Dokumen tersebut membahas tentang tanaman cabai dan kebutuhan airnya. Tanaman cabai membutuhkan sinar matahari yang banyak dan kelembaban udara sekitar 80% untuk pertumbuhannya. Kebutuhan air tanaman cabai adalah sekitar 544,90 mm per musim atau setara dengan 54,49 liter per musim. Metode konservasi air seperti pemulsaan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air pada tanaman cabai.
1. I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman cabai termasuk suku terung-terungan (Solanaceae), berbentuk
perdu dan tergolong tanaman semusim. Tanaman cabai hibrida varietas Serambi
dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi. Tanaman rimbun dan buah
keriting memanjang. Buah cabai berwarna merah menyala dengan panjang 15-17
cm dan diameter 0.6-0.8 cm. Berat buah per tanaman berkisar antara 0.9-1.2 kg
dengan potensi hasil 18-20 ton/ha. Buah cabai dapat dipanen mulai umur 82-87
hari setelah semai. Buah cabai tahan dalam penyimpanan lama dan pengangkutan
jarak jauh.
Tanaman
cabai
akan
mendapatkan
pertumbuhan
yang
baik
jika
mendapatkan sinar matahari (lama penyinaran dan intensitas cahaya) yang
banyak. Selain itu, banyaknya sinar matahari akan menekan perkembangan
hama/patogen. Wiryanta (2002) menyatakan bahwa tanaman cabai memerlukan
kelembaban relatif sebesar 80% untuk pertumbuhannya. Kelembaban udara
merupakan perbandingan relatif antara udara dan uap air di suatu daerah. Semakin
tinggi kandungan uap air di udara, maka kelembaban udara dikatakan tinggi. Pada
budidaya cabai, kelembaban lingkungan menjadi hal yang penting diperhatikan
karena berkaitan erat dengan kesehatan tanaman (Nawangsih et al.,1999). Selain
itu, menurut Prihmantoro dan Indriani (2003), bila pada saat berbunga
kelembaban rendah, sementara suhu dan intensitas cahaya tinggi, maka
1
2. keseimbangan air yang masuk dan transpirasi lewat daun terganggu. Hal ini
mengakibatkan bunga dan buah akan gugur, serta tanaman menjadi layu.
Sistem penyerapan air pada tanaman cabai yaitu dengan memanfaatkan akar
utama yang dimiiki oleh tanaman cabai. Akar utama ini kemudian akan patah
pada saat transplanting yang kemudian akan menumbuhkan banyak akar-akar
lateral. Kedalaman akar dapat meluas hingga 1 m tetapi, pada kondisi irigasi
ternyata akar terkonsentrasi pada lapisan tanah atas sedalam 0,3 m. Pada kondisi
evapotranspirasi maksimum 5-6 mm/hari, 25-30% total air tersedia dapat
dihabiskan sebelum terjadi reduksi penyerapan air (p=0,25-0,30). Biasanya 100%
penyerapan air terjadi dalam kedalaman lapisan tanah 0,5-1,0 m.
Evapotranspirasi merupakan proses kehilangan air dari tanah maupun dari
tanaman selama tanaman hidup dan terus tumbuh. Pengukuran evapotranspirasi
ada tanaman ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan air tanaman agar irigasi
yang diberikan optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman tersebut.
Kebutuhan air tanaman yang optimal dapat meminimalkan adanya serangan hama
dan penyakit tanaman serta tanaman akan menjadi lebih subur dan berkembang
dengan baik.
Pada umumnya kebutuhan air irigasi pada musim kemarau diupayakan dapat
dipenuhi dari air tanah dan air permukaan. Pelaksanaannya memerlukan teknik
irigasi yang efektif dan efisien agar menguntungkan bagi petani dan tidak boros
dalam penggunaan air. Ada empat alternatif teknik irigasi suplemen (Schwab et
al., 1981; Arsyad 2000), yaitu: 1) Pemberian air pada permukaan tanah (surface
irrigation), 2) Penyiraman (sprinkler irrigation), 3) Pemberian air melalui lubang-
2
3. lubang kecil sepanjang pipa langsung ke tanaman dengan laju aliran yang rendah
(drip irrigation/trickel irrigation), 4) Pemberian air dibawah permukaan atau di
dalam profil tanah (sub-surface irrigation).
Alternatif lain untuk mengatasi kekurangan air adalah konservasi air (water
conservation) dan peningkatan efisiensi penggunaan air, antara lain melalui
pemulsaan (mulching), meningkatkan kapasitas tanah menahan air (water holding
capacity) dan mengurangi evaporasi. Krishnappa et al. (1999) mengemukakan
bahwa perbaikan kondisi permukaan tanah untuk meningkatkan infiltrasi dan
kapasitas memegang air merupakan keperluan paling mendasar di lahan kering.
