SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  86
Télécharger pour lire hors ligne
Kinescope
f i l m ,

s e n i

&

e d u k a s i

free magazine - edisi 1 agustus 2013

Leher
angsa

Tino Saroenggallo

setelah
15 tahun

Premiere

Miracle
in Cell no 7

Atambua
390 Celcius

review

on location

benyamin
sueb
karakter

Kamtis
Army

LA TAhzAN

behind the scene

J a n g a n

B e r s e d i h

Music Report

JAVA ROCKIN’ LAND

Agustus 2013 l Kinescope l 1
2 l Kinescope l Agustus 2013
Agustus 2013 l Kinescope l 3
Contents
Cover Story

10 La Tahzan ( jangan bersedih)
Sebuah Film Drama religi,
dipersembahkanoleh Falcon Pictures padaLebaran 2013 inidisutradaraiolehDanialRifki.

RESENSI FILM

16 Sang Kyai

Berbicara tentang proses
p
­ embuatan sebuah film yang
m
­ engangkat tema ­ ejarah, agama
s
dan ­budaya ­memang ­memiliki
­kesulitan tersendiri.

34Kamtis Army
55

André Bazin

40

Tino Saroengallo

17 Will

Sutradara Ellen Perry seolah
membingkai filmnya layaknya
jalannya pertandingan pada final
Istanbul.

Opini Publik
18 Tradisi Sinema tanpa

Industri Sinema
Pada kenyataannya budaya sinema
terjadi di Indonesia, akan tetapi
belum mampu melahirkan sebuah
industri.

FESTIVAL
20 10 Film Terlaris Korean
Selatan 2012-2013
Memberikan Alternatif
Tontonan Selama Sepekan

REVIEW

22 Miracle in Cell no 7

Eksploitasi Keterbelakangan Mental
Membawa Kesuksesan
Box Office

HOT ISSUE

26 Industri Film Indonesia

Di penghujung tahun 2011, sineas dan
pelaku industri film di Asia Tenggara
berkumpul dalam Festival Film ASEAN.

28 Setelah 15 Tahun

Pemutaran perdana film dokumenter
karya Tino Saroengallo

4 l Kinescope l Agustus 2013

38

Atambua 390 Celcius
On Location

36 LUPUS

Menampilkan foto-foto on-location
shoot Bangun Lagi Dong, Lupus!

KARAKTER

42 Benyamin Sueb

Benyamin Sueb ­ okoh seni ­egendaris
T
l
­Indonesia. Seorang ­pemeran film, ­­pelawak, ­
sutradara dan juga ­ enyanyi.
p

KABAR GEMBIRA

50 PerfilmanIndonesia

mulai bangkit
Indonesia Kembali Menjadi Kandidat
Network of Asian Fantastic Films di Puchon
International Fantastic Film Festival 2013 di
Korea

52 Festival Kesenian Yogyakarta

Ruh Yogyakarta ada pada pendidikan, budaya
dan kesenian.

54 Sejarah
Membaca Sejarah Sinema Indonesia
Lewat Si Anak Sabiran

EduKASI
64 Sinema Indonesia

Butuh Pertolongan
“Disana batasan mereka
adalah ide, disini batasnya budget!” dengan
hasil yang profesional.program mereka. 

66 Mise En Scene (Unsur Visual)

Komunitas

70 Subkulture Rockabilly
Yogyakarta

Interview
74 deddi Mizwar

Tidak Ada Peran
Negara Dalam Industri Film Indonesia!

Music

80 JAVA ROCKIN’ LAND

Sebuah pagelaran festival musik rock.

82 Kerugian Industri Music

Indonesia
Industri musik Indonesia akibat
pembajakan capai Rp 4,5 miliar rupiah
pertahun.
Agustus 2013 l Kinescope l 5
Kinescope
f i l m ,

s e n i

&

e d u k a s ii
u k a s

Penasehat Redaksi
Farid Gaban
Wanda Hamidah
Andibachtiar Yusuf
Biem T Benjamin
Pemimpin Umum
Hasreiza
Marketing & Promotion
Jusuf Alin Lubis
Pemimpin Redaksi
Reiza Patters
Wakil Pemimpin Redaksi
Gumanti Syakib
Redaktur Pelaksana
Muhammad Adrai
Reporter
Dyah Kusumawardhani
Aji Wibowo
Faisal Fadhly
Kontributor	
Shandy Gasella
Primayani Putri Andhini
Taufiqul Rizal
Doni Agustan	
Ranty Yustina Dewi
Daniel Rudi Haryanto
Art DIrector
al Fian adha
Designer
Indra Kusuma
Fotografer
Herry Yohannes
Ilustrator
Seto Bije
Digital & Mobile Applications
Farid Gaban
Distribusi & Sirkulasi
Faisal Fadhly
Community Development
Hasreiza
Event & Promotion
Ollivia Selagusta

subcriptions
Gedung Graha Utama
Jl. Raya Pasar Minggu KM 21
Jakarta Selatan
Email : kinescopemagz@gmail.com
@KinescopeMagz

6 l Kinescope l Agustus 2013

Salam Redaksi

B

erangkat dari dan dengan memperhatikan kondisi stagnan dari kehidupan dan
perkembangan dunia sinema Indonesia yang seharusnya memberikan pengaruh
positif terhadap budaya dan peradaban bangsa Indonesia, muncullah keinginan kami
untuk memberikan kontribusi pemikiran, wadah diskusi dan polemik sebagai upaya
membangun dunia sinema dan seni Indonesia secara umum yang lebih positif dan produktif
dalam membangun pola pemikiran, budaya dan peradaban Indonesia yang lebih maju.
Bentuk kontribusi pemikiran, wadah diskusi dan polemik tersebut kami wujudkan dalam
sebuah media cetak yang akan terbit setiap bulan. Majalah ini akan mengambil peran sebagai
wadah untuk aspirasi, diskusi, perdebatan hingga pergumulan dan konflik pemikiran atas
perkembangan budaya dan peradaban ditinjau dari perspektif sinema, music, dan seni lainnya.
Untuk itu kami hadir sebagai penyambung dari para pemikir, praktisi, penggiat dan sekaligus
penikmat dari seni dan proses budaya dari peradaban bangsa ini.
Majalah Kinescope adalah majalah bulanan yang fokus utamanya mengulas seputar dunia
Film serta Seni di Indonesia, dan mencoba untuk memberikan muatan edukasi secara kritis
namun tetap menghibur.
Majalah ini dibangun dengan tujuan untuk memfasilitasi harapan, kritikan, rasa
keingintahuan hingga uneg-uneg para pecinta, pemeharti, praktisi serta pengajar di bidang
film, seni dan teknologi, khususnya film dan musik Indonesia dengan kemasan yang populis dan
tetap menghibur. Keinginan yang kuat untuk menjadikan Majalah Kinescope sebagai media yang
dapat mengulas perkembangan seni film Indonesia hingga ahirnya, sedikitnya dapat turut serta
mengontrol perkembangan sinema Indonesia.
Majalah ini diberi nama “Kinescope” yaitu sebuah alat yang digunakan untuk
menterjemahkan sinyal menjadi gambar. Filosofi dari nama “Kinescope” adalah ingin mendorong
majalah ini menjadi penterjemah nilai-nilai seni, sinema, musik dan lainnya menjadi gawang
untuk kontribusi positif dan produktif atas budaya dan peradaban masyarakat Indonesia.
Majulah sinema dan seni Indonesia!

Cover Story
Jangan Bersedih
La tahzan | Sebuah Film Drama
religi, dipersembahkan oleh Falcon
Pictures pada Lebaran 2013 ini
disutradarai oleh Danial Rifki. Film
yang pada awalnya memiliki “working
tittle” Orenji, sebelum akhirnya
ditetapkan menjadi La Tahzan,
terinspirasi dari Buku Best Seller
berjudul La Tahzan For Student,
kumpulan cerita para warga negara
Indonesia, pelajar – mahasiswa –
pekerja, yang hidup di Jepang.
Film Schedule August 2013
Film Indonesia Agustus

La Tahzan
La Tahzan “Jangan Bersedih” adalah
sebuah film yang diangkat dari sebuah
buku yang berjudul “La Tahzan For
Students”. Film yang disutradarai oleh
Danial Rifki tersebut mengambil lokasi
syuting sebagian besar di beberapa kota
di Jepang, seperti Osaka, Kyoto, Kobe dan
Wakayama.

Moga Bunda Disayang Allah

1.	 	Get M4rried
	 Tayang 2 Agustus 2013
2.	 	La Tahzan
	 Tayang 2 Agustus 2013
3.	 	 oga Bunda Disayang Allah
M
	 Tayang 2 Agustus 2013
4.	 	2014
	 Tayang 22 Agustus 2013
5.	 	Crazy Love
	 Tayang 22 Agustus 2013
6.	 Cinta/Mati
	 Tayang 29 Agustus 2013
7.	 	 2 Menit Untuk Selamanya
1
	 Tayang 29 Agustus 2013

Get M4rried

Crazy Love
Film arahan Guntur Soeharjanto
(BRANDAL-BRANDAL CILIWUNG,
TAMPAN TAILOR) tersebut dibintangi
sederet nama-nama baru di scene
perfilman tanah air. Selain Adipati Dolken
yang namanya sudah tak asing lagi, ada
Tatjana Saphira, Kemal Pahlevi, Una Putri
dan Zidni Adam turut meramaikan film ini.

Cinta Mati
Berkisah mengenai seorang gadis
bernama Acid yang memilih untuk
mengakiri hidupnya karena berbagai
persoalan. Namun, usahanya terus gagal
hingga akhirnya ia bertemu Jaya, seorang
pemuda yang juga putus asa.

Sebuah film yang diadaptasi dari sebuah
novel bestseller karya Tere Liye dengan
judul yang sama. Diangkat dari salah
satu kisah nyata paling mengharukan.
Film ini berkisah tentang tentang Karang
dan Melati, seorang anak perempuan
yang buta, tuli dan juga bisu. Film ini
disutradarai oleh Jose Poernomo dan
dibintangi oleh Fedi Nuril Shandy Aulia.
Sebuah film komedi terbaru “Get
M4rried” karya sutradara Monty Tiwa
dan diproduksi oleh Starvision. Get
M4rried bercerita tentang perjuangan
Guntoro, Benny dan Eman untuk
mencari cowok baru buat Sophie atas
suruhan Mae, karena Mae yakin, yang
namanya cinta monyet itu gampang
hilangnya.

2014

12 Menit Untuk Selamanya

Film “2014” adalah sebuah film yang
mengisahkan tentang persaingan
menuju kursi kepresidenan 2014. Tidak
hanya politik, film ini juga mengisahkan
cerita cinta dan sebuah ambisi. Film
ini disutradarai oleh Rahabi Mandra
danHanung Bramantyo. Diproduksi oleh
Mahaka Pictures, bekerjasama dengan
Dapur Film.

Sebuah Film yang diangkat dari novel
karya “Jaumil Aurora”, dengan judul yg
sama “12 Menit untuk Selamanya”. Novel
dan Film ini mengisahkan perjuangan
anak-anak Marching Band (MB) Bontang
Pupuk Kaltim tampil selama ‘12 menit’
dalam kompetisi Grand Prix Marching
Band (GPMB), dan sukses di sepuluh
kejuaraan nasional.

Agustus 2013 l Kinescope l 7
MAGAZINE

LaunCh

PARTY!

august 30th 2013

ATRIUM F3 FX SUDIRMAN

Magazine Launching | Talkshow "Peran dan Kontribusi Dunia Seni
Dalam Peradaban Bangsa" | Acoustic Live Music | Door Prize

KINESCOPE INDONESI
A
Gedung Graha Utama Jl. Raya asar Minggu KM 21
P
Jakarta Selatan
Email : kinescopemagz@gmail.com

8 l Kinescope l Agustus 2013
Agustus 2013 l Kinescope l 9
COVER STORY

Jangan Bersedih
mUHAMMAD aDRAI

M

enurut Danial, film ini memiliki
pesan sederhana, yaitu ingin menularkan Virus La Tahzan. “Rumput
tetangga, terkadang lebih indah dari rumput
sendiri. Padahal, dimanapun berada, kemuliaan bakal diraih dengan berkerja keras. Jadi,
janganlah bersedih. Kata-kata “La Tahzan”
jadi menemui konteksnya di sini”, ujar Danial,
sutradara film pendatang baru yang pernah
meraih Penghargaan dalam kategori Penulis
Naskah Asli Terbaik, di  Festival Film Indonesia
dan Penghargaan Penulis Skenario Terpuji,
pada Festival Film Bandung .
Danial menggandeng Joe Taslim, Ario
Bayu, dan Atiqah Hasiholan sebagai pemeran
utama dalam film ini. La Tahzan sendiri,
merupakan film Indonesia yang dibintangi
Joe Taslim, setelah ia bermain dalam film The
Raid dan dalam film Hollywood berjudul, Fast
And Furious 6.
Kekuatan akting para pemain film ini juga
sangat diperhatikan oleh Danial. Sehingga,
film ini bukan hanya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup. Tapi dipadukan

10 l Kinescope l Agustus 2013

dengan potret bulir-bulir kesulitan, frustasi,
hingga momen-momen bangkit untuk tidak
menyerah yang dapat memberi warna sepanjang perjalanan film.Joe Taslim menyatakan,
kalau dirinya menemukan pengalaman yang
seru selama syuting, karena film La Tahzan
berbeda dengan film-film yang pernah ia bintangi sebelumnya. “Genre drama sangatlah
baru buat saya. Belajar bahasa Jepang dan
memainkan karakter setengah Indonesia
setengah Jepang, sangat menantang saya. Tanpa persiapan
yang baik akan sangat sulit.
Danial Rifki sangat berbakat,
with  Bayu dan Atiqah sebagai
lawan main, saya banyak
belajar,” tambah Joe.
Sementara itu, Ario
Bayu mengaku, merasa sangat
senang, selama menjalani
proses syuting film La
Tahzan. ”It was a
super fun shoot!
Dengan team

yang kita miliki, kita menjadi lebih akrab dan
proses shootingnya sendiri, tidak terasa
conventional,” Ujarnya.
Film La Tahzan juga menghadirkan lagu
milik Almarhum Ustadz Jefry Al Buchory
berjudul Bidadari Surga, menjadi original
soundtrack-nya.
Majalah Kinescope juga mendapat
sedikit penjelasan tentang La Tahzan dari
Danial Rifky. Sutradara yang pernah kuliah di
Sekolah Tinggi Ilmu Statistik sebelum masuk
Fakultas Film & Televisi Institut Kesenian
Jakarta jurusan Penyutradaraan ini
menerangkan bahwa ia sendiri merasa
beruntung bisa mendapat kesempatan
dari Falcon Pictures untuk menggarap
cerita hasil pengalamannya bertemu
dengan para warga Indonesia yang
tinggal di Jepang. Beberapa tahun yang
lalu, Danial pergi Jepang menghadiri Festival Film di Kyoto.
Film Pendek Tugas Akhir
kuliahnya yang berjudul
Anak-Anak Lumpur
Genre 	

Website
Drama
www.film2014official.com
Production
Twitter Pictures
Falcon
@film2014resmi
Director
Facebook
Danial Rifki
Film-2014
Executive Producer
HB Naveen / Dallas
Sinaga
Producer	
Frederica
Production
Falcon Pictures

Sebuah Film Drama religi, dipersembahkan oleh Falcon
Pictures pada Lebaran 2013 ini disutradarai oleh Danial
Rifki. Film yang pada awalnya memiliki “working tittle”
Orenji, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi La Tahzan,
terinspirasi dari Buku Best Seller berjudul La Tahzan For
Student, kumpulan cerita para warga negara Indonesia,
pelajar – mahasiswa – pekerja, yang hidup di Jepang.

Co Producer
Rina Harahap
Cast	
Joe Taslim
Atiqah Hasiholan
Ario Bayu
Martina
Nobuyuki Suzuki
Piet Pagau
Early Ashy]
ewi Irawan
Prilly Latu Contina

	

Music		
Raymondo Gascaro
Dono Firman
Written 		
Jujur Prananto

Sinopsis
menang di festival itu.
Mereka, orang-orang Indonesia yang tinggal
di Jepang, pernah membuat buku berjudul La
Tahzan for Student isinya berupa kumpulan cerita mereka yang terinspirasi dari buku motivasi
terkenal berjudul La Tahzan. ‘Oleh-oleh’ dari
Jepang itu ia susun bersama Rina Yanti Harahap,
co-producer film ini beserta tim kecilnya menjadi sebuah karya tulis cerita baru. Kemudian
hasilnya ia bawa ke Jujur Prananto. Selanjutnya
cerita ia olah bersama Jujur Prananto. “Orangorang Indonesia yang datang ke Jepang terbagi
menjadi dua arus,” tutur Danial. “Pertama
sebagai pelajar dan mahasiswa, kedua adalah
pekerja ditambah ada orang Indonesia yang
menikah dengan orang Jepang. Masing-masing
bagian ini mempunyai cerita sendiri-sendiri yang
cukup unik. Realita-realita itulah yang kami rangkum menjadi satu cerita. Difokuskan lagi oleh
Mas Jujur menjadi sebuah cerita cinta segitiga,”
tambahnya. Setelah hasilnya terasa cukup baik
kemudian mereka ajukan cerita tersebut ke
Falcon Pictures yang segera disambut dengan
sangat baik.

Viona (AtiqahHasiholan)
danteman-temannyamendarat
di bandara Kansai, Osaka, untuk program belajarsambilArubaito – belajar sambil bekerja di
Jepang. Viona bertemu Yamada
(Joe Taslim), seorang fotografer
freelance, yang ternyata mengerti
bahasa Indonesia. Hal ini membuat
Viona yang merasa asing di Jepang,
seperti mendapat sahabat baru.
Mereka pun menjadi akrab. Hingga
Yamada, yang begitu langsung
tanpa basa basi, berterus terang
ingin melamarnya. Bahkan Yamada
siap pindah agama.
Pada persiapan Yamada menjadi mualaf, Viona terusik masa-masa di Indonesia, ketika seorang ibu
menitipkan alamat untuk mencari

anaknya di Jepang; Hasan (Ario
Bayu), teman dekat Viona. Hasan
yang selama ini menghindar dari
Viona dan keluarga, pergi dengan
meninggalkan pertanyaan bagi
Viona. Dengan bantuan Yamada,
akhirnya Hasan berhasil di temukan
di Osaka. Ketika itu, kondisi Hasan
sama sekali berbeda.
Pada sebuah malam di Osaka
Port, Hasan menceritakan semuanya. Kejujuran yang menjawab
pertanyaan hati Viona…
Yamada, Hasan, Viona --- Ketiganya dalam persimpangan memilih
agama, kekekasih dan masa depan.
Tidak ada yang mudah, namun
sesungguhnya Allah selalu bersama
kita. Janganbersedih, diantarasatukesulitanadaduakemudahan.

a film by DANIAL RIFKI “LA TAHZAN” ARIO BAYU / ATIQAH HASIHOLAN / JOE TASLIM /
MARTINA / NOBUYUKI SUZUKI / PIET PAGAU / EARLY ASHY / DEWI IRAWAN / PRILLY LATUCONSINA
OST. “BIDADARI SURGA” BYUSTADZ JEFRY AL BUCHORY WRITTENBYJUJUR PRANANTO
CO PRODUCED BY RINA YANTI HARAHAP PRODUCED BY FREDERICA EXECUTIVE PRODUCED
BY HB NAVEEN DALLAS SINAGA DIRECTED BYDANIAL RIFKI

Agustus 2013 l Kinescope l 11
STATISTIK

filmindonesia.or.id

1

2

892.915

Coboy Junior The Movie	 683.144

3
Refrain			

280.707

12 l Kinescope l Agustus 2013

7

Cinta Dalam Kardus	

212.974

Mika	

		

169.151

9

270.821

5
Sang Kiai		

Air Terjun Pengantin Phuket 215.161

8

4
308			

Data Penonton

Cinta Brontosaurus	

6

Operation Wedding	

153.386

10

219.734

Dead Mine		

144.768
Agustus 2013 l Kinescope l 13
REVIEW

Produser
Ferri Yuniardo
Sutradara
Herman Kumala Panca
Penulis
Herman Kumala Panca
Pemeran
Iwa K
Saykoji
Sania
MathiasMuchus
Ras Muhamad

2014

R

icky Bagaskoro (Rizky Nazar) siswa
SMA tingkat akhir yg sedang
mengalami dilema. Antara mengejar
mimpinya jadi pengajar anak-2 terlantar atau harus mengikuti keinginan
ayahnya, Bagas Notolegowo (Ray
Sahetapy), untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas berharap
Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi
seorang Politikus.
Bagas sendiri adalah seorang
ayah yg sedang berjuang menjadi
presiden Indonesia periode 2014-2019
menggantikan Presiden Jusuf Syahrir
(Deddy Sutomo). Persaingan menuju
kursi kepresidenan sangat ketat antara
Bagas Notolegowo, Faisal Abdul Hamid
(Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri
Patrio).
Kehancuran Bagas membangkitkan keingintahuan Ricky untuk
menelusuri kasus dan mempertemukan Ricky dengan Khrisna Dorojatun
(Donny Damara) seorang pengacara
idealis dan bersih yg banyak memenangkan kasus-kasus kemanusiaan.
Selain itu Ricky juga mulai dekat
dengan Laras (Maudy Ayundya), anak
Khrisna Dorojatun.

Tak Sempurna

1

1 Juli 2013 akan menjadi tanggal rilis film
Tak Sempurna di bioskop seluruh Indonesia,
sebuah karya Herman Kumala Panca. Ini adalah
film cerita panjang pertama karya Panca, yang
sebelumnya lebih banyak berperan sebagai Editor
dalam puluhan film, antara lain film Postcard From
the Zoo, Babi Buta yang Ingin Terbang, dan Kara
Anak Sebatang Pohon yang diputar di Director’s
Fortnight Cannes 2005.
Herman Kumala Panca selaku Pencetus ide,
Produser, Sutradara, dan Editor (yang lebih suka
disebut Film Designer) berharap film Tak Sempurna akan menjadi sebuah referensi kehidupan.
Penulis film Tak Sempurna, Baskoro Adi, yang sebelumnya menulis Hi5teria, dapat meng-intepretasi ide cerita hiphop menjadi struktur skenario
secara mudah, karena background sebagai rapper.
Film dengan preposisi Film Hip Hop Indonesia
pertama ini diproduksi oleh Cineprime Pictures
dan Putaar Production. Film ini tidak menceritakan musik hip hop, namun seperti musik hip hop

sendiri, dimana hiphoper sering memasukkan
teknik sampling dari musik lain, kadang refrain,
atau bassline untuk dimasukkan ke musik mereka.
Jadi film ini juga semacam mash up kehidupan
Jakarta, yang disajikan dengan sarkasme yang
kental. Banyak elemen cerita film terinspirasi oleh
lagu hip-hop Indonesia era 90’an
Film ber-genre hiphop dengan sentuhan laga
ini akan menceritakan kerasnya kehidupan marjinal di Jakarta, dimana seseorang bisa kehilangan
nyawa karena hal kecil, kejahatan bisa terjadi di
depan mata, dan kekerasan baik fisik maupun verbal jadi bahasa sehari-hari. Hip hop sebagai kultur,
“mendidik” agar berani, solider, dan tetep tenang
menghadapi itu semua.
Dibintangi oleh Dallas Pratama, Norman Akyuwen, Mathias Muchus. Serta HipHoper Indonesia:
Iwa K, Sania, Derry (Neo), Saykoji, John Parapat
(Sweet Martabak), Udjo dan Yossi Project Pop.
Film ini turut menampilkan pendatang baru: Reggie Gvoiz (Trigger), Jaydee Soul ID dan Tya Arifin.

Something in the Way A

Produser
Teddy Soeriaatmadja,
Indra TamoronMusu
Sutradara
Teddy Soeriaatmadja,
Penulis
Teddy Soeriaatmadja,
Pemeran
RezaRahadian
Ratu FelishaRenatya
VerdiSolaiman
Yayu AW Unru
Daniel Rudi Haryanto

14 l Kinescope l Agustus 2013

hmad (Reza Rahadian) adalah seorang supir taksi di
Jakarta. Dia kecanduan bacaan maupun video seks,
namun tak bisa melampiaskan keinginannya karena tak
mampu. Yang bisa dilakukan adalah menikmati sendirian
di depan televisi, atau lewat masturbasi diam-diam
dalam taksinya. Setiap malam, ia sering mendengar
komentar rekan-rekannya sesama supir taksi tentang
pelacur atau istri mereka. Siangnya, ia rajin mengunjungi
masjid, di mana ia belajar tentang pentingnya kesucian,
moral, dan Al-Quran.
Sepercik harapan tumbuh ketika Ahmad jatuh cinta
dengan tetangganya, Kinar (Ratu Felisha), seorang
pekerja seks komersial dan menjadi pengantarnya ke
tempat kerja. Hubungan mereka sayangnya terhambat
oleh mucikari Kinar. Konflik antara seks sebagai produk
dan tekanan moral agama membingungkan Ahmad,
yang hanya ingin membebaskan Kinar dan dirinya dari
hidup penuh moda.

Film ini diputar perdana di Berli nale (Berlin International Film Festival)
2013 dalam program Panorama.
Kemasukan
Setan

Produser
Iwan Tjokro Saputro
Roy A
Steven
Sutradara
Dwi Ilalang

E

ddy mempunyai hobi cukup aneh:
mencari setan dan ingin bertemu
dengan setan. Eddy selalu berfikir
secara logis dan tidak percaya sekadar
omongan. Semua harus dengan bukti
nyata. Hampir dua tahun usahanya
mencari bukti tentang keberadaan
setan selalu menuai hasil nihil. Suatu
hari Eddy merasa jenuh. Akhirnya
dia memilih jalan ekstrem untuk bisa
berkomunikasi dengan mahluk “gaib”.

Penulis
Robert Ronny
Maruska Bath
Dwi Ilalang
Pemeran
RoziHerdian
Gita Sinaga
Arick Pramana
Daniel ED Rombot
Irwan Gardiawan
Baron Hermanto

Produser M Zainudin Sutradara
Muhammad Yusuf Penulis Muhammad Yusuf
Pemeran Aldi Taher Vivi Sofia Yofani
Farah DibaYofani

Gevangenis

K

isah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita
Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena
herlam harus masuk penjara demi membela
cintanya. Tak banyak yang tahu kalau dalam waktu
dekat, sebuah film Indonesia berjudul “Gevangenis” akan segera tayang di layar lebar. Film yang
disutradarai oleh Dwi Ilalang dan dibintangi oleh
Rozi Herdian, Gita Sinaga, Arick Pramana, Daniel
ED Rombot, Irwan Gardiawan, serta Baron Hermanto ini bahkan sudah merilis trailer mereka.
Ada dua trailer yang bisa Criters tonton di
bawah ini; Pre-Trailer yang sudah ditonton oleh 55
ribu orang, dan trailer yang baru rilis 17 Oktober
lalu. Hingga berita ini diturunkan, trailer penuh
film tersebut telah disaksikan oleh 11,749 orang
penonton.

“Gevangenis” yang berarti ‘Penjara’ dalam
bahasa Belanda bercerita tentang kisah cinta
Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang
terpisah selama 10 tahun karena herlam harus
masuk penjara demi membela cintanya.
Film produksi Humalang ini menawarkan
nuansa yang berbeda dari film-film Indonesia pada
umumnya. Film yang naskahnya ditulis oleh Robert
Ronny, Maruska Bath, dan Dwi Ilalang ini tak hanya
akan menampilkan kisah drama dan action, tapi
juga cerita kelam dibalik jeruji penjara dan serbaserbi kehidupan seorang narapidana.
Belum ada tanggal pasti mengenai kapan film
ini akan rilis. Kalau criters penasaran, bisa langsung follow akun twitter mereka di @GevangenisMovie untuk informasi lebih lanjut.

N

ing berhenti bekerja di toko pakaian
dan pindah ke sebuah tokoh meubel.
Pada hari pertama kerjanya, bersama Mur,
sopir, ia mengantar sebuah sofa pesanan
pelanggan di sebuah desa terpencil lewat
jalan pegunungan yang mengular. Di
perjalanan Ning menemukan percakapanpercakapan dan perhatian sederhana yang
dirindukannya. Terjadilah perselingkuhan di
sebuah penginapan. Sementara, di rumah
yang terletak di pinggiran kota, Jarot, suami
Ning yang penganggur, masih terus senang
nonton televisi. Ia kemudian berusaha jual
bensin eceran di tepi jalan dan sempat pula
pergi ke pelacur.

Satu dari 15 film perserta kompetisi Festival Film
Locarno kategori Cineasti del Presente (Sineas masa
kini). Didukung oleh Swiss Agency for Development
and Cooperation dan Hubert Bals Fund.
Tayang perdana dunia juga dalam festival itu tanggal
3,4,5 Agustus 2012.

Sutradara
Yosep Anggi Noen
Penulis
Yosep Anggi Noen
Pemeran
Christy Mahanani
Muhammad Abe Baasyin
Joned Suryatmoko

Vakansi yang Janggal dan
Penyakit Lainnya
Agustus 2013 l Kinescope l 15
RESENSI

Sang Kiai | ­Berbicara

tentang proses ­ embuatan
p
sebuah film yang ­ engangkat
m
tema ­ ejarah, agama dan
s
­budaya ­memang ­memiliki
­kesulitan tersendiri. ­Selain
­keterampilan teknis
­sinematografis yang ­harus
banyak menyesuaikan ­ ituasi
s
dahulu dengan kondisi masa
kini, ­ ekuatan riset dan kesk
esuaian ­ ejarah menjadi hal
s
yang sangat krusial untuk
d
­ iperhatikan oleh pembuat
film.

