Perizinan dari BPN atas
Pembangunan Kompek Perumahan.
Bubble properti tidak terlepas dari
sifat alami pengembang yang cenderung
melakukan pembelian tanah dengan harga
yang rendah dan menjualnya dengan harga
yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilakukan
pengembang dengan membangun kawasan
perumahan yang mewah di lahan yang pada
awalnya memiliki nilai pasar yang sangat
rendah. Fenomena seperti ini bisa menjadi
katalis bagi terciptanya property bubble.
Kontrol atas perilaku pengembang
seperti ini berada pada Badan Pertanahan
Nasional (BPN). BPN perlu mengeluarkan
kebijakan terkait pembatasan pembangunan
perumahan, tentu dengan pertimbangan
kemajuan ekonomi di wilayahnya.
4. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas didapat gambaran
penting mengenai LTV sebagai alat kebijakan makro-
prudensial mengenai efektivitas dan kelemahannya.
Pengalaman menunjukkan bahwa LTV efektif dalam
mengurangi resiko sistemik yang berhubungan dengan
bubble dan siklus putaran di pasar properti.
DAFTAR REFERENSI
[1]

Contenu connexe

Similaire à loan to value ratio (LTVR) , BI POLICY (konsep)

Contoh proposal penelitian ilmiah
Contoh proposal penelitian ilmiahContoh proposal penelitian ilmiah
Contoh proposal penelitian ilmiahAndrew Hutabarat
 
Makalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesiaMakalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesianaeltalahaturuson
 
Makalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesiaMakalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesianaeltalahaturuson
 
Pengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditas
Pengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditasPengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditas
Pengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditasnurkholissyukron2
 
Dasar-dasar teori tingkat bunga.docx
Dasar-dasar teori tingkat bunga.docxDasar-dasar teori tingkat bunga.docx
Dasar-dasar teori tingkat bunga.docxAbdBakir
 
Analisis industri sentul
Analisis industri sentulAnalisis industri sentul
Analisis industri sentultaufiksanjaya
 
MAKALAH_utang luar negeri.docx
MAKALAH_utang luar negeri.docxMAKALAH_utang luar negeri.docx
MAKALAH_utang luar negeri.docxHemaCandra
 
"MENGANALISIS SUKU BUNGA"
"MENGANALISIS SUKU BUNGA""MENGANALISIS SUKU BUNGA"
"MENGANALISIS SUKU BUNGA"Ibnu Siroj
 
Tugas kelompok pak marja1
Tugas kelompok pak marja1Tugas kelompok pak marja1
Tugas kelompok pak marja1IPDN
 
Faktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokerto
Faktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokertoFaktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokerto
Faktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokertocekkembali dotcom
 
Manajemen risiko suku bunga
Manajemen risiko suku bungaManajemen risiko suku bunga
Manajemen risiko suku bungaDesy Diyastuti
 
ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...
ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...
ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...Abida Muttaqiena
 
Hubungan credit rating dan cost of debt
Hubungan credit rating dan cost of debtHubungan credit rating dan cost of debt
Hubungan credit rating dan cost of debtYohanes Rananda
 
Banking Crisis And Financial Structure
Banking Crisis And Financial StructureBanking Crisis And Financial Structure
Banking Crisis And Financial StructureTetuko Rawidyo Putro
 

Similaire à loan to value ratio (LTVR) , BI POLICY (konsep) (20)

Contoh proposal penelitian ilmiah
Contoh proposal penelitian ilmiahContoh proposal penelitian ilmiah
Contoh proposal penelitian ilmiah
 
Makalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesiaMakalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesia
 
Makalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesiaMakalah suku bunga bank indonesia
Makalah suku bunga bank indonesia
 
Skripsi
SkripsiSkripsi
Skripsi
 
Pengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditas
Pengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditasPengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditas
Pengaruh dpk dan tingkat suku bunga terhadap likuiditas
 
Dasar-dasar teori tingkat bunga.docx
Dasar-dasar teori tingkat bunga.docxDasar-dasar teori tingkat bunga.docx
Dasar-dasar teori tingkat bunga.docx
 
Bab ii
Bab iiBab ii
Bab ii
 
Analisis industri sentul
Analisis industri sentulAnalisis industri sentul
Analisis industri sentul
 
MAKALAH_utang luar negeri.docx
MAKALAH_utang luar negeri.docxMAKALAH_utang luar negeri.docx
MAKALAH_utang luar negeri.docx
 
"MENGANALISIS SUKU BUNGA"
"MENGANALISIS SUKU BUNGA""MENGANALISIS SUKU BUNGA"
"MENGANALISIS SUKU BUNGA"
 
Tugas kelompok pak marja1
Tugas kelompok pak marja1Tugas kelompok pak marja1
Tugas kelompok pak marja1
 
Ekonomi 123
Ekonomi 123Ekonomi 123
Ekonomi 123
 
Bab i btn
Bab i btnBab i btn
Bab i btn
 
Faktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokerto
Faktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokertoFaktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokerto
Faktor dan penyebab terjadinya inflasi study kasus purwokerto
 
Manajemen risiko suku bunga
Manajemen risiko suku bungaManajemen risiko suku bunga
Manajemen risiko suku bunga
 
Bank Indonesia & LPS
Bank Indonesia & LPSBank Indonesia & LPS
Bank Indonesia & LPS
 
ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...
ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...
ANALISIS PENGARUH PDB, INFLASI, TINGKAT BUNGA, DAN NILAI TUKAR TERHADAP DANA ...
 
