1. Media dalam Terorisme
Oleh:
Wisnu Prasetya Utomo
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
2. PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016
H a l a m a n 2 | 4
Media dalam Terorisme
oleh Wisnu Prasetya Utomo
Media and Terrorism: Global Perspective
Des Freedman & Daya Kishan Thussu (editor)
SAGE Publications (London, 2012), 336 hal.
ADA banyak pertanyaan yang mengganjal ketika menyaksikan dan membaca berita-berita
mengenai aksi terorisme di kawasan Thamrin, 14 Januari lalu. Misalnya, mengapa TV One
buru-buru memberitakan ada ledakan di beberapa tempat? Meski kemudian diralat, tidakkah
berita semacam itu sudah lebih dari cukup untuk memicu kepanikan massal? Kenapa Tribun
Medan membuat berita yang mempertanyakan jenazah pelaku teror dalam keadaan tersenyum?
Apakah sampul muka majalah Tempo yang menampilkan pelaku teror menembak polisi tidak
membuat polisi tersebut mengalami trauma jika melihatnya? Apakah pilihan CNN Indonesia
menghadirkan Muhammad Jibriel adalah bentuk media menjalankan prinsip cover both sides,
atau justru memberikan ruang bagi para pelaku teror jika melihat rekam jejak narasumber itu?
Liputan media tentang isu terorisme kerap memancing perdebatan dan diskusi yang
substansial, dari perkara etis sampai ekonomi politik media, dari perang wacana sampai
stereotip yang diskriminatif. Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dalam Panduan Jurnalis
Meliput Terorisme (2011) pernah menyebut wartawan (dan tentu saja media) memiliki
setidaknya sembilan problem dalam peliputan terorisme—di antaranya kerap lalai melakukan
verifikasi, melepaskan peristiwa dari konteks besar, dan sering mendramatisasi keadaan.
Kalau dirangkum, ada dua isu besar ketika mendiskusikan hal ini. Pertama, pelbagai problem
media dalam memberitakan terorisme yang terburu-buru menyimpulkan seseorang terlibat
dalam aksi teror. Kedua, aksi teror sendiri kerap memanfaatkan media untuk meraih perhatian
publik. Perkembangan teknologi komunikasi dan media, bagaimanapun, telah membuat aksi-
aksi teror (bisa) tersebar lebih luas sehingga pesan dari aksi itu dapat menjangkau lebih banyak
orang.
Problem macam itu bukanlah dominan di Indonesia. Ia adalah gejala global terutama setelah
aksi teror di Amerika Serikat tahun 2001—yang dikenal peristiwa 9/11. Merujuk makin
kompleksnya terorisme global, perubahan aktor dan geopolitik, serta krisis kemanusiaan dan
gelombang pengungsian parah yang mengikutinya, buku bunga rampai 18 tulisan dari 26
penulis ini dapat menjadi pengantar relatif lengkap untuk memahami hubungan antara media
dan terorisme yang terus berubah.
Lanskap global tidak bisa kita hindarkan dari apa yang disebut proyek “perang melawan teror”
lewat pemerintahan Bush pada 2001. Kritik atas media saat itu, selain memberitakan aksi-aksi
terorisme dengan cara mengikuti tentara AS (dikenal embedded journalism), media berperan
penting dalam membentuk wacana yang menopang agresi yang dilakukan oleh Amerika Serikat
baik di Afghanistan maupun Irak, dan belakangan di Libya dan Suriah.
Media berperan mereduksi aksi-aksi terorisme hanya sebagai aksi kelompok fundamentalis
agama dan aksi brutal yang dilakukan secara acak oleh kelompok-kelompok klandestin.
Sementara konteks besar untuk melihat mengapa aksi itu terjadi kerap diabaikan. Pada
gilirannya ia membuat “aksi melawan terorisme” adalah persoalan pihak yang berkuasa dalam
menentukan lawan atau kawan. Des Freedman dan Kishan Thussu dalam pengantar buku ini
3. PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016
H a l a m a n 3 | 4
mengutip pemikir Noam Chomsky yang pernah menyatakan istilah terorisme dalam media
mengalami pembusukan—bahwa aksi itu hanya berarti apa yang dilakukan terhadap “kita”
(Amerika Serikat dan negara-negara koalisinya), tapi tidak berlaku untuk aksi teror yang “kita”
lakukan kepada “mereka”.