Kesesuaian Sejarah, Perjuangan
Kemerdekaan dan Teknis
Sinematografis Mumpuni
Reiza

T

erkait dengan itu, film Sang Kiai, garapan sutradara Rako Prijanto, banyak
mendapatkan pujian sekaligus juga menuai kritik. Seperti misalnya, kesesuaian tokoh
KH Hasyim Asy’ari yang lembut dan tidak keras,
sangat bagus diperankan oleh Ikranegara. Kemudian film ini juga berusaha menggambarkan
dengan baik peran santri dan pesantren dalam
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Secara umum, film ini memiliki kualitas
sinematografi dan visualisasi yang baik. Rako
Prijanto dapat dikatakan berhasil menanggulangi kesulitan dalam penyesuaian antara
kreasi sinematografis dengan kondisi asli dimasa lalu. Disamping itu, adegan-adegan dalam
film ini tergolong dinamis dan tidak monoton.
Visualisasi peperangan di Surabaya, ketika
pesawat-pesawat sekutu membombardir kota
tersebut, juga berhasil ditampilkan ke hadapan
mata penonton tanpa harus memperlihatkan
‘rekayasa’ visual yang terlalu mencolok.
Namun kritik terhadap kesesuaian sejarah
juga diberikan terhadap film ini. Bagaimana
kita dapat melihat kesalahan alur sejarah yang
ditampilkan. Seperti misalnya, pidato Bung
Tomo dalam menyikapi ultimatum Inggris
dimunculkan lebih dahulu sebelum adegan
pertempuran Surabaya 10 November 1945.
Sedangkan di antara kedua adegan itu, terselip
banyak adegan lain yang sebetulnya bukan
berada di antara pidato Bung Tomo dan Pertempuran hebat dengan Sekutu tersebut, seperti beberapa pertempuran di bulan Oktober

16 l Kinescope l Agustus 2013

1945 yang diakhiri dengan perjanjian gencatan
senjata yang melibatkan Bung Karno. Ini bisa
menimbulkan distorsi sejarah dan pemahaman
yang keliru, sebab fakta sejarah mengatakan
bahwa pidato Bung Tomo itu dilakukan tidak
lama sebelum Sekutu menggempur Surabaya
tanggal 10 November 1945.
Lalu kita bisa melihat di akhir film ini, terdapat teks yangtentang pengakuan kedaulatan
RI oleh Belanda yang terjadi pada tanggal 27
September 1949. Ini sangat berbeda dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Bahwa
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda adalah
merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar
yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949.
Namun begitu, film yang berbiaya produksi
sebesar 10 milyar ini, yang sudah tayang sejak
30 Mei 2013 ini memberikan pencerahan tentang sebuah penggambaran sejarah yang apik,
dan mendidik di tengah gencarnya film-film
Indonesia yang saat ini masih dikuasai oleh
jenis film yang bertemakan cerita horor,
hantu dan kisah percintaan yang klise.
Film-film yang bertemakan kisah
horor dan hantu itu hanya berputarputar pada penggambaran yang
keliru dan dianggap tidak mendidik
masyarakat, selain hanya mencari keuntungan komersil. Sama
halnya dengan film percintaan
klise yang hanya menampilkan
romantisme yang kebanyakan
hanya mengobral seksualitas

dan kisah kesedihan tiada akhir.
Film Sang Kiai ini bisa dianggap sebagai
sebuah lompatan besar dalam karir Rako
Prijanto, yang banyak dikenal dengan filmfilm bertemakan komedi macam “D’Bijis”
(2007) dan “Malaikat Tanpa Sayap” (2012).
Menggambarkan seorang tokoh yang tercatat
dalam sejarah dan menceritakannya dalam
sebuah film memang tidak mudah. Namun
kita mencatat beberapa film bertema sama
yang sangat bagus dari banyak segi seperti film
Tjoet Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Gie (2005),
atau yang dianggap sebagai pendahulu film ini,
yaitu Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo
(2010). Lalu ada juga film Habibie & Ainun
(2012) lalu yang menjadi Box Office Indonesia.
Walaupun begitu, film ini dianggap masih
belum terlalu fokus pada penggambaran
KH Hasyim Asy’ari secara utuh dan terkesan
agak melompat-lompat dengan penggambaran karakter tokoh-tokoh lainnya dalam
film ini. Berbeda dengan film Sang Pencerah
yang dalam penggambarannya terhadap
kepribadian dan karakter KH Ahmad Dahlan,
terasa fokus dan total selama film berlangsung. Namun tetap saja bahwa kekuatan
riset, visualisasi semangat perjuangan
kemerdekaan dan teknis sinematografis
yang mumpuni dalam film ini patut
diacungi jempol dan membuat film
ini menjadi patut untuk ditonton,
khususnya bagi penggemar sejarah
dan penikmat film kolosal.
Miracle of Istanbul
Will | Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya
pertandingan pada final Istanbul.

S

ebelumnya, banyak kita temukan filmfilm bertema sepak bola. Jika kita mau
menderetkannya, maka akan terdapat
puluhan film populer bertema sepak bola. Dari
yang bergenre komedi hingga dokumenter.
Salah satu di antaranya adalah Will. Film yang
bercerita tentang seorang bocah pencinta klub
sepakbola Liverpool FC.
Film yang dirilis pada 4 November 2011
itu secara detil mengisahkan perjuangan
Will Brenan dalam mewujudkan impiannya
menonton final Liga Champions Eropa yang
kelak melibatkan klub kesayangannya di laga
tersebut.
Kisah dimulai di sebuah asrama sekolah
tempat Will yang yatim karena kehilangan
ibunya saat masih kecil, sedang ayahnya juga
pergi. Namun tiga tahun setelah meninggalkan
Will, Gareth sang ayah datang mengunjungi
dan menghadiahinya tiket laga final Liga Final
Liga Champions di Istanbul.
Dalam pertemuan singkat itu, kedua
anak bapak banyak menghabiskan aktivitas
seputar sepak bola, entah memainkannya atau
mendongeng tentang ayah dan kakek Will yang
beruntung menjadi saksi kepahlawanan Kenny
Dalglish dalam sebuah final Piala FA melawan
Chelsea. Cobaan pertama datang saat Gareth
meninggal dan membuat impian Will untuk
menyaksikan laga klub kesayangannya menjadi
sulit. Seorang anak kecil harus berada dalam
dampingan orang tuanya. Namun bantuan
dari teman-temannya membuat Will bisa pergi
dari asrama beserta dua tiket final dalam kaus
kakinya.

Sutradara Ellen Perry seolah membingkai
filmnya layaknya jalannya pertandingan pada
final Istanbul. Meski sulit dan mustahil selalu
ada jalan jika ada keinginan yang kuat untuk
mewujudkannya. Kesulitan-kesulitan seperti
meninggalnya sang ayah, pihak asrama yang
melarangnya pergi dan menyimpan tiketnya,
serta akhirnya ketika sukses pergi pun ternyata
kesulitan lain datang, tiket yang dimilikinya
ternyata palsu. Ketiga kesulitan itu seperti tiga
gol cepat AC Milan ke gawang Liverpool, hanya
keajaiban yang bisa membalikkannya menjadi
kemenangan.
Nilai-nilai lain yang disampaikan secara
gamblang oleh film ini adalah kredo dari
Liverpool FC yakni, You’ll Never Walk Alone.
Benar, Will tidak sendirian dalam mewujudkan
mimpinya. Ada teman-teman asrama sekolah
yang membantunya keluar, ada Alex Zukic yang
membantunya ke Istanbul dari Paris, dan ada
suporter juga legenda Kenny Dalglish yang
membawanya masuk ke stadion dan menjadi
saksi ‘Miracle of Istanbul’.
Judul ‘Will’ bisa mengacu pada nama
pemeran utamanya pun bisa ditafsirkan
sebagai ‘keinginan’ dari suporter juga dari
sebuah klub untuk memenangi apapun yang
diimpikan. Baik Will dan Liverpool memiliki
keinginan untuk tidak mau kalah. Film
berdurasi 1 jam 42 menit ini juga menampilkan
bintang-bintang Liverpool FC seperti Steven
Gerrard dan Jamie Carragher dalam sekelebat
penampilan.
‘Will’ ringan dan sederhana untuk
dinikmati terutama untuk kalangan anak-

Aji Wibowo
anak. Namun bagi orang dewasa, film itu
bisa dianggap biasa-biasa saja jika menilik
alur cerita yang mudak ditebak dan klimaks
yang ditampilkan. Kenyataannya, film ini juga
tidak terlalu meledak dan terkesan kurang
terdengar. Film ini semakin menegaskan
kesan bahwa film-film bertema sepak bola
selalu menunjukkan come back hebat dari
para pemeran utamanya dengan hasil akhir
menang. Sebut saja Trilogi Goal!, Shaolin
Soccer, Bend it Like Beckham, Escape to Victory
dan lain-lain.

Agustus 2013 l Kinescope l 17
OPINI PUBLIK

Tradisi Sinema
tanpa

Industri Sinema
Daniel Rudi Haryanto

18 l Kinescope l Agustus 2013
A

da satu pengalaman membuat
dokumenter di Halmahera Utara
pada tahun 2003. Di kota kecamatan
Tobelo (Sebelum pemekaran seperti
sekarang) terdapat sebuah gedung bioskop
yang masih memutar film Indonesia. Saya
lupa judulnya, tetapi saya ingat pada papan
pengumuman gedung bioskop tertempel
selembar poster kecil film Indonesia. Pada
selembar poster itu terdapat gambar seorang
perempuan bergaun merah dengan paha dan
dada yang terbuka.
Kehadiran saya ke Tobelo waktu itu
adalah untuk mengerjakan sebuah riset di
bawah naungan UNDP. Topik riset adalah
seputar dampak konflik yang terjadi di Tobelo,
Galela dan Tobelo Selatan. Dari pengalaman
menemukan gedung bioskop di Tobelo itu
saya menemukan distribusi film produksi
orang Indonesia sampai di wilayah yang
sangat jauh dari Jakarta.
Pada kesempatan lainnya, pada tahun
2012 di Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Saya
hadir di wilayah itu juga untuk mengerjakan
sebuah film dokumenter. Saat mampir di
warung kopi di pasar Serdang Bedagai, saya
mendapati cerita tentang gedung di seberang
warung kopi. Menurut beberapa orang tua

yang saya temui di warung kopi itu, gedung
itu dulunya adalah sebuah gedung bioskop.
Nama gedung bioskop itu adalah Admiral?.
Orang-orang tua di warung kopi itu
kemudian membicarakan film yang pernah
mereka tonton. Jaka Sembung dan Si Buta
dari Goa Hantu adalah dua tokoh yang
mereka ingat. Tentu ini menjadi menarik ,
karena film yang menceritakan keberadaan
dua tokoh tersebut masih membekas dalam
ingatan orang-orang tua di warung kopi.
Padahal, film tersebut merupakan film yang
diproduksi pada tahun 1981 dan 1970.
Dalam kesempatan berbincang itu saya
menyampaikan pertanyaan, film apa lagi
yang mereka ingat? Mereka tidak ingat lagi
film apa, sebab tidak ada lagi film Indonesia
yang hadir di bioskop tersebut, sejak 1990 an
bioskop mulai jarang memutar film dan pada
akhirnya tutup, bangkrut.

Setiap bepergian ke daerah-daerah di Indonesia untuk
membuat film dokumenter, ada kebiasaan saya untuk
bertanya kepada penduduk setempat tentang beberapa
hal. Pertama adalah gedung bioskop, kedua adalah film apa
yang mereka ingat dan ketiga adalah di mana keberadaan
warung kopi
Indra Dan Permata

Bioskop Indra dan Bioskop Permata
terdapat di Jogjakarta. Bioskop Permata
terdapat di kawasan Malioboro, sedangan
bioskop Indra ada di sekitar wilayah
Pakualaman. Keduanya berada di pusat
perekonomian Yogyakarta.
Saat saya menyambangi bioskop
Indra, saya bertemu dengan Pak Sugeng.
Ia adalah proyeksionis yang telah puluhan
tahun bekerja mengoperasikan projector
film.
Malam itu saya memperhatikan
kegiatan pemutaran film di gedung
bioskop Indra. Penonton datang
sejak sore. Mereka menunggu jadwal
pemutaran dengan
duduk-duduk di teras
gedung bioskop sambil
merokok, minum kopi atau
menceritakan film-film yang
pernah mereka tonton.
Dari beberapa orang yang
saya ajak ngobrol, saya tahu
mereka datang dari beberapa
wilayah, ada dari Bantul, ada
dari Patuk. Kedua wilayah itu
jauh dari pusat kota. Mereka
datang bersepeda ontel.
Saat ruang tiket dibuka,
mereka satu-satu berdiri antri
dan membeli tiket. Harga
tiket tidak terlalu mahal.
Sekitar 5 ribu rupiah. Seorang
teman pak Sugeng bertugas
mencatut tiket. Penonton
masuk satu-satu. Menariknya,
di tahun 2008 itu saya masih
mendapati pemandangan yang khas gedung
bioskop tanpa AC.
Di ruang sinema, dalam suasana gelap,
masih dapat ditemukan cipratan korek api,
seorang, dua orang, tiga orang pada tempat
duduk yang berbeda mulai merokok di dalam
ruangan. Mirip dengan pemandangan yang
seringkali terdapat di film-film Eropa era
60 an yang masih hitam putih. Film yang
diputar malam itu adalah film dari Hongkong,
aktornya Andi Lau, judulnya saya sudah lupa.
Di Halmahera, Serdang Bedagai dan
Yogyakarta saya menyaksikan masyarakat
menggemari sinema. Mereka datang ke
gedung bioskop, sebagian datang dari
tempat yang jauh. Mereka membeli tiket,
menonton dan pulang dengan membawa
cerita dan kemudian merindukan film baru.
Saya menyebutnya sebagai tradisi penonton
sinema.

Dari Aceh Sumatra hingga Papua,
masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi
menonton film, baik di gedung bioskop atau di
tanah lapang pada acara layar tancap. Mereka
mengenal Jaka Sembung dan Si Buta Dari Goa
Hantu. Mereka juga mengenal Superman,
Agen 007 James Bond atau pendekarpendekar Cina dan Pahlawan-pahlawan film
Laga India berikut penari dan penyanyinya.
Masyarakat kita mengenal tokoh-tokoh film
Jepang dan Korea, juga sebagian tokoh-tokoh
film Eropa.
Akan tetapi, tradisi sinema di masyakat
penonton Indonesia belum mampu terpenuhi
oleh film yang diproduksi sendiri oleh
orang Indonesia. Hari ini televisi padat oleh
tayangan sinetron dan Film Televisi (FTV) akan
tetapi bisnis bioskop lokal untuk film buatan
orang-orang Indonesia bangkrut, Bioskop 21
dan XXI dapat bertahan dan mengembangkan
usaha dari film-film Holywood.
Pada kenyataannya budaya sinema
terjadi di Indonesia, akan tetapi belum
mampu melahirkan sebuah industri, yang
dimaksudkan adalah sebuah sistem produksi,
distribusi dan eksibisi film Indonesia yang
mampu berkelanjutan. Dalam hal ini setiap
elemen bisnis perfilman terlibat di dalamnya.
Jalan menuju industri film di Indonesia
nampaknya masih jauh, bukan karena
masyarakat penonton, tetapi karena
kesadaran berindustri para pegiat produksi
perfilman di Indonesia sendiri belum mampu
mengatasi tantangannya sendiri. Quo vadis
tradisi sinema di masyarakat yang tanpa
sistem industri ini?
*penulis adalah Sutradara dan Penulis
Skenario Film Dokumenter Prison And Paradise
pernah ditampikan pada Asia Pacific Screen
Awards 2010.

Agustus 2013 l Kinescope l 19
FESTIVAL

10 Film Terlaris Korean Selatan 2012-2013

Memberikan Alternatif
Tontonan Selama Sepekan
Doni Agustan

B

oomerang Family karya sutradara Song Hae-Sung dipilih sebagai film pembuka. “Kami ingin
mengenalkan film-film terbaru
yang berisi budaya tradisional maupun
kontemporer. Kami berharap festival ini
akan berjalan sukses dan terus disukai
di Indonesia” begitu ujar Duta Besar
Korea Selatan untuk Indonesia, Kim
Young-Sun, ketika membuka rangkaian
kegiatan festival ini di Blitzmegaplex,
Grand Indonesia. Duta Besar Korea
Selatan juga berharap kegiatan ini akan
dilanjutkan secara dua arah. Rencananya September mendatang akan
digelar Festival Film Indonesia di Korea
Selatan. Pada malam pembukaan juga

20 l Kinescope l Agustus 2013

hadir sutradara dan pemain dari film
Boomerang Family, Park Hae-Il dan Yoon
Jae-Moon.
Festival ini berlangsung di dua
site Blitzmegaplex, yaitu Pacific Place,
Jakarta dan Paris Van Java, Bandung
dan tidak dipungut biaya sama sekali
alias gratis. Sepuluh
film diputar selama
festival berlangsung.
Kesepuluh film
tersebut antara lain, A
Wonderful Moment,
Boomerang Family,
Deranged, How To Use
Guys With Secret Tips,
Masquerade, Miracle

In Cell No 7, Runaway Cop, Pluto, The
Grand Heist dan The Thieves. Semua
film yang ditayangkan memiliki genre
yang berbeda-beda, mulai dari drama,
komedi, hingga genre thriller. Action
seru ala The Thieves dan Deranged. Film
drama mengharu biru seperti Miracle in

“Kami ingin mengenalkan filmfilm terbaru yang berisi budaya
tradisional maupun kontemporer.
Kami berharap festival ini akan
berjalan sukses dan terus disukai
di Indonesia” Kim Young-Sun
KFF 2013 | Untuk

kesekian kalinya
Festival Film Korea
(KFF 2013) kembali
diadakan oleh Korean Culture Centre
(KCC) dan Kedutaan
besar Korea Selatan
di Jakarta. Festival
yang diadakan sejak tahun 2009 ini,
digelar selama satu
minggu, dimulai
pada tanggal 25 Juni
2013 hingga 30 Juni
2013.

Boomerang Family

Deranged

How To Use Guys With

10 Film Terlaris

A Wonderful Moment
Cell no 7 dan Boomerang Family. Komedi
yang siap mengocok perut penonton
seperti Runaway Cop dan How to Use Guy
with Secret Tips. Serta film peraih banyak
penghargaan di Korea seperti Masquerade.
Sebelum festival dimulai, calon penonton sudah bisa melakukan pre-booked
tiket. Menurut hasil pengamatan, peminat
festival film Korea tahun ini sangat banyak,
terbukti dari setiap hari menjelang festival,
Blitzmegaplex Pacific Place ramai dikunjungi oleh calon penonton. Saat festival
berlangsung tiket untuk setiap film bisa
diambil dua jam sebelum pemutaran. Itupun banyak sekali penonton yang kecewa
karena tidak berhasil mendapatkan tiket

A Wonderful Moment
Boomerang Family
Deranged
How To Use Guys With
Secret Tips
Masquerade
Miracle In Cell No 7
Runaway Cop
Pluto
The Grand Heist
The Thieves

karena peminat yang begitu banyak.
KFF 2013 tidak hanya sekedar
memberikan kegiatan menonton film,
bagi para peminat film, bisa mengikuti
seminar industri perfilman Korea. Pada
seminar yang berlangsung pada Rabu
26 Juni 2013 tersebut mendatangkan
pembicara pakar industri film langsung
dari Korea. Seminar ini diharapkan
bisa menjadi forum bertukar ilmu dan
pengetahuan film antara Indonesia
dan Korea Selatan.
Film Miracle in Cell no 7 karya
sutradara Lee Kwan-Yeung dipilih untuk menutup kegiatan festival ini, yaitu
pada 30 Juni 2013.

Masquerade

Runaway Cop

Pluto
Agustus 2013 l Kinescope l 21
REVIEW

Miracle
in Cell no 7
Eksploitasi
Keterbelakangan
Mental Membawa
Kesuksesan
Box Office
Doni Agustan

M

iracle in Cell no 7 tidak menuturkan kisahnya sesederhana
premis di atas. Ketika Ye-Seung
membela ayahnya di pengadilan,
penonton sudah tidak lagi bertemu dengan
ayahnya. Apa yang terjadi? Itulah kemudian
yang menjadi daya tarik film ini. Pilihan alur
maju mundur menjadi pengikat dan berhasil
membuat penonton bertahan hingga film ini
selesai.
Dua kisah paralel ditampilkan dalam film
ini, masa sekarang dan kembali pada tahun
1997. Yong-Goo hidup bahagia bersama
putrinya Ye-Seung kecil (Kal So-Won), meskipun ia memiliki tingkat kecerdasan yang
hampir setara dengan putrinya. Ye-Seung
sangat mendambakan untuk memilik tas
Sailor Moon berwarna kuning. Tetapi sialnya,
satu-satunya tas yang dia dambakan tersebut
telah terjual. Suatu hari Yong-Goo melihat
seorang anak perempuan seusia Ye-Seung
memakai tas tersebut, dia mengikutinya,
namun nasib buruk sedang menghampirinya.
Tanpa penyebab yang jelas, anak perempuan
tersebut tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan
diri. Yong-Goo yang membantu memberikan
CPR justru sebaliknya malah dituduh men-

22 l Kinescope l Agustus 2013

culik dan melakukan pelecehan
seksual.
Pengadilan memberikan
hukuman mati pada Yong-Goo.
Satu-satunya yang menjadi
pikirannya bagaimana Ye-Seung
kecil hidup tanpanya. Saat
ayahnya mendekam di penjara,
Ye Seung kecil harus tinggal di
panti asuhan. Di penjara, YongGoo berbagi sel dengan lima
narapidana lainnya. Karakter
kelima narapidana ini kemudian
menjadi bagian yang memberi
warna komedi pada Miracle in
Cell no 7. Terutama karakter
Yang-Ho (Oh Dal-Su) yang digambarkan sebagai seorang pimpinan
gangster yang ternyata tidak bisa
membaca. Karena menyelamatkan Yang-Ho dari sebuah rencana
pembunuhan, Yang-Ho kemudian menawarkan untuk membantu Yong-Goo dengan
cara apapun untuk membalas budi. Bersama
keempat narapidana lainnya, Yang-Ho kemudian berencana untuk membuat keajaiban
pada hidup Yong-Goo, yaitu bertemu lagi

dengan putrinya, Ye-Seung, sebelum hukuman matinya terlaksana.
Miracle in Cell no 7 dipilih oleh programmer Festival Film Korea (KFF 2013), Jakarta,
yang digelar pada tanggal 25 Juni hingga
30 Juni 2013, sebagai film penutup. Tentu
Sutradara
Lee Kwan-Yeung
Pemain
Ryoo Seung-Ryong
Park Shin-Hye
Kal So-Won
Oh Dal-Su
Jeong Man-Sik
Jun Jin-Young
Park Won-Sang
Kim Jung-Tae.

Yong Goo (Ryoo Seung-Ryong) adalah seorang ayah dengan keterbelakangan
mental, yang mencintai putri semata wayangnya. Yong-Goo harus menerima
kenyataan dituduh melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan terhadap
seorang anak perempuan seusia putrinya dan dikirim ke penjara. Ye-Seung (Park
Shin-Hye), putrinya, yang adalah seorang mahasiswa sekolah hukum, berusaha
untuk membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah.

dengan alasan karena film ini adalah
tipe film yang bisa segara membuat
penonton tersentuh dengan jalan
ceritanya. Selain karena film ini juga
meraih pemasukan yang sangat memuaskan ketika rilis di Korea Selatan.
Rilis perdana pada tanggal 24 Januari
2013, film ini bertahan hingga Mai
2013, dan meraih pendapatan hingga
mencapai 12,32 juta dan menjadi
salah satu film terlaris sepanjang
masa di Korea Selatan bersama The
Thieves (2012) dan The Host (2006).
Miracle in Cell No 7 memiliki
semua faktor untuk sebuah film
bisa menjadi box office. Kisah yang
menyentuh, pemain-pemain yang
ternama dan menjual, akting yang
baik dari semua pemainnya serta
gambar yang cukup memanjakan
mata. Ketika karakter utama pada sebuah film tidak mendapatkan keadilan
sebagaimana mestinya, itu adalah
salah satu kekuatan untuk mengikat
penonton, membuat penonton berpihak dan menunggu keadilan tersebut
terwujud. Hal ini digunakan dengan
sangat baik dalam film ini. Yong-Goo
harus menerima kenyataan pahit
dihukum mati untuk sesuatu yang
kemudian kita ketahui bersama tidak
dia lakukan. Ditambah lagi dengan
keterbelakangannya dalam bertindak
dan berpikir, tekanan dari berbagai
keadaan yang membuatnya tidak bisa
berbuat banyak untuk membuktikan

bahwa dirinya tidak bersalah serta
usahanya untuk bertemu dengan YeSeung. Semua aspek ini memberikan
alasan kenapa film ini sangat mengikat penontonnya.
Semua pemain bermain dengan
sangat baik, terutama Ryoo Seung-Ryong yang berperan sebagai Yong-Goo.
Seung-Ryong sukses membuat kita
percaya bahwa tingkat kecerdasannya
memang tidak berkembang dengan

baik. Bahasa tubuh, tingkah laku dan cara
berbicaranya terlihat seperti anak-anak,
meskipun tidak sebaik yang ditampilkan oleh
Sean Penn dalam I am Sam (2001). Hubungannya dengan Ye-Seung kecil yang diperankan oleh pendatang baru Kal So-Won, terasa
sekali kedekatan mereka sebagai ayah-anak,
perhatikan adegan ketika Yong-Go berhasil
kembali bertemu dengan Ye-Seung kecil di
penjara, sangat membuat haru dan membuat
penonton meneteskan air mata. Hubungan
Yong-Goo dan Ye-Seung ini mengingatkan
kita pada hubungan antara Sam dan Lucy
dalam I am Sam (2001) yang diperankan oleh
Sean Penn dan Dakota Fanning.
Lupakan penjara yang kumuh dan kejam,
pikirkan hanya keberpihakan kita pada YongGoo, dan berdamailah dengan segala hal-hal
klise yang banyak terjadi dalam film, dijamin
anda akan sangat menikmati film ini. Film ini
dengan sangat mudah memanipulasi penontonnya ketika untuk pertama kalinya karakter
Yong-Goo diperkenalkan. Eksploitasi keterbelakangan Yong-Goo dengan kenyataan
bahwa dia memiliki seorang putri dengan
tingkat kecerdasan yang hampir sama, segera
mengambil hati semua penontonnya.
Satu hal yang agak menganggu dari film
ini adalah bahwa nama Ye-Seung disebut
hampir di semua adegan film, mungkin nyaris
ratusan kali kita mendengar semua karakter
dalam ini menyebut nama itu kecuali karakter Ye-Seung itu sendiri.

Agustus 2013 l Kinescope l 23
HOT ISSUE

Perfilman
Indonesia
Shandy Gasela

Membicarakan perfilman Indonesia seakan selalu tak
berkesudahan. Hal yang dibicarakan pun sebetulnya itu-itu
saja, seperti hal berikut ini yang akan kita bicarakan, bahkan
enam puluh tahun yang lalu seseorang yang bergelut dalam
dunia perfilman Indonesia, katakanlah wartawan kesenian
pada masa itu, pasti sudah pernah membicarakannya.

