1. OBAT MURAH BIKIN GERAH
Sejak diluncurkannya pada tanggal 8 Mei 2007 oleh Menkes RI tentang kebijakan
obat murah yang dikenal dengan “Program Obat Rakyat Murah dan Berkualitas” atau
sering disebut juga Obat Indo Serbu (serba seribu), sebenarnya sampai dengan bulan Juni
penjualan produk jenis ini di Jateng telah mencapai 670 ribu strip atau senilai Rp 670
juta. Pendistribusian ini baru mencapai 80% dari sekitar 900-an apotek, sedangkan untuk
toko obat dan warung rombong, baru sekitar 40% saja.(SM, 18 Juni 2007).
Akan tetapi dari informasi terakhir ternyata keberadaan obat murah seharga Rp. 1000
per strip saat ini sulit dijumpai di pasaran. Tidak ada obat murah ini menurut laporan dari
salah satu anggota Komisi E DPRD Jateng karena setelah diluncurkan oleh Depkes
langsung diborong oleh produsen obat, disisi lain Dinkes Propinsi Jateng yang
seharusnya bertanggung jawab mengawasi peredaraan obat murah ini justru terkejut
mendengar laporan tersebut dan berjanji akan menyelidiki kasus ini (SM, 26 Oktober
2006).
Saling Tuding
Sebenarnya warta tentang hilangnya obat murah dari peredaran di pasar sudah pernah
dialami terutama di wilayah Jakarta sejak bulan Juni lalu atau sekitar satu bulan sejak
diluncurkannya program tersebut. Hal ini diakui sendiri oleh Menkes RI bahkan lebih
khusus dia menyatakan bahwa beberapa produsen obat yang takut bersaing telah
memborong obat murah ketika dalam proses distribusi. Menteri pun mengaku sudah
memarahi beberapa perusahaan yang diduga melakukan tindakan yang merugikan rakyat
itu. Namun disayangkan sampai saat ini fenomena kelangkaan obat murah ternyata masih
saja terus berlanjut bahkan juga dirasakan di daerah lain.
Penilaian dari salah satu anggota Komisi IX DPR RI tentang reaksi Menkes tersebut
dianggap masih kurang tegas karena Menkes hanya akan menegur para spekulan,
seharusnya Menkes segera melapor ke polisi untuk ditindaklanjuti. Para wakil rakyat ini
berencana akan segera memanggil Menkes maupun perusahaan farmasi yang diduga
melakukan pemborongan obat murah tersebut. Namun sampai sekarang masih belum ada
kepastian kabar sampai dimana kelanjutan dari kasus ini.
Menurut versi lain yaitu dari beberapa penjual obat di Pusat Penjualan Obat Pasar
Pramuka Jakarta tentang penyebab kelangkaan obat murah ini disebabkan PT Indofarma
2. mengaku kehabisan stock sehingga distribusinya menjadi tersendat.. Dari sedikitnya 43
toko obat yang telah menjadi Apotek Rakyat di Pasar Pramuka, paling banyak, hanya tiga
apotek yang menjual obat murah. Selain itu mereka merasa bahwa belum ada sosialisasi
yang sungguh-sungguh tentang obat murah ini sehingga masyarakat masih banyak yang
tidak tahu.
Dugaan kehabisan stok dan ketidak lancaran distribusi obat murah dari para pedagang
obat ternyata langsung dibantah keras oleh Direktur PT Indofarma Tbk. Sjamsul Arifin
selaku produsen tunggal obat murah, dia mengklaim kapasitas obat yang dijual bebas
termasuk obat murah akan ditambah menjadi dua kali lipat, dari saat ini 20 persen,
sehingga kebutuhan masyarakat akan obat murah tetap berusaha selalu dipenuhi oleh PT
Indofarma Tbk
Akibat Monopoli
Total anggaran dari pemerintah untuk memproduksi obat murah tahun 2007 sebesar
Rp1,8 triliun yang berarti hampir enam kali lipat dari anggaran tahun sebelumnya. Obat
yang ditujukan bagi 75 juta penduduk lapis bawah itu diproduksi dan didistribusikan PT
Indofarma. Saat ini ada sepuluh obat yang telah diluncurkan yaitu Indo Obat Batuk dan
Flu, Obat Flu, Batuk Berdahak, Asma, Penurun Panas Anak, Penurun Panas, Tambah
Darah, Maag, Sakit Kepala, dan Indo Obat Batuk Cair., dan segera menyusul dua lagi
yang sudah terdaftar di BPOM. Nantinya total akan ada 20 jenis obat.
