SlideShare une entreprise Scribd logo
1  sur  9
Télécharger pour lire hors ligne
POINTERS




Konglomerasi Media di Era Digital
   dan Kebebasan Informasi


           Disusun oleh:
       Asep Mulyana, SIP, MA




 Bagian Pengkajian dan Penelitian
Biro Pemajuan Hak Asasi manusia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
          21 Maret 2012
Konglomerasi Media di Era Digital
                 dan Kebebasan Informasi1
                            Oleh Asep Mulyana, SIP, MA
                                   Komnas HAM



Pengantar
1. Di masa lalu, ketika rejim otoriter berkuasa, kebebasan pers dibatasi—untuk
   tidak mengatakan dibungkam. Kritik yang dilontarkan dunia pers hampir tak
   pernah bisa muncul ke permukaan. Ada beberapa instrumen yang digunakan
   rejim otoriter masa lalu untuk mengerdilkan komunitas pers. Salah satunya
   adalah ancaman pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang
   digunakan penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kebebasan pers,
   utamanya ketika kritik dan pemberitaan suatu media dianggap mengancam
   kekuasaan. Pembreidelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor pada 1994
   menegaskan masa-masa kelam kebebasan pers di masa lalu.
2. Setelah rejim otoriter jatuh pada 1998, kebebasan pers di Indonesia
   membaik. Rejim-rejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan pers
   seiring dengan diterimanya rejim demokrasi dan HAM dalam politik hukum
   kita. Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, media massa mengalami
   kebebasan yang hampir mencapai puncaknya. Media massa kita bebas
   memberitakan apapun tanpa khawatir adanya pembreidelan. Pertanyaannya
   kemudian: apakah kebebasan pers yang kita nikmati kini telah memberikan
   kontribusi yang signifikan bagi penguatan rejim demokrasi dan HAM?
3. Pertanyaan itu tak mudah dijawab secara meyakinkan. Kini bahkan tampak
   kecenderungan munculnya arus balik ketika kebebasan pers dan demokrasi
   menampakkan sisi gelapnya: mekanisme pasar yang difasilitasi kebebasan
   politik dan demokrasi memungkinkan siapapun, termasuk si empunya modal
   besar, untuk membangun imperium bisnis, termasuk di dalamnya bisnis
   media. Kekuatan media sebagai pembangun diskursus, opini publik, dan citra
   telah menjadi magnet kuat yang menarik aktor-aktor ekonomi dan politik
   untuk masuk dan terlibat dalam industri media.

Jalan Tol bagi Konglomerasi dan Konvergensi Media
4. Aktor-aktor ekonomi pemilik modal besar melirik pentingnya media sebagai
   ”kendaraan”    untuk   mengukuhkan      dominasi     ekonomi     politiknya.
   Kecenderungan ini bermuara pada munculnya fenomena mutakhir dimana
   kepemilikan media-media arus utama (mainstream) dikuasai oleh segelintir
   pengusaha besar (konglomerat), baik yang memiliki kedekatan politik dengan
   penguasa ataupun pengusaha yang sedang mengincar kekuasaan politik.
   Sekurang-kurangnya ada empat pihak yang menguasai kepemilikan media


1
 Disampaikan dalam Diskusi bertema “Konglomerasi Media di Era Digital dan Dampaknya pada
Hak atas Informasi Publik”, diselenggarakan oleh Satu Dunia di Jakarta, 21 Maret 2012.
besar, yaitu Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia, Harry
     Tanoesoedibjo, dan Aburizal Bakrie.
5.   Konglomerasi media makin disuburkan oleh revolusi teknologi informasi yang
     ditandai oleh kehadiran internet dan digitalisasi data dan informasi. Situasi ini
     membuka peluang bagi terjadinya konvergensi (penggabungan) media. Ada
     tiga bentuk konvergensi media, yaitu:
     a. Konvergensi telematika yang ditandai oleh penggabungan berbagai
         bentuk saluran media konvensional (cetak dan elektronik) ke dalam suatu
         media tunggal. Data dan informasi yang disuguhkan melalui suratkabar
         dan televisi, misalnya, bisa diakses secara online melalui internet maupun
         telepon genggam. Berbagai layanan informasi yang dulunya disajikan
         melalui beberapa media konvensional dapat disuguhkan dalam satu
         media tunggal.
     b. Konvergensi kepemilikan media yang ditandai oleh kepemilikan beberapa
         media oleh satu grup usaha. Seorang pengusaha media memiliki
         beberapa jenis media sekaligus, baik media cetak, televisi, radio, maupun
         media daring. Argumen efisiensi dan taktik bisnis melatarbelakangi
         konvergensi jenis ini. Hal ini berdampak pada pemusatan kepemilikan
         media pada beberapa gelintir pengusaha media.
     c. Konvergensi kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia yang
         ditengarai oleh kepemilikan media oleh pengusaha-pengusaha bermodal
         kuat yang dekat dengan komunitas politik dan memiliki bisnis nonmedia
         (properti dan tambang, misalnya). Mereka terjun ke bisnis media dan,
         dengan demikian, memiliki kapasitas yang besar untuk “mengintervensi”
         proses pembentukan opini publik melalui media yang dimilikinya,
         utamanya ketika wacana publik tengah mempersoalkan bisnis nonmedia
         si empunya media. Longgarnya aturan tentang kepemilikan media patut
         diduga telah melahirkan fenomena ini.
6.   Pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir pengusaha di ring politik
     utama harus diwaspadai sebagai ancaman tersembunyi bagi demokrasi dan
     HAM. Alih-alih memunculkan kompetisi bisnis media yang sehat, kepemilikan
     silang bisnis media dan nonmedia dapat melahirkan suatu gejala lain yang
     mengancam demokrasi dan HAM, yaitu kartel politik. Kartel jenis ini dapat
     mengontrol agenda opini dan kebijakan publik.
7.   Media berhubungan dengan pembangunan wacana di wilayah publik dan lalu
     berdampak pada pengkristalan opini publik. Opini publik sendiri, dalam iklim
     demokrasi, akan sangat berpengaruh bagi penyusunan agenda kebijakan
     publik. Jika media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang berada di
     sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan
     mengalami abuse dan decay (pembusukan). Agenda-agenda kebijakan
     publik pada akhirnya hanya akan dipengaruhi oleh “opini publik” yang lebih
     merepresentasikan kepentingan ekonomi-politik si empunya media, dan
     bukan kepentingan publik dalam arti sesungguhnya.
8.   Dampak lain dari konglomerasi dan konvergensi kepemilikan bisnis media
     dan nonmedia adalah makin seragamnya informasi dan berita yang
     disuguhkan kepada publik. Di samping itu, kemungkinan degradasi kualitas
pemberitaan media sulit untuk dihindari ketika—demi efisiensi—sebuah grup
   media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media dalam grupnya.
   Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi yang lengkap, beragam,
   dan obyektif.
9. Dalam konteks pembangunan kebebasan pers yang sehat bagi demokrasi
   dan HAM, langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi pemusatan
   kepemilikan media di satu sisi dan menjamin hak warga atas informasi di sisi
   lain menjadi agenda penting untuk menjaga keragaman dan kedalaman
   informasi bagi publik.

