Teks tersebut membahas berbagai persoalan teologi dalam Islam seperti sifat-sifat Allah, pelaku dosa besar, akal dan wahyu, kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia, serta kekuasaan mutlak dan keadilan Tuhan menurut berbagai aliran seperti Asy'ariyah, Maturidiyah, Mu'tazilah, dan lainnya.
2. SIFAT-SIFAT ALLAH
Asy’ariyah
Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat Allah SWT itu
merupakan sesuatu yang berada di luar Dzat. Mereka juga
menetapkan adanya qudrah, iradah,’ilm, hayah, sama’,
bashar, kalam dll pada Dzat Allah SWT. Semua itu merupakan
sesuatu di luar Dzat-Nya namun tidak bisa dipisahkan dari
Dzat-Nya.
Mu’tazilah
Mu’tazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu di luar Dzat-
Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti: ’Alim
(Maha mengetahui), Khabir (Maha mengenal), Hakim (Maha
bijaksana), Bashir (Maha melihat), dll merupakan nama-nama
bagi Dzat Allah SWT. Bagi Mu’tazilah, Allah tidak memiliki sifat
‘alim (mengetahui) akan tetapi Allah mengetahui dengan
Dzat-Nya.
3. Maturidiyah
Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah SWT, tetapi
ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu di
luar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada
Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya. Aliran
ini mengatakan bahwa pembicaraan tentang sifat harus
didasarkan atas pengakuan bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat-Nya sejak zaman azaly, tanpa pemisahan
antara sifat-sifat zat, seperti qadrat dan sifat-sifat yang
berhubungan dengan Af’al seperti menciptakan,
menghidupkan dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut menurut
golongan maturidiyah tidak boleh diperbincangkan
apakah hakikat zat atau bukan.
4. PELAKU DOSA BESAR
khawarij
Menurut Khawarij pelaku dosa besar dianggap keluar dari agama Islam
dan dianggap kafir.
Murji’ah
Dalam hal pelaku dosa besar murji’ah terbagi menjadi dua bagian:
Murji’ah moderat, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar
bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam
neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada
kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena
itu tidak akan masuk neraka sama sekali.
Murji’ah ekstrim, berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada
Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah
menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanyalah dalam hati,
bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Meskipun orang tersebut
menyembah berhala asalkan hatinya tetap iman pada Allah maka dia
tetap muslim. Perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan
iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan
merubah kedudukan seseorang musyrik atau politheist.
5. Mu’tazilah
Pelaku dosa besar menurut mu’tazilah tidak muslim dan tidak kafir akan
tetapi berada dalam tempat di antara dua tempat. Jika orang tersebut
mati sebelum bertaubat maka di akhiran dia akan masuk neraka, tapi
siksaannya lebih ringan dibandingkan dengan orang yang memang
layak masuk neraka karena banyaknya dosa yang diperbuat.
Asyariyah
Menurut Asy’ariyah, pelaku dosa besar masih tetap sebagai orang yang
beriman meskipun mereka tetap berdosa karena berbuat dosa besar.
Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa
hal itu dibolehkan (halal) dan tidak menyakini keharamannya, ia
dipandang telah kafir.
Jika pelaku dosa besar tersebut mati dan tidak sempat bertobat, maka
menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau
pelaku dosa besar itu mendapaat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas
dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberikan
siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya.
Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir.
6. Maturidiyah
Al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa
orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan
soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di
akhirat.
Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelim bertobat karena kekekalan di
Neraka hanya untuk orang yang mati dalam keadaan
musyrik.
Syiah Zaidiyah
Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang
melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika
dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya.
7. AKAL DAN WAHYU
Mu’tazilah
Segala sesuatu ditimbangnya lebih dahulu dengan akalnya mana yang tidak
sesuai dengan akalnya dibuang, walaupun ada hadits dan Ayat Al-Qur’an yang
bertalian dengan masalah itu, tetapi berlawanan dengan akalnya. Jadi jelasnya
menurut kaum Mu’tazilah, fungsi akal lebih tinggi ketimbang wahyu.
Salafiyah
Menurut Salafiyah, fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi
akal. Fungsi akal pikiran tidak lain hanya menjadi saksi pembenaran dan penjelas
dalil-dalil Al-Qur’an, bukan menjadi hakim yang mengadili dan menolaknya.
Asy’ariyah
Menurut Asy’ariyah, fungsi wahyu (Al-Qur’an) dan hadits adalah sebagai pokok,
sedang fungsi akal adalah sebagai penguat Nash-nash wahyu dan hadits. Asy’ari
tidak menafikan peran dan fungsi akal dalam mengetahui adanya Tuhan, akan
tetapi posisi akan harus tetap berada di bawah posisi wahyu. Karena manusia
mengetahui baik dan buruk dan mengetahui kewajiban-kewajiban hanya karena
turunnya wahyu.
8. Maturidiyah
Dalam hal ini maturidiyah terbagi menjadi dua bagian:
Maturidiyah Samarkhan adalah aliran teologi yang dinisbahkan kepada imam
al-Maturidi (lengkapnya: Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad al-Maturidi).