N

amun, hal ini akan tetap menarik untuk
dibicarakan karena percaya atau tidak
permasalahan perfilman Indonesia yang
kita hadapi sekarang keadaannya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 1950an.
Lalu, orang-orang yang terlibat di dalam dunia
perfilman Indonesia selama kurun waktu lebih
dari setengah abad itu ngapain aja? Kenapa
saat ini keadaan menjadi tak lebih baik? Atau
adakah yang berpendapat bahwa keadaannya kini sudah lebih baik? Maaf saja, saya tak
sependapat.
Film sedari dulu pada awalnya ia diciptakan adalah untuk dagangan, lalu unsur-unsur
artistik, estetika, nilai-nilai seni itu kemudian
belakangan disematkan padanya. Namun
tetap saja pada awalnya dan hingga kini, film
akan selalu menjadi produk dagangan terlepas
film tersebut memiliki nilai seni atau tidak.
'L'Arrivée d'un train en gare de La Ciotat' atau
dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi
'Arrival of a Train at La Ciotat', film bisu yang
dipertunjukkan pertama kali pada 1896 berdurasi 50 detik saja yang hanya "bercerita" soal
kedatangan kereta api di stasiun La Ciotat karya
Lumiere bersaudara diputar keliling di paradeparade sirkus, orang harus membayar untuk
menyaksikan pertunjukan gambar bergerak
itu. Dari situlah film lalu mendunia dan orangorang berlomba membuat film terbaik mereka
-- atau yang terlaku yang bisa mereka buat.
Tak seperti negara Amerika, India, Cina,
Thailand, Jepang, Korea, Perancis dan sejumlah

24 l Kinescope l Agustus 2013

negara lain yang terkenal akan kualitas film
buatan sineasnya masing-masing, dan mampu
menjual film-filmnya ke pasar dunia, Indonesia
tak terpetakan. Atau bagi anda yang dipenuhi
rasa optimisme serta overdosis nasionalisme
bolehlah mengatakan "belum terpetakan".
Bisa saja anda tak sependapat dan
berargumen bahwa sutradara Garin Nugroho
terkenal dan telah mengenalkan keindonesiaan
kepada dunia khususnya di negara-negara
Eropa lewat sejumlah karya filmnya yang selalu
diputar dan jadi langganan festival-festival film
di sana atau sutradara Edwin yang konon tak
kalah populer dengan Lars Von Trier di panggung dunia film, tapi mereka hanya terkenal
di kalangan film sendiri, di kalangan penonton
film dengan level keakutan yang tinggi. Bagi
penonton reguler yang pergi ke bioskop reguler
yang memutar film-film Hollywood semisal
Ironman, tak ada yang tahu sinema Indonesia.
Namun di sisi yang lain, kita tahu sinema India,
kita kini menggilai sinema Korea, bahkan kita
mengenal Park Chan-wook, sutradara Korea
yang tak kalah terkenal dengan (katakanlah)
Christoper Nolan.
Perfilman Indonesia bisa saja mendapatkan tempatnya di kancah dunia, potensi itu
ada sedari awal film 'Terang Boelan' karya
Albert Balink dan Wong Brothers dipertunjukkan pertama kali di tahun 1938. Film ini sukses
hingga diekspor ke Malaysia dan bahkan
meraup untung yang banyak. Namun sayang
potensi yang baik itu segera dirusak, diracuni

oleh orang-orang yang sama busuknya dengan
pejabat dan politikus negeri ini. Bila politikus
negeri ini tak mengerti politik serta tak tahu
cara menyejahterakan rakyat selain meraup
uang sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri,
pun begitu yang terjadi dengan para penggiat
perfilman Indonesia, banyak di antara mereka
yang tak mengerti film namun ingin meraup
untung sebanyak mungkin darinya. Ini sudah
terjadi di awal sejarah film Indonesia bermula, dan hingga kini keadaan belum banyak
berubah.
Tak perlulah membicarakan soal pasar dunia, untuk pasar negara sendiri saja perfilman
Indonesia belum begitu diperhitungkan. Bagi
masyarakat pada umumnya yang menganggap pergi ke bioskop laksana piknik ke taman
hiburan, mereka cenderung lebih memilih
menghabiskan uangnya untuk membeli satu
tiket film aksi Hollywood yang menghibur
ketimbang satu film Indonesia yang (katanya)
belum ketahuan bakal menghibur atau tidak.
Nah, situasi seperti ini siapa yang menciptakan?
Bila harus menunjuk batang hidung biang
keladinya, saya berani mengatakan bahwa ini
ulah para penggiat film sendiri diantaranya
para produser, pemilik modal dan sutradara,
pemerintah dan pihak bioskop pun sama
bersalahnya, diperparah oleh peran media di
negeri ini yang tak dapat diandalkan. Kita tak
punya media mainstream semacam The Hollywood Reporter, Washington Post yang dapat
jadi acuan terpercaya sebelum calon penonton
memutuskan hendak menonton film apa di
bioskop.
Pada tahun 1954 walikota Jakarta, Soediro,
mengeluarkan aturan "wajib putar" film Indonesia di bioskop kelas 1 dalam rangka menyikapi gempuran film dari luar khususnya India
dan Filipina yang mulai gencar menginvasi
bioskop ibukota. Itu pun berkat usaha panjang
dari segelintir para penggiat film dan pemerhati kebudayaan khususnya film seperti Usmar
Ismail dan beberapa koleganya yang sangat
vokal pada masa itu. Jelas bila tak didesak,
pemerintah toh ogahan-ogahan campur tangan
urusan perfilman negaranya sendiri.
Tak seperti negara lain yang ikut memajukan dunia perfilman bangsanya, pemerintah
kita hanya mampu mengais pajak dan sok
mengatur moral lewat badan sensornya tanpa
bisa berbuat apa-apa demi kemajuan perfilman
negeri ini. Dan mengharapkan pemerintah
ikut andil memajukan perfilman Indonesia itu
ibarat mengaharapkan hujan salju untuk turun
di kota Jakarta. Mari kita lupakan saja anganangan muluk itu.
Di lain pihak, bioskop sebagai penjaja film
patutlah juga ditunjuk batang hidungnya. Dan
kita sama-sama tahu bioskop yang dimaksud
adalah bioskop yang biasa kita datangi di lantai
paling atas di setiap mall yang ada di segala
penjuru kota negeri ini. Pihak bioskop selalu
mengklaim bahwa mereka adalah "etalase"
pertunjukan film dan menurut mereka
masyarakat sendirilah yang menentukan
pilihan tontonannya. Padahal nyatanya mereka
sangat mempengaruhi pilihan penonton.
Film Hollywood, Bollywood, bahkan Korea
sekalipun yang kita tonton di bioskop telah terlebih dahulu "dikuratori" oleh pihak bioskop.
Bila mereka pikir filmnya menjual maka mereka
beli lalu ditayangkan. Perlakuan ini tak terjadi
pada film Indonesia. Untuk film Indonesia,
pihak bioskop bertindak bak pemilik warung
yang dititipi roti tanpa mau tahu roti yang
mereka jajakan itu sudah busuk, kadaluarsa,
atau bahkan tak layak dimakan. Pihak bioskop
turut andil membentuk selera penonton kita,
dan itu tak terbantahkan. Dan semestinya
mereka membeli film Indonesia dari tangan
produser, dan hanya lewat sistem ini maka
film-film Indonesia yang tayang adalah hasil
kurasi, maka tak sembarang film Indonesia
bisa tayang di bioskop, hanya yang berkualitas baik saja. Jadi, sutradara seperti Demian
Dematra, Boy Rano, Shakuntala, Nayato, Yoyok
Dumprink, Nuri Dahlia, tak bakal sering-sering
membuat film.
Film yang laku itu adalah film yang disukai
penonton. Film 'The Host' dari Korea bisa diputar di bioskop Indonesia karena film itu laku
luar biasa bahkan box office di negera asalnya
sendiri. Selain laku film itu pun baik secara
kualitas. Indonesia memiliki 'The Raid' yang
juga mendunia, walaupun film ini disutradari
oleh seorang bule. Sayang, kita baru punya
'The Raid' saja, tak seperti negara Korea atau

Thailand misalnya yang konsisten mengekspor
film-filmnya dengan tetap menjaga kualitas
mutu. Setelah kesuksesan 'The Host' kita
masih dapat menikmati sederet film lainnya
seperti 'Hello Ghost', 'The Thieves' dan yang
baru-baru ini tayang 'Miracle in Cell No. 7'.
Semestinya 'The Raid' bisa jadi barometer film
aksi, dan lambat laun selera penonton akan
film-film yang baik dapat terbentuk. Namun
apa yang terjadi? Selepas 'The Raid' mendunia pun kita masih berjumpa dengan poster
film konyol semisal 'Pokun Roxy', 'Kembalinya
Nenek Gayung', 'Im Star' di etalase bioskop.
Para sineas pembuat film yang saya sebut tadi
jelas tak merasa tersaingi dan merasa sebodo
amat ketika melihat sesama koleganya membuat film yang baik.
Pada tahun 50an kita memiliki Usmar
Ismail yang tak main-main ketika membuat
film. Namun, di tahun itu pula para produser
keturunan Tionghoa mulai menghancurkan
industri film Indonesia di usianya yang masih
belia. Produser-produser keturunan Tionghoa ini memproduksi film dengan bujet yang
rendah dalam tempo sesingkat-singkatnya
demi mendapatkan keuntungan yang banyak.
Hal tersebut tentu saja mengakibatkan mutu
film yang diproduksi menjadi buruk tak terkira.
Bila dulu perfilman Indonesia diracuni para
produser keturunan Tionghoa, kini selera
penonton kita didikte oleh para produser
keturunan India semisal KK Dheeraj. Dulu, para
sineas yang idealis seperti Usmar Ismail jadi
terjepit, karyanya berada di bawah bayang-bayang sejumlah film bikinan produser keturunan
Tionghoa pencari untung semata itu. Kini, para
sineas idealis era sekarang pun seperti Edwin,
Mouly Surya, pendatang baru Dirmawan Hatta,
dan beberapa nama lain, tak bernasib lebih
baik ketimbang Usmar Ismail pada zamannya.
Sejak kemunculan 'Petualangan Sherina'
lebih dari satu dekade lalu, negeri ini sesungguhnya mendapatkan pengharapan baru, juga
talenta-talenta sineas baru yang hebat. Sineassineas baru nan muda inilah yang sejatinya
dapat membentuk selera pasar yang baik. 'Ada
Apa Dengan Cinta' yang rilis pada 2002 karya
Rudy Soedjawro sukses luar biasa. Film ini
disukai penonton, dan tak hanya itu, film ini
pun baik secara kualitas. Sayang, momentum
baik ini dilihat dengan cara yang picik oleh
mata para pedagang berkedok produser film.
Lalu tiba-tiba saja seorang Rudy Soedjarwo
sutradara 'Ada Apa Dengan Cinta' yang fenomenal itu diproduseri Leo Sutanto membuat film
'Mendadak Dangdut' dalam tempo tujuh hari
syuting, dan lama-lama makin banyak yang
mengikuti cara "syuting serampangan"-nya itu,
Nayato salah satunya. Tentu saja output film
dari cara kerja serampangan itu tak kan berakhir baik walaupun tetap menjual dan mampu
menuai profit, namun penonton kita dicemari
dan lama-lama terkondisikan selera tontonannya. Jangan heran bila ada yang menonton film
'Surat Kecil Untuk Tuhan' hingga sampai tiga
kali berturut-turut di bioskop dan mengang-

gapnya sebagai film yang menginspirasi.
Di tangan para pedagang seperti KK
Dheeraj yang terakhir memproduksi 'Jokowi',
film jadi kehilangan esensinya. Ia dan sejumlah
koleganya berkontribusi banyak menanam citra
film Indonesia yang buruk ke benak penonton.
Seperti di tahun ini misalnya, ada beberapa
film baik dari beberapa sutradara baik yang
luput mendapatkan perhatian. Film-film baik
ini jeblok di pasaran. Masyarakat ogahan-ogahan untuk menonton karena mereka tak mau
berspekulasi. Tahun lalu kita memiliki 'Habibie
& Ainun', film yang baik secara kualitas dan
mengesankan dalam menoreh raihan jumlah
penonton. Tahun ini KK Dheeraj membuat
'Jokowi' yang dimaksudkan mengikuti kesuksesan 'Habibie & Ainun', namun ia beserta
pembuat film di belakangnya lupa diri bahwa
mereka bukanlah sineas yang baik -- sejauh
ini. Filmnya buruk walau harus diakui 'Jokowi'
ini memang tak seburuk film-filmnya yang
terdahulu seperti 'Mr. Bean Kesurupan Depe'
dan ke-30 filmnya yang lain.
'Cinta Brontosaurus' arahan Fajar Nugros
dan diproduseri oleh Chand Parwez Servia
adalah film dengan raihan jumlah penonton
terbanyak tahun ini. Kontras dengan kesuksesannya di tangga box office, film ini buruk
secara kualitas -- dibuat dengan production
value yang mengerikan, skrip yang lemah
juga di beberapa departemen lain. Dan entah
bagaimana cara yang tepat untuk mengatakan
ini: para sineas di belakangnya tak lebih baik
dari seorang KK Dheeraj.
Bila penonton kita ternyata menyukai
suguhan buruk seperti 'Cinta Brontosaurus',
mungkin itu lah hasil tempaan terus menerus
dari begitu banyaknya film Indonesia buruk yang dijajakan di bioskop kita. Sebagian
orang berpendapat bahwa film itu cuma soal
selera. Satu pendapat negatif soal sebuah
film dari seorang kritikus bisa jadi itu cuma
gambaran selera si kritikus itu seorang diri.
Namun bila sepuluh orang kritikus memberikan
pendapat negatifnya terhadap sebuah film,
maka telaklah film itu memang buruk. 'Cinta
Brontosaurus' bila ditelaah oleh sepuluh orang
kritikus, setidaknya delapan diantaranya akan
memberikan penilaian negatif. Dan ini sudah
saya buktikan. 'Cinta Brontosaurus' ini menarik
sekali dan karena itu saya jadikan sample yang
tepat sebagai ilustrasi bahwa film yang buruk
ternyata bisa juga disukai oleh penonton. Hal
yang lumrah. Namun sebagai seorang sineas
-- seorang seniman, bukankah mencipta masterpiece adalah angan-angan yang selalu ingin
dicapai?
Mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya tentulah menjadi impian semua
produser film, juga sutradara yang membantu
mewujudkannya. Namun alangkah jahatnya
bila film itu dibuat tanpa kesungguhan dan
dengan cara yang tak benar, seperti penjual
gorengan yang menambahkan boraks dan zat
pewarna tekstil pada adonannya, membahayakan jiwa bila dikonsumsi secara terus menerus.

Agustus 2013 l Kinescope l 25
HOT ISSUE

Industri Film Indonesia
Di penghujung tahun 2011, sineas
dan pelaku industri film di Asia
Tenggara berkumpul dalam
Festival Film ASEAN. Salah satu
bahasan utama dalam acara itu
adalah bagaimana mencari solusi
atas nasib indutri film di negaranegara ASEAN yang terus terpuruk
dan kalah bersaing dengan produk
film-film Hollywood. 
syakib gumanti

26 l Kinescope l Agustus 2013
P

ara sineas film Asia Tenggara ini memiliki
ramai penonton, maka film itu akan terus tayang.
kekhawatiran yang sangat besar akan nasib Kalau filmnya dianggap sepi, biasanya dua hari
masa depan industri film mereka. Kegelisa- sudah hilang,” jelasnya. 
han terbesar adalah para anak-anak muda
Dari dua pendapat tersebut, terlihat bahwa
di Negara mereka seakan menjauhi film-film
prioritas membangun industri film di Indoneproduksi dalam negerinya. “Kami gelisah akar
sia masih pada tahap bagaimana menciptakan
kebudayaan kami akan hilang,” ujar Jose Miguel
profit atau keuntungan sebesar-besarnya. Lalu
De La Rosa dari Filipina. 
dukungan negara yang lemah dan cenderung
Jose mengatakan lima tahun sebelumnya,
tidak peduli. Hal ini bisa menjadi berbahaya
negaranya sanggup menciptakan ratusan film,
bagi industri film Indonesia. Bahwa peningkatan
“Namun kini kita hanya bisa memproduksi pulukualitas akan menjadi kesulitan tersendiri di
han film,” ujarnya. 
samping melakukan promosi industri film. DitamLalu bagaimana dengan kondisi industri film
bah dengan tidak adanya kebijakan Negara yang
di Indonesia? Sineas film Indonesia mengamini
khusus mengatur tentang itu, sehingga industri
hal serupa. Bahkan permasalahan dalam industri
film Indonesia seolah berjuang dan bergerak
film di Indonesia sangat parah. Aktor senior Dedy
sendiri bertarung dengan ekspansi besar film-film
Mizwar  mengatakan industri film di Indonesia
luar negeri yang mendesak pasar dan industri film
dipaksa untuk berjalan sendiri tanpa panduan dari dalam negeri terus menerus.
pemerintah. 
Lain lagi apa yang dialami oleh Luna Maya. Ar“Tidak ada peran negara disini,” ujar aktor
tis yang juga sedang merambah profesi sutradara
senior yang baru saja terpilih sebagai Wakil
dalam film Pintu Harmonika ini, mengungkapkan
Gubernur Jawa Barat ini. “Industri film akan tetap
kekecewaannya akibat gagal melakukan kegiatan
berjalan. Namun jika tidak didukung oleh pemernonton bareng dengan penggemarnya karena
intah, maka akan begini-begini saja,” tandasnya.
filmya sudah tidak tayang lagi. 
Menurut Dedi, sampai saat ini belum ada po“Padahal saya membuat film ini untuk memlitical will yang baik dari pemerberikan edukasi, sosialisasi
intah untuk mengangkat industri
serta bukti bahwa film produksi
“Peran Negara,
film Indonesia ke jenjang yang
seperti di India dan lokal tidak kalah dengan
lebih baik. Industri film Indonesia
produksi luar negeri,” jelasnya
Korea Selatan,
memang tetap berjalan, namun
konferensi pers. 
sangat aktif dalam dalam sebuah bila dibandingtanpa arah yang jelas. “Yah,
Memang,
membantu industri kan dengan Korea Selatan,
beginilah kondisinya,” ujarnya
film di negaranya. industri film Indonesia sangat
sambil seolah putus asa. 
Ia juga mempertanyakan
Sementara kita disini jauh tertinggal. Data tahun
ketika industri film berada di
harus bersaing dan 2007 menunjukkan film Indobawah Kementerian Pendidikan
office US$
berjibaku sendirian nesia mencapai box ternyata
Nasional, tidak ada satu orang
100 juta. Jumlah ini
melawan film-film hanya 2 persen dari yang perpun yang paham akan dunia film
Hollywood yang
di Kementerian tersebut. “Kan
nah dicapai oleh film-film India. 
lucu, industrinya film, tapi tidak
Membaca kondisi di atas
ditunjang dengan
diurus oleh mereka yang paham
muncul pertanyaan, bagaimana
modal produksi
soal film itu sendiri,” tegasnya
yang sangat besar,” film Indonesia akan menjadi
sambil tersenyum. 
tuan rumah di negeri sendiri
-Andibachtiar YusufSementara itu, Andibachtiar
jika tidak ada perlindungan dan
Yusuf, sutradara film Hari Ini
kebijakan yang berpihak pada
Pasti Menang, mengatakan bahwa bila dilihat
mereka? Banyak praktisi dan pengamat film mendengan negara asia lainnya, seperti Korea Selatan,
gatakan, sebetulnya untuk menjadikan film Indomaka industri film Indonesia saat ini sudah sangat
nesia bisa berbicara banyak di dalam negeri, juga
jauh tertinggal. Padahal Indonesia yang memiliki
luar negeri, tidaklah sulit. Seperti yang dikatakan
sejarah panjang dalam dunia perfilman, seharusn- Dedy Mizwar, hanya dibutuhkan political will dari
ya sudah unggul di Asia. 
pemerintah untuk menciptakan kondisi itu. 
“Peran Negara, seperti di India dan Korea
Memang, persoalan masa tayang film di
Selatan, sangat aktif dalam membantu industri
bioskop sepertinya tidak bisa dilepaskan kepada
film di negaranya. Sementara kita disini harus bermekanisme pasar saja. Harus ada peran pemersaing dan berjibaku sendirian melawan film-film
intah dan visi yang jelas, untuk mengembangkan
Hollywood yang ditunjang dengan modal produksi
industri film Indonesia. Selama itu tidak ada,
yang sangat besar,” ujarnya. 
maka jangan berharap Industri film Indonesia
Ia mencontohkan bahwa tidak ada aturan
akan mampu berbicara banyak, walaupun di
yang mengatur dan membatasi lama tayang
dalam negerinya sendiri. 
sebuah film Indonesia di studio atau bioskop.
Adanya dukungan dari pemerintah dan
Padahal menurutnya, aturan ini akan melindungi
instansi terkait, sebetulnya sudah bisa menghapus
industri film Indonesia. Andibachtiar juga menduapertiga kemelut yang terjadi dalam industri
contohkan bagaimana di Korea Selatan dan India,
film itu sendiri. Sayangnya, itu belum terjadi.
film-film lokal di sana memiliki aturan tentang
Bahkan ada paradigma bahwa kondisi industri film
maksimal waktu tayang, yaitu maksimal selama
nasional dibiarkan untuk selalu berada dalam podua minggu. 
sisi seperti itu, justru untuk kepentingan ekonomi
“Disini kan tidak ada. Kalau filmnya dianggap
sebagian pelakunya. 

Agustus 2013 l Kinescope l 27
HOT ISSUE

mUHAMMAD aDRAI

3 Juni 2013. Dewan Kesenian Jakarta dan Jakarta Media Syndication
mengadakan pemutaran perdana film dokumenter karya Tino
Saroengallo berjudul “Setelah 15 Tahun…” di gedung Graha Bakti
Budaya, Taman Ismail Marzuki.

28 l Kinescope l Agustus 2013
Beberapa hal yang bisa
disimpulkan dari film ini
berdasarkan pandangan para
narasumber
Reformasi tahun 1998 hanya
menurunkan Soeharto dan bukan
membersihkan sebuah rezim yang
dinamakan rezim Orde Baru di seluruh sektor pemerintahan.
Para mahasiswa tidak siap dengan
kenyataan bahwa pada tanggal 21
Mei 1998 Soeharto secara tiba-tiba
mengundurkan diri. Mereka tidak
menyangka Soeharto akan mundur
dan secepat itu. Saat Soeharto turun,
mahasiswa tidak memiliki agenda
menghadapi kenyataan tersebut.
Gerakan mahasiswa tahun 1998
ibarat para ksatria datang, menumpas
raja yang zalim, setelah itu para
ksatria langsung pergi meninggalkan
kerajaan yang kosong seolah-olah
tidak ada urusan lagi di situ. Kemudian
kerajaan tersebut diisi kembali oleh
kroni-kroni dari rezim raja yang lalim. 
Mahasiswa tidak lagi memiliki tujuan
atau cita-cita bersama setelah
Soeharto turun.
Pasca Reformasi yang berhasil
diraih hanya kebebasan berpolitik,
kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan mendapatkan
informasi. Sisanya sama saja bahkan
semakin memburuk.

L

ayaknya pemutaran perdana sebuah film,
penonton yang datang cukup mengisi registrasi
di buku tamu. Begitu masuk ke dalam gedung,
para tamu yang datang disediakan jajanan pasar
seperti bajigur, ubi rebus, singkong rebus, kacang rebus lengkap dengan gerobaknya. Suguhan yang unik
dan sangat merakyat.
Di website Dewan Kesenian Jakarta, kita bisa
melihat sinopsis film ini yang berisi tentang evaluasi
perjalanan Reformasi, hasil Reformasi sampai dengan
tahun 2012, dengan cara mewawancarai mantanmantan aktivis 1998, anggota masyarakat dan
mahasiswa saat ini. Selain wawancara, film ini juga
menampilkan footage terkait pergerakan pada masa
Orde Baru yang dulu dilarang tayang di media massa. 
Misalnya Peristiwa Gejayan.
Kalau film “Tragedi Jakarta 1998 (Student
Movement in Indonesia)” didedikasikan bagi korban
Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I maka film
“Setelah 15 Tahun...” didedikasikan untuk Moses Gatotkaca (korban Peristiwa Gejayan) dan Yun Hap (korban
Tragedi Semanggi II). Mereka mewakili banyak korban
lain selama masa Orde Baru. 
Tepat pada pukul 19:30 WIB penonton masuk ke
dalam ruang pertunjukan. Di awal film ditayangkan,
layar masih hitam. Terdengar suara anak kecil berkata,
“menyanyikan Lagu Indonesia Raya.” Para hadirin
diminta berdiri dan menyanyikan lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Semua
lampu dimatikan. Para penonton
menyanyikan Indonesia Raya dengan
penuh khidmat. Suatu rutinitas yang
hampir tidak pernah kita lakukan
lagi selepas sekolah. Momen yang
sungguh sangat menggetarkan hati
dan menumbuhkan kembali spirit

nasionalisme.
Kemudian film muncul dengan gambar cuplikancuplikan demonstrasi mahasiswa tahun 1998, TNI dan
POLRI (dahulu ABRI) yang memegang senjata, kerusuhan pasca penembakan di Universitas Trisakti, Tragedi
Semanggi dan pidato pengunduran diri Soeharto, diiringi
lagu ‘Tanah Airku’ ciptaan Ibu Soed. Sebuah intro yang
membawa pesan sangat jelas untuk para penonton.
Kemudian Tora Sudiro muncul memandu cerita dari satu
bagian ke bagian yang lain.
Adegan pun bergulir dari satu wawancara ke
wawancara yang lain. Narasumber yang diwawancara
beraneka ragam. Antara lain dosen, politikus, mantan
aktivis, pembuat film, keluarga korban Tragedi Semanggi,
wartawan, pustakawan, mahasiswa, karyawan sampai
pedagang. Para narasumber memberikan komentarnya
masing-masing mengenai peristiwa Reformasi 1998 dan
kenyataan yang terjadi setelah Reformasi.

Agustus 2013 l Kinescope l 29
HOT ISSUE

Dari keseluruhan film, benang merah yang
dapat dilihat antara lain adalah sebuah pertanyaan, apakah Reformasi gagal? 
Beberapa pernyataan dari narasumber
yang cukup bisa membuat terhenyak,
Dulu ada aliansi bubarkan Golkar.
Sekarang aliansinya bubar, Golkarnya nggak.
Bahkan orang-orang aliansi masuk ke Golkar Wartawan
Pecahan Golkar itu banyak. Ada Hanura,
Gerindra, dan Nasdem. Jadi ya kalau 2014
isinya mereka ya campur semuanya – Dosen,
Ekonom
Mudah-mudahan dengan menonton film
ini masyarakat bisa disembuhkan dari “penyakit lupa” dan kembali berupaya menegakkan
cita-cita Reformasi.
Hari Selasa, 18 Juni 2013, Kinescope
mendapat izin dari Tino Saroengallo untuk mewawancarai beliau mengenai filmnya “Setelah
15 Tahun…” yang baru saja ia luncurkan pada
awal bulan Juni yang lalu. Berikut ini wawancaranya.
Selamat atas peluncuran perdana film Setelah
15 Tahun… Kapan screening lagi?
Saya belum tahu. Sejauh ini belum ada
lagi. Saya maunya lebih untuk ke mahasiswa.
Tapi jangan asal screening. Saya pun juga tidak
mau royal seperti film saya yang sebelumnya
(Student Movement In Indonesia: They forced
them to be violent, 2002). Sekarang saya mau
coba, bisa atau tidak penonton Indonesia mengapresiasi film dokumenter? Bentuk apresiasinya seperti apa? Kami yang shooting, kami
yang punya ide, kebetulan idenya kontroversial, kemudian kami yang berani pasang badan,
mereka ada tidak apresiasinya untuk itu? Dan
ini sejarah. Anda apresiasi sejarah negeri anda
sendiri atau tidak? Siapa lagi yang buat sejarah
Reformasi dalam bentuk film?

30 l Kinescope l Agustus 2013

Kalau begitu apa yang bedakan film
Student Movement sama film Setelah 15
Tahun.. dari segi eksebisi?
Waktu film Student Movement saya
royal, siapa aja yang mau ambil silahkan.
Yang datang nonton film itu, saya kasih
saja dvdnya. Sekarang tidak. Itu kaitannya lebih kepada saya sebagai pembuat
film. Sudah waktunya mendidik apresiasi penonton Indonesia terhadap film
dokumenter. Seperti contohnya, ada satu
kelompok cendekiawan. Kami bertemu di
hotel, ada yang minta film ini diputar. Saya
bilang, “oke nggak ada masalah. Tapi saya
minta nanti setiap panitia dan penonton membayar lima puluh ribu rupiah.
Kalau mengundang seratus orang ya tinggal
dikalikan aja dan uang itu.” Terus terang saya
lagi mengumpulkan uang untuk saya bisa
pasang film ini ke bioskop. Kayak buang batu
ke laut, man. Abis itu nggak nyaut lagi tuh
orang. Asyik nggak tuh republik lu ini? Ada
juga kelompok nirlaba di luar kota, begitu juga.
Oke, tidak ada masalah.. intinya, akan dikirim
dan ada yang mengawal film itu, tapi tolong
panitia membayar pengawalnya. Buang batu
ke laut lagi. Saya tidak mencari untung. Saya
hanya minta akomodasi orang yang mengawal
film ini termasuk penginapan. Itu saja. Dan
sebenarnya, saya pun nggak terlalu hirau.
Karena target saya memang mau pasang di
bioskop. Saya sendiri lagi mengumpulkan uang.
Kerja lagi, nabung lagi sampai saya bisa bikin 5
sampai 10 copy. Dvd sudah ada beberapa yang
menawarkan, tapi saya ingin film ini masuk
bioskop dulu.
Ada rencana untuk dibawa ke festival?
Ke FFI mungkin. Atau yang di Jogjakarta. Atau
dimana lah. Sudah sempat saya kirim ke Denmark,
sih. Tapi saya masih belum pikirkan akan kirim

kemana lagi. Karena isyunya tidak seperti Student
Movement yang global. Isyu di film ini lebih cocok
hanya untuk di negara Indonesia. Tapi itu nanti
lah, yang saya harapkan sekarang ini bisa ke bioskop dulu. Targetnya mudah-mudahan tanggal 17
Agustus bisa tayang di bioskop, kemudian mudahmudahan dvdnya keluar tanggal 13 November
bertepatan dengan peristiwa Semanggi 1.
Gejalanya sekarang, anak muda yang
umurnya 24 tahun atau yang lebih muda tidak tahu banyak tentang peristiwa Reformasi
1998.
Iya. Karena di sejarah di sekolah kan belum
ada banyak pelajaran tentang itu. Di
sekolah mungkin gaungnya masih
lebih banyak tentang Soeharto
daripada Reformasi. Nah, itu
yang ironis kan.
Jangan mentang-mentang kejadiannya dekat,
kalau kita ngomong 15
tahun.. itu sama saja orang
pada tahun 1960 sudah tidak
mengerti apa yang terjadi di
tahun 1945. Sama persis.
Orang kelahiran
tahun 1950 tidak tahu apa-apa tentang tahun
1945, dianggapnya Indonesia selalu merdeka.
Benar nggak? Sekarang banyak anak yang
merasa kalau kita mau maki pemerintah kita
biasa-biasa saja, bebas-bebas aja. Coba itu
terjadi disaat sebelum Reformasi, belum tentu
kan? Nah, apresiasi terhadap sejarah itu yang
cukup menyedikan. Kalau ketika saya buat
film Student Movement itu, saya mikir, selama
puluhan tahun saya dibohongi sama angkatan
1945, atau sama mereka yang mengklaim
dirinya angkatan 1945. “Oh, pahlawan jaman
dulu”. Saya buat lah Student Movement karena
membuat rekamannya memang sudah memungkinkan. Dulu kan tidak memungkinkan.
Ternyata setelah Student Movement pun orang
juga sudah lupa kan? Tidak tahu juga, tidak
ingat juga.., bahkan ada sebagian kecil dari
pelaku reformasi ada yang tidak tahu diri.
Seperti yang anda bilang, anak umur 24 tahun
ke bawah juga sudah tidak mengerti. Karena
ketika itu terjadi dia umur berapa? Masih 9
tahun..
Mengingat Soeharto yang mengundurkan diri,
mahasiswa yang bergerak di jaman reformasi
tidak bisa klaim telah menurunkan Soeharto
dong?
Lho. Soeharto turun karena didesak
oleh mahasiswa kan? Tapi kalau kita bilang
benar-benar itu gerakan mahasiswa, itu sama
naifnya seperti kalau ada yang bilang tahun
1966 itu akibat gerakan UI dan ITB. Tidak ada
gerakan mahasiswa yang bisa sukses kalau
tidak didukung oleh sekelompok elit yang
memang tidak menyukai lagi pemerintahan
yang berkuasa. Mau itu elit militer atau elit
sipil. Dan itu yang terjadi di jaman Soeharto
terakhir kan? Ada gerakan muda tentara juga
yang antara lain, kalau saya tidak salah ingat

itu namanya Jenderal Agus Wirahadikusumah,
almarhum. Dia termasuk Jenderal pembaharuan. Dia sebeulnya pada jaman Soeharto sudah
melancarkan juga gerakan-gerakan pembaharuan itu. Dia meninggal karena jantung.
Nggak jelas. Ketika dia bilang akan umumkan
keuangan militer TNI, tidak lama kemudian
lewat dia. Tiba-tiba jantung. Padahal masih
muda. Dibawahnya Prabowo. Artinya, maksud
saya, pasti ada elit disitu yang bermain. Tidak
mungkin hanya mahasiswa doang. Begitu lho.
Dan apa yang dikatakan oleh Faisal Basri di
film ini benar. Soeharto mundur, oke. Dia tidak
diturunkan. Dia mundur untuk melindungi
rezimnya. Kalau Soeharto waktu itu bersikeras,
akan terjadi benturan kelompok. Dia mundur.
Nah, orang-orang langsung euforia, dikirain
sudah menang. Nggak tahunya rezimnya sudah
disiapkan untuk tetap berkuasa. Birokrasi tetap
sama.
	