Jalur Lambat Bagi Kebebasan Informasi
10. Respon pemerintah dalam menanggapi revolusi teknologi informasi tidak
    tepat sasaran. Alih-alih membangun regulasi yang membatasi peluang para
    pemilik modal besar untuk”mengintervensi” agenda-agenda kebijakan publik
    melalui media yang dimilikinya, pemerintah justru lebih fokus pada
    pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi warga di internet.
11. Pada 2008 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008
    tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dapat
    mengkriminalisasi siapapun yang menulis di media elektronik, termasuk
    internet, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE
    menyatakan larangan untuk “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan
    dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
    elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
    baik.”
12. Pada Mei 2009 pasal karet dalam UU ITE itu telah menjerat seorang ibu
    rumah tangga, Prita Mulyasari, dengan pasal pencemaran nama baik. Prita
    adalah mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, Tangerang.
    Prita tidak mendapatkan kesembuhan setelah dirawat RS Omni, bahkan
    penyakitnya bertambah parah. Prita kemudian mengeluhkan pelayanan RS
    Omni melalui e-mail yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di
    internet. RS Omni yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh e-mail Prita,
    lalu mengadukan Prita ke pengadilan. Prita diputus bersalah dalam
    pengadilan perdata dengan tuduhan pencemaran nama baik sebagaimana
    diatur dalam Ayat 3 Pasal 27 UU ITE. Prita harus membayar denda kepada
    RS Omni Internasional senilai Rp. 204 juta.
13. UU ITE tidak sejalan dengan rejim HAM yang dibangun bangsa ini sejak rejim
    otoriter mengalami kebangkrutan pada 1998.

Hak atas Informasi sebagai Hak Asasi Manusia
14. Pada 1946 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa
    hak atas informasi sangat penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak
    ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris yang,
    dengannya, menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan
    pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan
    pertimbangan itu, hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan
    berpendapat, dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM). Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak
    atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup
    kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada
    intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan
    buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas
    wilayah.
15. Penguatan hak atas informasi dinyatakan dalam Kovenan Internasional
    tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi
    melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan
    bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak
    ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi
    dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis
    atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya,
    sesuai dengan pilihannya.
16. Norma-norma HAM yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok
    sebagaimana disebut dalam paragraf 14 dan 15 mengikat Negara Indonesia
    dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah
    Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan-
    ketentuan yang termaktub dalam hukum HAM internasional tersebut dan
    sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrumen
    tersebut dimiliki oleh seluruh individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi
    ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kovenan
    Sipol, termasuk soal hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia.
17. Di dalam instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan dalam
    konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak
    untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan
    pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
    memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan
    menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas
    informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut
    kewajiban negara dalam pemenuhannya. Hak atas informasi juga ditegaskan
    UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 14/2008 tentang Kebebasan
    Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP).

Negara Sebagai Pemangku Kewajiban
18. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah berkedudukan sebagai
    pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga
    bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan
    memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect)
    adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan
    intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk
    memenuhi (the obligation tofulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil
    langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk
    menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the
    obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya
    terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap
pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non-
    negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut.
19. Kewajiban negara c.q. pemerintah untuk memajukan dan menegakkan HAM
    tertera pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa
    “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah
    tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak
    dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara
    wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM.
20. Hak atas informasi dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik
    (sipol) dan bukan merupakan rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya
    (ekosob). Ada dua perbedaan mendasar antara hak-hak ekosob dan hak-hak
    sipol. Hak-hak sipol disebut juga sebagai hak negatif yang mensyaratkan
    tiadanya campur tangan negara dalam pemenuhannya dan bersifat
    justiciable. Negara harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada
    setiap individu untuk menikmati hak-haknya (Kasim, 2001). Semakin negara
    mengatur tentang hak sipol, maka peluang bagi terjadinya pelanggaran HAM
    makin besar. Sebaliknya hak-hak ekosob merupakan hak positif yang
    mensyaratkan keterlibatan aktif negara untuk mewujudkan penikmatannya
    secara progresif dan nonjusticiable (Kasim dan Arus, 2001).
21. Dalam konteks sebagaimana disebut paragraf 20, pengaturan terhadap hak
    atas informasi, utamanya dalam hal konten, sangat baik bagi negara untuk
    membatasi hasratnya untuk mengatur, apalagi memberi sanksi. Semakin
    besar hasratnya untuk mengeluarkan kebijakan intervensionis (overregulasi,
    overcriminalization), maka peluang negara untuk melakukan pelanggaran
    HAM semakin besar.

