SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  4
Télécharger pour lire hors ligne
Media dalam Terorisme
Oleh:
Wisnu Prasetya Utomo
www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016
	
H a l a m a n 	2	|	4	
	
Media dalam Terorisme
oleh Wisnu Prasetya Utomo
Media and Terrorism: Global Perspective
Des Freedman & Daya Kishan Thussu (editor)
SAGE Publications (London, 2012), 336 hal.
ADA banyak pertanyaan yang mengganjal ketika menyaksikan dan membaca berita-berita
mengenai aksi terorisme di kawasan Thamrin, 14 Januari lalu. Misalnya, mengapa TV One
buru-buru memberitakan ada ledakan di beberapa tempat? Meski kemudian diralat, tidakkah
berita semacam itu sudah lebih dari cukup untuk memicu kepanikan massal? Kenapa Tribun
Medan membuat berita yang mempertanyakan jenazah pelaku teror dalam keadaan tersenyum?
Apakah sampul muka majalah Tempo yang menampilkan pelaku teror menembak polisi tidak
membuat polisi tersebut mengalami trauma jika melihatnya? Apakah pilihan CNN Indonesia
menghadirkan Muhammad Jibriel adalah bentuk media menjalankan prinsip cover both sides,
atau justru memberikan ruang bagi para pelaku teror jika melihat rekam jejak narasumber itu?
Liputan media tentang isu terorisme kerap memancing perdebatan dan diskusi yang
substansial, dari perkara etis sampai ekonomi politik media, dari perang wacana sampai
stereotip yang diskriminatif. Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dalam Panduan Jurnalis
Meliput Terorisme (2011) pernah menyebut wartawan (dan tentu saja media) memiliki
setidaknya sembilan problem dalam peliputan terorisme—di antaranya kerap lalai melakukan
verifikasi, melepaskan peristiwa dari konteks besar, dan sering mendramatisasi keadaan.
Kalau dirangkum, ada dua isu besar ketika mendiskusikan hal ini. Pertama, pelbagai problem
media dalam memberitakan terorisme yang terburu-buru menyimpulkan seseorang terlibat
dalam aksi teror. Kedua, aksi teror sendiri kerap memanfaatkan media untuk meraih perhatian
publik. Perkembangan teknologi komunikasi dan media, bagaimanapun, telah membuat aksi-
aksi teror (bisa) tersebar lebih luas sehingga pesan dari aksi itu dapat menjangkau lebih banyak
orang.
Problem macam itu bukanlah dominan di Indonesia. Ia adalah gejala global terutama setelah
aksi teror di Amerika Serikat tahun 2001—yang dikenal peristiwa 9/11. Merujuk makin
kompleksnya terorisme global, perubahan aktor dan geopolitik, serta krisis kemanusiaan dan
gelombang pengungsian parah yang mengikutinya, buku bunga rampai 18 tulisan dari 26
penulis ini dapat menjadi pengantar relatif lengkap untuk memahami hubungan antara media
dan terorisme yang terus berubah.
Lanskap global tidak bisa kita hindarkan dari apa yang disebut proyek “perang melawan teror”
lewat pemerintahan Bush pada 2001. Kritik atas media saat itu, selain memberitakan aksi-aksi
terorisme dengan cara mengikuti tentara AS (dikenal embedded journalism), media berperan
penting dalam membentuk wacana yang menopang agresi yang dilakukan oleh Amerika Serikat
baik di Afghanistan maupun Irak, dan belakangan di Libya dan Suriah.
Media berperan mereduksi aksi-aksi terorisme hanya sebagai aksi kelompok fundamentalis
agama dan aksi brutal yang dilakukan secara acak oleh kelompok-kelompok klandestin.
Sementara konteks besar untuk melihat mengapa aksi itu terjadi kerap diabaikan. Pada
gilirannya ia membuat “aksi melawan terorisme” adalah persoalan pihak yang berkuasa dalam
menentukan lawan atau kawan. Des Freedman dan Kishan Thussu dalam pengantar buku ini
PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016
	
