SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  10
FILOSOFI MONUMEN AREK LANCOR
Makalah ini
Disusun untuk Memenuhi Tugas Filsafat Nusantaran
Oleh:
Hairus Saleh
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2012
Filosofi Monomen Arek Lancor Pamekasan
Monoment Arek Lancor
Monumen perjuangan yang merupakan tugu peringan
kepahlawanan rakyat Madura dalam mempertahankan
kedaulatan dan kemerdekaan negara republik indonesia.
Monomen itu berbentuk lima celurit yang berdiri tegak di tengah
alun-alun. Kita bisa lihat gambar ini:
Monument itu di apit oleh pusat ibadah dua agama terbesar di
dunia, yaitu masjid agung asy syuhada’ yang merupakan masjid
jami’ Pamekasan (kalau di Jakarta, sebutlah masjid istiqlal) dan
gereja yang merupakan pusat ibadah kristenian terbesar di Pamekasan. Kalau digambarkan
secara geografis, masjid jami’ tersebut terletak di sebelah barat Arek Lancor, sedangkan di
sebelah timur berdiri tegak gereja jami’ umat Kristen.
Kedua umat tersebut hidup berdampingan dengan damai tanpa ada konflik baik dalam
kehidupan keseharian termasuk juga dalam peribadatannya. Mereka beribada dengan tenang
dan tenteram dengan saling menghormati.
Kembali lagi ke Arek Lancor, bahwa ia menjulang di tengah taman yang melingkar sebagai
pusat kota pemekasan. Taman itu dilengkapi dengan jalan yang membentuk lafadz Allah.
Sebenarnya Arek Lancor merupakan bahasa Madura yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi celurit. Lima kobaran itu berbentuk kobaran api yang saling
berhadapatn. Kemudian kalau kita ambil satu dari lima Arek Lancor itu. Kita akan
mendapatkan bahwa bentuk arek itu juga berbentuk tanda Tanya (?) dan terdapat ujung
runcing yang mengarah keatas.
Seluruh yang saya sebutkan tadi sebenarnya tidak hanya sekedar bentuk yang tak bermakna.
Arek Lancor itu merupakan suatu lambang yang mewakili seluruh pribadi masyarakat
Pamekasan pada umumnya. Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat Pamekasan sedikit
banyak kita cukup memahaminya melalui makna yang tertuang dalam Arek Lancor ini.
Sekilas Tentang Arek Lancor
Arek lancor ini merupakan senjata masyarakat Madura pada umumnya, tidak sebatas
digunakan masyarakat Pamekasan. Masyarakat Madura mengenal celurit pada abad ke-8 M.
abad ini adalah abad penindasan pemerintah belanda terhadap masyarakat jawa timur
termasuk juga madura.
Pemerintah belanda menekan masyarakat untuk menjual murah tanah-tanah mereka untuk
ditanami tebu serta masyarakat juga dipaksa untuk bekerja diladangnya tersebut dengan upah
yang tidak sewajarnya. Ngerinya, pemerintah belanda tidak segan-segan memukul, menyiksa
bahkan membunuh mereka yang membangkang terhadap kehendak bebasnya.
Penindasan terus meraja lela sampai lahir seorang tokoh pemberontak yang gagah berani. Ia
adalah sakera. Ini tokoh legendaris masyarakat Madura yang memunyai jasa besar dalam
menulak penindasan dan membela yang lemah.
Sakera sebagai orang yang berani, ia dengan tegas dan tanpa ragu membunuh antek-antek
belanda yang menindas masyarakat lemah. Sedangkang senjata yang digunakannya ialah
celurit. Saat itu lah arek lancor menjadi senjata perjuangan untuk membasmi ketidak adilan
serta penindasan.
Sejak itu lah masyarakat yang awalnya tidak berani melawan sifat Belanda dzalim,
masyarakat mulai berkobar untuk meghadapi penjajah dengan gagah dan berani dengan
menggunakan celurit. Gerakan masyarakat celurit ini lah mampu membuat belanda kwalahan
menganinya. Sehingga ia harus membayar pembunuh bayaran dari pribumi itu sendiri. Cukup
lah kiranya kupasan tentang arek lancor.
Filsafat Arek Lancor
Filsafat Arek Lancor itu tertuang dengan kokoh di dalam monoment itu sendiri. Secara umum
bisa di pilah dalam tema-tema yang akan diuraikan dengan jelas dan kokoh.
Filsafat Ketuhanan
Tuhan dalam pandangan masyarakat Pamekasan merupakan sosok yang sangat sakral.
Keberadaannya tidak dapat diganggu gugat. Tidak boleh satu pun masyarakat yang
menafikan keberadaannya. Ia adalah pangeran yang mengatur seluruh alam dan yang
mempunyai kekuasaan penuh terhadap alam semesta.
Karena Tuhan merupakan sosok yang memunyai kekuasaan penuh terhadap alam termasuk
juga manusia, masyarakat Pamekasan memosisikanNya pada titik tertinggi dari kehidupan. Ia
adalah tujuan akhir dari hidup manusia. Oleh karena itu, di setiap langkah dan amal perbuatan
mereka selalu dikaitkan dengan Tuhan. Tidak ada perbuatan yang tidak ditujukan pada Tuhan
yang maha esa.
Tuhan itu merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Ia tersirat di setiap ujung arek lancor yang
menjulang ke atas. Ujung itu adalah ujung terakhir dan teratas yang merupakan titik temu
dari seluruh aktivitas arek lancor yang ada sebagai monoment Pamekasan.
Tuhan yang dianut ialah tuhan yang maha esa, karena satu arek lancor hanya mempunyai satu
ujung. Lima arek yang berjejer kokoh tampaknya menggambarkan lima dasar keagamaan
yang selalu dijadikan pegangan, yaitu rukun islam, karena pendiri kabupaten ini adalah
muslim dan masyarakatnya rata-rata adalah muslim. Tetapi meskipun mereka muslim,
mereka tetap menerima dan menghargai penganut agama lain. Ini terlihat kehidupan yang
damai antar umat beda agama.
Bagi masyarakat Pamekasan konsep ketuhanan itu, merupakan konsep yang melandasi
seluruh hidupnya. Dengan demikian seluruh pembahasan selanjutnya juga dilandaskan pada
ketuhanan ini.
Humanisme Masyarakat Pamekasan
Masyarakat Pamekasan tidak hanya stagnan dan terpaku pada masalah yang vertical saja,
karena ia sadar bahwa hidup ini tidak hanya semata-mata untuk Tuhan dan menafikan yang
lain. Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinan akan Tuhan yang maha esa,
mereka juga menurunkan nilai-nilai keTuhanan pada prilaku dalam berhubungan antara
sesama manusia, tidak hanya itu bahkan mereka sangat menghargai alam sebagai makhluk
Tuhan.
Itu artinya, masyarakat Pamekasan menjunjung nilai humanisme yang tinggi. Humanisme
yang dimaksud ialah perlakuan terhadap sesama manusia sebagaimana seharus yang menurut
Zawawi Imron nilai-nilai kemanusiaan itu sudah tertanam dalam diri masyarakat Pamekasan
dan juga Madura pada umumnya.1
Dalam bermasyarakat, masyarakat Pamekasan berprilaku sebagaimana yang telah
diperintahkan Tuhan secara implisit, saling menyayangi, membantu dan menghargai terutama
tamu, di Pamekasan dikenal dengan istilah ngormat tamoi. Bagi masyarakat Pamekasan,
