Jurnal Ilmiah ini memuat beberapa artikel pilihan dari mahasiswa maupun dosen Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana seperti terkait dengan persoalan Akta Pejabat Dalam Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing Di Atas Bidang Tanah Hak Milik Perorangan, Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan Upacara Keagamaan, Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu, Kedudukan Hukum Akta Notaris Dengan Perjanjian Simulasi Yang Memenuhi Syarat Formal Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan artikel lainnya. Artikel tersebut merupakan ringkasan hasil penelitian tesis mahasiswa yang sudah diuji dan dapat dipertahankan oleh mahasiswa dalam sidang ujian dihadapan dewan penguji dan Guru Besar.
3. i
KERTHA PERTIWI
Jurnal Ilmiah Magister Kenotariatan
(Scientific Journals of The Master of Notary)
ISSN 2252 – 380 X
Volume 08 (Edisi Khusus) Periode April 2014
Susunan Organisasi Pengelola
Penanggung Jawab
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum.
Pimpinan Redaksi
I Made Tjatrayasa, SH.,MH.
Mitra Bestari
Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH.,MS.,CN.
Dewan Redaksi
Prof. R.A. Retno Murni, SH.,MH.,Ph.D.
Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum.
Dr. I Gede Yusa, SH.,MH.
Dr. Ketut Westra, SH.,MH.
Penyunting Pelaksana
Drs. Yuwono, SH.,M.Si.
Ngakan Ketut Dunia, SH.,MH.
Kadek Sarna, SH.,M.Kn.
I Made Walesa Putra, SH.,M.Kn.
Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH.,M.Kn.
Petugas Administrasi dan Keuangan
Ni Putu Purwanti, SH.,M.Hum.
Wiwik Priswiyanti, A.Md.
I Putu Artha Kesumajaya
I Gde Chandra Astawa Widhiasa
Luh Komang Srihappy Widyarthini, SH.
I Made Suparsa
I Ketut Wirasa
I Gusti Bagus Mardi Sukmawan, Amd. Kom.
Alamat Redaksi
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah Denpasar
Telp. : (0361)264812. Fax (0361)264812
E-mail : notariat@fl.unud.ac.id
Website : http://www.fl.unud.ac.id/notariat/
Gambar Cover : Keindahan Alam Indonesia
Kertha Pertiwi merupakan jurnal ilmiah yang diterbitkan dua kali setahun ( April
dan Oktober) yang memuat informasi tentang berbagai aspek hukum Kenotariatan
dari : (1) hasil penelitian, (2) naskah konseptual/opini , (3) resensi buku, dan info
Kenotariatan actual lainnya
4. ii
PENGANTAR REDAKSI
Om, Swastyastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa oleh karena atas perkenan dan rahkmat-Nyalah Jurnal Ilmiah Program Studi
Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana periode April Tahun 2014
(Edisi Khusus) dapat diselesaikan. Disusunnya Jurnal Ilmiah Prodi M.Kn. Unud. ini
dimaksudkan untuk dapat sebagai referensi dan informasi terkait dengan berbagai persoalan
dalam bidang Hukum Kenotariatan bagi mahasiswa, dosen serta masyarakat pembaca.
Jurnal Ilmiah ini memuat beberapa artikel pilihan dari mahasiswa maupun dosen
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana seperti terkait dengan persoalan Akta
Pejabat Dalam Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing Di Atas Bidang Tanah Hak Milik
Perorangan, Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan
Upacara Keagamaan, Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu,
Kedudukan Hukum Akta Notaris Dengan Perjanjian Simulasi Yang Memenuhi Syarat Formal
Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris dan artikel lainnya. Artikel tersebut merupakan
ringkasan hasil penelitian tesis mahasiswa yang sudah diuji dan dapat dipertahankan oleh
mahasiswa dalam sidang ujian dihadapan dewan penguji dan Guru Besar.
Dengan diterbitkannya Jurnal Ilmiah periode April Tahun 2014 (Edisi Khusus) ini
diharapkan dapat sebagai bahan evaluasi penyelenggaraan pendidikan didalam mewujudkan
visi dan misi serta tujuan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas
Udayana. Kami juga memberikan kesempatan kepada semua pihak yang kompeten dan
pemerhati bidang Hukum Kenotariatan baik di dalam maupun di luar lingkungan Universitas
Udayana untuk berpartisipasi dalam menulis artikel ilmiah dengan tetap mentaati semua
aturan atau ketentuan yang tercantum dalam Jurnal Ilmiah ini. Akhirnya, semoga Jurnal
Ilmiah ini bermanfaat untuk semua pihak.
Om, Santih, Santih, Santih, Om.
Denpasar, April 2014
Redaksi
5. iii
DAFTAR ISI
Hlm
Susunan Organisasi Pengelola ………………………………………………………………….. i
Pengantar Redaksi ………………………………………………………………………………. ii
Daftar isi ………………………………………………………………..................................... iii
Akta Pejabat Dalam Kepemilikan Rumah Oleh Orang Asing Di Atas Bidang Tanah Hak
Milik Perorangan
Ida Bagus Ketut Suardana …….……………………………………………………………….. 1
Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil Tanpa Melakukan Upacara
Keagamaan
I Gusti Ayu Candika Puspasari ………………………………………………………………… 9
Pengakhiran Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Tanpa Batas Waktu
Komang Linda Harmayanti ……………………………………………………………………. 18
Kedukan Hukum Akta Notaris Dengan Perjanjian Simulasi Yang Memenuhi Syarat
Formal Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris
Komang Asri .........………………………………………………………………………………. 27
Perlindungan Hukum Atas Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian CODO
(Company Owned Dealer Operated) Antara Pihak Pertamina Dengan Mitra Usaha SPBU
I Ketut Sugiartha …………………………….………………………………………………….. 34
Kajian Yuridis Terhadap Kewajiban Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(CSR) Bagi Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
I Wayan Suhartana …………………………….………………………………………………. 43
Penyelesaian Sengketa Yang Timbul Dari Akta Nominee Yang Berisi Peralihan Hak Milik
Atas Tanah Kepada Warga Negara Asing Berdasarkan Pasal 26 Ayat (2) UUPA
Ni Putu Sanatha Sarathy Lodra …………………………….…………………………………..
Penyelesaian Sengketa Sertipikat Ganda Hak Milik Atas Sebidang Tanah melalui
Pengadilan Di Denpasar
I Putu Sugandika Putra …………………………….……………………………………………
Fungsi Notaris Dalam Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan
Yang Dibubuhi Dengan Cap Jempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan
I Made Mulyawan Subawa ……………………………………………………………………..
51
57
64
6. iv
Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pendirian Perseroan Terbatas Oleh
Pasangan Suami Istri Tanpa Perjanjian Kawin
Anak Agung Putri Aprilina …..…………………………………………………………………
Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Atas Tanah Setelah Terbakarnya Kantor
Pertanahan
Luh Putu Widyastuti ……………………………………………………………………………..
Akibat Hukum Klausula Pertelaan Dalam Keadaan Memaksa (Overmacht) Terhadap
Kepemilikan Satuan Rumah Susun
Ni Luh Putu Laksmi Puspitasari ………………………………………………………………….
Lampiran
Petunjuk Penulisan Artikel
74
84
96
7. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 1
AKTA PEJABAT DALAM KEPEMILIKAN RUMAH OLEH ORANG ASING
DI ATAS BIDANG TANAH HAK MILIK PERORANGAN
Oleh :
Ida Bagus Ketut Suardana*, I Made Subawa**, I Ketut Westra***
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Email:
Abstract
THE DEED OF FUNCTIONARY IN OWNERSHIP OF HOUSE BY FOREIGNER
ABOVE THE LAND AREA OF INDIVIDUAL PROPERTY RIGHT
The State of Indonesia was opened opportunity to foreigner for have invesment, so the
governmental give opportunity to foreigner to have house as its residence through Right of Property and
Lease right for the building of which was made in an agreement. This matter was arranged by Section 3
Art (2) PP No. 41 Year 1996 specifying "Agreement written as referred to in art (1) have to be made with
Functionary Maker Deed of land Deed". The conception of "agreement written" that enable interpretation
what was only 1 (one) or enabled by the existence of other deed, so that show dimness of norm. Therefore,
by normative legal research, the problem of this research were arrangement form act which was made in
ownership of house by foreigner above land of personal property and legal consequences of the deed of
ownership of house by foreigner above land personal property constituted to the deed impinge law.
Result of the research indicate the regulation form of the agreement deed was made by foreigner
in ownership of house above land of individual property through the informal and legal formal. The act of
legal formal be done through making agreement that] registered in the form of Notary/PPAT deed for
registered to The Regency/ Municipality Land Office as rights pallet publication of the Right of Property
or Rent Rights for the Building of above land of individual property. Meanwhile, the legal informal act
was done through the making underhand deed which was made between foreigner with Indonesia Citizen
by format according to their agreement based of goodness or not good faith, like agreement confession of
debt, nominee agreement. Legal consequences to the deed of ownership of house by foreigner above land
of individual property constituted to the deed impinge law was pertinent act of cancelation for the shake
of law or can be canceled through the jurisdiction process.
Key words : Deed, Foreigner, Property Rights, House
* Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2011/2012
** Pembimbing I
***PembimbingII
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Memasuki dan meluasnya era globalisasi
perekonomian dunia, banyak negara yang
sebelumnya sangat tertutup bagi investasi asing
sekarang telah membuka kesempatan kepada
investor dalam rangka percepatan pembangunan
ekonomi negara bersangkutan. Demikian pula
halnya Negara Indonesia saat ini telah membuka
diri bagi investasi asing, termasuk di bidang
pertanahan. Namun demikian, kehadiran orang
asing di Indonesia tidak semata-mata untuk tujuan
investasi, ada juga dengan maksud untuk
menikmati keindahan alam Indonesia berupa
sumber daya alam seperti sumber daya alam
hayati dan sumber daya alam non hayati melalui
kegiatan kepariwisataan.
Sehubungan dengan kebijakan
Pemerintah di bidang perumahan (hunian) bagi
orang asing, beberapa ketentuan yang
mengaturnya dapat ditemukan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU,
HGB dan Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya
ditulis PP No. 40 Tahun 1996) maupun Peraturan
Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian
oleh Orang Asing yang berkedudukan di
Indonesia (selanjutnya ditulis PP Nomor 41
Tahun 1996).
Orang asing dimungkinkan memiliki
rumah di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah
Negara atau tanah yang dikuasai berdasarkan
perjanjian dengan pemegang hak atas tanah. Pasal
3 ayat (2) PP No. 41 Tahun 1996 menetapkan
“Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dibuat dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah”. Persoalannya, bagaimana
format dan isi akta yang mengaturnya, tidaklah
ditemukan lebih lanjut dalam norma-norma
berikutnya maupun dalam penjelasan Pasal 3 ayat
(2) PP No. 41 Tahun 1996. Hal itu menunjukkan
adanya kekaburan norma terkait perjanjian tertulis
yang dimaksudkan. Dengan penormaan seperti itu
akan dimungkinkan adanya penafsiran apakah
hanya 1 (satu) Akta PPAT atau dimungkinkan
adanya akta lain sebagai dasar lahirnya Akta
PPAT yang dimaksudkan. Oleh karena itu,
penelitian tentang “Akta Pejabat dalam
kepemilikan rumah oleh orang asing di atas
bidang tanah Hak Milik Perorangan” menjadi
aktual dan menarik untuk dilakukan.
8. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 2
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang
telah dikemukakan di atas, adapun permasalahan
yang akan dibahas melalui tesis ini adalah:
a. Bagaimanakah pengaturan bentuk akta yang
dibuat dalam kepemilikan rumah oleh orang
asing di atas tanah milik perorangan ?
b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta
kepemilikan rumah oleh orang asing di atas
tanah milik perorangan yang didasari atas
perbuatan melanggar hukum ?
1.3. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif yang menggunakan pendekatan
konseptual dan pendekatan perundang-undangan.
Bahan hukum yang dipergunakan penelitian ini
berasal dari hasil penelitian kepustakaan berupa
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
yang diperoleh melalui tehnik telaahan
kepustakaan. Bahan hukum yang telah
terkumpulkan tersebut terlebih dahulu dilakukan
deskripsi dengan penguraian proposisi-proposisi
hukum dan non hukum yang dijumpai,
diinterpretasikan untuk selanjutnya
disistematisasi, dievaluasi serta diberikan
argumentasi untuk mendapatkan simpulan atas
kedua permasalahan.