H a l a m a n 	3	|	4	
	
mengutip pemikir Noam Chomsky yang pernah menyatakan istilah terorisme dalam media
mengalami pembusukan—bahwa aksi itu hanya berarti apa yang dilakukan terhadap “kita”
(Amerika Serikat dan negara-negara koalisinya), tapi tidak berlaku untuk aksi teror yang “kita”
lakukan kepada “mereka”.
Lena Jayyusi dalam “Terror, War, and Disjunctures in the Global Order”, menunjukkan media
jadi bagian dari infrastruktur kekuasaan negara-negara Barat menanamkan rasa takut terhadap
Islam alias “Islamphobia”. Ia melihat beberapa kasus di Eropa seperti pelarangan jilbab dan
pendirian masjid. Media juga tidak proporsional dalam melihat aksi-aksi teror sepanjang
dekade 2000-an di daratan Eropa yang pernah menghadapi 300 serangan dan kurang dari
separuhnya dilakukan oleh “kelompok Islam”. Tetapi serangan dari pelaku di luar “kelompok
Islam” tidak disebut oleh media sebagai “teror”. Jayyusi menilai banyak media Barat turut serta
dalam menciptakan amnesia massal dengan mengabaikan konsekuensi serangan dan invasi oleh
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah.
Bias macam itu kemudian dilegitimasi dalam pembingkaian melalui berita-berita media, film,
dan game online, yang membentuk narasi dan teks budaya populer. Di Amerika Serikat
misalnya, setelah peristiwa 11 September 2001, pelbagai film dan serial TV mengangkat isu
terorisme dengan bingkai penuh prasangka terutama mengaitkan antara teroris dan komunitas
muslim. Seperti disebutkan Freedman dan Kishan Thussu, pelbagai narasi teks ini
“membakukan” pemahaman bahwa terorisme sinonim dengan Islam, dan karena itu pelbagai
tindakan anti-Islam menjadi sah untuk dilakukan.
Lewat narasi besar dari kekuatan publisitas dunia, “perang melawan teror” telah memengaruhi
cara pandang media-media lokal memberitakan aksi-aksi teror di pelbagai tempat seperti Asia,
Rusia, Prancis, dan Arab. Para penulis seperti Elena Vartanova, Rune Ottosen, dan Tristan
Mattelart mengulas bagaimana (pembingkaian) media lokal melaporkan “aksi teror” yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok oposisi pemerintah maupun sikap diskriminatif negara
terhadap kelompok minoritas.
Selain analisis dari akademisi dan peneliti, buku ini memuat perspektif wartawan melihat peran
media dalam terorisme. Ia mengulas sejumlah problem wartawan saat meliput terorisme dan
pelbagai faktor yang memengaruhi laporannya. Misalnya tekanan dari institusi media untuk
membuat berita-berita sensasional, termasuk mengeksploitasi kekerasan, dan mengabaikan
sensitivitas pembaca.
Dalam situasi ketika (pemberitaan) terorisme telah jadi komoditas, media tidak sekadar
melaporkan apa yang terjadi. Tetapi ia melakukan dramatisasi agar model berita macam itu bisa
menangguk perhatian audiens. Dramatisasi, pada gilirannya, mengabaikan fakta dan justru
melakukan disinformasi. Praktik macam ini, di antaranya diulas dalam tulisan Dahr Jamail dan
Danny Schecter, datang dari situasi ketika banyak wartawan memakan bulat-bulat informasi
dan distorsi dari narasumber resmi seperti militer—seringnya oleh para wartawan yang
melakukan praktik embedded journalism.
Salah satu kisah wartawan dari buku ini memuat pengalaman jurnalis dari Amerika Serikat
yang mewawancarai pimpinan kelompok Taliban. Ia diminta menunggu beberapa hari.
Belakangan ia tahu, saat proses menunggu itu, kelompok Taliban lebih dulu mencari latar
belakangnya secara detail lewat internet. Barulah kemudian ia diizinkan wawancara.
Apa yang menarik dari buku ini, menurut saya, adalah luasnya jenis media yang dianalisis.
Tidak hanya media dalam pengertian konvensional (seperti koran atau televisi), tapi juga film,
internet, permainan elektronik, dan sebagainya. Tidak hanya memakai pendekatan analisis teks,
sejumlah tulisan dari buku ini menawarkan analisis lebih mendalam tentang pelbagai faktor
yang membentuk lahirnya teks-teks media dalam isu terorisme.
PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016
	