Hubungan credit rating dan cost of debt
Hubungan credit rating dan cost of debtHubungan credit rating dan cost of debt
Hubungan credit rating dan cost of debt
 
Banking Crisis And Financial Structure
Banking Crisis And Financial StructureBanking Crisis And Financial Structure
Banking Crisis And Financial Structure
 
Suku bunga
Suku bungaSuku bunga
Suku bunga
 

Plus de DGT

Martin luther king jr
Martin luther king jrMartin luther king jr
Martin luther king jrDGT
 
Management Control System Garuda Indonesia
Management Control System Garuda IndonesiaManagement Control System Garuda Indonesia
Management Control System Garuda IndonesiaDGT
 
Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...
Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...
Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...DGT
 
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAMURGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAMDGT
 
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTUREtheory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE DGT
 
ISO 27002
ISO 27002ISO 27002
ISO 27002DGT
 
Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...
Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...
Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...DGT
 
Environmental cost management hansen mowen ch.17
Environmental cost management hansen mowen ch.17Environmental cost management hansen mowen ch.17
Environmental cost management hansen mowen ch.17DGT
 
Pro kontra penyusunan anggaran
Pro kontra penyusunan anggaranPro kontra penyusunan anggaran
Pro kontra penyusunan anggaranDGT
 
Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)
Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)
Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)DGT
 
LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)
LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)
LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)DGT
 
Pembelian pesawat kepresidenan
Pembelian pesawat kepresidenanPembelian pesawat kepresidenan
Pembelian pesawat kepresidenanDGT
 
Timeline kasus korupsi di jepang
Timeline kasus korupsi di jepangTimeline kasus korupsi di jepang
Timeline kasus korupsi di jepangDGT
 
BALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONSBALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONSDGT
 
BALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONSBALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONSDGT
 

Plus de DGT (15)

Martin luther king jr
Martin luther king jrMartin luther king jr
Martin luther king jr
 
Management Control System Garuda Indonesia
Management Control System Garuda IndonesiaManagement Control System Garuda Indonesia
Management Control System Garuda Indonesia
 
Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...
Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...
Peran penting pengendalian, akuntabilitas, dan transparansi (Manajemen Keuang...
 
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAMURGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
URGENSI NERACA SUMBER DAYA ALAM
 
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTUREtheory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
theory of the firm : MANAGERIAL BEHAVIOR, AGENCY COST & OWNERSHIP STRUCTURE
 
ISO 27002
ISO 27002ISO 27002
ISO 27002
 
Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...
Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...
Ekonomi Inovasi dan Pola Kolaborasi THM :Strategi Menghadapi Asean Economic C...
 
Environmental cost management hansen mowen ch.17
Environmental cost management hansen mowen ch.17Environmental cost management hansen mowen ch.17
Environmental cost management hansen mowen ch.17
 
Pro kontra penyusunan anggaran
Pro kontra penyusunan anggaranPro kontra penyusunan anggaran
Pro kontra penyusunan anggaran
 
Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)
Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)
Pro kontra budgeting in indonesia (KONSEP)
 
LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)
LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)
LOAN TO VALUE RATIO BI (GENERASI II)
 
Pembelian pesawat kepresidenan
Pembelian pesawat kepresidenanPembelian pesawat kepresidenan
Pembelian pesawat kepresidenan
 
Timeline kasus korupsi di jepang
Timeline kasus korupsi di jepangTimeline kasus korupsi di jepang
Timeline kasus korupsi di jepang
 
BALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONSBALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORECARD FOR PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
 
BALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONSBALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
BALANCE SCORE CARD for PUBLIC SECTOR ORGANIZATIONS
 

Dernier

Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh Cityjaanualu31
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanHakamNiazi
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsunghaechanlee650
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisGallynDityaManggala
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSriHandayani820917
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptzulfikar425966
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121tubagus30
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxFrida Adnantara
 
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptmuhammadarsyad77
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganlangkahgontay88
 
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan SosroSistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosromohhmamedd
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianHALIABUTRA1
 
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptsejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptpebipebriyantimdpl
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okegaluhmutiara
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxMunawwarahDjalil
 
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxPSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxRito Doank
 

Dernier (18)

Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotecAbortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
Abortion pills in Dammam (+966572737505) get cytotec
 
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh CityAbortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
Abortion Pills For Sale in Jeddah (+966543202731))Get Cytotec in Riyadh City
 