II. Pembahasan
2.1. Kewenangan Notaris/PPAT dalam
menetapkan Akta
Notariat berasal dari kata Latin yakni
Notariaat, sedangkan Notaris dari Notarius
(Notarui) diartikan “orang yang menjalankan
pekerjaan menulis”1
. Secara historis, institusi
notariat merupakan salah satu cabang dari profesi
hukum yang tertua di dunia.2
Notaris memberikan
pelayanan jasa hukum kepada masyarakat umum
dalam bidang hukum perdata, yang termasuk
dalam bidang hukum publik.3
Adapun yang
dimaksud Notary Public dalam Black‟s Law
Dictionary adalah “A person authorized by a state
to administer oaths, certify documents, attest to
the authenticity of signatures, and perform
official acts in commercial matters”4
Dari
pernyataan ini dapat disimak bahwa notaris
adalah seseorang yang ditunjuk oleh negara utnuk
mengambil sumpah, menerangkan isi sesuatu
dokumen, mengesahkan keaslian tanda tangan
dan menjalankan pekerjaan resmi lainnya yang
ditentukan dibidang komersil. Hal itu
1
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993,
Hukum Notariat Indonesia, Suatu. Penjelasan,
Rajawali, Jakarta, hal. 82
2
Ibid.
3
Henny Tanuwidjaja, 2012, Pranata
Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga
Hukum Notariat, Refika Aditama, Bandung, hal.
1.
4
Henry Campbell Black, 1991, Black‟s
Law Dictionary, West Publishing & Co, St. Paul,
Minnesota, hal.1085.
menyebabkan bahwa sejak ada hukum
pembuktian maka lembaga notariat tidak hanya
ditugaskan untuk menulis, tetapi juga sebagai
lembaga pembuktian yang melahirkan suatu akta
otentik. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal
1870 KUHPerdata dengan menetapkan bahwa
yang dapat menjadi alat bukti sempurna adalah
akta otentik sehingga lahirlah lembaga
kenotariatan.
Mengenai tugas dan wewenang notaris
berhubungan dengan perjanjian-perjanjian,
perbuatan-perbuatan dan juga ketetapan-ketetapan
yang menimbulkan hak dan kewajiban antara para
pihak. Notaris dalam hal ini memberikan jaminan
atau alat bukti terhadap perbuatan, perjanjian, dan
juga ketetapan tersebut agar para pihak yang
terlibat didalamnya mempunyai kepastian hukum
dengan maksud untuk membantu dan melayani
masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis
yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa
atau perbuatan hukum5
. Dengan dasar seperti ini
mereka yang diangkat sebagai notaris harus
mempunyai semangat untuk melayani
masyarakat. Oleh karena itu, notaris merupakan
suatu jabatan publik yang mempunyai
kewenangan tertentu.
Mengenai kewenangan seorang notaris,
dapat disimak pada ketentuan Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Jabatan Notaris yang
menetapkan sebagai berikut:
Notaris berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanajian, dan
ketetapan yang diharuskan oleh peraturan
perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki
oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu
sepanjang pembuatan akta-akta itu juga
ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain
yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Ketentuan di atas menunjukkan wewenang yang
dimiliki oleh seorang Notaris bersifat umum,
sedangkan wewenang para pejabat lainnya untuk
membuat akta otentik hanya ada, apabila oleh
Undang-Undang dinyatakan secara tegas, bahwa
selain Notaris, mereka juga turut berwenang
membuatnya atau untuk pembuatan suatu akta
tertentu.
Mengkaji Pasal 1 Undang-Undang
Jabatan Notaris dapat disimak bahwa notaris
merupakan satu-satunya pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik, kecuali
Undang-Undang menugaskan atau mengecualikan
kepada pejabat lain atau orang lain. Kata satu-
satunya di sini dimaksudkan untuk memberikan
penegasan, bahwa notaris merupakan satu-
satunya yang mempunyai wewenang umum itu,
tidak turut pada pejabat lainnya. Mengingat akan
hal tersebut, maka Frans Hendra Winata
5
Habib Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan
Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, Bandung, PT. Refika Aditama, hal. 32.
9. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 3
mengemukakan ada beberapa pertimbangan
yuridis yang harus diperhatikan notaris, antara
lain: 6
a) Notaris adalah pejabat publik yang bertugas
untuk melaksanakan jabatan publik.
b) Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak
boleh mencemarkan nama baik dari korps
pengemban profesi hukum.
c) Notaris dalam menjalankan tugasnya tidak
boleh mencemarkan nama baik dari lembaga
notaris.
d) Notaris bekerja dengan menerapkan hukum
di dalam produk yang dihasilkan,
Oleh karena itu, setiap notaris diharapkan
senantiasa meningkatkan jabatannya untuk
senantiasa menjunjung tinggi keluhuran dari
martabat dan tugas jabatannya, serta menjalankan
tugas dengan memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh perundang-undangan.
Sementara itu berkaitan dengan PPAT,
pada awalnya belum dikategorikan sebagai
pejabat umum, tetapi sebagai PPAT saja. PPAT
dikategorikan atau disebut sebagai pejabat umum
setelah diatur pada Pasal 1 ayat (4) Undang-
Undang No. 4 Tahun 1966 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, yang menetapkan
bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang
selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum
yang diberi wewenang untuk membuat akta
pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak
atas tanah dan akta pemberian kuasa
membebankan hak tanggungan menurut peraturan
perundang-undangan”. Menurut Boedi Harsono,
adapun yang dimaksud dengan pejabat umum
adalah orang yang diangkat oleh Instansi yang
berwenang, dengan tugas melayani masyarakat
umum di bidang atau kegiatan tertentu7
.
Keberadan PPAT sebagai pejabat umum
juga ditegaskan dalam Pasal 1 angka 24 PP No.
24 Tahun 1997 (pengganti PP No. 10 Tahun
1961) tentang Pendaftaran Tanah yang
menentukan bahwa “Pejabat Pembuat Akta
Tanah, sebagaimana disebut PPAT adalah pejabat
umum yang diberi kewenangan untuk membuat
akta-akta tanah tertentu” Secara khusus
keberadaan PPAT lebih lanjut diatur dalam PP No
37 Tahun 1998 yang menentukan “PPAT adalah
pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk
membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik
atas satuan rumah susun”. Dengan demikian,
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) secara
normatif dikualifikasikan sebagai pejabat umum
dan diberi kewenangan untuk membuat akta
otentik tentang peralihan hak dan pembebanan
6
Frans Hendra Winata, 2005, Persepsi
Masyarakat Terhadap Profesi Hukum di
Indonesia, Renvoi Periode Desember 2005,
Jakarta, hal. 12.
7
Urip Santoso, 2005, Hukum Agraria dan
Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media
Group Jakarta, hal.35.
hak atas tanah. Dengan kata lain, untuk
melaksanakan sebagian tugas pokok kegiatan
pendaftaran tanah maka seorang PPAT
mempunyai kewenangan membuat Akta PPAT
yang bersifat otentik mengenai semua perbuatan
hukum yang berkaitan dengan peralihan hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang
terletak di dalam daerah kerjanya.
Sebagai pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik
mengenai perbuatan hukum tertentu terkait hak
atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun,
maka PPAT mempunyai tugas pokok
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah. Hal itu berarti setiap perjanjian yang
bermaksud memindahkan hak atas tanah,
memberikan sesuatu hak baru atas tanah,
menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan
hak atas tanah sebagai tanggungan, harus
dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh
dan di hadapan pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri Agraria. Oleh sebab itu, sesungguhnya
fungsi PPAT dalam mewujudkan tertib
administrasi pertanahan menjadi penting dan
strategis, terutama dalam hal terjaminnya
kepastian hukum baik mengenai status tanah
maupun kejelasan para pihak serta proses
peralihan hak atas tanah. Dengan kata lain,
jabatan PPAT menurut PP No. 37 Tahun 1998
mempunyai peranan yang sangat penting dalam
pemeliharaan data pendaftaran tanah, yaitu
dengan membuat alat bukti mengenai telah
terjadinya perbuatan hukum mengenai sebidang
tanah tertentu yang kemudian dijadikan dasar
untuk mendaftarkan perubahan data yuridis yang
diakibatkan oleh perubahan hukum itu. Oleh
karena itu, adapun mengenai fungsi dan tugas
PPAT sebagai pejabat umum yang membantu
melaksanakan tugas di bidang pendaftaran tanah
adalah:8
1. sebagai pejabat umum yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan diberi
wewenang untuk membuat akta pemindahana
hak dan pembebenan hak tanggungan atas
tanah sebagai alat bukti otentik.
2. sebagai pelayan masyarakat yang bertujuan
untuk mencapai kesejahteraan bagi rakyatnya
sehingga PPAT berkewajiban memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pihak
yang memerlukan.
3. sebagai perekam dari perbuatan-perbuatan
hukum (recording of dead conveyance)
sehingga PPAT wajib mengkonstatir kehendak
para pihak yang telah mencapai suatu
kesepakatan di hadapan mereka.
4. mengesahkan perbuatan hukum diantara para
pihak yang bersubstansi:
a. pengesahan tanda tangan pihak-pihak
yang mengadakan perbuatan hukum
8
Irwan Soerodjo, 2003, Kepastian
Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Disertasi
Program Pascasarjana Unair, Surabaya, hal. 149-
154.
10. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 4
b. penjaminan kepastian tanggal
penandatanganan akta
5. membantu kepala kantor pertanahan dalam
pendaftaran tanah agar tercipta tertib
administrasi pertanahan.
6. menyampaikan secara tertib dan periodik atas
semua akta-akta yang dibuat oleh atau di
hadapannya kepada kantor pertanahan dalam
waktu paling lama 7 hari kerja setelah
penandatanganan akta-akta tersebut, serta
mengirimkan laporan bulanan mengenai akta-
akta yang dibuatnya kepada kantor
pertanahan.
Tidak jauh berbeda dengan wewenang
Notaris, adapun wewenang PPAT meliputi 4
(empat) hal terkait dengan substansi, orang,
tempat dan waktu sebagai berikut :
a. Berwenang membuat akta sepanjang
menyangkut substansi akta yang harus
dibuat.
Wewenang ini merupakan pembatasan,
bahwa PPAT tidak boleh melakukan tindakan di
luar wewenangnya sehingga dapat dikatagorikan
sebagai perbuatan sewenang-wenang. PPAT
sebagai pejabat umum mempunyai tugas pokok
dan kewenangan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 PP No. 37 Tahun
1998. Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 ditetapkan tugas
pokok PPAT sebagai berikut:
Seorang PPAT bertugas pokok
melaksanakan kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu, mengenai hak atas
tanah atau hak milik atas satuan rumah susun,
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang
diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 menetukan
perbuatan hukum yang dimaksud adalah : 9
1) Jual beli tanah-tanah hak milik, hak guna
bangunan dan hak pakai
2) Tukar menukar hak atas tanah
3) Hibah hak atas tanah
4) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)
5) Pembagian hak bersama
6) Pemberian hak guna bangunan
7) Pemberian hak tanggungan
8) Pemberian kuasa membebankan hak
tanggungan.
Disamping berwenang untuk membuat
kedelapan jenis akta tersebut, PPAT juga
berwenang untuk membuat perjanjian tentang
pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh
orang asing yang berkedudukan di Indonesia
berdasarkan Pasal 3 ayat (22) Peraturan
9
Ali Achmad Chomzah, 2004, Hukum
Agraria (Pertanahan) Indonesia, Prestasi Pustaka
Publisher, Jakarta, hal. 69.
Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang
Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh
Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia.
b. PPAT berwenang sepanjang mengenai orang
dan untuk siapa akta itu dibuat
Kewenangan ini berkaitan dengan usaha
untuk menjaga netralitas PPAT dalam pembuatan
akta. Adapun mengenai pembatasan yang harus
dipatuhi oleh PPAT dalam pembuatan akta diatur
pada Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998
yang menentukan :
PPAT dilarang membuat akta, apabila
PPAT sendiri, suami atau istrinya, keluarga
sedarah atau semenda, dalam garis lurus tanpa
pembatasan derajat dan dalam garis kesamping
sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam
perbuatan yang bersangkutan, baik dengan cara
bertindak sendiri maupun melalui kuasa, atau
menjadi kuasa dari pihak lain.
c. PPAT berwenang sepanjang mengenai
tempat, dimana akta itu dibuat.
Pengaturan tentang tempat atau wilayah
kerja PPAT dijumpai pada Pasal 12 ayat (3) dan
ayat (4) PP No. 37 Tahun 1998, yang pada
hakikatnya dalam 1 (satu) wilayah
kabupaten/kota. Hal ini tentu berbeda dengan
wilayah kerja PPAT Sementara yang dijabat oleh
Camat dengan wilayah kerja terbatas pada
wilayah kecamatan bersangkutan. Hal ini sejalan
dengan pendapat A.P. Parlindungan yang
menyatakan bahwa “Peralihan hak atas tanah itu
dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah dari daerah di mana tanah atau persil itu
ada, jadi berarti tidak mungkin seorang Pejabat
Pembuat Akta Tanah membuat Akta PPAT diluar
daerah wewenangnya”.10
d. PPAT harus berwenang sepanjang mengenai
waktu pembuatan akta
PPAT dalam menjalankan tugas
jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya
tidak dalam keadaan cuti, sakit atau diberhentikan
sementara waktu. Agar tidak terjadi kekosongan
maka Pasal 31 PP No. 37 Tahun 1998
menegaskan bahwa selama PPAT diberhentikan
untuk sementara atau menjalani cuti maka tugas
kewenangan PPAT dapat dilaksanakan oleh
PPAT pengganti atas permohonan PPAT yang
bersangkutan.
