EVT menjelaskan bahwa komunikasi nonverbal seperti jarak antarorang mempengaruhi interaksi. Teori ini didasarkan pada konsep ruang pribadi dan harapan (expectancy) seseorang terhadap jarak. Pelanggaran harapan dapat memicu arousal atau ancaman, tergantung konteks dan penilaian pelaku pelanggaran.
MODUL PENDIDIKAN PANCASILA KELAS 6 KURIKULUM MERDEKA.pdf
Expectancy violation theory (evt)
1. Adde Oriza Rio
Program Studi Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Kristen Indonesia
2. Teori ini dikreasikan oleh
Judee Burgoon (1948 - ….)
Burgoon adalah alumni Iowa
State University (S1), Illinois
State University (S2), dan
West Virginia University (S3).
Saat ini, Burgoon adalah
salah seorang profesor
komunikasi dari University of
Arizona.
Selain EVT, Burgoon juga
terlibat dalam terciptanya
Interpersonal Adaptation
Theory dan Interpersonal
Deception Theory
3. Burgoon menyadari bahwa bagaimana cara kita
mengatakan sesuatu seringkali lebih mempengaruhi
proses komunikasi ketimbang isi dari perkataan kita itu
sendiri.
Maksudnya penerimaan dan penafsiran pesan-pesan verbal
seringkali lebih dipengaruhi oleh komunikasi non verbal
yang menyertainya.
Bagi Burgoon, salah satu perilaku komunikasi non verbal
yang sangat mempengaruhi komunikasi interpersonal
adalah jarak (distance).
Jarak (distance) menjadi penting karena perubahan jarak
yang tidak diharapkan atau tidak disangka-sangka
(unexpected) bisa menjadi sangat ambigu atau
membangkitkan nuansa tertentu sedangkan pada sisi yang
lain setiap orang diyakini memiliki harapan/sangkaan
(expectancy) yang berbeda-beda tentang jarak dan
penggunaannya.
4. Burgoon ingin mengetahui pengaruh penggunaan jarak
(distance) sebagai komunikasi non-verbal terhadap percakapan
(conversation) sebagai komunikasi verbal dengan memberikan
penekanan pada harapan/sangkaan (expectancy) para
partisipannya mengenai penggunaan jarak.
Burgoon kemudian mulai dengan premis bahwa manusia punya
dua kebutuhan dasar yakni: (1) afiliasi (affiliation) dan (2) ruang
pribadi (personal space).
Kebutuhan ini sebenarnya membawa kita pada satu dilema.
Pada satu sisi kita ingin dekat dengan manusia lain, bersama-
sama dengan manusia lain. Tapi, pada saat yang sama, kita juga
selalu ingin punya privasi dan ruang gerak yang cukup.
EVT karena ingin melihat pengaruh penggunaan jarak terhadap
komunikasi, menjadikan konsep ruang pribadi (personal space)
sebagai konsep intinya (core concepts).
5. Konsep personal space EVT berasal atau dipinjam dari proxemics
(studi mengenai penggunaan manusia akan ruang) yang
dikembangkan oleh seorang antropolog bernama Edward Hall.
Hall dalam studinya menemukan bahwa ada 4 zona proxemics
yang digunakan oleh manusia dalam relasinya/interaksinya
dengan orang lain.
4 zona itu adalah:
(1) jarak intim (intimate distance) sekitar 0 - 18 inchi/0 - 0,5 m.
(2) jarak personal (personal distance) sekitar 18 inchi - 4 kaki/0,5
- 1,2 m.
(3) jarak sosial (social distance) sekitar 4 -12 kaki/1,2 – 3 m.
(4) jarak publik (public distance) di atas 12 kaki/3 m.
6.
7. Personal space juga sangat terkait dengan teritorialitas
(territoriality). Sebab, ternyata harapan/sangkaan
(expectancy) orang terhadap penggunaan jarak dan ruang
sangat dipengaruhi juga oleh teritorialitas yaitu
kepemilikan/kekuasaan seseorang/sekelompok orang
terhadap suatu area atau objek tertentu.
Setidaknya, ada 3 jenis teritori yakni:
(1) primary territories (teritori primer) yakni domain
ekslusif seseorang atas suatu area atau objek.
(2) secondary territories (teritori sekunder) yakni rasa
afiliasi seseorang atas suatu area atau objek.
(3) public territories (teritori publik) yakni area atau objek
yang terbuka bagi siapa saja.
8. Teritorialitas sangat terkait erat dengan perilaku
preventif (pencegahan) dan reaksi. Maksudnya, setiap
orang berupaya mencegah agar orang tidak masuk
dalam teritorinya dan akan memberikan reaksi apabila
tindakan preventifnya gagal.
Ada 4 cara manusia menjaga teritorinya yakni:
1. Marking (menandai)
2. Labeling (menamai)
3. Offensive display (menunjukkan sikap ofensif)
4. Tenure (berada paling awal dan meninggalkan paling
akhir).
9. Harapan/sangkaan (expectancy) mengarahkan
interaksi manusia
Harapan/sangkaan (expectancy) adalah sesuatu yang
dipelajari
Manusia membuat prediksi tentang perilaku-perilaku
non verbal.
10. Asumsi ini menyatakan bahwa manusia selalu memiliki
harapan-harapan/sangkaan-sangkaan (expectancy) yang akan
dibawanya dalam interaksinya dan mempengaruhi perilakunya
dalam interaksi itu.