Pembatasan Hak yang Diijinkan
22. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak tergolong dalam
    nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun).
    Oleh karena itu, pembatasan atas pelaksanaan kebebasan berpendapat dan
    berekspresi diijinkan.
23. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada
    pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
    semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
    kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
    pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
    dalam suatu masyarakat demokratis. Spirit pasal ini diturunkan dari Pasal 19
    DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah
    diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Semangat yang sama ditegaskan
    Pasal 73 UU No. 39/1999.
24. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas kebebasan
    berpendapat dan berekspresi tidak boleh diberlakukan secara sewenang-
    wenang. Pada Pasal 5 KIHSP dinyatakan bahwa kegiatan apapun yang
    dilakukan negara, kelompok maupun individu tidak boleh ditujukan untuk
    menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam KIHSP (termasuk
hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi) atau untuk membatasi
    hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam KIHSP.
25. Salah satu alasan pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan
    berekspresi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas
    alasan keamanan nasional lebih rinci dituangkan para ahli hukum
    internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-prinsip Johannesburg).2
    Adapun ekspresi yang dapat dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan
    nasional hanya ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi
    tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi, dapat
    memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung dan dekat
    antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian
    kekerasan itu.
26. Selanjutnya, Prinsip-prinsip Johannesburg menentukan beberapa prinsip
    pembatasan HAM, yaitu:
    a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak
        bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan
        setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan
        dengan hukum atau tidak.
    b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus
        menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang
        sah.
    c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi
        merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan
        nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana
        pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan
        tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip
        demokrasi.
27. Suatu pembatasan, berdasarkan Prinsip-prinsip Johannesburg, tidak sah jika
    tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkan dari suatu
    pembatasan adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak
    terkait dengan keamanan nasional. Hal ini termasuk untuk melindungi
    pemerintah dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau
    pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi
    informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk
    menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan
    industrial. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan
    tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi
    tersebut dan hanya ketika hak tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban
    pemerintah berdasarkan hukum internasional.


2
  The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to
Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39 (1996).
Johannesburg Principles adalah prinsip-prinsip yang diadopsi pada 1 Oktober 1995 oleh
sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional, dan hak asasi manusia yang
berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19, International Centre Against Censorship, bekerja
sama dengan Centre for Applied Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg,
Principle 1.1.
28. Alih-alih mencerminkan upaya negara untuk perlindungan hak dan reputasi
    individu, UU ITE justru berpotensi merusak kebebasan berpendapat dan
    berekspresi di dunia daring. Penghinaan dan pencemaran nama baik dalam
    UU ITE terlalu luas dan umum, sehingga dapat dengan mudah
    mengkriminalkan pendapat individu atau kelompok warga yang sebetulnya
    tidak bermotif atau mengakibatkan suatu kekerasan dan mengancam
    keamanan nasional. Sebagai hak negatif, hak atas informasi semakin
    terjamin pemenuhannya jika negara lebih banyak memfasilitasi daripada
    mengatur. Semakin sedikit regulasi, maka semakin besar peluang bagi
    masyarakat modern di era digital untuk membangun sebuah tatanan self-
    regulating society yang sangat sehat bagi pembangunan demokrasi digital.
29. Pengaturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet
    semestinya mengacu pada KIHSP dan Prinsip-prinsip Johannesburg. Dalam
    dua norma HAM internasional tersebut dinyatakan bahwa kriminalisasi atas
    pendapat dan ekspresi individu atau kelompok warga diijinkan ketika
    pemerintah dapat menunjukkan bahwa: (a) suatu ekspresi ditujukan untuk
    memotivasi kekerasan yang akan terjadi; (b) suatu ekspresi dapat memotivasi
    terjadinya kekerasan semacam itu; (c). ada hubungan langsung dan dekat
    antara suatu ekspresi dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian
    kekerasan; (d) adanya potensi penggunaan internet untuk penyebaran
    gambar-gambar pelecehan dan pornografi anak; (e) suatu ekspresi
    merupakan bagian dari penyebaran propaganda perang dan kebencian atas
    dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan penghangsutan untuk
    diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.
30. Di atas semua itu, pemerintah tampaknya memilih jalan tol untuk
    memuluskan jalan bagi konvergensi dan konglomerasi media yang
    sebetulnya tidak kondusif bagi demokrasi dan HAM. Regulasi yang maksimal
    absen pada sisi ini. Dalam merespon perkembangan telematika, negara lebih
    memfasilitasi kepentingan bisnis ketimbang kepentingan pemajuan modal
    sosial (pendidikan) dan pelayanan publik (e-government). Namun dalam hal
    pemenuhan hak atas kebebasan informasi, pemerintah justru memilih jalur
    lambat. Regulasi berlebih justru tampak pada sisi ini. Kriminalisasi yang tak
    semestinya terhadap pendapat dan ekspresi di dunia maya patut diduga
    dapat menghambat kebebasan informasi yang sebetulnya merupakan
    oksigen bagi demokrasi di era digital.

                                       
                                     
Tentang Asep Mulyana, SIP, MA
Asep Mulyana mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik (SIP) pada Program Studi
Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, pada 2001.
Semasa mahasiswa, Asep Mulyana aktif di Majalah Mahasiswa Balairung UGM.
Setelah lama bekerja di dunia media, sejak 2006 hingga sekarang Asep Mulyana
bekerja di Bagian Pengkajian dan Penelitian, Komisi Nasional Hak-hak Asasi
Manusia (Komnas HAM). Pada 2008, Asep Mulyana menjadi salah seorang
penerima beasiswa EQUITAS untuk International Human Rights Training
Programme (IHRTP) di Montreal, Kanada. Program ini diselenggarakan oleh
EQUITAS, sebuah lembaga pendidikan HAM internasional yang berkedudukan
di Montreal, Kanada. Pada tahun yang sama (2008), Asep Mulyana meraih
NORAD’s Programme for Master Studies (NOMA) Scholarship (program
beasiswa pascasarjana yang didanai oleh Norwegian Agency for Development
Cooperation). Beasiswa ini memberikan kesempatan kepada Asep Mulyana
untuk melanjutkan Studi Pascasarjana (S2) pada Jurusan Ilmu Politik (Political
Science), Konsentrasi HAM dan Demokrasi (Human Rights and Democracy), di
Universitetet i Oslo (Norway) dan UGM (Indonesia). Asep Mulyana bisa
dihubungi via e-mail: asmul1974@yahoo.com.