tamu itu bagaikan raja. Bagaimana ketika raja mampir ke rumah warganya, maka seperti
itulah posisi dan status tamu bagi mereka.
1 Suryadi, Celurit Baja atau Celurit Emas, http://achsuryadi.blogdetik.com
Bagi orang Pamekasan, bertamu berarti menghargai (oreng namoi reyah artenah ngargeih).
Oleh karena itu setiap orang yang bertamu kepada orang lain, secara implisit orang itu sudah
sangat menghargai orang lain dang mengakuinya sebagai salah satu dari bagian hidupnya.
Karena penamu telah menghargai yang ditamui, tuan rumah meresponnya dengan kebaikan
yang lebih, yaitu dengan memosisikannya sebagaimana raja.
Mayoritas masyarakat Pamekasan adalah kalangan menengah kebawah dalam segi ekonomi.
Mereka yang berada di ekonomi menengah kebawah, tentunya untuk makan enak atau
membeli makanan saja itu sudah sangat berat. Tetapi ketika tamu mampir kepada mereka,
apalagi dari luar daerah, mereka pasti membelikan sang tamu sesuatu yang tidak pernah ia
makan dalam kesehariannya. Bahkan seandainya mereka pun hanya mempunyai satu piring
nasi untuk dimakan satu hari tersebut, tamu lah yang harus didahulukan. Lebih baik tuan
rumah yang tidak makan dari pada tamu yang harus terlantar. Begitu lah orang Pamekasan
memperlakukan tamu.
Perlakuan yang demikian itu bukan semata-mata karena kebiasaan yang kemudian
melahirkan kewajiban mutlak untuk terus melayani tamu sebaik mungkin, tetapi karena
memang seharusnya tamu itu diperlakukan demikian. Tamu di sini dipandang tidak sebagai
selain tamu, sehingga tamu itu sendiri menjadi utuh sebagai tamu.
Dalam konsep filsafat, apa yang tampak pada masyarakat Pamekasan ini sudah sangat
rasional, karena telah memperlakukan sesuatu sebagaimana adanya dan sebagaimana
seharusnya. Perlakuan sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya itu tampak pada
tamu yang tidak diperlakukan sebagai kuli bangunan, tidak pula sebagai pencuri dan juga
pembunuh.
Humanisme masyarakat Pamekasan ini memang tidak dapat dipisahkan antara hubungan
vertikal dan horizontal. Hubungan ini tampak pada simbol arek lancor. Bangunan monomen
arek lancor meruncing keatas yang kemudian melebar kebawah. Agar lebih jelas kita bisa
mengandaikan atau menganalogikan selayaknya segi tiga yang tegak dan kokoh. Lambang
melebar dari bawah menunjukkan hubungan horizontal antar sesama manusia dan tidak luput
dengan makhluk. Simbol itu terus mengerucut ke atas menunjukkan adanya hubungan yang
tak terpisahkan antara hubungan horizontal dan vertikal. Segala hubungan yang horizontal –
segala urusan keduniaan- itu terus bermuara pada satu titik yang nantinya bertemu di ujung
arek lancor. Ujung itu merupakan titik tertinggi sebagai lambang ketuhanan.
Sebenarnya masih banyak lagi humanisme yang bisa kita ungkap secara jelas dan baik dalam
sub ini. Tetapi tentang celurit yang diklaim sebagai alat yang memicu kekerasan dan watak
orang Pamekasan/Madura yang menakutkan2
akan kita bahas di sub khusus. Pembahasan ini
merupakan inti dari pembahasan arek lancor karena ini adalah antitesa dari klaim tersebut
karena memang klaim ini tidak sesuai dengan falsafah arek lancor yang sudah tertanam di
tengah-tengah kota Pamekasan.
Semangat Nasionalisme Masyarakat Pamekasan
Tampaknya banyak sejarah yang terlupakan oleh bangsa ini. Bahwa masih banyak pahlawan
kemerdekaan yang tertimbun tanah. Mereka yang tak pernah diingat sedikipun oleh bangsa.
Bahkan senjata yang menjadi salah satu senjata hebat –celurit- dari sebrang surabaya pun ikut
tertepis jauh dari nilai perjuangan dan bahkan berubah statusnya menjadi senjata yang begitu
hina dan menakutkan. Ini lah pembelokan sejarah yang harus segera diluruskan.
Gerakan penolak penindasan dan penjajahan yang dipelopori sakera merupakan bukti nyata
tentang keterlibatan secara intens masyarakat Pamekasan dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Membangun manusia yang manusiawi melalui falsafah arek lancor
yang sudah tertanam dalam diri masyarakat Pamekasan juga merupakan sumbangan besar
terhadap perkembangan bangsa Indonesia.
Selain itu, keterlibatan para kiai dan masyarakat dalam mencetak kaum intelektual yang kritis
dan hidup, tidak kering dari nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, melalu pondok pesantren
dan pendidikan ke tingkat pendidikan setinggi mungkin merupakan langkah strategis yang
sangat menentukan masa depan bangsa ini.
Tidak hanya itu, semangat pengamlikasian Pancasila sebagai landasar dasar bangsa ini sudah
masyarakat Pamekasan usahakan melalui pengakuan, pelaksanaan dan perlindungan terhadap
tuhan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradap dan seterusnya. Hidup damai
bersama masyarakat beda agama, kultur, ras dan sebagainya sudah mereka laksanakan
dengan baik, terbukti dengan berdekatannya gereja dengan masjid dan tetap utuhnya tempat
sembahyang orang Budha yang ada di pesisir talang siring. Itu semua tercantum dalam
falsafah arek lancor kebanggaan masyarakat Pamekasan dan Madura.
Asapok Angin Abental Ombek
2 Hairus Saleh, Citra Madura di Mata Dunia, sabdakhairuss.blogspot.com
Asapok angin abental ombek ini merupakan satu dari ribuan teori falsafah yang sudah lama
menjadi landasan hidup masyarakat Pamekasan atau Madura secara keseluruhan tanpa harus
menghilangkan nilai-nilai falsafah yang lain.
Secara etimologi istilah asapok angin abental ombek itu berarti berselimut angin dan
berbantal ombak. Ada pun secara terminologi istilah itu ialah masyarakat Pamekasan itu tidak
mudah menyerah untuk mendapatkan impian luhur yang didambakan. Walau dinginnya angin
laut yang menusuk sumsung tulang di malam hari, dan meskipun ombak yang
bergelimpangan menerka perjalanannya, mereka tak pernah gentar sedikit pun untuk terus
melaju.
Biarlah orang lain mengatakan tidak mungkin membuktikan ketidak kerasan masyarakat
Pamekasan, tetapi masyarakat Pamekasan akan terus berusaha sekeras mungkin untuk
mencapai angan yang sudah lama dinilai miring masyarakat. Ini lah yang dimaksud dengan
keteguhan hati dan pendirian masyarakat Pamekasan yang pantang menyerah.
Tetapi harus ditekankan lagi bahwa keteguhan itu tidak hanya keteguhan yang tanpa
berlandasankan nilai-nilai luhur dan bijak. Nilai-nilai luhur yang menjadi ukuran masyarakat
Pamekasan ialah nilai filosofis dari arek lancor yang sebagian telah kita bahasa di atas. Nilai-
nilai yang melekat pada arek lancor itu dijalankan dengan baik oleh masyarakat Pamekasan
tanpa ada satupun pertentangan.
