Membuat Strategi Penerapan Kurikulum Merdeka di dalam Kelas
Pergumulan jaringan intelektual keislaman
1. Pergumulan Tiga Jaringan Intelektual dalam Islam
(Telaah artikel “Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-
Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global.” Oleh: M. Amin
Abdullah.)
Abstrak
Dalam tradisi jaringan intelektual Islam menurut Amin Abdullah
yang terbagi menjadi tiga, yakni Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan
Dirasat al-Islamiyah merupakan tiga poros yang tidak bisa
dijalankan secara parsial dan sendiri-sendiri dalam perkembangan
agama Islam, namun dikombinasikan antara satu dengan yang lain
untuk menghasilkan kesimpulan yang utuh sekaligus mengakomodir
semua pihak yang terkait. Ketika ketiga jaringan tersebut masih
berjalan secara individual, sekaligus tanpa menyentuh aspek disiplin
ilmu yang lain, maka akan terjadi lagi pengkotak-kotakan tradisi
keilmuan yang sampai hari ini semakin kronis-akut.
Keywods: Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah
Iftitah
“act locally, and think globally”1 (bertindaklah sesuai dengan norma tradisi lokal,
dan berpikirlah sesuai dengan standar etika global). Ungkapan tersebut yang
penulis temukan dalam tulisan berjudul Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-
Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban
Global oleh Amin Abdullah. Sepertinya ungkapan tersebut pada hari ini hanya
sebatas menjadi slogan saja ketika kita berkaca pada fakta-fakta sekarang yang
selalu menghiasi media-media informasi, baik televisi, internet, maupun media
cetak. Hanya sebatas memberikan contoh seperti tragedi umat Syi’ah di Sampang,
Ahmadiyah di Cikeusik, pembubaran tempat beribadah, dan semacamnya
1Amin Abdullah, Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat al-
Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban Global, diunduh dari
http://aminabd.wordpress.com/author/ridwanpau tertanggal 20 Juni 2010, h. 1
1
2. dimungkinkan ada sesuatu yang salah dalam cara pandang masyarakat Indonesia
pada umumnya. Bahkan memunculkan buku-buku yang bercorak sinis dengan
aliran Syi’ah sampai menjustifikasi sesat, kafir dan semacamnya.2 Sehingga
ungkapan act locally akan berhenti dan tidak sampai pada think globally, atau
malah jumbuh menjadi act and think locally.
Dari tragedi-tragedi yang bermula dari agama tersebut, menunjukkan
bahwa semangat golongan mayoritas di sebuah masyarakat merasa tidak
menerima/menolak semua ajaran-ajaran yang berlainan dengan ide-ide yang
dianggap sudah mapan bagi golongan mayoritas tersebut. Sedangkan masing-masing
dari semua golongan sama-sama mencoba untuk mempertahankan
identitas-identitasnya, seperti etnis, kultur, politis, dan semacamnya. Hal demikian
tidak sepenuhnya salah memang, namun persoalannya adalah ketika dari semua
golongan saling bertemu dan berdialog, kenapa masih mementingkan kepentingan
pribadi masing-masing golongan, dan melupakan kemaslahatan bersama untuk
hidup dan fastabiqu al-khairat secara sportif dalam membangun dan
mempertahankan stabilitas masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera?.
Untuk mendamaikan dan menyelaraskan pola pikir secara universal
memang tidak semudah membalik telapak tangan, namun dari artikel yang
menjadi sumber primer catatan ini, bagi penulis cukup untuk membuka wacana
sekaligus solusi keberagamaan dan membentuk world view kita untuk memahami
pelbagai konflik yang terjadi di tengah-tengah kancah lokal, nasional maupun
internasional. Dalam catatan ini, penulis akan mencoba untuk mendeskripsikan
beberapa hasil pembacaan dari artikel berjudul Mempertautkan ulum ad-Din, al-
Fikr al-Islami, dan Dirasat al-Islamiyah: sumbangan keilmuan Islam untuk
peradaban global.
