Contoh naskah drama original tidak copy paste karangan dari kelompok saya sendiri. untuk 8 orang/pemeran dengan tema toleransi/saling menghargai antarsuku, ras , budaya.
1. Haraman Toyyiba
Penokohan:
1. Sahrul A. : Koko (orang Tionghoa).
Sifat : Pekerja keras, sedikit individual, perhitungan.
2. Ragil P. : Kyai Ahmed Khan
Sifat : Tenang, berwibawa.
3. Putri M. : Cik Mei Mei (istri orang Tionghoa)
Sifat : Penuh perhitungan,ramah
4. Farikhah M.S. : Solihah (pribumi asal Jawa)
Sifat : Cerewet, provokator, mudah murah, suka selfie dan update medsos
5. Prinanda P : Bu Supri (pribumi asal Madura)
Sifat : Mudah terpengaruh, Provokator
6. Zahra Zu L. : Lina (konsumen pribumi asal Borneo)
Sifat : Mudah terpengaruh, cerewet.
7. Hanifah M.H. : Miftah (konsumen pribumi asal Melayu)
Sifat : Mudah terpengaruh, cerewet.
8. Wafa : Fawa Khan (Istri Kyai Ahmed Khan)
Sifat : Sabar dan lembut.
Alur:
A. Kedatangan pendatang baru, orang Tinghoa
B. Kehidupan masih berjalan damai diantara orang tinghoa dan pribumi
C. Orang Tionghoa mendirikan toko kelontong di pasar dan berhasil mengusai perekonomian
orang Pribumi
D. Orang Pribumi iri dengan mengintimidasi orang Tionghoa dengan cara memprovokator
bahwa produk - produk Tionghoa itu haram.
E. Terjadi peristiwa sengit antara penjual dan pembeli. Penjual pribumi berusaha menipu
orang borneo dengan cara bermain politik dumping.
F. Datanglah penyelesaian dan pendamaian yakni dengan Sang Kyai yang mengatasi
kotornya perekonomian karena sifat kedengkiaan antara hati orang Pribumi dengan orang
Tionghoa.
2. Bermukimlah rumah-rumah penduduk yang beriringan dengan pohon Jarak di
sepanjang jalan. Terdapat sebuah desa yang dikenal dengan pusat perdagangannya dan
termasuk salah satu kunci pendongkrak perekonomian Indonesia. Desa Sade, begitulah
orang menyebutnya. Penduduknya ramah dan makmur. Berbagai budaya di setiap
Nusantara bercampur menjadi satu.
Di suatu ketika, ada sepasang pendatang baru dari keturunan Tionghoa yang mulai
menjajakan dagangannya di sebuah toko kelontong serbaguna. Awalnya keadaan masih
tenang-tenang saja. Namun lama-kelamaan penduduk tetap Desa Sade khususnya
pedagang yang ada di pasar berubah menjadi iri hati kepada pendatang tersebut. Entah
dengan cara apa orang keturunan Tionghoa itu mampu menjadi pusat kegiatan di pasar.
Solihah : “Pagi Koko. Mau jualan yah (Sok imut)”
Koko : “Haiyya…Iya, Oe mau jualan nih seperti biasa”
Solihah : “Oh ya… Koko ini baru kulak yah?”
Koko : “Haiyya apa itu ‘kulak’? Oe tak ngerti ma…
Solihah : “Haduh…gimana ya (agak bingung), anu wis, Koko baru aja beli barang dari
pasar buat jualan ta?”
Koko : “Hmm (angguk) iya. Ini barang-barang Oe juga udah abis”
Solihah : “Koko kok cepet banget toh habisnya? Ada tips jitu apa ndak sih?”
Koko : “Hmm apa yah? Tak ada, Oe jualan biasa aja. Mengerti apa yang dicari orang”
Solihah : “Oh gitu toh (Mulai kesal). Yo wes, Ko. Aku tak capcus disek”
Kyai : “Assalamualaikum…(muncul tiba-tiba)”
Koko dan Solihah : “(Kaget bersamaan) Wa, waalaikum salam”
Solihah : “Wonten napa toh Kyai? (menghela napas) Jantungku kudu copot ae iki…”
Kyai : “Sebenarnya… Kita wajib berbagi ilmu dengan sesama. Apapun ilmunya
wajib berbagi”
Fawa Khan : “Baiklah kalau begitu, kita pamit dulu ya. Assalamualaikum” (Kyai
dan Fawa Khan pergi dari depan toko kelontong)
Koko dan Solihah : “Waalaikum salam”
Setelah itu, Koko menunjukkan cara yang mungkin menjadi tips untuk berdagang. Tapi
ditanggapi oleh Solihah dengan rasa tidak suka dalam hati. Batinnya berkata, “Halah kowe
nguruki aku yo gak tak rungukno, cara aslimu iku aku loh wis ngerti”. Sekembalinya
3. Solihah, ia mulai update status yang berbunyi “OMG…..sebelah gue kok laris terus yah,
pake susuk macam apa dia”.