Keteguhan ini sepenuhnya temsimbolkan dalam monomen arek lancor yang berdiri gagah
tanpa bergeser sedikipun meskipun panas, angin, hujan dan petir menyambar sekalipun,
kecuali sudah waktunya roboh, maka itu sudah persoalan lain. Monumen Arek Lancor berdiri
tegak di atas landasan yang kokoh melukiskan keteguhan dan kesiap-siagaan rakyat Madura
dalam menghadapi setiap tantangan.3
Celurit dan Kekerasan
Celurit adalah satu dari berbagai senjata bangsa yang agung. Senjata ini memunyai kontribusi
besar dalam memberantas penindasan dan penjajahan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Madura. Tetapi menjadi sangat
menyedihkan ketika salah satu bagian dari sejarah itu dimarjinalkan. Segala peranan
pentingnya diubah menjadi sumber mala petaka, kekerasan dan sebagainya.
Berdasarkan sejarah, bahwa masyarakat Pamekasan atau Madura berasal dari masyarakat
yang beragama hindu dan islam setelah masuknya putra-putera Rio Lembu Petang. Nenek
3 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pamekasan
moyang yang berasal dari hindu ialah raja Sangka. Ia adalah raja yang menjadikan Madura
sebagai nama pulau di seberang Surabaya itu.4
Kita pun harus tahu bahwa beliau beserta
keluarganya adalah orang yang sangat menghargai warganya. Puteranya, pangeran Jira berani
–dengan persetujuan sang ayah- mengorbankan nyawanya demi keselamatan seluruh
masyarakatnya dari keterpurukan. Pengorbanan ini merupakan personifikasi dari nilai
kemanusia yang begitu agung. mereka adalah orang-orang yang sangat menyayangi sesama.
Setelah masuknya kerajaan Majapahit yang pada waktu itu sudah masuk islam, dibawah
kepemimpinan nyai banu (putri Rio mango) kerajaan itu mengalami kejayaan yang luar
biasa.5
Karena nyai banu yang saat menyayangi dan menghargai masyarakatnnya. Ini juga
menampakkan bahwa masyarakat Pamekasan dan Madura itu memunyai solidaritas yang
tinggi.
Selain itu, bentuk perlawanan terhadap penindasan Belanda itu sudah merupakan bukti bahwa
masyarakat Madura sangat menentang perlakuan yang tidak adil dan kekerasan kolonial
Belanda atas masyarakat pribumi pada umumnya.
Bentuk arek lancor itu sendiri juga yang tidak memungkinkan masyarakat Madura
menggunakan celurit sebagai alat kekerasan yang tidak bertanggung jawab. Bentuk arek
lancor yang menyerupai tanda tanya itu merupakan satu simbol bahwa orang Madura
khususnya Pamekasan –ketika hendak menggunakan celurit- akan selalu bertanya, apakah
langkah yang ia lakukan untuk menggunakan celurit itu sudah benar?, apakah penggunaan
celurit itu sudah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah tertanam sejak dahulu kala
itu?
Maka sebenarnya, kalau pun celurit-celurit masih bergelimpangan di rumah warga –meskipun
sekarang sudah mulai lenyap-, itu hanyalah budaya belaka. Itu merupakan bentuk
penghormatan masyarakat kepada pejuang legendarisnya. Masyarakat mengabadikan senjata
itu agar tidak lupa terhadap sejarahnya sendiri yang merupakan jatidirinya, bahwa di balik
celurit itu menyimpan sejuta kenangan dan makna yang penting bagi masyarakat. Nilai-nilai
di balik itu –seperti membela kaum lemah dari penindasan- yang nantinya selalu menyertai
setiap langkahnya.
Tentang logat dan intonasi bicara orang Madura yang nilai keras -dalam arti marah-marah-
yang sudah diklaim masyarakat, penulis juga akan meluruskannya. Benar teori Ibn Khaldun
dalam muqoddimahnya, bahwa karakter seseorang itu dibentuk oleh keadaan geografisnya.
4 Redaksi, Asal Mula Nama Pulau Madura, http://skripsiplus.blogspot.com
5 Farhat Hidayat, Sejarah Pamekasan Madura, http://panoramabudayamadura.blogspot.com
Sama halnya dengan masyarakat Madura. Ucapan orang Madura yang demikian sebenarnya
tidak pas dinilai keras sebagaimana arti di atas yaitu dalam arti marah-marah, tetapi lebih
tepat dimaknai keras dalam arti lantang, volume suara yang tinggi. Alasannya ialah karena
masyarakat Madura yang hidup dipinggir pantai.
Di pantai, angin bertiup jauh lebih kencang dari pada di daratan jauh dari laut. Karena angin
yang kencang itu selalu membawa gelombang-gelombang suara searah dengan arah aging,
sehingga suara pembicara tidak dapat didengar dengan jelas oleh lawan bicara. Hal ini
menuntut pembicara untuk menaikkan nadanya agar dapat berinteraksi dengan lebih baik.
Keadaan itu terjadi sepanjang hidupnya, sehingga kebiasaan itu menjadi melekat dalam
benaknya sampai keadaan wilayah lain mampu mengkikisnya.
Oleh karena itu, penulis juga sangat keberatan dengan tulisan Latief Wiyata yang melukiskan
masyarakat Madura dengan kekerasan sebagaimana yang telah ditulis dalam bukunya
“Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura”. Di dalamnya ia mengatakan
bahwa kekerasan itu sendiri sudah menjadi bagian dari budaya Madura.6
Klaim ini jelas
sangat lemah mengingat penelitian lapangannya masih banyak celah.
Kelemahan di antara kelemahan-kelemahan itu yaitu, dia bukan orang Madura asli. Dia hanya
peneliti yang meneliti di 7 desa kecil itu pun hanya di kabupaten Bangkalan sebagai untuk
keperluan tesis. Sedangkan kabupaten Bangkalan terdiri dari 17 kecamatan7
yang tiap
kecamatan terdiri dari kurang lebih 20 desa8
. Itu berarti jumlah desa keseluruhan ialah 340
desa. Dengan demikian hanya 0.02 % dari seluruh jumlah desa di Bangkalan yang ia teliti, itu
pun tidak disebutkan jumlah masyarakat yang diwawancarai. Jumlah itu terlalu kecil
mendapakan hasil yang valid dan diterima dengan baik, meskipun sudah sesuai dengan teori
penelitian, apalagi kalau nanti hasil penelitiannya dijustifikasikan atau dijadikan ukuran
kekerasan di Madura yang terdiri dari 1000 desa lebih dan jutaan warga. Untuk itu, penulis
sangat ragu terhadap hasil penelitian tersebut, mengingat penulis makalah ini lahir dan hidup
di Madura selama 20 tahun lebih dan juga sudah berpetualang ke berbagai wilayah di sana.
Tampaknya sangat diperlukan penelitian ulang yang lebih akurat, yang dilakukan orang
Madura itu sendiri karena merekalah yang jauh lebih paham tentang dirinya sendiri.
6 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Malang: LkiS Pelangi
Aksara, 2002), h. 9
7 http://www.bangkalankab.go.id/
8 Godam, Daftar Nama Kecamatan/Kelurahan/Desa & Kode Pos di Kota/Kabupaten Bangkalan Jawa Timur
(JATIM), http://organisasi.org
Penelitian itu yang nantinya akan menjadi antitesa terhadap karya Latif Wiyata itu yang
kemudian akan merombak seluruh penilaian miring terhadapnya. Sekian