2Adanya fatwa MUI yang secara tegas menerbitkan buku berjudul Mengenal dan
Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, juga buku yang ditulis oleh para santri Sidogiri
dengan judul “Mungkinkah Sunnah dan Syi’ah dalam Ukhuwah?” sebagai respon buku Quraish
Shihab berjudul Sunnah dan Syi’ah dan Sunni Bergandengan Tangan! Mungkinkah!. Kesesatan
Syi’ah ini bertentangan dengan fatwa ulama al-Azhar yang menyatakan bahwa Syi’ah merupakan
salah satu madzhab yang sah dalam Islam. Lihat Amin Abdullah, Agama, Ilmu dan Budaya:
Paradigman Integrasi, Interkoneksi Keilmuan. Pidato yang disampaikan sebagai anggota AIPI
(Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) tertanggal 17 Agustus 2013.
2
3. Pendidikan Sebagai Gerbang Utama
Dari pengantar di atas, rasanya kurang efektif apabila hanya sebatas wacana yang
harus diketahui oleh kalangan terpelajar. Oleh karenanya untuk
mengimplementasikan usaha mendamaikan pertentangan-pertentangan yang ada
pada tubuh islam dan antara Islam dan di luar Islam, maka dibutuhkan gerbang
awal yang harus dilakukan untuk melendingkan act locally and think globally
tersebut. Amin Abdullah berpendapat:
“…pendidikan menurut hemat penulis, merupakan alat yang dapat
mencerahkan peradaban. Pendidikan yang terstruktur dan terestimasi
secara utuh, yang diharapkan dapat memberi peta yang utuh, lengkap
dan komprehensif tentang keislaman amat diperlukan oleh warga
masyarakat luas, termasuk para alumni perguruan tinggi umum. …
diperlukan konsep-konsep baru yang dapat mencerahkan, yang dapat
mengolah dan meramu kembali silabi, kurikulum, metode, pendekatan,
filosofi pendidikan Islam yang dapat mengantarkan para peserta didik
dan masyarakat luas untuk tetap berpikir jernih, santun, etis, penuh
pertimbangan yang rasional dan logis…”3
Ini merupakan proyek besar yang memerlukan proses yang panjang.
Mengingat tradisi kependidikan di Indonesia tidak hanya di bangku-bangku
sekolah dan perkuliahan, tetapi juga pesantren-pesantren yang didasarkan pada
otoritas individu guru sekaligus masih kuat dengan kultur tradisionalnya.4 Di sisi
lain (perguruan tinggi) fokus pada pembaharuan-pembaharuan Islam (wa al-akhdzu
bi jadidi al-aslah), dan di sisi lain pula (pesantren) sangat memegang
teguh warisan-warisan turats yang disebut sebagai ulama salaf (al-muhafadhah
‘ala qadim as-shalih). Sedangkan untuk mengkolaborasikan orientasi keduanya
(al-muhafadha ‘ala qadim as-shalih wa al-akhdzu bi jadidi al-aslah) juga tidak
3Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 2-3
4 Tradisi keilmuan pesantren yang berporos pada paradigma Kalam, Fiqih dan
Tashawwuf dengan berbagai variasi aksentuasi pembidangan yang menjadi ciri khas masing-masing
pesantren merupakan wilayah sekaligus media pelestarian dan pengamalan ajaran dalam
tradisi Islam. Jika tidak ada lembaga seperti pesantren, kita belum tentu dapat membayangkan
lembaga apa yang dapat menjaga dan meneruskan tradisi keilmuan Islam yang mempunyai ciri
spesifik seperti itu sekaligus mampu bertahan dalam arus perubahan sosial yang macam apapun.
Lebih lanjut Amin Abdullah membagi sekaligus mengkritisi keilmuan islam tentang tradisi
menjadi dua trend pemikiran, yang pertama pemikiran Islam yang mengokohkan tradisi yang
dianggap sebagai final tanpa kritik, sedangkan yang kedua adalah tradisi pemikiran Islam yang
bersifat kritis. Baca: Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Paradigma Integratif-
Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III, h. 289-304
3
4. mudah. Amin Abdullah dalam menyikapi hal ini, akan penulis deskripsikan dalam
pembahasan selanjutnya yang terangkum pada empat fase dalam studi agama.
Empat Fase Studi Agama
Untuk merealisasikan pendidikan yang berbasis intelektual, maka dibutuhkan
jenjang studi agama yang terbagi menjadi empat fase. Penulis memahami empat
fase studi agama di sini sebagai empat fase yang secara bertahap dilalui oleh
masyarakat beragama, terutama kaum terpelajar. Pertama, adalah tahapan Local.