Disisi lain, Bu Supri, Si penjual ayam dan daging sapi, kedatangan para pembeli. Para
pembeli itu menghampiri kiosnya.
Lina : “Permisi…Mau beli…”
Bu Supri : “Iya Buk, mau beli apa?”
Lina : “Eta mau beli daging, Bu, satu kilo saja. Berapa ya Bu?”
Bu Supri : “Sakilo saratos ebu, Buk”.
Lina : “Aaah mahal sekali…50 ribu boleh yah?”
Bu Supri : “Tak bisa Buk. Paling murah ya 85 ribu Buk…”
Lina : “Waduh gak bisa lebih murah ya bu?!”
Fawa Khan : “Apa? mahal sekali, uang belanjaan jadi tipis…”
Kyai : “Dalam mengambil keuntungan kita juga harus bisa memperkirakan
berapa persen keuntungan itu, tolong jangan ambil keuntungan yang bikin fulus
makin tifis ‘aja”
Bu Supri : “Terus sampeyan mau beli apa enggak, Kyai?”
Kyai : “Ya sudah, nahnu beli setengah kilo aja”
Bu Supri : (memotong-motong daging dan bertransaksi dengan Kyai dan Fawa Khan)
Miftah : “Kak, Akak, di toko sebelah aje, disane murah sangat (bisik )”
Lina : “(Angguk) oh ya? Ya sudah, etam coba kesana (bisik)”
Miftah dan Lina menghampiri toko kelontong milik Koko dan Cik Mei Mei.
Miftah : “Akak, nak beli beras sama gula boleh kah?”
Cik Mei Mei : “Ah… Situ bisa mau beli apa aja disini ada aa… mullah mullah!”
Miftah : “Semua berape, gule satu kilo dengan beras satu kilo?”
Cik Mei Mei : “Mullah, cuma 30 ribu buat total, situ bayar langsung apa ngebon dulu
ma?”
Miftah : “Saye nak bayar percuma sajalah. Ini duit buat Akak, pas kan?”
Cik Mei Mei : “Ho’o ho’o… laris laris ho… Koko, laris… besok situ beli sini lagi ya”
4. Lina : “Ah betul sangat Akak, murah sangatlah disini, Etam besok juga belanja disini
ah…”
Datanglah Fawa Khan dan Kyai.Ahmed Khan ke kelontong milik Koko dan Cik Mei Mei.
Fawa Khan : “Eh ada Lina dan Miftah, kalian beli juga di toko kelontong ini?”
Miftah : “Iya, Bu Khan dengan Kyai juga nih ceritanye?”
Kyai : “(tertawa kecil) Hehehhee… Ana ini orang yang suka memfantu istri
belanja. Sebagai manusia yang baik tak ada salahnya membantu istri yang
sedang belanja di fasar”
Fawa Khan : “Bu, Saya beli baju daster. Satu berapa?”
Cik Mei Mei : “Bu Khan suka daster? Wah ini juga mullah mullah lah…Khusus Bu.Khan Oe
kasih diskon spesial”
Kyai : “Wah Cik Mei Mei ini sangat baik orangnya, funya ferhitungan yang fas dalam
verdagang. Ana salut, ana salut”
Koko : “Oh… Ini sudah turun temurun Pak.Khan, ilmu dagang pasti ada tanpa
rugi rugi orang lain sama Oe sendiri aa”
Kyai : “Ana faham, Ana faham, bagus bagus”
Para pembeli tersebut meninggalkan pasar dengan hati gembira karena mendapatkan
barang yang lebih murah.Di kemudian hari Solihah dan Bu Supri sedang istirahat dari
berjualan sepanjang hari di pasar Sade.
Solihah : “Eghm, (batuk dan tidak diperhatikan). EGHM! (betuk keras)”
Bu Supri : “Sampeyan thok bhatok (batuk) ye?” (sambil ngemil)
Solihah : “Haah? Bothok (makanan)?”