H a l a m a n 	4	|	4	
	
Pelbagai analisis dan perspektif ini tetap relevan karena menawarkan ragam cara pandang
dalam melihat media dan terorisme. Ia membantu kita untuk tidak mudah menghakimi sebuah
media mendukung terorisme hanya karena memberikan ruang bagi aktor-aktor yang terlibat
dalam aksi teror. Sebaliknya, tidak buru-buru pula mengambil kesimpulan sebuah media
terlibat dalam konspirasi tertentu ketika memberitakan kelompok yang terlibat aksi teror. Ada
jalinan ekonomi politik yang kompleks di belakangnya.
Sebagai contoh, kita bisa menengok bagaimana relasi antara media dan perkara (peliputan)
terorisme di Indonesia. Dalam “ANTV, Karni, dan Eksklusivitas” (2006), wartawan Farid Gaban
menulis tentang kerjasama antara stasiun televisi ANTV—saat itu dimiliki oleh Bakrie—dan
aparat kepolisian yang menawarkan drama dalam aksi penggerebekan terduga teroris di
Wonosobo pada 2006. Dengan apa yang disebut “liputan eksklusif” lewat beragama sudut
kamera yang sempurna, ANTV mendapat akses luas dan strategis.
Stasiun televisi ini bahkan sudah mengirimkan mobil studio-mini di malam penggerebekan
ketika wartawan dan media lain belum tahu informasi tersebut (bahkan jika tahu pun, hampir
pasti takkan bisa mendapatkan sudut pandang ideal karena jalan telah diblokir terlebih dulu
oleh polisi). Seperti disebut Farid, cara kerja media macam itu bukan tanpa konsekuensi.
Keistimewaan yang diberikan polisi telah membuat ANTV kehilangan daya kritis. Sudut
pandang pemberitaan melulu dari pihak kepolisian dan menegaskan opini tunggal dari pihak
kepolisian dalam kasus terorisme yang penuh kejanggalan itu.
Belajar dari pengalaman tersebut, perlu sikap kritis dalam membaca berita-berita tentang aksi
teror seperti yang terjadi di kawasan Sarinah lalu. Jika kita memperhatikan berita-berita di
media cetak satu-dua hari kemudian, nada beritanya serupa: negara dan masyarakat tidak boleh
kalah dan takut dari aksi teror. Sedikit berbeda memang jika melihat berita-berita di media
daring seperti beberapa pertanyaan yang saya ajukan di awal. Nadanya lebih beragam, sebagian
berusaha “meluruskan” informasi kronologi kejadian dengan sejumlah versi yang masih
simpang-siur.
Sementara ada juga berita-berita yang membangun mitos seperti dicontohkan Tribun Medan
dengan memberitakan jenazah pelaku teror yang disebut tersenyum. Jika tujuannya mendulang
klik, saya kira ia telah berhasil. Yang berbahaya justru saat berita-berita macam itu dilandasi
semangat ideologis yang sama dengan pelaku teror. Sadar atau tidak sadar, ia justru
membangun mitos-mitos baru mengenai pelaku teror yang dapat memacu orang melakukan
tindakan serupa.
Pada titik itulah media sosial punya kemampuan menyebarluaskan berita-berita bermasalah.
Ironisnya pula tanpa disertasi sikap kritis audiens. Hal semacam itu kian mengaburkan kita
memahami apa yang sebetulnya terjadi dalam aksi terorisme. Ia justru melakukan praktik
disinformasi. Bila begini, pada tahap selanjutnya, ia membuat efek terorisme berlipat: kita
menjadi korban dari aksi teror sekaligus korban dari berita-berita (menyesatkan) tentang aksi
teror.*

Contenu connexe

En vedette

Makalah kerukunan antar umat beragama
Makalah kerukunan antar umat beragamaMakalah kerukunan antar umat beragama
Makalah kerukunan antar umat beragamaIrsal Shabirin
 
Presentasi terorisme
Presentasi terorismePresentasi terorisme
Presentasi terorismeadi setyawan
 
P gold presentation
P gold  presentationP gold  presentation
P gold presentationpeduliduafa
 
Extra cranial aneurysms
Extra cranial aneurysmsExtra cranial aneurysms
Extra cranial aneurysmsRonald Mbiine
 
Giao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_dan
Giao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_danGiao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_dan
Giao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_danVăn Võ Ntn
 
Evaluation Question 1- Website
Evaluation Question 1- WebsiteEvaluation Question 1- Website
Evaluation Question 1- Websitemollyfirmin
 
Camaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._Clima
Camaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._ClimaCamaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._Clima
Camaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._ClimaConsorzio LaMMA - Corso UdC
 
Evaluation Question 2
Evaluation Question 2Evaluation Question 2
Evaluation Question 2monah1
 
Le risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibile
Le risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibileLe risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibile
Le risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibileConsorzio LaMMA - Corso UdC
 
Hispanic Heritage Month Project
Hispanic Heritage Month ProjectHispanic Heritage Month Project
Hispanic Heritage Month Projectjordynjohnson07
 
Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...
Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...
Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...Rostyslav Vasiuta
 

En vedette (16)

Makalah kerukunan antar umat beragama
Makalah kerukunan antar umat beragamaMakalah kerukunan antar umat beragama
Makalah kerukunan antar umat beragama
 
Presentasi terorisme
Presentasi terorismePresentasi terorisme
Presentasi terorisme
 
P gold presentation
P gold  presentationP gold  presentation
P gold presentation
 
Aplikasi Look Event
Aplikasi Look EventAplikasi Look Event
Aplikasi Look Event
 
Extra cranial aneurysms
Extra cranial aneurysmsExtra cranial aneurysms
Extra cranial aneurysms
 
Giao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_dan
Giao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_danGiao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_dan
Giao an trinh_pascal_bai_tap_co_dap_an_huong_dan
 
Evaluation Question 1- Website
Evaluation Question 1- WebsiteEvaluation Question 1- Website
Evaluation Question 1- Website
 
Camaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._Clima
Camaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._ClimaCamaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._Clima
Camaiore Comprensivo Camaiore_1_ 1-2-3-S.O.S._Clima
 
Udc il bosco che cambia....
Udc il bosco che cambia....Udc il bosco che cambia....
Udc il bosco che cambia....
 
Evaluation Question 2
Evaluation Question 2Evaluation Question 2
Evaluation Question 2
 
Ppp
PppPpp
Ppp
 
Le risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibile
Le risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibileLe risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibile
Le risorse del nostro territorio: per una gestione sostenibile
 
Hispanic Heritage Month Project
Hispanic Heritage Month ProjectHispanic Heritage Month Project
Hispanic Heritage Month Project
 
Types of Documentaries
Types of DocumentariesTypes of Documentaries
Types of Documentaries
 
Questionnaire
QuestionnaireQuestionnaire
Questionnaire
 
Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...
Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...
Мінрегіон: Концепція реформування місцевого самоврядування та територіальної ...
 

Similaire à Media dalam Terorisme

Etika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptx
Etika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptxEtika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptx
Etika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptxMiaABZ
 
TERORISME_ppt (1).pptx
TERORISME_ppt (1).pptxTERORISME_ppt (1).pptx
TERORISME_ppt (1).pptxdaii3
 
Kelahiran terorisme yang disponsori negara
Kelahiran terorisme yang disponsori negaraKelahiran terorisme yang disponsori negara
Kelahiran terorisme yang disponsori negaraAlat_Survey_Pemetaan
 
Tugas keempat sekaligus uas
Tugas keempat sekaligus uasTugas keempat sekaligus uas
Tugas keempat sekaligus uasBrigita Manohara
 
Kepemilikan media dan politik
Kepemilikan media dan politikKepemilikan media dan politik
Kepemilikan media dan politikRonzzy Kevin
 
Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)
Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)
Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)Wahyu Dwi Pranata
 
Media online pembaca laba dan etika (final report)
Media online pembaca laba dan etika (final report)Media online pembaca laba dan etika (final report)
Media online pembaca laba dan etika (final report)Asep Saefullah
 
Peran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorisme
Peran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorismePeran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorisme
Peran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorismeUNIVERSITAS DIPONEGORO
 
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepenugasanupn
 
Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...
Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...
Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...Nur Rois
 
Menengok Isi Otak Teroris
Menengok Isi Otak TerorisMenengok Isi Otak Teroris
Menengok Isi Otak Terorisrumahbianglala
 
Musni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di Indonesia
Musni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di IndonesiaMusni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di Indonesia
Musni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di Indonesiamusniumar
 
KEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAH
KEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAHKEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAH
KEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAHFikri Mahmud
 
Harry analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdo
Harry   analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdoHarry   analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdo
Harry analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdoHarry Azhari
 