Contenu connexe

Tendances

Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiPeranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Dita Fadhila
 
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakat
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakatPengaruh media pada pembentukan opini masyarakat
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakat
febastream
 
Pengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsa
Pengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsaPengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsa
Pengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsa
suciwijayanti18
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin Amq
 

Tendances (19)

8
88
8
 
Literasi Media
Literasi MediaLiterasi Media
Literasi Media
 
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasiPeranan pers dalam masyarakat demokrasi
Peranan pers dalam masyarakat demokrasi
 
Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJIRefleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
Refleksi Yanuar Nugroho pada 18 Tahun AJI
 
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakat
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakatPengaruh media pada pembentukan opini masyarakat
Pengaruh media pada pembentukan opini masyarakat
 
Manfaat pers dalam kehidupan masyarakat demokrasi di indonesia
Manfaat pers dalam  kehidupan masyarakat demokrasi di indonesiaManfaat pers dalam  kehidupan masyarakat demokrasi di indonesia
Manfaat pers dalam kehidupan masyarakat demokrasi di indonesia
 
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan PersDampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
Dampak Positif dan Negatif Kebebasan Pers
 
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaran
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaranPeranan pers dalam peningkatan pembelajaran
Peranan pers dalam peningkatan pembelajaran
 
Digital Strategy dalam kampanye periklanan Bintang Tujuh Masuk Angin
Digital Strategy dalam kampanye periklanan Bintang Tujuh Masuk AnginDigital Strategy dalam kampanye periklanan Bintang Tujuh Masuk Angin
Digital Strategy dalam kampanye periklanan Bintang Tujuh Masuk Angin
 
Pengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsa
Pengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsaPengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsa
Pengaruh komunikasi massa terhadap modernisasi dan kelestarian bangsa
 
Makalah "PENGARUH KOMUNIKASI MASSA TERHADAP MODERNISASI "
Makalah "PENGARUH KOMUNIKASI MASSA  TERHADAP MODERNISASI "Makalah "PENGARUH KOMUNIKASI MASSA  TERHADAP MODERNISASI "
Makalah "PENGARUH KOMUNIKASI MASSA TERHADAP MODERNISASI "
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
 
Media dan ekonomi masalah (pp)
Media dan ekonomi masalah (pp)Media dan ekonomi masalah (pp)
Media dan ekonomi masalah (pp)
 
Kebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMAKebebasan Pers kelas 12 SMA
Kebebasan Pers kelas 12 SMA
 
Media dan masyarakat
Media dan masyarakatMedia dan masyarakat
Media dan masyarakat
 
Media baru – teori baru
Media baru – teori baruMedia baru – teori baru
Media baru – teori baru
 
Bab 3 awal pers kls xii
Bab 3 awal pers kls xiiBab 3 awal pers kls xii
Bab 3 awal pers kls xii
 
Ppt pkn PERS..
Ppt pkn PERS..Ppt pkn PERS..
Ppt pkn PERS..
 
Interaksi Politik dan Media
Interaksi Politik dan MediaInteraksi Politik dan Media
Interaksi Politik dan Media
 

Similaire à Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi

demokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).ppt
demokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).pptdemokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).ppt
demokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).ppt
ChandraSetyawan10
 
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
penugasanupn
 
Komunikasi massa dan pemerintah
Komunikasi massa dan pemerintahKomunikasi massa dan pemerintah
Komunikasi massa dan pemerintah
UIN Surabaya
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin Amq
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin Amq
 
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
VJ Asenk
 

Similaire à Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi (20)

demokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).ppt
demokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).pptdemokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).ppt
demokrasi bukan sekedar narasi (Materi 4).ppt
 
Teori pers
Teori persTeori pers
Teori pers
 
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi SiregarClass Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
Class Week 14 - UI Demokratisasi Penyiaran Des 2013 by Amir Effendi Siregar
 
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public sheperepemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
pemerintah dan masyaerakat terhadap public shepere
 
Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520
Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520
Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520
 
Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520
Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520
Vol 1 no_1_desember_2014_2_joko_martono-3f81a-2142_520
 
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/NasionalisMedia Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
Media Berhaluan Liberal/Kapitalis, Media Berhaluan Partisan/Nasionalis
 
Pkn
PknPkn
Pkn
 
Pakar SEO Indonesia : Strategi Menjaga Citra Polri Di Media Sosial
Pakar SEO Indonesia : Strategi Menjaga Citra Polri Di Media SosialPakar SEO Indonesia : Strategi Menjaga Citra Polri Di Media Sosial
Pakar SEO Indonesia : Strategi Menjaga Citra Polri Di Media Sosial
 
Pancasila kelompok 5
Pancasila kelompok 5Pancasila kelompok 5
Pancasila kelompok 5
 
Komunikasi massa dan pemerintah
Komunikasi massa dan pemerintahKomunikasi massa dan pemerintah
Komunikasi massa dan pemerintah
 
Pers
PersPers
Pers
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
 
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetakSyarifudin, dakwah melalui media cetak
Syarifudin, dakwah melalui media cetak
 
Kliping
KlipingKliping
Kliping
 
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
Kebebasan pers dan dampak penyalahgunaan kebebasan media massa dalam masyarak...
 
Media Relation - 2BA05
Media Relation - 2BA05 Media Relation - 2BA05
Media Relation - 2BA05
 
Isi
IsiIsi
Isi
 
Etika komunikasi massa
Etika komunikasi massaEtika komunikasi massa
Etika komunikasi massa
 
Pengekangan Kebebasan Ekspresi Online di Asia Tenggara
Pengekangan Kebebasan Ekspresi Online di Asia TenggaraPengekangan Kebebasan Ekspresi Online di Asia Tenggara
Pengekangan Kebebasan Ekspresi Online di Asia Tenggara
 

Plus de SatuDunia Foundation

Ubah kebijakan media dan telematika di indonesia upload
Ubah kebijakan media dan telematika di indonesia uploadUbah kebijakan media dan telematika di indonesia upload
Ubah kebijakan media dan telematika di indonesia upload
SatuDunia Foundation
 
Policy Paper NGOs Kebijakan Telematika
Policy Paper NGOs Kebijakan TelematikaPolicy Paper NGOs Kebijakan Telematika
Policy Paper NGOs Kebijakan Telematika
SatuDunia Foundation
 
Indepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesia
Indepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesiaIndepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesia
Indepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesia
SatuDunia Foundation
 
Indepth report belajar dari kasus lapindo
Indepth report belajar dari kasus lapindoIndepth report belajar dari kasus lapindo
Indepth report belajar dari kasus lapindo
SatuDunia Foundation
 
Presentation media briefing (firdaus cahyadi)
Presentation media briefing (firdaus cahyadi)Presentation media briefing (firdaus cahyadi)
Presentation media briefing (firdaus cahyadi)
SatuDunia Foundation
 
Warta tkpkd lombok tengah edisi ii
Warta tkpkd lombok tengah edisi iiWarta tkpkd lombok tengah edisi ii
Warta tkpkd lombok tengah edisi ii
SatuDunia Foundation
 

Plus de SatuDunia Foundation (20)

Posterkursuskm 02-2012
Posterkursuskm 02-2012Posterkursuskm 02-2012
Posterkursuskm 02-2012
 
Ubah kebijakan media dan telematika di indonesia upload
Ubah kebijakan media dan telematika di indonesia uploadUbah kebijakan media dan telematika di indonesia upload
Ubah kebijakan media dan telematika di indonesia upload
 
Policy Paper NGOs Kebijakan Telematika
Policy Paper NGOs Kebijakan TelematikaPolicy Paper NGOs Kebijakan Telematika
Policy Paper NGOs Kebijakan Telematika
 
Indepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesia
Indepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesiaIndepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesia
Indepth report belajar dari gerakan sosial digital di indonesia
 
A-Z Konvergensi Telematika
A-Z Konvergensi TelematikaA-Z Konvergensi Telematika
A-Z Konvergensi Telematika
 
Komik publikasi KM 2012
Komik publikasi KM 2012 Komik publikasi KM 2012
Komik publikasi KM 2012
 
Indepth report belajar dari kasus lapindo
Indepth report belajar dari kasus lapindoIndepth report belajar dari kasus lapindo
Indepth report belajar dari kasus lapindo
 
Mapping Media Policy in Indonesia
Mapping Media Policy in IndonesiaMapping Media Policy in Indonesia
Mapping Media Policy in Indonesia
 
Presentation media briefing (firdaus cahyadi)
Presentation media briefing (firdaus cahyadi)Presentation media briefing (firdaus cahyadi)
Presentation media briefing (firdaus cahyadi)
 
120216 digital (mujtaba hamdi)
120216 digital (mujtaba hamdi)120216 digital (mujtaba hamdi)
120216 digital (mujtaba hamdi)
 
Warta tkpkd lombok tengah edisi ii
Warta tkpkd lombok tengah edisi iiWarta tkpkd lombok tengah edisi ii
Warta tkpkd lombok tengah edisi ii
 
Id mdgr2007 bahasa
Id mdgr2007 bahasaId mdgr2007 bahasa
Id mdgr2007 bahasa
 
Id mdgr2007 advokasi_bahasa
Id mdgr2007 advokasi_bahasaId mdgr2007 advokasi_bahasa
Id mdgr2007 advokasi_bahasa
 
2 peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia -...
2 peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia -...2 peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia -...
2 peta-jalan-percepatan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-di-indonesia -...
 
1 laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-indonesia-2010 -201011181321...
1 laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-indonesia-2010 -201011181321...1 laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-indonesia-2010 -201011181321...
1 laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-indonesia-2010 -201011181321...
 
Mereka berani melawan pemiskinan
Mereka berani melawan pemiskinanMereka berani melawan pemiskinan
Mereka berani melawan pemiskinan
 
Sapa edisi 1 desember 2011
Sapa edisi 1 desember 2011Sapa edisi 1 desember 2011
Sapa edisi 1 desember 2011
 
Konvergensi industri media dan hak publik
Konvergensi industri media dan hak publikKonvergensi industri media dan hak publik
Konvergensi industri media dan hak publik
 
Hiv aids dan media sosial aditya wardana
Hiv aids dan media sosial  aditya wardanaHiv aids dan media sosial  aditya wardana
Hiv aids dan media sosial aditya wardana
 
Ham dan hiv aids harwib
Ham dan hiv aids harwibHam dan hiv aids harwib
Ham dan hiv aids harwib
 