Konservasi kelembaban tanah in situ merupakan komponen vital dalam usahatani
di lahan kering, yang dapat dilakukan secara biologis, sistem konfigurasi lahan,
cara pengelolaan tanah, mulsa, dan panen hujan. Pemulsaan sudah terbukti efektif
dalam mempertahankan kelembaban tanah (Suwardjo,1981; Sudirman dan
Adimihardja, 1981; Noeralam, 2002; Tala’ohu et al.,2003).
B. Tujuan Praktik Kerja Lapangan
Tujuan dilaksanakannya Praktik Kerja Lapangan adalah:
1. Mempelajari kebutuhan air pada tanaman cabai di lahan kering.
2. Mempelajari efisiensi penggunaan air pada tanaman cabai di lahan kering.
3. Mengetahui metode efisiensi penggunaan air pada tanaman cabai di lahan
kering.
4. Menambah wawasan pengetahuan dan pengalaman kerja yang tidak didapat
di bangku perkuliahan.
3
4. C. Sasaran Praktik Kerja Lapangan
Sasaran dari Praktik Kerja Lapangan ini adalah metode yang yang baik yang
dapat digunakan dalam meningkatkan efisiensi penggunaan air pada suatu
komoditas pertanian, terutama tanaman cabai di lahan kering.
D. Manfaat Praktik Kerja Lapangan
Manfaat Praktik Kerja Lapangan yang akan dilaksanakan di Balai
Pengembangan dan Pengkajian Teknologi Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta
diantaranya sebagai berikut:
1. Mendapatkan pengetahuan mengenai efisiensi penggunaan air selama masa
tanam tanaman cabai di lahan kering.
2. Mendapatkan pengalaman kerja di lapangan dengan berperan aktif dalam
kegiatan yang diadakan oleh Balai.
3. Memperoleh pengetahuan tambahan serta mampu membandingkan antara
teori yang telah diperoleh selama kuliah dengan kenyataan yang dihadapi
ketika berada di lapangan.
4
5. II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Cabai
Cabai atau lombok termasuk dalam suku terong-terongan (Solanaceae) dan
merupakan tanaman yang mudah ditanam di dataran rendah ataupun di dataran
tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta
mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan
memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu
dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk
kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar.
Berikut klasifikasi tanaman cabai:
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi
: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas
: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae (suku terung-terungan)
Genus
: Capsicum
Spesies
: Capsicum annum L.
5
6. Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan
sarang serta tidak tergenang air; pH tanah yang ideal sekitar 5 - 6. Tanaman cabai
juga dapat tumbuh pada jenis tanah yang berbeda tetapi, tanaman cabai harus
mempunyai drainase yang baik. Tanaman cabai dapat beradaptasi dengan baik
pada cuaca panas, tetapi tidak dapat menghasilkan buah yang baik ketika suhu
tertinggi pada malam hari mencapai 24oC. Pada umumnya, cabai dapat tumbuh
dengan baik pada suhu 20-30oC.
Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan
(Maret - April). Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari
tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Buah cabe yang telah
diseleksi untuk bibit dijemur hingga kering. Kalau panasnya cukup dalam lima
hari telah kering kemudian baru diambil bijinya: Untuk areal satu hektar
dibutuhkan sekitar 2-3 kg buah cabai (300-500 gr biji).
Hasil penelitian menunjukan bahwa tanaman cabai selama masa
pertumbuhannya membutuhkan air 544,90 mm/musim atau setara dengan 54,49
liter/musim dengan total air tanah tersedia (TAW) 112 mm. Berat buah cabai pada
sistem irigasi tepat waktu 37,5 gram dan 36,2 gram untuk irigasi 7 hari sekali.
Efisiensi irigasi 86% dan 23% masing-masing untuk irigasi tepat waktu dan
irigasi 7 hari sekali (Faridah, 2012)
Salah satu kendala utama dalam sistem produksi cabai di Indonesia adalah
adanya serangan lalat buah pada buah cabai. Hama ini sering menyebabkan gagal
panen. Buah cabai yang terserang sering tampak sehat dan utuh dari luar tetapi
bila dilihat di dalamnya membusuk dan mengandung larva lalat. Penyebabnya
6
7. terutama adalah lalat buah Bactrocera carambolae. Karena gejala awalnya yang
tak tampak jelas, sementara hama ini sebarannya masih terbatas di Indonesia, lalat
buah menjadi hama karantina yang ditakuti sehingga dapat menjadi penghambat
ekspor buah-buahan maupun pada produksi cabai.
Gambar 1. Buah Cabai.
B. Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan air tanaman didefinisikan sebagai besarnya jumlah air yang
hilang melalui proses evapotranspirasi. Dengan kata lain, kebutuhan air tanaman
merupakan jumlah air optimum yang dibutuhkan untuk berbagai tanaman tumbuh
optimal (FAO, 1985). Kebutuhan air tanaman merupakan faktor penting yang
utama dilakukan untuk mengetahui frekuensi dan waktu pemberian air. Hal-hal
yang perlu diperhatikan dalam mempertimbangan waktu pemberian air irigasi dan
besar air yang harus diberikan antara lain:
1. Jumlah air yang dibutuhkan oleh tanaman.
2. Ketersediaan air untuk irigasi.
3. Kapasitas tanah sekitar daerah akar untuk menampung air.
7
8. Tanaman yang tumbuh, menggunakan air selama masa tumbuh dan
hidupnya. Namun besarnya penggunaan air berbeda-beda sesuai dengan jenis
tanaman, usia tanaman dan keadaan lingkungan sekitar. Setiap jenis tanah pada
lahan juga memiliki sifat yang berbeda dalam rangka memenuhi kebutuhan
tanaman akan air yang sesuai.
Kebutuhan air tanaman atau biasa disebut dengan istilah evapotranspirasi,
merupakan suatu proses yang mengkombinasikan dua proses yang berbeda
dimana keduanya merupakan kehilangan air, yang satu pada permukaan tanah
yang biasa disebut evaporasi dan yang lainnya pada tanaman.
Evaporasi merupakan proses dimana air dalam bentuk cair dikonversikan ke
bentuk uap air (vapourization) dan hilang dari permukaan dimana evaporasi
berlangsung (vapour removal). Air yang menguap berasal dari berbagai
permukaan seperti permukaan danau, sungai, tanah dan vegetasi yang basah.
Transpirasi terdiri dari hasil penguapan air yang berbentuk cair pada
jaringan tanaman kemudian uap tersebut hilang ke atmosfer. Tanaman dapat
kehiangan air melalui stomata. Dengan sedikit membuka, stomata pada daun
tumbuhan akan melewatkan gas dan uap air. Air bersama dengan nutrisi, diambil
oleh akar dan ditansportasikan ke seluruh bagian tumbuhan. Proses penguapan
yang terjadi pada daun, adalah intercellular spaces dan uap yang bertukar dengan
udara luar (atmosfer) dikontrol oleh lubang pada stomata. Hampir semua air yang
telah diambil dari akar tadi hilang karena proses transpirasi dan hanya sedikit
fraksi air yang digunakan pada tanaman.
8
9. Evaporasi dan transpirasi terjadi secara bersama-sama dan tidak mudah
untuk mengenali atau membedakan kedua proses tersebut. Proses transpirasi
berjalan terus hampir sepanjang hari di bawah pengaruh sinar matahari. Pada
malam hari pori-pori daun yang disebut stomata menutup yang menyebabkan
terhentinya proses transpirasi dengan drastis. Proses evaporasi dapat berjalan terus
selama ada input panas, karenanya bagian terbesar jumlah evaporasi diperoleh
siang hari.
Proses evaporasi pada lahan pertanian umumnya ditentukan oleh fraksi
sinar matahari yang mencapai permukaan tanah. Fraksi ini akan semakin menurun
seiring dengan periode pertumbuhan tanaman. Ketika tanaman masih kecil, air
lebih banyak hilang akibat penguapan pada tanah, akan tetapi ketika tanaman
sudah tumbuh dan berkembang dengan baik dan hampir menutup tanah,
transpirasi menjadi proses yang utama. Gambar 2 menunjukkan pembagian
evapotranspirasi menjadi evaporasi dan transpirasi yang diplotkan pada hubungan
area daun per unit permukaan tanah di bawahnya. Pada saat awal masa tanam,
hampir 100% evapotranspirasi (ET) berasal dari evaporasi sementara pada saat
tanaman hampir menutupi tanah, lebih dari 90% ET berasal dari transpirasi.
9
10. Gambar 2. Pembagian evapotranspirasi menjadi evaporasi dan transpirasi selama
periode pertumbuhan pada tanaman tahunan. (Sumber: FAO, 2000)
Laju evapotranspirasi ditunjukkan oleh satuan milimeter (mm) per satuan
waktu. Laju evapotranspirasi menunjukkan jumlah air yang hilang dari permukaan
lahan pertanian dengan satuan kedalaman air. Satuan waktu dapat berupa jam,
hari, bulan atau selama pertumbuhan tanaman tersebut berlangsung.
Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
evapotranspirasi:
1. Parameter cuaca
Parameter cuaca yang mempengaruhi terjadinya evapotraspirasi
diantaranya, radiasi, suhu udara, kelembaban dan kecepatan angin. Beberapa
prosedur telah dikembangkan untuk menghitung laju evapotranspirasi dengan
menggunakan perameter tersebut.
10
11. 2. Faktor tanaman (karakteristik tanaman)
Jenis tanaman, varietas dan tingkat perkembangan tanaman harusnya
menjadi pertimbangan ketika menetapkan evapotranspirasi dari tanaman yang
sudah tumbuh dengan tata lahan yang baik. Perbedaan pada resistansi menjadi
transpirasi, ketinggian tanaman, kekasaran tajuk, refleksi, penutup lahan dan
karakteristik perakaran memiliki hasil ET pada level yang berbeda dan jenis
yang berbeda pada tanaman dibawah kondisi lingkungan yang identik.