Contenu connexe

Similaire à FILOSOFI AREK LANCOR

Tradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal TulisanTradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal TulisanWiyanto Hardjono
 
kebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopanakebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopanaErick Ruing
 
kebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopanakebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopanaErick Ruing
 
Hamka.dari perbendaharaan lama.
Hamka.dari perbendaharaan lama.Hamka.dari perbendaharaan lama.
Hamka.dari perbendaharaan lama.Janang S
 
BUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docx
BUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docxBUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docx
BUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docxpemajuankebudayaande
 
Biografi kartini (rayhan)
Biografi kartini (rayhan)Biografi kartini (rayhan)
Biografi kartini (rayhan)Smpit Al Mughni
 
TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA
TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA
TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA septiputri
 
Makalah sistem kehidupan kampung naga
Makalah sistem kehidupan kampung nagaMakalah sistem kehidupan kampung naga
Makalah sistem kehidupan kampung nagaBilhad Hard
 
Zaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptx
Zaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptxZaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptx
Zaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptxdinicha31
 
Makalah - R. A. Kartini
Makalah - R. A. KartiniMakalah - R. A. Kartini
Makalah - R. A. KartiniAngela Pris
 
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan MajapahitKerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan MajapahitRafika N. Septikasari
 
Karlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final bacaKarlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final bacawijiwungkul
 
Syarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidah
Syarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidahSyarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidah
Syarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidahSyarifudin Amq
 
KULIAH SKI DAN LOKAL.pptx
KULIAH SKI DAN LOKAL.pptxKULIAH SKI DAN LOKAL.pptx
KULIAH SKI DAN LOKAL.pptxFaizahNurAtika2
 
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka RusminiPotret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusminiahmad bahtiar
 
dariperbendaharaanlama__hamka.pdf
dariperbendaharaanlama__hamka.pdfdariperbendaharaanlama__hamka.pdf
dariperbendaharaanlama__hamka.pdfArdiRek
 
Pengenalan Hikayat Awang Kamaruddin
Pengenalan Hikayat Awang KamaruddinPengenalan Hikayat Awang Kamaruddin
Pengenalan Hikayat Awang KamaruddinRozaiman Makmun
 

Similaire à FILOSOFI AREK LANCOR (20)

Tradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal TulisanTradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
Tradisi Manusia Sebelum Mengenal Tulisan
 
kebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopanakebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopana
 
kebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopanakebudayaan desa baopana
kebudayaan desa baopana
 
Hamka.dari perbendaharaan lama.
Hamka.dari perbendaharaan lama.Hamka.dari perbendaharaan lama.
Hamka.dari perbendaharaan lama.
 
BUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docx
BUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docxBUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docx
BUKU PRANATA BANYU DESA DASUN - ANGGA HERMANSYAH.docx
 
Biografi kartini (rayhan)
Biografi kartini (rayhan)Biografi kartini (rayhan)
Biografi kartini (rayhan)
 
TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA
TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA
TRADISI MASA PRA AKSARA DAN AKSARA
 
Makalah sistem kehidupan kampung naga
Makalah sistem kehidupan kampung nagaMakalah sistem kehidupan kampung naga
Makalah sistem kehidupan kampung naga
 
Kaktuan
KaktuanKaktuan
Kaktuan
 
Zaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptx
Zaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptxZaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptx
Zaman Majapahit dan Kepribadian Pancasila.pptx
 
Ulasan novel Interlok
Ulasan novel InterlokUlasan novel Interlok
Ulasan novel Interlok
 
Penerapan nilai
Penerapan nilaiPenerapan nilai
Penerapan nilai
 
Makalah - R. A. Kartini
Makalah - R. A. KartiniMakalah - R. A. Kartini
Makalah - R. A. Kartini
 
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan MajapahitKerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit
Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit
 
Karlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final bacaKarlina p idato kebudayaan 2013_final baca
Karlina p idato kebudayaan 2013_final baca
 
Syarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidah
Syarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidahSyarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidah
Syarifudin ambon, dinamika dakwah dalam seni qasidah
 
KULIAH SKI DAN LOKAL.pptx
KULIAH SKI DAN LOKAL.pptxKULIAH SKI DAN LOKAL.pptx
KULIAH SKI DAN LOKAL.pptx
 
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka RusminiPotret Bali dalam Kumpulan Cerpen  Sagra  karya Oka Rusmini
Potret Bali dalam Kumpulan Cerpen Sagra karya Oka Rusmini
 
dariperbendaharaanlama__hamka.pdf
dariperbendaharaanlama__hamka.pdfdariperbendaharaanlama__hamka.pdf
dariperbendaharaanlama__hamka.pdf
 
Pengenalan Hikayat Awang Kamaruddin
Pengenalan Hikayat Awang KamaruddinPengenalan Hikayat Awang Kamaruddin
Pengenalan Hikayat Awang Kamaruddin
 

Plus de Hairus Saleh

Plus de Hairus Saleh (6)

Hakikat cinta
Hakikat cintaHakikat cinta
Hakikat cinta
 
ID Wereless UIN Syahid Jakarta
ID Wereless UIN Syahid JakartaID Wereless UIN Syahid Jakarta
ID Wereless UIN Syahid Jakarta
 
Gender
GenderGender
Gender
 
Teorema alam dalam islam
Teorema alam dalam islamTeorema alam dalam islam
Teorema alam dalam islam
 
