Globalisasi berpengaruh besar terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Pendidikan Indonesia harus meningkatkan mutu agar bisa bersaing di kancah global. Namun, pendidikan Indonesia saat ini menghadapi tantangan berupa paradigma pendidikan yang sekular-materialistik dan biaya pendidikan yang terus meningkat.
1. DAMPAK GLOBALISASI
TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Bahasa Indonesia Keilmuan
yang dibina oleh Bapak Drs. Sunoto M. Pd.
OLEH
FINA FAIZAH
108231410612
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA
ARAB
NOVEMBER 2009
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak
mengenal batas wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari
gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain
yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman
bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses
globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu dimensi ruang dan waktu.
Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi,
politik, ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan
komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini,
teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai bentuk
dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi
tidak dapat dihindari kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.
Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara
termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif
dan negatif, pengaruh globalisasi meliputi segala aspek kehidupan terutama pada
masalah pendidikan diIndonesia. Ada dua isu kritis yang perlu kita sikapi
sehubungan dengan perspektif globalisasi dalam kebijakan pendidikan di
2. Indonesia yaitu: siapkah dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?dan
bagaimanakah cara penyesuian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang
ini?. Oleh sebab itu untuk melawan globalisasi terutama dalam pendidikan, kita
harus bisa menjaga eksistensi sekolah. Demikianlah, semoga kita dapat
mengarungi derasnya gelombang globalisasi dan kita tidak tenggelam dalam
gelombang itu.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa dampak globalisasi dalam dunia pendidikan?.
2. Bagaimana perkembangan globalisasi pada saat ini?.
3. Seperti apa pendidikan di Indonesia saat ini?.
4. Bagaimana cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang
ini?.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Bagi Penulis
Disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah
Bahasa Indonesia Keilmuan.
2. Bagi Pembaca
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap
dunia pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Globalisasi
Globalisasi telah menjadi sebuah kata yang memiliki makna tersendiri yang
seringkali kita baca dan dengar. Banyak pengguna istilah globalisasi
memahaminya berbeda dari makna yang sesungguhnya. Realitas semacam ini bisa
diterima mengingat tidak ada definisi yang tunggal terhadap globalisasi.
R. Robertson (1992:8) misalnya, merumuskan globalisasi sebagai:"... the
compression of the world and the intensification of consciousness of the world as
a whole."
P. Kotter (1995:42) mendeskripsikan globalisasi sebagai, "...the product of many
forces, some of which are political (no major was since 1945), some of which are
technological (faster and cheaper transportation and communication), and some
3. of which are economic (mature firms seeking growth outside their national
boundaries)."
Tetapi, dalam tulisan ini kita cenderung mengutip pendapat J.A. Scholte
(2002:15-17) yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada lima kategori pengertian
globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur. Kelima kategori definisi
tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun
masing-masing mengandung unsur yang khas.
1. Globalisasi sebagai internasionalisasi
Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang sekedar `sebuah kata sifat
(adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas dari berbagai negara'.
la menggambarkan pertumbuhan dalam pertukaran dan interdependensi
internasional. Semakin besar volume perdagangan dan investasi modal, maka
ekonomi antar-negara semakin terintegrasi menuju ekonomi global di mana
`ekonomi nasional yang distingtif dilesap dan diartikulasikan kembali ke dalam
suatu sistem melalui proses dan kesepakatan internasional'.
2. Globalisasi sebagai liberalisasi
Dalam pengertian ini, “globalisasi” merujuk pada sebuah proses penghapusan
hambatan-hambatan yang dibuat oleh pemerintah terhadap mobilitas antar negara
untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang terbuka dan tanpa-batas. Mereka
yang berpendapat pentingnya menghapus hambatan-hambatan perdagangan dan
kontrol modal biasanya berlindung di balik mantelglobalisasi.
3. Globalisasi sebagai universalisasi
Dalam konsep ini, kata global digunakan dengan pemahaman bahwa
proses mendunia dan globalisasi merupakan proses penyebaran berbagai objek
dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru dunia. Contoh klasik dari
konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer, televisi, internet, dll.
4. Globalisasi sebagai westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk
yang Americanised)
Globalisasi dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana
struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme,
birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya
cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-
determination rakyat setempat.
