1. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
FAKULTAS HUKUM
MAKALAH HUKUM KONSERVASI LINGKUNGAN
“BURUNG MALEO”
Dedy Cahyo Nugroho (09/282760/HK/18169)
Drajat Wicaksono (09/282770/HK/18170)
Husain Fahmi Amali (09/288853/HK/18257)
Tihara Sito Sekar Vetri (09/282896/HK/18181)
Titis Baran (09/282958/HK/18188)
Widya Noviani (09/282165/HK/18086)
Yusuf Aditya Wibowo (09/282687/HK/18161)
YOGYAKARTA
2011
2. DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
HALAMAN DAFTAR ISI .............................................................................. 2
HALAMAN GAMBAR ................................................................................... 3
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................................. 4
A. LATAR BELAKANG .............................................................. 4
B. RUMUSAN MASALAH ......................................................... 8
C. TUJUAN................................................................................... 9
D. RUANG LINGKUP MATERI ................................................. 9
BAB II : LANDASAN TEORI ........................................................................ 9
BAB III : PEMBAHASAN .............................................................................. 13
BAB IV : PENUTUP ....................................................................................... 15
A. KESIMPULAN ........................................................................ 15
B. SARAN..................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 18
2
Burung Maleo
3. HALAMAN GAMBAR
Maleo di Alam bebas
Maleo di Penangkaran
Usaha Pemerintah Menumbuhkan Rasa Cinta Terhadap Maleo
3
Burung Maleo
4. BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu dari 5 besar negara-negara dengan kekayaan
keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Mulai dari sejumlah spesies fauna
endemik, hingga ribuan jenis flora unik yang hanya dapat ditemukan di negara
kita. Tidak mengherankan jika baru-baru ini Indonesia masuk dalam nominasi
new seven wonders of nature (tujuh keajaiban alam dunia yang baru) melalui
wakilnya, Komodo yang merupakan fauna endemik Pulau Komodo, Propinsi
Nusa Tenggara Timur.
Sebenarnya fauna endemik Indonesia tidak sebatas komodo saja, namun
masih banyak jenis fauna endemik lain di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari
Jalak Bali, Tarsius, Kangguru Pohon Papua hingga Burung Maleo khas Pulau
Sulawesi. Dalam hal ini kami akan membahas Burung Maleo Senkawor
(Macrocephalon maleo) atau yang lebih dikenal dengan Burung Maleo, fauna
unggas endemik Pulau Sulawesi.Pulau Sulawesi ditetapkan oleh World
Conservation Society (WCS) sebagai pulau dengan tingkat endemisitas tertinggi
di dunia, dimana dari sebanyak 165 jenis hewan mamalia endemik Indonesia,
hampir setengahnya (46%) ada di Sulawesi. Karena dari sejumlah 127 jenis
mamalia yang ditemukan di Sulawesi, 79 jenis (62%) endemik.Hanya di daratan
Sulawesi saja telah tercatat sebanyak 233 jenis burung, 84 diantaranya endemik
Sulawesi.Jumlah ini mencakup lebih dari sepertiga dari 256 jenis burung
endemic di Indonesia. Sulawesi didiami oleh sebanyak 104 jenis reptilia, hampir
sepertiganya atau 29 jenis adalah jenis endemik, yang berarti dari 150 reptilia
yang tercatat endemik di Indonesia, seperlimanya ada di Pulau Sulawesi.
Maleo merupakan salah sejenis burung gosong dengan ciri-ciri fisik memiliki
bulu yang didominasi warna hitam di sekujur tubuhnya, terdapat kulit berwarna
kuning yang mengelilingi mata, iris mata maleo berwarna merah kecokelatan,
4
Burung Maleo
5. terdapat jambul keras yang serupa tanduk berwarna hitam diatas kepalanya,
berparuh jingga dan mempunyai bulu berwarna merah muda agak keputihan
disisi bawah kepalanya dan sepasang kaki berwarna abu-abu. Secara fisik, Maleo
jantan dan betina tidak memiliki perbedaan berarti, namun hanya perbedaan
ukuran saja, dimana si betina lebih kecil dan warna hitamnya lebih gelap
daripada si jantan. Jambul keras serupa tanduk hitam di kepala Maleo ternyata
berhubungan dengan nama ilmiahnya, yaitu Macrocephalon, yang berarti
berkepala besar. Tonjolan ini bukan hanya sebagai hiasan semata, konon diyakini
para peneliti bahwa tonjolan ini sebagai alat Maleo untuk “mendeteksi” dimana
tempat yang terdapat sumber panas bumi untuk tempat ideal mereka bertelur.