Bu Supri : “Bhatok itu batuk (batuk)! Bukkan Botho (makanan) dek”
Solihah : “Owalah, duduk lah Bu Pri. Aku iki ra watuk blas!,Iki lho deloken statusku
nang pacebook nyoohhhh,,,!!!!
Bu Supri : “Beeeh ’toko kelontong Koko lan Cik Mei Mei laris pake susuk ilmu dukun’
Beremma carana mak bisa ngakruwa?!”
Solihah :”Iki onok maneh…. Aku mari moco”
5. Bu Supri : “Kemma Dek ?!”
Solihah : “Ki lho… ’Minyak toko kelontong Koko lan Cik Mei Mei onok minyak
Babine, wis diprikso karo dinas kesehatan kebukti hasile NYOTO’.
Bu Supri : “Ya Allah Ya Rabbi Ya Karim…. Pantes itu toko larris mannis dek. Langsung
dek, kita harus nuntut ke pak Kyaai, Beliau kan Te eRTe disinni dek.”
Solihah : Ojok… Awake dewe langsung neng tokone ae. Ayo nyeluk liyane supoyo
Koko lan Cik Mei Mei diusir teko kene… Ayo Bu Pri!! BUDHAL!!!”
Akhirnya setelah mengumpulkan cukup warga dan meyakini dengan berita itu,
Solihah dan orang-orang kampung datang dengan niat mengusir toko kelontong Koko dan
Cik Mei Mei tanpa izin terlebih dahulu.
Solihah : “Hoiii!! Kami tau kalian ini jualan barang HARAM! Orang Cina pasti jual
Makanan sing nyampur karo minyak BABI. Wis tak kandhani ojo percoyo karo
wong Cino”
Bu Supri : “Bettul dek. Jek Percaje bik oreng se tak bisa epercaje. Semua orang lah tao
mon degenganna Haraman toyyiba. HARAM itu HARRAM!!” (membawa
kertas aksi demo)
Solihah : “Ayo metuo!! Nek gak metu dibong ae!! (melempar dagangan)
Miftah : “Berarti kite semua nih… tertipu lah!!”
Lina : “Makan makanan haram juga rupanya!”
Datanglah Kyai beserta istrinya yang kebetulan lewat ke pasar.
Kyai : “Masyaallah…. Antum sekalian kenapa rivut semua. Sebagai ketua ‘eRTe saya
harus mengkholaskan ini agar tidak rivut rivut”
Fawa Khan :”Ya Allah, rebit-ribut begini gak baik. Saya tidak suka memandangnya.
Tenang dulu semuanya!”
Solihah : “Itu loh Kyai… Mereka kulakan dagangan haram. Lah kasian toh sing tumbas”
Bu Supri : “Bettul. Yang jualan disinni gak laku kalau semua pindah ka toko haram
aruwa”
Kyai : “Coba antum semua panggilkan yang punya toko ini”
6. Keluarlah Koko dan Cik Mei Mei yang ketakutan dari dalam toko kelontong.
Akhirnya mereka semua diajak untuk duduk bersama di mimbar masjid dekat pasar
bersama orang-orang sekitar.
Koko : “Oe di suruh keluar dan dituduh yang bukan-bukan aa. Oe salah apa sama situ
olang?” (agak marah)
Cik Mei Mei : “Ho oh… Koko… Mei Mei terkujut maa…. Oe takut sama kalian pasang
muka masam, apa lagi buang-buang dagangan (hampir menangis)”
Miftah : “Pasti lah. Kite semua kecewa sangat!” (marah)
Lina : “Engkau ini pasti brandal kaksini.” (kecewa)
Koko : “Jangan kalian olang ini fitnah-fitnah kami aa…. Kita ini sama-sama olang
Muslim!”
Cik Mei Mei : “Jangan pake alasan mentang-mentang kami keturunan Cina aa… dibully
sama kalian olang… dagangan hancul semua…(menangis)”
Koko : “Oe ini rugi… rugi ooo!! Salah apa ini Oe… Oe jadi sedih!!”
Solehah : “Halaah…. Kowe kabeh ra percoyo. Iki loh buktine… ndeloken nyooohh
neng Pacebok, Tuiter, lan Insta ku!” (menunjukkan status yang ia tulis ke orang
banyak)
Kyai : “Masyaallah… Antum semua ‘TEERLAALUU’! Vercaya itu jangan sama
yang begituan, La La! Antum sekalian tau? Fitnah lebih kejam daripada
pembunuhan. Solihah…(agak membentak) Siapa yang menyebarkan verita itu?