Obat-obat itu selanjutnya tidak hanya akan dijual di apotek yang berada di rumah
sakit dan apotek umum saja, namun juga akan dijual di pasar-pasar non panel, seperti
warung obat, toko obat atau melalui dokter yang melakukan praktek "dispensing"
(pemberian obat langsung kepada pasien saat berkonsultasi). Harganya akan
diseragamkan Rp1.000 per paket sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
merupakan harga eceran tertinggi di seluruh wilayah Indonesia. Pihak PT Indofarma Tbk
juga akan memberikan marjin sebesar 20 persen di tingkat pengecer dan 10 persen di
tingkat distributor dan subdistributor.
Pada kenyataannya dari berbagai laporan menunjukkan indikasi yang sebaliknya.
Perusahaan itu ternyata menempuh kebijakan tidak melayani permintaan dalam partai
kecil. Dari hasil penelusuran tentang kinerja Indofarma kini baru memproduksi untuk
pasar Jabotabek lewat 2.300 apotek dan toko obat. Padahal, di Jabotabek ada sedikitnya
3. 137 ribu toko obat dan apotek. Sebagai distributor, Indofarma juga tidak bisa menjangkau
toko obat kecil dan warung-warung (Media Indonesia Online, Juni 2007). PT Indofarma
Tbk selaku produsen utama/tunggal obat murah memang akan mendistribusikan obat
murah melalui anak perusahaannya PT Indofarma Global Medika.. Seharusnya dengan
berperan sebagai produsen sekaligus distributor maka proses distribusi akan menjadi
relatif lebih mudah terkontrol dan efisien sehingga peredaran obat murah dapat berjalan
lancar sampai ke pengecer. Distribusi obat dari pabrik umumnya dikirim ke distributor,
baru kemudian dijual ke tingkat grosir dan ritel hingga ke warung-warung.
Akibat dari praktek monopoli dalam produksi dan distribusi obat murah ini memaksa
pemerintah untuk mengeluarkan terobosan baru dengan mendorong BUMN farmasi
diluar Indofarma untuk segera ikut aktif memproduksi obat murah. Menkes RI
menegaskan Indofarma bukan lagi satu-satunya produsen obat murah. Menurut rencana
ada dua BUMN lain yang akan terlibat yaitu PT. Phapros dan PT Kimia Farma (Kompas
Online, 13 Juni 2007). Hal ini menunjukkan praktek monopoli dalam produksi dan
distribusi dari obat murah justru secara nyata akan mengancam keberlangsungan dari
program obat murah yang baru saja diluncurkan.
Gengsi Tinggi
Hambatan lain terhadap keberhasilan program obat rakyat murah ternyata juga
berasal dari masih lemahnya pengetahuan dan kepercayaan dari masyarakat/konsumen.
Peneliti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Pusat Dra Ida Marlinda
MSi Apt menilai “Obat Rakyat” yang murah akan sulit dipercaya rakyat. “Itu akibat
‘Obat Rakyat’ mirip obat generik yang sudah dikenal,” ujarnya saat berbicara dalam
seminar di Fakultas Farmasi (FF) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. (Republika
Online, 27 Juli 2007). Tingkat kesalah pahaman tentang obat murah/obat generik selama
ini oleh masyarakat masih sangat memprihatinkan. Obat murah/generik dipersepsikan
sebagai obat yang tidak bermutu dan hanya layak dikonsumsi oleh kalangan yang miskin.
Akibat daya beli masyarakat yang masih rendah akan berpengaruh pada tingkat
konsumsi obat per-kapita dari penduduk Indonesia. Saat ini hanya sekitar US $ 8,80
sedangkan di Malaysia US$20, Filipina US$14, dan Singapura US$90. Dilihat dari
kontribusinya pada tahun 2007 obat murah/generik hanya menyumbang 9,17 persen dari
4. konsumsi obat dan hal ini menunjukkan penurunan yang cukup tajam dibandingkan tahun
lalu sebesar 10,3 persen.
Obat murah/generik pada 2006 angka penjualannya diperkirakan mencapai Rp2,66
triliun, atau hanya 11% dari total pasar farmasi nasional. Padahal obat murah ini
jumlahnya hanya 300 item dari 9.000 jenis obat yang beredar di dalam negeri dan
menjadi satu-satunya produk obat yang harganya dapat dikontrol pemerintah. Meskipun,
harga obat ini jauh lebih murah dibanding obat paten dan bermerek lainnya tetapi
anehnya di Indonesia yang nota bene pendapatan per kapitanya tidak terlalu tinggi
ternyata penduduknya masih memiliki “gengsi tinggi” untuk mengkonsumsi obat
murah /generik. Sebagai perbandingan tingkat konsumsi obat generik di Hong Kong
sudah mencapai 25%, Singapura 25%, Taiwan 70%, Malaysia 20%, Thailand 25%,
Jerman 40%, dan AS 40%. (Warta Ekonomi.com, 23 Mei 2007)
Pro Kontra
Harapan agar masyarakat luas terutama yang miskin terjamin aksesnya untuk
mendapatkan obat murah dan berkualitas melalui program obat ”seceng” ini sebenarnya
tidak bisa dipisahkan dengan beberapa kebiajakan pro poor lain di bidang farmasi dari
pemerintah. Depkes RI sejak tahun 2005 telah berusaha meregulasi sektor farmasi dengan
mengeluarkan SK No. 720/Menkes/SK/IX/2006 tentang penurunan harga 480 item obat
generik berlogo hingga mencapai 70%, plus Peraturan Menteri Kesehatan No.
