Kodifikasi Al-Qur'an dimulai sejak zaman Nabi Muhammad dengan sahabat ditugaskan menulis dan menghafal ayat-ayat. Pada masa Abu Bakar, Zaid bin Sabit mengumpulkan ayat-ayat yang tersebar menjadi satu mushaf. Perselisihan bacaan timbul pada masa Usman, lalu dia membentuk panitia untuk menyalin mushaf standar agar bacaan seragam.
2.
Kodifikasi atau pengumpulan Al-Qur’an
telah dimulai sejak zaman Rosulullah
SAW, bahkan telah dimulai sejak masamasa awal turunnya Al-Qur’an.
Sebagaimana diketahui, Al-Qur’an
diwahyukan secara berangsur-angsur.
Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW
lalu membacakannya di hadapan para
sahabat karena ia memang diperintahkan
untuk mengajarkan Al-Qur’an kepada
mereka.
3.
Disamping menyuruh para sahabat
menghafalkan ayat-ayat yang diajarkannya,
Nabi SAW juga memerintahkan para sahabat
yang pandai menulis untuk menuliskannya
diatas pelepah-pelepah kurma, lempenganlempengan batu, dan kepingan-kepingan
tulang.
Setelah ayat-ayat diturunkan cukup satu surah
, Nabi SAW memberi nama surah tersebut
untuk membedakannya dengan surah yang
lain. Nabi SAW juga memberi petunjuk tentang
urutan penempatannya di dalam susunan AlQur’an juga dilaksanakan berdasarkan
petunjuk Nabi SAW.
4.
Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan
Muslim, setiap tahun malaikat Jibril datang
kepada Nabi SAW untuk memeriksa bacaannya.
Bahkan pada masa tahun wafatnya Nabi SAW
malaikat Jibril datang dua kali. Malaikat Jibril
mengontrol bacaan Nabi SAW dengan cara
menyuruhnya mengulangi bacaan ayat-ayat yang
telah diwahyukan. Kemudian Nabi SAW sendiri
juga melakukan hal yang sama, yaitu mengontrol
bacaan para sahabat sehingga dengan demikian
terpeliharalah Al-Qur’an dari kesalahan dan
kekeliruan.
5.
Pada masa Nabi SAW para sahabat yang telah
menghafal seluruh isinya dengan lancar
adalah ; Abu Bakar Sidiq, Umar bin Khatab,
Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Talhah,
Sa’ad, Huzaifah, Abu Hurairah, Abdullah bin
Mas’ud, Abdullah bin Umar bin Khatab,
Abdullah bin Abbas, Amru bin Ash, Muawiyah
bin Abu Sufyan, Abdullah bin Zubair, Aisyah
binti Abu Bakar, Hafsah binti Umar, Ummu
Salamah, Ubay bin Kaab, Muaz bin Jabal, Zaid
bin Sabit, Abu Darda dan Anas bin Malik.
6.
Adapun sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis
wahyu antara lain, Abu Bakar Sidiq, Umar bin
Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib,
Amir bin Fuhairah, Zaid bin Sabit, Ubay bin Ka’ab,
Muawiyah bin Abu Sufyan, Zubair bib Awaam,
Khalid bin Walid, dan Amru bin Ash. Tulisan
ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis oleh mereka
disimpan di rumah Rasulullah SAW. Mereka pun
masing-masing menulis untuk disimpan sendiri.
Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum
dikumpulkan dalam satu mushaf (sebuah buku
yang terjilid seperti dijumpai sekarang)
melainkan masih berserakan.
7.
Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar
dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan AlQur’an yang berserakn pada pelepah-pelepah
kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu
tetap disimpan di rumah Rasulullah SAW sampai
terjadinya perang Yamamah yang merenggut
korban kurang lebih tujuh puluh sahabat
penghafal Al-Qur’an. Karena banyak sahabat
penghafal Al-Qur’an yang gugur sebagai
syuhada, timbul kekhawatiran di kalangan
sahabat akan terjadinya perang lagi dan
punahnya sahabat-sahabat penghafal Al-Qur’an
yang pada akhirnya akan menyebabkan hilangnya
Al-Qur’an.
8.
Umar bin Khatab lalu menyarankan kepada
khalifah Abu bakar agar menghimpun surahsurah dan ayat-ayat yang masih berserakan
itu kedalam satu mushaf.
Pada mulanya Abu Bakar berat menerima
usulan Umar karena pekerjaan seperti itu
belum pernah dikerjakan oleh Rasulullah
SAW. Setelah Umar meyakinkan Abu Bakar
bahwa pekerjaan kodifikasi (pengumpulan)
Al-Qur’an semata-mata untuk memelihara
kelestarian Al-Qur’an, barulah ia
menyetujuinya.