Keistimewaan Maleo tidak hanya pada anatomi tubuh yang membedakannya
dengan jenis-jenis unggas lainnya, namun masih terdapat sejumlah keistimewaan
pada Maleo. Meskipun ukuran tubuh Maleo dengan panjang 55 cm seukuran
ayam dewasa, namun telur Maleo berukuran 5-8 kali lipat lebih besar dari telur
ayam, disinyalir hal inilah yang merupakan penyebab Maleo betina yang baru
bertelur akan pingsan untuk sementara waktu. Namun sebenarnya perjuangan
induk Maleo ini sudah dimulai sejak persiapan bertelur, dimana induk jantan dan
betina akan bersama-sama berjibaku menggali tanah kurang lebih sedalam 50 cm
di sekitar pantai dekat sumber panas bumi (geothermal) maupun di pegunungan
yang dekat dengan sumber air panas yang memiliki suhu temperatur tanah
berkisar 32-35 derajat celcius yang diperlukan untuk penetasan telur Maleo.
Setelah selesai bertelur, kedua induk menutupi kembali telur-telurnya dengan
pasir dan membuat gundukan tipuan di sampingnya untuk mengelabui predator.
Mereka hanya memilih tempat yang dekat dengan panas bumi untuk membantu
pengeraman telur-telurnya yang membutuhkan waktu 62-85 hari masa
pengeraman, selanjutnya mereka akan pergi dan tidak akan pernah mengurusi
lagi telur-telur tersebut.
Keistimewaan lain dari fauna ini yaitu anak Maleo yang baru menetas sudah
dapat terbang dan mencari makanannya sendiri dengan hanya mengandalkan
naluri alamiah semata, tidak seperti anak-anak burung lain yang masih
membutuhkan waktu berminggu-minggu agar bulu-bulunya tumbuh hingga dapat
digunakan terbang. Tidak dapat dipungkiri, faktor alam juga ikut andil dalam
5
Burung Maleo
6. penyusutan populasi Maleo di habitatnya, karena anak Maleo yang baru menetas
harus berjuang menuju permukaan tanah untuk selanjutnya mencari makanannya
sendiri. Dalam perjalanannya menuju permukaan tanah yang berlangsung hingga
48 jam ini banyak ditemui anak Maleo yang mati “ditengah jalan”, bisa
disebabkan karena faktor kepadatan tanah yang terlalu solid untuk ditembus
maupun karena akar-akar pohon yang merintangi jalan mereka menuju
permukaan. Terdapat beberapa anak maleo yang sudah mencapai permukaan,
namun karena badannya terlalu lama terperangkap di tanah akibat kehabisan
energi dalam perjalanan menuju permukaan tanah, kepalanya sudah hilang
dimakan Biawak (Varanus sp) ataupun Babi Hutan (Sus sp). Namun bukan hanya
kedua jenis predator tersebut yang mengancam si Maleo muda, tanpa disadari
semut di permukaan tanah juga membahayakan kehidupan anak Maleo ini,
karena semut-semut akan mengerumuni kepala Maleo yang masih beraroma amis
khas plasenta telurnya, yang mengakibatkan kematian Maleo kecil tidak dapat
dihindarkan lagi.