4. 5. Globalisasi sebagai penghapusan batas-batas teritorial (atau sebagai persebaran
supra-teritorialitas)
Globalisasi mendorong rekonfigurasi geografis, sehingga ruang-sosial tidak lagi
semata dipetakan dengan kawasan teritorial, jarak teritorial, dan batas-batas
teritorial. Dalam konteks ini, globalisasi juga dipahami sebagai sebuah proses
(atau serangkaian proses) yang melahirkan sebuah transformasi dalam spatial
organisation dari hubungan sosial dan transaksi-ditinjau dari segi ekstensitas,
intensitas, kecepatan dan dampaknya yang memutar mobilitas antar-benua atau
antar-regional serta jaringan aktivitas.
Globalisasi bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan
ekonomi, sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan
waktu. Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal yang
berkaitan dengan ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi,
transportasi, dll.
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia
pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga
pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global
maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan,
baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan
agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan
bermoral yang dipersiapkan untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah
globalisasi, menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit jumlahnya bagi
masyarakat. Paling tidak, ada tiga dampak negatif yang akan terjadi dalam dunia
pendidikan kita. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan
komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda
dunia. Paradigma dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan
memperluas bentuk-bentuk usaha secara terus-menerus. Globalisasi mampu
memaksa liberalisasi berbagai sektor yang dulunya non-komersial menjadi
komoditas dalam pasaar yang baru. Tidak heran apabila sekolah masih
membebani orang tua murid dengan sejumlah anggaran berlabel uang komite atau
uang sumbangan pengembangan institusi meskipun pemerintah sudah
menyediakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan
untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank,
mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus
5. berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah
diamandemenkan, UU Sisidiknas, dan PP 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma pendidikan
dari coraksentralistis menjadi desentralistis.
Ketiga, globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan
orientasi pendidikan. Pemanfaatan teknologi baru, seperti computer dan internet,
telah membawa perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang
tradisional. Pemanfaatan multimedia yang portable dan menarik sudah menjadi
pemandangan yang biasa dalam praktik pembelajaran di dunia persekolahan kita.
Di sinilah bahwa pendidikan menjadi agenda prioritas kebangsaan yang tidak bisa
ditunda-tunda lagi untuk diperbaiki seoptimal mungkin.
2.2 Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia
2.2.1 Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan,
dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam
ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang berkepribadian
sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains
dan teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada
pendidikan agama melalui madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola
oleh Departemen Agama; sementara pendidikan umum melalui sekolah dasar,
sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa
pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan
dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama. Pembentukan karakter
siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang
tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang
perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh aspek.
Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang
menguasai sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan
tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta
didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta
agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan
pendidikan agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun
bagus, tetapi buta dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern
diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri,
karena tidak mampu terjun ke sektor modern.
6. 2.2.2 Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan
masyarakat. Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam
pendidikan yang bermutu. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak
(TK) sampai Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak
lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis
Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas
modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala
pungutan disodorkan kepada wali murid sesuai keputusan komite sekolah. Namun
dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena komite sekolah adalah orang-
orang dekat kepada sekolah.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat
besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melempar
tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang
sosoknya tidak jelas.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar
(Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti
Pemerintah telah melegitimasi komersalialisasi pendidikan dengan menyerahkan
tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya
sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang
mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat
semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya
siapa yang seharusnya membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah
untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataan Pemerintah
justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
7. Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut.
Mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu,
tujuan pendidikan menjadi bergeser. Awalnya, pendidikan adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan
kelas sosial. Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan
kemudian menjadi perdagangan bebas (free trade).
Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun
ajaran masuk sekolah dengan bentuk pendidikan diskriminatif
sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan
bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi
kepentingan pribadi maupun golongan per se.
2.2.3 Kualitas SDM yang Rendah
Akibat paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas
kepribadian anak didik di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian
pun sangat jauh jika dibandingkan dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan
India, sebuah Negara dengan segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi,
pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal.
India dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia
masih dibayang-bayangi pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik
yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di
pasar Internasional.