Nietze zarathusta
Nietze zarathustaNietze zarathusta
Nietze zarathusta
 
Feminisme
FeminismeFeminisme
Feminisme
 

FILOSOFI AREK LANCOR

  • 1. FILOSOFI MONUMEN AREK LANCOR Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Filsafat Nusantaran Oleh: Hairus Saleh JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012
  • 2. Filosofi Monomen Arek Lancor Pamekasan Monoment Arek Lancor Monumen perjuangan yang merupakan tugu peringan kepahlawanan rakyat Madura dalam mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan negara republik indonesia. Monomen itu berbentuk lima celurit yang berdiri tegak di tengah alun-alun. Kita bisa lihat gambar ini: Monument itu di apit oleh pusat ibadah dua agama terbesar di dunia, yaitu masjid agung asy syuhada’ yang merupakan masjid jami’ Pamekasan (kalau di Jakarta, sebutlah masjid istiqlal) dan gereja yang merupakan pusat ibadah kristenian terbesar di Pamekasan. Kalau digambarkan secara geografis, masjid jami’ tersebut terletak di sebelah barat Arek Lancor, sedangkan di sebelah timur berdiri tegak gereja jami’ umat Kristen. Kedua umat tersebut hidup berdampingan dengan damai tanpa ada konflik baik dalam kehidupan keseharian termasuk juga dalam peribadatannya. Mereka beribada dengan tenang dan tenteram dengan saling menghormati. Kembali lagi ke Arek Lancor, bahwa ia menjulang di tengah taman yang melingkar sebagai pusat kota pemekasan. Taman itu dilengkapi dengan jalan yang membentuk lafadz Allah. Sebenarnya Arek Lancor merupakan bahasa Madura yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi celurit. Lima kobaran itu berbentuk kobaran api yang saling berhadapatn. Kemudian kalau kita ambil satu dari lima Arek Lancor itu. Kita akan mendapatkan bahwa bentuk arek itu juga berbentuk tanda Tanya (?) dan terdapat ujung runcing yang mengarah keatas. Seluruh yang saya sebutkan tadi sebenarnya tidak hanya sekedar bentuk yang tak bermakna. Arek Lancor itu merupakan suatu lambang yang mewakili seluruh pribadi masyarakat Pamekasan pada umumnya. Oleh karena itu, untuk memahami masyarakat Pamekasan sedikit banyak kita cukup memahaminya melalui makna yang tertuang dalam Arek Lancor ini. Sekilas Tentang Arek Lancor
  • 3. Arek lancor ini merupakan senjata masyarakat Madura pada umumnya, tidak sebatas digunakan masyarakat Pamekasan. Masyarakat Madura mengenal celurit pada abad ke-8 M. abad ini adalah abad penindasan pemerintah belanda terhadap masyarakat jawa timur termasuk juga madura. Pemerintah belanda menekan masyarakat untuk menjual murah tanah-tanah mereka untuk ditanami tebu serta masyarakat juga dipaksa untuk bekerja diladangnya tersebut dengan upah yang tidak sewajarnya. Ngerinya, pemerintah belanda tidak segan-segan memukul, menyiksa bahkan membunuh mereka yang membangkang terhadap kehendak bebasnya. Penindasan terus meraja lela sampai lahir seorang tokoh pemberontak yang gagah berani. Ia adalah sakera. Ini tokoh legendaris masyarakat Madura yang memunyai jasa besar dalam menulak penindasan dan membela yang lemah. Sakera sebagai orang yang berani, ia dengan tegas dan tanpa ragu membunuh antek-antek belanda yang menindas masyarakat lemah. Sedangkang senjata yang digunakannya ialah celurit. Saat itu lah arek lancor menjadi senjata perjuangan untuk membasmi ketidak adilan serta penindasan. Sejak itu lah masyarakat yang awalnya tidak berani melawan sifat Belanda dzalim, masyarakat mulai berkobar untuk meghadapi penjajah dengan gagah dan berani dengan menggunakan celurit. Gerakan masyarakat celurit ini lah mampu membuat belanda kwalahan menganinya. Sehingga ia harus membayar pembunuh bayaran dari pribumi itu sendiri. Cukup lah kiranya kupasan tentang arek lancor. Filsafat Arek Lancor Filsafat Arek Lancor itu tertuang dengan kokoh di dalam monoment itu sendiri. Secara umum bisa di pilah dalam tema-tema yang akan diuraikan dengan jelas dan kokoh. Filsafat Ketuhanan Tuhan dalam pandangan masyarakat Pamekasan merupakan sosok yang sangat sakral. Keberadaannya tidak dapat diganggu gugat. Tidak boleh satu pun masyarakat yang menafikan keberadaannya. Ia adalah pangeran yang mengatur seluruh alam dan yang mempunyai kekuasaan penuh terhadap alam semesta. Karena Tuhan merupakan sosok yang memunyai kekuasaan penuh terhadap alam termasuk juga manusia, masyarakat Pamekasan memosisikanNya pada titik tertinggi dari kehidupan. Ia adalah tujuan akhir dari hidup manusia. Oleh karena itu, di setiap langkah dan amal perbuatan
  • 4. mereka selalu dikaitkan dengan Tuhan. Tidak ada perbuatan yang tidak ditujukan pada Tuhan yang maha esa. Tuhan itu merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Ia tersirat di setiap ujung arek lancor yang menjulang ke atas. Ujung itu adalah ujung terakhir dan teratas yang merupakan titik temu dari seluruh aktivitas arek lancor yang ada sebagai monoment Pamekasan. Tuhan yang dianut ialah tuhan yang maha esa, karena satu arek lancor hanya mempunyai satu ujung. Lima arek yang berjejer kokoh tampaknya menggambarkan lima dasar keagamaan yang selalu dijadikan pegangan, yaitu rukun islam, karena pendiri kabupaten ini adalah muslim dan masyarakatnya rata-rata adalah muslim. Tetapi meskipun mereka muslim, mereka tetap menerima dan menghargai penganut agama lain. Ini terlihat kehidupan yang damai antar umat beda agama. Bagi masyarakat Pamekasan konsep ketuhanan itu, merupakan konsep yang melandasi seluruh hidupnya. Dengan demikian seluruh pembahasan selanjutnya juga dilandaskan pada ketuhanan ini. Humanisme Masyarakat Pamekasan Masyarakat Pamekasan tidak hanya stagnan dan terpaku pada masalah yang vertical saja, karena ia sadar bahwa hidup ini tidak hanya semata-mata untuk Tuhan dan menafikan yang lain. Sebagai masyarakat yang berpegang teguh pada keyakinan akan Tuhan yang maha esa, mereka juga menurunkan nilai-nilai keTuhanan pada prilaku dalam berhubungan antara sesama manusia, tidak hanya itu bahkan mereka sangat menghargai alam sebagai makhluk Tuhan. Itu artinya, masyarakat Pamekasan menjunjung nilai humanisme yang tinggi. Humanisme yang dimaksud ialah perlakuan terhadap sesama manusia sebagaimana seharus yang menurut Zawawi Imron nilai-nilai kemanusiaan itu sudah tertanam dalam diri masyarakat Pamekasan dan juga Madura pada umumnya.1 Dalam bermasyarakat, masyarakat Pamekasan berprilaku sebagaimana yang telah diperintahkan Tuhan secara implisit, saling menyayangi, membantu dan menghargai terutama tamu, di Pamekasan dikenal dengan istilah ngormat tamoi. Bagi masyarakat Pamekasan, tamu itu bagaikan raja. Bagaimana ketika raja mampir ke rumah warganya, maka seperti itulah posisi dan status tamu bagi mereka. 1 Suryadi, Celurit Baja atau Celurit Emas, http://achsuryadi.blogdetik.com