Perjuangan Maleo muda belum selesai sampai di sini, setelah berhasil keluar
di permukaan tanah, Maleo masih harus berjuang di alam untuk mencari makan
dan juga selalu waspada terhadap banyak predator di sekitarnya, seperti Biawak,
Elang, Kucing Hutan, maupun Babi Hutan. Seperti banyak diketahui, Biawak
(Varanus sp) atau orang Sulawesi menyebutnya dengan Soa-Soa, merupakan
predator utama Maleo di alam karena penciumannya sangat tajam mengendus
keberadaan mangsanya sekalipun telur-telur telah ditimbun di dalam tanah yang
cukup dalam. Namun setelah lama diteliti, penyusutan populasi Maleo sejak
tahun ’50-an selain akibat ulah manusia, salah satu penyebabnya lainnya adalah
karena tingkah laku Maleo yang anti-poligami, sehingga ia akan bertahan dengan
satu pasangannya seumur hidupnya. Kekurangan dari tingkah laku ini adalah jika
si pejantan telah ditinggal mati pasangannya maupun sebaliknya, ia enggan
mencari pasangan baru untuk menghasilkan keturunan baru, sehingga jumlah
Maleo di alam akan tetap lestari. Walaupun terlihat remeh, namun tingkah laku
ini secara tidak langsung mempengaruhi tingkat populasi Maleo di habitatnya.
Kenyataan tersebut yang menjadikan Maleo masuk dalam daftar kelompok
hewan yang terancam punah dan harus dilindungi.Untuk perlindungan secara
6
Burung Maleo
7. hukum, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Selain perlindungan secara hukum
tersebut, pemerintah memberlakukan dua cara konservasi untuk mencegah laju
kepunahan populasi maleo, yaitu secara in situ maupun eks situ. Konservasi In
Situ atau bisa disebut dengan perlindungan habitat, dilakukan dengan cara
melindungi hewan dengan memberikan perhatian khusus pada habitat alaminya
di alam mengenai ketersediaan sumber pakan yang cukup bagi Maleo, selain itu
bisa juga dilakukan dengan melindungi Maleo dari serangan predator alami
maupun manusia, yaitu dengan cara sebelum menetas, telur Maleo yang semula
di dalam tanah pinggir pantai dipindahkan ke tempat konservasi yang relatif
lebih aman dari jangkauan predator dengan menerapkan sistem semi hatchery
(penetasan). Umumnya upaya konservasi in situ dilakukan bersama dengan
upaya konservasi eks situ, konservasi eks situ ini biasa dilakukan dengan
membuat back up hewan, yaitu dengan cara merepopulasi atau mereintroduksi
agar hewan yang yang dilindungi, dalam hal ini maleo tidak cepat punah di alam.
Upaya konservasi eks situ dengan cara repopulasi ini salah satu contoh
keberhasilannyaadalah pada jalak bali, fauna endemik Pulau Bali yang
sebenarnya telah punah di alam beberapa dekade terakhir, namun berkat
keberhasilan upaya repopulasi untuk melestarikan burung tersebut, sehingga
burung cantik masih ada hingga sekarang meskipun jumlahnya tidak banyak.
Upaya konservasi eks situ melalui cara repopulasi yang dapat diterapkan pada
Maleo dilakukan dengan cara membesarkan atau mempercepat tingkat
reproduksi maleo melalui pemberi pakan dan vitamin stimulan (perangsang),
sehingga tingkat reproduksi yang tinggi ini diharapkan dapat mengembalikan
kelestarian populasi maleo di alam. Apakah masalah konservasi Maleo telah
selesai dengan cara repopulasi ini saja ? Ternyata tidak, kelancaran upaya-upaya
konservasi terganggu dan terhambat direalisasikan karena terganjal masalah
klasik, apalagi kalau bukan masalah alokasi dana. Berdasarkan rencana
Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN) Perubahan Tahun 2010,
dimana anggaran yang khusus dialokasikan untuk kegiatan rehabilitasi dan
konservasi adalah sebesar Rp 100 Miliar atau sekitar 1/40 (satu per empat puluh)
anggaran yang dialokasikan untuk sektor kehutanan. Hal ini sangatlah tidak
7
Burung Maleo
8. sesuai dengan anggaran yang diperlukan untuk membiayai rehabilitasi dan
konservasi yang minimal menelan Rp 1 Triliun, minimnya anggaran dari
pemerintah untuk konservasi satwa-satwa langka termasuk maleo tersebut
merupakan salah satu indikasi kurangnya kepedulian pemerintah terhadap upaya-
upaya penyelamatan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan di negeri
kita ini.
