Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi
1. POINTERS
Konglomerasi Media di Era Digital
dan Kebebasan Informasi
Disusun oleh:
Asep Mulyana, SIP, MA
Bagian Pengkajian dan Penelitian
Biro Pemajuan Hak Asasi manusia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
21 Maret 2012
2. Konglomerasi Media di Era Digital
dan Kebebasan Informasi1
Oleh Asep Mulyana, SIP, MA
Komnas HAM
Pengantar
1. Di masa lalu, ketika rejim otoriter berkuasa, kebebasan pers dibatasi—untuk
tidak mengatakan dibungkam. Kritik yang dilontarkan dunia pers hampir tak
pernah bisa muncul ke permukaan. Ada beberapa instrumen yang digunakan
rejim otoriter masa lalu untuk mengerdilkan komunitas pers. Salah satunya
adalah ancaman pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang
digunakan penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kebebasan pers,
utamanya ketika kritik dan pemberitaan suatu media dianggap mengancam
kekuasaan. Pembreidelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor pada 1994
menegaskan masa-masa kelam kebebasan pers di masa lalu.
2. Setelah rejim otoriter jatuh pada 1998, kebebasan pers di Indonesia
membaik. Rejim-rejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan pers
seiring dengan diterimanya rejim demokrasi dan HAM dalam politik hukum
kita. Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, media massa mengalami
kebebasan yang hampir mencapai puncaknya. Media massa kita bebas
memberitakan apapun tanpa khawatir adanya pembreidelan. Pertanyaannya
kemudian: apakah kebebasan pers yang kita nikmati kini telah memberikan
kontribusi yang signifikan bagi penguatan rejim demokrasi dan HAM?
3. Pertanyaan itu tak mudah dijawab secara meyakinkan. Kini bahkan tampak
kecenderungan munculnya arus balik ketika kebebasan pers dan demokrasi
menampakkan sisi gelapnya: mekanisme pasar yang difasilitasi kebebasan
politik dan demokrasi memungkinkan siapapun, termasuk si empunya modal
besar, untuk membangun imperium bisnis, termasuk di dalamnya bisnis
media. Kekuatan media sebagai pembangun diskursus, opini publik, dan citra
telah menjadi magnet kuat yang menarik aktor-aktor ekonomi dan politik
untuk masuk dan terlibat dalam industri media.
Jalan Tol bagi Konglomerasi dan Konvergensi Media
4. Aktor-aktor ekonomi pemilik modal besar melirik pentingnya media sebagai
”kendaraan” untuk mengukuhkan dominasi ekonomi politiknya.
Kecenderungan ini bermuara pada munculnya fenomena mutakhir dimana
kepemilikan media-media arus utama (mainstream) dikuasai oleh segelintir
pengusaha besar (konglomerat), baik yang memiliki kedekatan politik dengan
penguasa ataupun pengusaha yang sedang mengincar kekuasaan politik.
Sekurang-kurangnya ada empat pihak yang menguasai kepemilikan media
1
Disampaikan dalam Diskusi bertema “Konglomerasi Media di Era Digital dan Dampaknya pada
Hak atas Informasi Publik”, diselenggarakan oleh Satu Dunia di Jakarta, 21 Maret 2012.
3. besar, yaitu Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia, Harry
Tanoesoedibjo, dan Aburizal Bakrie.
5. Konglomerasi media makin disuburkan oleh revolusi teknologi informasi yang
ditandai oleh kehadiran internet dan digitalisasi data dan informasi. Situasi ini
membuka peluang bagi terjadinya konvergensi (penggabungan) media. Ada
tiga bentuk konvergensi media, yaitu:
a. Konvergensi telematika yang ditandai oleh penggabungan berbagai
bentuk saluran media konvensional (cetak dan elektronik) ke dalam suatu
media tunggal. Data dan informasi yang disuguhkan melalui suratkabar
dan televisi, misalnya, bisa diakses secara online melalui internet maupun
telepon genggam. Berbagai layanan informasi yang dulunya disajikan
melalui beberapa media konvensional dapat disuguhkan dalam satu
media tunggal.
b. Konvergensi kepemilikan media yang ditandai oleh kepemilikan beberapa
media oleh satu grup usaha. Seorang pengusaha media memiliki
beberapa jenis media sekaligus, baik media cetak, televisi, radio, maupun
media daring. Argumen efisiensi dan taktik bisnis melatarbelakangi
konvergensi jenis ini. Hal ini berdampak pada pemusatan kepemilikan
media pada beberapa gelintir pengusaha media.