Evapotranspirasi pada tanaman pada kondisi standar (ETc) menunjukkan
evaporasi yang dibutuhkan oleh tanaman yang tumbuh pada lahan yang luas
dibawah kondisi air tanah, pengelolaan serta kondisi lingkungan yang baik
dan hingga mencapai produksi penuh dibawah kondisi iklim yang diberikan.
3. Manajemen dan kondisi lingkungan
Faktor-faktor seperti kelengansan tanah, lahan yang kurang subur,
pemberian pupuk yang sedikit pada lahan, tanah yang keras dan tua sehingga
horizonnya tidak dapat ditembus, kontrol dari kerusakan binatang
pengganggu dan pengelolaan tanah yang tidak baik, dapat mengurangi
perkembangan tanaman dan menurunkan evapotranspirasi. Faktor lain yang
menjadi pertimbangan ketika menetapkan ET adalah penutup lahan, massa
jenis tanaman dan kendungan air tanah. Efek dari kandungan air tanah pada
ET adalah untuk mengetahui kondisi besarnya kekurangan air dan jenis tanah.
11
12. Gambar 3. Evapotranspirasi potensial (ETo), Evapotranspirasi baku (ETc) dan
Evapotranspirasi non-baku (ETcadj).
Gambar 3 di atas, menunjukkan perbedaan konsep evapotranspirasi
potensial ETo, evapotranspirasi baku (ETc) dan evapotranspirasi non-baku
(ETcadj).
1. Evapotranspirasi Potensial (ETo)
Laju evapotranspirasi dari permukaan disebut evapotranspirasi potensial
yang dilambagkan dengan ETo. Konsep dari evapotranspirasi potensial
diperkenalkan yaitu untuk mempelajari permintaan eevaporatif atmosfer dari
jenis tanaman, pengembangan lahan dan praktek menajemen. Faktor
yangmempengaruhi ETo adalah parameter iklim sehingga dapat dihitung dari
data cuaca. Metode Penman-Monteith disarankan untuk perhitungan ETo
tersebut.
2. Evapotranspirasi Baku (ETc)
Evapotranspirasi baku, dilambangkan sebagai ETc, yang merupakan
evapotranspirasi dari tanaman yang bebas penyakit, diberi pupuk dengan
baik, tumbuh pada lahan yang luas, memiliki kondisi air tanah yang optimal,
dan mencapai produksi penuh dibawah kondisi iklim yang diberikan.
12
13. Evapotranspirasi tanaman dapat dihitung dari data iklim dengan
mengintegrasikan secara langsung dengan resistansi tanaman, albedo (α) dan
faktor resistansi udara dalam pendekatan Penman-Monteith. Metode PenmanMonteith digunakan untuk mengestimasi standar referensi tanaman untuk
menentukan laju evapotranspirasi (ETo) dengan rasio yang ditentukan
ETc/ETo yang biasa disebut sebagai koefisien tanaman (Kc) yang digunakan
untuk menghubungkan ETc ke ETo atau ETc = Kc ETo.
3. Evapotranspirasi Non-baku (ETcadj)
Evapotranspirasi tanaman non-baku (Etcadj) adalah evapotranspirasi dari
tanaman yang tumbuh dibawah manajemen dan kondisi lingkungan yang
berbeda
dari
kondisi
standar.
Ketika
bercocok
tanam
di
lahan,
evapotranspirasi tanaman yang nyata mungkin menyimpang dari ETc karena
kondisi yang tidak optimal seperti adanya hama dan penyakit, salinitas tanah,
kurangnya kesuburan tanah dan terjadinya kekurangan atau genangan air. Hal
ini dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman yang menurun, massa jenis
tanaman yang rendah dan dapat mengurangi laju evapotraspirasi sebelumnya.
Evapotranspirasi
tanaman
non-baku,
dapat
dihitung
dengan
menggunakan koefisien tegangan (stress) air Ks dan atau dengan
menyesuaikan Kc untuk semua jenis stress lain dan kendala lingkungan pada
evapotranspirasi tanaman.
13
14. C. Kebutuhan Air Irigasi
Irigasi secara umum didefinisikan sebagai penggunaan air pada tanah
untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
Menurut Hansen et al., (1986) tujuan pemberian air irigasi pada tanaman adalah:
1. Menambahkan air ke dalam tanaman untuk mememenuhi kebutuhan cairan
pada tanaman.
2. Menyediakan jaminan panen pada saat kemarau yang pendek.
3. Menyediakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman, yaitu dengan
cara menstabilkan suhu tanah dan atmosfer.
4. Mengurangi biaya pembekuan.
5. Mencuci dan mengurangi garam dalam tanah.
6. Mengurangi biaya erosi tanah.
7. Mengurangi tenaga dalam pengolahan tanah.
8. Mengendalikan laju pertumbuhan tunas dengan pendinginan karena
penguapan
Menurut Hansen et al. (1986), Pemberian air irigasi pada tanaman dapat
dilakuan dengan lima cara yaitu dengan penggenangan (flooding), dengan
menggunakan alur (furrow), dengan menggunakan air di bawah permukaan tanah
melalui sub irigasi sehingga menyebabkan permukaan air naik, dengan
penyiraman (sprinkling) dan dengan sistem cucuran (trickling).