  • 5. Bagi orang Pamekasan, bertamu berarti menghargai (oreng namoi reyah artenah ngargeih). Oleh karena itu setiap orang yang bertamu kepada orang lain, secara implisit orang itu sudah sangat menghargai orang lain dang mengakuinya sebagai salah satu dari bagian hidupnya. Karena penamu telah menghargai yang ditamui, tuan rumah meresponnya dengan kebaikan yang lebih, yaitu dengan memosisikannya sebagaimana raja. Mayoritas masyarakat Pamekasan adalah kalangan menengah kebawah dalam segi ekonomi. Mereka yang berada di ekonomi menengah kebawah, tentunya untuk makan enak atau membeli makanan saja itu sudah sangat berat. Tetapi ketika tamu mampir kepada mereka, apalagi dari luar daerah, mereka pasti membelikan sang tamu sesuatu yang tidak pernah ia makan dalam kesehariannya. Bahkan seandainya mereka pun hanya mempunyai satu piring nasi untuk dimakan satu hari tersebut, tamu lah yang harus didahulukan. Lebih baik tuan rumah yang tidak makan dari pada tamu yang harus terlantar. Begitu lah orang Pamekasan memperlakukan tamu. Perlakuan yang demikian itu bukan semata-mata karena kebiasaan yang kemudian melahirkan kewajiban mutlak untuk terus melayani tamu sebaik mungkin, tetapi karena memang seharusnya tamu itu diperlakukan demikian. Tamu di sini dipandang tidak sebagai selain tamu, sehingga tamu itu sendiri menjadi utuh sebagai tamu. Dalam konsep filsafat, apa yang tampak pada masyarakat Pamekasan ini sudah sangat rasional, karena telah memperlakukan sesuatu sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya. Perlakuan sebagaimana adanya dan sebagaimana seharusnya itu tampak pada tamu yang tidak diperlakukan sebagai kuli bangunan, tidak pula sebagai pencuri dan juga pembunuh. Humanisme masyarakat Pamekasan ini memang tidak dapat dipisahkan antara hubungan vertikal dan horizontal. Hubungan ini tampak pada simbol arek lancor. Bangunan monomen arek lancor meruncing keatas yang kemudian melebar kebawah. Agar lebih jelas kita bisa mengandaikan atau menganalogikan selayaknya segi tiga yang tegak dan kokoh. Lambang melebar dari bawah menunjukkan hubungan horizontal antar sesama manusia dan tidak luput dengan makhluk. Simbol itu terus mengerucut ke atas menunjukkan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara hubungan horizontal dan vertikal. Segala hubungan yang horizontal – segala urusan keduniaan- itu terus bermuara pada satu titik yang nantinya bertemu di ujung arek lancor. Ujung itu merupakan titik tertinggi sebagai lambang ketuhanan.
  • 6. Sebenarnya masih banyak lagi humanisme yang bisa kita ungkap secara jelas dan baik dalam sub ini. Tetapi tentang celurit yang diklaim sebagai alat yang memicu kekerasan dan watak orang Pamekasan/Madura yang menakutkan2 akan kita bahas di sub khusus. Pembahasan ini merupakan inti dari pembahasan arek lancor karena ini adalah antitesa dari klaim tersebut karena memang klaim ini tidak sesuai dengan falsafah arek lancor yang sudah tertanam di tengah-tengah kota Pamekasan. Semangat Nasionalisme Masyarakat Pamekasan Tampaknya banyak sejarah yang terlupakan oleh bangsa ini. Bahwa masih banyak pahlawan kemerdekaan yang tertimbun tanah. Mereka yang tak pernah diingat sedikipun oleh bangsa. Bahkan senjata yang menjadi salah satu senjata hebat –celurit- dari sebrang surabaya pun ikut tertepis jauh dari nilai perjuangan dan bahkan berubah statusnya menjadi senjata yang begitu hina dan menakutkan. Ini lah pembelokan sejarah yang harus segera diluruskan. Gerakan penolak penindasan dan penjajahan yang dipelopori sakera merupakan bukti nyata tentang keterlibatan secara intens masyarakat Pamekasan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Membangun manusia yang manusiawi melalui falsafah arek lancor yang sudah tertanam dalam diri masyarakat Pamekasan juga merupakan sumbangan besar terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Selain itu, keterlibatan para kiai dan masyarakat dalam mencetak kaum intelektual yang kritis dan hidup, tidak kering dari nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, melalu pondok pesantren dan pendidikan ke tingkat pendidikan setinggi mungkin merupakan langkah strategis yang sangat menentukan masa depan bangsa ini. Tidak hanya itu, semangat pengamlikasian Pancasila sebagai landasar dasar bangsa ini sudah masyarakat Pamekasan usahakan melalui pengakuan, pelaksanaan dan perlindungan terhadap tuhan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradap dan seterusnya. Hidup damai bersama masyarakat beda agama, kultur, ras dan sebagainya sudah mereka laksanakan dengan baik, terbukti dengan berdekatannya gereja dengan masjid dan tetap utuhnya tempat sembahyang orang Budha yang ada di pesisir talang siring. Itu semua tercantum dalam falsafah arek lancor kebanggaan masyarakat Pamekasan dan Madura. Asapok Angin Abental Ombek 2 Hairus Saleh, Citra Madura di Mata Dunia, sabdakhairuss.blogspot.com
  • 7. Asapok angin abental ombek ini merupakan satu dari ribuan teori falsafah yang sudah lama menjadi landasan hidup masyarakat Pamekasan atau Madura secara keseluruhan tanpa harus menghilangkan nilai-nilai falsafah yang lain. Secara etimologi istilah asapok angin abental ombek itu berarti berselimut angin dan berbantal ombak. Ada pun secara terminologi istilah itu ialah masyarakat Pamekasan itu tidak mudah menyerah untuk mendapatkan impian luhur yang didambakan. Walau dinginnya angin laut yang menusuk sumsung tulang di malam hari, dan meskipun ombak yang bergelimpangan menerka perjalanannya, mereka tak pernah gentar sedikit pun untuk terus melaju. Biarlah orang lain mengatakan tidak mungkin membuktikan ketidak kerasan masyarakat Pamekasan, tetapi masyarakat Pamekasan akan terus berusaha sekeras mungkin untuk mencapai angan yang sudah lama dinilai miring masyarakat. Ini lah yang dimaksud dengan keteguhan hati dan pendirian masyarakat Pamekasan yang pantang menyerah. Tetapi harus ditekankan lagi bahwa keteguhan itu tidak hanya keteguhan yang tanpa berlandasankan nilai-nilai luhur dan bijak. Nilai-nilai luhur yang menjadi ukuran masyarakat Pamekasan ialah nilai filosofis dari arek lancor yang sebagian telah kita bahasa di atas. Nilai- nilai yang melekat pada arek lancor itu dijalankan dengan baik oleh masyarakat Pamekasan tanpa ada satupun pertentangan. Keteguhan