Menurut Amin Abdullah, semua agama pada era prasejarah (prehistorical period)
dapat dikategorikan local. Semua praktik tradisi, kultur, adat istiadat, norma,
bahkan agama adalah fenomena lokal.5 Praktik-praktik lokal itu kemudian
menjadi identitas yang melekat pada manusia sebagai individu maupun kelompok
secara lokal. Namun, identitas lokal tersebut, akan mendapat ujian ketika pada
suatu saat ia harus berhadapan dengan adat istiadat, budaya, norma, dan aturan-aturan,
sistem ritual yang “lain” yang datang dari wilayah lain. Dalam perjumpaan
itulah, meminjam bahasa Amin Abdullah yakni munculnya keraguan (doubt).
Penulis tertarik dengan ilustrasi yang disampaikan, yakni bagi orang purba
dahulu, kehadiran orang atau kelompok lain selalu dianggap sebagai ancaman
yang akan memusnahkan keberadaannya atau mengganggu kepentingannya
(Threat of Extinction). Perasaan terancam ini kemudian diselesaikan dengan cara
anarkhis, seperti menghina, bertindak kejam, menyerang dan menundukkan
kelompok lain yang dianggap sebagai ancaman.6 Pada fase ini belum terlintas
perlunya partisipasi penuh dan aktif dari semua pihak yang berbeda golongan
untuk secara bersama-sama mengelola pemerintahan dengan baik dan mengelola
konflik yang mengelilingi mereka dengan cerdas agar masing-masing kelompok
bisa hidup dengan damai dan saling menghormati. Barangkali, kejadian-kejadian
akhir-akhir ini yang diselesaikan secara kekerasan, kesimpulan penulis dengan
memakai optic Amin Abdullah, merupakan tindakan orang purba terdahulu.
5Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 3
6Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 3-4
4
5. Fase kedua adalah canonical atau propositional. Era agama-agama besar
di dunia masuk dalam kategori ini. Munculnya agama Ibrahimi, dan agama-agama
timur yang mayoritas menggunakan teks kitab suci merupakan babak baru
tahapan sejarah perkembangan agama-agama dunis pasca prehistoric religions di
atas. Budaya oral (lesan) yang dahulu digunakan, pada fase ini berubah menjadi
budaya written (tulis). Menurut Amin Abdullah, ketika norma-norma, aturan-aturan,
kesepakatan-kesepakatan tradisi lokal berhasil ditulis dan dibukukan maka
sejarah manusia memasuki babakan baru yakni canonical.7
Fase ketiga adalah Critical. Babak critical ini terjadi pada abad ke 16 dan
17, ketika kesadaran beragama di Eropa mengalami perubahan yang radikal, yang
disebut sebagai abad pencerahan (enlightenment) yang bermula dari temuan-temuan
sains yang berbeda dengan pihak otoritas gereja.8 Meskipun ini bagian
dari gejolak Eropa, namun pada faktanya merambah ke berbagai tradisi agama-agama
dunia. Agama-agama tradisional mengalami goncangan yang berat
sehingga memaksa para penganutnya untuk memikirkan kembali secara
menyeluruh asumsi-asumsi dasar yang telah menjadi kepercayaan yang dianggap
final.9 Selain itu, pada fase critical ini, banyak para penganut agama yang
mempelajari agama-agama lain untuk mengetahui hakikat agama, asal-usul,
sejarah perkembangannya, tradisi inilah yang berkembang secara kontinyu dan
menjadi budaya dalam dunia akademis, yang bertujuan untuk menghilangkan
doubt dalam diri pribadi dan dalam kehidupan sosial dengan cara melakukan
pengamatan dan riset.
7Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 4
8Puncaknya pada hukuman yang dijatuhkan Gereja kepada Galileo Galilei (1564-1642
M) yang mengembangkan teori Copernicus (1473-1543), disebabkan penyempurnaan teori
Heliosentris dengan teleskop yang mengatakan bahwa Bumi mengelilingi matahari, teori ini
bertentangan dengan pandangan bible yang berpandangan bahwa matahari yang mengelilingi bumi
(Geosentris). Ini termasuk ke empat isu klasik yang dijelaskan oleh Richard J.Blackwell. Keempat
isu klasik tersebut adalah (1) Teori Heliosentris Nicholas Copernicus (2) standarisasi penafsiran
digunakan untuk memahami makna dan kebenaran Alkitab; (3) peristiwa sejarah pada tahun 1616,
pihak gereja mengeluarkan fatwa Copernicanism sebagai suatu kesalahan; dan (4) Putusan sidang
Galileo pada tahun 1633. Lihat: Richard J.Blackwell dalam The History of Science and religion in
western tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.), hlm. 98
9Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 5
5
6. Keempat adalah fase Global. Fase global mempunyai arti bahwa tradisi-tradisi
yang bersifat lokal –hanya sebatas contoh, fenomena penganut fiqih
mayoritas– ketika para muslim imigrant ke negara lain yang secara fiqih tidak
menganut paham madzhab fiqih yang mereka anut, apakah mereka memegang
teguh fiqih sebagai produk siap konsumsi yang selama ini mereka anut, ataukah
terlebih dahulu menimbang-nimbang, dan menyesyuaikan tradisi, norma-norma,
dan nilai etika negara yang baru mereka tempati. Walhasil, tradisi lokal
keberagamaan muslim ketika masuk ke wilayah “lain” atau dunia yang global,
akan mengalami pembaharuan-pembaharuan yang menyesuaikan tempat di mana
mereka berada.
Menurut penulis, fase global ini dalam kaca mata fiqh (karena di atas
sebagai contoh, penulis menggunakan kasus fiqih sebagai sarana contoh pula),
sebagian telah terjawab oleh kaidah-kaidah fiqh yang telah dicapai oleh ulama
fuqaha terdahulu. Seperti kasus zakat yang pada zaman nabi adalah kurma dan
gandum, maka ketika masuk ke konteks Indoesia, terutama Jawa, maka menjadi
beras, tentu berbeda dengan zakat di wilayah Eropa, Amerika, dan lain-lain.
Kaidah-kaidah fiqih seperti al-Masyaqqatu tajlibu at-taysir,10 adl-dlaruratu tubihu
al-mahdhurat11 dan semacamnya merupakan nilai-nilai global. Artinya kaidah
tersebut tidak pandang bulu dan tempat di mana ia berada, ketika muslim (apapun
etnisnya) berada dalam keadaan darurat (di manapun ia berada), maka ia boleh
melalukan hal-hal yang dilarang (haram). Jadi semangat Islam yang rahmatan
lil’alamin bisa terwujud bagi peradaban muslim di dunia. Namun, yang menjadi
persoalan adalah masyarakat pada umumnya mempelajari fiqih sampai mentog
saja, tanpa melihat aspek ushul dan kaidah yang lebih universal, lebih-lebih
sampai pada disiplin ilmu yang lain.
Pergumulan Tiga Kluster Intelektual dalam Islam
10 “Jika kebaratan melakukan suatu hal, maka ambillah sesuatu yang ringan/mudah saja.”
Misalnya, tidak bisa berdiri dalam melaksanakan shalat diperbolehkan dengan duduk, masih tidak
kuasa dengan tidur miring, dst. Lihat: Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah fi Ushuli al-fiqh
wa Qawa’idu Fiqhiyah, (Jakarta: Maktabah Sa’idah Putra, tth.), h. 29
11 “Dalam keadaan darurat, memperbolehkan sesuatu yang diharamkan.” Misalnya,
diperbolehkan makan bangkai ketika dalam keadaan tidak ada makanan dan mengakibatkan
kematian bila tidak segera makan. Lihat: Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah…, h. 32
6
7. Amin Abdullah memetakan ketiga kluster jaringan Intelektual dalam Islam, yakni
ilmu agama (ulum ad-din; religious knowledge), pemikiran islam (al-fikr al-islami
; Islamic thougt), dan Dirasat islamiyah/Islamic studies. Ketiga kluster tersebut
mempunyai hubungan sangat erat dan selalu bersentuhan satu dengan yang
