1. Dokumen tersebut membahas metode istinbath hukum syara'. Metode ini meliputi pengertian istinbath, kaidah-kaidah syara' seperti istidlal dan tujuan penetapan hukum, kaidah lughawiyyah, dan pembagian lafad berdasarkan makna.
1. 1. Pengertian.
• Kata “Istinbath” menurut bahasa ialah
mengeluarkan, seperti “ istanbathal
maau minal „ain
(mengeluarkan/mengambil air dari mata
air).
• Menurut Istilah: Istikhrajul ma‟ani minan
nushush bi farthiz zihn wa quwatil
qarihah (mengeluarkan makna-makna
dai nash-nash (yang terkandung) dengan
mencurahkan pikiran dan kemampuan
(potensi) nalutiah.
metode istinbath hukum syar'i 1
2. Untuk melakukan istinbath yang tepat ada 4
(emapt) hal yang harus diperhatikan:
1. Apakah lafad-lafad itu telah jelas makna dan
dalalahnya (dalil)
2. Apakah susunan bahasanya cukup jelas
untuk suatu pengertian ataukah dengan
isyarah. Apakah pengetian yang terkandung
di dalamnya tersurat atau tersirat.
3. Apakah lafad itu umum atau khusus, muthlaq
atau muqayyad dsb.
4. Bagaimana bentuk lafad yang menimbulkan
hukum taklifi ataukah lafad amr (perintah)
atau nahy (larangan).
metode istinbath hukum syar'i 2
3. 2. Qaidah Syar’iyah
Kaidah Syar‟iyah ialah ketentuan umum
yang ditempuh Syara‟ dalam menetapkan
hukum dan tujuan penetapan hukum bagi
Subyek Hukum (Mukallaf).
Perumusan pokok tentang kaidah-kaidah
syar‟iyah:
1) Istidlal adalah pencarian dalil. “istidlal”
adalah qiyas atau ijtihad
metode istinbath hukum syar'i 3
4. 2). Proses dalam beristidlal untuk
menetapkan hukum syara‟:
a. Melihat pada Al-Quran (Sumber Pertama).
b. Melihat pada Sunnah (penjelas Al-Quran
atau penetap hukum baru yang belum ada
dalam Al-Quran).
c. Melakukan ijtihad dalam menggunakan
atau memahami dalil; baik dalam Al-
Quran atau Sunnah (dalil-dalil dhanni).
metode istinbath hukum syar'i 4
5. d. Melakukan ijtihad saat menghadapi dua dalil atau
lebih yang saling kekuatannya sama atau dhahirnya
saling bertentangan (Ta‟arudl al-Adillah):
- Berusaha melakukan pengumpulan isi dalil tersebut
sehingga dapat diamalkan semua.
- Dalam menghadapi dalil (Al-Quran dan Sunnah)
dapat dilakukan penetian mengenai asbab nuzul atau
wurud dan menganggap yang terdahulu dapat
dinasakh dengan yang kemudian.
- Apabila tidak dapat dikumpulkan atau tidak bisa
terjadi nasikh mansukh maka dilakukan tarjih
(pemenangan dalil yang dianggap lebih kuat), dan
- Apabila proses Tarjih tidak memungkinkan maka
diambil salah satu dalil dan meninggalkan dalil yang
lainnya.
metode istinbath hukum syar'i 5
6. 3). Tujuan Penetapan Hukum
a. Tujuan penetapan hukum („amaliah) untuk
kemaslahatan hidup manusia.
b. Dalam mencapai kemaslahatan, diadakan
pembagian 3 (tiga) kualifikasi:
- Ad-Dharuriyat: yakni Keniscayaan tidak boleh tidak/
tidak adanya tidak berarti hidup ini.
- Al-Hajiyat: Yang sangat dihajatkan, tidak adanya
akan menjadi sempit dan sulit hidup ini.
- At-Tahsiniyat: Keserasian dan kenyamanan.
Ketiadaannya hanya menyebabkan hidup ini tidak
nyaman.
metode istinbath hukum syar'i 6
7. c. Cakupan dan Realisasi
1) Yang masuk pada cakupan “dlaruriyat” adalah
adalah:
- Hifdhuddin (Qawaidul Iman dan Islam).
- Hifdhun Nafsi (Hukum qishash, diyat, dan
hukuman hudud, jinayat dan ta‟zir).
- Hifdhul „aql (haram minum khamr, hura-hura
dsb).