c. Konvergensi kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia yang
ditengarai oleh kepemilikan media oleh pengusaha-pengusaha bermodal
kuat yang dekat dengan komunitas politik dan memiliki bisnis nonmedia
(properti dan tambang, misalnya). Mereka terjun ke bisnis media dan,
dengan demikian, memiliki kapasitas yang besar untuk “mengintervensi”
proses pembentukan opini publik melalui media yang dimilikinya,
utamanya ketika wacana publik tengah mempersoalkan bisnis nonmedia
si empunya media. Longgarnya aturan tentang kepemilikan media patut
diduga telah melahirkan fenomena ini.
6. Pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir pengusaha di ring politik
utama harus diwaspadai sebagai ancaman tersembunyi bagi demokrasi dan
HAM. Alih-alih memunculkan kompetisi bisnis media yang sehat, kepemilikan
silang bisnis media dan nonmedia dapat melahirkan suatu gejala lain yang
mengancam demokrasi dan HAM, yaitu kartel politik. Kartel jenis ini dapat
mengontrol agenda opini dan kebijakan publik.
7. Media berhubungan dengan pembangunan wacana di wilayah publik dan lalu
berdampak pada pengkristalan opini publik. Opini publik sendiri, dalam iklim
demokrasi, akan sangat berpengaruh bagi penyusunan agenda kebijakan
publik. Jika media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang berada di
sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan
mengalami abuse dan decay (pembusukan). Agenda-agenda kebijakan
publik pada akhirnya hanya akan dipengaruhi oleh “opini publik” yang lebih
merepresentasikan kepentingan ekonomi-politik si empunya media, dan
bukan kepentingan publik dalam arti sesungguhnya.
8. Dampak lain dari konglomerasi dan konvergensi kepemilikan bisnis media
dan nonmedia adalah makin seragamnya informasi dan berita yang
disuguhkan kepada publik. Di samping itu, kemungkinan degradasi kualitas
4. pemberitaan media sulit untuk dihindari ketika—demi efisiensi—sebuah grup
media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media dalam grupnya.
Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi yang lengkap, beragam,
dan obyektif.
9. Dalam konteks pembangunan kebebasan pers yang sehat bagi demokrasi
dan HAM, langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi pemusatan
kepemilikan media di satu sisi dan menjamin hak warga atas informasi di sisi
lain menjadi agenda penting untuk menjaga keragaman dan kedalaman
informasi bagi publik.
Jalur Lambat Bagi Kebebasan Informasi
10. Respon pemerintah dalam menanggapi revolusi teknologi informasi tidak
tepat sasaran. Alih-alih membangun regulasi yang membatasi peluang para
pemilik modal besar untuk”mengintervensi” agenda-agenda kebijakan publik
melalui media yang dimilikinya, pemerintah justru lebih fokus pada
pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi warga di internet.
11. Pada 2008 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dapat
mengkriminalisasi siapapun yang menulis di media elektronik, termasuk
internet, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE
menyatakan larangan untuk “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.”
12. Pada Mei 2009 pasal karet dalam UU ITE itu telah menjerat seorang ibu
rumah tangga, Prita Mulyasari, dengan pasal pencemaran nama baik. Prita
adalah mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, Tangerang.
Prita tidak mendapatkan kesembuhan setelah dirawat RS Omni, bahkan
penyakitnya bertambah parah. Prita kemudian mengeluhkan pelayanan RS
Omni melalui e-mail yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di
internet. RS Omni yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh e-mail Prita,
lalu mengadukan Prita ke pengadilan. Prita diputus bersalah dalam
pengadilan perdata dengan tuduhan pencemaran nama baik sebagaimana
diatur dalam Ayat 3 Pasal 27 UU ITE. Prita harus membayar denda kepada
RS Omni Internasional senilai Rp. 204 juta.
13. UU ITE tidak sejalan dengan rejim HAM yang dibangun bangsa ini sejak rejim
otoriter mengalami kebangkrutan pada 1998.
Hak atas Informasi sebagai Hak Asasi Manusia
14. Pada 1946 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa
hak atas informasi sangat penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak
ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris yang,
dengannya, menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan
pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan
pertimbangan itu, hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan
berpendapat, dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
5. (DUHAM). Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak
atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup
kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada
intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan
buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas
wilayah.