9.
Abu Bakar lalu memrintahkan Zaid bib Tsabit
untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan
dibantu oleh Ubay bin Ka’b, Ali bin Abu Thalib,
usman bin Affan, dan beberapa sahabat lainnya.
Meskipun Zaid bin Sabit seorang penghafal AlQur’an dan banyak menuliskan ayat-ayat di masa
Nabi SAW, ia tetap sangat berhati-hati dalam
melakukan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an
itu. Di dalam usaha kodifikasi ini, Zaid bin Sabit
berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan
di rumah Rasulullah SAW, hafalan-hafalan dari
para sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis
oleh para sahabat untuk mereka sendiri.
10.
Zaid bin Sabit menghimpun surah-surah dan
ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk
Rasulullah SAW sebelum wafat dan menulisnya di
atas lembaran-lembaran kertas yang disebut
suhuf-suhuf. Suhuf-suhuf itu lalu disusun
menjadi satu mushaf dan kemudian diserahkan
kepada Abu Bakar. Mushaf ini tetap disimpan
Abu Bakar sampai ia wafat.
Ketika Umar menjabat khalifah, mushaf itupun
berada dalam pengawasannya. Setelah umar
Wafat mushaf itu disimpan di rumah Hafsah,
putrinya, yang juga istri Rasulullah SAW.
11.
Pada masa khalifah Usman bin Affan, timbul
perbedaan pendapat di kalangan umat Islam
mengenai soal kira’ah (cara membaca AlQur’an). Perbedaan pendapat ini mulanya
disebabkan sikap Rasulullah SAW yang
memberi kelonggaran kepada kabilah-kabilah
Arab yang ada pada masa itu untuk membaca
dan melafalkan Al-Qur’an menurut lahjah
(dialek) mereka masing-masing. Kelonggaran
ini diberikan oleh Nabi SAW dengan maksud
agar mereka mudah menghafal Al-Qur’an.
12.
Akan tetapi dalam perkembangan Islam
kemudian, terutama setelah bangsa-bangsa
yang memeluk Islam makin beragamsebagai
akibat dari bertambah luasnya daerah Islam,
cara membaca Al-Qur’an pun menjadi lebih
bervariasi sesuai dengan dialek masingmasing. Hal inilah yang menimbulkan
perselisihan masalah kira’ah. Masing-masing
kabilah menganggap dialeknyalah yang
paling benar dan yang lain salah.
13.
Sahabat yang mula-mula menanggapi secara
serius adanya pertikaian dalam masalah
kira’ah adalah Huzaifah bin Yaman. Huzaifah
lalu mengusulkan kepada khalifah Usman
agar menetapkan aturan penyeragaman
bacaan Al-Qur’an dengan mushaf Al-Qur’an
standar yang kelak akan dijadikan pegangan
bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah.
14.
Alasan yang dikemukakan Huzaifah ialah
untuk menghindari terjadinya perselisihan di
kalangan umat Islam karena perbedaan
bacaan Al-Qur’an mereka. Menanggapi usul
Huzaifah, Usman lalu membentuk satu lajnah
(panitia) yang terdiri atas Zaid bin Sabit
sebagai ketua dan anggotanya adalah
Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash dan
Abdurrahman bin Haris. Kemudian Usman
meminjam Mushaf Al-Qur’an yang tersimpan
di rumah Hafsah dan memberikannya kepada
panitia yang telah terbentuk.
15.
Tugas utama lajnah adalah menyalin mushaf
itu kedalam beberapa naskah sambil
meyeragamkan dialek yang digunakan, yaitu
dialek Quraysi. Setelah tugas itu panitia
selesai, Usman mengembalikan Mushaf yang
telah disalin itu kepada Hafsah. Al-Qur’an
yang telah disalin dengan dialek yang
seragam di masa itulah yang disebut mushaf
Usmani. Semuanya berjumlah lima buah. Satu
mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian
dikenal dengan mushaf al-Imam. Empat
lainnya dikirim ke Mekkah, Suriah, Basra dan
kufah untuk disalin dan diperbanyak.
16.
Selanjutnya Usman memerintahkan agar
mengumpulkan semua tulisan Al-Qur’an selain
dari Mushaf Usmani untuk dimusnahkan dan
hanya boleh menyalin dan memperbanyak
tulisan Al-Qur’an dari mushaf yang resmi yakni
Mushaf Usmani.
Usaha kodifikasi Al-Qur’an pada masa Usman
membawa beberapa keuntungan, antara lain;
◦ Menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah
kira’ah
◦ Menyeragamkan dialek bacaan Al-Qur’an
◦ Menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib
urut seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai
sekarang