- Hifdhul Nasl (Hukum pernikahan, Hukum
Pendidikan).
- Hifdhul Maal (Hukum muamalat)
2) Hukum Hajiyat, Rincian hukum ibadah dan
muamalah.
3) Hukum Tahsiniyat, Sikap dan pengamalan Akhlaqul
Karimah
metode istinbath hukum syar'i 7
8. d. Tingkatan ke tiga kualifikasi tersebut;
- Posisi adl-dlaruriyat menenpati posisi
paling penting dan tidak dapat dihilangkan;
- Posisi kedua adalah “al-haajiyat” sebagai
penyempurna tingkat adl-dlaruriyat.
- Posisi ketiga adalah at-tahsiniyat, sebagai
penyempurna dari tingkat al-hajiyat, guna
mewujudkan keserasian dan kenyamanan.
Jadi, tidak dapat ditempuh tahsiniyat kalau
dapat menghilangkan hajiyat, demikian pula
tidak dapat ditempuh yang hajiyat kalau
dengan mewujudkan yang hajiyat itu akan
menghilangkan yang dlaruriyat.
metode istinbath hukum syar'i 8
9. 3. Qawaid Lughawiyah
Kaidah Lughawiyah adalah Kaidah yang
dipakai oleh ulama (para ahli ushul fiqh)
berdasarkan makna dan tujuan ungkapan-
ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli
bahasa (Arab), sesudah dilakukan penelitian-
penelitian yang bersumber dari kesusastraan
Arab.
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu
lafad, baik dari dalalah (pengertian konotasi
bahasa) ataupun uslub (susunan kata)nya
dapat diketahui dan untuk selanjutnya dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam
menetapkan hukum syar‟i.
metode istinbath hukum syar'i 9
10. Ada tiga cara untuk mengetahui makna dari suatu lafad
atau uslub (susunan kata) bahasa Nash:
1) Berdasarkan pengertian orang yang banyak yang
sudah mutawatir (dilakoni secara turun temurun).
Seperti: kata “al-maa‟ (air); as-maa‟ (langit) dan al-ard
(bumi) dan sebagainya.
2) Berdasarkan pengertian orang-orang tertentu (imam
Syafi‟i: menyebutnya “‟ilmul khash”. Pengertian lafad
atau uslub ini hanya dapat diketahui oleh sekelompok
orang tertentu. Seperti kata “akhbar al-ahad”.
3) Berdasarkan pemikiran akal dan hasil nalar manusia
(istinbathul „aql) terhadap lafad-lafad itu. Seperti: kata
“al-insan” dalam QS. Al-‟Ashr. Menurut hasil pemikiran
akal, maka kata insan diberi alf-lam (ta‟rif: al-jinsiyah)
yang memberi pengertian umum. Artinya mencakup
semua satuan (fard atau afrad) manusia, dengan
alasan bahwa adanya kata “illaa” istitsnaiyah”
(pengecualian) sesudah kata insan itu.
metode istinbath hukum syar'i 10
11. Makna lafad menurut penetapan bahasa:
a. Wadh‟iyah: ialah lafad yang mempunyyai
arti mula pertama penggunaan lafad itu,
seperti kata “ “ (dabbah) sejak semula,
kata ini dunakan untuk setiap bintang
yang merangka, tetapi kemudian
dikhususkan pada binatang yang berkaki
empat. Kata “ “ (mutakallim) pada
awalnya digunakan untuk orang yang
berbicara atau mengucapkan kata-kata,
akan tetapi kemudian dikhususkan pada
ahli ilmu kalam.
metode istinbath hukum syar'i 11
12. „Urfiyah: ialah lafad yang mempunyai arti yang
terbatas menurut pengertian umum, terbatas
mengenai sebagian dari semula atau lafad yang
mempunyai arti yang telah meluas menurut
pandangan umum atau dikenal juga sebagai lafad
“majazi”. Seperti kata “rawiyah” ialah tempat
perbekalan air yang biasanya terbuat dari
kulit, lalu berkembang menurut pengertian umum
termasuk unta yang membawa air. Contoh
lain, kata “ghaith” semula berarti tempat nyaman
di atas tanah, kemudian berarti pula sebagai
bangunan untuk tempat membuang hajat (WC).
metode istinbath hukum syar'i 12
13. Lafad-lafad syar‟iyah
Lafad-lafad syar‟iyah banyak ditemukan dalam bahasa Arab
yang artinya tidak diketahui oleh orang arab sendiri sebelum
ditetapkan dalam syara‟ tentang maknanya.