Di samping kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di
Indonesia masih kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1.
berikut menjelaskan tentang kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan
SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih membutuhkan
sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga
pendidikan keguruan.
2004 2005
KEBUTUHAN
KEBUTUHAN PENSIUN KEBUTUHAN PENSIUN
TK 893 187 1,080 260 1,340
SD 63,144 20,399 83,543 23,918 107,461
SMP 57,537 4,707 62,244 6,270 68,514
SMU 26,120 1,498 27,618 1,685 29,303
SMK 9,972 1,073 11,045 1,175 12,220
TOTAL 157,666 27,864 185,530 33,308 218,838
Tabel 1. Kekurangan guru untuk Tahun 2004 dan 2005
(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)
8. Dalam
menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia
dengan latar belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber
daya manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal (tabel 2).
Tabel 2. Tantangan pendidikan non Formal
(Sumber Data: Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004)
2.2.4 Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi
Dari tulisan di atas, kita bisa menyimpulkan, pertama, bahwa dalam berbagai
takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi.
Belum siap tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global
tersebut. Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan
memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi
khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan
kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua, dunia
pendidikan kita menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di
atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.
Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam
pendidikan anak dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari
pendidikan formal anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga
memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat
kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahandunia pendidikan
nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena
mendidik itu ternyata tidak mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar
kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi peranan keluarga ini,
kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi,
9. maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa
kita sehingga mampu bersaing di atas gelombang globalisasi ini.
Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning,repositioning strategy,
dan leadership. Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari
transformasi yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang
juga jelas, dan komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk
mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit
kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang
dalam globalisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh perkembangan globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat. Era pasar bebas juga merupakan tantangan bagi dunia
pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan dan tenaga
pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global
maka kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan,
baik akademik maupun non-akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan
agar lebih produktif dan efisien serta memberikan akses seluas-luasnya bagi
masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.
Paling tidak, ada tiga dampak globalisasi yang akan terjadi dalam dunia
pendidikan. Pertama, dunia pendidikan akan menjadi objek komoditas dan
komersil seiring dengan kuatnya hembusan paham neoliberalisme yang melanda
dunia. Kedua, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Ketiga,
globalisasi akan mendorong delokasi dan perubahan teknologi dan orientasi
pendidikan.
Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah
sistem pendidikan yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada
UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan
mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan,
10. dan khusus dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan umum.
Cara penyesuaian pendidikan Indonesia di era globalisasi sekarang ini
adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Tanpa itu semua, kita
tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus berputar-putar. Dengan
visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta
kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin
Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan
jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.
3.2 Kritik dan Saran
Penulis menyarankan kepada pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu
SDM yang berkualitas dan bermoral agar dapat lebih siap untuk menerima
dampak positif maupun dampak negatif dari adanya globalisasi. Peningkatan mutu
SDM bisa ditingkatkan melalui program pendidikan gratis bagi masyarakat yang
kurang mampu.
Hendaknya pemerintah juga lebih memperhatikan tentang dampak globalisasi,
karena dampak globalisasi tidak hanya merugikan warga negaranya, akan tetapi
hal itu juga dapat berimbas pada pemerintah sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Edison, A. Jamli, dkk. 2005. Kewarganegaraan. Malang: FIP UNIVERSITAS
NEGERIMALANG.
Scholte, J. A. (2000). Globalization: A critical Introduction. London: Palgrave,
hal. 15-17.
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/07/27/(Online)
(18212767/otonomi pendidikan belum membawa perbaikan. diakses 12
Oktober 2009).
Achmad, Fandi. 2 Juni 2007. Korban Otonomi Pendidikan. Jawa Pos.
Majalah Al waie. No. 59 tahun V 1-31 Juli 2005. Dampak Globalisasi dalam
Dunia Pendidikan di Indonesia.
Kompas. 10 Mei 2005.
Mukhtar, Yanti. 10 Mei 2005. Privatisasi Pendidikan. Republika.
R. Robertson (1992). Globalization: Social Theory and Global Culture. London:
Sage Publications, hal. 8.
Kotter, P. (1955). The New Rules How to Succeed in Today's Post-Corporate
World. New York: The Free Press, p. 42.