Kebutuhan air irigasi adalah jumlah volume air yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan evapotranspirasi, kehilangan air, kebutuhan air untuk
tanaman dengan memperhatikan jumlah air yang diberikan.
14
15. Metode-metode pemberian irigasi yang dapat dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Irigasi permukaan (surface irrigation)
Irigasi permukaan ini diberikan pada permukaan tanaman dengan
berbagai sistem seperti penggenangan (flooding) dan sistem alur (furrow
irrigation). Metode irigasi dengan cara penggenangan dikelompokkan
kembali menjadi tiga kelompok yaitu (Hansen et al., 1986):
a. Penggenangan tidak terkendali
Metode ini dilakukan dengan cara memberikan air dari saluran
tanpa tanggul, metode ini sangat ekonomis namun efisiensi penggunaan
airnya sedikit karena air tidak dikendalikan. Selain itu kehilangan air pada
metode ini cukup besar akibat dari perkolasi dan limpasan permukaan.
b. Penggenangan petak jalur (border strip)
Metode ini sering disebut sebagai metode galengan, metode
galengan sesuai untuk tanah dengan variasi tekstur luas, sehingga dalam
perencanaannya sifat fisik tanah merupakan faktor utama yang harus
diperhitungkan.
c. Penggenangan petak
Metode penggenangan petak terdiri dari pengaliran aliran yang
secara perbandingan besar ke dalam daerah datar yang dikelilingi oleh
tanggul. Metode ini sesuai untuk tanah yang sangat permiabel yang harus
dengan cepat diairi untuk mencegah kehilangan air berlebih.
15
16. Metode irigasi dalam penerapannya harus disesuaikan dengan kondisi
wilayah yang bersangkutan serta jenis tanaman yang ditanam. Irigasi bergalur
cocok digunakan untuk tanaman yang ditanam secara beralur dengan kondisi
sumber daya air memadai. Metode irigasi ini tidak dapat diterapkan untuk
lahan dengan variasi kemiringan besar. Toleransi kemiringan lahan
maksimum untuk metode ini adalah 3-6%. Panjang alur pada umumnnya
adalah sekitar 100 – 200 m, sedangkan jarak dan kedalaman alur disesuaikan
dengan jenis tanaman yang dibudidayakan.
2. Irigasi curah (sprinkler irrigation)
Irigasi curah adalah salah satu metode irigasi di mana pemberian air
dilakukan dengan penyemprotan air ke udara, jatuh ke permukaan tanah
seperti air hujan. Sedangkan menurut peneliti lain irigasi curah adalah metode
pemberian air pada permukaan tanah melalui pipa-pipa bertekanan tinggi dan
mencurahkannya ke udara dalam bentuk butiran-butiran kecil seperti hujan.
Tujuan dari sistem irigasi curah adalah agar air dapat diberikan secara
merata dan efisien pada areal pertanaman, dengan jumlah dan kecepatan
penyiraman kurang atau sama dengan laju infiltrasi. Dengan demikian dalam
proses pemberian air tidak terjadi kehilangan air dalam bentuk limpasan
(runoff). Faktor-faktor yang mempengaruhi irigasi curah adalah :curah hujan
efektif, infiltrasi, evapotranspirasi dan hubungan tanah-air-tanaman.
Jumlah air irigasi yang harus ditambahkan pada sistim irigasi curah
akan bervariasi sesuai dengan tekstur tanah dan kedalaman akar tanaman.
16
17. Jumlah pemberian air untuk setiap operasi irigasi curah berdasarkan tekstur
tanah dan kedalaman perakaran dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah pemberian air untuk setiap operasi irigasi curah berdasarkan
tekstur tanah dan kedalaman perakaran
Pemberian air (inch/acre)
Tekstur tanah
Kedalaman akar (inch)
12
18
24
30
36
48
72
Pasir kasar
- Seragam
0,45
0,60
0,85
1,20
1,30
1,75
2,60
- Sub-soil kompak
0,45
0,60
1,50
1,75
2,00
2,50
3,00
Pasir halus
- Seragam
0,85
1,30
1,75
2,20
2,60
3,00
4,00
- Sub-soil kompak
0,85
1,50
2,00
2,40
2,80
3,25
5,00
Lempung berdebu
- Seragam
1,10
1,70
2,25
2,75
3,00
4,00
6,00
- Sub-soil kompak
1,10
1,70
2,50
3,00
3,25
4,25
6,25
1,40
2,00
2,40
2,85
3,85
5,50
Lempung berliat 0,90
atau liat berat
Sumber: Pair (1969)
3. Irigasi mikro/irigasi tetes
Irigasi tetes merupakan cara pemberian air pada tanaman secara
langsung, baik pada permukaan tanah maupun di dalam tanah melalui tetesan
secara sinambung dan perlahan pada tanah di dekat tumbuhan. Alat
pengeluaran air pada sistim irigasi tetes disebut emiter atau penetes. Setelah
keluar dari penetes (emiter), air menyebar ke dalam profil tanah secara
horizontal maupun vertikal akibat gaya kapilaritas dan gravitasi. Luas daerah
yang dibasahi tergantung pada besarnya debit keluaran, jenis tanah (struktur
dan tekstur), kelembaban tanah dan permeabilitas tanah.