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaanReview Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
Review Kinerja sumberdaya manusia pada perusahaan
 
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsungSaham dan hal-hal yang berhubungan langsung
Saham dan hal-hal yang berhubungan langsung
 
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnisMemahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
Memahami Terkait Perilaku Konsumen untuk bisnis
 
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdfSlide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
Slide-AKT-102-PPT-Chapter-10-indo-version.pdf
 
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.pptPresentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
Presentasi Pengertian instrumen pasar modal.ppt
 
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121kasus audit PT KAI 121212121212121212121
kasus audit PT KAI 121212121212121212121
 
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptxBAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
BAB 18_PENDAPATAN57569-7854545gj-65.pptx
 
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.pptKarakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
Karakteristik dan Produk-produk bank syariah.ppt
 
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuanganuang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
uang dan lembaga keuangan uang dan lembaga keuangan
 
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan SosroSistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
Sistem Informasi Akuntansi Perusahaan Sosro
 
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanianpresentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
presentasi pertemuan 2 ekonomi pertanian
 
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.pptsejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
sejarah dan perkembangan akuntansi syariah.ppt
 
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah okebsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
bsc ekonomi balance scorecard bahan tayang paparan presentasi sudah oke
 
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get CytotecAbortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
Abortion pills in Jeddah |+966572737505 | Get Cytotec
 
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptxWAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA.pptx
 
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptxPSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
PSAK-10-Pengaruh-Perubahan-Valuta-Asing-IAS-21-23032015.pptx
 

loan to value ratio (LTVR) , BI POLICY (konsep)