Menyangkut Student Movement: They Forced
Them To Be Violent?
Yang tadi saya bilang. Saya merasa
dibohongin sama orang-orang yang mengaku
pahlawan itu. Ternyata korupsi semua. Yang
angkatan 1966 lah.. yang apa lah.. Ternyata
semua jadi kroninya Soeharto. Kebetulan saya
kerja di TV Jerman. Saya di lapangan terus. Ya,
sekalian aja saya bawa kamera. 80 persen di
film Student Movement itu saya yang ambil
gambarnya.
Gimana awalnya bisa sampai muncul gagasan
untuk membuat film Setelah 15 Tahun…?
Sebenarnya saya mau rilis ulang film
Student Movement. Terus ada yang nyeletuk,
“kenapa nggak buat aja yang baru sekarang
udah 15 tahun, apa yang terjadi?” Kan biasa
tuh kita ngobrol, ada aja yang nyeletuk. Terus

kepikiran. Mulai tanya. Ternyata begitu ketemu
orang, tanya-tanya, berkembangnya menjadi sangat menarik. Pernyataan-pernyataan
mereka sangat menarik. Mereka kawan-kawan
saya waktu tahun 1998, walaupun bukan
responden saya, tapi saya tahu mereka adalah
simpul-simpul yang penting.
Shooting di tiga kota. Jakarta, Makassar
dan Jogjakarta. Saya sendiri yang berangkat
ke luar kota. Shooting dengan komunitas di
Makassar dan Jogjakarta. Kenapa di tiga kota
itu? Waktu itu kan awal munculnya kekerasan
di daerah Solo, Jogjakarta dan Makassar.
Benturan pertama di tiga tempat itu sebelum
muncul kekerasan di Jakarta. Kalau sekarang
mungkin sih biasa saja. Tapi pada waktu itu
ada mahasiswa berbenturan dengan aparat di
jaman Orde Baru itu dahsyat! Kemudian ada
juga footage yang kami ambil dengan mengirim orang ke Lapindo-Sidoarjo.
Alasan memilih Tora Sudiro untuk jadi
pemandu cerita?
Sebagai penetral. Dia orang yang tidak
terlalu serius dan dia mewakili generasinya.
Pada waktu kejadiannya sendiri pun Tora
tidak ada di Indonesia. Tidak ada hal yang
berat sih. Tadinya kepikiran Lukman, atau
angkatan mereka lah. Akhirnya ya sudah
sekalian aja saya tabrakin.
Kalau misalnya Lukman, orang sudah
bisa menerima karena itu film serius. Atau
kalau itu mas Slamet Rahardjo, misalnya.
Kalau yang ngomong itu sejarawan kan
biasa. Ya Tora saja lah.. itu kan juga milik
semua orang. Bahwa seseorang seperti Tora
Sudiro pun yang katanya dianggap hanya
tahu senang-senang punya hak untuk berbicara soal itu.

Judul
Setelah 15 Tahun..
Sutradara
ino Saroengallo
Produksi
Jakarta Media Syndication
Tema
Peringatan 15 tahun Reformasi 1998
Isi
Evaluasi perjalanan
Reformasi, hasil Reformasi
sampai dengan tahun 2012,
dengan cara mewawancarai
mantan aktivis 1998, anggota
masyarakat dan mahasiswa
saat ini. Apakah Reformasi
gagal?
Durasi
93 menit.
Format
Digital Video
Masa Produksi
Desember 2012 – Mei 2013
Lokasi Syuting
Jakarta, Jogjakarta, Makassar dan Surabaya
Catatan
Produksi film ini bisa
terlaksana karena bantuan
teman-teman komunitas film
di Jakarta, Jogjakarta dan
Makassar yang membantu
syuting maupun editing secara pro bono.

Agustus 2013 l Kinescope l 31
SPOTLIGHT

There is no glory in war!
Battle of Surabaya | Titik cerah animasi Indonesia bersinar dari Yogyakarta.

Battle of Surabaya, Film Animasi 2D pertama di Indonesia Produksi MSV Pictures/STMIK
AMIKOM YOGYAKARTA ini akan segera dirilis di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia.

D

emi menghasilkan film yang berkelas Hoolywood,
perusahaan ini memberangkatkan crew Film “Battle
of Surabaya” menuju ke kota Surabaya guna mendapatkan referensi untuk kebutuhan dalam pembuatan film
ini. Tempat yang dikunjungi oleh crew film ini diantaranya
Museum Surabaya, Hotel Majapahit (dahulu bernama Hotel
Yamato), Jembatan Merah dan tempat bersejarah lainnya
di Surabaya.

Sinopsis

Film Battle of Surabaya menceritakan petualangan
Musa, remaja tukang semir sepatu yang menjadi kurir
bagi perjuangan pejuang arek-arek Suroboyo dan TKR
dalam peristiwa pertempuran dahsyat 10 November 1945
di Surabaya.Cerita dibuka dengan visualisasi dahsyat dari
pemboman kota Hiroshima oleh Sekutu yang menandakan
menyerahnya Jepang. “Indonesia merdeka, itu yang kudengar dari RRI, Jepang menyerah!!” kata Musa. Tetapi langit
Surabaya kembali merah dengan peristiwa Insiden Bendera
dan kedatangan sekutu yang ditumpangi oleh Belanda.
Belum lagi gangguan oleh beberapa kelompok pemuda
Kipas Hitam yang dilawan oleh Pemuda Republiken. Residen Sudirman, Gubernur Suryo, Pak Moestopo, Bung Tomo
dan tokoh-tokoh lain membangkitkan semangat arek-arek
Suroboyo & pemuda Indonesia bangkit melawan penjajahan. Musa dipercaya sebagai kurir surat dan kode-kode
rahasia yang dikombinasikan dengan lagu-lagu keroncong
dari Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia yang didirikan
Bung Tomo.
Berbagai peristiwa dilalui Musa sebagai kurir, kehilangan harta dan orang-orang yang dikasihi menjadi konsekuensi tugas mulia tersebut. Cerita ini merupakan cerita
adaptasi dari peristiwa 10 November 1945 Surabaya. Selain
tokoh-tokoh nyata, terdapat tokoh fiktif yang sengaja dibuat
untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Pesan
perang tentang semangat, cinta tanah air dan perdamaian.

32 l Kinescope l Agustus 2013

Judul
Battle of Surabaya
Sutradara
Aryanto Yuniawan
Penulis
Prof. M. Suyanto
(Direktur STIMIK
AMIKOM Yogyakarta)
Aryanto Yuniawan
Agustus 2013 l Kinescope l 33
BEHIND THE SCENE

Kamtis Army :

Tentara Mantan Copet, Mafia, Pemabuk dkk
RIEZKY ANDHIKA PRADANA

H

ingga kini sejak diluncurkannya pada
12 Desember 2012 lalu, sebanyak
3.300 lebih boxset ekslusif mereka
telah terjual. Bahkan edisi album
yang terbatas ini sudah banyak diborong oleh
Kamtis Family (fans Endank Soekamti) yang ada
di negeri jiran Malaysia. Uniknya, bahkan ada
juga pasangan kamtis yang menjadikan boxset
album ke lima Endank Soekamti ini sebagai
mas kawin mereka.
Lagu pertama yang dikerjakan video
klip nya adalah ‘Angka 8’. Sesuai isi lagunya,
video klip ini bercerita soal persahabatan.
Seperti yang terlihat pada artwork di album
terbaru mereka yang berjudul sama, tema
yang diusung kental dengan nuansa militer.
Untuk keperluan kostum, band pop punk asal
Yogyakarta ini membuat sendiri seragam
militer ala Kamtis Army.
Menurut Erix Soekamti, video klip ini
bercerita tentang Kesatuan Soekamti Company
yang berlatar belakang berbeda-beda. Di
dalamnya terdapat copet, mafia, pemabuk,
dan sebagainya. Mereka kemudian ditahan
polisi dan masuk ke sebuah wilayah bernama
Area 8 yang diam-diam dimanfaatkan untuk
membuat pasukan elite Kamtis Army.
“Persahabatan itu oke disaat segalanya
‘fine’, tapi kalau sedang nggak punya uang,
suasana ‘nggak fine’ semuanya akan berbeda,
teman sejati ada ketika sedang tidak ‘oke’,
gambaran situasi yang cocok adalah saat
perang, dimana taruhannya adalah nyawa,”

34 l Kinescope l Agustus 2013

ujar Erix menjelaskan konsep proyek
tersebut.
Dalam pembuatan karya ini, Erix
yang juga selaku sutradara mengaku terinspirasi dari film ‘Band Of Brother’. Hal
ini bisa terlihat dari tata artistik, kostum,
hingga spesial efek yang akan digunakannya. Ke-16 lagu tersebut nantinya akan
dipotong-potong dan disusun menjadi
satu cerita, dan produksinya pun lebih
PERTENGAHAN Februari ini tepatnya Selasa (12/2) lalu, Endank
Soekamti memulai mengerjakan proyek besar mereka. Setelah
meluncurkan novel, video dokumenter, dant album ke lima yang
spektakuler dan inspiratif, dilanjutkan dengan promo media tour, trio
Erix, Dory, dan Ari kini mengerjakan videoklip dari lagu-lagu terbaru
mereka. Tidak tanggung-tanggung, rencananya 16 lagu yang terdapat
di album Angka 8 ini semuanya akan dibuatkan video klip dengan tema
sama, dan saling  berkaitan.

fokus ke film.
Secara pribadi sebenarnya Erix mengaku
tidak pernah bercita-cita menjadi tentara,
namun ada nilai positif yang bisa diambil dari
ketentaraan bagi seorang rocker, di antaranya
adalah kedisiplinan. “Band rock kan identik
dengan ‘slenge-an’, nggak bisa bangun pagi,
saat jadwal promo, semua jadwal itu kan
pagi hari, jadi harus belajar disiplin. Sebagusbagusnya band, nggak akan jadi kalau tidak ada
disiplin di dalamnya,” tegas frontman Endank
Soekamti ini.
Jika disimak dari artwork yang terdapat
pada sampul album Angka 8 Endank Soekamti
ini, kita bisa melihat berbagai simbol dan
pesan yang tersirat didalamnya. Contohnya,
pada gambar tersebut terlihat Erix sedang
mengangkat dan mengepalkan tangannya. Ini
melambangkan ‘kemerdekaan’, yaitu merdeka
membuat karya sesuai apa yang diinginkan. Di
tengah, Ari sang penggebuk drum mengacungkan telunjuknya seolah sedang menantang,
sedangkan posisi tangan sang gitaris Dory terlihat seperti ‘onani’, yang melambangkan ketika
berkarya juga harus memuaskan diri sendiri.
Sedangkan tank di belakang mereka bertiga diibaratkan sebagai Euforia Records, label
baru mereka yang siap memperjuangkan apa
yang ingin dikerjakan, tanpa harus bergantung
dari industri besar yang selama ini menaungi

mereka.
Ketika ditanyakan apa yang sebenarnya
ingin dilawan oleh seorang Erix Soekamti? ia
menjawab santai, “Yang pertama ya harus bisa
melawan diri sendiri, contohnya rasa takut,
sifat nggak pede, dan lainnya,” jawabnya.
Meski hujan deras mengguyur di saat
produksi mulai siang hingga sore, namun
seluruh kru Endank Soekamti tetap melanjutkan  syuting video klip yang dilakukan di pesisir
Pantai Parangkusumo, Bantul ini. Pengambilan
gambar yang dilakukan oleh kameramen Erick
Wirasaktu ini pun tetap dilakukan meski seluruh badan basah kuyup diguyur hujan.
Pada proyek ini, Endank Soekamti melibatkan seluruh kru, dan teman-teman dekat untuk
ikut berpartisipasi dalam produksinya. Menurut
Erix kunci bagaimana Endank Soekamti dan seluruh kru bisa selalu harmonis, dan bersinergis

adalah sederhana, yaitu saling menghargai, dan
percaya. “Respect, and trust each others, itu
kata kunci menjaga kekompakan,” tegasnya.
Pada video-video ini, lelucon khas Endank
Soekamti tentunya juga tidak ketinggalan untuk
menjadi bagian dalam setiap karya mereka.
Contohnya, sebagai Pasukan Elit, mereka
menggunakan senjata yang tidak mungkin
dikenakan oleh tentara pada umumnya.
Nantinya, video-video tersebut akan diunggah per lagu, dimana setiap bulannya Endank
Soekamti akan mengunggah satu lagu. “Setelah
tujuh episode, akan di stop dulu, dan sisanya
menunggu hingga seluruh filmnya selesai,”
jelas Erix mengenai proyek yang rencananya
akan diselesaikan selama setahun ini.
Nah, Penasaran dengan video klip mereka?
Mari kita tunggu hasilnya di channel YouTube Endank Soekamti. (*)

Agustus 2013 l Kinescope l 35
ON LOCATION

Bangun Lagi Dong, Lupus!
LUPUS | Walaupun sedikit mengecewakan para penggemar

tokoh cerita yang ngetren pada tahun 1980-1990an, redaksi
mencoba menampilkan foto-foto on-location shoot Bangun Lagi
Dong, Lupus! yang diproduksi oleh Ekomando Pictures. Kabarnya
film ini juga akan mereka produksi sinetronnya. Mari kita simak.

36 l Kinescope l Agustus 2013
Sinopsis
Lupus (miqdad auddausy) adalah sosok anak
remaja yang lebih merakyat , ia adalah pelajar SMU
MERAH PUTIH yang aktif menulis sebagai wartawan
sebuah majalah , senang menguyah permen karet ,
cuek dan sedikit jahil. Kejahilannya ini lebih bernada
humor daripada menyakiti dan berniat jahat , dalam
jalur kisah ini ditampilkan kejahilan Lupus dalam
kehidupan sehari-harinya baik dirumah dan sekolah.
Kisah berawal dari kepindahan lupus ke SMU
MERAH PUTIH dan bertemu sosok gadis cantik siswi
SMU yang sama bernama Poppie (Acha Septriasa).
Keduanya terlibat dalam jalinan cinta segitiga, karena
Poppie telah memiliki kekasih yaitu DANIEL (Kevin
Julio), yang hidupnya penuh kemewahan.
Lupus tidak peduli soal itu ,malah terus berjuang
untuk menjadikan Poppie kekasihnya.
Sebagai sosok gaul Lupus cepat mendapat teman
yang kemudian menjadi sahabatnya ada GUSUR
(Jeremiah Christiant)– bergaya seniman sableng,
yang bercita-cita punya rumah sangat sederhana

buat sang engkong (Didi Petet). Adapula BOIM (Alfie
Alfandy) – playboy cap duren tiga yang tampil berani
jelek. ANTO (Fabila Mahadira) – si kutu buku dengan
segudang cita-cita.
Poppie bagaikan piala, jadi rebutan Daniel dan
Lupus , mereka bersaing berusaha mengambil hati
sang pujaan.
Sementara para sobat Lupus hidup dengan konfliknya masing-masing. Gusur punya masalah dengan
ibu kantin (Debby Sahertian) dan kakak iparnya
(Firda Kusller) yang galak. Boim yang diuber-uber
debt Collector (Agung Hercules) akibat hutang ibunya
(Cici Tegal). Anto yang punya masalah dengan ketidak
pedean soal pertemanan.
Tidak ada persoalan serius dalam cerita film ini,
romantika remaja dengan segala problematikanya
serta prestasi dan persahabatan banyak mewarnai
cerita.
Dibalik semua kekonyolan, kelucuan dan hal
menggelikan lainnya, terselip keharuan, esensi kebaikan, prestasi dan nilai persahabatan.

Agustus 2013 l Kinescope l 37
ON LOCATION
World Premiere
25th Tokyo International
Film Festival
(24 Oktober 2012)
Premiere Indonesia
8 November 2012
Tahun Produksi
2012
Rumah Produksi
MILES Films
Produser
Mira Lesmana
Sutradara
Riri Riza
Penulis Naskah
Riri Riza
Durasi
90 menit
Genre
Drama
Bahasa
Tetum /
Dengan subtitle
Bahasa Indonesia
Format Rekam
Digital HD
Color / B&W
Color
Sound
Stereo
Pemeran Utama
Gudino Soares
Petrus Beyleto
Putri Moruk

Atambua 39 Celcius
0

Atambua adalah sebuah kota perbatasan di Indonesia yang menjadi tempat
m
­ engungsinya ribuan masyarakat Timor Timur. Kisah kehidupan para pengungsi dan
keluarga mereka yang tercerai berai itu digambarkan dengan sensitif dan puitis oleh
sutradara kenamaan dari generasi baru sineas Indonesia, Riri Riza.

FESTIVAL & AWARDS
•	 Tokyo International Film Festival, Japan
2012
•	 International Film Festival Rotterdam,
Netherland 2013
•	 CINEMASIE – Vesoul Asian Film Festival,
2013

	INALCO Prize
•	 Asean International Film Festival &
Awards (AIFFA) 2013

	Best Director Award
•	 Indonesian Movie Awards 2013
•	 Best Newcomer Actor Award
for Petrus Beyleto

38 l Kinescope l Agustus 2013

Sinopsis

Joao telah terpisah dari ibunya
sejak berusia tujuh tahun. Ia dibawa
eksodus ayahnya pindah ke Atambua
setelah referendum 1999, sementara
ibu dan dua adiknya yang masih bayi
tinggal di Liquica, Timor Leste. 
Ronaldo, ayahnya, kini bekerja
sebagai supir bis antar kota. Ia sering
mabuk sampai akhirnya dipecat dari
pekerjan. 
Satu hari gadis Nikia kembali ke
Atambua untuk menyelesaikan ritual
duka kematian kakeknya. Joao yang
biasa menghabiskan waktu menjadi
tukang ojek dan bermalasan bersama
teman teman remajanya berganti
kebiasaan dengan ritual mengikuti

Nikia. Sesungguhnya ia tidak terlalu
faham mengapa. Perlahan Nikia
mulai membuka hati pada Joao,
sampai suatu hari Joao menunjukkan perasaannya dengan cara yang
memaksa. Nikia pergi meninggalkan
Atambua.
Sementara, Ronaldo berkelahi di
sebuah tempat bilyar, hingga ia kemudian ditahan di kantor Polisi. Joao
menebus ayahnya keluar dari tahanan, kemudian pergi untuk mencari
Nikia.Ronaldo pulang menemukan
rumah yang kosong dan menemukan
kumpulan surat dalam bentuk kaset
kaset rekaman dari Istrinya.
Joao mencoba menebus kesalahannya – akankah Ronaldo mengikuti?
FOTO : miles productions
KRU UTAMA
Penata Sinematografi
Gunnar Nimpuno
Editor
Waluyo ichwandiardono
Musik
Basri B. Sila
Penata Suara
Satrio Budiono
Perekam Suara
Suhadi
Asisten Sutradara 1
Rivano setyo utomo
Asisten Sutradara 2
Ratrikala bhre aditya
Produser Lini
Toto Prasetyanto
Co-Produser Eksekutif
Via Wujudkan.Com
Suzy D. Hutomo
Budy Karya Sumadi
Lala Timothy
Frederica
Budhy Tjahjati Soegijoko
Produser Eksekutif
Ignatius Andy
Sendi Sugiharto
Adrian Sitepu
Produser
Mira Lesmana
Sutradara & Penulis Naskah
Riri Riza
PEMERAN UTAMA
Joao Gudino Soares
Ronaldo Petrus Beyleto
Nikia Putri Moruk

Agustus 2013 l Kinescope l 39
PROFIL

mUHAMMAD aDRAI

T

ino Saroengallo,Alasan ia memilih
kuliah Sastra Cina karena dari kecil
suka baca cerita silat Kho Ping Hoo.
Di dalam otaknya, populasi penduduk
Cina yang terbesar di dunia. Maka bahasa
Cina akan menjadi bahasa pergaulan di
dunia.
“Saya ambil Sastra Cina karena saya
nggak tau hidup mau ngapain. Begitu
tamat IPA, tamat, saya bingung. Saya
lihat ibu saya jadi dokter umum itu nggak
menarik dan jadi dokter itu bukan buat
saya. Saya lihat bapak saya jadi pengacara hidupnya juga nggak menarik. Saya
sering baca Kho Ping Hoo, saya pikir, oh ya
kayaknya Sastra Cina ini seru. Dasarnya
saya juga senang main. Jadi saya pikir,
oh iya, ini nih.. kenapa nggak sastra cina?
Cina kan banyak di dunia. Di otak saya
pertama itu. Begitu saya bisa ngomong
cina kan saya bisa gaul. Intinya saya ikutin
arus saya seperti air aja.”
Menyelesaikan skripsinya setelah
mencicipi profesi door to door salesman
di perusahaan Electrolux selama enam
bulan. Kehidupan salesman inilah yang
menjadi bekal utamanya ketika mengawali
karier di bidang jurnalistik: tidak malu
menyapa calon responden seperti halnya
menyapa calon pembeli.
“Jadi salesman, door to door karena
saya butuh duit. Saya memang belum
lepas dari orang tua tapi orang tua saya
juga bukan orang kaya. Sebagai contoh,
saya tidak pernah di wisuda selama
hidup saya. Kenapa? Karena ketika mau
di wisuda duit saya tinggal Rp 25.000,Pilihannya antara memperbanyak naskah
skripsi untuk sidang, kemudian saya dapet
ijazah atau saya ikut wisuda, dapet toga.
Saya pilih buat skripsi. Simpel aja itu sih.
Yang penting saya nggak ada hutang.
Sejak 1987 ia sudah berkecimpung di
beragam profesi yang berkaitan dengan
media. Mulai dari reporter di tabloid
dwi-mingguan “Mutiara”, majalah berita
dwi-mingguan “X’tra”, majalah berita
bergambar “Jakarta-Jakarta”, serta penulis
lepas di berbagai media hingga akhirnya
masuk ke dunia audio-visual pada saat
stasiun televisi swasta RCTI berdiri tahun
1988 dengan catatan tidak pernah men-

jadi karyawan stasiun televisi
tersebut. Sejak saat itu akrab
bekerja dengan pembuatan
program televisi sebagai
Manajer Produksi maupun
sebagai Penulis untuk program
maupun drama televisi. Dari
program televisi merambah
ke produksi film iklan dan
film cerita. Meski pernah
menjadi Sutradara film iklan
selama beberapa tahun
di paruh kedua dekade
1990-an namun pada awal
tahun 2000-an ia memutuskan untuk lebih menekuni
profesi Asisten Sutradara 1
dan Manajer Produksi.
“Kecemplung di dunia
industri film dan televisi karena
nggak sengaja. Saya masuk RCTI
diajak seorang teman. Awalnya
pegang buat news dan program
feature. Programnya dianggap gagal, terus saya balik lagi nulis dan bikin
sinetron.. karena sinetron tantangannya
cuma di episode awal, lima episode pertama enak makin kesananya ya gitu-gitu
aja, saya bosen. Terus diajak lagi untuk
program musik namanya Rocket. Ya, ikut
lagi sampe dua tahun, bosen, masuk ke
iklan, jadi orang lokasi, terus masuk lagi
ke feature film.”
Di dunia film cerita ia lebih banyak
berkecimpung di departemen produksi
menjadi Manajer Produksi, Manajer Lokasi atau malah Pemain. Film cerita yang
pernah ia kerjakan sebagai bagian dari
departemen produksi adalah “Victory”
(Mark Peploe, 1995), “Last to Surrender”
(David Mitchell, 1999), “Pasir Berbisik”
(Nan T. Achnas, 2001), “Ca-bau-kan” (Nia
diNata, 2002), “The Fall” (Tarsem Singh,
2006), “Jermal” (Ravi L. Bharwani, Rayya
Makarim, Orlow Seunke, 2008), “Eat Pray
Love” (Ryan Murphy, 2010), “Sang Penari”
(Ifa Ifansyah, 2011) dan “The Philosophers” (John Huddles, 2013).
Sebagai pemain film ia pernah tampil
sebagai figuran, cameo ataupun peran
pendukung dalam film “Petualangan
Sherina” (Riri Riza, 2000), “Arisan” (Nia

Tino Saroengallo | lahir di Jakarta, 10 Juli 1958.

Ia adalah aktor, produser film dan penulis.Pada 1986 ia
menamatkan pendidikan di Fakultas Sastra Jurusan
Asia Timur Program Studi Cina, Universitas Indonesia.
40 l Kinescope l Agustus 2013
diNata, 2003), “Pesan Dari Surga” (Sekar Ayu
Asmara, 2006), “Dunia Mereka” (Lasya Fauzia,
2006), “Quickie Express” (Dimas Djayadiningrat,
2007), “Tri Mas Getir” (Rako Prijanto, 2008),
“MBA” (Winalda, 2008), “Jagad X-Code” (Herwin Novianto, 2009), “Pintu Terlarang” (Joko
Anwar, 2009), “Kabayan Jadi Miliuner” (Guntur
Soeharjanto, 2010) dan terakhir “Rayya: Cahaya
Di Atas Cahaya” (Viva Westi, 2012). Ia selalu
menyebut diri sebagai spesialis peran sekelebat.
Di dunia film dokumenter ia pernah
memproduksi sebuah film dokumenter sejarah
politik Indonesia berjudul “Student Movement
in Indonesia: they forced them to be violent”
yang mendapatkan penghargaan sebagai
Film Pendek Terbaik dalam Asia Pacific
Film Festival ke-47 di Seoul pada bulan
Oktober 2002 dan Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Terbaik dalam
Festival Film Indonesia di Jakarta pada
tahun 2004. Salah satu dampak dari
kemenangan ini adalah ia seringkali
diundang menjadi juri festival film
dokumenter seperti Festival Film
Indonesia ataupun Eagle Awards
Documentary Competition di
Metro TV. Film dokumenter berikutnya tentang upacara pemakaman di Tana Toraja berjudul
“Hidup Untuk Mati” (They Live
to Die). Hasil kerjasama dengan
sutradara/produser senior Gary
Hayes, guru sekaligus rekan
kerjanya sejak tahun 1993
sampai sekarang. Belum
lama ini ia baru saja merilis
film dokumenter terbarunya berjudul Setelah 15 Tahun.. yang mengulas tentang
perjalanan reformasi di tahun
1998 hingga tahun 2013 berikut
wawancara beberapa aktivis
1998 yang kini mewakili suara
profesinya masing-masing.
Ia juga banyak terlibat dalam
pembuatan film dokumenter
televisi tentang Indonesia
maupun peliputan berita stasiun televisi ARD-TV Jerman
di Indonesia. Bila jadwal
memungkinkan,
sampai sekarang
ia masih mendampingi peliputan
ARD-TV di Indonesia
sebagai fixer.
“Ikut TV Jerman
itu ketika sedang
kumpul bareng temanteman, ketemu mereka
(kru ARD-TV). Waktu
itu saya sudah tidak

di RCTI, sudah freelance. Saya sudah jadi
sutradara iklan waktu itu. Kemudian mulai krisis. Menganggur. Nah, saya main di news. Pas
ada gerombolan TV Jerman. Diajak. Ya ikutan
aja. Urat wartawan saya pun balik. Keterusan
sama mereka, tiga tahun keliling Indonesia.”
Selain tulisan reportasenya yang pernah
dimuat di berbagai media antara tahun 1986
– 1994, ia juga sudah menghasilkan dua buah
buku yaitu “Ayah Anak Beda Warna! Anak
Toraja Kota Menggugat” (Penerbit Tembi, 2008)
dan “Dongeng Sebuah Produksi Film” (Penerbit
Intisari, 2008). Keduanya sudah diterbitkan ulang. Buku “Dongeng Produksi Film Iklan (Asing)
di Indonesia” ini adalah buku ketiganya, buku
pertama dari trilogi “Dongeng Produksi Film
(Asing) di Indonesia.
Pada tahun 2000 ia mendapat kesempatan mengajar sebagai dosen produksi film di
Fakultas Film & Televisi, IKJ. Hasil dari tulisan-tulisan diktatnya untuk para mahasiswa ia jadikan
buku berjudul Dongeng Sebuah Produksi Film:
Dari Sudut Pandang Manajer Produksi (2008 &
2011).
“Saya mengajar di Fakultas Film & Televisi,
IKJ karena dijeblosin sama Mira Lesmana dan
Shanty Harmayn. Mestinya mereka yang mengajar. Karena berhalangan, mereka meminta
saya. Akhirnya saya yang keterusan mengajar,
merekanya tetap sibuk shooting. Tahun 20082009 saya berhenti karena mulai sering ke luar
kota. Nggak fair buat mahasiswanya. Sekarang
paling kalau ngajar ya sifatnya berbagi.”
“Saya memang beruntung, tahun 1994
saya sudah dijeblosin untuk berurusan dengan
film-film Hollywood. Orang-orang dari Hollywood, sutradara iklan, sutradara film cerita
datang ke Indonesia. Kebetulan pada waktu
itu hanya sedikit yang bisa berbahasa Inggris.
Saya bisa berbahasa Inggris, bisa ngomong
sama bule, saya terpilih untuk bekerja dengan
mereka. Ya lama-lama saya belajar sistemnya
mereka. Tahun 1994 pun saya sudah berurusan
dengan timnya Bernado Bertolucci (Sutradara
Film asal Italia yang menyutradarai film
antara lain Last Tango in Paris, 1900, The Last
Emperor, The Sheltering Sky dan The Dreamers).
Pokoknya semua saya jalanin aja, yang penting
niat belajar. Gitu aja.”