Saat ini populasi Maleo terbanyak berada di Propinsi Sulawesi Tengah, salah
satu tempat konservasinya terdapat di Cagar Alam Saluki, Donggala, Sulawesi
Tengah yang masih termasuk dalam Taman Nasional Lore Lindu. Diperkirakan
hanya tinggal sejumlah 320 ekor maleo di cagar alam ini, sehingga maleo masuk
dalam kategori terancam punah oleh IUCN (The World Conservation Union)
Red List 2008 serta terdaftar dalam Appendix 1 pada daftar CITES (Convention
on International Trade of Endangered Species of Wild Fauna and Flora).
Meskipun sejak tahun ’50-an Maleo telah mengalami penyusutan populasi yang
relatif cepat dan terancam punah, sejak tahun 1990 berdasarkan SK. No.
Kep.188.44/1067/RO/BKLH per-tanggal 24 Februari 1990, Pemerintah Propinsi
Sulawesi Tengah menetapkan Maleo sebagai “Satwa Maskot” di propinsi
tersebut.Namun demikian, gelar hanya sebatas gelar satwa maskot tidak
sekalipun mengubah keadaan maleo menjadi lebih baik padahal telah 21 tahun
yang lalu fauna istimewa ini telah ditetapkan sebagai satwa maskot Propinsi
Sulteng.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari berbagai fakta yang telah dibahas diatas, kami merumuskan masalah
yang sedang dihadapi dalam upaya penyelamatan Maleo antara lain :
1. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyusutan populasi maleo
di alam ?
2. Apakah upaya-upaya konservasi yang dilakukan pemerintah telah
berhasil mengembalikan populasi maleo di habitatnya ?
3. Apakah peraturan perundang-undangan yang mengatur konservasi maleo
telah sepenuhnya berhasil menekan upaya perburuan maleo ?
8
Burung Maleo
9. 4. Bagaimana peran masyarakat dalam upaya penyelamatan Maleo?
C. TUJUAN
Keadaan maleo di alam sangat mengundang keprihatinan kita sebagai
generasi penerus bangsa yang bertanggung jawab untuk menyelamatkan serta
menjaga maleo tetap lestari, kenyataan-kenyataan yang telah kami ungkapkan
diatas merupakan fakta di lapangan betapa penyelamatan maleo masih jauh dari
usaha yang maksimal, untuk itu kami menyajikan makalah ini yang bertujuan
antara lain :
1. Mengetahui faktor-faktor penyebab penyusutan populasi maleo dari
waktu ke waktu.
2. Menjelaskan upaya-upaya penyelamatan apa saja yang telah dilakukan
pemerintah untuk mengembalikan populasi maleo di habitatnya.
3. Mengetahui kemajuan upaya konservasi maleo oleh pemerintah.
4. Menjelaskan hal-hal apa saja yang dapat dilakukan masyarakat untuk
berkonstribusi dalam upaya penyelamatan maleo.
D. RUANG LINGKUP MATERI
1. Penjelasan keadaan ekologi maleo
2. Penjelasan upaya-upaya penyelamatan dan konservasi maleo.
3. Penjelasan peraturan hukum apa yang digunakan dalam upaya
penyelamatan maleo
BAB II
LANDASAN TEORI
Beberapa peraturan yang mengatur kegiatan atau aktivitas yang dapat
mempengaruhi jumlah serta eksistensi dari satwa (dalam kasus ini: burung
maleo) dapat dilihat dalam :
9
Burung Maleo
10. UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 4
“(4) Pemerintahan Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki
hubungan dengan pemerintah pusat dan dengan pemerintah daerah lainnya
(5) hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 meliputi hubungan wewenang,
keuanmgan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya alam
lainnya”
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan sumber daya
alam secara seimbang tanpa merusak habitat dan ekosistem merupakan tanggungjawab
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya
A. Pasal 19
“(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk
kegiatan pembinaan Habitat untuk kepentingan satwa di dalam suaka
marga satwa.
(3) Perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi, dan
luas kawasan suaka alam, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa lain
yang tidak asli.”