Konglomerasi media di Era Digital dan Kebebasan Informasi

  • 1. POINTERS Konglomerasi Media di Era Digital dan Kebebasan Informasi Disusun oleh: Asep Mulyana, SIP, MA Bagian Pengkajian dan Penelitian Biro Pemajuan Hak Asasi manusia Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 21 Maret 2012
  • 2. Konglomerasi Media di Era Digital dan Kebebasan Informasi1 Oleh Asep Mulyana, SIP, MA Komnas HAM Pengantar 1. Di masa lalu, ketika rejim otoriter berkuasa, kebebasan pers dibatasi—untuk tidak mengatakan dibungkam. Kritik yang dilontarkan dunia pers hampir tak pernah bisa muncul ke permukaan. Ada beberapa instrumen yang digunakan rejim otoriter masa lalu untuk mengerdilkan komunitas pers. Salah satunya adalah ancaman pencabutan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang digunakan penguasa masa lalu untuk mengerangkeng kebebasan pers, utamanya ketika kritik dan pemberitaan suatu media dianggap mengancam kekuasaan. Pembreidelan terhadap Tempo, Detik, dan Editor pada 1994 menegaskan masa-masa kelam kebebasan pers di masa lalu. 2. Setelah rejim otoriter jatuh pada 1998, kebebasan pers di Indonesia membaik. Rejim-rejim Pasca-Soeharto membuka kran kebebasan pers seiring dengan diterimanya rejim demokrasi dan HAM dalam politik hukum kita. Sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi, media massa mengalami kebebasan yang hampir mencapai puncaknya. Media massa kita bebas memberitakan apapun tanpa khawatir adanya pembreidelan. Pertanyaannya kemudian: apakah kebebasan pers yang kita nikmati kini telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi penguatan rejim demokrasi dan HAM? 3. Pertanyaan itu tak mudah dijawab secara meyakinkan. Kini bahkan tampak kecenderungan munculnya arus balik ketika kebebasan pers dan demokrasi menampakkan sisi gelapnya: mekanisme pasar yang difasilitasi kebebasan politik dan demokrasi memungkinkan siapapun, termasuk si empunya modal besar, untuk membangun imperium bisnis, termasuk di dalamnya bisnis media. Kekuatan media sebagai pembangun diskursus, opini publik, dan citra telah menjadi magnet kuat yang menarik aktor-aktor ekonomi dan politik untuk masuk dan terlibat dalam industri media. Jalan Tol bagi Konglomerasi dan Konvergensi Media 4. Aktor-aktor ekonomi pemilik modal besar melirik pentingnya media sebagai ”kendaraan” untuk mengukuhkan dominasi ekonomi politiknya. Kecenderungan ini bermuara pada munculnya fenomena mutakhir dimana kepemilikan media-media arus utama (mainstream) dikuasai oleh segelintir pengusaha besar (konglomerat), baik yang memiliki kedekatan politik dengan penguasa ataupun pengusaha yang sedang mengincar kekuasaan politik. Sekurang-kurangnya ada empat pihak yang menguasai kepemilikan media 1 Disampaikan dalam Diskusi bertema “Konglomerasi Media di Era Digital dan Dampaknya pada Hak atas Informasi Publik”, diselenggarakan oleh Satu Dunia di Jakarta, 21 Maret 2012.
  • 3. besar, yaitu Chairul Tanjung, Kelompok Kompas Gramedia, Harry Tanoesoedibjo, dan Aburizal Bakrie. 5. Konglomerasi media makin disuburkan oleh revolusi teknologi informasi yang ditandai oleh kehadiran internet dan digitalisasi data dan informasi. Situasi ini membuka peluang bagi terjadinya konvergensi (penggabungan) media. Ada tiga bentuk konvergensi media, yaitu: a. Konvergensi telematika yang ditandai oleh penggabungan berbagai bentuk saluran media konvensional (cetak dan elektronik) ke dalam suatu media tunggal. Data dan informasi yang disuguhkan melalui suratkabar dan televisi, misalnya, bisa diakses secara online melalui internet maupun telepon genggam. Berbagai layanan informasi yang dulunya disajikan melalui beberapa media konvensional dapat disuguhkan dalam satu media tunggal. b. Konvergensi kepemilikan media yang ditandai oleh kepemilikan beberapa media oleh satu grup usaha. Seorang pengusaha media memiliki beberapa jenis media sekaligus, baik media cetak, televisi, radio, maupun media daring. Argumen efisiensi dan taktik bisnis melatarbelakangi konvergensi jenis ini. Hal ini berdampak pada pemusatan kepemilikan media pada beberapa gelintir pengusaha media. c. Konvergensi kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia yang ditengarai oleh kepemilikan media oleh pengusaha-pengusaha bermodal kuat yang dekat dengan komunitas politik dan memiliki bisnis nonmedia (properti dan tambang, misalnya). Mereka terjun ke bisnis media dan, dengan demikian, memiliki kapasitas yang besar untuk “mengintervensi” proses pembentukan opini publik melalui media yang dimilikinya, utamanya ketika wacana publik tengah mempersoalkan bisnis nonmedia si empunya media. Longgarnya aturan tentang kepemilikan media patut diduga telah melahirkan fenomena ini. 6. Pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir pengusaha di ring politik utama harus diwaspadai sebagai ancaman tersembunyi bagi demokrasi dan HAM. Alih-alih memunculkan kompetisi bisnis media yang sehat, kepemilikan silang bisnis media dan nonmedia dapat melahirkan suatu gejala lain yang mengancam demokrasi dan HAM, yaitu kartel politik. Kartel jenis ini dapat mengontrol agenda opini dan kebijakan publik. 7. Media berhubungan dengan pembangunan wacana di wilayah publik dan lalu berdampak pada pengkristalan opini publik. Opini publik sendiri, dalam iklim demokrasi, akan sangat berpengaruh bagi penyusunan agenda kebijakan publik. Jika media hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha yang berada di sekitar ring politik, pembangunan wacana publik besar kemungkinan akan mengalami abuse dan decay (pembusukan). Agenda-agenda kebijakan publik pada akhirnya hanya akan dipengaruhi oleh “opini publik” yang lebih merepresentasikan kepentingan ekonomi-politik si empunya media, dan bukan kepentingan publik dalam arti sesungguhnya. 8. Dampak lain dari konglomerasi dan konvergensi kepemilikan bisnis media dan nonmedia adalah makin seragamnya informasi dan berita yang disuguhkan kepada publik. Di samping itu, kemungkinan degradasi kualitas