Keuntungan dari irigasi ini adalah dapat meningkatkan kuantitas dan
kualitas hasil panen karena pengairannya tepat guna. Pengairan dengan
metode ini mampu memelihara kadar lengas tanah sesuai dengan kebutuhan
17
18. kelembaban tanah untuk tanaman. Selain itu air irigasi dapat diberikan secara
efisien, karena air langsung diberikan pada daerah perakaran tanaman.
Efisiensi dengan menggunakan metode ini hampir mendekati 100% dengan
penghematan air dari 30 sampai 50%.
4. Irigasi bawah permukaan (sub-surface irrigation)
Sistem irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation) merupakan
salah satu bentuk dari micro irrigation, yang meletakkan jaringan atau alat
irigasinya di bawah permukaan tanah. Sedangkan sub-irigasi dapat
menyebabkan evaporasi meningkat dan untuk tanah yang tinggi kadar
garamnya, akan terjadi pengumpulan garam di permukaan tanah.
Produksi tanaman semangka meningkat dari 10 ton/ha menjadi 18
ton/ha dengan menggunakan irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation)
berupa pipa-pipa semen yang panjangnya 1 meter dengan diameter 10 cm dan
tebal dinding 1 cm yang disambung-sambung dan dihubungkan dengan bak
penampung air.
D. Efisiensi Penggunaan Air
Air yang diambil dari sumber air dialirkan ke areal irigasi dan tidak
semuanya dimanfaatkan oleh tanaman. Selama proses irigasi ini terjadi kehilangan
air. Kehilangan air ini dapat berupa penguapan pada saluran irigasi, rembesan
pada saluran atau untuk keperluan lain seperti misalnya rumah tangga.
Efisiensi penggunaan air didefinisikan sebagai banyaknya hasil (produksi)
tanaman per satuan air yang dipergunakan. Hasil dapat dinyatakan dalam cara
yang bervariasi, tergantung minat petani. Pada beberapa tempat hanya biji yang
18
19. dianggap penting, di lain pihak residu tanaman bisa sangat berharga sebagai
makanan ternak.
Ada 3 cara yang prinsip untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air yaitu :
(1) meningkatkan efisiensi transpirasi, (2) meningkatkan total suplai air di lapang,
dan (3) jika suplai air terbatas, menurunkan kehilangan air selain yang digunakan
untuk transpirasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi penggunaan air adalah:
1. Teknik/metode irigasi.
2. Persiapan tanah, pengolahan tanah dan kondisi topografi.
3. Sifat-sifat tanah seperti infiltrasi, tekstur tanah dan struktur tanah.
4. Kelembaban tanah pada zona perakaran pada saat irigasi diberikan.
5. Iklim dan kondisi meteorologi selama irigasi.
6. Tata letak sistim irigasi : panjang dan jarak furrow, border strips, jarak dan
rancangan sprinkler.
7. Operasi sistim irigasi misalnya posisi sprinkler pada saat aplikasi.
8. Dimensi irigasi seperti kedalaman aplikasi, frukuensi irigasi.
Nilai efisiensi pada irigasi dapat terjadi pada saluran primer, bangunan bagi,
saluran sekunder dan sebagainya. Secara umum, nilai efisiensi irigasi dapat
dihitung dengan rumus:
EF = [(Adbk - Ahl)/Adbk] x 100%
Keterangan :
EF
= Efisiensi
Adbk = Air yang diberikan
19
20. Ahl
= Air yang hilang
Berikut merupakan efisiensi yang terjadi pada saluran irigasi:
1.