B. Pasal 21 (2)
“Setiap orang dilarang untuk :
a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara,
mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan
hidup;
b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan meperniagakan
satwa yang dilindungi dalam keadaan mati;
c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke
tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;
e.mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau
memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi.”
10
Burung Maleo
11. C. Pasal 33
“(1) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan
perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional.
(2) Perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi mengurangi, menghilangkan fungsi dan
luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa
lain yang tidak asli.
(3) Setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan
fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan
raya, dan taman wisata alam.”
D. Pasal 40
“(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
(3) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 32
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Barangsiapa karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2)
serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
(5) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) adalah pelanggaran.”
11
Burung Maleo
12. Dengan mengamati substansi UU No. 5/1990, terlihat bahwa wujud konkrit
perlindungan hukum secara khusus diberikan melalui upaya pengawetan
keanekaragaman satwa dengan menetapan status satwa dlindungi, yaitu satwa
dalam bahaya kepunahan (threatened with extinction) dan satwa yang
populasinya jarang atau endemik (Pasal 20 UU No. 5/1990). Apabila merujuk
pada Pasal III ayat (3) (c) dan (5) (c) Piagam CITES tanggal 3 Maret 1973
(diperbaharui tanggal 22 Juni 1979), satwa dalam bahaya kepunahan (threatened
with extinction) termasuk dalam kelompok Appendix I, spesies yang dilarang
diperjualbelikan untuk tujuan/secara komersial (the specimen is not to be used
for primarily commercial purposes).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7 tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
A. Pasal 8
(1) Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).
(2) Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk
menambah dan memulihkan populasi.
(3) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ)
dilakukan dalam bentuk kegiatan :
a. Identifikasi;
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan habitat dan populasinya;
e. Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
(4) Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar babitatnya (ex- situ)
dilakukan dalam bentuk kegiatan :
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi satwa;
12
Burung Maleo
13. e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
BAB III
PEMBAHASAN
Maleo merupakan burung unik, endemik, dan langka, telah dikuatkan
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 menjadi satwa yang
harus dilindungi1. Oleh karena itu, muncullah berbagai suaka alam yang
melindungi burung maleo. Antara lain : Cagar Alam Panua, Taman Nasional
Lore Lindu, dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone2. Dan telah diatur
dalam Pasal 19 UU nomor 5 tahun 1990 tentang pelarangan perubahan terhadap
keutuhan suaka alam3. Namun kami masih menemukan kasus alih fungsi 14.000
hektar hutan konservasi di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW)
Gorontalo menjadi hutan produksi4. Alih fungsi TNBW yang merupakan salah
satu dari tempat konservasi burung maleo, dikhawatirkan membuat burung maleo
di lokas tersebut tidak dapat bertahan hidup5. Belum lagi aksi
penebangan hutan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit, pemegang
Izin Pemanfaatan Kayu/IPK dan Hak PenguasaanHutan (kini Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Kayu/IUPHK), serta pembukaan areal perkebunan kakao
yang dilakukan oleh masyarakat setempat6.
Kurangnya penerapan terhadap pasal 19 UU Nomor 5 tahun 1990 inilah
salah satu penyebab penyusutan populasi maleo. Kekurangan penerapan tersebut
juga terlihat dalam pelanggaran pasal 21(2) huruf e UU Nomor 5 tahun 1990,
1
LAMPIRAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1999
TANGGAL 27 JANUARI 1999 tentang “Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi”
2
http://www.scribd.com/doc/54329783/Paper-Ksdah di akses tanggal 28-11-2011 pukul 20.51
3
Pasal 19 UU nomor 5 tahun 1990
4
http://newberkeley.wordpress.com/2011/07/01/alih-fungsi-taman-nasional-menjadi-pertambang-emas-
di-taman-nasional-bogani-nani-wartabone-tnbnw/ di akses pada tanggal 28-11-2011 pukul 20.39
5
Ibid
6
http://lingkungan.infogue.com/walhi_desak_larangan_eksploitasi_hutan_habitat_maleo di akses pada
tanggal 28-11-2011 pukul 21.29
13
Burung Maleo
14. yaitu ketika telur maleo dipamerkan di stan Dinas Pertanian Provinsi Maluku
sebagai produk aneka olahan peternakan7.
