1. PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah:
STRATEGI BELAJAR MENGAJAR MATEMATIKA
Dosen Pengampu:
Dr. H. Hobri, S.Pd., M.Pd
Erfan Yudianto, S.Pd., M.Pd
Oleh: Kelompok 2 (B Reg)
Putri Meilinda Laksananti (130210101003)
Putri Ayu Arsita (130210101122)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
2. 1
BAB I
DASAR TEORI
A. Pendahuluan
Pembelajaran dan pengajaran kontekstual sebagai sebuah sistem mengajar didasarkan
pada pikiran bahwa makna muncul dari hubungan antara isi dan konteksnya. Konteks
memberikan makna pada isi. Semakin banyak keterkaitan yang ditemukan siswa dalam suatu
konteks yang luas, semakin bermaknalah isinya bagi mereka. Jadi, sebagian besar seorang
guru adalah menyediakan konteks. Semakin mampu para siswa mengaitkan pelajaran-
pelajaran akademis mereka dengan konteks ini, semakin banyak makna yang mereka
dapatkan dari pelajaran tersebut. Mampu mengerti makna dari pengetahuan dan keterampilan
akan menuntun pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan.
Penemuan makna adalah ciri utama dari model pembelajaran kontekstual. Didalam
kamus “makna” diartikan sebagai arti dari sesuatu atau maksud ( Johnson, 2007: 35 ). Ketika
diminta untuk mempelajari sesuatu yang tidak bermakna, para siswa biasanya bertanya,
“Mengapa kami harus mempelajari ini?”. Karena otak terus-menerus mencari makna dan
menyimpan hal-hal yang bermakna. Proses mengajar harus melibatkan para siswa dalam
pencarian makna. Model pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang
otak untuk menyusun pola-pola yang mewujudkan makna dengan menghubungkan muatan
akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa.
B. Hakikat Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) yaitu
merupakan suatu pembelajaran dengan menggunakan konsepsi yang membantu guru
mengaitkan isi materi pelajaran dengan keadaan dunia nyata. Hal itu mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
3. 2
C. Teori yang melandasi CTL
Knowledge-Based Constructivism, menekankan kepada pentingnya siswa
membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar
mengajar.
Effrort-Based Learning/ Incremental Theory of Intellegence. Bekerja keras untuk
mencapai tujuan belajar akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan
yang berkaitan dengan komitmen untuk belajar.
Socialization, yang menekankan bahwa belajar merupakan proses sosial yang
menentukan tujuan belajar, oleh karenanya faktor sosial dan budaya perlu
diperhatikan selama perencanaan pengajaran.
Situated Learning, pengetahuan dan pembelajaran harus dikondisikan dalam fisik
tertentu dan konteks sosial (masyarakat, rumah, dan sebagainya) dalam mencapai
tujuan belajar.
Distributed Learning, manusia merupakan bagian terintegrasi dari proses
pembelajaran, oleh karenanya harus berbagi pengetahuan dan tugas-tugas.
D. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Kerjasama
Saling menunjang
Menyenangkan, tidak membosankan
Belajar dengan bergairah
Pembelajaran terintegrasi
Menggunakan berbagai sumber
Peserta didik aktif
Sharing dengan teman
Peserta didik kritis, guru kreatif
Dinding dan lorong-lorong penuh dengan hasil kerja peserta didik, peta-peta, gambar,
artikel, humor dan lain-lain.
Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor tetapi hasil karya peserta didik, laporan
hasil praktikum, karangan peserta didik dan lain-lain.
4. 3
E. Komponen Pembelajaran Kontekstual
Nurhadi (dalam Hobri 2009: 22) menyatakan bahwa ada tujuh komponen utama CTL,
yaitu:
a. Kontruktivisme (contructivism)
b. Menemukan (inquiry)
c. Bertanya (questioning)
d. Masyarakat belajar (learning community)
e. Pemodelan (modeling)
f. Refleksi (reflection)
g. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Kontruktivime
Kontruktivime (contructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL,
yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya
diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak secara tiba-tiba. Pengetahuan
bukanlah seperangkat fakta konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat.
Manusia mengkontruksi pengetahuanya melalaui interaksi dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungan. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat
berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan atau fenomena yang sesuai. Bagi
kontruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang
lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang.