Makalah genosida 2
Makalah genosida 2Makalah genosida 2
Makalah genosida 2Arly Hidayat
 

Similaire à Media dalam Terorisme (20)

Transnasional
TransnasionalTransnasional
Transnasional
 
Transnasional
TransnasionalTransnasional
Transnasional
 
Etika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptx
Etika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptxEtika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptx
Etika Jurnalistik materi 3 pertemuan ke 6.pptx
 
TERORISME_ppt (1).pptx
TERORISME_ppt (1).pptxTERORISME_ppt (1).pptx
TERORISME_ppt (1).pptx
 
Kelahiran terorisme yang disponsori negara
Kelahiran terorisme yang disponsori negaraKelahiran terorisme yang disponsori negara
Kelahiran terorisme yang disponsori negara
 
Tugas keempat sekaligus uas
Tugas keempat sekaligus uasTugas keempat sekaligus uas
Tugas keempat sekaligus uas
 
Kepemilikan media dan politik
Kepemilikan media dan politikKepemilikan media dan politik
Kepemilikan media dan politik
 
Astina edisi 1
Astina edisi 1Astina edisi 1
Astina edisi 1
 
Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)
Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)
Presentasi staip pati 9 Elemen Jurnalisme (Wahyu Dwi Pranata)
 
Media online pembaca laba dan etika (final report)
Media online pembaca laba dan etika (final report)Media online pembaca laba dan etika (final report)
Media online pembaca laba dan etika (final report)
 
3_BAB II.pdf
3_BAB II.pdf3_BAB II.pdf
3_BAB II.pdf
 
Peran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorisme
Peran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorismePeran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorisme
Peran jurnalis dalam kasus pemberantasan terorisme
 
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
 
Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...
Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...
Perbandingan Pengaturan Mengenai Terorisme di Indonesia, Inggris dan Australi...
 
Terorisme
TerorismeTerorisme
Terorisme
 
Menengok Isi Otak Teroris
Menengok Isi Otak TerorisMenengok Isi Otak Teroris
Menengok Isi Otak Teroris
 
Musni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di Indonesia
Musni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di IndonesiaMusni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di Indonesia
Musni Umar: Solusi Mengakhiri Terorisme di Indonesia
 
KEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAH
KEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAHKEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAH
KEGANASAN: TELA'AH TERHADAP KONSEP JIHAD FI SABILILLAH
 
Harry analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdo
Harry   analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdoHarry   analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdo
Harry analisis - perang persepsi, pasca peristiwa charlie hebdo
 
Makalah genosida 2
Makalah genosida 2Makalah genosida 2
Makalah genosida 2
 

Plus de Pindai Media

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiPindai Media
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehPindai Media
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPindai Media
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanPindai Media
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kinePindai Media
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoPindai Media
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhPindai Media
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakariaPindai Media
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPindai Media
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPindai Media
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankPindai Media
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakPindai Media
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaPindai Media
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaPindai Media
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri BukuPindai Media
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuPindai Media
 

Plus de Pindai Media (20)

Ditimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang HajiDitimang Irama Bang Haji
Ditimang Irama Bang Haji
 
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki MenorehAroma Cengkeh di Kaki Menoreh
Aroma Cengkeh di Kaki Menoreh
 
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan ParipurnaPoncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
Poncke Princen, Pembela Kemanusiaan Paripurna
 
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang DilenyapkanUgur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
Ugur Mumcu dan Mereka yang Dilenyapkan
 
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua   phelim kineParanoid indonesia, nestapa papua   phelim kine
Paranoid indonesia, nestapa papua phelim kine
 
Orang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang TegaldowoOrang-Orang Tegaldowo
Orang-Orang Tegaldowo
 
Menari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang RiuhMenari di Medan yang Riuh
Menari di Medan yang Riuh
 
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram   anang zakariaSengketa tanah di bumi mataram   anang zakaria
Sengketa tanah di bumi mataram anang zakaria
 
Pak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku DongengPak Raden dan Buku Dongeng
Pak Raden dan Buku Dongeng
 
Putu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di PlanetPutu Wijaya Berputar di Planet
Putu Wijaya Berputar di Planet
 