Lena Jayyusi dalam “Terror, War, and Disjunctures in the Global Order”, menunjukkan media
jadi bagian dari infrastruktur kekuasaan negara-negara Barat menanamkan rasa takut terhadap
Islam alias “Islamphobia”. Ia melihat beberapa kasus di Eropa seperti pelarangan jilbab dan
pendirian masjid. Media juga tidak proporsional dalam melihat aksi-aksi teror sepanjang
dekade 2000-an di daratan Eropa yang pernah menghadapi 300 serangan dan kurang dari
separuhnya dilakukan oleh “kelompok Islam”. Tetapi serangan dari pelaku di luar “kelompok
Islam” tidak disebut oleh media sebagai “teror”. Jayyusi menilai banyak media Barat turut serta
dalam menciptakan amnesia massal dengan mengabaikan konsekuensi serangan dan invasi oleh
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah.
Bias macam itu kemudian dilegitimasi dalam pembingkaian melalui berita-berita media, film,
dan game online, yang membentuk narasi dan teks budaya populer. Di Amerika Serikat
misalnya, setelah peristiwa 11 September 2001, pelbagai film dan serial TV mengangkat isu
terorisme dengan bingkai penuh prasangka terutama mengaitkan antara teroris dan komunitas
muslim. Seperti disebutkan Freedman dan Kishan Thussu, pelbagai narasi teks ini
“membakukan” pemahaman bahwa terorisme sinonim dengan Islam, dan karena itu pelbagai
tindakan anti-Islam menjadi sah untuk dilakukan.
Lewat narasi besar dari kekuatan publisitas dunia, “perang melawan teror” telah memengaruhi
cara pandang media-media lokal memberitakan aksi-aksi teror di pelbagai tempat seperti Asia,
Rusia, Prancis, dan Arab. Para penulis seperti Elena Vartanova, Rune Ottosen, dan Tristan
Mattelart mengulas bagaimana (pembingkaian) media lokal melaporkan “aksi teror” yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok oposisi pemerintah maupun sikap diskriminatif negara
terhadap kelompok minoritas.
Selain analisis dari akademisi dan peneliti, buku ini memuat perspektif wartawan melihat peran
media dalam terorisme. Ia mengulas sejumlah problem wartawan saat meliput terorisme dan
pelbagai faktor yang memengaruhi laporannya. Misalnya tekanan dari institusi media untuk
membuat berita-berita sensasional, termasuk mengeksploitasi kekerasan, dan mengabaikan
sensitivitas pembaca.
Dalam situasi ketika (pemberitaan) terorisme telah jadi komoditas, media tidak sekadar
melaporkan apa yang terjadi. Tetapi ia melakukan dramatisasi agar model berita macam itu bisa
menangguk perhatian audiens. Dramatisasi, pada gilirannya, mengabaikan fakta dan justru
melakukan disinformasi. Praktik macam ini, di antaranya diulas dalam tulisan Dahr Jamail dan
Danny Schecter, datang dari situasi ketika banyak wartawan memakan bulat-bulat informasi
dan distorsi dari narasumber resmi seperti militer—seringnya oleh para wartawan yang
melakukan praktik embedded journalism.
Salah satu kisah wartawan dari buku ini memuat pengalaman jurnalis dari Amerika Serikat
yang mewawancarai pimpinan kelompok Taliban. Ia diminta menunggu beberapa hari.
Belakangan ia tahu, saat proses menunggu itu, kelompok Taliban lebih dulu mencari latar
belakangnya secara detail lewat internet. Barulah kemudian ia diizinkan wawancara.
Apa yang menarik dari buku ini, menurut saya, adalah luasnya jenis media yang dianalisis.