Parahnya, dari kedua contoh yang penulis temukan, kedua-duanya antara
lain dilakukan oleh pemerintah daerah. Hal itu menyebabkan sulitnya penegakan
hukum terhadap pelanggaran ini8. Padahal berdasarkan Undang-Undang No 32
tentang Pemerintahan Daerah, Pemda bersama pemerintah pusat harus
melakukan koordinasi dalam menjaga kelestaraian dan pemanfaatan sumber daya
alam dalam hal ini burung Maleo.
Meskipun, tidak semua pemerintah daerah kurang kesadaran terhadap
kelestarian maleo. Sebut saja di Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah.
Kerjasama pemerintah, polisi hutan, dan warga setempat terbukti dapat
menjadikan Taman Nasional ini memiliki habitat maleo terbesar di Indonesia9.
Saat ini Lore Lindu memiliki kurang lebih 500 ekor burung maleo 10. Taman
Nasional ini merupakan penggabungan dari beberapa kawasan lindung meliputi,
Suaka Margasatwa Lore Kalamata, Hutan Wisata dan Hutan Lindung Danau
Lindu, dan Suaka Margasatwa Lore Lindu11. Penggabungan tersebut berdasarkan
Deklarasi Penggabungan Kawasan Lindung sebagai Taman nasional padada saat
Kongres Taman Nasional Sedunia di Denpasar Bali tahun 1982, yang di
Undangkan melalui SK Mentan No. 736/Mentan/x/198212. Pertunjukan tersebut
dijadikan dasar untuk melakukan tiga batas definitif, hingga temu gelang dan
telah dikukuhkan Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui keputusan No.
464/KPTS-II/1999 tanggal 23 Juni 1999 dengan luas pengukuhan 217,991,18
hektar13. Pengukuhan ini menunjukkan usaha pemerintah dalam melestarikan
populasi maleo. Di lokasi ini terdapat sembilan kandang penangkaran14. Kegiatan
penangkaran memang menjadi cara yang cukup efektif dalam melindungi
7
http://batukar.info/news/telur-burung-maleo-dijual-di-pameran di akses pada tanggal 28-11-2011 pukul
21.30
8
9
Op Cit, paper-ksdah
10
http://bataviase.co.id/node/163541 di akses pada tanggal 28-11-2011 pukul 21.31
11
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46637/2007mta_BAB%20III% di akses pada
tanggal 2-12-2011 pukul 10.52
12
Ibid
13
Ibid
14
http://www.indosiar.com/ragam/upaya-melestarikan-burung-maleo_54835.html di akses pada tanggal 2-
12-2011 pukul 10.53
14
Burung Maleo
15. populasi Maleo. Seperti yang diatur dalam PP NO 7 tahun 1999 tentang
penangkaran. Kegiatan penangkaran ini merupakan bagian dari pengelolaan
secara ek-situ atau di luar habitat agar menyelamatkan sumber daya genetik dan
populasi Maleo.
Pada 24-26 Maret 2010 diadakan Konferensi Internasional Maleo
pertama di Manado yang diselenggarakan oleh kelompok Kerja Maleo Indonesia
yang diikuti oleh Indonesia dan negara-negara asing15. Dalam konferensi ini
menghasilkan keputusan agar dalam melakukan konservasi terhadap Maleo
melibatkan peran media massa agar masyarakat luas bisa turut serta dalam upaya
konservasi terhadap Maleo, karena masyarakat bisa jadi dapat sangat berperan
dalam penyelamatan maleo16. Seperti yang Penulis baca tentang kisah “Ali
Kamisi Raja Pasu berkutat dengan maleo”17. Lebih dari sepuluh tahun terakhir ia
melakukan penangkaran sebagai upaya menyelamatkan maleo dari kepunahan18.