Expectancy sendiri adalah pikiran-pikiran dan perilaku yang
telah diantisipasi dalam percakapan. Maksudnya adalah sesuatu
yang menurut pemiliknya harus dipikirkan dan dikerjakan oleh
lawan bicaranya.
Expectancy sendiri dipengaruhi oleh 3 faktor yakni:
1. Faktor individual (jender, personalitas, umur, penampilan,
reputasi)
2. Faktor relasional (sejarah relasi, perbedaan status, tingkat rasa
ketertarikan dan rasa menyukai)
3. Faktor konteks (formal/non formal, fungsi sosial/fungsi tugas,
batasan lingkungan, norma-norma budaya)
11. Expectancy itu sendiri ada 2 jenis yakni:
1. Pre-interactional expectancy yakni expectancy yang
sudah dimiliki sebelum terjadinya interaksi. Lebih
tegasnya, kemampuan yang dimiliki orang yang
dipergunakan untuk memulai interaksi.
2. Interactional expectancy yakni expectancy yang
dijalankan orang dalam suatu interaksi. Lebih tegasnya,
kemampuan yang dimiliki orang yang dipergunakan
untuk menjalankan interaksi.
Dua jenis expectancy ini membawa kita pada asumsi EVT
yang kedua yakni expectancy adalah sesuatu yang
dipelajari.
12. Asumsi ini menyatakan bahwa expectancy bukanlah
bawaan lahir atau bersumber dari sesuatu yang alamiah.
Expectancy adalah sesuatu yang dipelajari manusia dari
budaya masyarakatnya atau individu-individu yang ada
dalam/menjadi anggota dari kebudayaan itu.
Misalnya, dalam budaya AS/Barat diajarkan bahwa
hubungan antara dosen dan mahasiswa adalah hubungan
profesional. Dosen mendapatkan status dan kekuasaan
yang lebih tinggi (sebagai pendidik) sedangkan mahasiswa
tidak (sebagai peserta didik). Maka, komunikasi antara
dosen dan mahasiswa tidak boleh berada dalam jarak
intim. Expectancynya berada dalam kisaran itu.
13.
14. Asumsi ini menyatakan bahwa perilaku non verbal
sangat mempengaruhi jalannya percakapan.
Melalui perilaku non verbal itu orang memprediksi
apa yang akan terjadi berikutnya atau apa perilaku non
verbal berikutnya dan memberi reaksi sesuai dengan
pemaknaannya terhadap perilaku non verbal yang
diprediksinya itu.
15.
16. Pertanyaannya kemudian: apa yang terjadi jika expectancy kita
dilanggar?
Sebenarnya itulah tujuan EVT yang hendak bercerita apa yang terjadi
apa bila expectancy di-violations (dilanggar) dalam sebuah
percakapan.
Burgoon percaya bahwa, pelanggaran itu tidak selalu membawa
dampak negatif. Malah bisa jadi positif. Semua tergantung pada
communicator reward valence-nya.
Communicator reward valence adalah penjumlahan dari karakteristik
positif dan negatif dari seseorang dan potensinya untuk memberikan
ganjaran atau sanksi.
Misalnya, apabila seseorang berdiri terlalu dekat dengan anda di dalam
lift, padahal lift itu kapasitasnya 12 orang namun saat itu isinya hanya
2 orang saja, mesti anda merasa sangat tidak nyaman, aneh dan bisa
jadi kesal. Tapi, kalau anda berdiri dengan sangat dekat (jarak intim)
dengan orang asing karena berada di atas bus yang penuh sesak, anda
bisa jadi tidak merasa ada masalah.
17. Arousal adalah konsekuensi yang muncul dari
terlanggarnya (violations) harapan/sangkaan
(expectancy).
Ada dua jenis arousal yakni cognitive arousal dan
physical arousal.
Cognitive arousal adalah kesadaran mental bahwa
terjadi violations atas expectancy kita.
Physical arousal adalah perubahan tubuh yang
disebabkan oleh adanya pelanggaran/violations
terhadap expectancy.
18. Apabila suatu violations terhadap expectancy
mendatangkan perasaan tidak nyaman, tidak senang,
aneh dalam diri seseorang, maka pelanggaran itu
dianggap sebagai ancaman (threat).
Dalam EVT konsep ini dikenal dengan nama ambang
batas ancaman (threat treshold). Yakni, sampai batas
apa violations dapat dikatakan mengancam.
Ketika violatons sudah menjadi ancaman, maka
semakin dekat jarak maka akan situasi akan dianggap
membahayakan, begitu juga sebaliknya.
19. Bagaimana pun, tidak semua violations bisa dijadikan atau
dianggap sebagai threat (ancaman).
Ada juga yang dinamakan violations valence.
Violations valence ini adalah pemberian nilai positif atau negatif
(positive or negative value) dari violations terhadap expectancy.
Violations valence lahir dari proses interpretasi dan evaluasi.
Artinya, melihat sejauh apa violations dilakukan, siapa yang
melakukan, dan dalam konteks apa.
Misalnya, saya tidak suka bila ada orang asing duduk terlalu
dekat dengan saya. Apa lagi sampai memasuki jarak personal
saya. Tetapi, ketika yang memasuki jarak personal saya itu gadis
cantik yang kebetulan juga seorang selebritas nasional, maka
saya bisa menganggap violations itu sebagai sesuatu yang positif.