Uraian di atas menunjukkan kewenangan
PPAT adalah membuat akta otentik atas
perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan
hak milik atas satuan rumah susun yang terletak
di daerah kerjanya. Akta PPAT merupakan
produk yang dibuat oleh PPAT untuk
membuktikan perbuatan hukum pihak-pihak
mengenai hak atas tanah, dan bukan bukti atau
bukan perbuatan hukum PPAT sendiri.
Selanjutnya untuk memenuhi sifat otentik dari
10
A.P. Parlindungan, 1985, Pedoman
Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara PPAT,
Alumni, Bandung, hal.26.
11. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 5
suatu akta PPAT, maka dalam proses pembuatan
suatu akta, substansi akta harus dibacakan oleh
PPAT sendiri. Kewajiban ini diamanatkan pada
Pasal 22 PP No. 37 Tahun 1998 yang
menentukan “Akta PPAT harus
dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak
dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi sebelum ditandatanganinya seketika
itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT”.
2.2. Kepemilikan Rumah oleh Orang Asing di
atas Tanah Hak Milik Perorangan
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
menunjukkan bahwa hubungan antara negara
dengan bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya merupakan hubungan
penguasaan.11
Berkenaan dengan makna dikuasai
oleh Negara yang dimaksud dalam Pasal 33 UUD
1945, Mahkamah Konstitusi menyatakan
pendiriannya sebagaimana tertuang dalam
Putusan Mahkamah Nomor 001-021-022/PUU-
I/2003 yang disebutkan dalam Putusan Perkara
Nomor 002/PUU-I/2003 yang pada hakikatnya
menetaokan bahwa konsep “dikuasai oleh
negara” tidak diartikan sebagai pemilikan dalam
arti perdata (privat) atau diartikan hanya sebatas
sebagai hak untuk mengatur, karena hal demikian
sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-
fungsi negara. Oleh karena itu, pengertian
“dikuasai oleh negara” seharusnya dimaknai
dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan
dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas
segala sumber kekayaan bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, termasuk
pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber
kekayaan dimaksud. Rakyat dikonstruksikan oleh
UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk membuat kebijakan (beleid) dan tindakan
pengurusan (bestuursdaad), pengaturan
(regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan
pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam
rangka menjabarkan amanat di atas, maka UUPA
mengembangkan beberapa asas yang menjiwai
pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan
pelaksanaannya. Asas-asas tersebut antara lain :
a. Asas nasionalitas
b. Asas pada tingkatan yang tertinggi, bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara.
c. Asas semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial.
d. Asas hanya warga Negara Indonesia yang
dapat mempunyai hak milik atas tanah.
e. Asas persamaan bagi setiap warga Negara
Indonesia.
11
Muhammad Bakri, 2007, Hak
Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru
Untuk Reformasi Agraria, Citra Media,
Yogyakarta, hal. 1.
Dari beberapa asas tersebut dapat
disimak bahwa yang menjiwai adanya larangan
pemindahan hak milik atas tanah kepada orang
asing adalah asas nasionalitas, sehingga hanya
warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai
hak milik atas tanah sebagaimana diatur pada
Pasal 26 ayat (2) UUPA. Sementara itu,
Pemerintah Indonesia dalam menyikapi
kebutuhan orang asing akan tempat tinggal di
Indonesia, telah berupaya mempertegas status
hukum kepemilikan dengan dikeluarkannya PP
No. 41 Tahun 1996.
2.3. Jenis Akta Dalam Kepemilikan Rumah oleh
Orang Asing
Munculnya PP No. 41 Tahun 1996
sebagai aturan tentang pemilikan hunian bagi
orang asing di Indonesia merupakan langkah
antisipasif yang dilakukan Pemerintah sebagai
upaya menanggapi adanya fenomena globalisasi
dunia yang membawa dampak bagi mobilitas
manusia dari berbagai negara di Indonesia.
Maksud dari adanya produk hukum PP No. 41
Tahun 1996 adalah untuk lebih menjamin
kepastian hukum dalam kemungkinan pemilikan
rumah tempat tinggal bagi orang asing di
Indonesia.
Untuk kepastian hukum dalam pemilikan
rumah bagi orang asing maka diperlukan adanya
perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang
asing. Pembuatan akta-akta perjanjian dalam
pemilikan rumah dan/atau penguasaan tanah
untuk rumah tinggal merupakan bentuk perbuatan
hukum yang dilakukan oleh subyek hukum (orang
atau badan hukum) dalam lapangan hukum
perdata Orang sebagai subyek hukum yang
melakukan perjanjian meliputi orang yang
berstatus Warga Negara Indonesia atau yang
berstatus orang asing. Salah satu wujud hasil
perbuatan hukum orang asung adalah berupa
sertipikat kepemilikan atas tanah dan bangunan.
Sertipikat tersebut digunakan sebagai alat bukti
kepemilikan yang sah yang dapat dipunyai oleh
orang asing tersebut yang sebelumnya telah
didaftarkan di Kantor Pertanahan setempat.
Sementara itu secara substansi, menurut
Pasal 38 ayat (1) UUJN dikemukakan bahwa
setiap akta Notaris terdiri atas Kepala Akta,
Badan Akta dan Akhir akta. Ketentuan Pasal 38
ayat (1) UUJN bersangkutan selengkapnya
menyatakan sebagai berikut :
1) Setiap akta notaris terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan
Notaris.
3) Badan Akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan,
12. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 6
kedudukan, tempat tinggal para
penghadap dan/atau orang yang mereka
wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan
bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan
keinginan dari pihak yang
berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dan tiap-tiap saksi
pengenal.
4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan
tempat penandatanganan atau
penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta;
dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan
yang terjadi dalam pembuatan akta atau
uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan,
atau penggantian.
5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti
Khusus, dan Pejabat sementara Notaris,
selain memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), juga memuat nomor dan tanggal
penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
Mengenai bentuk-bentuk akta yang
dibuat dihadapan Notaris oleh orang asing dengan
maksud mengikat warga Negara Indonesia dalam
kepemilikan rumah di atas tanah hak milik
perorangan, antara lain berupa :12
a) Akta Pengakuan Hutang. Akta ini dibuat oleh
orang asing (pihak kreditur) dengan Warga
Negara Indonesia (pihak debitur). Adapun
hubungan hukum antara pihak kreditur dengan
debitur diformulasikan berkenaan dengan
adanya pengakuan debitur telah meminjam
sejumlah uang kepada pihak kreditur, adanya
kewajiban pelunasan dalam jangka waktu
yang sama dengan perjanjian sewa menyewa
tanah (25 tahun), jumlah pinjaman yang tidak
dikenakan bunga seperti lazimnya perjanjian
utang piutang pada umumnya dan kreditur
menggunakan sarana UU Hak Tanggungan
dengan cara obyek jaminan tanah hak milik
perorangan yang dibebani dengan hak
tanggungan.
b) Akta Kuasa Substitusi. Akta ini dibuat oleh
Warga Negara Indonesia (sebagai pihak
pemberi kuasa) dengan orang asing (sebagai
12
Nyoman Sumardika, 2007, Penguasaan
Tanah oleh Warga Negara Asing di Kabupaten
Badung, Tesis, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, hal. 102-104.
pihak penerima kuasa) dengan pemberian hak
substitusi, yakni khusus mewakili atau
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa
mengurus segala urusannya, memperhatikan
kepentingannya, mempertahankan dan
mewakili hak-haknya. Kuasa tersebut pada
umumnya dibuat untuk keperluan
menyewakan dan mengurus perizinan yang
dibutuhkan dalam membangun rumah,
melakukan semua perjanjian tanpa terkecuali
yang menyangkut tindakan pengurusan,
mengisi semua surat pemberitahuan pajak,
menandatangani dan memasukkannya, bahkan
melakukan keberatan terhadap penetapan,
menandatangani dan mengajukan surat-surat
lainnya dan selanjutnya melakukan segala
sesuatu mengenai urusan pajak yang
diwajibkan kepada pemberi kuasa tanpa suatu
pengecualian.
c) Akta Sewa Menyewa Tanah. Akta ini dibuat
oleh pihak yang menyewakan (Warga Negara
Indonesia) dengan penyewa (orang asing).
Hubungan hukum antara pihak yang
menyewakan dengan penyewa diformulasikan
berkaitan dengan hak dan kewajiban masing-
masing pihak, jangka waktu sewa menyewa,
besarnya nilai sewa, serta jaminan
perlindungan hukum kepada penyewa bahwa
obyek sewa terlepas dari sengketa dan
gangguan dari pihak lain, Disamping itu juga
dapat dimuat kewajiban perpajakan, kewajiban
mentaati peraturan yang ada dan yang akan
ada, dan larangan pembatalan/penghentian
perjanjian sewa menyewa karena salah satu
pihak meninggal dunia.
d) Akta Kuasa Roya. Akta ini dibuat oleh pihak
pemberi kuasa (Warga Negara Indonesia)
dengan penerima kuasa (Orang asing) untuk
melakukan penyerahan/ peralihan hak dan
tanggung jawab dari pemberi kuasa kepada
penerima kuasa. Kuasa Roya mengatur hak
penerima kuasa, khusus untuk mewakili dan
bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa
untuk meroya dan menyelesaikan semua
kewajiban utang piutang pemberi kuasa dan
mengambil asli sertifikat. Penerima kuasa juga
berhak menghadap pada pejabat berwenang di
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat
untuk membuat, minta dibuatkan, dan
menandatangani semua dokumen yang
diperlukan untuk permohonan roya tersebut.
Akta lainnya yang juga dibuat dihadapan
Notaris terkait dengan penguasaan tanah oleh
orang asing adalah Akta Kuasa Menggunakan dan
Mendirikan Bangunan dan Akta Kuasa
Menyewakan, Akta Pernyataan dan Kuasa, Akta
Pemberian Hak Tanggungan, dan Akta Kuasa
Menjual, Akta Perjanjian Pembaharuan Hak Guna
Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Akta Perjanjian
Pendahuluan Pemberian Hak Pakai Atas Tanah
Hak Milik, Akta Perjanjian Pembaharuan Hak
Pakai Atas Tanah Hak Milik, Akta Kuasa Roya,
dan Akta Perpanjangan Sewa Menyewa.
13. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 7
Dengan demikian dapat disimak bahwa
pengaturan penguasaan tanah oleh orang asing
untuk memiliki rumah di atas tanah milik
perorangan dilakukan melalui perbuatan hukum
formal dan informal. Perbuatan hukum formal
dilakukan melalui pendaftaran hak ke instnasi
yang berwenang, seperti Kantor Pertanahan, atau
melalui pembuatan akta otentik dengan bantuan
Notaris, PPAT. Sementara itu, perbuatan hukum
informal dilakukan melalui pembuatan akta di
bawah tangan (perjanjian para pihak) yang dibuat
antara orang asing dengan Warga Negara
Indonesia dengan format sesuai kesepakatan
mereka. Namun demikian, beberapa substansi
akta Notaris dalam rangka lepemilikan rumah
oleh orang asing di atas tanah hak milik
perorangan tidak sepenuhnya mencerminkan
prinsip itikad baik. Hal ini dapat disimak antara
lain dalam pemberian kuasa yang diberikan tidak
dapat ditarik kembali dan tidak akan berakhir
kerena sebab-sebab yang termaktub dalam Pasal
1813 KUH Perdata. Dalam hal ini, substansi Akta
Kuasa sebagaimana diuraikan diatas merupakan
kuasa mutlak dan hal ini bertentangan dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Pada Akta
Pengakuan Hutang dengan jaminan tanah hak
milik sering dijumpai adanya klausula seperti
tidak ada ketentuan mengenai bunga dan jangka
waktu peminjaman. Ini berarti perjanjian utang
piutang tersebut berlaku sepanjang pihak-pihak
menghendaki dan mencerminkan tidak adanya
kepastian mengenai batas waktu sampai kapan
perjanjian tersebut akan berakhir. Dengan tidak
ditentukannya batas waktu peminjaman uang,
berarti tanah yang dijaminankan akan tetap
dikuasai oleh pihak pertama (orang asing). Pada
pihak lain juga dijumpai adanya klausula kuasa
dalam akta yang mengatur pihak pertama
mendapat kuasa atas tanah tersebut baik itu kuasa
pembebanan jaminan, hak substitusi untuk
menjual, menggunakan dan mendirikan bangunan
diatas tanah tersebut, serta menyewakan tanah
dan bangunan yang ada diatasnya, termasuk
penguasan dokumen-dokumen jaminan tersebut.