Fawa Khan : “Betul. Siapa yang menyebar fitnah ini? Jangan lah suka mengintimidasi
orang”
Solihah : “Status neng Pacebok lak terupdate terus seh. Sudah mesti bener toh”
Fawa Khan : “Ya Allah, Solehah…(geleng-geleng) Apa itu bisa jadi bukti yang kuat?”
Koko : “Ini fitnah, fitnah oo… Oe jadi sakit hati ini. Kyai, Oe olang tak salah hoo”
Kyai : “Solihah, Anti itu BENAR… (diam sejenak). Benar-benar SALAHnya. Secara
psikologi, antum semua yang dagang itu hanya dengki dan iri hati. Solihah,
kamu punya bukti suratnya? (Solihah terdiam) Nah, berita ini PALSU belaka.
7. Jangan Suudzon kalau memang belum terbukti. Nahnu sebagai umat muslim
dan warga Negara Indonesia yang baik harus mempersatukan tali ikatan
persaudaraan sesuai dengan kelima sila dalam Pancasila. Coba sevutkan!
Masyarakat : (menyebutkan kelima sila Pancasila secara bersama)
Kyai : “Nah, Antum semua faham? Kalau sudah faham, Insyaallah semua akan
lancar….aman….. dan sejahtera.”
Fawa Khan : “Saya sependapat. Kita sebagai umat muslim jangan percaya dengan yang
berita yang buktinya tidak kuat. Ini semua menyebabkan dosa, dosa satu Desa
Sade, mungkin sampai ke ujung dunia sekalipun kalau masalah ini masih tetap
ada. Ayo semua minta maaf kepada Koko dan Cik Mei Mei”
Cik Mei Mei : “Xie Xie Kyai, Xie Xie Bu Khan. Keluarga dan dagangan Oe bisa selamat. Xie
Xie!!” (memeluk Fawa Khan)
Pihak yang memprovokasi dan yang bersuudzon terhadap Koko dan Cik Mei Mei
meminta maaf dan berjanji akan jujur dan tidak memfinah dalam bentuk apapun lagi.
Koko dan Cik Mei Mei memaafkan mereka dengan sepenuh hati.
Akhirnya adzan Ashar berkumandang dan mereka pun shalat berjamaah bersama.
Mereka tidak sungkan lagi untuk merapatkan shafnya masing-masing. Setelah shalat
berjamaah, masyarakat membantu toko kelontong milik Koko dan Cik Mei Mei yang
hampir saja hancur. Semua biaya kerugian ditanggung bersama.
Keesokan harinya pun kehidupan mereka kembali normal dan tentram. Mereka
membuktikan bahwa Desa Sade mendapatkan kategori sepuluh besar desa termaju di
seluruh dunia tahun 2020.
Solihah : “Assalamualaikum Ko”
Koko : “Waalaikum salam. Situ mau tanya tips lagi aa?”
Solihah : “Haha… Iyow, kok ngerti seh?! Tapi selfie dishik yok! Ntar tak upload ke
Insta ku!”
Cik Mei Mei : “Loh loh loh… Oe juga mau ikut maa… Bental bental (membenahkan
kerudungnya)”
Solihah : “Siap yow… Si—“
Lina : “Loh… Koko sibuk Selfie? Saya mau beli ni”
8. Miftah : “Kalian semua Selfie tak ajak kite orang…”
Solihah : “Ealah, yo wis ayok! (memanjangkan tongsisnya). Siji Loro—“
Kyai : “(tiba-tiba datang) Assalamualaikum”
Semua : “Wa alaikum salam (kecewa)”
Fawa Khan : “Kenapa semua pada Selfie? Gimana dagangannya?”
Cik Mei Mei : “Haa…. Ada Kyai sama Bu Khan. Ajak selfie-selfie juga hoo”
Solihah : “Ayo wis cepet! Tanganku pegel loh! Siji Loro Telu…(kamera menjepret)
Pisan maneh! Ji… Ro—“
Bu Supri : “Beeh… Engkok mak tak e ajek kiya…. Rocee bekna. Saya harus ikut juga
Dek! (lari menuju depan toko kelontong dengan membawa pisau di tangan dan
semua was-was dengan darah yang berceceran di tanah saat berselfie dengan Bu
Supri)”
Begitulah kehidupan yang sudah terjalin selama beberapa tahun ini. Semua warga yang
tinggal di Desa Sade hidup dengan toleransi tinggi dan jiwa yang selalu berintropeksi diri.
Semua memiliki derajat yang sama, tak ada yang dilebih-lebiihkan atau yang dikurang-
kurangkan.