Semangat Anti-Tank
Semangat Anti-TankSemangat Anti-Tank
Semangat Anti-Tank
 
Senjakala Media Cetak
Senjakala Media CetakSenjakala Media Cetak
Senjakala Media Cetak
 
Merumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang RimbaMerumahkan Orang Rimba
Merumahkan Orang Rimba
 
Serikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media PropagandaSerikat Buruh dan Media Propaganda
Serikat Buruh dan Media Propaganda
 
Anomali Industri Buku
Anomali Industri BukuAnomali Industri Buku
Anomali Industri Buku
 
Hikayat Virginia
Hikayat VirginiaHikayat Virginia
Hikayat Virginia
 
Perang Balon
Perang BalonPerang Balon
Perang Balon
 
Mario
MarioMario
Mario
 
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara BukuOrhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
Orhan Pamuk, 8 Tahun Dipenjara Buku
 
Efek Proust
Efek ProustEfek Proust
Efek Proust
 

Media dalam Terorisme

  • 1. Media dalam Terorisme Oleh: Wisnu Prasetya Utomo www.pindai.org | t: @pindaimedia | f: facebook.com/pindai.org | e: redaksi@pindai.org
  • 2. PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016 H a l a m a n 2 | 4 Media dalam Terorisme oleh Wisnu Prasetya Utomo Media and Terrorism: Global Perspective Des Freedman & Daya Kishan Thussu (editor) SAGE Publications (London, 2012), 336 hal. ADA banyak pertanyaan yang mengganjal ketika menyaksikan dan membaca berita-berita mengenai aksi terorisme di kawasan Thamrin, 14 Januari lalu. Misalnya, mengapa TV One buru-buru memberitakan ada ledakan di beberapa tempat? Meski kemudian diralat, tidakkah berita semacam itu sudah lebih dari cukup untuk memicu kepanikan massal? Kenapa Tribun Medan membuat berita yang mempertanyakan jenazah pelaku teror dalam keadaan tersenyum? Apakah sampul muka majalah Tempo yang menampilkan pelaku teror menembak polisi tidak membuat polisi tersebut mengalami trauma jika melihatnya? Apakah pilihan CNN Indonesia menghadirkan Muhammad Jibriel adalah bentuk media menjalankan prinsip cover both sides, atau justru memberikan ruang bagi para pelaku teror jika melihat rekam jejak narasumber itu? Liputan media tentang isu terorisme kerap memancing perdebatan dan diskusi yang substansial, dari perkara etis sampai ekonomi politik media, dari perang wacana sampai stereotip yang diskriminatif. Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dalam Panduan Jurnalis Meliput Terorisme (2011) pernah menyebut wartawan (dan tentu saja media) memiliki setidaknya sembilan problem dalam peliputan terorisme—di antaranya kerap lalai melakukan verifikasi, melepaskan peristiwa dari konteks besar, dan sering mendramatisasi keadaan. Kalau dirangkum, ada dua isu besar ketika mendiskusikan hal ini. Pertama, pelbagai problem media dalam memberitakan terorisme yang terburu-buru menyimpulkan seseorang terlibat dalam aksi teror. Kedua, aksi teror sendiri kerap memanfaatkan media untuk meraih perhatian publik. Perkembangan teknologi komunikasi dan media, bagaimanapun, telah membuat aksi- aksi teror (bisa) tersebar lebih luas sehingga pesan dari aksi itu dapat menjangkau lebih banyak orang. Problem macam itu bukanlah dominan di Indonesia. Ia adalah gejala global terutama setelah aksi teror di Amerika Serikat tahun 2001—yang dikenal peristiwa 9/11. Merujuk makin kompleksnya terorisme global, perubahan aktor dan geopolitik, serta krisis kemanusiaan dan gelombang pengungsian parah yang mengikutinya, buku bunga rampai 18 tulisan dari 26 penulis ini dapat menjadi pengantar relatif lengkap untuk memahami hubungan antara media dan terorisme yang terus berubah. Lanskap global tidak bisa kita hindarkan dari apa yang disebut proyek “perang melawan teror” lewat pemerintahan Bush pada 2001. Kritik atas media saat itu, selain memberitakan aksi-aksi terorisme dengan cara mengikuti tentara AS (dikenal embedded journalism), media berperan penting dalam membentuk wacana yang menopang agresi yang dilakukan oleh Amerika Serikat baik di Afghanistan maupun Irak, dan belakangan di Libya dan Suriah. Media berperan mereduksi aksi-aksi terorisme hanya sebagai aksi kelompok fundamentalis agama dan aksi brutal yang dilakukan secara acak oleh kelompok-kelompok klandestin. Sementara konteks besar untuk melihat mengapa aksi itu terjadi kerap diabaikan. Pada gilirannya ia membuat “aksi melawan terorisme” adalah persoalan pihak yang berkuasa dalam menentukan lawan atau kawan. Des Freedman dan Kishan Thussu dalam pengantar buku ini