lainnya. Agar catatan selanjutnya bisa runtut, maka perlu untuk memberikan
definisi satu persatu dari masing-masing kluster tersebut. Ulum ad-Din di sini
mempunyai arti bahwa pengetahuan-pengetahuan agama Islam yang secara
langsung bersinggungan dengan nilai-nilai dan materi-materi seperti fiqih,
syari’ah, kalam, tasawuf, dengan menggunakan pendekatan filologis seperti ilmu
nahw, sharaf, balaghah, mantiq, dan semacamnya untuk mengetahui teks-teks
agama seperti al-Qur’an, hadits, dan turats-turats.12 Dalam bahasa Imam Ghazali,
ilmu syariah agama disebut sebagai ilmu yang bersifat fardlu ‘ain.13 Sedangkan
yang non syariah agama disebut sebagai ilmu yang bersifat fardlu kifayah yang
berarti bahwa dalam satu komunitas tidak semua orang harus mengetahui ilmu
tersebut, seperti halnya ilmu kedokteran, dan apabila salah satu dari suatu
komunitas tertentu sudah mempelajarinya, maka sebagian yang lain tidak
mempunyai kewajiban lagi (wa idza qama biha wahidun kafa, wa saqatha al-fardhu
‘an al-akhirin)14
Lebih dari pada itu, dalam perkembangannya ketika bahan dasar pokok-pokok
ulum ad-Din ini terkumpul dan disusun secara sistematis dan terstruktur
secara akademis dengan melibatkan metodologi, pendekatan dan segala
macamnya, maka secara akademik ulum ad-din berkembang menjadi subjek yang
secara luas dikenal oleh lingkungan perguruan tinggi sebagai pemikiran islam (al-
12 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
13Fardhu ‘ain diartikan sebagai kewajiban bagi umat muslim untuk mempelajari ilmu
tertentu, meskipun relatif mempunyai perbedaan-perbedaan dari berbagai persepsi ulama. Seperti
mutakallimun mengatakan bahwa ilmu yang terlebih dahulu dipelajari adalah ilmu kalam,
sedangkan bagi fuqaha adalah ilmu fiqih, sedangkan bagi sufi adalah ilmu tashawuf, bagi mufassir
adalah ilmu al-Qur’an dan hadits, dst. Secara global, ilmu fardhu ain adalah ilmu syariah agama
islam yang sesuai dengan kebutuhan hajjiyah dan dlaruriyah, dan ilmu fardhu kifayah adalah ilmu
yang non syariah agama Islam yang terbagi juga menjadi dua yakni Mahmud misalnya kedokteran
untuk mengobati orang sakit, dan madzmum seperti ilmu sihir. Penjelasan lebih lanjut Lihat: al-
Ghazali, ihya’ ulum ad-din, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz. I, h. 13-16
14 al-Ghazali, ihya’ ulum…, h. 16
7
8. Fikr al-Islami; Islamic thought).15 Dari sini kemudian muncul pertanyaan, lantas
apa perbedaan antara Ulum ad-Din dan fikr al-Islam?.
Perbedaan antara keduanya terletak pada aspek metodologi. Pada kluster
Fikr al-Islam cenderung lebih mempunyai struktur ilmu yang kokoh dalam
menganalisis tema-tema agama, sedangkan pada kluster ulum ad-din cenderung
parsial dengan menenakankan atau memilih bagian tertentu saja dari struktur
pengetahuan tersebut.16 Misalnya, pembelajaran agama yang hanya
menenakankan pada aspek kalam dan aqidah dengan meninggalkan aspek
filosofisnya, selain itu menekankan pada aspek fiqih saja tanpa memahami
tasawuf, dan sebaliknya.17 Hal demikian menurut Amin Abdullah antara ulum ad-
Din dan Fikr al-Islam secara hubungan interaktif belum selesai dan belum
duduk.18
Ketika hubungan antara ulumu ad-Din dan Fikr al-Islam dinyatakan belum
duduk dan belum selesai, maka lebih lanjut Amin Abdullah menjelaskan:
“…dunia akademis keilmuan Islam terus berkembang mengikuti
perkembangan ilmu-ilmu dan metode-metode penelitian yang umum ada
di dunia akademis pada umumnya. Publikasi hasil penelitian lapangan,
hadirnya journal keilmuan keislaman, symposium, seminar-seminar
keilmuan, encyclopedia, terbitnya buku-buku baru dari manapun
datangnya, baik dari insider maupun outsider, mulai merangsek masuk ke
pusat-pusat studi keislaman baik di Barat maupun Timur. Dengan
munculnya berbagai metode dan pendekatan baru yang muncul mulai abad
ke 18-19, baik yang disebut filologis-historis dan lebih-lebih social