  • 1. TINJAUAN EFEKTIVITAS KEBIJAKAN LOAN TO VALUE PROPERTY TERHADAP RISIKO PROPERTY BUBBLE DI INDONESIA Isnu Rahadi Wiratama, Hendro Dwiyatno, Chabibah Nur Afida, Dian Bastiyan K, Imam Garaudy, Andre Wijaya MP, Muhammad Arifin Kelas 7A Program DIV Akuntansi Reguler, STAN, Tangerang Selatan Kelas7areguler@gmail.com Abstrak – Bank Indonesia telah mengeluarkan aturan penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan property yang salah satunya berupa pengaturan besaran loan to value terhadap kredit pemilikan property .Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya bubble ekonomi di sektor property sehingga menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Penulisan paper ini bertujuan mengetahui sejauh mana efektifitas pengaturan besaran loan to value atas kredit pemilikan property terhadap potensi property bubble yang nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Kata Kunci: Loan To Value, Property Bubble, Kebijakan 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup stabil meningkatkan pertumbuhan masyarakat kelas menengah dan atas yang cukup signifikan seiring dengan meningkatnya pendapatan perkapita per tahun. Pertumbuhan ini juga dibarengi meningkatnya pertumbuhan kredit konsumsi masyarakat termasuk di sektor property. Bagaimana berkembangnya penawaran property demi memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap property yang sebenarnya tidak hanya untuk konsumsi semata tapi juga investasi. Hal ini mendorong masyarakat yang berbondong-bondong dalam mengajukan kredit pemilikan rumah, yang berimbas meningkatnya pemberian kredit dari perbankan. Bagaimana perbankan bersaing dalam hal suku bunga pinjaman untuk menjaring semakin banyak nasabah. Bank Indonesia dalam hal ini dirasa perlu dalam melakukan pengetatan dalam kaitannya dengan manajemen resiko mengantisipasi meningkatnya resiko kredit bagi bank dengan kredit property besar. Melalui surat edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP, bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan mengenai penerapan manajemen risiko pada bank yang melakukan pemberian kredit atau pembiayaan pemilikan properti, kredit atau pembiayaan konsumsi beragun properti, dan kredit atau pembiayaan kendaraan bermotor. Salah satu poin didalamnya adalah mengatur besaran loan to value terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian kredit. Peermasalahan yang akan dibahas apakah dampak regulasi Bank Indonesia terhadap kredit konsumsi dengan memperketat loan to value pada kredit konsumsi akan mampu menjaga kestabilan harga property dan mencegah terjadinya bubble di sektor property. 2. LANDASAN TEORI 2.1 Landasan Teori Bubble ekonomi adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya. Disebut bubble ekonomi karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara.( agustianto, 2010) Menurut Wikipedia.org gelembung ekonomi gelembung spekulatif atau gelembung keuangan adalah perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya. Dalam kata lain mempedagangkan produk atau asset dengan harga yang lebih tinggi dari pada nilai fundamentalnya. Gelembung (bubble) seringkali dibentuk oleh ekspektasi pasar yang berlebih, yang membuat harga suatu barang/aset melonjak tanpa diiringi nilai fundamentalnya. Oleh karenanya, gelembung ekonomi (economic bubble) ditafsirkan sebagai fenomena lonjakan harga-harga aset ke level yang jauh di atas nilai fundamentalnya. Yang menarik dalam hal ini, ekspektasi seringkali membuat orang-orang bersikap irasional. Ketika harga suatu aset menjadi semakin tinggi—dan tentu dengan stok terbatas, orang-orang justru akan semakin tergugah untuk membelinya.
  • 2. Rasio Loan to Value atau Financing to Value sebagaimana dijelaskan dalam surat edaran Bank Indonesia No. 15/40/DKMP, adalah angka rasio antara nilai kredit atau pembiayaan yang dapat diberikan oleh Bank terhadap nilai agunan berupa Properti pada saat pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan harga penilaian terakhir 2.2 Metode penelitian Kajian untuk paper Tinjauan Efektivitas Kebijakan Loan To Value Property Terhadap Risiko Property Bubble Di Indonesia dilakukan melalui metode observasi kepustakaan dan pencarian data melalui internet. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kebijakan Loan To Value (Jilid II) Dari tahun 2008, Bank Indonesia mencatatkan pertumbuhan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) lebih tinggi dari pertumbuhan kredit agregat yang ditengarai memicu kenaikan indeks harga property. Mayoritas kredit perumahan yang diambil merupakan kredit pemilikan rumah tipe 22 sampai dengan tipe 70 yang mencapai 43% dari total kredit perumahan. Berdasarkan penelaahan terhadap hal-hal terkait kondisi Kredit Pemilikan Rumah ditemukan bahwa terdapat korelasi positif antara pertumbuhan indeks harga properti dengan jumlah penyaluran kredit properti. Dalam grafik di bawah terlihat bahwa sejak tahun 2003, trend pergerakan jumlah kredit properti dengan indeks harga properti relatif searah. Bila