  • 3. PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016 H a l a m a n 3 | 4 mengutip pemikir Noam Chomsky yang pernah menyatakan istilah terorisme dalam media mengalami pembusukan—bahwa aksi itu hanya berarti apa yang dilakukan terhadap “kita” (Amerika Serikat dan negara-negara koalisinya), tapi tidak berlaku untuk aksi teror yang “kita” lakukan kepada “mereka”. Lena Jayyusi dalam “Terror, War, and Disjunctures in the Global Order”, menunjukkan media jadi bagian dari infrastruktur kekuasaan negara-negara Barat menanamkan rasa takut terhadap Islam alias “Islamphobia”. Ia melihat beberapa kasus di Eropa seperti pelarangan jilbab dan pendirian masjid. Media juga tidak proporsional dalam melihat aksi-aksi teror sepanjang dekade 2000-an di daratan Eropa yang pernah menghadapi 300 serangan dan kurang dari separuhnya dilakukan oleh “kelompok Islam”. Tetapi serangan dari pelaku di luar “kelompok Islam” tidak disebut oleh media sebagai “teror”. Jayyusi menilai banyak media Barat turut serta dalam menciptakan amnesia massal dengan mengabaikan konsekuensi serangan dan invasi oleh negara-negara Eropa dan Amerika Serikat di negara-negara Timur Tengah. Bias macam itu kemudian dilegitimasi dalam pembingkaian melalui berita-berita media, film, dan game online, yang membentuk narasi dan teks budaya populer. Di Amerika Serikat misalnya, setelah peristiwa 11 September 2001, pelbagai film dan serial TV mengangkat isu terorisme dengan bingkai penuh prasangka terutama mengaitkan antara teroris dan komunitas muslim. Seperti disebutkan Freedman dan Kishan Thussu, pelbagai narasi teks ini “membakukan” pemahaman bahwa terorisme sinonim dengan Islam, dan karena itu pelbagai tindakan anti-Islam menjadi sah untuk dilakukan. Lewat narasi besar dari kekuatan publisitas dunia, “perang melawan teror” telah memengaruhi cara pandang media-media lokal memberitakan aksi-aksi teror di pelbagai tempat seperti Asia, Rusia, Prancis, dan Arab. Para penulis seperti Elena Vartanova, Rune Ottosen, dan Tristan Mattelart mengulas bagaimana (pembingkaian) media lokal melaporkan “aksi teror” yang dilakukan oleh kelompok-kelompok oposisi pemerintah maupun sikap diskriminatif negara terhadap kelompok minoritas. Selain analisis dari akademisi dan peneliti, buku ini memuat perspektif wartawan melihat peran media dalam terorisme. Ia mengulas sejumlah problem wartawan saat meliput terorisme dan pelbagai faktor yang memengaruhi laporannya. Misalnya tekanan dari institusi media untuk membuat berita-berita sensasional, termasuk mengeksploitasi kekerasan, dan mengabaikan sensitivitas pembaca. Dalam situasi ketika (pemberitaan) terorisme telah jadi komoditas, media tidak sekadar melaporkan apa yang terjadi. Tetapi ia melakukan dramatisasi agar model berita macam itu bisa menangguk perhatian audiens. Dramatisasi, pada gilirannya, mengabaikan fakta dan justru melakukan disinformasi. Praktik macam ini, di antaranya diulas dalam tulisan Dahr Jamail dan Danny Schecter, datang dari situasi ketika banyak wartawan memakan bulat-bulat informasi dan distorsi dari narasumber resmi seperti militer—seringnya oleh para wartawan yang melakukan praktik embedded journalism. Salah satu kisah wartawan dari buku ini memuat pengalaman jurnalis dari Amerika Serikat