  • 4. pemberitaan media sulit untuk dihindari ketika—demi efisiensi—sebuah grup media mempekerjakan wartawan untuk beberapa media dalam grupnya. Alhasil, sulit bagi publik untuk menerima informasi yang lengkap, beragam, dan obyektif. 9. Dalam konteks pembangunan kebebasan pers yang sehat bagi demokrasi dan HAM, langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi pemusatan kepemilikan media di satu sisi dan menjamin hak warga atas informasi di sisi lain menjadi agenda penting untuk menjaga keragaman dan kedalaman informasi bagi publik. Jalur Lambat Bagi Kebebasan Informasi 10. Respon pemerintah dalam menanggapi revolusi teknologi informasi tidak tepat sasaran. Alih-alih membangun regulasi yang membatasi peluang para pemilik modal besar untuk”mengintervensi” agenda-agenda kebijakan publik melalui media yang dimilikinya, pemerintah justru lebih fokus pada pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi warga di internet. 11. Pada 2008 Pemerintah Indonesia memberlakukan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ini dapat mengkriminalisasi siapapun yang menulis di media elektronik, termasuk internet, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pasal 27 UU ITE menyatakan larangan untuk “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” 12. Pada Mei 2009 pasal karet dalam UU ITE itu telah menjerat seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari, dengan pasal pencemaran nama baik. Prita adalah mantan pasien Rumah Sakit (RS) Omni Internasional, Tangerang. Prita tidak mendapatkan kesembuhan setelah dirawat RS Omni, bahkan penyakitnya bertambah parah. Prita kemudian mengeluhkan pelayanan RS Omni melalui e-mail yang kemudian menyebar ke berbagai mailing list di internet. RS Omni yang merasa nama baiknya dicemarkan oleh e-mail Prita, lalu mengadukan Prita ke pengadilan. Prita diputus bersalah dalam pengadilan perdata dengan tuduhan pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Ayat 3 Pasal 27 UU ITE. Prita harus membayar denda kepada RS Omni Internasional senilai Rp. 204 juta. 13. UU ITE tidak sejalan dengan rejim HAM yang dibangun bangsa ini sejak rejim otoriter mengalami kebangkrutan pada 1998. Hak atas Informasi sebagai Hak Asasi Manusia 14. Pada 1946 Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai bahwa hak atas informasi sangat penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris yang, dengannya, menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya. Dengan pertimbangan itu, hak atas informasi sebagai bagian dari kebebasan berpendapat, dimasukkan ke dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
  • 5. (DUHAM). Di dalam pasal 19 DUHAM dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Hak ini mencakup kebebasan untuk berpegang teguh pada suatu pendapat tanpa ada intervensi, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan tanpa memandang batas-batas wilayah. 15. Penguatan hak atas informasi dinyatakan dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966 (Kovenan Sipol) yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Di dalam Pasal 19 Kovenan Sipol dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan ide apapun, tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya. 16. Norma-norma HAM yang tercantum di dalam instrumen-instrumen pokok sebagaimana disebut dalam paragraf 14 dan 15 mengikat Negara Indonesia dan berlaku sebagai hukum nasional (supreme law of the land). Pemerintah Indonesia selanjutnya mempunyai kewajiban untuk menjalankan ketentuan- ketentuan yang termaktub dalam hukum HAM internasional tersebut dan sekaligus mengakui bahwa hak-hak yang terkandung dalam instrumen tersebut dimiliki oleh seluruh individu. Mengingat Indonesia tidak mereservasi ketentuan-ketentuan dalam Kovenan Sipol, maka ketentuan dalam kovenan Sipol, termasuk soal hak atas informasi, berlaku bagi Indonesia. 17. Di dalam instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan dalam konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak atas informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang menuntut kewajiban negara dalam pemenuhannya. Hak atas informasi juga ditegaskan UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 14/2008 tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (UU KMIP). Negara Sebagai Pemangku Kewajiban 18. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah berkedudukan sebagai pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfil). Kewajiban untuk menghormati (obligation to respect) adalah kewajiban negara untuk menahan diri untuk tidak melakukan intervensi, kecuali atas hukum yang sah (legitimate). Kewajiban untuk memenuhi (the obligation tofulfill) adalah kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, yudisial, dan praktis, yang perlu untuk menjamin pelaksanaan HAM. Kewajiban negara untuk melindungi (the obligation to protect) adalah kewajiban untuk melindungi hak bukan hanya terhadap pelanggaran yang dilakukan negara, namun juga terhadap
  • 6. pelanggaran atau tindakan yang dilakukan oleh entitas atau pihak lain (non- negara) yang akan mengganggu perlindungan hak yang disebut. 19. Kewajiban negara c.q. pemerintah untuk memajukan dan menegakkan HAM tertera pada UUD 1945. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Semangat yang sama tampak dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 39/1999 yang menegaskan bahwa negara wajib menghormati, melindungi, serta menjunjung tinggi HAM. 20. Hak atas informasi dimasukkan ke dalam rumpun hak-hak sipil dan politik (sipol) dan bukan merupakan rumpun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob). Ada dua perbedaan mendasar antara hak-hak ekosob dan hak-hak sipol. Hak-hak sipol disebut juga sebagai hak negatif yang mensyaratkan tiadanya campur tangan negara dalam pemenuhannya dan bersifat justiciable. Negara harus memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap individu untuk menikmati hak-haknya (Kasim, 2001). Semakin negara mengatur tentang hak sipol, maka peluang bagi terjadinya pelanggaran HAM makin besar. Sebaliknya hak-hak ekosob merupakan hak positif yang mensyaratkan keterlibatan aktif negara untuk mewujudkan penikmatannya secara progresif dan nonjusticiable (Kasim dan Arus, 2001). 21. Dalam konteks sebagaimana disebut paragraf 20, pengaturan terhadap hak atas informasi, utamanya dalam hal konten, sangat baik bagi negara untuk membatasi hasratnya untuk mengatur, apalagi memberi sanksi. Semakin besar hasratnya untuk mengeluarkan kebijakan intervensionis (overregulasi, overcriminalization), maka peluang negara untuk melakukan pelanggaran HAM semakin besar. Pembatasan Hak yang Diijinkan 22. Kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak tergolong dalam nonderogable rights (hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Oleh karena itu, pembatasan atas pelaksanaan kebebasan berpendapat dan berekspresi diijinkan. 23. Pasal 28J UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Spirit pasal ini diturunkan dari Pasal 19 DUHAM dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Semangat yang sama ditegaskan Pasal 73 UU No. 39/1999. 24. Namun penting untuk dicatat bahwa pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak boleh diberlakukan secara sewenang- wenang. Pada Pasal 5 KIHSP dinyatakan bahwa kegiatan apapun yang dilakukan negara, kelompok maupun individu tidak boleh ditujukan untuk menghancurkan hak atau kebebasan yang diakui dalam KIHSP (termasuk