15. Penguatan hak atas informasi dinyatakan dalam Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi
melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan
bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak
ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi
dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis
atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya,
sesuai dengan pilihannya.
16. Norma-norma HAM yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok
sebagaimana disebut dalam paragraf 14 dan 15 mengikat Negara Indonesia
dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah
Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-
ketentuan yang termaktub dalam hukum HAM internasional tersebut dan
sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrumen
tersebut dimiliki oleh seluruh individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi
ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kovenan
Sipol, termasuk soal hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia.
17. Di dalam instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan dalam
konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas
informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut
kewajiban negara dalam pemenuhannya. Hak atas informasi juga ditegaskan
UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 14/2008 tentang Kebebasan
Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).
Negara Sebagai Pemangku Kewajiban
18. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah berkedudukan sebagai
pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga
bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect)
adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan
intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk
memenuhi (the obligation tofulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk
menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the
obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya
terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap
6. pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-
negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.
19. Kewajiban negara c.q. pemerintah untuk memajukan dan menegakkan HAM
tertera pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa
“perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah
tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak
dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara
wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM.
20. Hak atas informasi dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik
(sipol) dan bukan merupakan rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
(ekosob). Ada dua perbedaan mendasar antara hak-hak ekosob dan hak-hak
sipol. Hak-hak sipol disebut juga sebagai hak negatif yang mensyaratkan
tiadanya campur tangan negara dalam pemenuhannya dan bersifat
justiciable. Negara harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
setiap individu untuk menikmati hak-haknya (Kasim, 2001). Semakin negara
mengatur tentang hak sipol, maka peluang bagi terjadinya pelanggaran HAM
makin besar. Sebaliknya hak-hak ekosob merupakan hak positif yang
mensyaratkan keterlibatan aktif negara untuk mewujudkan penikmatannya
secara progresif dan nonjusticiable (Kasim dan Arus, 2001).
21. Dalam konteks sebagaimana disebut paragraf 20, pengaturan terhadap hak
atas informasi, utamanya dalam hal konten, sangat baik bagi negara untuk
membatasi hasratnya untuk mengatur, apalagi memberi sanksi. Semakin
besar hasratnya untuk mengeluarkan kebijakan intervensionis (overregulasi,
overcriminalization), maka peluang negara untuk melakukan pelanggaran
HAM semakin besar.
Pembatasan Hak yang Diijinkan
22. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak tergolong dalam
nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun).
Oleh karena itu, pembatasan atas pelaksanaan kebebasan berpendapat dan
berekspresi diijinkan.
23. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis. Spirit pasal ini diturunkan dari Pasal 19
DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah
diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Semangat yang sama ditegaskan
Pasal 73 UU No. 39/1999.
24. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas kebebasan
berpendapat dan berekspresi tidak boleh diberlakukan secara sewenang-
wenang. Pada Pasal 5 KIHSP dinyatakan bahwa kegiatan apapun yang
dilakukan negara, kelompok maupun individu tidak boleh ditujukan untuk
menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam KIHSP (termasuk
7. hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi) atau untuk membatasi
hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam KIHSP.
25. Salah satu alasan pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas
alasan keamanan nasional lebih rinci dituangkan para ahli hukum
internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-prinsip Johannesburg).2
Adapun ekspresi yang dapat dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan
nasional hanya ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi
tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi, dapat
memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung dan dekat
antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian
kekerasan itu.
26. Selanjutnya, Prinsip-prinsip Johannesburg menentukan beberapa prinsip
pembatasan HAM, yaitu:
a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak
bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan
setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan
dengan hukum atau tidak.
b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus
menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang
sah.
c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi
merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan
nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana
pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan
tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.
27. Suatu pembatasan, berdasarkan Prinsip-prinsip Johannesburg, tidak sah jika
tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkan dari suatu
pembatasan adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak
terkait dengan keamanan nasional. Hal ini termasuk untuk melindungi
pemerintah dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau
pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi
informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk
menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan
industrial. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan
tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi
tersebut dan hanya ketika hak tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban
pemerintah berdasarkan hukum internasional.
2
The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to
Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39 (1996).