Tidak hanya media dalam pengertian konvensional (seperti koran atau televisi), tapi juga film,
internet, permainan elektronik, dan sebagainya. Tidak hanya memakai pendekatan analisis teks,
sejumlah tulisan dari buku ini menawarkan analisis lebih mendalam tentang pelbagai faktor
yang membentuk lahirnya teks-teks media dalam isu terorisme.
4. PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016
H a l a m a n 4 | 4
Pelbagai analisis dan perspektif ini tetap relevan karena menawarkan ragam cara pandang
dalam melihat media dan terorisme. Ia membantu kita untuk tidak mudah menghakimi sebuah
media mendukung terorisme hanya karena memberikan ruang bagi aktor-aktor yang terlibat
dalam aksi teror. Sebaliknya, tidak buru-buru pula mengambil kesimpulan sebuah media
terlibat dalam konspirasi tertentu ketika memberitakan kelompok yang terlibat aksi teror. Ada
jalinan ekonomi politik yang kompleks di belakangnya.
Sebagai contoh, kita bisa menengok bagaimana relasi antara media dan perkara (peliputan)
terorisme di Indonesia. Dalam “ANTV, Karni, dan Eksklusivitas” (2006), wartawan Farid Gaban
menulis tentang kerjasama antara stasiun televisi ANTV—saat itu dimiliki oleh Bakrie—dan
aparat kepolisian yang menawarkan drama dalam aksi penggerebekan terduga teroris di
Wonosobo pada 2006. Dengan apa yang disebut “liputan eksklusif” lewat beragama sudut
kamera yang sempurna, ANTV mendapat akses luas dan strategis.
Stasiun televisi ini bahkan sudah mengirimkan mobil studio-mini di malam penggerebekan
ketika wartawan dan media lain belum tahu informasi tersebut (bahkan jika tahu pun, hampir
pasti takkan bisa mendapatkan sudut pandang ideal karena jalan telah diblokir terlebih dulu
oleh polisi). Seperti disebut Farid, cara kerja media macam itu bukan tanpa konsekuensi.
Keistimewaan yang diberikan polisi telah membuat ANTV kehilangan daya kritis. Sudut
pandang pemberitaan melulu dari pihak kepolisian dan menegaskan opini tunggal dari pihak
kepolisian dalam kasus terorisme yang penuh kejanggalan itu.
Belajar dari pengalaman tersebut, perlu sikap kritis dalam membaca berita-berita tentang aksi
teror seperti yang terjadi di kawasan Sarinah lalu. Jika kita memperhatikan berita-berita di
media cetak satu-dua hari kemudian, nada beritanya serupa: negara dan masyarakat tidak boleh
kalah dan takut dari aksi teror. Sedikit berbeda memang jika melihat berita-berita di media
daring seperti beberapa pertanyaan yang saya ajukan di awal. Nadanya lebih beragam, sebagian
berusaha “meluruskan” informasi kronologi kejadian dengan sejumlah versi yang masih
simpang-siur.
Sementara ada juga berita-berita yang membangun mitos seperti dicontohkan Tribun Medan
dengan memberitakan jenazah pelaku teror yang disebut tersenyum. Jika tujuannya mendulang
klik, saya kira ia telah berhasil. Yang berbahaya justru saat berita-berita macam itu dilandasi
semangat ideologis yang sama dengan pelaku teror. Sadar atau tidak sadar, ia justru
membangun mitos-mitos baru mengenai pelaku teror yang dapat memacu orang melakukan
tindakan serupa.
Pada titik itulah media sosial punya kemampuan menyebarluaskan berita-berita bermasalah.
Ironisnya pula tanpa disertasi sikap kritis audiens. Hal semacam itu kian mengaburkan kita
memahami apa yang sebetulnya terjadi dalam aksi terorisme. Ia justru melakukan praktik
disinformasi. Bila begini, pada tahap selanjutnya, ia membuat efek terorisme berlipat: kita
menjadi korban dari aksi teror sekaligus korban dari berita-berita (menyesatkan) tentang aksi
teror.*