Padahal, upaya yang dilakukan Ali tak mudah dan murah, kalau bukan karena
cinta dan kesadaran betapa populasi burung ini kian berkurang, mustahil dia
bertahan. Usahanya tak sia-sia. Memulai dengan 50 pasang burung maleo pada
2001, kini lebih dari 500 maleo sudah dikembangbiakkan dan dilepas di
habitatnya di kawasan hutan Taman Nasional Lore Lindu19.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maleo Senkawor (macrocephalon maleo) merupakan salah satu spesies
fauna endemik Pulau Sulawesi Indonesia sekaligus aset berharga bagi bangsa
15
http://www.celebio.org/content/view/41/40/ di akses pada tanggal 4-12-2011 pukul 21.53
16
Ibid
17
http://nasional.kompas.com/read/2011/07/26/02425038/dari.hutan.pakuli.untuk.kelesta di akses pada
tanggal 2-12-2011 pukul 10.55
18
Ibid
19
Ibid
15
Burung Maleo
16. Indonesia secara keseluruhan. Sayangnya burung yang berpenampilan
gosong dan memiliki banyak keistimewaan ini karena berbagai faktor
terutama campur tangan manusia kemudian masuk dalam daftar kelompok
hewan yang terancam punah dan harus dilindungi sesuai pada IUCN (The
World Conservation Union) Red List 2008 serta terdaftar dalam Appendix 1
pada daftar CITES (Convention on International Trade of Endangered
Species of Wild Fauna and Flora).
Seperti yang sudah dijelaskan di atas ada banyak faktor yang memaksa
burung unik ini terancam punah. Selain faktor seleksi alamiah yang pasti
akan dihadapi seluruh makhluk hidup di bumi, manusia memiliki andil yang
besar untuk bertanggungjawab terhadap ancaman kepunahan Maleo, terutama
masyarakat/bangsa Indonesia sendiri. Walaupun penguatan Maleo sebagai
hewan langka yang harus dilindungi sudah dicantumkan dalam Lampiran
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 yang berakibat positif dengan
timbulnya berbagai suaka alam yang melindungi burung maleo dan
dilakukannya upaya konservasi eks situ & in situ, bukan berarti perjuangan
untuk menghindarkan kepunahan Maleo sudah berhasil.
Beberapa faktor yang harus digarisbawahi yaitu jiwa dari peraturan
hukum haruslah ditegakkan. Contohnya pemberian hak IPK maupun Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Kayu/IUPHK oleh Pemerintah Daerah serta
pembukaan areal perkebunan kakao yang dilakukan oleh masyarakat
setempat yang tidak sejalan dengan jiwa UU No.5 Tahun 1990 harus tidak
boleh dipandang remeh. Penyimpangan dan/atau upaya untuk menyimpangi
jiwa dari peraturan hukum serta ketidakpatuhan hukum walaupun dimulai
dari kasus yang remeh sekalipun nantinya akan berdampak luas karena
kaitannya pada dampak tingkat kebudayaan hukum masyarakat. Pejabat
Hukum itu tidak dapat berlaku selamanya, oleh karena itu apabila diperlukan
dapat diperbaharuinya peraturan hukum yang mengatur dan melindungi
eksistensi burung Maleo yang diadaptasi dengan perkembangan zaman.
Kemudian, sarana-prasarana konservasi Maleo perlu mendapat sorotan
Pemerintah terutama perihal alokasi dana yang mencukupi serta dilakukan
dengan profesional terbebas dari unsur kolusi dan korupsi. Di atas sudah
16
Burung Maleo
17. dijelaskan bahwa konservasi yang telah direncanakan oleh pemerintah ini
pada tahap implementasinya terganjal alokasi dana yang jauh dari angka yang
cukup untuk memfasilitasi sarana dan prasarana upaya konservasi.
Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kesadaran masyarakat untuk
turut serta dalam perlindungan dan pengawasan keberlangsungan hidup
Maleo.Masyarakat perlu memandang Maleo sebagai kekayaan bangsa yang
hampir punah (langka). Karena dengan keegoisan manusia dari segi
ekonomis yang terus berlangsung seperti saat ini tidak menutup kemungkinan
maskot Maleo sebagai “Satwa Maskot” pada Pemerintah Propinsi Sulawesi
Tengah nantinya hanya akan berfungsi sebagai penanda bahwa Maleo pernah
ada dan hidup di wilayah tersebut.