Dalam menetapkan makna suatu lafad, ulama mempunyai
pandangan yang berbeda:
a. Penetapan syara‟ terhadap makna lafad terlepas dari
pengertian bahasa, namun penetapan tersebut sejak semula
didasarkan dari arti syar‟iyah atau diniyah (Mu‟tazilah,
khawarij dan sebagian dari Fuqaha), alasannya:
- adanya nash yang menunjukkan pengertian syara‟ terlepas
dari pengertian bahasa (lafad iman; shalat, zakat dsb).
- pada waktu ditetapkan oleh syara‟, arti lafad tersebut belum
tergambar oleh orang arab di kala itu.
metode istinbath hukum syar'i 13
14. Dalam penggunaan lafad, syara‟ menetapkan syarat-syarat dan
batasan pelaksanaannya sehingga sesuai yang dimaksud.
Seperti kata “shalat” menurut bahasa adalah “doa”, kemudian
syara‟menetapkan ketentuan pelaksanaannya seperti
takbir, berdiri, ruku‟, sujud dsb, serta syarat dan rukun tertentu
lainnya (Abu Bakar Al Baqillani).
Penggunaan lafad didasaarkan pada arti lughawiyah, kemudian
diberikan syarat dan batasan. Seperti kata “shalat” ada
hubungan antara arti dasarnya (do‟a) dengan arti syar‟iyahnya
(peribadatan yang dimulai dengan takbir dan ditutup dengan
salam, dengan ketentuan syarat dan rukun lainnya (Al-Ghazali).
Pendapat ini beranggapan bahwa lafad syara‟ berasal dari al-
Quran dan al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab: QS. Yusuf:
(2) dan QS. Asy-Syu‟ara‟: (192-195) dan pemindahan lafad dari
arti awal ke arti syar‟iyahnya agar mereka faham maksudnya
dan menjadi pengertian umum.
metode istinbath hukum syar'i 14
15. Makna dari Huruful Ma‟ani:
a. Huruf “ ” (hamzah): jika dihubungkan dengan lafad-lafad
tertentu dapat memberi sejumlah arti, antara lain:
1) dihubungkan dengan isim mashdar dapat berarti “istifham”
minta keterangan, contoh pada QS. Al-Anbiya‟: (109):
) jika dihubungkan dengan kata “ ” (ra-a) berarti “berikan
berita atau minta pendapat”, QS. Al-Ma‟un: (1):
3) jika dihubungkan dengan kata “ “ (Lam) dapat berarti
“peringatan, heran/ta‟jub” seperti:
4) menyatakan keingkaran, seperti QS. Az-Zumar: (36)
metode istinbath hukum syar'i 15
16. Pembagian lafad menurut makna:
Pembagian lafad berdasarkan makna yang ditetapkan
ada tiga macam yaitu: khaash, „Aam dan Musytarak.
A. Lafad khaash:
1. Pengertian:
Lafad Khaash adalah lafad yang dari segi kebahasaan
ditentukan untuk satu arti secara mandiri.
Jadi lafad khaash adalah yang menunjukkan kepada
suatu satuan tertentu sehingga ditentukan untuk
menunjukkan kepada perseorangan tertentu seperti
Ali, Ahmad dsb; secara kelompok (macam/jenis)
seperti laki-laki, perempuan, binatang dsb; suatu
bilangan tertentu (lima, sepuluh dsb) dan kepada
suatu materi/benda konkrit dan suatu yang abstrak
(ilmu, kebodohan, pikiran dsb)
metode istinbath hukum syar'i 16
17. 2. Hukum Khaash
a. Bila lafad khaash pada nash syara‟ (teks hukum) menunjuk pada
yang dituju madlulnya (penunjukkannya) secara qath‟iy, hukumnya
menjadi qath‟iy pula, selama tidak ada dalil yang mengalihkannya.
Umpmanya dalam QS. Al-Baqarah: 196:
maka waji berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang…).
Maka hukum yang dapat diperoleh dari ayat di atas adalah
keharusan berpuasa selama tiga hari di Mekkah dan sepuluh hari
setelah tiba di negerinya, tidak lebih atau kurang dari bilangan
tersebut.
b. Bila lafad khaash dalam bentuk amer (perintah), maka menunjukkan
pada hukum wajib selama tidak ada dalil atau qarinah (konjuksi)
yang mengalihkan kepada hal lain.