Piaget (dalam Hobri 2009: 24) memberikan kunci dasar dalam pengajaran konstruktivis
bahwa seorang anak bisa memahami suatu gagasan matematis atau ilmiah dengan cara yang
agak berbeda yang dipahami orang dewasa. Berikut ciri-ciri yang harus yang harus ada pada
saat siswa mengkonstruk yaitu :
1. Struktur dengan ukuran konsistensi internal
2. Integrasi lintas berbagai konsep
3. Konvergensi antara beragam bentuk dan konteks makna
4. Daya reflekstif dan deskriptif
5. Kontinuitas sejarah
5. 4
6. Keterkaitan dengan berbagai sistem symbol
7. Kesesuaian dengan para ahli
8. Potensi untuk bertindak sebagai alat bagi konstruk berikutnya
9. Petunjuk bagi tindakan-tindakan masa depan
10. Kemampuan untuk dijustifikasi dan dipertahankan
Proses pembelajaran yang di lakukan oleh siswa melalui konstuktivisme akan
menghasilkan pengatahuan yang akan bertahan lama. Pengetahuan tersebut dapat bertahan
lama karena siswa yang menemukan atau membangun sendiri pengetahuannya.
Menemukan
Bagian inti dari pembelajaran CTL tersebut yaitu menemukan (inquiry). Dalam
merancang kegiatan, guru harus merujuk pada kegiatan menemukan baik dalam membaca
dan berbicara apapun materi yang akan diajarkan. Inquiry dialaksanakan dalam 5 tahap yaitu:
1. Mengidentifikasi pertanyaan atau masalah
2. Membuat hipotesis
3. Pengumpulan data
4. Menguji hipotesis
5. Menggeneralisasi
Bertanya (Questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi utama dalam pembelajatran CTL. Bertanya
dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan
menilai kemampuan berfikir siswa. Namun, bagi siswa kegiatan bertanya merupakan
kegiatan penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis inquiry yaitu menggali
informasi, mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada
aspek yang belum diketahui. Kegiatan bertanya berguna untuk :
1. Menggali informasi
2. Mengecek pemahan siswa
3. Membangkitkan respon kepada siswa
4. Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa
5. Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui
6. 5
6. Memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki
7. Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan
8. Menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran yang diperoleh siswa
merupakan hasil kerjasama dengan orang lain. Pembentukan learning community dapat
dibentuk dengan cooperative learning dan collaborative learning. Dalam pembentukan
kelompok, guru yang menentukan kelompoknya atau siswa sendiri yang menentukan
kelompoknya. Metode pelajaran ini sangat membantu proses pembelajaran
Pemodelan (Modelling)
Pemodelan (modelling) merupakan komponen selanjutnya dalam pembelajaran
kontekstual, ini terjadi dengan cara mengamati perilaku orang lain dan konsekuensinya.,
Pemodelan merupakan suatu proses pemberian contoh mengenai bagaimana kita
mengharapkan orang lain menjadi diri sendiri (to be), berpikir (to think), bertindak (to act),
dan belajar (to learn) (dalam Hobri 2009: 29). Dalam pembelajaran selalu ada model yang
bisa ditiru. Guru disini memberi model bagaimana belajar namun bukan merupakan satu-
satunya model.
Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir kebelakang
tentang apa yang sudah dilakukan di masa lalu. Refleksi merupana respon terhadap kejadian,
aktivitas atau pengetahuan yang baru saja diterima. Realisasi dari refleksi yang telah
dilakukan oleh siswa berupa pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari ini,
catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran mengenai pembelajaran hari itu, diskusi,
hasil karya.
Penilaian Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran
perkembangan belajar siswa. Hal ini diperlukan oleh guru agar bisa memastikan bahwa siswa
7. 6
mengalami proses pembelajaran dengan benar. Penilaian autentik merupakan penilaian yang
berusaha mengukur atau menunjukkan pengetahuan dan keterampilan pengetahuan itu pada
kehidupan nyata (dalam Hobri 2009: 30). Pada umumnya, yang digunakan sebagai authentic
assessment adalah :
1. Presentasi atau penampilan siswa di depan kelas
2. Hasil tes
3. Proyek kegiatan dan laporan siswa dalam mengerjakan LKS
Ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu:
a. Pemebelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh
peserta didik.
b. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara
khusus (dari umum ke khusus)
c. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara:
Menyusun konsep sementara
Melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang
lain
Merevisi dan mengembangkan konsep
d. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa
yang dipelajari
e. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan
yang dipelajari.
8. 7
BAB II
PEMBAHASAN
Dengan menggunakan model pembelajaran kontekstual diharapakan terjadi pembelajaran
yang menyenangkan, tidak membosankan, siswa dapat bekerja sama, belajar secara aktif dan
kritis sedangkan guru lebih kreatif. Dalam pembelajaran kontekstual guru hanya sebagai
fasilitator, siswa di ajarkan untuk belajar mandiri dalam menyelesaikan permasalahan-
permasalahan yang di temukan. Jika pembelajaran kontekstual dapat berjalan dengan baik
maka sedikit banyak dapat meningkatkan mutu pendidikan.