Kuasa yang diberikan dalam perjanjian tersebut
adalah kuasa mutlak, suatu indikasi kepentingan
pihak pertama ingin menguasai tanah tersebut
dalam keadaan apapun juga. Pada Akta
Pernyataan dan Kuasa yang dalam substansinya
menyebutkan bahwa, Warga Negara Indonesia
sebagai pemilik/pemegang hak atas sebidang
tanah Hak Milik, menyatakan bahwa jumlah uang
yang dipakai untuk membeli tanah dan bangunan
berasal dari orang asing. Selanjutnya pihak
pemberi kuasa (Warga Negara Indonesia)
menyatakan memberi kuasa kepada orang asing
dan ahli warisnya, untuk menjual, mengoperkan
dan/atau dengan jalan lain melepaskan hak atas
tanah dan bangunan yang ada di atasnya dengan
harga dan syarat-syarat yang dipandang baik oleh
orang asing dan ahli warisnya selaku penerima
kuasa atas tanah dan bangunan tersebut.
Dalam hal terjadinya sengketa dan
diselesaikan melalui pengadilan, maka asas itikad
baik dapat dijadikan sebagai dasar menguji
keabsahan suatu perjanjian, terlebih lagi
perjanjian yang dibuat menimbulkan
ketidakadilan bagi salah satu pihak. Dalam kaitan
ini Subekti mengemukakan jika pelaksanaan
perjanjian meurut hurufnya, justru menimbulkan
ketidakadilan, maka hakim mempunyai
wewenang untuk menyimpang dari isi perjanjian
menurut hurufnya.13
Sebagai contoh dapat
dikemukakan dalam kasus Ricky Purwanto
(Warga Negara Indonesia) sebagai Penggugat
melawan Veronique Maria Jose (Warga Negara
Perancis) dengan obyek tanah hak milik
(Sertipikat Hak Milik) No. 980, luas 300. M2
(tiga ratus meter persegi) atas nama Penggugat.
Pengadilan Negeri Gianyar Provinsi Bali, melalui
putusannya No. Reg 34/Pdt.G/2002 /PN.Gir. yang
dikuatkan amar putusannya oleh Pengadilan
Tinggi Bali Nomor. Reg No.18/Pdt/2004/PT.
DPs, memutuskan bahwa perjanjian utang piutang
dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak
dengan maksud untuk menguasai, mengalihkan,
membebani hak atau bentuk perbuatan hukum
lain terhadap sertipikat Hak Milik atas nama
Penggugat yang dilakukan oleh Pihak Tergugat
(orang asing) adalah bertentangan dengan asas
itikad baik. Perjanjian hutang piutang tersebut
oleh Pengadilan Negeri Gianyar dinyatakan batal
demi hukum.
2.4. Akibat hukum terhadap Akta dalam
Kepemilikan Ruamh oleh Orang Asing di
atas Tanah Hak Milik Perorangan yang
Melanggar Hukum
Sehubungan dengan Akta Notaris/PPAT
yang dapat dibuktikan memuat cacat yuridis,
maka akta bersangkutan dapat dibatalkan melalui
upaya hukum yang tersedia. Adapun akibat
hukum yang dimaksudkan dapat terjadi terhadap
isi dari akta itu sendiri dan juga terhadap subyek
hukum dalam akta, seperti para pihak maupun
saksi – saksi bahkan notaris.
Batalnya perjanjian yang akibat
hukumnya terhadap isi perjanjian dapat
menyebabkan perjanjian itu dapat dibatalkan atau
batal demi hukum. Dalam hal akibat hukum
menyangkut akta yang dapat dibatalkan, maka
subyek hukum yang tidak cakap bertindak
menurut hukum menurut Pasal 330, 433
KUHPerdata jo. Pasal 1330 KUHPerdata
dilindungi dari segala kerugian, apabila perjanjian
itu dilaksanakan. Dalam hal menyangkut akta
“batal demi hukum“ karena melanggar undang–
undang, melanggar kesusilaan (Pasal 1254
KUHPerdata), melanggar kepentingan umum
(Pasal 1327 KUHPerdata), maka subyek hukum
itu atau siapa saja dilindungi dari segala kerugian
yang ditimbulkan.
13
R. Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum
Perdata, PT.Intermasa, Jakarta, hal. 41.
14. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 8
Apabila akta dibuat oleh orang yang
tidak cakap bertindak menurut hukum (Pasal 330,
433, 1320 jo.1446 KUHPerdata) atau dibuat
orang dewasa akan tetapi ada kekilapan, paksaan,
dan penipuan, maka menurut Pasal 1320, 1321
jo. Pasal 1449 KUHPerdata), akibat hukum yang
dapat ditimpakan kepada para pihak, dapat berupa
sanksi perdata maupun sanksi pidana. Sanksi
perdata yang dapat ditimpakan kepada pihak yang
merugikan berupa mengganti biaya, kerugian dan
bunga. Hal ini diatur pada Pasal 1453
KUHPerdata yang menyatakan “Dalam hal yang
diatur dalam Pasal 1446 dan 1449, orang terhadap
siapa tuntutan untuk pernyataan batal itu
dikabulkan, selain itu diwajibkan pula untuk
mengganti biaya, kugian dan bunga jika ada
alasan untuk itu“. Sedangkan sanksi pidana yang
dapat ditimpakan kepada pihak yang merugikan
berupa pidana penjara. Hal ini diatur pada Pasal
1328 ayat (3) KUHPerdata yang pada dasarnya
menyatakan bahwa penipuan tidak dapat
dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Hal
itu berati bahwa pihak yang melakukan penipuan
yang mengancam batalnya akta, maka si penipu
dapat dikenakan sanski pidana, sanski mana (jika
si penipu sudah dipidana penjara) dapat dipakai
bukti untuk tuntutan perdata untuk pembatalan
akta.
Saksi dalam pembuatan akta otentik
lazimnya pegawai notaris yang ada dibawah
pengawasan notaris . Sedangkan sanksi
perdatanya tunduk kepada ketentuan Pasal 1367
KUHPerdata yang berbunyi “Seseorang tidak saja
bertanggungjawab untuk kerugian disebabkan
oleh perbuatannya sendiri, tetapi juga kerugian
yang disebabkan kerena perbuatan orang orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan
oleh barang - barang yang menjadi
tanggungannya“. Dalam hal ada pembatalan akta
otentik disebabkan karena kekeliruan pada kepala
akta dan akhir akta, yang umumnya merupakan
akibat dari ketidakcermatan Notaris/PPAT dalam
meneliti bukti-bukti identitas ataupun kekeliruan
notaris dalam mencantumkan data dalam akta
tersebut maka hal itu dapat menjadi sebab
penjatuhan sanksi pidana pada Notaris/PPAT
tersebut karena menuangkan hal-hal yang palsu
pada akta otentik (Pasal 263 jo. Pasal 264
KUHP). Sementara itu, dalam hal menuangkan
keterangan para pihak dalam badan akta, hal
tersebut merupakan tanggung jawab para pihak,
oleh karena notaris tidak berkewajiban untuk
menyelidiki kebenaran materiil dari apa apa yang
diterangkan para pihak (Yurisprudensi MA RI .
N0. 702 K/SIP/1973, tgl. 5 September 1973).
Dengan demikian, Akta Notaris/PPAT
atas kepemilikan rumah oleh orang asing yang
didasarkan pada perjanjian yang secara
terselubung bermasuk mengalihkan hak milik atas
tanah kepada orang asing pada dasarnya masih
menempatkan orang asing bersangkutan pada
posisi yang lemah. Potensi konflik yang sangat
besar juga akan terjadi dikemudian hari karena
orang asing dapat dituduh melakukan tindakan
kriminal menyembunyikan sertipikat orang lain
sebagai akibat kepentingan orang asing
mengamankan aset tanahnya dengan memegang
sertifikat hak atas tanah yang secara formal masih
atas nama warga Negara Indonesia.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Mendasarkan pada uraian pembahasan
yang telah disampaikan, maka kesimpulan
terhadap kedua permasalahan pada tesis ini adalah
sebagai berikut :
1. bahwa mengenai pengaturan bentuk akta
perjanjian yang dibuat oleh orang asing
dalam kepemilikan rumah di atas tanah milik
perorangan dilakukan melalui perbuatan
hukum formal dan informal. Perbuatan
hukum formal dilakukan melalui pembuatan
perjanjian yang dicatatkan dalam bentuk akta
Notaris/PPAT untuk selanjutnya didaftarkan
ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota
sebagai alas hak penerbitan Hak Pakai atau
Hak Sewa untuk Bangunan di atas tanah hak
milik perorangan. Sementara itu, perbuatan
hukum informal dilakukan melalui
pembuatan akta di bawah tangan (perjanjian
para pihak) yang dibuat antara orang asing
dengan Warga Negara Indonesia dengan
format sesuai kesepakatan mereka baik
dengan atau tanpa didasari tidak itikad baik,
seperti perjanjian pengakuan hutang,
perjanjian pinjam nama.
2. bahwa akibat hukum terhadap akta
kepemilikan rumah oleh orang asing di atas
tanah milik perorangan yang didasari atas
perbuatan melanggar hukum adalah akta
bersangkutan batal demi hukum atau dapat
dibatalkan melalui proses peradilan. Akta
batal demi hukum apabila isi pokok dalam
perjanjian yang menjadi dasar lahirnya Akta
Notaris/PPAT yaitu unsur esensialia, unsur
naturalia dan, unsur aksidentalia
mengandung cacat yuridis, seperti upaya
penyelundupan hukum untuk mengalihkan
hak milik kepada orang asing yang
bertentangan dengan asas nasionalitas. Akta
dapat dibatalkan apabila isi pokok dalam
perjanjian yang menjadi dasar lahirnya Akta
Notaris/PPAT mengandung cacat yuridis,
seperti dilandasi oleh itikad tidak baik yang
membutuhkan pembuktian di persidangan.
3.2. Saran-Saran
Mendasarkan pada uraian pembahasan
dan kesimpulan yang disampaikan, maka saran
yang dapat diajukan untuk mendapatkan kajian
lebih lanjut adalah :
1. Kepada pihak Pemerintah baik Badan
Pertanahan Nasional maupun Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, perlu segera
menetapkan produk hukum yang melarang
secara tegas adanya pembuatan perjanjian
atau akta pinjam nama (nominee) oleh
15. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 9
Notaris/PPAT beserta akibat hukumnya,
sehingga prinsip nasionalitas yang
melindungi kepentingan rakyat, bangsa, dan
Negara Indonesia dapat diterapkan dengan
tegas;
2. Kepada pihak Pemerintah baik Badan
Pertanahan Nasional maupun Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia agar
mewajibkan kepada Notaris/PPAT untuk
mensosialisasi dan/atau memberitahukan
kepada orang asing yang akan memiliki
rumah di Indonesia terkait asas nasionalitas
dan pemisahan horizontal yang
dikembangkan dalam Hukum Pertanahan
Indonesia sebagai bagian instrumen yang
diawasi oleh Majelis Pengawas Daerah
terhadap pelaksanaan tugas Notaris.
Daftar Pustaka
Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung,
PT. Refika Aditama.
Bakri, Muhammad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria,
Citra Media, Yogyakarta.
Black, Henry Campbell, 1991, Black‟s Law Dictionary, West Publishing & Co, St. Paul, Minnesota.
Chomzah, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher,
Jakarta.
Notodisoerjo, R. Soegondo, 1993, Hukum Notariat Indonesia, Suatu. Penjelasan, Rajawali, Jakarta.
Parlindungan, A.P., 1985, Pedoman Pelaksanaan UUPA Dan Tata Cara PPAT, Alumni, Bandung.
Santoso, Urip, 2005, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media Group Jakarta.
Soerodjo, Irwan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Disertasi Program Pascasarjana
Unair, Surabaya.
Subekti, R., 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT.Intermasa, Jakarta.
Sumardika, Nyoman, 2007, Penguasaan Tanah oleh Warga Negara Asing di Kabupaten Badung, Tesis,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tanuwidjaja, Henny, 2012, Pranata Hukum Jaminan Utang dan Sejarah Lembaga Hukum Notariat, Refika
Aditama, Bandung.
Winata, Frans Hendra, 2005, Persepsi Masyarakat Terhadap Profesi Hukum di Indonesia, Renvoi Periode
Desember 2005, Jakarta.