Umpamanya dalam QS. An-Nur: 56:
(dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah
kepada Rasul (Muhammad)…).
Maka lafad amer pada ayat di atas secara pasti menunjukkan
wajibnya melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat dan mentaati
Rasulullah, karena sighat amer termasuk lafad khaash.
metode istinbath hukum syar'i 17
18. c. Demikian halnya, bila lafad khaash dalam bentuk nahy (larangan) maka
menunjukkan hukum tahrim (keharaman) perbuatan yang dicegah
tersebut. Umpamanya: dalam QS. Al-‟An‟am: 151:
“dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali
dengan alasan yang benar…).
Maka lafad nahy pada ayat di atas secara pasti menunjukkan haramnya
menghilangkan nyawa orang lain tanpa ada alasan yang benar, karena
sighat nahy termasuk lafad khaash.
d. Bila lafad khaash itu terdiri dari lafad muthlaq, maka harus difungsikan
kemutlakannya, selama ada dalil atau qarinah yang mengalihkan kepada
arti lain atau memberi batasan artinya. Umpamanya dalam QS. Al-
Maidah: 89:
(maka kaffarahnya (denda pelanggatan sumpah) ialah
memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa
diberikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau
memerdekakan seorang budak…), maka lafad budak tetap pada
difungsikan kemutlakannya karena lafad muthlaq termasuk lafad khaash,
terkecuali ada pebatasan (qayd) seperti pada kaffarah pembunuhan tidak
sengaja dalam QS. An-Nisa: 92:
(maka merdekakanlah seorang budak mukmin…)
metode istinbath hukum syar'i 18
19. Qaidah yang bertalian dengan Khaash
A. Al-Amr ( )
Menurut bahasa:
Menurut syara‟:
(suatu lafad yang menunjukkan terhadap perintah melaksanakan
suatu perbuatan dengan meninggikan aksen suara).
Lafad perintah memiliki tiga kategori:
- Al-Amr ( ): suatu permintaan untuk dikerjakan
datangnya dari atas ke bawah
- Ad-Do‟a‟ ( ): suatu permintaan untuk dikerjakan
datangnya dari bawah ke atas
- Al-Iltimas ( ): suatu permintaan untuk dikerjakan
datangnya dari sesama derajatnya.
metode istinbath hukum syar'i 19
20. Sighat (bentuk kata) Al-Amr:
- (if‟al) atau fi‟il amr:
– (liyaf‟al) atau fi‟il mudhari‟ yang dimasuki “lam amr”:
- (susunan kata berbentuk
khabar (berita) digunakan dalam insya‟ atau perintah):
metode istinbath hukum syar'i 20
21. - Lafad (kutiba „alaa)
- Lafad (amara)
- Lafad yang memberitakan bahwa perbuatan itu untuk
orang mukallaf:
- Lafad yang menunjukan bahwa perbuatan itu baik
(khair) atau (al-birr):
metode istinbath hukum syar'i 21
22. Arti lafad amr:
- lafad amr berarti wajib seperti:
- Berarti nadb atau sunnah :
- Berarti pendidikan
- Berarti petunjuk:
- Berarti ibahah atau boleh:
- Berarti menghardik:
Kaidah Hukum yang ditetapkan dengan Lafad amr
1.
(Pada pokoknya amr itu menunjukkan hukum wajib, terkecuali ada
qarinah atau tanda-tanda yang dapat mengalihkan kepada arti
lain). Menurut pendapat Jumhur Ulama
metode istinbath hukum syar'i 22
23. 2.
(Pada dasarnya amr menunjukkan hukum sunnah), ini menurut golongan
Mu‟tazilah
3.
(Perintah setelah adanya larangan menunjukkan hukum boleh)
sesudah
firman Allah:
Dalam masalah ini (apakah menunjukkan boleh atau wajib) ada tiga
pendapat:
- Syafi‟iyah, Hanabilah dan sebagian Malikiyah: perintah setelah adanya
larangan menunjukkan hukum boleh; setelah
- ayat:
- Hanafiyah (sebagian Syafi‟iyah dan Malikiyah): perintah setelah adanya
larangan menunjukkan hukum wajib;
- Al-Kamal Ibn Al-Umam: dikembalikan kepada hukum asalnya:
karena perintah memerangi orang musyrik
hukum asalnya wajib, kemudian diharamkan pada bulan-bulan haram
tertentu.
metode istinbath hukum syar'i 23
24. 4.