kredit property meningkat, maka indeks harga properti juga akan meningkat Dari pantauan kredit property dalam negeri terdapat kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan ini didominasi oleh besarnya kredit perumahan terutama untuk rumah tipe 22 sampai dengan tipe 70. Untuk tipe besar, tingkat skema pembiayaan tunai dinilai masih cukup tinggi. Dalam hal ini, factor-faktor yang dinilai cukup mempengaruhi masyarakat dalam penggunaan skema pembiayaan kredit dalam memperoleh property adalah tingkat suku bunga pinjaman dari bank, pendapatan dan besaran uang muka. Pertumbuhan KPR yang cukup tinggi akan mendorong meningkatnya harga property yang dapat menyebabkan pertumbuhan harga property yang bersifat bubble dan meningkatkan resiko kredit bagi bank dengan kredit property besar. Selain itu, kenaikan harga properti yang tinggi pada tipe rumah menengah dan besar dikhawatirkan juga akan mendorong kenaikan harga rumah tipe kecil, sehingga menyebabkan harga rumah tipe kecil semakin tidak terjangkau. Hal ini yang mendorong Bank Indonesia untuk memperketat loan to value pada kredit konsumsi terutama property agar mampu menjaga kestabilan harga property. Dari Pengalaman negara-negara yang pernah mengalami krisis keuangan akibat bubble property dan literatur (Holt:2009), terdapat beberapa kondisi yang umumnya mendahului terjadinya krisis. Pertama adalah kondisi suku bunga rendah. Kondisi ini membuat banyak pihak lebih mudah memperoleh pembiayaan properti sehingga KPR dan produk turunannya tumbuh dengan cepat. Kondisi kedua adalah ketentuan kredit yang longgar, Ketentuan yang tidak disesuaikan dengan perkembangan situasi perekonomian dapat menyebabkan penyaluran kredit yang kurang hati-hati ke suatu sektor termasuk KPR terus meingkat dan menimbulkan risiko yang semakin besar. Faktor ketiga adalah adanya persepsi yang meluas di masyarakat bahwa harga properti akan senantiasa naik dan tidak pernah turun. Faktor ketiga dipandang memiliki peran paling besar atas terjadinya bubble property karena beberapa alasan, yaitu (1) Persepsi tersebut membuat masyarakat bersedia membeli properti pada harga berapapun, baik dengan dana sendiri maupun dengan dana pinjaman dari lembaga keuangan, dengan harapan akan mendapat keuntungan bila properti dijual kembali. (2) Bila perbankan juga memiliki persepsi yang sama, bank dapat terjebak membiayai KPR tanpa memperhatikan kemungkinan nilai properti yang dibiayai sudah overvalued. Bank yang kurang berhati-hati cenderung percaya bahwa harga properti yang terus naik akan dapat menutup kewajiban debitur yang gagal memenuhi kewajibannya. Pengalaman beberapa negara memperlihatkan bahwa keyakinan mengenai harga properti yang tidak pernah turun dapat memicu perilaku masyarakat untuk berinvestasi properti secara berlebihan. Bila hal ini dibiayai dengan menggunakan kredit, maka kredit properti akan
  • 3. naik signifikan dalam waktu yang tidak terlalu lama dan berpoternsi mendorong terjadinya Bubble. Bank Indonesia menerbitkan ketentuan LTV pertama kali pada tahun 2012. Hasil evaluasi terhadap pelaksanaan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan KPR masih cukup tinggi dibarengi dengan kenaikan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR). Rata-rata pertumbuhan KPR tipe di atas 70 m2 pada sembilan (9) bulan pertama 2013 mencapai 33,6 %(yoy) dengan pertumbuhan tertinggi mencapai 45,7% (yoy) pada Januari 2013. Rata rata pertumbuhan kredit untuk flat/apartemen (KPA) dengan luas di atas 70m2 untuk periode yang sama tumbuh 65,3% (yoy) dengan pertumbuhan tertinggi mencapai 71,4% pad April 2013. Pertumbuhan ini jauh di atas pertumbuhan kredit industri perbankan secara agregat sebesar 22,2% pada 9 bulan pertama tahun 2013. Sementara itu, pada triwulan I 2013 kenaikan IHPR mencapai 11,2%. Kenaikan ini lebih tinggi daripada pertumbuhan GDP Indonesia pada saat yang sama.Angka pertumbuhan IHPR terus naik menjadi 13,5% pada triwulan II dan 14,6% pada triwulan III. Bila kondisi ini terus berlanjut, harga rumah akan semakin sulit terjangkau oleh sebagian masyarakat, terutama yang berpendapatan rendah. Berdasarkan survei Bank Indonesia, kenaikan harga rumah residensial ini tidak hanya terjadi di jabodetabek namun telah menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Tetap tinginya pertumbuhan beberapa tipe KPR/KPA yang disertai kenaikan harga rumah yang cukup signifikan, ditengarai tidak hanya bersumber dari permintaan pemenuhan kebutuhan Primer akan tempat tinggal.Karena permintaan juga dikarenakan adanya permintaan non primer, yaitu untuk tujuan Investasi. Survey Khusus Sektor Riil (SKSR) mengungkapkan adanya preferensi masyarakat yang menggunakan properti sebagai instrumen investasi. Responden yang menyatakan lebih memilih properti sebagai alat investasi mencapai 64% lebih tinggi daripada yang memilih emas (25,4%), deposito (13,8%) dan saham/reksadana (6,4%). Sebanyak 81, 1 % responden yang memilih properti berasalan adanya ekspektasi kenaikan harga. Temuan survei ini