*****
PERKAWINAN YANG DICATATKAN PADA KANTOR CATATAN SIPIL TANPA
MELAKUKAN UPACARA KEAGAMAAN
Oleh
I Gusti Ayu Candika Puspasari *, I Nyoman Sirtha**, J.S. Wibisono***
Mahasiswi Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Email : gusti.puspa89@gmail.com
Abstract
Marriage in Indonesia is regulated in the Marriage Law No. 1 of 1974 , the Marriage Act
governs the basis of marriage, legitimacy of marriage, marriage requirements, prevention of marriage ,
annulment of marriage , covenant marriage , the rights and obligations of husband and wife, property in
marriage, marriage breakdown and consequently, the position of the child, the rights and obligations
between parents and children, guardianship and other provisions set out in the Marriage Act. In Article 2
paragraph (1) and (2) governing the validity of a marriage must be executed according to the law of their
religion when their marriage conducted according to a new religion listed in the registry office. However,
in reality there is a problem in society where marriage is done simply by recording course this is contrary
to the provisions set out in marriage Act article 2, paragraph ( 1 ) and ( 2 ). Based disparities and das das
sein sollen, then there is an issue whether the legal consequences of marriage are made only through the
registration of marriage alone and how the protection of the law against a woman whose marriage
declared invalid.
Type of research in this thesis is empirical legal research because there is a gap in the law by the
public. The approach used in this thesis is a case-based approach, regulatory approaches and analytical
approach. Nature of the research using the research that is descriptive research sites in the State court
Samarinda, Balikpapan civil registry office and the Office of Religious Affairs Balikpapan. The data used
16. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 10
are primary data/ field research and secondary data / research literature. Techniques of data collection
by the study documents and interviews. Sampling technique used was purposive sampling and the data
obtained are presented in descriptive qualitative.
Research results to a problem is not the only legitimate marriage is recording at the registry
office, a legal marriage must be in accordance with the terms legitimate marriage stipulated in Article 2
paragraph (1) and (2) of the marriage, while the legal protection against women whose marriage is
declared invalid may bring a civil action either to the husband or civil records and may demand
compensation for material and non-material and restore the good name of the victim.
Keywords : Marriage , Civil , Legal Protection
*Mahasiswa Program Studi Kenotariatan T.A 2011/2012
**Pembimbing I
***Pembimbing II
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi
untuk melanjutkan keturunannya melalui
perkawinan, terdapat budaya dalam melaksanakan
suatu perkawinan yang diterapkan di Indonesia
hal ini disebabkan karena di Indonesia terdiri dari
beragam kebudayaan atau kultur dan juga
terhadap agama yang dipeluk oleh masing-masing
manusia berbeda-beda. Setiap manusia atau
pasangan antara seorang pria dengan seorang
wanita jika sudah melakukan perkawinan akan
menimbulkan suatu ikatan dalam hal kewajiban
dan hak antara mereka berdua atau kepada anak-
anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Perkawinan menurut undang-undang
perkawinan Nomor 1 tahun 1974 (selanjutnya
disebut Undang-undang perkawinan)1
bukan
hanya sebagai suatu perbuatan perdata saja, akan
tetapi juga merupakan suatu perbuatan
keagamaan, sehingga oleh karena itu sah atau
tidaknya suatu perkawinan tolak ukurnya
sepenuhnya pada hukum masing-masing agama
dan kepercayaan yang dianut rakyat Indonesia.2
Perkawinan di Indonesia merupakan perkawinan
yang tergolong beraneka ragam antara satu
dengan yang lainnya dengan kata lain di
Indonesia mengakui bermacam-macam agama
dan kepercayaan, yang mana cara melangsungkan
perkawinan menurut agama Islam, Kristen, Budha
dan Hindu terdapat pula perbedaan tata caranya,
ketentuan yang demikian di mungkinkan dalam
Negara R.I yang berdasarkan Pancasila yang
tegas mengakui adanya Prinsip kebebasan
beragama.3
Ketentuan pasal 2 ayat (1) UU
perkawinan, menjelaskan bahwa “ Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaaan”.
Ketentuan itu menggambarkan prinsip
perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila maka dari penjelasan pada pasal 2 ayat
1
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan (LN,TLN).
2
Abdurrahman, Masalah-masalah
Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bandung,
Penerbit Alumni, 1978, Hal 9
3
Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum
Waris, Penerbit PT.Intermasa, 2002, Hal 1.
(1) ini diketahui bahwa suatu perkawinan
dilaksanakan atau dilakukan menurut agama
masing-masing dan merupakan prinsip utama dari
suatu perkawinan yang sah. Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan menyatakan :” Suatu Perkawinan
hendaklah di catatkan pada Kantor Catatan Sipil.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan jo Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang
perlaksanaan Undang-undang no.1 tahun 1974
mengatur tentang pencatatan perkawinan yang
pada dasarnya bagi mereka yang bukan beragama
Islam, pencatatan Peraturan mengenai pencatatan
perkawinan yang telah ada di samping ketentuan
yang diatur di dalam peraturan Pemerintah itu
sendiri, Penjelasan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
Perkawinan ini, menetapkan syarat sahnya suatu
perkawinan adalah secara agama dan hukum, jadi
keabsahan suatu perkawinan didasarkan pada
hukum agama dan kepercayaan masing-masing
pihak, sehingga sejak berlakunya Undang-undang
perkawinan ini maka sahnya perkawinan menurut
hukum agama bersifat menentukan. Namun
kenyataannya banyak kasus yang terjadi pada
masyarakat yang melakukan perkawinan hanya
menurut hukum agamanya atau kepercayaan
karena sudah dianggap sah, akibatnya banyak
orang tidak melakukan pencatatan pada kantor
catatan sipil dan sebaliknya orang hanya
mencatatkan perkawinannya itu di kantor catatan
sipil, tanpa melakukan tata cara menurut
agamanya masing-masing hal ini akan merugikan
kedua belah pihak.
Adapun tatacara perkawinan diatur
dalam Peraturan Pelaksanaannya UU
Perkawinanan yaitu Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975, dalam Peraturan Pemerintah ini
mengatur mengenai tatacara perkawinan menurut
pasal 10 ayat 2 “Tatacara Perkawinan di lakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”, serta dalam ayat 3
menyebutkan “Dengan mengindahkan tatacara
perkawinan menurut hukum agama masing-
masing dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dan
dihadiri oleh dua orang saksi”.
Dalam tesis ini akan mengangkat topik
pembahasan mengenai perkawinan yang
dilakukan hanya dicatatkan pada kantor Catatan
Sipil saja hal ini tentunya bertentangan dengan
17. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 11
UU Perkawinan yang menyebutkan mengenai
syarat sahnya perkawinan, sebagaimana uraian
diatas, terlihat adanya kesenjangan antara
pelaksanaan (das sein) dan pengaturan (das
sollen), menarik untuk diteliti dan diangkat karya
ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul “
Perkawinan Yang Dicatatkan Pada Kantor
Catatan Sipil Tanpa melakukan Upacara
Keagamaan”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan mengenai
perkawinan diatas, maka penulis mengambil suatu
rumasan permasalahan, sebagai berikut :
1. Apakah akibat hukum perkawinan yang
dilakukan hanya melalui pencatatan
perkawinan saja?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap
seorang perempuan yang perkawinannya
dinyatakan tidak sah?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan
untuk pengembangan Ilmu Hukum dalam bidang
Hukum Perkawinan dan Keluarga karena ilmu
sebagai proses, yang mana suatu ilmu tidak
pernah final dalam penggaliannya.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui mengenai sahnya
perkawinan dan mengetahui apakah dengan
pencatatan saja perkawinan tersebut sudah
sah.
2. Untuk mengetahui tentang perlindungan
hukum terhadap wanita mengenai hak-hak
apa sajakah yang berhak ia dapatkan jika
perkawinan yang telah ia lakukan dinyatakan
tidak sah.
1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat secara langsung maupun
tidak langsung antara lain :
1.4.1 Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan bagi kepentingan negara,
masyarakat, dan pembangunan khususnya bidang
hukum perkawinan.
1.4.2 Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan atau sumbangan pemikiran
dalam rangka pengembangan ilmu, khususnya
ilmu hukum tentang masalah hukum keluarga,
sehingga dapat menambah referensi ilmiah yang
berguna untuk pengembangan ilmu hukum serta
untuk para pasangan yang akan melangsungkan
suatu perkawinan yang bersifat sakral.
1.5. Landasan Teoritis
1.5.1. Teori Keadilan
Keadilan merupakan salah satu tujuan
hukum, mengenai tujuan hukum memang tidak
hanya keadilan, tetapi juga mengenai kepastian
hukum dan kemanfaatannya. Pakar teori keadilan
yaitu Aristoteles menyatakan bahwa kata adil
mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat
berarti menuntut hukum, dan apa yang sebanding,
yaitu yang semestinya. Disini ditunjukan bahwa
seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila
mengambil bagian lebih dari bagain yang
semestinya. Orang yang tidak menghiraukan
hukum juga tidak adil, karena semua hal yang
didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai
adil.4
Serta Thomas Aquinas membedakan
keadilan atas dua kelompok yaitu: keadilan umum
(Justitia generalis) dan keadilan khusus. Keadilan
umum adalah keadilan menurut kehendak
undang-undang, yang harus ditunaikan demi
kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus
adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas.5
Jika terjadi hak maka terdapat
kewajiban, jadi hak dan kewajiban dapat terjadi
bila diperlukan suatu peristiwa yang oleh hukum
dihubungkan sebagai suatu akibat. Demikian pula
pendapat dari Soedjono Dirdjosisworo bahwa “
hak dan kewajiban timbul bila adanya suatu
peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah semua
peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan
akibat hukum, antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan hukum.6
Akan tetapi
terdapat pandangan yang menyatakan bahwa
tidak semua hak terjadi harus diikuti oleh suatu
kewajiban dan begitu pula sebaliknya, .
Pandangan ini dikemukan oleh N.M. Kurkunov
bahwa:
Every right supposes, necessarly, a
corresponding obligation. If the obligation does
not exist, there will be only a permission and not
a right. But an obligation may sometimes exist
without a corresponding right. This happens
when the interest which constitutes the subject-
matter of the corresponding right arises
subsequently to it or is temporarily suspended.
Thus the obligation not to assail the right of an
unborn child corresponds to no right, since the
foetus is not yet a subject of right. The obligation
is here created in expectation and by way of
protection of the life of the infant to be born.7
(
Pernyataan N.M. Kurkunov tersebut di atas
mengandung pengertian bahwa setiap hak harus
diikuti suatu kewajiban. Bila tidak ada kewajiban,
4
Darji Darmodiharjo dan Shidarta,
Pokok-pokok Filsafat Hukum (apa dan
bagaimana filsafat hukum Indonesia), Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, hal 156.
5
ibid
6
Soedjono Dirdjosisworo, 2000,
Penghantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, cetakan keenam, Jakarta, hlm. 130.
7
Korkunov, N.M., 1922, General Theory
of Law, English Translation by W.G. Hastings,
Dean of the law Faculty, University of Nebraska,
Second Edition, New Book The Macmillan
Company, hlm. 211
18. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 12
maka hak itu tidak ada, yang ada hanyalah suatu
permohonan saja. Suatu kewajiban timbul tidak
selalu diikuti dengan perolehan hak.)
1.5.2. Teori Kepastian Hukum
Mochtar Kusumaatmadja menyatakan
bahwa : Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat, diusahakan adanya kepastian dalam
pergaulan antarmanusia dalam masyarakat teratur,
tetapi merupakan syarat mutlak bagi suatu
organisasi hidup yang melampaui batas-batas saat
sekarang. Karena itulah terdapat lembaga-
lembaga hukum, seperti perkawinan, hak milik
dan kontrak. Tanpa kepastian hukum dan
ketertiban masyarakat yang dijelmakan olehnya
manusia tak mungkin mengembangkan bakat-
bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan
kepadanya secara optima dalam masyarakat
tempat ia hidup.8
Pemikiran para pakar hukum, bahwa
wujud kepastian hukum pada umumnya berupa
peraturan tertulis yang dibuat oleh suatu badan
yang mempunyai otoritas, kepastian hukum
sendiri merupakan salah satu asas dalam tata
pemerintah yang baik. Dengan adanya suatu
kepastian Hukum maka dengan sendirinya warga
masyarakat akan mendapatkan perlindungan
Hukum, karena mereka sudah mendapatkan
kepastian tentang bagaimana warga masyarakat
menyelesaikan persoalan hukum, bagaimana
mereka menyelesaikan perselisihan yang terjadi.