Penerapan konsep pembelajaran kontekstual di dalam kelas yang pertama yaitu suruh
siswa mengkonstruk sendiri pengetahuan, hal ini dapat dilakukan dengan cara guru memberi
tugas kepada siswa untuk mengerjakan LKS dan menyuruh siswa untuk mengkonstruk
sendiri pengetahuan mereka untuk menjawab LKS tersebut. Guru hanya bertindak sebagai
fasilitator sehingga diharapakn dengan pengkonstruksian ini siswa dapat menemukan
pengetahuan yang baru.
Yang kedua yaitu menemukan (inquiry) yang merupakan inti dari pembelajaran
kontekstual. Disini siswa di latih untuk tidak pasif dalam proses pembelajaran dan tidak
hanya menerima rumus langsung tanpa adanya penemuan sendiri. Siswa juga akan berpikir
secara kritis dalam pengetahuan yang telah mereka peroleh. Proses menemukan ini
merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran kontekstual karena pengetahuan yang
diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat saja namun hasil menemukan sendiri.
Langkah ini merupakan proses lanjutan dari konstruktivisme.
Gali informasi merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual karena dapat
digunakan untuk menggali informasi oleh siswa serta digunakan oleh guru untuk
membimbing dan melatih kemampuan berpikir siswa Dalam proses membentuk ilmu
pengetahuan secara mandiri oleh siswa, pasti akan muncul berbagai pertanyaan menyangkut
suatu hal yang tidak dipahami. Sehingga, akan mendorong siswa bertanya pada guru
mengenai hal tersebut. Proses ini membentuk pribadi siswa yang lebih aktif dibandingkan
ketika guru memberikan penjelasan secara langsung.
9. 8
Penerapan komponen kelompok misalnya dengan adanya kegiatan kelompok. Disini guru
dapat membagi siswa menjadi beberapa kelompok, dimana setiap kelompok terdiri dari siswa
yang memiliki level tinggi, sedang dan rendah. Pembelajaran kontekstual membimbing siswa
belajar secara berkelompok yang didalamnya terjadi proses berbicara dan berbagi
pengalaman dengan orang lain. Siswa dapat bekerja sama dengan orang lain untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. Hasil
belajar dari penerapan komponen ini adalah dapat diperoleh pertukaran pendapat antara
teman, kelompok dan antara yang tahu atau mengerti kepada yang tidak tahu atau tidak
mengerti. Karena itu pembelajaran yang dikemas dalam berdiskusi kelompok yang
anggotanya heterogen dengan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen
masyarakat belajar atau learning community.
Guru, benda, cara, atau metode dalam pembelajaran kontekstual merupakan sebuah
keterampilan atau pengetahuan tertentu yang bisa ditiru. Agar dalam menerima sesuatu siswa
tidak merasa samar atau kabur dan bingung maka perlu adanya model atau contoh yang bisa
ditiru. Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukanlah satu-satunya model yang dapat ditiru
oleh siswa. Model juga bisa berupa benda, cara, metode kerja atau hal lain yang bisa ditiru
oleh siswa.
Refleksi (reflection) merupakan cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari dengan
cara mengevaluasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh. Hal ini bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik. Pada proses pembelajaran, refleksi dilakukan oleh
seorang guru pada akhir pembelajaran. Guru menyisakan waktu sejenak agar siswa dapat
melakukan refleksi yang realisasinya dapat berupa :
1. Pertanyaan langsung tentang hal-hal yang diperoleh pada pembelajaran yang baru
saja dilakukan
2. Catatan di buku siswa
3. Kesan dan saran mengenai pembelajaran yang telah dilakukan
Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) merupakan proses akhir dari
pembelajaran kontekstual. Penilaian disini dimulai dari proses pengumpulan berbagai data
yang bisa memberikan gambaran mengenai perkembanagan belajar siswa. Dalam
10. 9
pembelajaran berbasis CTL, perkembangan belajar siswa dipantau oleh guru supaya dapat
memastikan siswa dapat pembelajaran yang benar.
Contoh pengaitan pembelajaran kontekstual:
Dalam membahas materi tentang perbandingan dua pecahan, guru meminta siswa untuk
menyimak cerita yang telah disiapkan seperti berikut ini. Anak-anak, kemarin Bapak pergi ke
air panas. Di sana, Bapak mendengar percakapan dua orang anak yang bernama Rudi dan
Indra seperti ini,
Rudi : Indra, kakekku punya rumah antik, katanya sudah berumur 1 ½ abad.
Indra : Nenekku juga, punya villa peninggalan kakekku malah umur villanya katanya
sudah ¾ abad.
Rudi : Wah, kalau begitu rumah siapa yang umurnya lebih tua ya?