Jalal, Fasli. Reformasi Pendidikan, Dalam Konteks Otonomi Daerah. Penerbit
Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa
11. Hana Kristina Purba
Maria Husnun Nisa
1. Pendahuluan
Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak
mengenal batas wilayah.Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari
gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa
lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi
pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia. (Menurut Edison A.
Jamli dkk.Kewarganegaraan.2005) Globalisasi ditandai oleh ambivalensi –
yaitu tampak sebagai “berkah” di satu sisi tetapi sekaligus menjadi “kutukan”
di sisi lain. Tampak sebagai “kegembiraan” pada satu pihak tetapi sekaligus
menjadi “kepedihan” di pihak lainnya. Globalisasi pendidikan di Indonesia juga
ditandai oleh ambivalensi yaitu berada pada kebingungan, karena ingin
mengejar ketertinggalan untuk menyamai kualitas pendidikan Internasional,
kenyataannya Indonesia belum siap untuk mencapai kualitas tersebut. Padahal
kalau tidak ikut arus globalisasi ini Indonesia akan semakin tertinggal.
Munculnya istilah globalisasi/liberalisasi pendidikan tinggi bermula dari WTO
yang menganggap pendidikan tinggi sebagai jasa yang bisa diperdagangkan
atau diperjualbelikan. Tiga negara yang paling mendapatkan keuntungan besar
dari liberalisasi jasa pendidikan adalah Amerika Serikat (AS), Inggris, dan
Australia (Enders dan Fulton, Eds., 2002, hh 104-105).
Menurut pembukaan UUD 1945 alinea ke-4, pendidikan nasional bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Sementara pada pasal 28 B ayat (1)
mengamanatkan bahwa “Setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan mendapatkan
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya, demi kesejahteraan umat manusia” dan pasal
31 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan”
Konstitusi itu menunjukkan kalau rakyat mempunyai kedudukan yang sama
untuk dan di dalam memperoleh pendidikan yang tepat yang bisa
membebaskannya dari kebodohan atau bisa mengantarkannya menjadi
manusia-manusia berguna. Kata “setiap” dalam konstitusi tersebut artinya
setiap orang, tanpa membedakan gender, strata sosial, etnis, golongan, agama
dan status apapun berhak untuk memperoleh perlindungan di bidang
pendidikan. Hak pendidikan menjadi hak setiap warga negara, karena jika hak
ini berhasil diimplementasikan dengan baik, maka bangsa ini pun akan
memperoleh kemajuannya. Karena pendidikan merupakan pondasi kehidupan
bernegara. Pendidikan memiliki peran kunci dan strategis dalam memajukan
sebuah bangsa. Dari pendidikan sebuah bangsa bisa dibuat maju atau mundur
ke belakang.
12. Berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa pendidikan formal di
Indonesia bermula dari TK selama dua tahun dilanjutkan Sekolah Dasar hingga
kelas enam. Lulusan sekolah dasar melanjut ke sekolah menengah pertama
selama tiga tahun dan sekolah menengah atas tiga tahun berikutnya. Lulusan
SMU dapat memilih untuk memperoleh gelar diploma atau sarjana atau bentuk
pendidikan tinggi lain.
Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia bisa dilihat dari tiga hal :
• Masalah peningkatan mutu manusia dan masyarakat Indonesia
• Kedua, menyangkut masalah globalisasi
• Perkembangan dan kemajuan teknologi.