B. SARAN
Dari pembahasan diatas, kami mencoba menawarkan beberapa saran/solusi
dalam rangka menjaga populasi burung maleo serta penegakan hukum terhadap
setiap kegiatan yang dapat mengakibatkan populasinya menjadi semakin
berkurang bahkan punah.
1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus melakukan koordinasi
dalam upaya pelestarian serta menjaga keberlangsungan hidup populasi
Maleo, dengan cara harus lebih bertindak proaktif dalam pelestarian serta
pengawasan populasi burung maleo.
2) Pemerintah Daerah setempat harus memberikan sosialisasi kepada
masyarakat mengenai pentingnya menjaga populasi serta pelestarian
Maleo dalam rangka keseimbangan ekosistem dan mencegah dari bahaya
kepunahan serta ancaman terhadap pelanggarannya.
3) Pemerintah Daerah harus bekerjasama dengan organisasi-organisasi
lingkungan setempat untuk bersama-sama melakukan upaya monitoring
terhadap kegiatan yang dapat mempengaruhi serta mengancam
keberlangsungan hidup Maleo.
17
Burung Maleo
18. 4) Menggalakkan upaya konservasi baik in-situ maupun ek-situ melalui
penangkaran dengan harus tetap memperhatikan kondisi populasi serta
habitat Maleo.
5) Menambah penjagaan atau keamanan yang ketat untuk tempat
penangkaran Maleo agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
seperti pencurian telur Maleo.
6) Pemerintah setempat harus memberikan lapangan pekerjaan kepada
masyarakat agar tidak menjadikan Maleo serta telurnya menjadi mata
pencaharian mereka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan PerUndang-Undangan
UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7 tahun 1999
tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
2. Website
Priyono, 2010,“ Permasalahan Keanekaragaman Hayatidi
Semenanjung Utara Sulawesi”,
http://www.scribd.com/doc/54329783/Paper-Ksdah, di akses
tanggal 28-11-2011 pukul 20.51
Tri Wahono, 2011, “Walhi Desak Larangan Eksploitasi Hutan
Habitat Maleo”,
http://lingkungan.infogue.com/walhi_desak_larangan_ekspl
oitasi_hutan_habitat_maleo di akses pada tanggal 28-11-
2011 pukul 21.29
18
Burung Maleo
19. Hefrizal, 2011, “Alih Fungsi Taman Nasional Menjadi
Pertambang Emas di Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone (TNBNW)“,
http://newberkeley.wordpress.com/2011/07/01/alih-fungsi-
taman-nasional-menjadi-pertambang-emas-di-taman-
nasional-bogani-nani-wartabone-tnbnw/ di akses pada
tanggal 28-11-2011 pukul 20.39
Ibnu, Ita, 2010, “Telur Burung Maleo Dijual di Pameran”,
http://batukar.info/news/telur-burung-maleo-dijual-di-
pameran di akses pada tanggal 28-11-2011 pukul 21.30
Devil, 2010, “Menyelamatkan Maleo dari Ancaman
Predator”, http://bataviase.co.id/node/163541 di akses pada
tanggal 28-11-2011 pukul 21.31
IPB,http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/
46637/2007mta_BAB%20III%di akses pada tanggal 2-12-
2011 pukul 10.52
Galih, Damar, 2006, “Upaya Melestarikan Burung Maleo”,
http://www.indosiar.com/ragam/upaya-melestarikan-burung-
maleo_54835.htmldi akses pada tanggal 2-12-2011 pukul
10.53
Sriayu, Reny, 2011, “Dari Hutan Pakuli untuk Kelestarian
Hutan”,
http://nasional.kompas.com/read/2011/07/26/02425038/dari.
hutan.pakuli.untuk.kelestadi akses pada tanggal 2-12-2011
pukul 10.55
19
Burung Maleo
20. Kelompok Kerja Maleo Indonesia, 2010, “Konverensi
Maleo”, http://www.celebio.org/content/view/41/40/ di
akses pada tanggal 4-12-2011 pukul 21.53
20
Burung Maleo