Kemudian guru melanjutkan dengan meminta anak-anak untuk membantu Rudi dan Indra
untuk menentukan umur rumah yang lebih tua.
Cerita yang disampaikan oleh guru tersebut mampu mengalihkan perhatian anak untuk
mempelajari materi tentang membandingkan dua pecahan. Mereka bisa memahami bahwa
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, mereka harus membandingkan kedua pecahan,
yaitu 1 ½ dengan ¾ .
Contoh yang lain adalah pada waktu membahas materi tentang penjumlahan pecahan,
guru menyajikan permasalahan berikut ini. Anak-anak, kemarin nenek anak saya pergi ke
pasar. Sebelum berangkat, cucunya berpesan, « Nek, nanti belikan oleh-oleh ya! » Kemudian
nenek berangkat ke pasar dengan membeli barang-barang antara lain : beras 2 ½ kg,
daging ¼ kg, gula ¾ kg, jeruk 1 ½ kg. Sesampai di rumah, nenek disambut oleh cucunya
dengan gembira, sambil berkata :
Cucu : Hore nenek datang, mana oleh-olehnya nek ?
Nenek : Ini dalam tas, bantu nenek dulu mengangkatnya !
Cucu : Waduh nek, kok belanjaan nenek berat sekali, berapa kilo ini nek ?
Nenek : Nenek tidak tahu.
Kemudian guru melanjutkan dengan meminta anak-anak untuk membantu nenek tersebut
agar bisa menjawab pertanyaan cucunya.
Cerita yang disajikan oleh guru tersebut mampu menarik perhatian anak untuk belajar
lebih serius. Anak-anak mampu memahami bahwa yang harus dilakukan oleh nenek adalah
11. 10
menjumlahkan berat semua barang yang dibeli. Akhirnya, mereka tertarik untuk mempelajari
cara menjumlahkan pecahan.
12. 11
BAB III
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan serta pengertian dari pembelajaran
kontekstual atau yang sering disebut dengan CTL (Contextual Teaching and Learning) dapat
disimpulkan bahwa dengan metode pembelajaran tersebut siswa dapat memahami secara
keseluruhan bahan ajar yang dipelajari dan dapat meningkatkan penalarannya karena bahan
ajar yang disajikan merupakan permasalahannya yang dihubungkan dengan kehidupan nyata
sehari-hari. Kemampuan siswa semakin berkembang karena dalam metode pembelajaran
CTL, langkah awal yaitu konstruktivisme yaitu dimana siswa akan membentuk sendiri
pengetahuan yang dipelajari dan dapat pula menghubungkannya dengan kehidupan nyata
sehingga pengetahuan yang diperoleh bukan hanya sebatas menghafal namun benar-benar
memahami. Selain itu, pembelajaran dengan metode CTL memiliki banyak kelebihan
misalnya : siswa dapat berfikir kritis dan kreatif dalam memecahkan suatu permasalahan,
pembelajaran lebih menyenangkan dan tidak membosankan, terbentuk sikap kerja sama yang
baik antar individu maupun kelompok, dan banyak lagi yang lainnya. Namun selain memiliki
kelebihan, pembelajaran CTL juga memiliki kelemahan misalnya : tidak semua siswa dapat
menyesuaikan dengan metode pembelajaran CTL, tidak efisien karena membutuhkan waktu
yang lama dalam proses belajar mengajar, akan nampak jelas antara siswa yang memiliki
kemampuan tinggi dengan siswa yang memiliki kemampuan rendah sehingga akan
menimbulkan rasa tidak percaya diri bagi siswa yang kemampuannya rendah.
13. 12
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal. 2013. Model- model, Media dan Strategi Pembelajaran Kontekstual (Inovatif).
Bandung: Yrama Widya.
Davi ,Umra, Slamet dan Sulandra, M. 2011. Penerapan Pembelajaran Kontekstual Untuk
Meningkatkan Motivasi Belajar Pada Materi Aljabar Bagi Siswa Kelas VIII-B SMP
Negeri 10 Malang. [online], (http://jurnal-
online.um.ac.id/data/artikel/artikel4A5A593E279A3A2FE62A2884D00C9801.pdf,
diakses 22-08-2014).
Hobri. 2009. Model-model Pembelajaran Inovatif. Jember: Center for Society Studies (CSS).
Johnson, Elaine B. 2007. Contextual Teaching and Learning. Bandung: Mizan Learning Center
(MLC).
Mulyono. 2012. Strategi Pembelajaran Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global.
Malang: UIN- Maliki Press.
Tati, Zulkardi, dan Hartono, Y. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis
Kontekstual Pokok Bahasan Turunan di Madrasah Aliyah Negeri 3 Palembang. [online],
(http://eprints.unsri.ac.id/793/1/7_GANJIL_TATI.pdf, diakses 22-08-214).