Suatu kepastian hukum mengharuskan
terciptanya suatu peraturan umum atau kaidah
umum yang berlaku secara umum, serta
mengakibatkan bahwa tugas hukum umum untuk
mencapai kepastian hukum (demi adanya
ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat
indonesia). Hal ini dilakukan agar terciptanya
suasana yang aman dan tentram dalam
masyarakat luas dan ditegakkannya serta
dilaksanakan dengan tegas.9
1.5.3. Teori Perlindungan Hukum
Demi terciptanya fungsi hukum sebagai
masyarakat yang tertib diperlukan ketersediaan
hukum dalam arti kaidah atau peraturan serta
jaminan atas terwujudnya kaidah hukum
dimaksud dalam praktek hukum dengan kata lain
adanya jaminan penegakan hukum yang baik dan
adil bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa
membeda-bedakan suku ras serta kedudukan
sosialnya serta tidak membeda-bedakan gender.10
Teori perlindungan Hukum disamakan
untuk memecahkan masalah kedua, yaitu
mengenai perlindungan hukum bagi wanita jika
8
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan
perkembangan Hukum dalam pembangunan
Nasional, Majalah Pajajaran, Bandung, No 1
jilid III, 1970, hal 6
9
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan
Hukum, Binacipta, Bandung, hal 15
10
Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum
Kritis (paradigm ketidak Berdayaan Hukum), PT.
Citra Aditya Bakti, Cet. 1, Bandung, hal 40.
perkawinan yang dilakukan hanya dicatatkan saja
tidak sesuai dengan perundang-undangan
Perkawinan, maka jika perkawinan yang ia
lakukan tidak sah bagaimanakah dengan
perlindungan hukum bagi dia yang mana dalam
hal ini wanita tersebut sudah di rugikan secara
materiil dan inmaterill.
Perlindungan hukum bagi wanita telah
diatur dalam Undang-undang perlindungan
wanita. Dalam penegakan hukum ada 3 (tiga)
unsure yang harus diperhatikan, yaitu :
1. Mengenai kepastian hukum
(Rechtssicherheit).
2. Mengenai Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)
3. Mengenai Keadilannya (Gerechtigkeit).
II. Metode Penelitian
2.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini
adalah penelitian hukum Empiris (yuridis
empiris), karena berangkat dari ketentuan
Undang-undang yang mana dalam UU
Perkawinan dan dalam Perilaku Masyarakat hal
ini menyebabkan adanya kesenjangan antara das
soll en dan das sein.
2.2. Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini bersifat pendekatan Kasus dan
pendekatan perundang-undangan dan pendekatan
analitis.11
2.3. Sifat Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan
penelitian yang sifatnya Deskriptif, bertujuan
untuk menggambarkan secara tepat.
2.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ditentukan secara
purposive, yaitu pada Pengadilan Negeri di Kota
Samarinda, kantor catatan sipil dan Kantor
Urusan Agama di kota Balikpapan Kalimantan
Timur.
2.5. Data dan Sumber Data
Data yang diteliti dalam penelitian
hukum empiris (yuridis empiris) ada 2 jenis yaitu
data primer dan data sekunder.
2.6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer atau
data lapangan dalam penelitian ini adalah dengan
cara wawancara dilakukan kepada instansi yang
berkaitan seperti Kantor Catatan Sipil, Pengadilan
Negeri. Untuk pengumpulan data sekunder atau
data kepustakaan adalah digunakan tehnik
membaca dan mencari buku-buku literatur yang
berkaitan dengan topik pembahasan pada
penelitian ini.
2.7. Teknik Penentuan sampel penelitian
Terkait dengan penentuan sampel
penelitian ini peneliti menggunakan tehnik non
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Prenada Media, Jakarta,2005, hlm 103.
19. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 13
probability sampling yang mana memberikan
peran yang sangat besar pada peneliti untuk
menentukan pengambilan samplenya. Dalam hal
ini tidak ada ketentuan mengenai berapa banyak
sample yang akan di ambil , tehnik Non
Probability Sampling digunakan dalam hal data
tentang populasi sangat langka atau tidak
diketahui secara pasti jumlah populasinya,
penelitian bersifat studi eksploratif atau deskriptif,
tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi
tentang populasinya.
Tehnik yang digunakan adalah purposive
sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu,
yaitu sample dipilih atau ditentukan sendiri oleh
si peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan
sample berdasarkan pertimbangan bahwa sample
telah memenuhi criteria dan sifat-sifat tertentu
yang merupakan ciri utama dari populasinya
2.8. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan
analisis data kualitatif, sehingga dapat menjawab
dari permasalahan yang diangkat dan data
disajikan secara deskriptif kualitatif.
III. Akibat Hukum Perkawinan Yang
Dilakukan Hanya Melalui Pencatatan
Perkawinan
3.1. Gambaran Umum Kalimantan Timur
Kalimantan Timur atau yang biasa
disingkat KalTim adalah sebuah provinsi
Indonesia di Pulau Kalimantan bagian ujung
timur yang berbatasan dengan Malaysia,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan
Sulawesi, luas total kaltim adalah 129.066.64
km2,
luas perairan 10.217 km2
(3.945mil2
) 4,2%
dan populasi sebesar 3.6 juta serta kepadatannya
14/km2
, kaltim merupakan wilayah dengan
kepadatan penduduk terendah keempat di
Nusantara dengan ibukotanya Samarinda.12
3.1.1. Gambaran Umum Samarinda
Kota Samarinda adalah salah satu kota
sekaligus merupakan ibu kota provinsi
Kalimantan Timur, Indonesia. Seluruh wilayah
kota ini berbatasan langsung dengan kabupaten
Kutai Kartanegara kota samarinda dapat dicapai
dengan perjalanan darat, laut dan udara. Dengan
sungai Mahakam yang membelah di tengah kota
Samarinda yang menjadi gerbang menuju
pedalaman Kalimantan Timur, kota ini memiliki
luas wilayah 718 km2
dan penduduk 726,223 Jiwa
menjadilan kota ini berpenduduk terbesar
diseluruh Kalimantan, samarinda terletak di
wilayah khatulistiwa dengan koordinat di antara
0”21‟81”-10
09‟16” LS dan 1160
15‟16”-
1170
24‟16” BT.13
12
http://
www.id.m.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur
diakses pada tanggal 21 September 2013 pukul
16.30 Wita
13
http:
//id.m.wikipedia.org/wiki/kota_samarinda diakses
3.1.2. Gambaran Umum Balikpapan
Kota Balikpapan merupakan salah satu
kota di Kalimantan timur, Indonesia, Balikpapan
memiliki penduduk sekitar 656,417jiwa yang
merupakan 18% dari keseluruhan penduduk
Kaltim. Balikpapan merupakan kota dengan biaya
hidup termahal se-indonesia14
dengan semakin
tumbuhnya perekonomian teruta,a sejak
diberlakukannya otonomi daerah, kota ini terus
menerus dibanjiri oleh pendatang dari berbagai
daerah sehingga pemerintah kota memberlakukan
operasi kependudukan berupa operasi KTP di
pintu masuk kota15
. Mengenai adat
perkawinannya pula penduduk Balikpapan masih
sangat mencintai adat-istiadat dan aturan
pernikahan tradisional, apapun tradisi pernikahan
sering terjadi adalah pernikahan dengan
menggunakan adat Kutai,Dayak, Banjar, Bugis
serta Jawa dan sebagian kecil dari adat Manado
dan sebagainya.
3.2. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Pada Proses atau prosedur melaksanakan
pencatatan perkawinan pada Catatan Sipil Kota
Balikpapan mempunyai syarat-syarat :16
a. Syarat umum
1. Akta Kelahiran (asli dan fotocopy)
2. Surat Baptis/permandian/sidi (fotocopy)
3. Surat kartu keluarga (fotocopy)
4. Surat keterangan untuk kawin dari
kelurahan setempat (asli)
5. Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang
bersangkutan (fotocopy)
6. Kartu Tanda Penduduk (KTP) saksi-
saksi (fotocopy)
7. Surat keterangan ijin untuk menikah dari
instansi/perusahan/lembaga dimana
calon mempelai bekerja (asli)
8. Khsus bagi anggota ABRI/POLRI harus
ada ijin dari komandan satuannya (asli)
9. Surat kartu imunisasi calon mempelai
wanita (fotocopy)
10. Mengisi formulir pemberitahuan akan
mencatatkan perkawinan
11. Bukti surat kawin gereja/vihara/pura
yang menentukan tanggal pelaksanaan
perkawinan secara agama (asli)
12. Surat keterangan kesediaan dari
Gereja/Vihara/Pura yang menentukan
tanggal pelaksanaan secara agama (asli)
13. 4 (empat) lembar pas foto berdampingan
ukuran 4x6 berwarna
b. Syarat tambahan bagi warga Negara asing
WNA:
pada tanggal 21 september 2013 pada pukul 20.30
wita
14
Tempo.com diakses pada tanggal 22
September 2013 pukul 15.00 Wita.
15
Balikpapanpos.co.id diakses pada
tanggal 22 september 2013 pukul 15.06 Wita.
16
Diambil pada papan pengumuman
yang tertera pada kantor catatan sipil Balikpapan
pada tanggal 20 September 2013
20. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 14
Rekomendasi dari kedutaan Besar Negara
asal calon mempelai (asli)
1. Passport (fotocopy)
2. S.T.M.D (fotocopy)
3. Surat Imigrasi Kitas/VISA (fotocopy)
4. Surat bukti pajak bangsa asing (fotocopy)
Selain mempunyai ketentuan yang
umum, kantor catatan sipil kota Balikpapan juga
mengatur mengenai ketentuan yang khusus:
1. Surat keterangan pindah agama dari
DEPAG bagi mempelai yang berlainan
agama
2. Surat ijin dari kedua orangtua calon
mempelai yang berumur dibawah 21
(dua puluh satu) tahun (fotocopy)
3. Kalau ada orang tua calon yang telah
meninggal dunia dibuktikan dengan akta
kematian atau surat kenal kematian
(fotocopy)
4. Bagi yang sudah cerai melampirkan akta
perceraian (asli)
5. Bukti akta kematian/surat kenal
kematian dari suami/istri terdahulu
6. Akta kelahiran anak yang akan diakui
dan disahkan dalam perkawinan (asli)
7. Surat keputusan ganti nama (fotocopy)
bila ada nama yang berlainan
8. Dispensasi dari camat, pemohon
pencatatan kurang dari sepuluh hari kerja
(asli)
9. Bagi yang berlainan wilayah domisili
wajib:
a. Membawa pengantar Nikah dari
Catatan Sipil setempat (asli)
b. Pencatat Perkawinan dilaksanakan
setelah 10 hari kerja diumumkan
3.3. Perkawinan Yang tidak Dicatatkan dan
Yang Dicatatkan Pada Kantor Catatan
Sipil
Dalam hal perkawian, perkawinan
dilakukan atau dilaksanakan sesuai dengan
hukum agama dan kepercayaan masing-masing
lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil, Undang-
undang perkawinan menempatkan hukum agama
dan juga kepercayaan pada suatu posisi yang
menentukan, ketentuan pasal 2 Undang-undang
perkawinan dengan jelas menegaskan adanya segi
materiil dan formil dari perkawinan. Aspek
materiilnya adalah bertolak pangkal pada hukum
agama dan kepercayaan sebagai penentuan
keabsahan suatu perkawinan, aspek formal
terletak pada ketentuan ayat 2 nya yang
menyangkut pencatatan.17
3.3.1. Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan
Pada Kantor Catatan Sipil
Perkawinan tidak dicatat adalah suatu
perkawinan yang tidak dilakukan dengan
pencatatan pada kantor catatan sipil dan hanya
dilakukan dengan perkawinan agamanya saja
17
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan
Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal 9
kebanyakan. perkawinan yang dilaksanakan
dengan upacara keagamaannya, dianggap sudah
sah secara agama dan jarang mereka melakukan
pencatatan akan tetapi secara Negara perkawinan
yang dilaksanakan hanya dengan upacara
keagamaan yang di sahkan oleh masing-masing
pemuka agama belumlah sah dan belum memiliki
kekuatan hukum tetap.
Di kota Balikpapan, warga
masyarakatnya masih ada yang belum melakukan
pencatatan contohnya saja pada warga di KM 12
yang mana disana masih banyak yang belum
melakukan pencatatan perkawinan mereka, entah
karena kurangnya informasi tentang pentingnya
suatu pencatatan ataukah karena individu tersebut
yang malas untuk mencatakan perkawinannya,
pegawai kantor catatan sipil Balikpapan masih
terus berusaha mengenalkan mengenai sahnya
suatu perkawinan terhadap warganya dan
sekarang hasilnya sudah mulai melakukan
pencatatan perkawinannya pada kantor Catatan
Sipil di Kota Balikpapan18
hal ini dijelaskan pada
data atau laporan statistik jumlah akte perkawinan
yang terbit pada periode bulan januari 2012 s/d
Desember 2012.
sumber: data Primer, diolah 2013
3.3.2. Perkawinan Yang dicatatkan Pada
Kantor Catatan Sipil
Perkawinan menurut Undang-undang
Perkawinan bukan sekedar sebagai perbuatan
agamanya yang mana sah atau tidaknya suatu
perkawinan yang akan dilakukan digantungkan
pada hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan yang dianut rakyat Indonesia pada
umumnya.