yang mewawancarai pimpinan kelompok Taliban. Ia diminta menunggu beberapa hari. Belakangan ia tahu, saat proses menunggu itu, kelompok Taliban lebih dulu mencari latar belakangnya secara detail lewat internet. Barulah kemudian ia diizinkan wawancara. Apa yang menarik dari buku ini, menurut saya, adalah luasnya jenis media yang dianalisis. Tidak hanya media dalam pengertian konvensional (seperti koran atau televisi), tapi juga film, internet, permainan elektronik, dan sebagainya. Tidak hanya memakai pendekatan analisis teks, sejumlah tulisan dari buku ini menawarkan analisis lebih mendalam tentang pelbagai faktor yang membentuk lahirnya teks-teks media dalam isu terorisme.
  • 4. PINDAI.ORG – Media dalam Terorisme / 20 Januari 2016 H a l a m a n 4 | 4 Pelbagai analisis dan perspektif ini tetap relevan karena menawarkan ragam cara pandang dalam melihat media dan terorisme. Ia membantu kita untuk tidak mudah menghakimi sebuah media mendukung terorisme hanya karena memberikan ruang bagi aktor-aktor yang terlibat dalam aksi teror. Sebaliknya, tidak buru-buru pula mengambil kesimpulan sebuah media terlibat dalam konspirasi tertentu ketika memberitakan kelompok yang terlibat aksi teror. Ada jalinan ekonomi politik yang kompleks di belakangnya. Sebagai contoh, kita bisa menengok bagaimana relasi antara media dan perkara (peliputan) terorisme di Indonesia. Dalam “ANTV, Karni, dan Eksklusivitas” (2006), wartawan Farid Gaban menulis tentang kerjasama antara stasiun televisi ANTV—saat itu dimiliki oleh Bakrie—dan aparat kepolisian yang menawarkan drama dalam aksi penggerebekan terduga teroris di Wonosobo pada 2006. Dengan apa yang disebut “liputan eksklusif” lewat beragama sudut kamera yang sempurna, ANTV mendapat akses luas dan strategis. Stasiun televisi ini bahkan sudah mengirimkan mobil studio-mini di malam penggerebekan ketika wartawan dan media lain belum tahu informasi tersebut (bahkan jika tahu pun, hampir pasti takkan bisa mendapatkan sudut pandang ideal karena jalan telah diblokir terlebih dulu oleh polisi). Seperti disebut Farid, cara kerja media macam itu bukan tanpa konsekuensi. Keistimewaan yang diberikan polisi telah membuat ANTV kehilangan daya kritis. Sudut pandang pemberitaan melulu dari pihak kepolisian dan menegaskan opini tunggal dari pihak kepolisian dalam kasus terorisme yang penuh kejanggalan itu. Belajar dari pengalaman tersebut, perlu sikap kritis dalam membaca berita-berita tentang aksi teror seperti yang terjadi di kawasan Sarinah lalu. Jika kita memperhatikan berita-berita di media cetak satu-dua hari kemudian, nada beritanya serupa: negara dan masyarakat tidak boleh kalah dan takut dari aksi teror. Sedikit berbeda memang jika melihat berita-berita di media daring seperti beberapa pertanyaan yang saya ajukan di awal. Nadanya lebih beragam, sebagian berusaha “meluruskan” informasi kronologi kejadian dengan sejumlah versi yang masih simpang-siur. Sementara ada juga berita-berita yang membangun mitos seperti dicontohkan Tribun Medan dengan memberitakan jenazah pelaku teror yang disebut tersenyum. Jika tujuannya mendulang klik, saya kira ia telah berhasil. Yang berbahaya justru saat berita-berita macam itu dilandasi semangat ideologis yang sama dengan pelaku teror. Sadar atau tidak sadar, ia justru membangun mitos-mitos baru mengenai pelaku teror yang dapat memacu orang melakukan tindakan serupa. Pada titik itulah media sosial punya kemampuan menyebarluaskan berita-berita bermasalah. Ironisnya pula tanpa disertasi sikap kritis audiens. Hal semacam itu kian mengaburkan kita memahami apa yang sebetulnya terjadi dalam aksi terorisme. Ia justru melakukan praktik disinformasi. Bila begini, pada tahap selanjutnya, ia membuat efek terorisme berlipat: kita menjadi korban dari aksi teror sekaligus korban dari berita-berita (menyesatkan) tentang aksi teror.*