15 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
16 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 8
17 Hal ini telah diantisipasi oleh Ibnu ‘Atha’ullah dalam bukunya tajul ‘arus al-hawi
litadzhibi an-nufus yang mengatakan bahwa:
من استرسل بإطلق التوحيد ولم يتقيد بظواهر الشريعة فقد قذف به في بحر الزندقه... وكان بين ذالك قواما
Bila disadur kira-kira menjadi “Barang siapa yang mendedikasikan dirinya pada ilmu
tauhid tanpa mengikatnya dengan aspek syari’at, maka ia akan tenggelam ke samudera
kezindikan… baiknya, mempelajari keduanya secara seimbang-proposional” Lihat: Ibnu
‘Atha’ullah, Taju al-‘Arus al-Hawi Litahdzibi an-Nufus, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2008),
h. 34
18 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9
8
9. sciences, maka muncullah cluster baru keilmuan Islam yang disebut
dengan Dirasat Islamiyah atau Islamic Studies.”19
Dari kutipan di atas, penulis memahaminya bahwa kemunculan Dirasat
Islamiyah didasari atas hasil dari pergumulan antara Fikr al-Islam dan Ulum ad-
Din sekaligus dibarengi dengan ilmu-ilmu yang sedang berkembang pada saat ini,
misalnya dengan ilmu sosiologi, psikologi, humanities, historis, dsb. Jadi, hasil-hasil
dari penelitian lapangan yang tentunya masih ditopang dengan Ulum ad-Din
dan Fikr al-Islam dengan tidak meninggalkan aspek historis-empiris yang objektif
tentang dinamika sosial, ketersambungan, perubahan, pola, dan trends pergumulan
sosial-politik, dsb, maka itulah yang disebut sebagai Dirasat Islamiyah yang
secara fungsional melihat persoalan-persoalan agama secara lebih komprehensif
dan tidak meninggalkan nilai universal Islam yang masyhur dengan slogan
rahmatan lil ‘alamin.
Selain itu, pendekatan kritis dan perbandingan (comparative) sangat
diutamakan dalam tradisi keilmuan Dirasat Islamiyah,20 hal ini untuk
mendapatkan hasil yang mempunyai cakupan lebih luas dari berbagai persfektif
yang kemudian mempunyai hasil kesimpulan yang utuh pula.
Dengan demikian, disversifikasi (penganekaragaman) corak kajian
keislaman sangat diperlukan dan niscaya untuk membantu masyarakat pada
umumnya dalam melihat dan menilai persoalan dari berbagai sudut pandang, hal
ini untuk meminimalisir, kalau tidak disebut menghilangkan konflik, antar sekte,
ideologi bahkan antar agama. Seperti halnya yang dijelaskan oleh Machasin
bahwa Islam sebagai produk budaya berpotensi untuk dipahami dan diekspresikan
dalam berbagai corak sesuai dengan keberagaman manusia.21
Kembali pada ketiga kluster intelektual Islam, ketika melihatnya dengan
empat fase studi agama yang sudah penulis senggol di atas, bahwa Ulum ad-Din
masih berada pada tahapan canonical, bahkan sebagian merosot pada fase local.
19 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9
20 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 9-10
21 Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme,
(Yogyakarta: LKiS, 2012), h. 130
9
10. Sedangkan fikr al-Islam berada pada masa transisi menuju Dirasat al-Islamiyah
yang bercorak dan menempati fase critical.22
Dari ketiga kluster tersebut, ternyata masing-masing mempunyai
penggemar sendiri yang, penggemar satu dengan yang lain tidak bisa saling
terbuka untuk bisa memahami dan berdialog tentang keberagaman mereka yang
sesuai dengan perkembangan zaman. Namun lebih lanjut Amin Abdullah
menjelaskan bahwa:
“Hubungan antara ketiganya pun, menurut hemat penulis, bukannya
bersifat Hirarkis, di mana Ulum ad-Din atau Fikr al-Islami atau Dirasat
al-Islamiyah diandaikan paling tinggi, paling utama atau penting
dibanding yang lain. Hubungan antara ketiganya bersifat Dialogis dan
Negoisatif. …Bagaimana cara penyampaiannya kepada anak didik secara
lebih akademik sekaligus pedagogis?. Salah satu yang penulis usulkan
adalah lewat pengenalan bagian-bagian tertentu dari ilmu-ilmu sosial kritis