Filmography
•	 Victory (1995)
•	 Last To Surrender (1999)
•	 Petualangan Sherina (2000)
•	 Pasir Berbisik (2001)
•	 Ca-bau-kan (2002)
•	 Student Movement in Indonesia: they forced them
to be violent (2002)
•	 Arisan» (2003)
•	 Pesan Dari Surga (2006)
•	 The Fall (2006)
•	 Dunia Mereka (2006)
•	 Quickie Express (2007)
•	 Jermal (2008)
•	 Tri Mas Getir (2008)
•	 Married By Accident (2008)
•	 Jagad X-Code (2009)
•	 Pintu Terlarang (2009)
•	 Eat, Pray, Love (2010)
•	 Kabayan Jadi Milyuner (2010)
•	 Sang Penari (2011)
•	 They Live to Die (2011)
•	 Rayya, Cahaya Di Atas
Cahaya (2012)
•	 The Philosophers (2013)
•	 Setelah 15 Tahun... (2013)
Buku
Dongeng Sebuah Produksi
Film: Dari Sudut Pandang
Manajer Produksi (2008
& 2011)
•	 Ayah Anak, Beda Warna!
Anak Toraja Kota Menggugat (2008 & 2010)

•	

Penghargaan
•	 Best Short Film, Asia
Pacific Film Festival ke-47,
Seoul, 2002 (2002)
•	 Piala Citra untuk kategori
Film Dokumenter Terbaik
FFI, 2004 (2004)
Blog
http://dongengfilm.wordpress.
com/

Agustus 2013 l Kinescope l 41
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan
Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan

Contenu connexe

Similaire à Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan

Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN SalatigaKosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN SalatigaAbdul Rosyid
 
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaManajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaRevinda Rahmania
 

Similaire à Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan (8)

Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN SalatigaKosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
Kosa Kata Dalam Bahasa Indonesia Salasun ICP`12 STAIN Salatiga
 
Finding Srimulat Proposal
Finding Srimulat ProposalFinding Srimulat Proposal
Finding Srimulat Proposal
 
Dian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyoDian sastrowardoyo
Dian sastrowardoyo
 
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film IndonesiaManajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
Manajemen Bisnis Media - Industri Musik dan Film Indonesia
 
PIALA MAYA - proposal 03102015
PIALA MAYA - proposal 03102015PIALA MAYA - proposal 03102015
PIALA MAYA - proposal 03102015
 
Glisten #4
Glisten #4Glisten #4
Glisten #4
 
JIFFest Proposal
JIFFest ProposalJIFFest Proposal
JIFFest Proposal
 
Kinescope Magz Edisi 11
Kinescope Magz Edisi 11Kinescope Magz Edisi 11
Kinescope Magz Edisi 11
 

Plus de Kinescope Indonesia

Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientMembangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientKinescope Indonesia
 
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaPeran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaKinescope Indonesia
 
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaKinescope Indonesia
 
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope IndonesiaKinescope Indonesia
 

Plus de Kinescope Indonesia (9)

Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual QuotientMembangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
Membangun Revolusi Mental Berbasis Inteligence, Emotional dan Spiritual Quotient
 
Hr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategyHr cost reduction strategy
Hr cost reduction strategy
 
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun KinerjaPeran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
Peran Budaya Kerja Syariah Dalam Membangun Kinerja
 
Effective Interview
Effective InterviewEffective Interview
Effective Interview
 
Corporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud CultureCorporate & Anti-fraud Culture
Corporate & Anti-fraud Culture
 
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 8 Majalah Kinescope Indonesia
 
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope IndonesiaEdisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
Edisi 7 2014 Majalah Kinescope Indonesia
 
KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6KinescopeMagz Edisi 6
KinescopeMagz Edisi 6
 
Kinescope Magz Edisi 4
Kinescope Magz Edisi 4Kinescope Magz Edisi 4
Kinescope Magz Edisi 4
 