Aliran ini hampir sama dengan Mu’tazilah dalam hal peran akal dan wahyu. Akan
tetapi penggunaan akal oleh golongan ini satu tingkat di bawah Mu’tazilah.
Perbedaanya adalah, kalau Mu’tazilah menyatakan bahwa pengetahuan Tuhan
itu diwajibkan oleh akal (artinya akal yang mewajibkan), maka menurut Maturidi
Samarkhan, kewajiban itu sendiri datangnya dari Tuhan. Akal hanya bisa sampai
kepada tingkat dapat memahami perintah-perintah dan larangan-larangan tuhan
mengenai baik dan buruk dan tidak pada kewajiban berbuat baik dan menjauhi
larangan. Sementara wahyu menyempurnakan pengetahuan akal tentang mana
yang baik dan mana yang buruk serta menjelaskan perincian upah dan hukuman
yang akan diterima manusia di akherat. Tanpa wahyu masyarakat manusia akan
hidup dalam kekacauan.
Maturidiyah Bukhara adalah aliran teologi yang dinisbahkan kepada Abu al-
Yusr Muhammad al-Bazdawi. Menurutnya, akal adalah alat untuk mengetahui
kewajiban dan yang menentukan kewajiban adalah Tuhan. Akal tidak dapat
mengetahui kewajiban-kewajiban dan hanya mengetahui sebab-sebab yang
membuat kewajiban-kewajiban menjadi wajib.
9. KEKUASAAN TUHAN DAN PERBUATAN
MANUSIA
Jabariyah
Jabbariyah memahami bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya.
Hanya Allah sajalah yang memutuskan segala amal perbuatan manusia. Jadi
apapun yang dilakukan oleh manusia maka sebenarnya itu adalah perbuatan
Allah.
Qadariyah
Qadariyah memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya.
Tuhan sama sekali tidak ikut campur dalam perpuatan manusia. Apapun yang
dilakukan manusia adalah murni perbuatan manusia tanpa campur tangan
Tuhan.
Mu’tazilah
Dalam persoalan ini aliran mu’tazilah sependapat dengan aliran Qadariyah,
bahwa semua perbuatan perbuatan manusia sepenuhnya ditentuakan oleh
manusia tanpa campur tangan manusia. Akan tetapi menurut Mu’tazilah ada
beberapa perbuatan manusia yang ditentukan oleh Tuhan seperti perbuatan-
perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara reflek. Selain hal itu, semua
perbuatan manusia ditentukan oleh dirinya sendiri.
10. Asy’ariyah
Aliran asy’ariyah dalam persoalan ini lebih dekat dengan paham
Jabariyah dari pada paham Mu’tzilah. Untuk menggambarkan
pahamnnya mengenai perbuatan manusia imam al-Asy’ari
menggunakan teori al-kasb. Bahwa manusia masih memiliki
kasb (usaha) yang bisa dilakukan, namun yang menentukan
akhirnya tetaplah Allah SWT.
Maturidiyah
Ada perbedaan antar maturidiyah samarkand dan maturidiyah
bukhara mengenai perbuatan manusia. Maturidiyah Samarkhan
berpendapat bahwa kehendak dan daya manusia dalam arti kata
sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk
berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama
dengan perbuatannya. Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan,
hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat
melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan bagi-Nya.
11. KEKUASAAN MUTLAK DAN KEADILAN
TUHAN
Mu’tazilah
Kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala
perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat
berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat
mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap
manusia. oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat
Zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat
menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang
tuanya dan mesti memberi upah kepada orang-orang
yang patuh pada-Nya dan memberikan hukuman
kepada orang-orang yang menentang perintah-Nya.
Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat
semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.
Dan memberi upah atau hukuman kepada manusia
sejajar dengan corak perbuatannya.
12. Asy’ariyah
menurut Asy’ariyah, pemahman Mu’tazilah tentang Tuhan memiliki kewajiban
adalah hal yang keliru. Allah bebas melakukan apapun dan tidak memiliki
kewajiban apapun. Keadilan Tuhan kaitannya dengan kekuasaan mutlak Tuhan
mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap
makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya berarti
“Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak terhadap
hak milik orang”. Oleh karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ariyah dapat
berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut
pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari sendiri berpendapat bahwa Tuhan
tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
Dengan demikian, Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-
Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam pandangan
Asy’ariyah. Sedangkan ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak bisa
berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain,
dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak
terhadap milik-Nya.
13. Maturidiyah
Maturidiyah Bukhara dalam hal ini sama dengan
pendapat Asy’ariyah bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban namun Tuhan pasti
menempati janjinya, seperti memberi upah kepada
orang yang berbuat baik dll. Sedangkan.
Maturidiyah Samarkhan lebih dekat pada
pandangan Mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa
perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal
yang baik saja. Dengan demikian, juga pemikiran
rasul dipandang maturidiyah samarkand sebagai
kewajiban Tuhan.