didukung oleh adanya data bahwa per April 2013 terdapat 35.298 debitur yang memiliki fasilitas KPR/KPA lebih dari satu dengan baki debet Rp 31,8 Triliun. Jumlah ini sekitar 12,4% dari total debet KPR/KPA posisi April 2013 sebesar Rp 257,6 Triliun. Biladitelusuri lebih lanjut, dalam tiga tahun terakhir jumlah debitur yang memiliki fasilitas KPR lebih dari satu cenderung meningkat (lihat tabel). Hal ini menunjukan bahwa penggunaan kredit perbankan untuk keperluan pembelian properti nonPrimer meningkat dari tahun ke tahun. Apabila perkembangan tersebut belangsung tanpa terkendali, maka potensi terjadinya gagal bayar akan menjadi lebih besar. Hasil stress test menunjukkan bahwa saat ini bila terjadi 10% default pada kredit properti, maka CAR industri perbankan masih tetap sesuai ketentuan. Namun demikian terdapat peningkatan NPL di beberapa bank hingga menjadi di atas 5% sehingga bank bank tersebut harus ditempatkan dalam pengawasan khusus (Special Surveillance). Di samping itu dari hasil pengamatan, terdapat korelasi posistif antara pertumbuhan IHPR dengan pertumbuhan kredit properti. Pergerakan IHPR dan kredit properti ini relatif searah. Bila Kredit Properti naik, IHPR juga ikut naik dan sebaliknya. Dengan demikian untuk mengendalikan harga properti residensial perlu dilakukan penaturan kredit properti. Berdasarkan pertimbangan pertimbangan terebut di atas Bank Indonesia melakukan penyemurnaan ketentuan LTV melalui SE No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013. Dengan penyempurnaan ketentuan ini diharapkan risiko kredit di sektor kredit sektor properti lebih terjaga, pemerataan kesempatan memperoleh pembiyaan kepemilikan rumah tercipta, perlindungan konsumen sektor properti meningkat dan pada akhirnya membuat sektor properti dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan. Sejak pemberlakuan ketentuan LTV yang baru, sampai saat ini beberapa indiktor terkait perkembangan KPR menunjukkan arah yang sesuai harapan, antara lain NPL KPR yang menurun. NPL KPR rata-rata pada sembilan bulan pertama 2013 sebelum ketentuan LTV baru berlaku adalah sebesar 2,4%. NPL ini turun menjadi rata-rata 2,2% pada tiga bulan terakhir 2013. KPR tipe menengah (22-70m2) cenderung tumbuh lebih tinggi (dari rata-rata 21,67% pada Januari-September 2013 menjadi rata-rata 32,51% pada Oktober-Desember 2013). Perkembangan ini sesuai dengan harapan bahwa aturan LTV yang baru dapat lebih memberikan pemerataan kesempatan memperoleh pembiyaan kepemilikan rumah karena umunya tipe menengah ini digunakan untuk pemenuhan kebutuhan primer. Pertumbuhan IHPR pada triwulan IV 2013 turun menjadi 1,77% qtq (11,51% yoy). Hal ini menunjukkan bahwa setelah penerapan ketentuan LTV yang baru terjadi perlambatan pertumbuhan harga properti residensial. Pertumbuhan debitur yang memilki KPR lebih dari satu melamat dengan hanya 5.846 debitur selama 2013. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan penambahan debitur dengan KPR
  • 4. lebih dari satu di tahun 2011 dan 2012 sebagaimana terdaat pada tabel. 3.2 Kebijakan Loan To Value pada Asian Emerging Countries Beberapa negara Asian dengan perekonomian yang sedang berkembang pesat telah berhasil menerapakan Loan To Value untuk meredam peningkatan harga-harga rumah atau properti. 3.2.1 Hongkong History of LTV policy in Hong Kong (Wong Fong, Li and Choi, 2011) Pengalaman Hong Kong dalam segmen pasar perumahan dapat ditunjukkan melalui kebijakan LTV Jangka Panjang (LTV Long Run Effect) di dalam sistem kestabilan bank. Kebijakan LTV Hong Kong telah dijalankan selama 20 tahun. Fase 1: Sebelum 1997 Sebelum adanya adaptasi kebijakan LTV tahun 1991, firma keuangan terotorisasi diperbolehkan untuk memberikan pinjaman mortage mencapai 90 % dari harga pembelian atau harga pasar dari properti. Bulan November 1995, Pemerintah Hong Kong mengkonfirmasi bahwa 70% rasio LTV akan diadopsi menjadi kebijakan jangka pangjang LTV. Fase 2 : dari 1997 sampai 1999 Untuk merespon kenaikan signifikasn harga perumahan tahun 1996, tanda-tanda aktivitas spekulasi dan peningkatan pemberian pinjaman mortgage, HKMA menerbitkan panduan kepada seluruh firma keuangan terotorisasi pada Januari 1997 dengan rekomendasi LTV maksimum sebesar 60% untuk Properti dengan nilai lebih dari HK$ 12 juta atau yang dinamakan properti mewah. Dengan adanya krisis keuangan Asia, Harga properti Hong Kong jatuh signifikan lebih dari 40% dari September 1997 ke September 1998 namun Mortgage Delinquency Ratio tetap berada di bawah 1,43%. Fase 3: dari 2000 sampai 2008 Oktober 2001, HKMA menurunkan LTV rasio 60% untuk segmen mewah (luxury) dan mengembalikan LTV ratio maksmum sebesar 70%. Dikarenakan Pendaptan Rumah Tangga menurun tajam setelah adanya krisis asia, Calon Pembeli Rumah mengalami kesulitan berat dalam pasar perumahan, yang mana menjadi sebab pelonggaran LTV menjadi 70%. Fase 4: dari 2009 sampai saat ini Sebagai Akibat dari kuatnya aliran modal dan tingkat bunga tidak biasa dan kebijakan lebih longgar dari bank sentral sejak awal 