Dokumen tersebut merupakan hasil kajian evaluasi kebijakan tenaga pendamping profesional di Provinsi Maluku tahun 2019. Kajian ini membahas jumlah, penyebaran, kualifikasi, dan honorarium pendamping berdasarkan karakteristik wilayah kepulauan Maluku. Dokumen ini menyimpulkan bahwa rasio pendamping terhadap desa masih jauh dari target, penyebaran pendamping belum merata, kualifikasi pendamping belum sesuai, dan honor
2. FOKUS KAJIAN
1
Jumlah Pendamping Di Provinsi
Berbasis Kabupaten/Kota
2
Penyebaran Pendamping Di
Provinsi Berbasis
Kabupaten/Kota
3
Kualifikasi Pendamping
Per Tingkatan (TA, PD, PLD)
4
Honor Pendamping Per
Tingkatan (TA, PD, PLD)
3. METEDOLOGI
KAJIAN
LATAR BELAKANG
Normatif
Problem
Empirical
Problem
Regulation Mapping
Mempelajari Berbagai Bentuk
Peratuan/Kebijakan Tentang Desa dan TPP
Desk Risert
Tinjauan Konseptual dan Teori
Tentang Kebijakan TPP
REKOMENDASI KEBIJAKAN
Model Pengembangan TPP
Pada Wilayah Kepulauan
Based Problem TPP
Alokasi Jumlah, Pola Penyebaran,
Standar dan Kualifikasi, Anggaran
Literatur
PerUU
Survei
FGD
5. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
1 JUMLAH PENDAMPING DI PROVINSI BERBASIS
KABUPATEN/KOTA
6. KARAKTERISTIK WILAYAH
Secara geografis, Provinsi Maluku berbatasan dengan Provinsi
Maluku Utara di bagian Utara, Provinsi Papua Barat di bagian
Timur, Negara Timor Leste dan Negara Australia di bagian
Selatan, serta Provinsi Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah
di bagian Barat. Sedangkan secara astronomi, Provinsi Maluku
terletak antara 20 30’ - 90 Lintang Selatan dan 1240 - 1350
Bujur Timur
Sebagai daerah kepulauan, Provinsi Maluku memiliki luas
wilayah 712.480 Km2, terdiri dari sekitar 92,4% lautan dan 7,6%
daratan dengan jumlah pulau yang mencapai 1.412 buah pulau
dan panjang garis pantai 10.662 Km. Sejak tahun 2008, Provinsi
Maluku terdiri atas 9 kabupaten dan 2 kota dengan Kota
Ambon sebagai ibukota Provinsi Maluku.
7. JUMLAH PENDAMPING
1
2
3
5
KARATERISTIK WILAYAH
DESA (KABUPATEN/KOTA)
T I N G K A T K E S U L I T A N
W I L A Y A H ( P U L A U
KEPUALAUAN DAN/ATAU
GUGUS PULAU
AKSEBILITAS DAN
K O N E K T I F I TA S
WILAYAH
Pertama, Desa yang berada pada satu pulau, desa
yang berada pada lebih dari satu pulau termasuk
Desa Pesisir dan Desa yang berada pada wilayah
terluat dan perbatasan.
Kedua, Desa yang berada pada wilayah
pengunungan dalam satu pulau dan/atau berada
diantara pulau pulau dan pesisir.
9. Dengan memperhatikan faktor faktor tersebut diatas, tentunya
kedepan formulasi kebijakan jumlah TPP perlu dirumuskan melalui
pendekatan klasifikasi wilayah desa :
1. Sangat sulit
2. Sulit
3. Cukup sulit
4. Kurang sulit
5. Tidak sulit
Dengan adanya klasifikasi wilayah desa tersebut maka formulasi
kebijakan jumlah TPP untuk wilayah desa tersulit berbeda dengan
wilayah desa yang tidak dan/atau kurang sulit
10. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
2 PENYEBARAN PENDAMPING DI PROVINSI
BERBASIS KABUPATEN/KOTA
11. PENYEBARAN PENDAMPING
1
DENGAN MERUJUK PADA RUMUSAN PENYEBARAN
PENDAMPING BERBASIS KABUPATEN/KOTA , UNTUK
WILAYAH KEPULAUAN SEBARAN DIDASARKAN PADA '
1. SEBARAN DESA DALAM PULAU DAN/ATAU ANTAR
PULAU DALAM SATU KECAMATAN
2. KARATERISTIK WILAYAH (JARAK ANTAR DESA
(PULAU,PESISIR DAN PEGUNUNGAN)
3. TINGKAT KESULUTAN WILAYAH
12. PENYEBARAN PENDAMPING
D e n g a n m e n g a c u p a d a
pendekatan wilayah yang
didasarkan pada konsep Gugus
Pulau, maka tentunya pola
penyebaran TPP untuk wilayah
kepulauan seperti halnya
Maluku memiliki perbedaan
dengan halnya wilayah daratan
(kontinental) dengan melakukan
pemetaan terhadap kondisi
geografis, sosiologis, kebutuhan,
dan permasalahan yang ada di
desa
13.
14. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
3 KUALIFIKASI PENDAMPING PER TINGKATAN
(TA, PD, PLD)
15. KUALIFIAKSI PENDAMPING (TA, PD, PLD)
Terkait dengan standar dan kualifikasi bagi TPP,
perlu memperhatikan kembali aspek SDM (baik
masyarakat maupun tenaga pendamping itu
sendiri) dengan Kelembagan pemerintahan desa itu
sendiri. Bagi PLD yang berada pada level teknis di
desa maka tentunya prasyarat menyangkut standar
dan kualifikasi tidak terbatas hanya pada ukuran
dan standar pendidikan formal semata mata.
Berbeda halnya dengan TPD dan TA yang memang
masih tetap memerlukan ukuran dan standar
tertenu. Namun demikian, bagi desa yang ada pada
wilayah kepulaun selain memperhatikan indikator
IDM namun juga Pemerintah menyusun indikator
standar dan kualifikasi berbasis pada pemetaan
terhadap permasalahan dan kebutuhan yang
dihadapi oleh Desa termasuk indikator kapasitas
(pemdes, masyarakat) serta pelibatan SDM dari
unsur Perguruan Tinggi
16. KUALIFIAKSI PENDAMPING (TA, PD, PLD)
Untuk standar kualifikasi TPP, perlu ditinjau
kembali sesuai dengan kebutuhan, tantangan dan
kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh
desa
Dalam hal ini perlu dilakukan penyederhanaan
kualifikasi dengan memperhatikan tipologi desa
dan karateristik desa desa daerah yang memiliki
tingkat kesulitan tertentu (aksesibilitas dan
konektifitas). Pada bagian lain juga perlu adanya
pelibatan perguruan tinggi dalam penyiapan
sumber daya lulusan memenuhi kualifikasi dan
ketersediaan tenaga pendamping di desa
17. HASIL KAJIAN DAN ANALISIS
4 HONOR PENDAMPING PER TINGKATAN (TA.
PD, PLD)
18. HONOR PENDAMPING (TA, PD, PLD)
Dengan format penganggaran yang ada dan diberlakukan selama ini, masih
menjadi permasalahan dalam hal indikator dalam mengukur presentasi (jumlah)
dalam komponen pembiayaan. Oleh karena itu, formulasi penggaran kedepan
perlu memperhatikan antara lain :
1. Tingkat kesulitan dan aksesbilitas desa
2. Ukuran dan standar biaya tertentu khususnya bagi desa desa di wilayah
kepulauan dan pesisir termasuk wilayah terluar dan perbatasan
3. adanya satuan pembiayaan yang disusun berdasarkan aspek geograsif
wilayah dan tingkat kemahalan
19. HONOR PENDAMPING (TA, PD, PLD)
Dengan memperhatikan aspek tersebut diatas, setidaknya terdapat fomulasi kebijakan
TPP yang dapat dikembangkan khususnya pada wilayah kepulauan seperti halnya
Maluku yakni antara lain :
1. Tipologi dan/atau karakteristik wilayah secara berjenjang mulai dari Provinsi,
Kabupaten. Kota, Kecamatan, dan Desa;
2. Kapasitas kelembagaan desa dan perangkat pemerintahan desa ;
3. Pemetaan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi oleh desa dengan
memperhatikan aspek geografis, sosiologis masyarakat, budaya dan adat istiadat;
4. Luas wilayah (termasuk laut dan pesisir), jumlah penduduk, hambatan geografis
serta tingkat kemiskinan dan status IDM
21. HONOR PENDAMPING (TA, PD, PLD)
Berdasarkan kondisi ini untuk mengotimalisasi
kinerja PLD dengan pertimbangan Aksesibilitas
dan konektivitas wilayah dan luasan lokasi kerja
diformulaksikan Honoraium dan operasional PLD
sebagai berikut:
1. Wilayah mudah dengan aksesibilitas dan
konektifitas tinggi = Honorarium setara UMP +
(jumlah desa x 50 % honorarium dasar )
2. Wilayah sulit aksesibilitas dan konektifitas
sedang = Honorarium setara UMP + (jumlah
desa x 70 % honorarium dasar)
3. Wilayah tersulit aksesibilitas dan konektifitas
tinggi = Honorarium setara UMP + (jumlah
desa x 100 % honorarium dasar)
23. KESIMPULAN
1. Rasio Tenaga pendamping lokal desa, tenaga pendamping dan Pendamping Profesional yakni 1:4,
2:10 dan 3:1 terlihat masih jauh dari target kuota yang ditetapkan akibat kurangnya SDM yang
dipersyaratkan dalam rekrumen. Terlihat untuk maluku masih 1:6 untuk Tenaga pendamping lokal
desa, 2:20 bagi tenaga pendamping dan 3:2 untuk tenaga profesional.
2. Penyebaran pendamping tidak merata bagi layanan yang diberikan. Banyak desa sangat
terbelakang yang tidak mendapat pendampingan karena keterisolasian dan jauhnya lokasi
menyebabkan pendamping lokal desa banyak yang mengundurkan diri dan olehkarenanya tidak
mendapatkan akses pendampingan sama sekali.
3. Kualifikasi Tenaga Pendamping Profesional belum sesuai atau belum sesuai dengan kondisi dan
ketersediaan SDM di daerah/desa tersebut. Banyak pendamping lokal desa tidak memiliki
keterampilan dan keahlian dasar yang daibutuhkan oleh masyarakat. Karena PLD banyak juga
yang berlatar belakang pendidikan SMA dan minim pengalaman maka tidak ada sumbangan
inovatif yang dapat diberikan kepada masyarakat desa.
4. Honorarium dan Biaya Operasional TPP, dalam hal ini honorarium dan biaya operasional
(terutama PLD) belum sesuai atau dalam menunjang pekerjaan mereka sebagai pendamping,
akibat tingkat kemahalan pada lokasi tugas.
24. REKOMENDASI
PERTAMA, Internalisasi pola pendampingan melalui kebijakan pendampingan asimetris dalam regulasi khusnya
bagi Tenaga Pendamping Profesional melalui Revisi (terbatas) terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun
2015 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 6 Tahun 2104 tentang Desa
KEDUA, Terhadap Kebijakan Tenaga Pendamping Profesional perlu dilakukan perubahan dan/atau penyesuaian
terhadap :
1) Jumlah Tenaga Pendamping Profesional.
Dalam hal ini diperlukan rumusan formulasi kebijakan TPP yang didasarka pada faktor atau tingkat kesulitan
geografis (aksesibilitas dan konektifitas) dengan memperhatikan pemetaan wilayah berdasarkan kondisi
dan karateristik desa (pulau, pesisir, pedalaman dan perbatasan);
2) Penyebaran Tenaga Pendamping Profesional.
Dalam hal ini model kebijakan TPP yang diperlukan adalah bersifat tematik berdasarkan potensi desa dan
kapasitas sosial desa;
3) Kualifikasi Tenaga Pendamping Profesional.
Dalam hal ini perlu dilakukan penyederhanaan kualifikasi dengan pola pengembangan desa binaan melalui
keterlibatan sumber daya perguruan tinggi khususnya bagi daerah daerah yang memiliki tingkat kesulitan
tertentu (aksesibilitas dan konektifitas)
4) Honorarium dan Biaya Operasional Tenaga Pendamping Profesional
Dalam hal ini perlu untuk mengotimalisasi kinerja PLD dengan pertimbangan Aksesibilitas dan konektivitas
wilayah dan luasan lokasi kerja diformulaksikan Honoraium dan operasional