069/Menkes/SK/II/2006 tentang pencantuman harga eceran tertinggi obat generik. Akan
tetapi kelihatannya beberapa upaya ini akan terus mendapatkan “perlawanan” dari
berbagai pihak yang telah lama merasakan “kue” dari perdagangan farmasi di tanah air.
Kondisi diatas tidak terlepas dari masih kentalnya praktek oligopoli dan kartel dalam
perdagangan dan industri farmasi di Indonesia. Sehingga harga obat selama ini cenderung
dikuasai dan ditentukan sejumlah kecil industri Keberadaan sistem kartel dalam industri
pabrik obat telah mengambil keuntungan terlalu besar (Batam Pos, 3 Oktober 2007)
Bahkan secara spesifik Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia,
Anthony Ch Sunarjo menginginkan pemerintah tidak usah mengintervensi harga obat
generik bermerek dan minta agar masalah harga diserahkan pada mekanisme pasar yaitu
melalui asuransi kesehatan. (Tempo Interaktif, 21 Juni 2005). Hal ini mungkin dikaitkan
dengan akibat kebijakan tersebut berdampak pada kinerja industri farmasi nasional yang
5. cenderung menurun. Akan tetapi dari berbagai data diperkirakan kinerja industri farmasi
nasional pada 2007 ini tetap akan tumbuh 3%–5%. Sedangkan konsumsi obat per kapita
di Indonesia juga terus meningkat. Jika pada 2004 konsumsi per kapita US$8,2, pada
2005 naik menjadi US$8,8 dan pada 2006 sebesar US$9 per tahun. Sebagai gambaran
tambahan “kue industri” farmasi pada 2005 di Indonesia ternyata menduduki posisi
teratas di wilayah ASEAN, yaitu US$2,28 miliar, disusul Filipina US$1,39 miliar,
Thailand US$1,25 miliar, Vietnam US$447 juta, Malaysia US$403 juta, dan Singapura
US$342 juta..(Warta Ekonomi.com, 23 Mei 2007)
Tuntutan lain dari para pengusaha farmasi di tanah air adalah keinginan mendapatkan
insentif dari perpajakan. Faktor pajak menjadi salah satu alasan banyak perusahaan
farmasi yang enggan memproduksi obat generik. Alasannya, perusahaan akan rugi 20
persen jika memproduksi obat generik. Sebab, untuk mengimpor bahan baku obat saja,
perusahaan harus membayar bea masuk 7,5 persen dan pajak pertambahan nilai 10
persen. (Koran Tempo.com, 26 Juli 2007)
Tanggapan muncul dari pemerintah melalui Presiden Yudhoyono ketika membuka
Musyawarah Nasional Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia ke-13 di Istana
Negara, Jakarta yang mengharapkan agar ada kebijakan harga obat-obatan yang sama di
seluruh Tanah Air. Persoalan insentif pajak katanya bisa dibicarakan agar perusahaan
farmasi bisa terus memproduksi obat yang murah untuk masyarakat. Lebih lanjut
Presiden meminta sejumlah menteri seperti Menkes, Menperin, Mendag, Menneg
BUMN, dan Menkeu untuk duduk bersama GP Farmasi merumuskan kebijaksanaan atau
`policy` yang tepat, sehingga tujuan di bidang farmasi, baik dari sisi bisnis dan sosial bisa
tercapai. Meskipun demikian yang harus digaris bawahi tentang kemungkinan pemberian
insentif pajak tersebut bahwa hanya akan diberikan bagi perusahaan farmasi yang mau
dan mampu memproduksi obat murah secara berkualitas. Karena apabila tidak hati-hati
maka yang terjadi adalah meski produksi obat murah akan membanjiri pasar namun
dampak resiko akibat peredaran obat “ecek-ecek” akan jauh lebih besar dibandingkan
manfaat yang ada. Pemerintah akan rugi karena sumber pendapatan pajak berkurang dan
yang lebih tragis lagi untuk kesekian kalinya masyarakat miskinlah yang nanti tetap
menjadi korbannya.
(Sutopo Patria Jati, staf dosen FKM UNDIP)