Jangan Bersedih: La Tahzan Cerita Harapan

  • 1. Kinescope f i l m , s e n i & e d u k a s i free magazine - edisi 1 agustus 2013 Leher angsa Tino Saroenggallo setelah 15 tahun Premiere Miracle in Cell no 7 Atambua 390 Celcius review on location benyamin sueb karakter Kamtis Army LA TAhzAN behind the scene J a n g a n B e r s e d i h Music Report JAVA ROCKIN’ LAND Agustus 2013 l Kinescope l 1
  • 2. 2 l Kinescope l Agustus 2013
  • 3. Agustus 2013 l Kinescope l 3
  • 4. Contents Cover Story 10 La Tahzan ( jangan bersedih) Sebuah Film Drama religi, dipersembahkanoleh Falcon Pictures padaLebaran 2013 inidisutradaraiolehDanialRifki. RESENSI FILM 16 Sang Kyai Berbicara tentang proses p ­ embuatan sebuah film yang m ­ engangkat tema ­ ejarah, agama s dan ­budaya ­memang ­memiliki ­kesulitan tersendiri. 34Kamtis Army 55 André Bazin 40 Tino Saroengallo 17 Will Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya pertandingan pada final Istanbul. Opini Publik 18 Tradisi Sinema tanpa Industri Sinema Pada kenyataannya budaya sinema terjadi di Indonesia, akan tetapi belum mampu melahirkan sebuah industri. FESTIVAL 20 10 Film Terlaris Korean Selatan 2012-2013 Memberikan Alternatif Tontonan Selama Sepekan REVIEW 22 Miracle in Cell no 7 Eksploitasi Keterbelakangan Mental Membawa Kesuksesan Box Office HOT ISSUE 26 Industri Film Indonesia Di penghujung tahun 2011, sineas dan pelaku industri film di Asia Tenggara berkumpul dalam Festival Film ASEAN. 28 Setelah 15 Tahun Pemutaran perdana film dokumenter karya Tino Saroengallo 4 l Kinescope l Agustus 2013 38 Atambua 390 Celcius On Location 36 LUPUS Menampilkan foto-foto on-location shoot Bangun Lagi Dong, Lupus! KARAKTER 42 Benyamin Sueb Benyamin Sueb ­ okoh seni ­egendaris T l ­Indonesia. Seorang ­pemeran film, ­­pelawak, ­ sutradara dan juga ­ enyanyi. p KABAR GEMBIRA 50 PerfilmanIndonesia mulai bangkit Indonesia Kembali Menjadi Kandidat Network of Asian Fantastic Films di Puchon International Fantastic Film Festival 2013 di Korea 52 Festival Kesenian Yogyakarta Ruh Yogyakarta ada pada pendidikan, budaya dan kesenian. 54 Sejarah Membaca Sejarah Sinema Indonesia Lewat Si Anak Sabiran EduKASI 64 Sinema Indonesia Butuh Pertolongan “Disana batasan mereka adalah ide, disini batasnya budget!” dengan hasil yang profesional.program mereka.  66 Mise En Scene (Unsur Visual) Komunitas 70 Subkulture Rockabilly Yogyakarta Interview 74 deddi Mizwar Tidak Ada Peran Negara Dalam Industri Film Indonesia! Music 80 JAVA ROCKIN’ LAND Sebuah pagelaran festival musik rock. 82 Kerugian Industri Music Indonesia Industri musik Indonesia akibat pembajakan capai Rp 4,5 miliar rupiah pertahun.
  • 5. Agustus 2013 l Kinescope l 5
  • 6. Kinescope f i l m , s e n i & e d u k a s ii u k a s Penasehat Redaksi Farid Gaban Wanda Hamidah Andibachtiar Yusuf Biem T Benjamin Pemimpin Umum Hasreiza Marketing & Promotion Jusuf Alin Lubis Pemimpin Redaksi Reiza Patters Wakil Pemimpin Redaksi Gumanti Syakib Redaktur Pelaksana Muhammad Adrai Reporter Dyah Kusumawardhani Aji Wibowo Faisal Fadhly Kontributor Shandy Gasella Primayani Putri Andhini Taufiqul Rizal Doni Agustan Ranty Yustina Dewi Daniel Rudi Haryanto Art DIrector al Fian adha Designer Indra Kusuma Fotografer Herry Yohannes Ilustrator Seto Bije Digital & Mobile Applications Farid Gaban Distribusi & Sirkulasi Faisal Fadhly Community Development Hasreiza Event & Promotion Ollivia Selagusta subcriptions Gedung Graha Utama Jl. Raya Pasar Minggu KM 21 Jakarta Selatan Email : kinescopemagz@gmail.com @KinescopeMagz 6 l Kinescope l Agustus 2013 Salam Redaksi B erangkat dari dan dengan memperhatikan kondisi stagnan dari kehidupan dan perkembangan dunia sinema Indonesia yang seharusnya memberikan pengaruh positif terhadap budaya dan peradaban bangsa Indonesia, muncullah keinginan kami untuk memberikan kontribusi pemikiran, wadah diskusi dan polemik sebagai upaya membangun dunia sinema dan seni Indonesia secara umum yang lebih positif dan produktif dalam membangun pola pemikiran, budaya dan peradaban Indonesia yang lebih maju. Bentuk kontribusi pemikiran, wadah diskusi dan polemik tersebut kami wujudkan dalam sebuah media cetak yang akan terbit setiap bulan. Majalah ini akan mengambil peran sebagai wadah untuk aspirasi, diskusi, perdebatan hingga pergumulan dan konflik pemikiran atas perkembangan budaya dan peradaban ditinjau dari perspektif sinema, music, dan seni lainnya. Untuk itu kami hadir sebagai penyambung dari para pemikir, praktisi, penggiat dan sekaligus penikmat dari seni dan proses budaya dari peradaban bangsa ini. Majalah Kinescope adalah majalah bulanan yang fokus utamanya mengulas seputar dunia Film serta Seni di Indonesia, dan mencoba untuk memberikan muatan edukasi secara kritis namun tetap menghibur. Majalah ini dibangun dengan tujuan untuk memfasilitasi harapan, kritikan, rasa keingintahuan hingga uneg-uneg para pecinta, pemeharti, praktisi serta pengajar di bidang film, seni dan teknologi, khususnya film dan musik Indonesia dengan kemasan yang populis dan tetap menghibur. Keinginan yang kuat untuk menjadikan Majalah Kinescope sebagai media yang dapat mengulas perkembangan seni film Indonesia hingga ahirnya, sedikitnya dapat turut serta mengontrol perkembangan sinema Indonesia. Majalah ini diberi nama “Kinescope” yaitu sebuah alat yang digunakan untuk menterjemahkan sinyal menjadi gambar. Filosofi dari nama “Kinescope” adalah ingin mendorong majalah ini menjadi penterjemah nilai-nilai seni, sinema, musik dan lainnya menjadi gawang untuk kontribusi positif dan produktif atas budaya dan peradaban masyarakat Indonesia. Majulah sinema dan seni Indonesia! Cover Story Jangan Bersedih La tahzan | Sebuah Film Drama religi, dipersembahkan oleh Falcon Pictures pada Lebaran 2013 ini disutradarai oleh Danial Rifki. Film yang pada awalnya memiliki “working tittle” Orenji, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi La Tahzan, terinspirasi dari Buku Best Seller berjudul La Tahzan For Student, kumpulan cerita para warga negara Indonesia, pelajar – mahasiswa – pekerja, yang hidup di Jepang.
  • 7. Film Schedule August 2013 Film Indonesia Agustus La Tahzan La Tahzan “Jangan Bersedih” adalah sebuah film yang diangkat dari sebuah buku yang berjudul “La Tahzan For Students”. Film yang disutradarai oleh Danial Rifki tersebut mengambil lokasi syuting sebagian besar di beberapa kota di Jepang, seperti Osaka, Kyoto, Kobe dan Wakayama. Moga Bunda Disayang Allah 1. Get M4rried Tayang 2 Agustus 2013 2. La Tahzan Tayang 2 Agustus 2013 3. oga Bunda Disayang Allah M Tayang 2 Agustus 2013 4. 2014 Tayang 22 Agustus 2013 5. Crazy Love Tayang 22 Agustus 2013 6. Cinta/Mati Tayang 29 Agustus 2013 7. 2 Menit Untuk Selamanya 1 Tayang 29 Agustus 2013 Get M4rried Crazy Love Film arahan Guntur Soeharjanto (BRANDAL-BRANDAL CILIWUNG, TAMPAN TAILOR) tersebut dibintangi sederet nama-nama baru di scene perfilman tanah air. Selain Adipati Dolken yang namanya sudah tak asing lagi, ada Tatjana Saphira, Kemal Pahlevi, Una Putri dan Zidni Adam turut meramaikan film ini. Cinta Mati Berkisah mengenai seorang gadis bernama Acid yang memilih untuk mengakiri hidupnya karena berbagai persoalan. Namun, usahanya terus gagal hingga akhirnya ia bertemu Jaya, seorang pemuda yang juga putus asa. Sebuah film yang diadaptasi dari sebuah novel bestseller karya Tere Liye dengan judul yang sama. Diangkat dari salah satu kisah nyata paling mengharukan. Film ini berkisah tentang tentang Karang dan Melati, seorang anak perempuan yang buta, tuli dan juga bisu. Film ini disutradarai oleh Jose Poernomo dan dibintangi oleh Fedi Nuril Shandy Aulia. Sebuah film komedi terbaru “Get M4rried” karya sutradara Monty Tiwa dan diproduksi oleh Starvision. Get M4rried bercerita tentang perjuangan Guntoro, Benny dan Eman untuk mencari cowok baru buat Sophie atas suruhan Mae, karena Mae yakin, yang namanya cinta monyet itu gampang hilangnya. 2014 12 Menit Untuk Selamanya Film “2014” adalah sebuah film yang mengisahkan tentang persaingan menuju kursi kepresidenan 2014. Tidak hanya politik, film ini juga mengisahkan cerita cinta dan sebuah ambisi. Film ini disutradarai oleh Rahabi Mandra danHanung Bramantyo. Diproduksi oleh Mahaka Pictures, bekerjasama dengan Dapur Film. Sebuah Film yang diangkat dari novel karya “Jaumil Aurora”, dengan judul yg sama “12 Menit untuk Selamanya”. Novel dan Film ini mengisahkan perjuangan anak-anak Marching Band (MB) Bontang Pupuk Kaltim tampil selama ‘12 menit’ dalam kompetisi Grand Prix Marching Band (GPMB), dan sukses di sepuluh kejuaraan nasional. Agustus 2013 l Kinescope l 7
  • 8. MAGAZINE LaunCh PARTY! august 30th 2013 ATRIUM F3 FX SUDIRMAN Magazine Launching | Talkshow "Peran dan Kontribusi Dunia Seni Dalam Peradaban Bangsa" | Acoustic Live Music | Door Prize KINESCOPE INDONESI A Gedung Graha Utama Jl. Raya asar Minggu KM 21 P Jakarta Selatan Email : kinescopemagz@gmail.com 8 l Kinescope l Agustus 2013
  • 9. Agustus 2013 l Kinescope l 9
  • 10. COVER STORY Jangan Bersedih mUHAMMAD aDRAI M enurut Danial, film ini memiliki pesan sederhana, yaitu ingin menularkan Virus La Tahzan. “Rumput tetangga, terkadang lebih indah dari rumput sendiri. Padahal, dimanapun berada, kemuliaan bakal diraih dengan berkerja keras. Jadi, janganlah bersedih. Kata-kata “La Tahzan” jadi menemui konteksnya di sini”, ujar Danial, sutradara film pendatang baru yang pernah meraih Penghargaan dalam kategori Penulis Naskah Asli Terbaik, di  Festival Film Indonesia dan Penghargaan Penulis Skenario Terpuji, pada Festival Film Bandung . Danial menggandeng Joe Taslim, Ario Bayu, dan Atiqah Hasiholan sebagai pemeran utama dalam film ini. La Tahzan sendiri, merupakan film Indonesia yang dibintangi Joe Taslim, setelah ia bermain dalam film The Raid dan dalam film Hollywood berjudul, Fast And Furious 6. Kekuatan akting para pemain film ini juga sangat diperhatikan oleh Danial. Sehingga, film ini bukan hanya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup. Tapi dipadukan 10 l Kinescope l Agustus 2013 dengan potret bulir-bulir kesulitan, frustasi, hingga momen-momen bangkit untuk tidak menyerah yang dapat memberi warna sepanjang perjalanan film.Joe Taslim menyatakan, kalau dirinya menemukan pengalaman yang seru selama syuting, karena film La Tahzan berbeda dengan film-film yang pernah ia bintangi sebelumnya. “Genre drama sangatlah baru buat saya. Belajar bahasa Jepang dan memainkan karakter setengah Indonesia setengah Jepang, sangat menantang saya. Tanpa persiapan yang baik akan sangat sulit. Danial Rifki sangat berbakat, with  Bayu dan Atiqah sebagai lawan main, saya banyak belajar,” tambah Joe. Sementara itu, Ario Bayu mengaku, merasa sangat senang, selama menjalani proses syuting film La Tahzan. ”It was a super fun shoot! Dengan team yang kita miliki, kita menjadi lebih akrab dan proses shootingnya sendiri, tidak terasa conventional,” Ujarnya. Film La Tahzan juga menghadirkan lagu milik Almarhum Ustadz Jefry Al Buchory berjudul Bidadari Surga, menjadi original soundtrack-nya. Majalah Kinescope juga mendapat sedikit penjelasan tentang La Tahzan dari Danial Rifky. Sutradara yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik sebelum masuk Fakultas Film & Televisi Institut Kesenian Jakarta jurusan Penyutradaraan ini menerangkan bahwa ia sendiri merasa beruntung bisa mendapat kesempatan dari Falcon Pictures untuk menggarap cerita hasil pengalamannya bertemu dengan para warga Indonesia yang tinggal di Jepang. Beberapa tahun yang lalu, Danial pergi Jepang menghadiri Festival Film di Kyoto. Film Pendek Tugas Akhir kuliahnya yang berjudul Anak-Anak Lumpur
  • 11. Genre Website Drama www.film2014official.com Production Twitter Pictures Falcon @film2014resmi Director Facebook Danial Rifki Film-2014 Executive Producer HB Naveen / Dallas Sinaga Producer Frederica Production Falcon Pictures Sebuah Film Drama religi, dipersembahkan oleh Falcon Pictures pada Lebaran 2013 ini disutradarai oleh Danial Rifki. Film yang pada awalnya memiliki “working tittle” Orenji, sebelum akhirnya ditetapkan menjadi La Tahzan, terinspirasi dari Buku Best Seller berjudul La Tahzan For Student, kumpulan cerita para warga negara Indonesia, pelajar – mahasiswa – pekerja, yang hidup di Jepang. Co Producer Rina Harahap Cast Joe Taslim Atiqah Hasiholan Ario Bayu Martina Nobuyuki Suzuki Piet Pagau Early Ashy] ewi Irawan Prilly Latu Contina Music Raymondo Gascaro Dono Firman Written Jujur Prananto Sinopsis menang di festival itu. Mereka, orang-orang Indonesia yang tinggal di Jepang, pernah membuat buku berjudul La Tahzan for Student isinya berupa kumpulan cerita mereka yang terinspirasi dari buku motivasi terkenal berjudul La Tahzan. ‘Oleh-oleh’ dari Jepang itu ia susun bersama Rina Yanti Harahap, co-producer film ini beserta tim kecilnya menjadi sebuah karya tulis cerita baru. Kemudian hasilnya ia bawa ke Jujur Prananto. Selanjutnya cerita ia olah bersama Jujur Prananto. “Orangorang Indonesia yang datang ke Jepang terbagi menjadi dua arus,” tutur Danial. “Pertama sebagai pelajar dan mahasiswa, kedua adalah pekerja ditambah ada orang Indonesia yang menikah dengan orang Jepang. Masing-masing bagian ini mempunyai cerita sendiri-sendiri yang cukup unik. Realita-realita itulah yang kami rangkum menjadi satu cerita. Difokuskan lagi oleh Mas Jujur menjadi sebuah cerita cinta segitiga,” tambahnya. Setelah hasilnya terasa cukup baik kemudian mereka ajukan cerita tersebut ke Falcon Pictures yang segera disambut dengan sangat baik. Viona (AtiqahHasiholan) danteman-temannyamendarat di bandara Kansai, Osaka, untuk program belajarsambilArubaito – belajar sambil bekerja di Jepang. Viona bertemu Yamada (Joe Taslim), seorang fotografer freelance, yang ternyata mengerti bahasa Indonesia. Hal ini membuat Viona yang merasa asing di Jepang, seperti mendapat sahabat baru. Mereka pun menjadi akrab. Hingga Yamada, yang begitu langsung tanpa basa basi, berterus terang ingin melamarnya. Bahkan Yamada siap pindah agama. Pada persiapan Yamada menjadi mualaf, Viona terusik masa-masa di Indonesia, ketika seorang ibu menitipkan alamat untuk mencari anaknya di Jepang; Hasan (Ario Bayu), teman dekat Viona. Hasan yang selama ini menghindar dari Viona dan keluarga, pergi dengan meninggalkan pertanyaan bagi Viona. Dengan bantuan Yamada, akhirnya Hasan berhasil di temukan di Osaka. Ketika itu, kondisi Hasan sama sekali berbeda. Pada sebuah malam di Osaka Port, Hasan menceritakan semuanya. Kejujuran yang menjawab pertanyaan hati Viona… Yamada, Hasan, Viona --- Ketiganya dalam persimpangan memilih agama, kekekasih dan masa depan. Tidak ada yang mudah, namun sesungguhnya Allah selalu bersama kita. Janganbersedih, diantarasatukesulitanadaduakemudahan. a film by DANIAL RIFKI “LA TAHZAN” ARIO BAYU / ATIQAH HASIHOLAN / JOE TASLIM / MARTINA / NOBUYUKI SUZUKI / PIET PAGAU / EARLY ASHY / DEWI IRAWAN / PRILLY LATUCONSINA OST. “BIDADARI SURGA” BYUSTADZ JEFRY AL BUCHORY WRITTENBYJUJUR PRANANTO CO PRODUCED BY RINA YANTI HARAHAP PRODUCED BY FREDERICA EXECUTIVE PRODUCED BY HB NAVEEN DALLAS SINAGA DIRECTED BYDANIAL RIFKI Agustus 2013 l Kinescope l 11
  • 12. STATISTIK filmindonesia.or.id 1 2 892.915 Coboy Junior The Movie 683.144 3 Refrain 280.707 12 l Kinescope l Agustus 2013 7 Cinta Dalam Kardus 212.974 Mika 169.151 9 270.821 5 Sang Kiai Air Terjun Pengantin Phuket 215.161 8 4 308 Data Penonton Cinta Brontosaurus 6 Operation Wedding 153.386 10 219.734 Dead Mine 144.768
  • 13. Agustus 2013 l Kinescope l 13
  • 14. REVIEW Produser Ferri Yuniardo Sutradara Herman Kumala Panca Penulis Herman Kumala Panca Pemeran Iwa K Saykoji Sania MathiasMuchus Ras Muhamad 2014 R icky Bagaskoro (Rizky Nazar) siswa SMA tingkat akhir yg sedang mengalami dilema. Antara mengejar mimpinya jadi pengajar anak-2 terlantar atau harus mengikuti keinginan ayahnya, Bagas Notolegowo (Ray Sahetapy), untuk meneruskan pendidikan setinggi-tingginya. Bagas berharap Ricky akan mengikuti jejaknya menjadi seorang Politikus. Bagas sendiri adalah seorang ayah yg sedang berjuang menjadi presiden Indonesia periode 2014-2019 menggantikan Presiden Jusuf Syahrir (Deddy Sutomo). Persaingan menuju kursi kepresidenan sangat ketat antara Bagas Notolegowo, Faisal Abdul Hamid (Rudy Salam) dan Syamsul Triadi (Akri Patrio). Kehancuran Bagas membangkitkan keingintahuan Ricky untuk menelusuri kasus dan mempertemukan Ricky dengan Khrisna Dorojatun (Donny Damara) seorang pengacara idealis dan bersih yg banyak memenangkan kasus-kasus kemanusiaan. Selain itu Ricky juga mulai dekat dengan Laras (Maudy Ayundya), anak Khrisna Dorojatun. Tak Sempurna 1 1 Juli 2013 akan menjadi tanggal rilis film Tak Sempurna di bioskop seluruh Indonesia, sebuah karya Herman Kumala Panca. Ini adalah film cerita panjang pertama karya Panca, yang sebelumnya lebih banyak berperan sebagai Editor dalam puluhan film, antara lain film Postcard From the Zoo, Babi Buta yang Ingin Terbang, dan Kara Anak Sebatang Pohon yang diputar di Director’s Fortnight Cannes 2005. Herman Kumala Panca selaku Pencetus ide, Produser, Sutradara, dan Editor (yang lebih suka disebut Film Designer) berharap film Tak Sempurna akan menjadi sebuah referensi kehidupan. Penulis film Tak Sempurna, Baskoro Adi, yang sebelumnya menulis Hi5teria, dapat meng-intepretasi ide cerita hiphop menjadi struktur skenario secara mudah, karena background sebagai rapper. Film dengan preposisi Film Hip Hop Indonesia pertama ini diproduksi oleh Cineprime Pictures dan Putaar Production. Film ini tidak menceritakan musik hip hop, namun seperti musik hip hop sendiri, dimana hiphoper sering memasukkan teknik sampling dari musik lain, kadang refrain, atau bassline untuk dimasukkan ke musik mereka. Jadi film ini juga semacam mash up kehidupan Jakarta, yang disajikan dengan sarkasme yang kental. Banyak elemen cerita film terinspirasi oleh lagu hip-hop Indonesia era 90’an Film ber-genre hiphop dengan sentuhan laga ini akan menceritakan kerasnya kehidupan marjinal di Jakarta, dimana seseorang bisa kehilangan nyawa karena hal kecil, kejahatan bisa terjadi di depan mata, dan kekerasan baik fisik maupun verbal jadi bahasa sehari-hari. Hip hop sebagai kultur, “mendidik” agar berani, solider, dan tetep tenang menghadapi itu semua. Dibintangi oleh Dallas Pratama, Norman Akyuwen, Mathias Muchus. Serta HipHoper Indonesia: Iwa K, Sania, Derry (Neo), Saykoji, John Parapat (Sweet Martabak), Udjo dan Yossi Project Pop. Film ini turut menampilkan pendatang baru: Reggie Gvoiz (Trigger), Jaydee Soul ID dan Tya Arifin. Something in the Way A Produser Teddy Soeriaatmadja, Indra TamoronMusu Sutradara Teddy Soeriaatmadja, Penulis Teddy Soeriaatmadja, Pemeran RezaRahadian Ratu FelishaRenatya VerdiSolaiman Yayu AW Unru Daniel Rudi Haryanto 14 l Kinescope l Agustus 2013 hmad (Reza Rahadian) adalah seorang supir taksi di Jakarta. Dia kecanduan bacaan maupun video seks, namun tak bisa melampiaskan keinginannya karena tak mampu. Yang bisa dilakukan adalah menikmati sendirian di depan televisi, atau lewat masturbasi diam-diam dalam taksinya. Setiap malam, ia sering mendengar komentar rekan-rekannya sesama supir taksi tentang pelacur atau istri mereka. Siangnya, ia rajin mengunjungi masjid, di mana ia belajar tentang pentingnya kesucian, moral, dan Al-Quran. Sepercik harapan tumbuh ketika Ahmad jatuh cinta dengan tetangganya, Kinar (Ratu Felisha), seorang pekerja seks komersial dan menjadi pengantarnya ke tempat kerja. Hubungan mereka sayangnya terhambat oleh mucikari Kinar. Konflik antara seks sebagai produk dan tekanan moral agama membingungkan Ahmad, yang hanya ingin membebaskan Kinar dan dirinya dari hidup penuh moda. Film ini diputar perdana di Berli nale (Berlin International Film Festival) 2013 dalam program Panorama.
  • 15. Kemasukan Setan Produser Iwan Tjokro Saputro Roy A Steven Sutradara Dwi Ilalang E ddy mempunyai hobi cukup aneh: mencari setan dan ingin bertemu dengan setan. Eddy selalu berfikir secara logis dan tidak percaya sekadar omongan. Semua harus dengan bukti nyata. Hampir dua tahun usahanya mencari bukti tentang keberadaan setan selalu menuai hasil nihil. Suatu hari Eddy merasa jenuh. Akhirnya dia memilih jalan ekstrem untuk bisa berkomunikasi dengan mahluk “gaib”. Penulis Robert Ronny Maruska Bath Dwi Ilalang Pemeran RoziHerdian Gita Sinaga Arick Pramana Daniel ED Rombot Irwan Gardiawan Baron Hermanto Produser M Zainudin Sutradara Muhammad Yusuf Penulis Muhammad Yusuf Pemeran Aldi Taher Vivi Sofia Yofani Farah DibaYofani Gevangenis K isah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena herlam harus masuk penjara demi membela cintanya. Tak banyak yang tahu kalau dalam waktu dekat, sebuah film Indonesia berjudul “Gevangenis” akan segera tayang di layar lebar. Film yang disutradarai oleh Dwi Ilalang dan dibintangi oleh Rozi Herdian, Gita Sinaga, Arick Pramana, Daniel ED Rombot, Irwan Gardiawan, serta Baron Hermanto ini bahkan sudah merilis trailer mereka. Ada dua trailer yang bisa Criters tonton di bawah ini; Pre-Trailer yang sudah ditonton oleh 55 ribu orang, dan trailer yang baru rilis 17 Oktober lalu. Hingga berita ini diturunkan, trailer penuh film tersebut telah disaksikan oleh 11,749 orang penonton. “Gevangenis” yang berarti ‘Penjara’ dalam bahasa Belanda bercerita tentang kisah cinta Herlam (Rozi Herdian) dan Anita (Gita Sinaga) yang terpisah selama 10 tahun karena herlam harus masuk penjara demi membela cintanya. Film produksi Humalang ini menawarkan nuansa yang berbeda dari film-film Indonesia pada umumnya. Film yang naskahnya ditulis oleh Robert Ronny, Maruska Bath, dan Dwi Ilalang ini tak hanya akan menampilkan kisah drama dan action, tapi juga cerita kelam dibalik jeruji penjara dan serbaserbi kehidupan seorang narapidana. Belum ada tanggal pasti mengenai kapan film ini akan rilis. Kalau criters penasaran, bisa langsung follow akun twitter mereka di @GevangenisMovie untuk informasi lebih lanjut. N ing berhenti bekerja di toko pakaian dan pindah ke sebuah tokoh meubel. Pada hari pertama kerjanya, bersama Mur, sopir, ia mengantar sebuah sofa pesanan pelanggan di sebuah desa terpencil lewat jalan pegunungan yang mengular. Di perjalanan Ning menemukan percakapanpercakapan dan perhatian sederhana yang dirindukannya. Terjadilah perselingkuhan di sebuah penginapan. Sementara, di rumah yang terletak di pinggiran kota, Jarot, suami Ning yang penganggur, masih terus senang nonton televisi. Ia kemudian berusaha jual bensin eceran di tepi jalan dan sempat pula pergi ke pelacur. Satu dari 15 film perserta kompetisi Festival Film Locarno kategori Cineasti del Presente (Sineas masa kini). Didukung oleh Swiss Agency for Development and Cooperation dan Hubert Bals Fund. Tayang perdana dunia juga dalam festival itu tanggal 3,4,5 Agustus 2012. Sutradara Yosep Anggi Noen Penulis Yosep Anggi Noen Pemeran Christy Mahanani Muhammad Abe Baasyin Joned Suryatmoko Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya Agustus 2013 l Kinescope l 15
  • 16. RESENSI Sang Kiai | ­Berbicara tentang proses ­ embuatan p sebuah film yang ­ engangkat m tema ­ ejarah, agama dan s ­budaya ­memang ­memiliki ­kesulitan tersendiri. ­Selain ­keterampilan teknis ­sinematografis yang ­harus banyak menyesuaikan ­ ituasi s dahulu dengan kondisi masa kini, ­ ekuatan riset dan kesk esuaian ­ ejarah menjadi hal s yang sangat krusial untuk d ­ iperhatikan oleh pembuat film. Kesesuaian Sejarah, Perjuangan Kemerdekaan dan Teknis Sinematografis Mumpuni Reiza T erkait dengan itu, film Sang Kiai, garapan sutradara Rako Prijanto, banyak mendapatkan pujian sekaligus juga menuai kritik. Seperti misalnya, kesesuaian tokoh KH Hasyim Asy’ari yang lembut dan tidak keras, sangat bagus diperankan oleh Ikranegara. Kemudian film ini juga berusaha menggambarkan dengan baik peran santri dan pesantren dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Secara umum, film ini memiliki kualitas sinematografi dan visualisasi yang baik. Rako Prijanto dapat dikatakan berhasil menanggulangi kesulitan dalam penyesuaian antara kreasi sinematografis dengan kondisi asli dimasa lalu. Disamping itu, adegan-adegan dalam film ini tergolong dinamis dan tidak monoton. Visualisasi peperangan di Surabaya, ketika pesawat-pesawat sekutu membombardir kota tersebut, juga berhasil ditampilkan ke hadapan mata penonton tanpa harus memperlihatkan ‘rekayasa’ visual yang terlalu mencolok. Namun kritik terhadap kesesuaian sejarah juga diberikan terhadap film ini. Bagaimana kita dapat melihat kesalahan alur sejarah yang ditampilkan. Seperti misalnya, pidato Bung Tomo dalam menyikapi ultimatum Inggris dimunculkan lebih dahulu sebelum adegan pertempuran Surabaya 10 November 1945. Sedangkan di antara kedua adegan itu, terselip banyak adegan lain yang sebetulnya bukan berada di antara pidato Bung Tomo dan Pertempuran hebat dengan Sekutu tersebut, seperti beberapa pertempuran di bulan Oktober 16 l Kinescope l Agustus 2013 1945 yang diakhiri dengan perjanjian gencatan senjata yang melibatkan Bung Karno. Ini bisa menimbulkan distorsi sejarah dan pemahaman yang keliru, sebab fakta sejarah mengatakan bahwa pidato Bung Tomo itu dilakukan tidak lama sebelum Sekutu menggempur Surabaya tanggal 10 November 1945. Lalu kita bisa melihat di akhir film ini, terdapat teks yangtentang pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda yang terjadi pada tanggal 27 September 1949. Ini sangat berbeda dengan fakta sejarah yang sebenarnya. Bahwa pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda adalah merupakan hasil dari Konferensi Meja Bundar yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1949. Namun begitu, film yang berbiaya produksi sebesar 10 milyar ini, yang sudah tayang sejak 30 Mei 2013 ini memberikan pencerahan tentang sebuah penggambaran sejarah yang apik, dan mendidik di tengah gencarnya film-film Indonesia yang saat ini masih dikuasai oleh jenis film yang bertemakan cerita horor, hantu dan kisah percintaan yang klise. Film-film yang bertemakan kisah horor dan hantu itu hanya berputarputar pada penggambaran yang keliru dan dianggap tidak mendidik masyarakat, selain hanya mencari keuntungan komersil. Sama halnya dengan film percintaan klise yang hanya menampilkan romantisme yang kebanyakan hanya mengobral seksualitas dan kisah kesedihan tiada akhir. Film Sang Kiai ini bisa dianggap sebagai sebuah lompatan besar dalam karir Rako Prijanto, yang banyak dikenal dengan filmfilm bertemakan komedi macam “D’Bijis” (2007) dan “Malaikat Tanpa Sayap” (2012). Menggambarkan seorang tokoh yang tercatat dalam sejarah dan menceritakannya dalam sebuah film memang tidak mudah. Namun kita mencatat beberapa film bertema sama yang sangat bagus dari banyak segi seperti film Tjoet Nja’ Dhien karya Eros Djarot, Gie (2005), atau yang dianggap sebagai pendahulu film ini, yaitu Sang Pencerah karya Hanung Bramantyo (2010). Lalu ada juga film Habibie & Ainun (2012) lalu yang menjadi Box Office Indonesia. Walaupun begitu, film ini dianggap masih belum terlalu fokus pada penggambaran KH Hasyim Asy’ari secara utuh dan terkesan agak melompat-lompat dengan penggambaran karakter tokoh-tokoh lainnya dalam film ini. Berbeda dengan film Sang Pencerah yang dalam penggambarannya terhadap kepribadian dan karakter KH Ahmad Dahlan, terasa fokus dan total selama film berlangsung. Namun tetap saja bahwa kekuatan riset, visualisasi semangat perjuangan kemerdekaan dan teknis sinematografis yang mumpuni dalam film ini patut diacungi jempol dan membuat film ini menjadi patut untuk ditonton, khususnya bagi penggemar sejarah dan penikmat film kolosal.
  • 17. Miracle of Istanbul Will | Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya pertandingan pada final Istanbul. S ebelumnya, banyak kita temukan filmfilm bertema sepak bola. Jika kita mau menderetkannya, maka akan terdapat puluhan film populer bertema sepak bola. Dari yang bergenre komedi hingga dokumenter. Salah satu di antaranya adalah Will. Film yang bercerita tentang seorang bocah pencinta klub sepakbola Liverpool FC. Film yang dirilis pada 4 November 2011 itu secara detil mengisahkan perjuangan Will Brenan dalam mewujudkan impiannya menonton final Liga Champions Eropa yang kelak melibatkan klub kesayangannya di laga tersebut. Kisah dimulai di sebuah asrama sekolah tempat Will yang yatim karena kehilangan ibunya saat masih kecil, sedang ayahnya juga pergi. Namun tiga tahun setelah meninggalkan Will, Gareth sang ayah datang mengunjungi dan menghadiahinya tiket laga final Liga Final Liga Champions di Istanbul. Dalam pertemuan singkat itu, kedua anak bapak banyak menghabiskan aktivitas seputar sepak bola, entah memainkannya atau mendongeng tentang ayah dan kakek Will yang beruntung menjadi saksi kepahlawanan Kenny Dalglish dalam sebuah final Piala FA melawan Chelsea. Cobaan pertama datang saat Gareth meninggal dan membuat impian Will untuk menyaksikan laga klub kesayangannya menjadi sulit. Seorang anak kecil harus berada dalam dampingan orang tuanya. Namun bantuan dari teman-temannya membuat Will bisa pergi dari asrama beserta dua tiket final dalam kaus kakinya. Sutradara Ellen Perry seolah membingkai filmnya layaknya jalannya pertandingan pada final Istanbul. Meski sulit dan mustahil selalu ada jalan jika ada keinginan yang kuat untuk mewujudkannya. Kesulitan-kesulitan seperti meninggalnya sang ayah, pihak asrama yang melarangnya pergi dan menyimpan tiketnya, serta akhirnya ketika sukses pergi pun ternyata kesulitan lain datang, tiket yang dimilikinya ternyata palsu. Ketiga kesulitan itu seperti tiga gol cepat AC Milan ke gawang Liverpool, hanya keajaiban yang bisa membalikkannya menjadi kemenangan. Nilai-nilai lain yang disampaikan secara gamblang oleh film ini adalah kredo dari Liverpool FC yakni, You’ll Never Walk Alone. Benar, Will tidak sendirian dalam mewujudkan mimpinya. Ada teman-teman asrama sekolah yang membantunya keluar, ada Alex Zukic yang membantunya ke Istanbul dari Paris, dan ada suporter juga legenda Kenny Dalglish yang membawanya masuk ke stadion dan menjadi saksi ‘Miracle of Istanbul’. Judul ‘Will’ bisa mengacu pada nama pemeran utamanya pun bisa ditafsirkan sebagai ‘keinginan’ dari suporter juga dari sebuah klub untuk memenangi apapun yang diimpikan. Baik Will dan Liverpool memiliki keinginan untuk tidak mau kalah. Film berdurasi 1 jam 42 menit ini juga menampilkan bintang-bintang Liverpool FC seperti Steven Gerrard dan Jamie Carragher dalam sekelebat penampilan. ‘Will’ ringan dan sederhana untuk dinikmati terutama untuk kalangan anak- Aji Wibowo anak. Namun bagi orang dewasa, film itu bisa dianggap biasa-biasa saja jika menilik alur cerita yang mudak ditebak dan klimaks yang ditampilkan. Kenyataannya, film ini juga tidak terlalu meledak dan terkesan kurang terdengar. Film ini semakin menegaskan kesan bahwa film-film bertema sepak bola selalu menunjukkan come back hebat dari para pemeran utamanya dengan hasil akhir menang. Sebut saja Trilogi Goal!, Shaolin Soccer, Bend it Like Beckham, Escape to Victory dan lain-lain. Agustus 2013 l Kinescope l 17
  • 18. OPINI PUBLIK Tradisi Sinema tanpa Industri Sinema Daniel Rudi Haryanto 18 l Kinescope l Agustus 2013