Johannesburg Principles adalah prinsip-prinsip yang diadopsi pada 1 Oktober 1995 oleh
sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional, dan hak asasi manusia yang
berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19, International Centre Against Censorship, bekerja
sama dengan Centre for Applied Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg,
Principle 1.1.
8. 28. Alih-alih mencerminkan upaya negara untuk perlindungan hak dan reputasi
individu, UU ITE justru berpotensi merusak kebebasan berpendapat dan
berekspresi di dunia daring. Penghinaan dan pencemaran nama baik dalam
UU ITE terlalu luas dan umum, sehingga dapat dengan mudah
mengkriminalkan pendapat individu atau kelompok warga yang sebetulnya
tidak bermotif atau mengakibatkan suatu kekerasan dan mengancam
keamanan nasional. Sebagai hak negatif, hak atas informasi semakin
terjamin pemenuhannya jika negara lebih banyak memfasilitasi daripada
mengatur. Semakin sedikit regulasi, maka semakin besar peluang bagi
masyarakat modern di era digital untuk membangun sebuah tatanan self-
regulating society yang sangat sehat bagi pembangunan demokrasi digital.
29. Pengaturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet
semestinya mengacu pada KIHSP dan Prinsip-prinsip Johannesburg. Dalam
dua norma HAM internasional tersebut dinyatakan bahwa kriminalisasi atas
pendapat dan ekspresi individu atau kelompok warga diijinkan ketika
pemerintah dapat menunjukkan bahwa: (a) suatu ekspresi ditujukan untuk
memotivasi kekerasan yang akan terjadi; (b) suatu ekspresi dapat memotivasi
terjadinya kekerasan semacam itu; (c). ada hubungan langsung dan dekat
antara suatu ekspresi dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian
kekerasan; (d) adanya potensi penggunaan internet untuk penyebaran
gambar-gambar pelecehan dan pornografi anak; (e) suatu ekspresi
merupakan bagian dari penyebaran propaganda perang dan kebencian atas
dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan penghangsutan untuk
diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
30. Di atas semua itu, pemerintah tampaknya memilih jalan tol untuk
memuluskan jalan bagi konvergensi dan konglomerasi media yang
sebetulnya tidak kondusif bagi demokrasi dan HAM. Regulasi yang maksimal
absen pada sisi ini. Dalam merespon perkembangan telematika, negara lebih
memfasilitasi kepentingan bisnis ketimbang kepentingan pemajuan modal
sosial (pendidikan) dan pelayanan publik (e-government). Namun dalam hal
pemenuhan hak atas kebebasan informasi, pemerintah justru memilih jalur
lambat. Regulasi berlebih justru tampak pada sisi ini. Kriminalisasi yang tak
semestinya terhadap pendapat dan ekspresi di dunia maya patut diduga
dapat menghambat kebebasan informasi yang sebetulnya merupakan
oksigen bagi demokrasi di era digital.
9. Tentang Asep Mulyana, SIP, MA
Asep Mulyana mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik (SIP) pada Program Studi
Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, pada 2001.
Semasa mahasiswa, Asep Mulyana aktif di Majalah Mahasiswa Balairung UGM.
Setelah lama bekerja di dunia media, sejak 2006 hingga sekarang Asep Mulyana
bekerja di Bagian Pengkajian dan Penelitian, Komisi Nasional Hak-hak Asasi
Manusia (Komnas HAM). Pada 2008, Asep Mulyana menjadi salah seorang
penerima beasiswa EQUITAS untuk International Human Rights Training
Programme (IHRTP) di Montreal, Kanada. Program ini diselenggarakan oleh
EQUITAS, sebuah lembaga pendidikan HAM internasional yang berkedudukan
di Montreal, Kanada. Pada tahun yang sama (2008), Asep Mulyana meraih
NORAD’s Programme for Master Studies (NOMA) Scholarship (program
beasiswa pascasarjana yang didanai oleh Norwegian Agency for Development
Cooperation). Beasiswa ini memberikan kesempatan kepada Asep Mulyana
untuk melanjutkan Studi Pascasarjana (S2) pada Jurusan Ilmu Politik (Political
Science), Konsentrasi HAM dan Demokrasi (Human Rights and Democracy), di
Universitetet i Oslo (Norway) dan UGM (Indonesia). Asep Mulyana bisa
dihubungi via e-mail: asmul1974@yahoo.com.