2009, Harga perumahan di Hong Kong meningkat secara tajam. Sebagai alat ukuran kehati hatian, HKMA menerbitkan panduan bahwa semua firma keuangan terotorisasi harus mengurangi LTV ratio maksimum terhadap properti dengan nilai HK$20 juta atau lebih dengan tarif 70% sampai dengan 60%. Kebijakan LTV Hong Kong efektif mengurangi risiko sistemik berkenaan dengan Booming di Bisnis Properti dan Bukti bukti empiris menunjukkan bahwa program asuransi Mortgage dapat memitigasi batasan likuiditas tanpa meng-undermining keefektifitan Rasio LTV sebagai alat kebijakan 9hkma 2011). Implikasi : Ketika Pembuat kebijakan tidak dapat menjalankan tarif moneter otomatis atau nilai tukar seperti Euro, KTV dapat membantu sebagai penjaga dari Properti Buble. Regulator Keuangan dapat menghindari atau mengurangi biaya sosial tidak perlu dengan menerapkan kebijakan Jaga-Jaga (Back Up Policy). Sebuah anggapan bahwa MIP bisa menurunkan keefektifan dari kebijakan LTV karena membolehkan pemilik rumah meningkatkan rasionya. Yang berakibat meningkatkan resiko ketidakbayaran, dalam teory, yang akibatnya merugikan bank. Tetapi pada kenyataannya HKMC MIP portofolio menikmati ratio ketidaktertagihan yang lebih rendah daripada Hong Kong sektor perbankan, yang mengindikasikan bahwa, MIP sebenarnya membantu HKMC untuk menutupi kekurangan yang ada.Mulai tahun 2009 sebagai hasil dari banyaknya aliran modal yang masuk dan tingkat bunga rendah yang tidak biasa serta pelonggaran peraturan oleh bank sentral, membuat harga properti meningkat dengan tajam dengan kisaran di atas harga pasar. Sebagai lembaga makro prudential, HKMA mengeluarkan peraturan yang memaksa Als untuk menurunkan rasio LTV dengan harga property diatas $20 juta dollar hong kong dari
  • 5. 70% menjadi 60% pada agustus 2010, untuk lebih membantu menjaga stabilitas perbankan dan membantu bank-bank memanage resiko kredit dengan lebih hati-hati, HKMA juga mengeluarkan menerapkan maxium LTV rasio untuk properti dengan harga setidaknya $12 juta dollar hong kong yang tergolong tidak ditinggali pemilik dengan rasio 60%. Untuk memperkuat terhadap resiko dalam sektor perbankan bisnis RML. HKMA mengeluarkan peraturan mengeluarkan peraturan pada 19 november 2010 yaitu: (1) menurunkan rasio LTV dari 60-50% untuk properti dengan harga setidaknya $12 juta dollar hong kong ; (2) menurunkan rasio maksimal LTV untuk properti perumahan dengan harga setidaknya $8 - %12 juta dollar hong kong dari 70%-60%; (3) tidak merubah rasio LTV maksimum 70% yang tergolong properti yang ditinggali dengan harga dibawah $8 juta dollar hong kong, tetapi melarang pinjaman kredit perumahan melebihi $4,8 juta dollar hong kong; (4) menurunkan rasio LTV maksimum menjadi 50% untuk semua properti yang tergolong perumahan yang tidak ditinggali, properti yang dimiliki perusahaan, tidak memandang berapapun harga pasar roperti tersebut. 3.2.2 Singapore Property Prices index (Datastream: March 2007=100) Outstanding housing loan by LTV(MAS) Permintaan Tertarget Singapura (Singapore targeted demand) dapat dibedakan menjadi tiga segmen pembeli properti yang berbeda : (1) Spekulan Properti, (2) Investor. Singkatnya, The Seller Stamp Duty (SSD) bertujuan menurunkan pembelian spekulatif jangka pendek dengan tarif pajak lebih tinggi untuk dijual kembali dalam periode yang lebih pendek. Menurunkan rasio LTV untuk pembeli noon-perseorangan (non- individual) dan para pembeli dengan pinjaman KPR (housing loan) menyasar investor properti tanpa mempengaruhi pemilik rumah pertama kali. Otoritas Singapura menggunakan alat kebijakan yang berbeda untuk respon yang efektif dan koheren terhadap tekanan pasar perumahan. Kebijakan tersebut disasarkan pada segmen pasar berbeda, dengan mengumumkan kebijakan tersebut dalam satu paket akan mengirmkan sinyal yang kuat terhadap ekspektasi pasar. Beberapa koordinasi membutuhkan kolaborasi level tinggi di antara para pihak yang berwenang dan terlibat., termasuk berbagi informasi dan intelijen pasar dan menyepakati kebijakan yang menguntungkan. Implikasi: Dengan kebijakan LTV Singapura telah mencapai apa yang ditargetkan, pembedaan penyebab permintaan perumahan dan pertimbangan faktor-faktor penyesdia. 3.2.3 China Di China, booming harga konstruksi dan properti sampai dengan 30% terjadi tahun 2000 sampai dengan 2005. Pertumbuhan pendapatan nasional yang kuat, dipadukan dengan pelarangan investasi di luar negeri, limited battery of investment at home dan arus modal masuk telah menaikkan harga rumah telampau tinggi, dan timbul kekhawatiran baru akan munculnya bubble. Kebaikan harga rumah tetap lebih dari 10% selama bertahun tahun. LTV maksimum sebesar 80% diterapkan pada awal 2001 dan penurunan menjadi 70% diterapkan untukbeberapa segmen tertentu tahun 2005 dan 2006. Limit DTI melebihi 50% diperkenalkan tahun 2004. Kebijaka ini dibarengi dengan peningkayan tarif hipotik dan persyaratan simpanan wajib bank (bank mandatory reserve). Akhir 2009, Otoritas pemerintah China mengadopsi satu set pengukuran baru untuk mengendalikan pasar property. Kebijakan ini juga termasuk pengecualian insentif pajak tertentu, memperketat persyaratan proyek pengembangan lahan dan lain lain. Tahun 2010, limit adalah 80% LTV secara umum, sedangkan 70% untuk pembelian rumah pertama, 40% untuk pembelian rumah kedua, dan tidak ada peminjaman untuk rumah ketiga.