  • 19. A da satu pengalaman membuat dokumenter di Halmahera Utara pada tahun 2003. Di kota kecamatan Tobelo (Sebelum pemekaran seperti sekarang) terdapat sebuah gedung bioskop yang masih memutar film Indonesia. Saya lupa judulnya, tetapi saya ingat pada papan pengumuman gedung bioskop tertempel selembar poster kecil film Indonesia. Pada selembar poster itu terdapat gambar seorang perempuan bergaun merah dengan paha dan dada yang terbuka. Kehadiran saya ke Tobelo waktu itu adalah untuk mengerjakan sebuah riset di bawah naungan UNDP. Topik riset adalah seputar dampak konflik yang terjadi di Tobelo, Galela dan Tobelo Selatan. Dari pengalaman menemukan gedung bioskop di Tobelo itu saya menemukan distribusi film produksi orang Indonesia sampai di wilayah yang sangat jauh dari Jakarta. Pada kesempatan lainnya, pada tahun 2012 di Serdang Bedagai, Sumatra Utara. Saya hadir di wilayah itu juga untuk mengerjakan sebuah film dokumenter. Saat mampir di warung kopi di pasar Serdang Bedagai, saya mendapati cerita tentang gedung di seberang warung kopi. Menurut beberapa orang tua yang saya temui di warung kopi itu, gedung itu dulunya adalah sebuah gedung bioskop. Nama gedung bioskop itu adalah Admiral?. Orang-orang tua di warung kopi itu kemudian membicarakan film yang pernah mereka tonton. Jaka Sembung dan Si Buta dari Goa Hantu adalah dua tokoh yang mereka ingat. Tentu ini menjadi menarik , karena film yang menceritakan keberadaan dua tokoh tersebut masih membekas dalam ingatan orang-orang tua di warung kopi. Padahal, film tersebut merupakan film yang diproduksi pada tahun 1981 dan 1970. Dalam kesempatan berbincang itu saya menyampaikan pertanyaan, film apa lagi yang mereka ingat? Mereka tidak ingat lagi film apa, sebab tidak ada lagi film Indonesia yang hadir di bioskop tersebut, sejak 1990 an bioskop mulai jarang memutar film dan pada akhirnya tutup, bangkrut. Setiap bepergian ke daerah-daerah di Indonesia untuk membuat film dokumenter, ada kebiasaan saya untuk bertanya kepada penduduk setempat tentang beberapa hal. Pertama adalah gedung bioskop, kedua adalah film apa yang mereka ingat dan ketiga adalah di mana keberadaan warung kopi Indra Dan Permata Bioskop Indra dan Bioskop Permata terdapat di Jogjakarta. Bioskop Permata terdapat di kawasan Malioboro, sedangan bioskop Indra ada di sekitar wilayah Pakualaman. Keduanya berada di pusat perekonomian Yogyakarta. Saat saya menyambangi bioskop Indra, saya bertemu dengan Pak Sugeng. Ia adalah proyeksionis yang telah puluhan tahun bekerja mengoperasikan projector film. Malam itu saya memperhatikan kegiatan pemutaran film di gedung bioskop Indra. Penonton datang sejak sore. Mereka menunggu jadwal pemutaran dengan duduk-duduk di teras gedung bioskop sambil merokok, minum kopi atau menceritakan film-film yang pernah mereka tonton. Dari beberapa orang yang saya ajak ngobrol, saya tahu mereka datang dari beberapa wilayah, ada dari Bantul, ada dari Patuk. Kedua wilayah itu jauh dari pusat kota. Mereka datang bersepeda ontel. Saat ruang tiket dibuka, mereka satu-satu berdiri antri dan membeli tiket. Harga tiket tidak terlalu mahal. Sekitar 5 ribu rupiah. Seorang teman pak Sugeng bertugas mencatut tiket. Penonton masuk satu-satu. Menariknya, di tahun 2008 itu saya masih mendapati pemandangan yang khas gedung bioskop tanpa AC. Di ruang sinema, dalam suasana gelap, masih dapat ditemukan cipratan korek api, seorang, dua orang, tiga orang pada tempat duduk yang berbeda mulai merokok di dalam ruangan. Mirip dengan pemandangan yang seringkali terdapat di film-film Eropa era 60 an yang masih hitam putih. Film yang diputar malam itu adalah film dari Hongkong, aktornya Andi Lau, judulnya saya sudah lupa. Di Halmahera, Serdang Bedagai dan Yogyakarta saya menyaksikan masyarakat menggemari sinema. Mereka datang ke gedung bioskop, sebagian datang dari tempat yang jauh. Mereka membeli tiket, menonton dan pulang dengan membawa cerita dan kemudian merindukan film baru. Saya menyebutnya sebagai tradisi penonton sinema. Dari Aceh Sumatra hingga Papua, masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi menonton film, baik di gedung bioskop atau di tanah lapang pada acara layar tancap. Mereka mengenal Jaka Sembung dan Si Buta Dari Goa Hantu. Mereka juga mengenal Superman, Agen 007 James Bond atau pendekarpendekar Cina dan Pahlawan-pahlawan film Laga India berikut penari dan penyanyinya. Masyarakat kita mengenal tokoh-tokoh film Jepang dan Korea, juga sebagian tokoh-tokoh film Eropa. Akan tetapi, tradisi sinema di masyakat penonton Indonesia belum mampu terpenuhi oleh film yang diproduksi sendiri oleh orang Indonesia. Hari ini televisi padat oleh tayangan sinetron dan Film Televisi (FTV) akan tetapi bisnis bioskop lokal untuk film buatan orang-orang Indonesia bangkrut, Bioskop 21 dan XXI dapat bertahan dan mengembangkan usaha dari film-film Holywood. Pada kenyataannya budaya sinema terjadi di Indonesia, akan tetapi belum mampu melahirkan sebuah industri, yang dimaksudkan adalah sebuah sistem produksi, distribusi dan eksibisi film Indonesia yang mampu berkelanjutan. Dalam hal ini setiap elemen bisnis perfilman terlibat di dalamnya. Jalan menuju industri film di Indonesia nampaknya masih jauh, bukan karena masyarakat penonton, tetapi karena kesadaran berindustri para pegiat produksi perfilman di Indonesia sendiri belum mampu mengatasi tantangannya sendiri. Quo vadis tradisi sinema di masyarakat yang tanpa sistem industri ini? *penulis adalah Sutradara dan Penulis Skenario Film Dokumenter Prison And Paradise pernah ditampikan pada Asia Pacific Screen Awards 2010. Agustus 2013 l Kinescope l 19
  • 20. FESTIVAL 10 Film Terlaris Korean Selatan 2012-2013 Memberikan Alternatif Tontonan Selama Sepekan Doni Agustan B oomerang Family karya sutradara Song Hae-Sung dipilih sebagai film pembuka. “Kami ingin mengenalkan film-film terbaru yang berisi budaya tradisional maupun kontemporer. Kami berharap festival ini akan berjalan sukses dan terus disukai di Indonesia” begitu ujar Duta Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Kim Young-Sun, ketika membuka rangkaian kegiatan festival ini di Blitzmegaplex, Grand Indonesia. Duta Besar Korea Selatan juga berharap kegiatan ini akan dilanjutkan secara dua arah. Rencananya September mendatang akan digelar Festival Film Indonesia di Korea Selatan. Pada malam pembukaan juga 20 l Kinescope l Agustus 2013 hadir sutradara dan pemain dari film Boomerang Family, Park Hae-Il dan Yoon Jae-Moon. Festival ini berlangsung di dua site Blitzmegaplex, yaitu Pacific Place, Jakarta dan Paris Van Java, Bandung dan tidak dipungut biaya sama sekali alias gratis. Sepuluh film diputar selama festival berlangsung. Kesepuluh film tersebut antara lain, A Wonderful Moment, Boomerang Family, Deranged, How To Use Guys With Secret Tips, Masquerade, Miracle In Cell No 7, Runaway Cop, Pluto, The Grand Heist dan The Thieves. Semua film yang ditayangkan memiliki genre yang berbeda-beda, mulai dari drama, komedi, hingga genre thriller. Action seru ala The Thieves dan Deranged. Film drama mengharu biru seperti Miracle in “Kami ingin mengenalkan filmfilm terbaru yang berisi budaya tradisional maupun kontemporer. Kami berharap festival ini akan berjalan sukses dan terus disukai di Indonesia” Kim Young-Sun
  • 21. KFF 2013 | Untuk kesekian kalinya Festival Film Korea (KFF 2013) kembali diadakan oleh Korean Culture Centre (KCC) dan Kedutaan besar Korea Selatan di Jakarta. Festival yang diadakan sejak tahun 2009 ini, digelar selama satu minggu, dimulai pada tanggal 25 Juni 2013 hingga 30 Juni 2013. Boomerang Family Deranged How To Use Guys With 10 Film Terlaris A Wonderful Moment Cell no 7 dan Boomerang Family. Komedi yang siap mengocok perut penonton seperti Runaway Cop dan How to Use Guy with Secret Tips. Serta film peraih banyak penghargaan di Korea seperti Masquerade. Sebelum festival dimulai, calon penonton sudah bisa melakukan pre-booked tiket. Menurut hasil pengamatan, peminat festival film Korea tahun ini sangat banyak, terbukti dari setiap hari menjelang festival, Blitzmegaplex Pacific Place ramai dikunjungi oleh calon penonton. Saat festival berlangsung tiket untuk setiap film bisa diambil dua jam sebelum pemutaran. Itupun banyak sekali penonton yang kecewa karena tidak berhasil mendapatkan tiket A Wonderful Moment Boomerang Family Deranged How To Use Guys With Secret Tips Masquerade Miracle In Cell No 7 Runaway Cop Pluto The Grand Heist The Thieves karena peminat yang begitu banyak. KFF 2013 tidak hanya sekedar memberikan kegiatan menonton film, bagi para peminat film, bisa mengikuti seminar industri perfilman Korea. Pada seminar yang berlangsung pada Rabu 26 Juni 2013 tersebut mendatangkan pembicara pakar industri film langsung dari Korea. Seminar ini diharapkan bisa menjadi forum bertukar ilmu dan pengetahuan film antara Indonesia dan Korea Selatan. Film Miracle in Cell no 7 karya sutradara Lee Kwan-Yeung dipilih untuk menutup kegiatan festival ini, yaitu pada 30 Juni 2013. Masquerade Runaway Cop Pluto Agustus 2013 l Kinescope l 21
  • 22. REVIEW Miracle in Cell no 7 Eksploitasi Keterbelakangan Mental Membawa Kesuksesan Box Office Doni Agustan M iracle in Cell no 7 tidak menuturkan kisahnya sesederhana premis di atas. Ketika Ye-Seung membela ayahnya di pengadilan, penonton sudah tidak lagi bertemu dengan ayahnya. Apa yang terjadi? Itulah kemudian yang menjadi daya tarik film ini. Pilihan alur maju mundur menjadi pengikat dan berhasil membuat penonton bertahan hingga film ini selesai. Dua kisah paralel ditampilkan dalam film ini, masa sekarang dan kembali pada tahun 1997. Yong-Goo hidup bahagia bersama putrinya Ye-Seung kecil (Kal So-Won), meskipun ia memiliki tingkat kecerdasan yang hampir setara dengan putrinya. Ye-Seung sangat mendambakan untuk memilik tas Sailor Moon berwarna kuning. Tetapi sialnya, satu-satunya tas yang dia dambakan tersebut telah terjual. Suatu hari Yong-Goo melihat seorang anak perempuan seusia Ye-Seung memakai tas tersebut, dia mengikutinya, namun nasib buruk sedang menghampirinya. Tanpa penyebab yang jelas, anak perempuan tersebut tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri. Yong-Goo yang membantu memberikan CPR justru sebaliknya malah dituduh men- 22 l Kinescope l Agustus 2013 culik dan melakukan pelecehan seksual. Pengadilan memberikan hukuman mati pada Yong-Goo. Satu-satunya yang menjadi pikirannya bagaimana Ye-Seung kecil hidup tanpanya. Saat ayahnya mendekam di penjara, Ye Seung kecil harus tinggal di panti asuhan. Di penjara, YongGoo berbagi sel dengan lima narapidana lainnya. Karakter kelima narapidana ini kemudian menjadi bagian yang memberi warna komedi pada Miracle in Cell no 7. Terutama karakter Yang-Ho (Oh Dal-Su) yang digambarkan sebagai seorang pimpinan gangster yang ternyata tidak bisa membaca. Karena menyelamatkan Yang-Ho dari sebuah rencana pembunuhan, Yang-Ho kemudian menawarkan untuk membantu Yong-Goo dengan cara apapun untuk membalas budi. Bersama keempat narapidana lainnya, Yang-Ho kemudian berencana untuk membuat keajaiban pada hidup Yong-Goo, yaitu bertemu lagi dengan putrinya, Ye-Seung, sebelum hukuman matinya terlaksana. Miracle in Cell no 7 dipilih oleh programmer Festival Film Korea (KFF 2013), Jakarta, yang digelar pada tanggal 25 Juni hingga 30 Juni 2013, sebagai film penutup. Tentu
  • 23. Sutradara Lee Kwan-Yeung Pemain Ryoo Seung-Ryong Park Shin-Hye Kal So-Won Oh Dal-Su Jeong Man-Sik Jun Jin-Young Park Won-Sang Kim Jung-Tae. Yong Goo (Ryoo Seung-Ryong) adalah seorang ayah dengan keterbelakangan mental, yang mencintai putri semata wayangnya. Yong-Goo harus menerima kenyataan dituduh melakukan pelecehan seksual dan pembunuhan terhadap seorang anak perempuan seusia putrinya dan dikirim ke penjara. Ye-Seung (Park Shin-Hye), putrinya, yang adalah seorang mahasiswa sekolah hukum, berusaha untuk membuktikan bahwa ayahnya tidak bersalah. dengan alasan karena film ini adalah tipe film yang bisa segara membuat penonton tersentuh dengan jalan ceritanya. Selain karena film ini juga meraih pemasukan yang sangat memuaskan ketika rilis di Korea Selatan. Rilis perdana pada tanggal 24 Januari 2013, film ini bertahan hingga Mai 2013, dan meraih pendapatan hingga mencapai 12,32 juta dan menjadi salah satu film terlaris sepanjang masa di Korea Selatan bersama The Thieves (2012) dan The Host (2006). Miracle in Cell No 7 memiliki semua faktor untuk sebuah film bisa menjadi box office. Kisah yang menyentuh, pemain-pemain yang ternama dan menjual, akting yang baik dari semua pemainnya serta gambar yang cukup memanjakan mata. Ketika karakter utama pada sebuah film tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya, itu adalah salah satu kekuatan untuk mengikat penonton, membuat penonton berpihak dan menunggu keadilan tersebut terwujud. Hal ini digunakan dengan sangat baik dalam film ini. Yong-Goo harus menerima kenyataan pahit dihukum mati untuk sesuatu yang kemudian kita ketahui bersama tidak dia lakukan. Ditambah lagi dengan keterbelakangannya dalam bertindak dan berpikir, tekanan dari berbagai keadaan yang membuatnya tidak bisa berbuat banyak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah serta usahanya untuk bertemu dengan YeSeung. Semua aspek ini memberikan alasan kenapa film ini sangat mengikat penontonnya. Semua pemain bermain dengan sangat baik, terutama Ryoo Seung-Ryong yang berperan sebagai Yong-Goo. Seung-Ryong sukses membuat kita percaya bahwa tingkat kecerdasannya memang tidak berkembang dengan baik. Bahasa tubuh, tingkah laku dan cara berbicaranya terlihat seperti anak-anak, meskipun tidak sebaik yang ditampilkan oleh Sean Penn dalam I am Sam (2001). Hubungannya dengan Ye-Seung kecil yang diperankan oleh pendatang baru Kal So-Won, terasa sekali kedekatan mereka sebagai ayah-anak, perhatikan adegan ketika Yong-Go berhasil kembali bertemu dengan Ye-Seung kecil di penjara, sangat membuat haru dan membuat penonton meneteskan air mata. Hubungan Yong-Goo dan Ye-Seung ini mengingatkan kita pada hubungan antara Sam dan Lucy dalam I am Sam (2001) yang diperankan oleh Sean Penn dan Dakota Fanning. Lupakan penjara yang kumuh dan kejam, pikirkan hanya keberpihakan kita pada YongGoo, dan berdamailah dengan segala hal-hal klise yang banyak terjadi dalam film, dijamin anda akan sangat menikmati film ini. Film ini dengan sangat mudah memanipulasi penontonnya ketika untuk pertama kalinya karakter Yong-Goo diperkenalkan. Eksploitasi keterbelakangan Yong-Goo dengan kenyataan bahwa dia memiliki seorang putri dengan tingkat kecerdasan yang hampir sama, segera mengambil hati semua penontonnya. Satu hal yang agak menganggu dari film ini adalah bahwa nama Ye-Seung disebut hampir di semua adegan film, mungkin nyaris ratusan kali kita mendengar semua karakter dalam ini menyebut nama itu kecuali karakter Ye-Seung itu sendiri. Agustus 2013 l Kinescope l 23
  • 24. HOT ISSUE Perfilman Indonesia Shandy Gasela Membicarakan perfilman Indonesia seakan selalu tak berkesudahan. Hal yang dibicarakan pun sebetulnya itu-itu saja, seperti hal berikut ini yang akan kita bicarakan, bahkan enam puluh tahun yang lalu seseorang yang bergelut dalam dunia perfilman Indonesia, katakanlah wartawan kesenian pada masa itu, pasti sudah pernah membicarakannya. N amun, hal ini akan tetap menarik untuk dibicarakan karena percaya atau tidak permasalahan perfilman Indonesia yang kita hadapi sekarang keadaannya tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di tahun 1950an. Lalu, orang-orang yang terlibat di dalam dunia perfilman Indonesia selama kurun waktu lebih dari setengah abad itu ngapain aja? Kenapa saat ini keadaan menjadi tak lebih baik? Atau adakah yang berpendapat bahwa keadaannya kini sudah lebih baik? Maaf saja, saya tak sependapat. Film sedari dulu pada awalnya ia diciptakan adalah untuk dagangan, lalu unsur-unsur artistik, estetika, nilai-nilai seni itu kemudian belakangan disematkan padanya. Namun tetap saja pada awalnya dan hingga kini, film akan selalu menjadi produk dagangan terlepas film tersebut memiliki nilai seni atau tidak. 'L'Arrivée d'un train en gare de La Ciotat' atau dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi 'Arrival of a Train at La Ciotat', film bisu yang dipertunjukkan pertama kali pada 1896 berdurasi 50 detik saja yang hanya "bercerita" soal kedatangan kereta api di stasiun La Ciotat karya Lumiere bersaudara diputar keliling di paradeparade sirkus, orang harus membayar untuk menyaksikan pertunjukan gambar bergerak itu. Dari situlah film lalu mendunia dan orangorang berlomba membuat film terbaik mereka -- atau yang terlaku yang bisa mereka buat. Tak seperti negara Amerika, India, Cina, Thailand, Jepang, Korea, Perancis dan sejumlah 24 l Kinescope l Agustus 2013 negara lain yang terkenal akan kualitas film buatan sineasnya masing-masing, dan mampu menjual film-filmnya ke pasar dunia, Indonesia tak terpetakan. Atau bagi anda yang dipenuhi rasa optimisme serta overdosis nasionalisme bolehlah mengatakan "belum terpetakan". Bisa saja anda tak sependapat dan berargumen bahwa sutradara Garin Nugroho terkenal dan telah mengenalkan keindonesiaan kepada dunia khususnya di negara-negara Eropa lewat sejumlah karya filmnya yang selalu diputar dan jadi langganan festival-festival film di sana atau sutradara Edwin yang konon tak kalah populer dengan Lars Von Trier di panggung dunia film, tapi mereka hanya terkenal di kalangan film sendiri, di kalangan penonton film dengan level keakutan yang tinggi. Bagi penonton reguler yang pergi ke bioskop reguler yang memutar film-film Hollywood semisal Ironman, tak ada yang tahu sinema Indonesia. Namun di sisi yang lain, kita tahu sinema India, kita kini menggilai sinema Korea, bahkan kita mengenal Park Chan-wook, sutradara Korea yang tak kalah terkenal dengan (katakanlah) Christoper Nolan. Perfilman Indonesia bisa saja mendapatkan tempatnya di kancah dunia, potensi itu ada sedari awal film 'Terang Boelan' karya Albert Balink dan Wong Brothers dipertunjukkan pertama kali di tahun 1938. Film ini sukses hingga diekspor ke Malaysia dan bahkan meraup untung yang banyak. Namun sayang potensi yang baik itu segera dirusak, diracuni oleh orang-orang yang sama busuknya dengan pejabat dan politikus negeri ini. Bila politikus negeri ini tak mengerti politik serta tak tahu cara menyejahterakan rakyat selain meraup uang sebanyak-banyaknya bagi dirinya sendiri, pun begitu yang terjadi dengan para penggiat perfilman Indonesia, banyak di antara mereka yang tak mengerti film namun ingin meraup untung sebanyak mungkin darinya. Ini sudah terjadi di awal sejarah film Indonesia bermula, dan hingga kini keadaan belum banyak berubah. Tak perlulah membicarakan soal pasar dunia, untuk pasar negara sendiri saja perfilman Indonesia belum begitu diperhitungkan. Bagi masyarakat pada umumnya yang menganggap pergi ke bioskop laksana piknik ke taman hiburan, mereka cenderung lebih memilih menghabiskan uangnya untuk membeli satu tiket film aksi Hollywood yang menghibur ketimbang satu film Indonesia yang (katanya) belum ketahuan bakal menghibur atau tidak. Nah, situasi seperti ini siapa yang menciptakan? Bila harus menunjuk batang hidung biang keladinya, saya berani mengatakan bahwa ini ulah para penggiat film sendiri diantaranya para produser, pemilik modal dan sutradara, pemerintah dan pihak bioskop pun sama bersalahnya, diperparah oleh peran media di negeri ini yang tak dapat diandalkan. Kita tak punya media mainstream semacam The Hollywood Reporter, Washington Post yang dapat
  • 25. jadi acuan terpercaya sebelum calon penonton memutuskan hendak menonton film apa di bioskop. Pada tahun 1954 walikota Jakarta, Soediro, mengeluarkan aturan "wajib putar" film Indonesia di bioskop kelas 1 dalam rangka menyikapi gempuran film dari luar khususnya India dan Filipina yang mulai gencar menginvasi bioskop ibukota. Itu pun berkat usaha panjang dari segelintir para penggiat film dan pemerhati kebudayaan khususnya film seperti Usmar Ismail dan beberapa koleganya yang sangat vokal pada masa itu. Jelas bila tak didesak, pemerintah toh ogahan-ogahan campur tangan urusan perfilman negaranya sendiri. Tak seperti negara lain yang ikut memajukan dunia perfilman bangsanya, pemerintah kita hanya mampu mengais pajak dan sok mengatur moral lewat badan sensornya tanpa bisa berbuat apa-apa demi kemajuan perfilman negeri ini. Dan mengharapkan pemerintah ikut andil memajukan perfilman Indonesia itu ibarat mengaharapkan hujan salju untuk turun di kota Jakarta. Mari kita lupakan saja anganangan muluk itu. Di lain pihak, bioskop sebagai penjaja film patutlah juga ditunjuk batang hidungnya. Dan kita sama-sama tahu bioskop yang dimaksud adalah bioskop yang biasa kita datangi di lantai paling atas di setiap mall yang ada di segala penjuru kota negeri ini. Pihak bioskop selalu mengklaim bahwa mereka adalah "etalase" pertunjukan film dan menurut mereka masyarakat sendirilah yang menentukan pilihan tontonannya. Padahal nyatanya mereka sangat mempengaruhi pilihan penonton. Film Hollywood, Bollywood, bahkan Korea sekalipun yang kita tonton di bioskop telah terlebih dahulu "dikuratori" oleh pihak bioskop. Bila mereka pikir filmnya menjual maka mereka beli lalu ditayangkan. Perlakuan ini tak terjadi pada film Indonesia. Untuk film Indonesia, pihak bioskop bertindak bak pemilik warung yang dititipi roti tanpa mau tahu roti yang mereka jajakan itu sudah busuk, kadaluarsa, atau bahkan tak layak dimakan. Pihak bioskop turut andil membentuk selera penonton kita, dan itu tak terbantahkan. Dan semestinya mereka membeli film Indonesia dari tangan produser, dan hanya lewat sistem ini maka film-film Indonesia yang tayang adalah hasil kurasi, maka tak sembarang film Indonesia bisa tayang di bioskop, hanya yang berkualitas baik saja. Jadi, sutradara seperti Demian Dematra, Boy Rano, Shakuntala, Nayato, Yoyok Dumprink, Nuri Dahlia, tak bakal sering-sering membuat film. Film yang laku itu adalah film yang disukai penonton. Film 'The Host' dari Korea bisa diputar di bioskop Indonesia karena film itu laku luar biasa bahkan box office di negera asalnya sendiri. Selain laku film itu pun baik secara kualitas. Indonesia memiliki 'The Raid' yang juga mendunia, walaupun film ini disutradari oleh seorang bule. Sayang, kita baru punya 'The Raid' saja, tak seperti negara Korea atau Thailand misalnya yang konsisten mengekspor film-filmnya dengan tetap menjaga kualitas mutu. Setelah kesuksesan 'The Host' kita masih dapat menikmati sederet film lainnya seperti 'Hello Ghost', 'The Thieves' dan yang baru-baru ini tayang 'Miracle in Cell No. 7'. Semestinya 'The Raid' bisa jadi barometer film aksi, dan lambat laun selera penonton akan film-film yang baik dapat terbentuk. Namun apa yang terjadi? Selepas 'The Raid' mendunia pun kita masih berjumpa dengan poster film konyol semisal 'Pokun Roxy', 'Kembalinya Nenek Gayung', 'Im Star' di etalase bioskop. Para sineas pembuat film yang saya sebut tadi jelas tak merasa tersaingi dan merasa sebodo amat ketika melihat sesama koleganya membuat film yang baik. Pada tahun 50an kita memiliki Usmar Ismail yang tak main-main ketika membuat film. Namun, di tahun itu pula para produser keturunan Tionghoa mulai menghancurkan industri film Indonesia di usianya yang masih belia. Produser-produser keturunan Tionghoa ini memproduksi film dengan bujet yang rendah dalam tempo sesingkat-singkatnya demi mendapatkan keuntungan yang banyak. Hal tersebut tentu saja mengakibatkan mutu film yang diproduksi menjadi buruk tak terkira. Bila dulu perfilman Indonesia diracuni para produser keturunan Tionghoa, kini selera penonton kita didikte oleh para produser keturunan India semisal KK Dheeraj. Dulu, para sineas yang idealis seperti Usmar Ismail jadi terjepit, karyanya berada di bawah bayang-bayang sejumlah film bikinan produser keturunan Tionghoa pencari untung semata itu. Kini, para sineas idealis era sekarang pun seperti Edwin, Mouly Surya, pendatang baru Dirmawan Hatta, dan beberapa nama lain, tak bernasib lebih baik ketimbang Usmar Ismail pada zamannya. Sejak kemunculan 'Petualangan Sherina' lebih dari satu dekade lalu, negeri ini sesungguhnya mendapatkan pengharapan baru, juga talenta-talenta sineas baru yang hebat. Sineassineas baru nan muda inilah yang sejatinya dapat membentuk selera pasar yang baik. 'Ada Apa Dengan Cinta' yang rilis pada 2002 karya Rudy Soedjawro sukses luar biasa. Film ini disukai penonton, dan tak hanya itu, film ini pun baik secara kualitas. Sayang, momentum baik ini dilihat dengan cara yang picik oleh mata para pedagang berkedok produser film. Lalu tiba-tiba saja seorang Rudy Soedjarwo sutradara 'Ada Apa Dengan Cinta' yang fenomenal itu diproduseri Leo Sutanto membuat film 'Mendadak Dangdut' dalam tempo tujuh hari syuting, dan lama-lama makin banyak yang mengikuti cara "syuting serampangan"-nya itu, Nayato salah satunya. Tentu saja output film dari cara kerja serampangan itu tak kan berakhir baik walaupun tetap menjual dan mampu menuai profit, namun penonton kita dicemari dan lama-lama terkondisikan selera tontonannya. Jangan heran bila ada yang menonton film 'Surat Kecil Untuk Tuhan' hingga sampai tiga kali berturut-turut di bioskop dan mengang- gapnya sebagai film yang menginspirasi. Di tangan para pedagang seperti KK Dheeraj yang terakhir memproduksi 'Jokowi', film jadi kehilangan esensinya. Ia dan sejumlah koleganya berkontribusi banyak menanam citra film Indonesia yang buruk ke benak penonton. Seperti di tahun ini misalnya, ada beberapa film baik dari beberapa sutradara baik yang luput mendapatkan perhatian. Film-film baik ini jeblok di pasaran. Masyarakat ogahan-ogahan untuk menonton karena mereka tak mau berspekulasi. Tahun lalu kita memiliki 'Habibie & Ainun', film yang baik secara kualitas dan mengesankan dalam menoreh raihan jumlah penonton. Tahun ini KK Dheeraj membuat 'Jokowi' yang dimaksudkan mengikuti kesuksesan 'Habibie & Ainun', namun ia beserta pembuat film di belakangnya lupa diri bahwa mereka bukanlah sineas yang baik -- sejauh ini. Filmnya buruk walau harus diakui 'Jokowi' ini memang tak seburuk film-filmnya yang terdahulu seperti 'Mr. Bean Kesurupan Depe' dan ke-30 filmnya yang lain. 'Cinta Brontosaurus' arahan Fajar Nugros dan diproduseri oleh Chand Parwez Servia adalah film dengan raihan jumlah penonton terbanyak tahun ini. Kontras dengan kesuksesannya di tangga box office, film ini buruk secara kualitas -- dibuat dengan production value yang mengerikan, skrip yang lemah juga di beberapa departemen lain. Dan entah bagaimana cara yang tepat untuk mengatakan ini: para sineas di belakangnya tak lebih baik dari seorang KK Dheeraj. Bila penonton kita ternyata menyukai suguhan buruk seperti 'Cinta Brontosaurus', mungkin itu lah hasil tempaan terus menerus dari begitu banyaknya film Indonesia buruk yang dijajakan di bioskop kita. Sebagian orang berpendapat bahwa film itu cuma soal selera. Satu pendapat negatif soal sebuah film dari seorang kritikus bisa jadi itu cuma gambaran selera si kritikus itu seorang diri. Namun bila sepuluh orang kritikus memberikan pendapat negatifnya terhadap sebuah film, maka telaklah film itu memang buruk. 'Cinta Brontosaurus' bila ditelaah oleh sepuluh orang kritikus, setidaknya delapan diantaranya akan memberikan penilaian negatif. Dan ini sudah saya buktikan. 'Cinta Brontosaurus' ini menarik sekali dan karena itu saya jadikan sample yang tepat sebagai ilustrasi bahwa film yang buruk ternyata bisa juga disukai oleh penonton. Hal yang lumrah. Namun sebagai seorang sineas -- seorang seniman, bukankah mencipta masterpiece adalah angan-angan yang selalu ingin dicapai? Mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya tentulah menjadi impian semua produser film, juga sutradara yang membantu mewujudkannya. Namun alangkah jahatnya bila film itu dibuat tanpa kesungguhan dan dengan cara yang tak benar, seperti penjual gorengan yang menambahkan boraks dan zat pewarna tekstil pada adonannya, membahayakan jiwa bila dikonsumsi secara terus menerus. Agustus 2013 l Kinescope l 25
  • 26. HOT ISSUE Industri Film Indonesia Di penghujung tahun 2011, sineas dan pelaku industri film di Asia Tenggara berkumpul dalam Festival Film ASEAN. Salah satu bahasan utama dalam acara itu adalah bagaimana mencari solusi atas nasib indutri film di negaranegara ASEAN yang terus terpuruk dan kalah bersaing dengan produk film-film Hollywood.  syakib gumanti 26 l Kinescope l Agustus 2013
  • 27. P ara sineas film Asia Tenggara ini memiliki ramai penonton, maka film itu akan terus tayang. kekhawatiran yang sangat besar akan nasib Kalau filmnya dianggap sepi, biasanya dua hari masa depan industri film mereka. Kegelisa- sudah hilang,” jelasnya.  han terbesar adalah para anak-anak muda Dari dua pendapat tersebut, terlihat bahwa di Negara mereka seakan menjauhi film-film prioritas membangun industri film di Indoneproduksi dalam negerinya. “Kami gelisah akar sia masih pada tahap bagaimana menciptakan kebudayaan kami akan hilang,” ujar Jose Miguel profit atau keuntungan sebesar-besarnya. Lalu De La Rosa dari Filipina.  dukungan negara yang lemah dan cenderung Jose mengatakan lima tahun sebelumnya, tidak peduli. Hal ini bisa menjadi berbahaya negaranya sanggup menciptakan ratusan film, bagi industri film Indonesia. Bahwa peningkatan “Namun kini kita hanya bisa memproduksi pulukualitas akan menjadi kesulitan tersendiri di han film,” ujarnya.  samping melakukan promosi industri film. DitamLalu bagaimana dengan kondisi industri film bah dengan tidak adanya kebijakan Negara yang di Indonesia? Sineas film Indonesia mengamini khusus mengatur tentang itu, sehingga industri hal serupa. Bahkan permasalahan dalam industri film Indonesia seolah berjuang dan bergerak film di Indonesia sangat parah. Aktor senior Dedy sendiri bertarung dengan ekspansi besar film-film Mizwar  mengatakan industri film di Indonesia luar negeri yang mendesak pasar dan industri film dipaksa untuk berjalan sendiri tanpa panduan dari dalam negeri terus menerus. pemerintah.  Lain lagi apa yang dialami oleh Luna Maya. Ar“Tidak ada peran negara disini,” ujar aktor tis yang juga sedang merambah profesi sutradara senior yang baru saja terpilih sebagai Wakil dalam film Pintu Harmonika ini, mengungkapkan Gubernur Jawa Barat ini. “Industri film akan tetap kekecewaannya akibat gagal melakukan kegiatan berjalan. Namun jika tidak didukung oleh pemernonton bareng dengan penggemarnya karena intah, maka akan begini-begini saja,” tandasnya. filmya sudah tidak tayang lagi.  Menurut Dedi, sampai saat ini belum ada po“Padahal saya membuat film ini untuk memlitical will yang baik dari pemerberikan edukasi, sosialisasi intah untuk mengangkat industri serta bukti bahwa film produksi “Peran Negara, film Indonesia ke jenjang yang seperti di India dan lokal tidak kalah dengan lebih baik. Industri film Indonesia produksi luar negeri,” jelasnya Korea Selatan, memang tetap berjalan, namun konferensi pers.  sangat aktif dalam dalam sebuah bila dibandingtanpa arah yang jelas. “Yah, Memang, membantu industri kan dengan Korea Selatan, beginilah kondisinya,” ujarnya film di negaranya. industri film Indonesia sangat sambil seolah putus asa.  Ia juga mempertanyakan Sementara kita disini jauh tertinggal. Data tahun ketika industri film berada di harus bersaing dan 2007 menunjukkan film Indobawah Kementerian Pendidikan office US$ berjibaku sendirian nesia mencapai box ternyata Nasional, tidak ada satu orang 100 juta. Jumlah ini melawan film-film hanya 2 persen dari yang perpun yang paham akan dunia film Hollywood yang di Kementerian tersebut. “Kan nah dicapai oleh film-film India.  lucu, industrinya film, tapi tidak Membaca kondisi di atas ditunjang dengan diurus oleh mereka yang paham muncul pertanyaan, bagaimana modal produksi soal film itu sendiri,” tegasnya yang sangat besar,” film Indonesia akan menjadi sambil tersenyum.  tuan rumah di negeri sendiri -Andibachtiar YusufSementara itu, Andibachtiar jika tidak ada perlindungan dan Yusuf, sutradara film Hari Ini kebijakan yang berpihak pada Pasti Menang, mengatakan bahwa bila dilihat mereka? Banyak praktisi dan pengamat film mendengan negara asia lainnya, seperti Korea Selatan, gatakan, sebetulnya untuk menjadikan film Indomaka industri film Indonesia saat ini sudah sangat nesia bisa berbicara banyak di dalam negeri, juga jauh tertinggal. Padahal Indonesia yang memiliki luar negeri, tidaklah sulit. Seperti yang dikatakan sejarah panjang dalam dunia perfilman, seharusn- Dedy Mizwar, hanya dibutuhkan political will dari ya sudah unggul di Asia.  pemerintah untuk menciptakan kondisi itu.  “Peran Negara, seperti di India dan Korea Memang, persoalan masa tayang film di Selatan, sangat aktif dalam membantu industri bioskop sepertinya tidak bisa dilepaskan kepada film di negaranya. Sementara kita disini harus bermekanisme pasar saja. Harus ada peran pemersaing dan berjibaku sendirian melawan film-film intah dan visi yang jelas, untuk mengembangkan Hollywood yang ditunjang dengan modal produksi industri film Indonesia. Selama itu tidak ada, yang sangat besar,” ujarnya.  maka jangan berharap Industri film Indonesia Ia mencontohkan bahwa tidak ada aturan akan mampu berbicara banyak, walaupun di yang mengatur dan membatasi lama tayang dalam negerinya sendiri.  sebuah film Indonesia di studio atau bioskop. Adanya dukungan dari pemerintah dan Padahal menurutnya, aturan ini akan melindungi instansi terkait, sebetulnya sudah bisa menghapus industri film Indonesia. Andibachtiar juga menduapertiga kemelut yang terjadi dalam industri contohkan bagaimana di Korea Selatan dan India, film itu sendiri. Sayangnya, itu belum terjadi. film-film lokal di sana memiliki aturan tentang Bahkan ada paradigma bahwa kondisi industri film maksimal waktu tayang, yaitu maksimal selama nasional dibiarkan untuk selalu berada dalam podua minggu.  sisi seperti itu, justru untuk kepentingan ekonomi “Disini kan tidak ada. Kalau filmnya dianggap sebagian pelakunya.  Agustus 2013 l Kinescope l 27
  • 28. HOT ISSUE mUHAMMAD aDRAI 3 Juni 2013. Dewan Kesenian Jakarta dan Jakarta Media Syndication mengadakan pemutaran perdana film dokumenter karya Tino Saroengallo berjudul “Setelah 15 Tahun…” di gedung Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. 28 l Kinescope l Agustus 2013