  • 7. hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi) atau untuk membatasi hak dan kebebasan itu lebih besar daripada yang ditentukan dalam KIHSP. 25. Salah satu alasan pembatasan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah keamanan nasional. Prinsip-prinsip pembatasan atas alasan keamanan nasional lebih rinci dituangkan para ahli hukum internasional dalam Johannesburg Principles (Prinsip-prinsip Johannesburg).2 Adapun ekspresi yang dapat dinilai sebagai ancaman terhadap keamanan nasional hanya ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa ekspresi tersebut ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi, dapat memotivasi terjadinya kekerasan, atau ada hubungan langsung dan dekat antara ekspresi tersebut dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan itu. 26. Selanjutnya, Prinsip-prinsip Johannesburg menentukan beberapa prinsip pembatasan HAM, yaitu: a. Pembatasan harus ditentukan oleh hukum yang dapat diakses, tidak bersifat ambigu, dan dibuat secara hati-hati dan teliti, yang memungkinkan setiap individual untuk melihat apakah suatu tindakan bertentangan dengan hukum atau tidak. b. Pembatasan harus memiliki tujuan yang sesungguhnya dan harus menunjukkan dampak melindungi kepentingan keamanan nasional yang sah. c. Pemerintah harus dapat menunjukkan bahwa informasi yang dibatasi merupakan ancaman yang serius terhadap kepentingan keamanan nasional yang sah. Pembatasan yang dilakukan adalah sarana pembatasan yang serendah mungkin untuk melindungi kepentingan tersebut; dan pembatasan tersebut harus sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. 27. Suatu pembatasan, berdasarkan Prinsip-prinsip Johannesburg, tidak sah jika tujuan yang sesungguhnya atau dampak yang dihasilkan dari suatu pembatasan adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang tidak terkait dengan keamanan nasional. Hal ini termasuk untuk melindungi pemerintah dari rasa malu akibat kesalahan yang dilakukan atau pengungkapan kesalahan yang dilakukan, atau untuk menutup-nutupi informasi tentang pelaksanaan fungsi institusi-institusi publiknya, atau untuk menanamkan suatu ideologi tertentu, atau untuk menekan kerusuhan industrial. Dalam keadaan darurat, negara dapat menerapkan pembatasan tetapi hanya sampai pada batasan sebagaimana dibutuhkan oleh situasi tersebut dan hanya ketika hak tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban pemerintah berdasarkan hukum internasional. 2 The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information, Freedom of Expression and Access to Information, E/CN.4/1996/39 (1996). Johannesburg Principles adalah prinsip-prinsip yang diadopsi pada 1 Oktober 1995 oleh sekelompok ahli hukum internasional, keamanan nasional, dan hak asasi manusia yang berkumpul bersama berdasarkan PASAL 19, International Centre Against Censorship, bekerja sama dengan Centre for Applied Legal Studies Universitas Witwatersrand, di Johannesburg, Principle 1.1.
  • 8. 28. Alih-alih mencerminkan upaya negara untuk perlindungan hak dan reputasi individu, UU ITE justru berpotensi merusak kebebasan berpendapat dan berekspresi di dunia daring. Penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE terlalu luas dan umum, sehingga dapat dengan mudah mengkriminalkan pendapat individu atau kelompok warga yang sebetulnya tidak bermotif atau mengakibatkan suatu kekerasan dan mengancam keamanan nasional. Sebagai hak negatif, hak atas informasi semakin terjamin pemenuhannya jika negara lebih banyak memfasilitasi daripada mengatur. Semakin sedikit regulasi, maka semakin besar peluang bagi masyarakat modern di era digital untuk membangun sebuah tatanan self- regulating society yang sangat sehat bagi pembangunan demokrasi digital. 29. Pengaturan tentang kebebasan berpendapat dan berekspresi di internet semestinya mengacu pada KIHSP dan Prinsip-prinsip Johannesburg. Dalam dua norma HAM internasional tersebut dinyatakan bahwa kriminalisasi atas pendapat dan ekspresi individu atau kelompok warga diijinkan ketika pemerintah dapat menunjukkan bahwa: (a) suatu ekspresi ditujukan untuk memotivasi kekerasan yang akan terjadi; (b) suatu ekspresi dapat memotivasi terjadinya kekerasan semacam itu; (c). ada hubungan langsung dan dekat antara suatu ekspresi dengan kemungkinan terjadinya atau kejadian kekerasan; (d) adanya potensi penggunaan internet untuk penyebaran gambar-gambar pelecehan dan pornografi anak; (e) suatu ekspresi merupakan bagian dari penyebaran propaganda perang dan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan penghangsutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. 30. Di atas semua itu, pemerintah tampaknya memilih jalan tol untuk memuluskan jalan bagi konvergensi dan konglomerasi media yang sebetulnya tidak kondusif bagi demokrasi dan HAM. Regulasi yang maksimal absen pada sisi ini. Dalam merespon perkembangan telematika, negara lebih memfasilitasi kepentingan bisnis ketimbang kepentingan pemajuan modal sosial (pendidikan) dan pelayanan publik (e-government). Namun dalam hal pemenuhan hak atas kebebasan informasi, pemerintah justru memilih jalur lambat. Regulasi berlebih justru tampak pada sisi ini. Kriminalisasi yang tak semestinya terhadap pendapat dan ekspresi di dunia maya patut diduga dapat menghambat kebebasan informasi yang sebetulnya merupakan oksigen bagi demokrasi di era digital.  
  • 9. Tentang Asep Mulyana, SIP, MA Asep Mulyana mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Politik (SIP) pada Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, pada 2001. Semasa mahasiswa, Asep Mulyana aktif di Majalah Mahasiswa Balairung UGM. Setelah lama bekerja di dunia media, sejak 2006 hingga sekarang Asep Mulyana bekerja di Bagian Pengkajian dan Penelitian, Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada 2008, Asep Mulyana menjadi salah seorang penerima beasiswa EQUITAS untuk International Human Rights Training Programme (IHRTP) di Montreal, Kanada. Program ini diselenggarakan oleh EQUITAS, sebuah lembaga pendidikan HAM internasional yang berkedudukan di Montreal, Kanada. Pada tahun yang sama (2008), Asep Mulyana meraih NORAD’s Programme for Master Studies (NOMA) Scholarship (program beasiswa pascasarjana yang didanai oleh Norwegian Agency for Development Cooperation). Beasiswa ini memberikan kesempatan kepada Asep Mulyana untuk melanjutkan Studi Pascasarjana (S2) pada Jurusan Ilmu Politik (Political Science), Konsentrasi HAM dan Demokrasi (Human Rights and Democracy), di Universitetet i Oslo (Norway) dan UGM (Indonesia). Asep Mulyana bisa dihubungi via e-mail: asmul1974@yahoo.com.