(Pada pokoknya perintah menghendaki kesegeraan atau penundaan)
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat:
- Malikiyah dan hanabilah serta Al-Karakhi dari Hanafiyah: perintah
yang tidak disertai qarinah atau tanda-tanda baik untuk kesegeraan
atau penundaan, maka menunjukkan kesegeraan
- Hanafiyah: perintah yang tidak disertai qarinah atau tanda-tanda
baik untuk kesegeraan atau penundaan, maka menunjukkan
penundaan
- Syafi‟iyah: perintah yang tidak disertai qarinah atau tanda-tanda
baik untuk kesegeraan atau penundaan, maka tidak menunjukkan
kesegeraan atau penundaan.
metode istinbath hukum syar'i 24
25. 5.
- Hanafiyah dan Hanabilah serta pendapat ini diakomodir oleh Ibn
Badran, Al-Razi, Al-Amidi, Ibn Al-Hajib, Al-Baidhawi, Ibn As-Subki
dan kebanyakan Syafi‟iyah: perintah yang tidak disertai qarinah
atau tanda-tanda tidak menunjukkan pengulangan, tetapi sesuai
dengan hakikat dari perintah itu sendiri:
- Malikiyah (Al-Qadhi Abdul Wahab dan Asy-Syairazi):perintah yang
tidak disertai qarinah atau tanda-tanda secara lafdi hanya
menunjukkan sekali, namun memungkinkan untuk berualng kali:
- Al-Isfirani dan Asy-Syairazi dan sekelompok Mutakallimin: perintah
yang tidak disertai qarinah atau tanda-tanda menunjukkan
pengulangan dalam seumur hidup dengan syarat memungkinkan
untuk dilaakukan:
metode istinbath hukum syar'i 25
26. 7. (Perintah terhadap sesuatu, merupakan
larangan terhadap lawannya) seperti: perintah beriman menjadi
larangan untuk mengkafiri.
8. (Perintah terhadap sesuatu merupakan
perintah atas sarana yang menjadi alat pelaksanaannya).
Kaidah yang berhubungan dengan hal ini: (Bagi
sarana itu hukumnya sama dengan yang dituju);
metode istinbath hukum syar'i 26
27. B. An-Nahy (Larangan)
Menurut bahasa: (perintah
meninggalkan secara pasti dan konsisten).
Menurut bahasa:
(suatu lafad yang menunjukkan terhadap perintah mengerjakan suatu
perbuatan dengan meninggikan aksen suara).
Sighat (bentuk kata) Al-Amr:
- Lafad Fi‟il Mudhari‟ dimasuki hurun Lam Nahy ( ) atau
(susunan kata berbentuk khabar (berita) digunakan
dalam larangan):
- Kata “nahy” :
- Kata “haram” :
- Kata perintah untuk meninggalkan:
- Kata yang menunjukkan penafian terhadap perbuatan:
metode istinbath hukum syar'i 27
28. Arti Lafad Nahy:
- Lafad Nahy menunjukkan kepada hukum haram:
- Menunjukkan kepada hukum makruh:
- Menunjukkan irsyad (petunjuk/bimbingan):
- Untuk do‟a:
- Untuk kelanggengan:
- Menerangkan akibat :
- Dsb.
Kaidah Hukum yang ditetapkan dengan Lafad Nahy
1.
(Pada pokoknya larangan itu menunjukkan hukum
haram, terkecuali ada qarinah atau tanda-tanda yang dapat
mengalihkan kepada arti lain):
metode istinbath hukum syar'i 28
29. 2. (Pada pokoknya dalam
nahy yang mutlak menghendaki perulangan atau kesegeraan):
- Ar-Razi, Al-Baidhawi: Larangan tidak menghendaki adanya
perulangan atau kesegeraan, karena terkadang larang tersebut
tidak mengehndaki kedua hal hal tersebut, seperti dikala dokter
mengatakan: jangan minum susu atau jangan makan daging.
- Al-Amidi, Ibnul Hajib dan Al-Qarafi: Larangan itu menghendaki
adanya perulangan atau kesegeraan, seperti jika dikatakan jangan
lakukan itu, maka mengehndaki perulangan dan
kesegeraan, apalagi kalau disertai dengan syarat seperti:
metode istinbath hukum syar'i 29