Pada kenyataannya agamalah yang
memiliki peran atau andil yang cukup penting
dalam kehidupan manusia hal ini pula pada
18
Wawancara dengan Ibu Mulyana, Kasi.
Perkawinan Dan Perceraian pada kantor Catatan
Sipil Balikpapan, pada tanggal 25 September
2013
21. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 15
perkawinannya, tetapi bukan hanya agama saja,
melainkan dari sudut keperdataannya yaitu
pencatatannya. Dalam UU Administrasi
Kependudukan pasal 34 tentang pencatatan
perkawinan di Indonesia pada ayat 1 perkawinan
yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan
wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi
Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling
lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan perkawinan serta ayat (2) menyatakan
berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada
register Akta Perkawinan dan menerbitkan
Kutipan Akta Perkawinan, hal ini lah yang sangat
penting dalam hal pencatatan suatu peristiwa
termasuk peristiwa perkawinan yang mana jika
suatu perkawinan dilakukan dan dicatatkan pada
pencatatan sipil maka perkawinan yang dilakukan
memiliki kekuatan hukum yang tetap oleh
Hukum.
3.3.3. Akibat Hukum Pegawai Pencatat Nikah
Menolak Suatu Perkawinan
Pegawai pencatat dapat menolak suatu
perkawinan yang akan dicatatkan, tetapi hal ini
terjadi pada saat pasangan suami-istri tersebut
tidak dapat memenuhi persyaratan yang harus
dipenuhi. Akibatnya jika pegawai pencatat
menolak mencatatkan perkawinan mereka, maka
mereka tidak mendapatkan akta nikah, tetapi hal
penolakan yang dilakukan oleh pegawai catatan
sipil sangat jarang terjadi meskipun terjadi pasti
dikarena mereka tidak memenuhi persyaratan
maka pegawai pencatat sipil tidak berani untuk
mencatatkan perkawinan mereka, dan biasa
pegawai pencatat memberi saran agar segera
melakukan atau memenuhi persyaratan, misalnya
jika mereka datang ke catatan sipil, dan pegawai
catatan sipil meminta bukti surat kawin dari
gereja/vihara dan pura yang asli dan mereka tidak
dapat memberinya maka pegawai pencatat tidak
akan mencatatkan perkawinan mereka tersebut,
karena suatu perkawinan sudah jelas syarat
sahnya dalam UU perkawinan pasal 2 ayat (1) dan
(2) yang mana harus dilaksanakan sesuai ajaran
hukum agamanya mereka lalu di catatkan pada
catatan sipil agar mendapatkan kekuatan hukum
yang tetap untuk perkawinan mereka, hal ini juga
jelas sangat menguntungkan bagi wanita yang
mana jika perkawinannya dicatatkan maka suatu
ketika mereka bercerai maka hak-hak wanita
tersebut jelas adanya.19
3.3.4. Pencatatan Perkawinan Antar Agama
Masalah pasangan beda agama yang
akan melangsungkan perkawinan tidak serumit
apa yang dibayangkan jika salah satu pihak
bersedia untuk menundukkan diri dengan kata
lain bersedia untuk begitu saja pindah agama.
Masalah perkawinan antar agama bukanlah
19
Wawancara dengan Ibu mulyana, Kasi
perkawinan dan perceraian pada kantor catatan
sipil di Balikpapan pada tanggal 23 September
2013
merupakan suatu permasalahan yang mudah
dipecahkan dengan begitu saja, karena
menyangkut dua unsur atau dua aspek yang mana
antara aspek atau unsur perkawinan dengan
agama yang paling penting dalam kehidupan
seseorang.
Pada kasus perkawinan beda agama di
Indonesia banyak dilakukan secara menundukkan
diri hal ini bertentangan dengan kebebasan
seseorang untuk memeluk agama serta melakukan
perkawinannya diluar negeri tetapi adapula
perkawinan beda agama yang meminta penetapan
dari pengadilan daerah domisili calon
mempelai,terdapat di daerah Surakarta pada
Putusan MA Nomor : 156/Pdt.P/ 2010 /PN.Ska
yang mana para pemohonnya adalah LISTYANI
ASTUTI beragama Kristen dan ACHMAD
JULIANTO beragama Islam selain penetapan
pengadilan dan pada putusan MA Nomor : 237 /
Pdt.P / 2012 / PN.Ska yang mana para
pemohonnya adalah BETI HARYUNING DYAH
beragama Kristen dan EBNU FAJRI BAYU
WORO beragama Islam, keduanya telah
mendapatkan penetapan pengadilan untuk
melaksanakan suatu perkawinan yang mana
perkawinan yang mereka lakukan adalah
perkawinan beda agama.
Namun untuk suatu perkawinan yang
dilakukan dengan penetapan pengadilan ini,
menurut penulis masih tidak sesuai dengan syarat
sahnya suatu perkawinan yang mana dalam
perkawinan menyebutkan sahnya harus sesuai
dengan hukum ajaran agamanya mereka dan
dicatatkan pada kantor catatan sipil. Selain
permasalah beda agama yang akan
melangsungkan perkawinan, terdapat kasus yang
mana mereka satu agama melakukan perkawinan
dengan tidak sesuai ajaran agama yang mereka
anut berdua tetapi perkawinan yang mereka
lakukan dicatatkan pada kantor catatan sipil hal
ini sesuai dengan putusan MA tanggal 24
November 1993 reg. No. 2099 k/pid/1990.
3.4. Akibat Hukum Perkawinan Yang
dilakukan dengan Upacara Perkawinan
tanpa Pencatatan
Pada masyarakat di Indonesia mengenai
perkawinan ini, yang sangat sering ditemui kasus
mengenai perkawinan yang dilakukan hanya
dengan agamanya saja seperti di Bali dan
sebagian besar daerah di Indonesia jika suatu
perkawinan sudah dilakukan upacara keagamaan
maka perkawinan tersebut sah dan tidak perlu
adanya pencatatan, memang untuk perkawinan
yang telah di lakukan secara agama dianggap sah
karena agama yang menjadi tolak ukur sahnya
atau tidaknya perkawinan tersebut, tetapi
dikarenakan Indonesia ini adalah Negara hukum
maka untuk setiap perbuatan haruslah sesuai
dengan peraturan dan undang-undang yang
berlaku, perkawinan setelah dilaksanakan
menurut agamanya maka dicatatkan pada Catatan
Sipil setempat, akibatnya jika pasangan tersebut
22. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 16
suatu saat mendapatkan masalah dalam rumah
tangganya dan terjadi perceraian maka wanita
tidak mendapatkan hak-haknya termasuk pula
anak-anaknya karena jika perkawinan yang
dilakukan oleh kedua orang tuanya tidak
dicatatkan maka anak-anaknya tidak mendapatkan
akta kelahiran.
3.5. Akibat Hukum Perkawinan Yang
Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil
Tanpa Melakukan Upacara Keagamaan
Suatu perkawinan yang sudah dicatatkan
pada kantor catatan sipil memiliki kekuatan
hukum yang tetap dan pengakuan Negara atas
perkawinan yang mereka lakukan, dan kelak jika
mereka memiliki anak atau keturunan dari
perkawinan yang mereka lakukan, Mereka akan
dengan mudah mendapatkan suatu pengakuan
maksudnya dalam hal pancatatan kelahiran dari
anak mereka, memberikan kepastian hukum untuk
perkawinan mereka, dan dalam hal pewarisan.
Itulah kegunaannya suatu perkawinan yang
dicatatkan pada kantor catatan sipil.
Jika suatu perkawinan yang akan
dilaksanakan tidak melakukan prosesi perkawinan
secara agama atau kata lain jika perkawinan
tersebut tidak dilaksanakannya upacara
keagamaan, dikatakan bahwa Perkawinan yang
mereka lakukan tidak dilaksanakan menurut
ajaran atau hukum agama masing-masing. Akibat
hukum dari perkawinan tersebut ialah tidak sesuai
dengan ajaran agama manapun dengan katalain
perkawinan yang mereka lakukan tidak sah
adanya, mengenai suatu perkawinan beda agama
yang mana bila ingin melakukan suatu
perkawinan dan ingin membentuk suatu keluarga
seutuhnya maka salah satu pihak harus
menundukkan diri pada salah satu
kepercayaannya atau bersedia pindah
kepercayaan.
IV. Pelaksanaan Perlindungan Hukum
Terhadap Perempuan Yang
Perkawinannya Dinyatakan Tidak Sah
4.1. Hak dan Kewajiban sebagai suami istri
yang timbul karena perkawinan serta
hak dan kewajiban kepada anak
Jika suatu perkawinan telah dilakukan
secara sah maka dengan sendirinya akan
menimbulkan hak dan kewajiban antara suami-
istri, orangtua ke anak. Dalam UU perkawinan
pasal 30-34 mengatur mengenai hak dan
kewajiban suami istri.
Bila perkawinan kedua orang tuanya
tidak sah yang mana tidak dilaksanakannya sesuai
ajaran agamanya yang dianut maupun tidak
dicatatkan, maka dampaknya akan ke anak yang
lahir dari perkawinan tersebut, anak itu sudah
tidak mendapatkan haknya untuk mendapatkan
akta kelahiran dari kedua orangtuanya. Meskipun
anak tetap bisa mendapatkan akta kelahirannya
maka hanya nama ibu saja yang dicantumkan dan
dianggap anak lahir diluar perkawinan yang sah,
hal ini dapat merugikan anak dari kesalahan
kedua orang tuanya yang tidak mengikuti sahnya
suatu perkawinan berdampak ke anak, maka dari
ini pentingnya suatu pencatatan perkawinan dan
sesuai ajaran agamanya karena dalam UU
perkawinan sudah mengatur mengenai syarat
sahnya perkawinan.
4.2. Perkawinan yang telah berlangsung dan
dinyatakan dibatalkan
Menurut Undang-undang perkawinan,
pada prinsipnya perkawinan dapat dibatalkan
apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Hal ini diatur
dalam pasal 22 sampai pasal 28 UU perkawinan,
sedangkan yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan diatur didalam pasal 23 UU
perkawinan.
Batalnya suatu perkawinan dimulai
setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan keputusan
mengenai batalnya perkawinan tersebut tidak
berlaku surut terhadap :20
1. Anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut
2. Suami dan istri yang bertindak dengan
itikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan
atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu
3. Pihak ketiga yang memperoleh hak dengan
itikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum
tetap
4.3. Pelaksanaan Perlindungan Hukum
kepada perempuan yang perkawinannya
dinyatakan tidak sah
Perlindungan hukum sangat diperlukan
oleh setiap masyarakat atau subyek hukum,
semua masyarakat memerlukan suatu
perlindungan baik pria, wanita maupun anak-
anak, karena dimata hukum semua sama adanya
tidak ada yang diistimewakan namun dalam hal
ini perlindungan hukum sangat diperlukan oleh
perempuan yang mana perkawinan yang telah ia
lakukan dinyatakan tidak sah. Sesuai dengan
putusan MA, yang mana dalam putusan ini suatu
perkawinan yang menurut hakim tidak
dilaksanakan atau tidak sesuai dengan pasal 2
ayat (1) UU perkawinan ini dalam perkawinan
berkaitan dengan kasus ini yang mana SG yang
telah menikah dengan MJ di Ujung pandang dan
SG melakukan perkawinan kedua dengan LS
tanpa persetujuan dari MJ yang merupakan istri
pertamanya dan perkawinan yang dilakukan
keduanya tidak dilaksanakan menurut ajaran
hukum agama masing-masing namun perkawinan
yang mereka lakukan telah dicatatkan pada Capil
di daerah tempat mereka melakukan perkawinan,
hakim dalam memutuskan perkara ini
menyatakan bahwa perkawinan antara SG dan MJ
maupun SG dengan LS tidak sah adanya karena
20
www.jurnalhukum.com diakses pada
tanggal 6 October 2013 pukul 20.40 Wita
23. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 17
tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU
perkawinan, maka dari itu hakim memutuskan
untuk menyatakan perkawinan yang dilakukan
oleh keduanya tidak sah adanya. Jika hakim
menyatakan perkawinan yang dilakukan oleh
keduanya dinyatakan tidak sah, pertanyaan
penulis bagaimana dengan status perempuan atau
istri-istri dari SG tersebut setelah hakim
memutuskan perkawinan yang mereka lakukan
tidak sah, menurut penjelasan dari ibu mulyana
status mengenai istri-istri dari SG dikembalikan
seperti semula, namun menurut penulis untuk
suatu status memang bisa perbaiki apalagi hanya
mengenai status di KTP, namun bagaimana
dengan status pribadinya mereka masing-masing.
