Pengelolaan berbasis masyarakat (Community-Based Management)
1. COMMUNITY-BASED MANAGEMENT
Oleh: Markus T. Lasut
Istilah ‘community-based management’ (CBM) atau disebut
‘pengelolaan berbasis masyarakat’ (PBM) sering muncul dan
dipakai manakala suatu kegiatan yang dilakukan dianggap
berbasis pada masyarakat (community-based). Namun, kadang
istilah ini dipakai hanya sebagai pelengkap atau peng-anggap-an
untuk suatu kegiatan, karena makna dan inti dari PBM dalam
kegiatan tersebut tidak nampak bahkan terabaikan.
Apa sebenarnya PBM itu? PBM adalah suatu ‘sistem’
pengaturan yang mengakui keterlibatan/partisipasi masyarakat
dalam suatu kegiatan. Bentuk dari partisipasi masyarakat dalam PBM adalah masyarakat
sebagai ‘pelaku utama’ atau ‘dasar/basis’ dan berperan aktif serta dapat berbagi (‘share’)
tanggung jawab dengan pemerintah dalam suatu perencanaan dan pengambilan keputusan
(bottom-up). PBM intinya menghasilkan ‘partnership’ antara pemerintah dan masyarakat.
Oleh karena itu dengan adanya PBM, filosofi lama mengenai ‘pengelolaan’ telah berubah
di mana pada awalnya dalam suatu kegiatan pengelolaan para ‘birokrat’ pemerintah
melihat publik/masyarakat hanya sebagai objek sehingga hubungan seperti ini terkesan
‘paternalistik’. Dikatan paternalistik karena pemerintah hanya bertindak secara intuisif
untuk mengerti keinginan masyarakat (top-down). Hal ini membuat partsipasi yang efektif
sulit tercapai.
PBM dalam perkembangannya tidak pernah terlepas dari istilah-istilah seperti
‘public involvement’ (keterlibatan public), ‘co-management’ (pengelolaan bersama),
‘power sharing’ (berbagi kewenangan), dan ‘empowerment’ (pemberdayaan). Dengan
demikian, PBM merupakan suatu bentuk baru dari partnership antara pemerintah dan
organisasi-organisasi berbasis masyarakat. Hal ini dapat pula sebagai suatu bentuk berbagi
kewenangan (‘power sharing’). Karena, partisipasi hanya akan tercapai bilamana
‘kewenangan’ di bagi. Artinya bahwa masyarakat, melalui organisasi-organisasi
masyarakat, dapat ikut memutuskan suatu perencanaan bersama-sama dengan pemerintah.
Hal-hal tersebut di atas adalah MAKNA dan INTI dari suatu kegiatan pengelolaan yang
disebut PBM.
PBM dapat dimulai oleh masyarakat itu sendiri, oleh dinas-dinas di pemerintahan,
atau dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Namun, hambatan dan
kesulitan terciptanya PBM adalah tidak-adanya ‘keinginan’ dari pemerintah untuk berbagi
kewenangan (a willingness to share power) dengan organisasi-organisasi yang berbasis
masyarakat. Selain itu, kesulitan yang dihadapai oleh pemerintah adalah mengenai
peranannya dalam melegitimasi institusi-institusi yang berbasis masyarakat (community-
based institutions), karena dalam proses legitimasi tersebut akan berhubungan erat dengan
pendelegasian kekuasaan dari pemerintah kepada masyarakat.
Dengan adanya pendekatan berbasis masyarakat (PBM) maka peranan pemerintah
telah berubah menjadi ‘penyediaan pelayanan’ (service provider) dan menjadi fasilitator
serta partner masyarakat, tetapi BUKAN sebagai pemberi ‘perintah-dan-kontrol’
(command-and-control).