Efisiensi Pengaliran
Efisiesi pengaliran ini terjadi saat jumlah air yang dilepas dari
bangunan sadap ke areal irigasi mengalami kehilangan air selama
pengalirannya. Kehilangan ini dapat menentukan besarnya efisiensi
pengaliran. Persamaan berikut dapat menentukan besarnya efisiensi
pengaliran:
EPNG = (Asa/Adb) x 100%
Keterangan :
EPNG = Efisiensi pengairan
Asa
= Air yang sampai di irigasi
Adb
= Air yang diambil dari bangunan sadap
2. Efisiensi Pemakaian
Efisiensi pemakaian adalah perbandingan antara air yang dapat
ditahan pada zona perakaran dalam periode pemberian air, dengan air yang
diberikan pada areal irigasi. Besarnya efisiensi pemakaian air dapat
dihitung dengan persamaan berikut:
EPMK = (Adzp/Asa) x 100%
Keterangan :
EPMK = Efisiensi pemakaian
Adzp = Air yang dapat ditahan pada zona perakaran
Asa
= Air yang diberikan (sampai) di areal irigasi
20
21. 3. Efisiensi Penyimpanan
Apabila keadaan tanaman sangat kekurangan jumlah air yang
dibutuhkan untuk mengisi lengas tanah pada zona perakaran adalah Asp
(ar tersimpan penuh) dan air yang diberikan adalah Adk, maka efisiensi
penyimpanan adalah:
EPNY = (Adk/Asp) x 100%
Keterangan :
EPNY = Efisiensi penyimpanan
Asp
= Air yang tersimpan
Adk
= Air yang diberikan
Cara untuk memperbaiki efisiensi penggunaan air melalui tanaman
merupakan teknik konservasi air secara luas. Kesuburan tanah yang tinggi,
seleksi/pemilihan
tanaman,
perbaikan
varitas,
penurunan
evaporasi
dan
manipulasi kultur tanaman meningkatkan produksi tanaman untuk suplai air yang
diberikan. Suksesnya pertanaman di lahan kering terletak pada penggunaan lahan,
efisiensi penggunaan air (WUE) dan efisiensi penggunaan hara yang selanjutnya
mencapai produksi biomas yang lestari (sustainable).
21
22. III.
METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN
A. Tempat dan Waktu Praktik Kerja Lapangan
Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan direncanakan selama 25 hari kerja di
Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta pada bulan Juli – Agustus 2013.
B. Materi Praktik Kerja Lapangan
Materi yang akan dikaji dalam Praktik Kerja Lapangan ini adalah :
1. Kondisi umum Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
a. Sejarah dan badan hukum
b. Lokasi, tata letak dan keadaan geografis
c. Produk yang dihasilkan
d. Struktur dan sistem organisasi di Balai
e. Ketenagakerjaan.
2. Kebutuhan air tanaman cabai
3. Teknik irigasi dan konservasi lahan
4. .Efisiensi penggunaan air pada tanaman cabai di lahan kering
5. Analisis SWOT
a. Kekuatan (Strength)
b. Kelemahan (Weakness)
c. Peluang (Opportunity)
d. Ancaman (Threat)
22
23. C. Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Metode yang digunakan dalam Praktik Kerja Lapangan ini adalah metode
observasi, yaitu melakukan pengamatan secara langsung terhadap objek yang
akan dikaji untuk memperoleh data yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya
dan juga berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang dilakukan di lapangan.
Adapun jenis dan teknik pengambilan data adalah sebagai berikut:
1. Data primer
Data primer didapatkan dengan melakukan pengamatan langsung di
lapangan dan turut berpartisipasi aktif dalam kegiatan di lapangan serta
wawancara dengan petugas di lapangan maupun dengan petani setempat.
2. Data sekunder
Data sekunder dapat diperoleh dari data-data yang dimiliki oleh Balai,
pustaka, jurnal penelitian maupun sumber-sumber lain yang mendukung data
primer.
D. Jadwal Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Praktik kerja lapangan akan dilaksanakan di Balai Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian Daerah Istimewa Yogyakarta selama 25 hari.
Jadwal pelaksanaan praktik kerja lapangan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Jadwal pelaksanaan praktik kerja lapangan
No.
Jenis Kegiatan
1.
2.
Minggu ke2
3
Observasi
Pengambilan data primer
dan sekunder
Penyusunan laporan
3.
1
23
4
24. DAFTAR PUSTAKA
Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes and M. Smith. 2000. Crop Evaporation. Irrigation
and Drainage Paper 56. Food and Agriculture Organization of the United
Nations, Rome.
Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit IPB (IPB Press), Bogor.
Ayers, R.S. and D.W. Westcot. 1985. Water quality for agriculture. Irrigation and
Drainage Paper 29, Rev. 1. Food and Agriculture Organization of the United
Nations, Rome.
Cambodia Harvest. 2012. Chili Pepper. Technical Bulletin #52, United State Agency
for International Development (USAID), Phnom Penh.
Dinas Pertanian Majalengka. 2012. Cabe (Capsicum annum). (On-Line),
http://distan.majalengkakab.go.id/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=88:cabe&catid=19:tanaman-hortikultura&Itemid=31 diakses 1 Juli
2013.
Faridah, S. N. 2012. Analisis Kebutuhan Air Tanaman Cabai (Capsicum annum L)
Berdasarkan Ketersediaan Air Tanah.
Hansen, V.E., O.W. Israelsen and G.E Stringham. 1986. Dasar-dasar dan Praktek
Irigasi. Terjemahan Endang. Erlangga, Jakarta.
Haryati, Umi. 2011. Irigasi Suplemen dan Strategi Implementasinya Pada
Pertanian Lahan Kering. Sinartani, Agroinovasi Edisi 6-12 Juli 2011
No.3413 Tahun XLI. Balai Penelitian Tanah, Bogor.