humanities kontemporer yang dikawinkan dengan budaya lokal yang
mendarah mendaging dalam payung Ulum ad-Din dalam konteks budaya
Islam.”23
Dari penyataan di atas, bahwa ketiga kluster bukanlah bersifat hirarkis,
tetapi dialogis dan negoisatif, setidak-tidaknya pandangan ini bisa membuka
semua penggemar ketiga kluster tersebut untuk saling membuka pikiran dan kritik
dari masing-masing kluster, meminjam bahasa Amin Abdullah yakni integrated
entities (ketiga kluster saling terpaut dan terhubung).24
Dengan demikian, tidak hanya “tradisi” (al-Muhafadhah ‘ala qadimi as-shalih)
yang ditonjol-tonjolkan, tetapi juga aspek “translation” (al-akhdzu bi al-jadidi
al-ashlah), yakni dengan cara menerjemahkan kembali dan menafsirkan
ulang konsep-konsep dan khazanah intelektual lama ke konteks intelektual baru
yang lebih menjanjikan untuk menjawab tantangan zaman.25
Menurut penulis, yang mempunyai potensi menggabungkan ketiga kluster
tersebut adalah di perguruan tinggi, sebenarnya di pesantren-pesantren bisa
22 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 10
23 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 16-17
24 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 22
25 Amin Abdullah, Mempertautkan…, h. 22-23
10
11. menggapai ketiga kluster tersebut apabila bisa menerima dan mempelajari aspek-aspek
humanitis-sosiologis kontemporer, mengingat di pesantren-pesantren masih
sangat kuat dengan tradisi Ulum ad-Din dan sedikit sekali menimbang-nimbang
lewat aspek Fikr al-Islami dan Dirasat Islamiyah yang menekankan metode
kritik, lebih-lebih perbandingan pemikiran dalam Islam.
Takhtim
Dari pemaparan di atas, menurut penulis yang sangat penting
digarisbawahi dalam catatan ini, pertama adalah, ungkapan act locally and think
globally merupakan pondasi awal bagi intelektual muslim hari ini, dengan sikap
tersebut diharapkan bisa menyikapi perbedaan dan mengelola berbagai
pertentangan dan konflik dengan cerdas dan bijak antar golongan yang berbeda
dalam segi apapun.
Kedua, fase-fase studi yang telah penulis paparkan di atas merupakan
sebuah proses untuk memahami persoalan-persoalan agama, terutama Islam, agar
pemaknaan Islam bisa berkembang sesuai dengan tempat, budaya, tradisi dan
segala macam yang bersifat lokal-temporal.
Ketiga, dari ketiga kluster antara Ulum ad-Din, Fikr al-Islami, dan Dirasat
al-Islamiyah, bukan berbentuk hirarkis, di mana yang satu dengan yang lain saling
mendominasi bahkan lebih utama, akan tetapi ketiga kluster tersebut berjalan
dengan dialogis-negoisatif dan terbuka dengan ilmu-ilmu yang berkembang pada
era kontemporer saat ini. Wallahu a’lam bi as-shawab.
11
12. Daftar Pustaka
Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awwaliyah fi Ushuli al-fiqh wa Qawa’idu
Fiqhiyah, Jakarta: Maktabah Sa’idah Putra, tth.
Abdullah, Amin, Agama, Ilmu dan Budaya: Paradigman Integrasi, Interkoneksi
Keilmuan. Pidato yang disampaikan sebagai anggota AIPI
(akademi ilmu Pengetahuan Indonesia) tertanggal 17 Agustus
2013.
_____________, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Paradigma Integratif-
Interkonektif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), cet. III
_____________, Mempertautkan ‘Ulum ad-Din, al-Fikr al-Islami, dan Dirasat
al-Islamiyah: Sumbangan Keilmuan Islam untuk Peradaban
Global, diunduh dari
http://aminabd.wordpress.com/author/ridwanpau tertanggal 20
Juni 2010
al-Ghazali, Abu Hamid, Ihya’ Ulum ad-Din, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), juz. I
Ibnu ‘Atha’illah, Taju al-‘Arus al-Hawi Litahdzibi an-Nufus, (Beirut: Dar al-
Kotob al-Ilmiyah, 2008)
Machasin, Islam Dinamis Islam Harmonis: Lokalitas, Pluralitas, Terorisme,
(Yogyakarta: LKiS, 2012)
Richard J. Blackwell dalam The History of Science and religion in western
tradition an encyclopedia, (ed. Garry Ferngren.)
12