  • 29. Beberapa hal yang bisa disimpulkan dari film ini berdasarkan pandangan para narasumber Reformasi tahun 1998 hanya menurunkan Soeharto dan bukan membersihkan sebuah rezim yang dinamakan rezim Orde Baru di seluruh sektor pemerintahan. Para mahasiswa tidak siap dengan kenyataan bahwa pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto secara tiba-tiba mengundurkan diri. Mereka tidak menyangka Soeharto akan mundur dan secepat itu. Saat Soeharto turun, mahasiswa tidak memiliki agenda menghadapi kenyataan tersebut. Gerakan mahasiswa tahun 1998 ibarat para ksatria datang, menumpas raja yang zalim, setelah itu para ksatria langsung pergi meninggalkan kerajaan yang kosong seolah-olah tidak ada urusan lagi di situ. Kemudian kerajaan tersebut diisi kembali oleh kroni-kroni dari rezim raja yang lalim.  Mahasiswa tidak lagi memiliki tujuan atau cita-cita bersama setelah Soeharto turun. Pasca Reformasi yang berhasil diraih hanya kebebasan berpolitik, kebebasan berserikat dan berpendapat, serta kebebasan mendapatkan informasi. Sisanya sama saja bahkan semakin memburuk. L ayaknya pemutaran perdana sebuah film, penonton yang datang cukup mengisi registrasi di buku tamu. Begitu masuk ke dalam gedung, para tamu yang datang disediakan jajanan pasar seperti bajigur, ubi rebus, singkong rebus, kacang rebus lengkap dengan gerobaknya. Suguhan yang unik dan sangat merakyat. Di website Dewan Kesenian Jakarta, kita bisa melihat sinopsis film ini yang berisi tentang evaluasi perjalanan Reformasi, hasil Reformasi sampai dengan tahun 2012, dengan cara mewawancarai mantanmantan aktivis 1998, anggota masyarakat dan mahasiswa saat ini. Selain wawancara, film ini juga menampilkan footage terkait pergerakan pada masa Orde Baru yang dulu dilarang tayang di media massa.  Misalnya Peristiwa Gejayan. Kalau film “Tragedi Jakarta 1998 (Student Movement in Indonesia)” didedikasikan bagi korban Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I maka film “Setelah 15 Tahun...” didedikasikan untuk Moses Gatotkaca (korban Peristiwa Gejayan) dan Yun Hap (korban Tragedi Semanggi II). Mereka mewakili banyak korban lain selama masa Orde Baru.  Tepat pada pukul 19:30 WIB penonton masuk ke dalam ruang pertunjukan. Di awal film ditayangkan, layar masih hitam. Terdengar suara anak kecil berkata, “menyanyikan Lagu Indonesia Raya.” Para hadirin diminta berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Semua lampu dimatikan. Para penonton menyanyikan Indonesia Raya dengan penuh khidmat. Suatu rutinitas yang hampir tidak pernah kita lakukan lagi selepas sekolah. Momen yang sungguh sangat menggetarkan hati dan menumbuhkan kembali spirit nasionalisme. Kemudian film muncul dengan gambar cuplikancuplikan demonstrasi mahasiswa tahun 1998, TNI dan POLRI (dahulu ABRI) yang memegang senjata, kerusuhan pasca penembakan di Universitas Trisakti, Tragedi Semanggi dan pidato pengunduran diri Soeharto, diiringi lagu ‘Tanah Airku’ ciptaan Ibu Soed. Sebuah intro yang membawa pesan sangat jelas untuk para penonton. Kemudian Tora Sudiro muncul memandu cerita dari satu bagian ke bagian yang lain. Adegan pun bergulir dari satu wawancara ke wawancara yang lain. Narasumber yang diwawancara beraneka ragam. Antara lain dosen, politikus, mantan aktivis, pembuat film, keluarga korban Tragedi Semanggi, wartawan, pustakawan, mahasiswa, karyawan sampai pedagang. Para narasumber memberikan komentarnya masing-masing mengenai peristiwa Reformasi 1998 dan kenyataan yang terjadi setelah Reformasi. Agustus 2013 l Kinescope l 29
  • 30. HOT ISSUE Dari keseluruhan film, benang merah yang dapat dilihat antara lain adalah sebuah pertanyaan, apakah Reformasi gagal?  Beberapa pernyataan dari narasumber yang cukup bisa membuat terhenyak, Dulu ada aliansi bubarkan Golkar. Sekarang aliansinya bubar, Golkarnya nggak. Bahkan orang-orang aliansi masuk ke Golkar Wartawan Pecahan Golkar itu banyak. Ada Hanura, Gerindra, dan Nasdem. Jadi ya kalau 2014 isinya mereka ya campur semuanya – Dosen, Ekonom Mudah-mudahan dengan menonton film ini masyarakat bisa disembuhkan dari “penyakit lupa” dan kembali berupaya menegakkan cita-cita Reformasi. Hari Selasa, 18 Juni 2013, Kinescope mendapat izin dari Tino Saroengallo untuk mewawancarai beliau mengenai filmnya “Setelah 15 Tahun…” yang baru saja ia luncurkan pada awal bulan Juni yang lalu. Berikut ini wawancaranya. Selamat atas peluncuran perdana film Setelah 15 Tahun… Kapan screening lagi? Saya belum tahu. Sejauh ini belum ada lagi. Saya maunya lebih untuk ke mahasiswa. Tapi jangan asal screening. Saya pun juga tidak mau royal seperti film saya yang sebelumnya (Student Movement In Indonesia: They forced them to be violent, 2002). Sekarang saya mau coba, bisa atau tidak penonton Indonesia mengapresiasi film dokumenter? Bentuk apresiasinya seperti apa? Kami yang shooting, kami yang punya ide, kebetulan idenya kontroversial, kemudian kami yang berani pasang badan, mereka ada tidak apresiasinya untuk itu? Dan ini sejarah. Anda apresiasi sejarah negeri anda sendiri atau tidak? Siapa lagi yang buat sejarah Reformasi dalam bentuk film? 30 l Kinescope l Agustus 2013 Kalau begitu apa yang bedakan film Student Movement sama film Setelah 15 Tahun.. dari segi eksebisi? Waktu film Student Movement saya royal, siapa aja yang mau ambil silahkan. Yang datang nonton film itu, saya kasih saja dvdnya. Sekarang tidak. Itu kaitannya lebih kepada saya sebagai pembuat film. Sudah waktunya mendidik apresiasi penonton Indonesia terhadap film dokumenter. Seperti contohnya, ada satu kelompok cendekiawan. Kami bertemu di hotel, ada yang minta film ini diputar. Saya bilang, “oke nggak ada masalah. Tapi saya minta nanti setiap panitia dan penonton membayar lima puluh ribu rupiah. Kalau mengundang seratus orang ya tinggal dikalikan aja dan uang itu.” Terus terang saya lagi mengumpulkan uang untuk saya bisa pasang film ini ke bioskop. Kayak buang batu ke laut, man. Abis itu nggak nyaut lagi tuh orang. Asyik nggak tuh republik lu ini? Ada juga kelompok nirlaba di luar kota, begitu juga. Oke, tidak ada masalah.. intinya, akan dikirim dan ada yang mengawal film itu, tapi tolong panitia membayar pengawalnya. Buang batu ke laut lagi. Saya tidak mencari untung. Saya hanya minta akomodasi orang yang mengawal film ini termasuk penginapan. Itu saja. Dan sebenarnya, saya pun nggak terlalu hirau. Karena target saya memang mau pasang di bioskop. Saya sendiri lagi mengumpulkan uang. Kerja lagi, nabung lagi sampai saya bisa bikin 5 sampai 10 copy. Dvd sudah ada beberapa yang menawarkan, tapi saya ingin film ini masuk bioskop dulu. Ada rencana untuk dibawa ke festival? Ke FFI mungkin. Atau yang di Jogjakarta. Atau dimana lah. Sudah sempat saya kirim ke Denmark, sih. Tapi saya masih belum pikirkan akan kirim kemana lagi. Karena isyunya tidak seperti Student Movement yang global. Isyu di film ini lebih cocok hanya untuk di negara Indonesia. Tapi itu nanti lah, yang saya harapkan sekarang ini bisa ke bioskop dulu. Targetnya mudah-mudahan tanggal 17 Agustus bisa tayang di bioskop, kemudian mudahmudahan dvdnya keluar tanggal 13 November bertepatan dengan peristiwa Semanggi 1. Gejalanya sekarang, anak muda yang umurnya 24 tahun atau yang lebih muda tidak tahu banyak tentang peristiwa Reformasi 1998. Iya. Karena di sejarah di sekolah kan belum ada banyak pelajaran tentang itu. Di sekolah mungkin gaungnya masih lebih banyak tentang Soeharto daripada Reformasi. Nah, itu yang ironis kan. Jangan mentang-mentang kejadiannya dekat, kalau kita ngomong 15 tahun.. itu sama saja orang pada tahun 1960 sudah tidak mengerti apa yang terjadi di tahun 1945. Sama persis. Orang kelahiran
  • 31. tahun 1950 tidak tahu apa-apa tentang tahun 1945, dianggapnya Indonesia selalu merdeka. Benar nggak? Sekarang banyak anak yang merasa kalau kita mau maki pemerintah kita biasa-biasa saja, bebas-bebas aja. Coba itu terjadi disaat sebelum Reformasi, belum tentu kan? Nah, apresiasi terhadap sejarah itu yang cukup menyedikan. Kalau ketika saya buat film Student Movement itu, saya mikir, selama puluhan tahun saya dibohongi sama angkatan 1945, atau sama mereka yang mengklaim dirinya angkatan 1945. “Oh, pahlawan jaman dulu”. Saya buat lah Student Movement karena membuat rekamannya memang sudah memungkinkan. Dulu kan tidak memungkinkan. Ternyata setelah Student Movement pun orang juga sudah lupa kan? Tidak tahu juga, tidak ingat juga.., bahkan ada sebagian kecil dari pelaku reformasi ada yang tidak tahu diri. Seperti yang anda bilang, anak umur 24 tahun ke bawah juga sudah tidak mengerti. Karena ketika itu terjadi dia umur berapa? Masih 9 tahun.. Mengingat Soeharto yang mengundurkan diri, mahasiswa yang bergerak di jaman reformasi tidak bisa klaim telah menurunkan Soeharto dong? Lho. Soeharto turun karena didesak oleh mahasiswa kan? Tapi kalau kita bilang benar-benar itu gerakan mahasiswa, itu sama naifnya seperti kalau ada yang bilang tahun 1966 itu akibat gerakan UI dan ITB. Tidak ada gerakan mahasiswa yang bisa sukses kalau tidak didukung oleh sekelompok elit yang memang tidak menyukai lagi pemerintahan yang berkuasa. Mau itu elit militer atau elit sipil. Dan itu yang terjadi di jaman Soeharto terakhir kan? Ada gerakan muda tentara juga yang antara lain, kalau saya tidak salah ingat itu namanya Jenderal Agus Wirahadikusumah, almarhum. Dia termasuk Jenderal pembaharuan. Dia sebeulnya pada jaman Soeharto sudah melancarkan juga gerakan-gerakan pembaharuan itu. Dia meninggal karena jantung. Nggak jelas. Ketika dia bilang akan umumkan keuangan militer TNI, tidak lama kemudian lewat dia. Tiba-tiba jantung. Padahal masih muda. Dibawahnya Prabowo. Artinya, maksud saya, pasti ada elit disitu yang bermain. Tidak mungkin hanya mahasiswa doang. Begitu lho. Dan apa yang dikatakan oleh Faisal Basri di film ini benar. Soeharto mundur, oke. Dia tidak diturunkan. Dia mundur untuk melindungi rezimnya. Kalau Soeharto waktu itu bersikeras, akan terjadi benturan kelompok. Dia mundur. Nah, orang-orang langsung euforia, dikirain sudah menang. Nggak tahunya rezimnya sudah disiapkan untuk tetap berkuasa. Birokrasi tetap sama. Menyangkut Student Movement: They Forced Them To Be Violent? Yang tadi saya bilang. Saya merasa dibohongin sama orang-orang yang mengaku pahlawan itu. Ternyata korupsi semua. Yang angkatan 1966 lah.. yang apa lah.. Ternyata semua jadi kroninya Soeharto. Kebetulan saya kerja di TV Jerman. Saya di lapangan terus. Ya, sekalian aja saya bawa kamera. 80 persen di film Student Movement itu saya yang ambil gambarnya. Gimana awalnya bisa sampai muncul gagasan untuk membuat film Setelah 15 Tahun…? Sebenarnya saya mau rilis ulang film Student Movement. Terus ada yang nyeletuk, “kenapa nggak buat aja yang baru sekarang udah 15 tahun, apa yang terjadi?” Kan biasa tuh kita ngobrol, ada aja yang nyeletuk. Terus kepikiran. Mulai tanya. Ternyata begitu ketemu orang, tanya-tanya, berkembangnya menjadi sangat menarik. Pernyataan-pernyataan mereka sangat menarik. Mereka kawan-kawan saya waktu tahun 1998, walaupun bukan responden saya, tapi saya tahu mereka adalah simpul-simpul yang penting. Shooting di tiga kota. Jakarta, Makassar dan Jogjakarta. Saya sendiri yang berangkat ke luar kota. Shooting dengan komunitas di Makassar dan Jogjakarta. Kenapa di tiga kota itu? Waktu itu kan awal munculnya kekerasan di daerah Solo, Jogjakarta dan Makassar. Benturan pertama di tiga tempat itu sebelum muncul kekerasan di Jakarta. Kalau sekarang mungkin sih biasa saja. Tapi pada waktu itu ada mahasiswa berbenturan dengan aparat di jaman Orde Baru itu dahsyat! Kemudian ada juga footage yang kami ambil dengan mengirim orang ke Lapindo-Sidoarjo. Alasan memilih Tora Sudiro untuk jadi pemandu cerita? Sebagai penetral. Dia orang yang tidak terlalu serius dan dia mewakili generasinya. Pada waktu kejadiannya sendiri pun Tora tidak ada di Indonesia. Tidak ada hal yang berat sih. Tadinya kepikiran Lukman, atau angkatan mereka lah. Akhirnya ya sudah sekalian aja saya tabrakin. Kalau misalnya Lukman, orang sudah bisa menerima karena itu film serius. Atau kalau itu mas Slamet Rahardjo, misalnya. Kalau yang ngomong itu sejarawan kan biasa. Ya Tora saja lah.. itu kan juga milik semua orang. Bahwa seseorang seperti Tora Sudiro pun yang katanya dianggap hanya tahu senang-senang punya hak untuk berbicara soal itu. Judul Setelah 15 Tahun.. Sutradara ino Saroengallo Produksi Jakarta Media Syndication Tema Peringatan 15 tahun Reformasi 1998 Isi Evaluasi perjalanan Reformasi, hasil Reformasi sampai dengan tahun 2012, dengan cara mewawancarai mantan aktivis 1998, anggota masyarakat dan mahasiswa saat ini. Apakah Reformasi gagal? Durasi 93 menit. Format Digital Video Masa Produksi Desember 2012 – Mei 2013 Lokasi Syuting Jakarta, Jogjakarta, Makassar dan Surabaya Catatan Produksi film ini bisa terlaksana karena bantuan teman-teman komunitas film di Jakarta, Jogjakarta dan Makassar yang membantu syuting maupun editing secara pro bono. Agustus 2013 l Kinescope l 31
  • 32. SPOTLIGHT There is no glory in war! Battle of Surabaya | Titik cerah animasi Indonesia bersinar dari Yogyakarta. Battle of Surabaya, Film Animasi 2D pertama di Indonesia Produksi MSV Pictures/STMIK AMIKOM YOGYAKARTA ini akan segera dirilis di bioskop-bioskop di seluruh Indonesia. D emi menghasilkan film yang berkelas Hoolywood, perusahaan ini memberangkatkan crew Film “Battle of Surabaya” menuju ke kota Surabaya guna mendapatkan referensi untuk kebutuhan dalam pembuatan film ini. Tempat yang dikunjungi oleh crew film ini diantaranya Museum Surabaya, Hotel Majapahit (dahulu bernama Hotel Yamato), Jembatan Merah dan tempat bersejarah lainnya di Surabaya. Sinopsis Film Battle of Surabaya menceritakan petualangan Musa, remaja tukang semir sepatu yang menjadi kurir bagi perjuangan pejuang arek-arek Suroboyo dan TKR dalam peristiwa pertempuran dahsyat 10 November 1945 di Surabaya.Cerita dibuka dengan visualisasi dahsyat dari pemboman kota Hiroshima oleh Sekutu yang menandakan menyerahnya Jepang. “Indonesia merdeka, itu yang kudengar dari RRI, Jepang menyerah!!” kata Musa. Tetapi langit Surabaya kembali merah dengan peristiwa Insiden Bendera dan kedatangan sekutu yang ditumpangi oleh Belanda. Belum lagi gangguan oleh beberapa kelompok pemuda Kipas Hitam yang dilawan oleh Pemuda Republiken. Residen Sudirman, Gubernur Suryo, Pak Moestopo, Bung Tomo dan tokoh-tokoh lain membangkitkan semangat arek-arek Suroboyo & pemuda Indonesia bangkit melawan penjajahan. Musa dipercaya sebagai kurir surat dan kode-kode rahasia yang dikombinasikan dengan lagu-lagu keroncong dari Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia yang didirikan Bung Tomo. Berbagai peristiwa dilalui Musa sebagai kurir, kehilangan harta dan orang-orang yang dikasihi menjadi konsekuensi tugas mulia tersebut. Cerita ini merupakan cerita adaptasi dari peristiwa 10 November 1945 Surabaya. Selain tokoh-tokoh nyata, terdapat tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan. Pesan perang tentang semangat, cinta tanah air dan perdamaian. 32 l Kinescope l Agustus 2013 Judul Battle of Surabaya Sutradara Aryanto Yuniawan Penulis Prof. M. Suyanto (Direktur STIMIK AMIKOM Yogyakarta) Aryanto Yuniawan
  • 33. Agustus 2013 l Kinescope l 33
  • 34. BEHIND THE SCENE Kamtis Army : Tentara Mantan Copet, Mafia, Pemabuk dkk RIEZKY ANDHIKA PRADANA H ingga kini sejak diluncurkannya pada 12 Desember 2012 lalu, sebanyak 3.300 lebih boxset ekslusif mereka telah terjual. Bahkan edisi album yang terbatas ini sudah banyak diborong oleh Kamtis Family (fans Endank Soekamti) yang ada di negeri jiran Malaysia. Uniknya, bahkan ada juga pasangan kamtis yang menjadikan boxset album ke lima Endank Soekamti ini sebagai mas kawin mereka. Lagu pertama yang dikerjakan video klip nya adalah ‘Angka 8’. Sesuai isi lagunya, video klip ini bercerita soal persahabatan. Seperti yang terlihat pada artwork di album terbaru mereka yang berjudul sama, tema yang diusung kental dengan nuansa militer. Untuk keperluan kostum, band pop punk asal Yogyakarta ini membuat sendiri seragam militer ala Kamtis Army. Menurut Erix Soekamti, video klip ini bercerita tentang Kesatuan Soekamti Company yang berlatar belakang berbeda-beda. Di dalamnya terdapat copet, mafia, pemabuk, dan sebagainya. Mereka kemudian ditahan polisi dan masuk ke sebuah wilayah bernama Area 8 yang diam-diam dimanfaatkan untuk membuat pasukan elite Kamtis Army. “Persahabatan itu oke disaat segalanya ‘fine’, tapi kalau sedang nggak punya uang, suasana ‘nggak fine’ semuanya akan berbeda, teman sejati ada ketika sedang tidak ‘oke’, gambaran situasi yang cocok adalah saat perang, dimana taruhannya adalah nyawa,” 34 l Kinescope l Agustus 2013 ujar Erix menjelaskan konsep proyek tersebut. Dalam pembuatan karya ini, Erix yang juga selaku sutradara mengaku terinspirasi dari film ‘Band Of Brother’. Hal ini bisa terlihat dari tata artistik, kostum, hingga spesial efek yang akan digunakannya. Ke-16 lagu tersebut nantinya akan dipotong-potong dan disusun menjadi satu cerita, dan produksinya pun lebih
  • 35. PERTENGAHAN Februari ini tepatnya Selasa (12/2) lalu, Endank Soekamti memulai mengerjakan proyek besar mereka. Setelah meluncurkan novel, video dokumenter, dant album ke lima yang spektakuler dan inspiratif, dilanjutkan dengan promo media tour, trio Erix, Dory, dan Ari kini mengerjakan videoklip dari lagu-lagu terbaru mereka. Tidak tanggung-tanggung, rencananya 16 lagu yang terdapat di album Angka 8 ini semuanya akan dibuatkan video klip dengan tema sama, dan saling  berkaitan. fokus ke film. Secara pribadi sebenarnya Erix mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi tentara, namun ada nilai positif yang bisa diambil dari ketentaraan bagi seorang rocker, di antaranya adalah kedisiplinan. “Band rock kan identik dengan ‘slenge-an’, nggak bisa bangun pagi, saat jadwal promo, semua jadwal itu kan pagi hari, jadi harus belajar disiplin. Sebagusbagusnya band, nggak akan jadi kalau tidak ada disiplin di dalamnya,” tegas frontman Endank Soekamti ini. Jika disimak dari artwork yang terdapat pada sampul album Angka 8 Endank Soekamti ini, kita bisa melihat berbagai simbol dan pesan yang tersirat didalamnya. Contohnya, pada gambar tersebut terlihat Erix sedang mengangkat dan mengepalkan tangannya. Ini melambangkan ‘kemerdekaan’, yaitu merdeka membuat karya sesuai apa yang diinginkan. Di tengah, Ari sang penggebuk drum mengacungkan telunjuknya seolah sedang menantang, sedangkan posisi tangan sang gitaris Dory terlihat seperti ‘onani’, yang melambangkan ketika berkarya juga harus memuaskan diri sendiri. Sedangkan tank di belakang mereka bertiga diibaratkan sebagai Euforia Records, label baru mereka yang siap memperjuangkan apa yang ingin dikerjakan, tanpa harus bergantung dari industri besar yang selama ini menaungi mereka. Ketika ditanyakan apa yang sebenarnya ingin dilawan oleh seorang Erix Soekamti? ia menjawab santai, “Yang pertama ya harus bisa melawan diri sendiri, contohnya rasa takut, sifat nggak pede, dan lainnya,” jawabnya. Meski hujan deras mengguyur di saat produksi mulai siang hingga sore, namun seluruh kru Endank Soekamti tetap melanjutkan  syuting video klip yang dilakukan di pesisir Pantai Parangkusumo, Bantul ini. Pengambilan gambar yang dilakukan oleh kameramen Erick Wirasaktu ini pun tetap dilakukan meski seluruh badan basah kuyup diguyur hujan. Pada proyek ini, Endank Soekamti melibatkan seluruh kru, dan teman-teman dekat untuk ikut berpartisipasi dalam produksinya. Menurut Erix kunci bagaimana Endank Soekamti dan seluruh kru bisa selalu harmonis, dan bersinergis adalah sederhana, yaitu saling menghargai, dan percaya. “Respect, and trust each others, itu kata kunci menjaga kekompakan,” tegasnya. Pada video-video ini, lelucon khas Endank Soekamti tentunya juga tidak ketinggalan untuk menjadi bagian dalam setiap karya mereka. Contohnya, sebagai Pasukan Elit, mereka menggunakan senjata yang tidak mungkin dikenakan oleh tentara pada umumnya. Nantinya, video-video tersebut akan diunggah per lagu, dimana setiap bulannya Endank Soekamti akan mengunggah satu lagu. “Setelah tujuh episode, akan di stop dulu, dan sisanya menunggu hingga seluruh filmnya selesai,” jelas Erix mengenai proyek yang rencananya akan diselesaikan selama setahun ini. Nah, Penasaran dengan video klip mereka? Mari kita tunggu hasilnya di channel YouTube Endank Soekamti. (*) Agustus 2013 l Kinescope l 35
  • 36. ON LOCATION Bangun Lagi Dong, Lupus! LUPUS | Walaupun sedikit mengecewakan para penggemar tokoh cerita yang ngetren pada tahun 1980-1990an, redaksi mencoba menampilkan foto-foto on-location shoot Bangun Lagi Dong, Lupus! yang diproduksi oleh Ekomando Pictures. Kabarnya film ini juga akan mereka produksi sinetronnya. Mari kita simak. 36 l Kinescope l Agustus 2013
  • 37. Sinopsis Lupus (miqdad auddausy) adalah sosok anak remaja yang lebih merakyat , ia adalah pelajar SMU MERAH PUTIH yang aktif menulis sebagai wartawan sebuah majalah , senang menguyah permen karet , cuek dan sedikit jahil. Kejahilannya ini lebih bernada humor daripada menyakiti dan berniat jahat , dalam jalur kisah ini ditampilkan kejahilan Lupus dalam kehidupan sehari-harinya baik dirumah dan sekolah. Kisah berawal dari kepindahan lupus ke SMU MERAH PUTIH dan bertemu sosok gadis cantik siswi SMU yang sama bernama Poppie (Acha Septriasa). Keduanya terlibat dalam jalinan cinta segitiga, karena Poppie telah memiliki kekasih yaitu DANIEL (Kevin Julio), yang hidupnya penuh kemewahan. Lupus tidak peduli soal itu ,malah terus berjuang untuk menjadikan Poppie kekasihnya. Sebagai sosok gaul Lupus cepat mendapat teman yang kemudian menjadi sahabatnya ada GUSUR (Jeremiah Christiant)– bergaya seniman sableng, yang bercita-cita punya rumah sangat sederhana buat sang engkong (Didi Petet). Adapula BOIM (Alfie Alfandy) – playboy cap duren tiga yang tampil berani jelek. ANTO (Fabila Mahadira) – si kutu buku dengan segudang cita-cita. Poppie bagaikan piala, jadi rebutan Daniel dan Lupus , mereka bersaing berusaha mengambil hati sang pujaan. Sementara para sobat Lupus hidup dengan konfliknya masing-masing. Gusur punya masalah dengan ibu kantin (Debby Sahertian) dan kakak iparnya (Firda Kusller) yang galak. Boim yang diuber-uber debt Collector (Agung Hercules) akibat hutang ibunya (Cici Tegal). Anto yang punya masalah dengan ketidak pedean soal pertemanan. Tidak ada persoalan serius dalam cerita film ini, romantika remaja dengan segala problematikanya serta prestasi dan persahabatan banyak mewarnai cerita. Dibalik semua kekonyolan, kelucuan dan hal menggelikan lainnya, terselip keharuan, esensi kebaikan, prestasi dan nilai persahabatan. Agustus 2013 l Kinescope l 37
  • 38. ON LOCATION World Premiere 25th Tokyo International Film Festival (24 Oktober 2012) Premiere Indonesia 8 November 2012 Tahun Produksi 2012 Rumah Produksi MILES Films Produser Mira Lesmana Sutradara Riri Riza Penulis Naskah Riri Riza Durasi 90 menit Genre Drama Bahasa Tetum / Dengan subtitle Bahasa Indonesia Format Rekam Digital HD Color / B&W Color Sound Stereo Pemeran Utama Gudino Soares Petrus Beyleto Putri Moruk Atambua 39 Celcius 0 Atambua adalah sebuah kota perbatasan di Indonesia yang menjadi tempat m ­ engungsinya ribuan masyarakat Timor Timur. Kisah kehidupan para pengungsi dan keluarga mereka yang tercerai berai itu digambarkan dengan sensitif dan puitis oleh sutradara kenamaan dari generasi baru sineas Indonesia, Riri Riza. FESTIVAL & AWARDS • Tokyo International Film Festival, Japan 2012 • International Film Festival Rotterdam, Netherland 2013 • CINEMASIE – Vesoul Asian Film Festival, 2013 INALCO Prize • Asean International Film Festival & Awards (AIFFA) 2013 Best Director Award • Indonesian Movie Awards 2013 • Best Newcomer Actor Award for Petrus Beyleto 38 l Kinescope l Agustus 2013 Sinopsis Joao telah terpisah dari ibunya sejak berusia tujuh tahun. Ia dibawa eksodus ayahnya pindah ke Atambua setelah referendum 1999, sementara ibu dan dua adiknya yang masih bayi tinggal di Liquica, Timor Leste.  Ronaldo, ayahnya, kini bekerja sebagai supir bis antar kota. Ia sering mabuk sampai akhirnya dipecat dari pekerjan.  Satu hari gadis Nikia kembali ke Atambua untuk menyelesaikan ritual duka kematian kakeknya. Joao yang biasa menghabiskan waktu menjadi tukang ojek dan bermalasan bersama teman teman remajanya berganti kebiasaan dengan ritual mengikuti Nikia. Sesungguhnya ia tidak terlalu faham mengapa. Perlahan Nikia mulai membuka hati pada Joao, sampai suatu hari Joao menunjukkan perasaannya dengan cara yang memaksa. Nikia pergi meninggalkan Atambua. Sementara, Ronaldo berkelahi di sebuah tempat bilyar, hingga ia kemudian ditahan di kantor Polisi. Joao menebus ayahnya keluar dari tahanan, kemudian pergi untuk mencari Nikia.Ronaldo pulang menemukan rumah yang kosong dan menemukan kumpulan surat dalam bentuk kaset kaset rekaman dari Istrinya. Joao mencoba menebus kesalahannya – akankah Ronaldo mengikuti?
  • 39. FOTO : miles productions KRU UTAMA Penata Sinematografi Gunnar Nimpuno Editor Waluyo ichwandiardono Musik Basri B. Sila Penata Suara Satrio Budiono Perekam Suara Suhadi Asisten Sutradara 1 Rivano setyo utomo Asisten Sutradara 2 Ratrikala bhre aditya Produser Lini Toto Prasetyanto Co-Produser Eksekutif Via Wujudkan.Com Suzy D. Hutomo Budy Karya Sumadi Lala Timothy Frederica Budhy Tjahjati Soegijoko Produser Eksekutif Ignatius Andy Sendi Sugiharto Adrian Sitepu Produser Mira Lesmana Sutradara & Penulis Naskah Riri Riza PEMERAN UTAMA Joao Gudino Soares Ronaldo Petrus Beyleto Nikia Putri Moruk Agustus 2013 l Kinescope l 39
  • 40. PROFIL mUHAMMAD aDRAI T ino Saroengallo,Alasan ia memilih kuliah Sastra Cina karena dari kecil suka baca cerita silat Kho Ping Hoo. Di dalam otaknya, populasi penduduk Cina yang terbesar di dunia. Maka bahasa Cina akan menjadi bahasa pergaulan di dunia. “Saya ambil Sastra Cina karena saya nggak tau hidup mau ngapain. Begitu tamat IPA, tamat, saya bingung. Saya lihat ibu saya jadi dokter umum itu nggak menarik dan jadi dokter itu bukan buat saya. Saya lihat bapak saya jadi pengacara hidupnya juga nggak menarik. Saya sering baca Kho Ping Hoo, saya pikir, oh ya kayaknya Sastra Cina ini seru. Dasarnya saya juga senang main. Jadi saya pikir, oh iya, ini nih.. kenapa nggak sastra cina? Cina kan banyak di dunia. Di otak saya pertama itu. Begitu saya bisa ngomong cina kan saya bisa gaul. Intinya saya ikutin arus saya seperti air aja.” Menyelesaikan skripsinya setelah mencicipi profesi door to door salesman di perusahaan Electrolux selama enam bulan. Kehidupan salesman inilah yang menjadi bekal utamanya ketika mengawali karier di bidang jurnalistik: tidak malu menyapa calon responden seperti halnya menyapa calon pembeli. “Jadi salesman, door to door karena saya butuh duit. Saya memang belum lepas dari orang tua tapi orang tua saya juga bukan orang kaya. Sebagai contoh, saya tidak pernah di wisuda selama hidup saya. Kenapa? Karena ketika mau di wisuda duit saya tinggal Rp 25.000,Pilihannya antara memperbanyak naskah skripsi untuk sidang, kemudian saya dapet ijazah atau saya ikut wisuda, dapet toga. Saya pilih buat skripsi. Simpel aja itu sih. Yang penting saya nggak ada hutang. Sejak 1987 ia sudah berkecimpung di beragam profesi yang berkaitan dengan media. Mulai dari reporter di tabloid dwi-mingguan “Mutiara”, majalah berita dwi-mingguan “X’tra”, majalah berita bergambar “Jakarta-Jakarta”, serta penulis lepas di berbagai media hingga akhirnya masuk ke dunia audio-visual pada saat stasiun televisi swasta RCTI berdiri tahun 1988 dengan catatan tidak pernah men- jadi karyawan stasiun televisi tersebut. Sejak saat itu akrab bekerja dengan pembuatan program televisi sebagai Manajer Produksi maupun sebagai Penulis untuk program maupun drama televisi. Dari program televisi merambah ke produksi film iklan dan film cerita. Meski pernah menjadi Sutradara film iklan selama beberapa tahun di paruh kedua dekade 1990-an namun pada awal tahun 2000-an ia memutuskan untuk lebih menekuni profesi Asisten Sutradara 1 dan Manajer Produksi. “Kecemplung di dunia industri film dan televisi karena nggak sengaja. Saya masuk RCTI diajak seorang teman. Awalnya pegang buat news dan program feature. Programnya dianggap gagal, terus saya balik lagi nulis dan bikin sinetron.. karena sinetron tantangannya cuma di episode awal, lima episode pertama enak makin kesananya ya gitu-gitu aja, saya bosen. Terus diajak lagi untuk program musik namanya Rocket. Ya, ikut lagi sampe dua tahun, bosen, masuk ke iklan, jadi orang lokasi, terus masuk lagi ke feature film.” Di dunia film cerita ia lebih banyak berkecimpung di departemen produksi menjadi Manajer Produksi, Manajer Lokasi atau malah Pemain. Film cerita yang pernah ia kerjakan sebagai bagian dari departemen produksi adalah “Victory” (Mark Peploe, 1995), “Last to Surrender” (David Mitchell, 1999), “Pasir Berbisik” (Nan T. Achnas, 2001), “Ca-bau-kan” (Nia diNata, 2002), “The Fall” (Tarsem Singh, 2006), “Jermal” (Ravi L. Bharwani, Rayya Makarim, Orlow Seunke, 2008), “Eat Pray Love” (Ryan Murphy, 2010), “Sang Penari” (Ifa Ifansyah, 2011) dan “The Philosophers” (John Huddles, 2013). Sebagai pemain film ia pernah tampil sebagai figuran, cameo ataupun peran pendukung dalam film “Petualangan Sherina” (Riri Riza, 2000), “Arisan” (Nia Tino Saroengallo | lahir di Jakarta, 10 Juli 1958. Ia adalah aktor, produser film dan penulis.Pada 1986 ia menamatkan pendidikan di Fakultas Sastra Jurusan Asia Timur Program Studi Cina, Universitas Indonesia. 40 l Kinescope l Agustus 2013
  • 41. diNata, 2003), “Pesan Dari Surga” (Sekar Ayu Asmara, 2006), “Dunia Mereka” (Lasya Fauzia, 2006), “Quickie Express” (Dimas Djayadiningrat, 2007), “Tri Mas Getir” (Rako Prijanto, 2008), “MBA” (Winalda, 2008), “Jagad X-Code” (Herwin Novianto, 2009), “Pintu Terlarang” (Joko Anwar, 2009), “Kabayan Jadi Miliuner” (Guntur Soeharjanto, 2010) dan terakhir “Rayya: Cahaya Di Atas Cahaya” (Viva Westi, 2012). Ia selalu menyebut diri sebagai spesialis peran sekelebat. Di dunia film dokumenter ia pernah memproduksi sebuah film dokumenter sejarah politik Indonesia berjudul “Student Movement in Indonesia: they forced them to be violent” yang mendapatkan penghargaan sebagai Film Pendek Terbaik dalam Asia Pacific Film Festival ke-47 di Seoul pada bulan Oktober 2002 dan Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Terbaik dalam Festival Film Indonesia di Jakarta pada tahun 2004. Salah satu dampak dari kemenangan ini adalah ia seringkali diundang menjadi juri festival film dokumenter seperti Festival Film Indonesia ataupun Eagle Awards Documentary Competition di Metro TV. Film dokumenter berikutnya tentang upacara pemakaman di Tana Toraja berjudul “Hidup Untuk Mati” (They Live to Die). Hasil kerjasama dengan sutradara/produser senior Gary Hayes, guru sekaligus rekan kerjanya sejak tahun 1993 sampai sekarang. Belum lama ini ia baru saja merilis film dokumenter terbarunya berjudul Setelah 15 Tahun.. yang mengulas tentang perjalanan reformasi di tahun 1998 hingga tahun 2013 berikut wawancara beberapa aktivis 1998 yang kini mewakili suara profesinya masing-masing. Ia juga banyak terlibat dalam pembuatan film dokumenter televisi tentang Indonesia maupun peliputan berita stasiun televisi ARD-TV Jerman di Indonesia. Bila jadwal memungkinkan, sampai sekarang ia masih mendampingi peliputan ARD-TV di Indonesia sebagai fixer. “Ikut TV Jerman itu ketika sedang kumpul bareng temanteman, ketemu mereka (kru ARD-TV). Waktu itu saya sudah tidak di RCTI, sudah freelance. Saya sudah jadi sutradara iklan waktu itu. Kemudian mulai krisis. Menganggur. Nah, saya main di news. Pas ada gerombolan TV Jerman. Diajak. Ya ikutan aja. Urat wartawan saya pun balik. Keterusan sama mereka, tiga tahun keliling Indonesia.” Selain tulisan reportasenya yang pernah dimuat di berbagai media antara tahun 1986 – 1994, ia juga sudah menghasilkan dua buah buku yaitu “Ayah Anak Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat” (Penerbit Tembi, 2008) dan “Dongeng Sebuah Produksi Film” (Penerbit Intisari, 2008). Keduanya sudah diterbitkan ulang. Buku “Dongeng Produksi Film Iklan (Asing) di Indonesia” ini adalah buku ketiganya, buku pertama dari trilogi “Dongeng Produksi Film (Asing) di Indonesia. Pada tahun 2000 ia mendapat kesempatan mengajar sebagai dosen produksi film di Fakultas Film & Televisi, IKJ. Hasil dari tulisan-tulisan diktatnya untuk para mahasiswa ia jadikan buku berjudul Dongeng Sebuah Produksi Film: Dari Sudut Pandang Manajer Produksi (2008 & 2011). “Saya mengajar di Fakultas Film & Televisi, IKJ karena dijeblosin sama Mira Lesmana dan Shanty Harmayn. Mestinya mereka yang mengajar. Karena berhalangan, mereka meminta saya. Akhirnya saya yang keterusan mengajar, merekanya tetap sibuk shooting. Tahun 20082009 saya berhenti karena mulai sering ke luar kota. Nggak fair buat mahasiswanya. Sekarang paling kalau ngajar ya sifatnya berbagi.” “Saya memang beruntung, tahun 1994 saya sudah dijeblosin untuk berurusan dengan film-film Hollywood. Orang-orang dari Hollywood, sutradara iklan, sutradara film cerita datang ke Indonesia. Kebetulan pada waktu itu hanya sedikit yang bisa berbahasa Inggris. Saya bisa berbahasa Inggris, bisa ngomong sama bule, saya terpilih untuk bekerja dengan mereka. Ya lama-lama saya belajar sistemnya mereka. Tahun 1994 pun saya sudah berurusan dengan timnya Bernado Bertolucci (Sutradara Film asal Italia yang menyutradarai film antara lain Last Tango in Paris, 1900, The Last Emperor, The Sheltering Sky dan The Dreamers). Pokoknya semua saya jalanin aja, yang penting niat belajar. Gitu aja.” Filmography • Victory (1995) • Last To Surrender (1999) • Petualangan Sherina (2000) • Pasir Berbisik (2001) • Ca-bau-kan (2002) • Student Movement in Indonesia: they forced them to be violent (2002) • Arisan» (2003) • Pesan Dari Surga (2006) • The Fall (2006) • Dunia Mereka (2006) • Quickie Express (2007) • Jermal (2008) • Tri Mas Getir (2008) • Married By Accident (2008) • Jagad X-Code (2009) • Pintu Terlarang (2009) • Eat, Pray, Love (2010) • Kabayan Jadi Milyuner (2010) • Sang Penari (2011) • They Live to Die (2011) • Rayya, Cahaya Di Atas Cahaya (2012) • The Philosophers (2013) • Setelah 15 Tahun... (2013) Buku Dongeng Sebuah Produksi Film: Dari Sudut Pandang Manajer Produksi (2008 & 2011) • Ayah Anak, Beda Warna! Anak Toraja Kota Menggugat (2008 & 2010) • Penghargaan • Best Short Film, Asia Pacific Film Festival ke-47, Seoul, 2002 (2002) • Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter Terbaik FFI, 2004 (2004) Blog http://dongengfilm.wordpress. com/ Agustus 2013 l Kinescope l 41