  • 6. Housing market activity in selected Chinese cities (NBS, BIS) 3.2.4 Malaysia Malaysia memulai LTV maksimum sebesar 60% untuk pembelian rumah di atas RM 150.000 tahun 1995 dan menambahn LTV maksmimum sebesar 70% untuk pembelian properti ketiga tahun 2011. Saat ini, Malaysia bahkan menerapkan 100% (sebelumnya 75%) berdasarkan perhitungan risk-weighted assets untuk agunan dimana LTV sebesar 90% atau lebih. 3.3 USULAN REKOMENDASI Kebijakan yang dapat diambil pemerintah dalam menjaga agar tidak terjadi property cricis via property bubble yakni : 1. Mencoba perubahan paradigma tentang membangun bisnis perumahan, dimana selama ini fokus dari pemerintah adalah membangun rumah yang terkesan membutuh lahan yag cukup luas, sudah saat pembangunan perumahan menggunakan sistem apatemen mengingat lahan yang terdapat di Indonesia semakin sempit dan penduduk Indonesia tumbuh semakin besar. Dengan menggunakan pembangunan sistem apartemen lahan yang diperlukan tentunya lebih sedikit dan lahan yang tersisa bisa digunakan sebagai lahan yang lebih produktif 2. Dengan adanya kebijakan LTV maka sudah dapat dipastikan bahwa masyarkat sedikit mengalami penurunan minat dalam membeli perumahan apabila hal ini terus menerus berlaku maka kondisi iklim bisnis perumahan akan menurun untuk mengatasi permasalah tersebut pemerintah diharapkan mampu mengkaji sistem sewa perumahan yang di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila masyarakat yang kesulitan untuk membeli rumah diakibatkan uang muka yang terlalu tinggi maka sudah dipastikan masyarakat akan beralih ke sistem sewa perumahan yang dinggap lebih murah2. 3. Dengan adanya kebijakan LTV maka sudah dapat dipastikan bahwa masyarkat sedikit mengalami penurunan minat dalam membeli perumahan apabila hal ini terus menerus berlaku maka kondisi iklim bisnis perumahan akan menurun untuk mengatasi permasalah tersebut pemerintah diharapkan mampu mengkaji sistem sewa perumahan yang di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila masyarakat yang kesulitan untuk membeli rumah diakibatkan uang muka yang terlalu tinggi maka sudah dipastikan masyarakat akan beralih ke sistem sewa perumahan yang dinggap lebih murah 4. Pemerintah Indonesia perlu membuat instrument pengendalian pertumbuhan sektor properti antara lain dengan membuat instrumen pengendali dari sisi fiskal. 5. Pemerintah perlu Meminimalisasi Penggunaan Istilah Property Bubble dalam Berkomunikasi kepada Masyarakat Istilah property bubble dalam banyak hal merupakan sebuah kata yang sarat dengan berbagai penafsiran yang bervariasi. Masyarakat dapat menafsirkan " gelembung " sebagai kesempatan untuk short selling . Beberapa mungkin menafsirkan istilah ini sebagai berarti ‘kecelakaan’ yang sudah dekat. Akibatnya, ucapan otoritas pemerintah maupun moneter tentang property bubble dapat menyebabkan harga aset untuk bereaksi, sering kali dalam cara yang tidak terduga 6. Pembatasan Kepemilikan Properti oleh InvestorAsing Investorasing pada umumnya memiliki dana yang relatife besar dibandingkan dengan calon konsumen dari Indonesia. Hal ini menyebabkan daya tawar mereka yang relatif besar atas properti di Indonesia. Pada akhirnya, tanpa pembatasan kepemilikan asing, akan terjadi peningkatan harga properti yang dapat mendorong terjadinya property bubble. Pembatasan kepemilikan asing dapat dilakukan dengan beberapa cara. Diantaranya adalah penetapan pajak properti yang sangat tinggi atas investor asing. Pemerintah juga dapat mengeluarkan peraturan terkait pembatasan kepemilikan asing atas aset-aset tertentu, misalnya
  • 7. perumahan. Pemerintah Inggris menerapkan cara pertama untuk menekan properprti bubble di negaranya. 7. Pengetatan Perizinan dari BPN atas Pembangunan Kompek Perumahan. Bubble properti tidak terlepas dari sifat alami pengembang yang cenderung melakukan pembelian tanah dengan harga yang rendah dan menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini bisa dilakukan pengembang dengan membangun kawasan perumahan yang mewah di lahan yang pada awalnya memiliki nilai pasar yang sangat rendah. Fenomena seperti ini bisa menjadi katalis bagi terciptanya property bubble. Kontrol atas perilaku pengembang seperti ini berada pada Badan Pertanahan Nasional (BPN). BPN perlu mengeluarkan kebijakan terkait pembatasan pembangunan perumahan, tentu dengan pertimbangan kemajuan ekonomi di wilayahnya. 4. KESIMPULAN Dari pembahasan di atas didapat gambaran penting mengenai LTV sebagai alat kebijakan makro- prudensial mengenai efektivitas dan kelemahannya. Pengalaman menunjukkan bahwa LTV efektif dalam mengurangi resiko sistemik yang berhubungan dengan bubble dan siklus putaran di pasar properti. DAFTAR REFERENSI [1]