Haryati, U., A. Abdurachman dan K. Subagyono. 2012. Efisiensi Penggunaan Air
Berbagai Teknik Irigasi untuk Pertanaman Cabai di Lahan Kering pada
Typic Kanhapludult Lampung. Makalah diterbitkan pada Prosiding Seminar
Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor, 30 November-1 Desember 2010.
Islami, T. dan W. H. Utomo. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. IKIP
Semarang Press. Malang.
Krishnappa, A. M., Y. S. Arun Kumar, Murukannappa, and B. R. Hedge. 1999.
Improve in situ Moisture Conservation Practises for stabilized Crop yield in
Drylands. In Singh et al., (eds). Fifty Years of Dryland Agricultural.
Noeralam, A. 2002. Teknik Pemanenan Air yang Efektif dalam Pengelolaan
Lengas Tanah Pada Usahatani Lahan Kering. Desertasi Doktor. Program
Pasca Sarjana. Institut pertanian Bogor, Bogor.
24
25. Research in India. Central Research Institut for Dryland Agriculture.
Santoshnagar, Hyderabad – 500 059.
Schwab, G. O., R. K. Frevert, T. W. Edmister and K. K. Barnes. 1981. Soil and
Water Conservation Engineering. Third Edition. John Wiley & Sons, Inc.,
Canada.
Sudirman dan A. Abdurachman. 1981. Pengaruh kadar air tanah, mulsa, dan
pupuk organik terhadap pertumbuhan jagung dan pemakaian air. hlm. 297304 dalam Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah. Pusat Penelitian
Tanah, Bogor, 10-13 Nopember 1981.
Suwardjo. 1981. Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam konservasi Tanah dan Air
pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Fakultas Pasca Sarjana,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Tala’ohu, S. H., S. Sutono, dan Y. Soelaeman. 2003. Peningkatan produktivitas
lahan kering masam melalui penerapan teknologi konservasi tanah dan air.
Hal. 45 – 63 dalam Prosiding Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah
Masam, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bandar
Lampung, 29 – 30 September 2003.
Tanamal, Debby. 2005. Irigasi dan Bangunan Air. Modul Kuliah Irigasi dan
Bagunan Air. Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
25
26. Lampiran 1. Laporan Harian Praktik Kerja Lapangan
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
Jl. Dr. Soeparno Karangwangkal Telp. (0281) 638791 Purwokerto 53123
Laporan Harian Kegiatan Praktik Kerja Lapangan
Nama
: Nabilah Indri Iswari
NIM
: A1H010067
Tempat PKL : Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Waktu
No.
:
Tanggal
Kegiatan yang Dilakukan
26
Paraf
Pembimbing
Lapangan
28. Lampiran 2. Daftar Kajian
BIDANG KAJIAN
I.
KONDISI UMUM ORGANISASI
A. Sejarah dan Perkembangan Organisasi
B. Kondisi Geografi
C. Topografi dan Iklim
D. Tujuan Organisasi
II. SISTEM ADMINISTRASI ORGANISASI
A. Struktur Organisasi
B. Ketenagakerjaan
III. KEBUTUHAN AIR TANAMAN CABAI
A. Kondisi Iklim dan Cuaca Sekitar Lahan
B. Faktor Tanaman
C. Kondisi Lingkungan dan Manajemen Lahan
IV. METODE IRIGASI DAN KONSERVASI
A. Teknik Irigasi
B. Metode Konservasi Lahan
V. ANALISIS SWOT
A. Kekuatan (Strength)
B. Kelemahan (Weakness)
C. Peluang (Opportunity)
D. Ancaman (Threat)
28
29. Lampiran 3. Format Laporan Praktik Kerja Lapangan
FORMAT LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan dan Praktik Kerja Lapangan
C. Sasaran Praktik Kerja Lapangan
D. Manfaat Praktik Kerja Lapangan
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Cabai
B. Kebutuhan Air Tanaman
C. Kebutuhan Air Irigasi
D. Efisiensi Penggunaan Air
III.
METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN
A. Waktu dan Tempat Praktik Kerja Lapangan
B. Materi Praktik Kerja Lapangan
C. Metode Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
D. Jadwal Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
29
30. IV.
KONDISI UMUM ORGANISASI
A. Sejarah dan Perkembangan Organisasi
B. Kondisi Geografis
C. Topografi dan Iklim
D. Tujuan Organisasi
V.
SISTEM ADMINISTRASI ORGANISASI
A. Struktur Organisasi
B. Ketenagakerjaan
VI.
PEMBAHASAN
A. Karakteristik Tanah
B. Teknik Irigasi dan Konservasi
C. Kebutuhan Air pada Tanaman Cabai
D. Efisiensi Penggunaan Air pada Tanaman Cabai di Lahan Kering
VII.
ANALISIS SWOT
A. Kekuatan (Strength)
B. Kelemahan (Weakness)
C. Peluang (Opportunity)
D. Ancaman (Threat)
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
30