ini sepenuhnya temsimbolkan dalam monomen arek lancor yang berdiri gagah tanpa bergeser sedikipun meskipun panas, angin, hujan dan petir menyambar sekalipun, kecuali sudah waktunya roboh, maka itu sudah persoalan lain. Monumen Arek Lancor berdiri tegak di atas landasan yang kokoh melukiskan keteguhan dan kesiap-siagaan rakyat Madura dalam menghadapi setiap tantangan.3 Celurit dan Kekerasan Celurit adalah satu dari berbagai senjata bangsa yang agung. Senjata ini memunyai kontribusi besar dalam memberantas penindasan dan penjajahan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan masyarakat Indonesia, apalagi masyarakat Madura. Tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika salah satu bagian dari sejarah itu dimarjinalkan. Segala peranan pentingnya diubah menjadi sumber mala petaka, kekerasan dan sebagainya. Berdasarkan sejarah, bahwa masyarakat Pamekasan atau Madura berasal dari masyarakat yang beragama hindu dan islam setelah masuknya putra-putera Rio Lembu Petang. Nenek 3 http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Pamekasan
  • 8. moyang yang berasal dari hindu ialah raja Sangka. Ia adalah raja yang menjadikan Madura sebagai nama pulau di seberang Surabaya itu.4 Kita pun harus tahu bahwa beliau beserta keluarganya adalah orang yang sangat menghargai warganya. Puteranya, pangeran Jira berani –dengan persetujuan sang ayah- mengorbankan nyawanya demi keselamatan seluruh masyarakatnya dari keterpurukan. Pengorbanan ini merupakan personifikasi dari nilai kemanusia yang begitu agung. mereka adalah orang-orang yang sangat menyayangi sesama. Setelah masuknya kerajaan Majapahit yang pada waktu itu sudah masuk islam, dibawah kepemimpinan nyai banu (putri Rio mango) kerajaan itu mengalami kejayaan yang luar biasa.5 Karena nyai banu yang saat menyayangi dan menghargai masyarakatnnya. Ini juga menampakkan bahwa masyarakat Pamekasan dan Madura itu memunyai solidaritas yang tinggi. Selain itu, bentuk perlawanan terhadap penindasan Belanda itu sudah merupakan bukti bahwa masyarakat Madura sangat menentang perlakuan yang tidak adil dan kekerasan kolonial Belanda atas masyarakat pribumi pada umumnya. Bentuk arek lancor itu sendiri juga yang tidak memungkinkan masyarakat Madura menggunakan celurit sebagai alat kekerasan yang tidak bertanggung jawab. Bentuk arek lancor yang menyerupai tanda tanya itu merupakan satu simbol bahwa orang Madura khususnya Pamekasan –ketika hendak menggunakan celurit- akan selalu bertanya, apakah langkah yang ia lakukan untuk menggunakan celurit itu sudah benar?, apakah penggunaan celurit itu sudah sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah tertanam sejak dahulu kala itu? Maka sebenarnya, kalau pun celurit-celurit masih bergelimpangan di rumah warga –meskipun sekarang sudah mulai lenyap-, itu hanyalah budaya belaka. Itu merupakan bentuk penghormatan masyarakat kepada pejuang legendarisnya. Masyarakat mengabadikan senjata itu agar tidak lupa terhadap sejarahnya sendiri yang merupakan jatidirinya, bahwa di balik celurit itu menyimpan sejuta kenangan dan makna yang penting bagi masyarakat. Nilai-nilai di balik itu –seperti membela kaum lemah dari penindasan- yang nantinya selalu menyertai setiap langkahnya. Tentang logat dan intonasi bicara orang Madura yang nilai keras -dalam arti marah-marah- yang sudah diklaim masyarakat, penulis juga akan meluruskannya. Benar teori Ibn Khaldun dalam muqoddimahnya, bahwa karakter seseorang itu dibentuk oleh keadaan geografisnya. 4 Redaksi, Asal Mula Nama Pulau Madura, http://skripsiplus.blogspot.com 5 Farhat Hidayat, Sejarah Pamekasan Madura, http://panoramabudayamadura.blogspot.com
  • 9. Sama halnya dengan masyarakat Madura. Ucapan orang Madura yang demikian sebenarnya tidak pas dinilai keras sebagaimana arti di atas yaitu dalam arti marah-marah, tetapi lebih tepat dimaknai keras dalam arti lantang, volume suara yang tinggi. Alasannya ialah karena masyarakat Madura yang hidup dipinggir pantai. Di pantai, angin bertiup jauh lebih kencang dari pada di daratan jauh dari laut. Karena angin yang kencang itu selalu membawa gelombang-gelombang suara searah dengan arah aging, sehingga suara pembicara tidak dapat didengar dengan jelas oleh lawan bicara. Hal ini menuntut pembicara untuk menaikkan nadanya agar dapat berinteraksi dengan lebih baik. Keadaan itu terjadi sepanjang hidupnya, sehingga kebiasaan itu menjadi melekat dalam benaknya sampai keadaan wilayah lain mampu mengkikisnya. Oleh karena itu, penulis juga sangat keberatan dengan tulisan Latief Wiyata yang melukiskan masyarakat Madura dengan kekerasan sebagaimana yang telah ditulis dalam bukunya “Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura”. Di dalamnya ia mengatakan bahwa kekerasan itu sendiri sudah menjadi bagian dari budaya Madura.6 Klaim ini jelas sangat lemah mengingat penelitian lapangannya masih banyak celah. Kelemahan di antara kelemahan-kelemahan itu yaitu, dia bukan orang Madura asli. Dia hanya peneliti yang meneliti di 7 desa kecil itu pun hanya di kabupaten Bangkalan sebagai untuk keperluan tesis. Sedangkan kabupaten Bangkalan terdiri dari 17 kecamatan7 yang tiap kecamatan terdiri dari kurang lebih 20 desa8 . Itu berarti jumlah desa keseluruhan ialah 340 desa. Dengan demikian hanya 0.02 % dari seluruh jumlah desa di Bangkalan yang ia teliti, itu pun tidak disebutkan jumlah masyarakat yang diwawancarai. Jumlah itu terlalu kecil mendapakan hasil yang valid dan diterima dengan baik, meskipun sudah sesuai dengan teori penelitian, apalagi kalau nanti hasil penelitiannya dijustifikasikan atau dijadikan ukuran kekerasan di Madura yang terdiri dari 1000 desa lebih dan jutaan warga. Untuk itu, penulis sangat ragu terhadap hasil penelitian tersebut, mengingat penulis makalah ini lahir dan hidup di Madura selama 20 tahun lebih dan juga sudah berpetualang ke berbagai wilayah di sana. Tampaknya sangat diperlukan penelitian ulang yang lebih akurat, yang dilakukan orang Madura itu sendiri karena merekalah yang jauh lebih paham tentang dirinya sendiri. 6 A. Latief Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Malang: LkiS Pelangi Aksara, 2002), h. 9 7 http://www.bangkalankab.go.id/ 8 Godam, Daftar Nama Kecamatan/Kelurahan/Desa & Kode Pos di Kota/Kabupaten Bangkalan Jawa Timur (JATIM), http://organisasi.org
  • 10. Penelitian itu yang nantinya akan menjadi antitesa terhadap karya Latif Wiyata itu yang kemudian akan merombak seluruh penilaian miring terhadapnya. Sekian