Menurut hemat penulis terhadap
perlindungannya pihak perempuan dapat
mengajukan gugatan secara perdata baik kepada
Sony Gozal maupun catatan sipil, karena dengan
diterbitkan akte perkawinan, maka dianggap
sudah ada perkawinan yang sah sebab sudah ada
bukti perkawinannya dan untuk catatan sipil telah
melanggar ketentuan UU perkawinan, padahal
catatan sipil mengetahui belum terjadi
perkawinan secara agama, maka dari itu catatan
sipil dapat dituntut ganti rugi secara materiil dan
imateriil dan mengembalikan nama baik kedua
korban tersebut serta pemerintah diharapkan
dapat melindungi setiap permasalahan yang
timbul akibat suatu perkawinan.
V. Penutup
5.1. Simpulan
1. Suatu perkawinan dilakukan harus menurut
hukum ajaran agamanya masing-masing dan
lalu dicatatkan pada kantor catatan sipil hal ini
dijelaskan dalam pasal 2 ayat (1) dan (2) UU
perkawinan No 1 tahun 1974. Pada
kenyataannya agamalah yang mempunyai
peranan penting untuk membuktikan sah atau
tidaknya suatu perkawinan, dikarenakan
agama mempunyai kekuatan yang sakral yang
nantinya akan kita pertanggungjawabkan
dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, setelah sah
menurut ajaran hukum agamanya barulah
dicatatkan pada kantor catatan sipil. Akibat
jika suatu perkawinan tidak dilakukan secara
agama maka dianggap kumpul kebo,
meskipun sudah mencatatkan perkawinan.
Agama manapun melarang umatnya untuk
melakukan perkawinan yang tidak dengan satu
agama yang dianut, untuk perkawinan beda
agama diberikan penetapan dari pengadilan
yang mengesahkan perkawinan mereka lalu
dicatatkan. Akibat hukum suatu perkawinan
yang tidak dilaksanakan menurut agamanya
dan hanya dicatatkan maka perkawinannya
tersebut tidak sah.
2. Pelaksanaan perlindungan hukum untuk
perempuan yang perkawinannya dinyatakan
tidak sah terhadap perlindungan pihak
perempuan dapat mengajukan gugatan perdata
baik kepada suaminya maupun catatan sipil,
karena dengan diterbitkan akta perkawinan ini
maka perkawinan dianggap sudah ada dan
catatan sipil telah melanggar ketentuan UU
perkawinan. Padahal catatan sipil mengetahui
belum terjadi perkawinan secara agama maka
dari itu catatan sipil dapat dituntut ganti rugi
secara materiil dan inmateriil dan
mengembalikan nama baik korban baik dari
MJ maupun LS.
5.2. Saran
1. Bagi pemerintah
Undang-undang Perkawinan harus secara
tegas dalam suatu penerapan sahnya
perkawinan, sehingga tidak terjadi kesimpang
siuran untuk menetapkan sah atau tidaknya
suatu perkawinan
2. Bagi Catatan Sipil
Agar segera memperbaiki diri supaya kejadian
seperti ini tidak akan terulang kembali dan
untuk suatu pencatatan yang diajukan oleh
pihak yang terkait agar catatan sipil benar-
benar mengetahui mengenai status pihak
tersebut. Catatan sipil menjalankan tugasnya
harus sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan dan tidak melenceng dari peraturan
tersebut, contohnya jika suatu saat ada
ditemukan pasangan yang akan kawin, namun
tidak didahului dengan pemberkatan atau
upacara keagamaan maka capil dapat menolak
pencatatannya alasannya belum sesuai dengan
UU perkawinan yang mengharuskan suatu
perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu
secara hukum agamanya mereka anut. Untuk
catatan sipil juga agar tidak sembarangan
dalam mencatatkan suatu perkawinan karena
dapat merugikan sekali bagi salah satu pihak.
3. Bagi masyarakat
Saran penulis untuk masyarakat khususnya
perempuan agar lebih cermat dalam memilih
pasangan hidupnya jangan asal memilih saja
agar tidak rugi dikemudian hari dan untuk
perempuan harus benar-benar mengetahui
mengenai suatu syarat sahnya perkawinan
tersebut agar tidak tersesat atas suatu peristiwa
yang akan merugikan dirinya sendiri dan
masyarakat di minta untuk mentaati Undang-
undang perkawinan sehingga tidak ada
keraguan untuk menetapkan sah atau tidaknya
perkawinan.
Daftar Pustaka
Buku
Abdurrahman, 1978, Masalah-Masalah Hukum Perkawinan Di Indonesia. Penerbit Alumni, Bandung.
Budiono, Herlien, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
24. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 18
Darmodiharjo, Darji Dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dirdjosisworo, Soedjono, 2000, Penghantar Ilmu Hukum, Pt. Raja Grafindo Persada, Cetakan Keenam,
Jakarta.
Fuady, Munir, 2003, Aliran Hukum Kritis (Paradigm Ketidak Berdayaan Hukum), Pt. Citra Aditya Bakti,
Cet. 1, Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar, 1970, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Majalah Pajajaran, Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta.
N.M. Korkunov, 1922, General Theory Of Law, English Translation By W.G. Hastings, Dean Of The
Law Faculty, University Of Nebraska, Second Edition, New Book The Macmillan Company.
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung.
Subekti, 2002, Hukum Keluarga Dan Hukum Waris, Penerbit Pt.Intermasa.
Perundang-Undangan
Undang - Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019).
Website
Http:// Www.Id.M.Wikipedia.Org/Wiki/Kalimantan_Timur Diakses Pada Tanggal 21 September 2013
Pukul 16.30 Wita
Http://Id.M.Wikipedia.Org/Wiki/Kota_Samarinda Diakses Pada Tanggal 21 September 2013 Pada Pukul
20.30 Wita
Tempo.Com Diakses Pada Tanggal 22 September 2013 Pukul 15.00 Wita.
Balikpapanpos.Co.Id Diakses Pada Tanggal 22 September 2013 Pukul 15.06 Wita
Www.Jurnalhukum.Com Diakses Pada Tanggal 6 October 2013 Pukul 20.40 Wita
*****
PENGAKHIRAN PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH
TANPA BATAS WAKTU
Oleh:
Komang Linda Harmayanti*, Tjok.Istri Putra Astiti**, Ida Bagus Wyasa Putra***
Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana
Email : lindaharmayanti@yahoo.com
Abstract
The background of this thesis is a land lease agreement that was made without a lease period,
and the court decision on the case of the lease did not give justice to the landowner. This study aimed to
examine the written positive law (legislation) and the provisions of the agreement apply to certain legal
events (concrete) by examining whether the laws and regulations of the lease have been complied in
accordance with the lease agreement and the court decision. Therefore, it is necessary to study how the
validity of a land lease which does not specify the period of the lease and how to terminate an agreement
that does not set a period of lease.
The type of this research is an applied normative legal research by tracing documents as
primary legal materials. This research used legislation, case-based and conceptual approaches.
The results showed that lease agreement without time limit is not valid because special
requirements of a lease agreement as provided in Article 1548 of the Civil Code have not been fulfilled i.e
the lease period. Lease period is an essential part of a lease agreement. Lease agreement without a lease
period can be terminated by requesting cancellation before judges with the following reasons: the
agreement has violated the principles of justice and propriety, the performance of the agreement is not
balanced/equal in value, in which landowner can not use and enjoy the fruits of the land forever, that any
kind of lease should specify a lease period; because the tenant does not fulfill its obligations (non
performance), it then can be used as an excuse to terminate the agreement in accordance with Article
1266 of the Civil Code, and because there has been a transfer of lease rights without permission of the
land owner which is contrary to the provisions of Article 1559 Civil Code and therefore the agreement
can be terminated .
25. Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, 2013-2014 Page 19
Key words : Termination of an agreement , lease agreement without a lease period
* Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan T.A. 2011/2012
** Pembimbing I
***PembimbingII
I. Pendahuluan
Tanah merupakan kebutuhan dasar setiap
manusia. Manusia beraktifitas, bermasyarakat,
dan dalam melangsungkan kehidupannya
memerlukan tanah, yang hidup dengan
memanfaatkan sumber daya alam yang ada baik
di permukaan, didalam tubuh bumi, maupun di
atas permukaan bumi. Demikian besar keberadaan
tanah bagi kehidupan, sehingga tanah menjadi
bagian dasar dari kebutuhan manusia.
Tanah juga merupakan salah satu sumber
daya alam yang memiliki nilai ekonomis dan nilai
sosial yang tinggi. Tanah tidak dapat diproduksi
ataupun diperbaharui seperti sumber daya alam
yang lain yang dapat tergantikan. Perbandingan
antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya
alam yang langka di satu sisi dan pertambahan
jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan
kebutuhannya akan tanah disisi lain, tidak mudah
dicari titik temunya. Dengan perkataan lain, akses
untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah
untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia itu
belum dapat dinikmati oleh setiap orang yang
antara lain disebabkan karena perbedaan dalam
akses modal.1
Undang-Undang no 5 tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria
(selanjutnya disebut UUPA) menyebutkan
“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial”2
. Pasal ini menjelaskan bahwa hak atas
tanah apapun yang ada pada seseorang, tidak
boleh semata-mata dipergunakan untuk
pribadinya, pemakaian atau tidak dipakainya
tanah yang menyebabkan kerugian bagi
masyarakat.
Berdasarkan hak menguasai dari negara
seperti ditegaskan dalam Pasal 2 UUPA, maka
menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA bahwa
kepada perseorangan atau badan hukum diberikan
beberapa macam hak atas tanah. Konsekuensi
pengakuan negara terhadap hak atas tanah yang
dimiliki orang-orang atau badan hukum, maka
negara berkewajiban memberikan jaminan
kepastian hukum terhadap hak atas tanah tersebut,
sehingga setiap orang atau badan hukum yang
memiliki hak tersebut dapat mempertahankan
haknya.
Hak-hak atas tanah yang selanjutnya
dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, adalah:
hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan,
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang
tidak tersebut dalam hak-hak tersebut di atas yang
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-
1
Bernhard Limbong , 2012, Hukum
Agraria Nasional , cet. I, Margaretha Pustaka,
hal.245.
2
Lihat Penjelasan Pasal 6 UUPA 1960
hak yang sifatnya sementara yang akan ditetapkan
sementara, dimaksudkan untuk memberikan hak
atas tanah berdasarkan peruntukannya dan subjek
yang memohon hak atas tanah tersebut.
Berkaitan dengan hak sewa yang
diuraikan secara khusus dalam Pasal 44 ayat (1)
UUPA dinyatakan bahwa “Seseorang atau suatu
badan hukum mempunyai hak sewa atas tanah,
apabila ia berhak menggunakan tanah milik orang
lain untuk keperluan pembangunan, dengan
membayar sejumlah uang sebagai sewanya.”
Dalam penjelasannya (pasal 44): oleh karena hak
sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat
khusus maka disebut tersendiri. Hak pakai yang
intinya adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah milik orang lain
selama jangka waktu tertentu.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUH Perdata) pada buku II
mengatur tentang kebendaan (kecuali mengenai
tanah). Benda diantaranya dibedakan ke dalam
benda bergerak dan benda tidak bergerak. Setiap
benda dapat diberikan hak status keperdataan (hak
kebendaan). Hak kebendaan adalah hak yang
melekat pada kebendaan tersebut ke mana pun
kebendaan tersebut beralih, pemegang hak
memiliki hak atas kebendaan tersebut.3
Dalam kegiatan ekonomi, bentuk hak-
hak atas tanah dituangkan dalam bentuk praktek
ekonomi atau kegiatan bisnis, dalam arti kata
tanah dapat diperoleh dengan mengadakan
perjanjian.4
KUH Perdata mengenal berbagai
perjanjian,5
beberapa contoh dari perjanjian yang
sering ditemui dalam kegiatan sehari-hari antara
lain seperti: jual-beli, sewa- menyewa, tukar
menukar, pinjam-meminjam, dan lain-lain.
Salah satu cara mendapatkan hak atas
tanah adalah dengan melakukan perjanjian sewa-
menyewa. Perjanjian sewa-menyewa diatur dalam
buku III KUH Perdata tentang Perikatan. Pasal
1233 KUH Perdata menentukan, “Tiap-tiap
3
Herlien Budiono,2008, Kumpulan
Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya
disingakat Herlien Budiono I), hal. 229.
4
Dalam tulisan ini, penulis
mempersamakan istilah perjanjian dan kontrak.
5
Ada 14 jenis perjanjian antara lain : a.
Perjanjian timbal balik; b. Perjanjian Cuma-
Cuma; c. Perjanjian atas beban; d. Perjanjian
bernama; f. Perjanjian obligatoir; g. Perjanjian
Kebendaan; h. Perjanjian Konsensual; i.
Perjanjian riil; j. Perjanjian Liberatori; k.
Perjanjian Pembuktian; m. Perjanjian Untung-
Untungan; n. Perjanjian Publik; o. Perjanjian
Campuran. Mariam Darus Badrulzaman,
dkk,2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 66.