Pendidikan merupakan aspek penting dalam era globalisasi. Tiga persoalan ini
sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia pendidikan. Sebab
peningkatan SDM, yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama pendidikan,
sangat dipengaruhi faktor globalisasi dan teknologi. Pengaruh globalisasi,
kemajuan teknologi dan informasi serta perubahan nilai-nilai sosial harus
diperhitungkan dalam penyelenggaran pendidikan, apalagi tanggung jawab
dunia pendidikan untuk mencapai tujuan pokok melahirkan manusia yang
berkualitas
Pendidikan mulai diperhitungkan lebih serius sebagai tonggak utama dalam
pertumbuhan dan pembangunan dalam konsepsi knowledge economy,
terutama karena terjadinya pergeseran besar dari orientasi kerja otot (muscles
work) ke kerja mental (mental works). Dalam konsepsi ini, peranan dan
penguasaan informasi sedemikian vitalnya, sehingga kebutuhan dalam proses
pengumpulan, penyaringan, dan analisa informasi menjadi sedemikian
penting.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin
kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi dunia
pendidikan. Teknologi berkembang sangat pesat, pemerintah juga jadi
kerepotan dan akhirnya mengubah kurikulum pendidikan di Indonesia
disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Padahal kurikulum di Indonesia
itu sudah berulang kali dimodifikasi, bahkan diubah-ubah. Bahkan sering ada
anggapan bahwa setiap kali ganti menteri tentu ganti kurikulum. Yang lebih
membingungkan lagi, setiap terjadi perubahan pendekatan atau teori selalu
disertai dengan berbagai jargon dan istilah-istilah baru. Dulu CBSA (Cara
Belajar Siswa Aktif), kemudian link and match, kemudian KBK (Kurikulum
Berbasis Kompetensi) dan terakhir adalah KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan). Berikutnya entah berbasis apa lagi. Ujungnya selalu saja ganti
buku, ganti cara membuat persiapan mengajar, ganti cara ulangan, ganti cara
tampil di kelas dan sebagainya. Bahkan, sering terjadi, kurikulum telah
dimodifikasi lagi ketika kurikulum lama belum sampai di sekolah.
Menurut Alex Maryunis Kurikulum itu terdiri dari: alat dasar; dokumen tertulis;
pelaksanaan dan hasil belajar. Yang sering digonta ganti dan dimodifikasi atau
diubah-ubah itu adalah pada dokumen tertulisnya. Gonta ganti kurikulum
memperlihatkan bagaimana pendidikan dibereskan dengan metode tambal
sulam.
2. Dampak Globalisasi dalam dunia Pendidikan
Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini mulai
melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini
terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan
13. diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan bahasa Mandarin
sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai
dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang
membuka program kelas internasional. Globalisasi pendidikan dilakukan untuk
menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin ketat.
Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat
bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan diterapkannya perdagangan
bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau dunia
pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak
menjadi “budak” di negeri sendiri. Pendidikan model ini juga membuat siswa
memperoleh keterampilan teknis yang komplit dan detil, mulai dari bahasa
asing, computer, internet sampai tata pergaulan dengan orang asing dan lain-
lain. sisi positif lain dari liberalisasi pendidikan yaitu adanya kompetisi.
Sekolah-sekolah saling berkompetisi meningkatkan kualitas pendidikannya
untuk mencari peserta didik.
Globalisasi seperti gelombang yang akan menerjang, tidak ada kompromi,
kalau kita tidak siap maka kita akan diterjang, kalau kita tidak mampu maka kita
akan menjadi orang tak berguna dan kita hanya akan jadi penonton saja.
Akibatnya banyak Desakan dari orang tua yang menuntut sekolah
menyelenggarakan pendidikan bertaraf internasional dan desakan dari siswa
untuk bisa ikut ujian sertifikasi internasional. Sehingga sekolah yang masih
konvensional banyak ditinggalkan siswa dan pada akhirnya banyak pula yang
gulung tikar alias tutup karena tidak mendapatkan siswa.
Implikasinya, muncullah :
• Home schooling, yang melayani siswa memenuhi harapan siswa dan orang
tua karena tuntutan global
• Virtual School dan Virtual University
Munculnya alternatif lain dalam memilih pendidikan
• Model Cross Border Supply, yaitu pembelajaran jarak jauh (distance
learning), pendidikan maya (virtual education) yang diadakan oleh Perguruan
Tinggi Asing ; contohnya United Kingdom Open University dan Michigan
Virtual University.
• Model Consumption Aboard, lembaga pendidikan suatu negara menjual jasa
pendidikan dengan menghadirkan konsumen dari negara lain; contoh : yaitu
hadirnya banyak para pemuda Indonesia menuntut ilmu membeli jasa
pendidikan ke lembaga-lembaga pendidikan ternama yang ada di luar negeri.
• Model Movement of Natural Persons. Dalam hal ini lembaga pendidikan di
suatu negara menjual jasa pendidikan ke konsumen di negara lain dengan cara
mengirimkan personelnya ke negara konsumen. Contohnya dengan
mendatangkan dosen tamu dari luar negeri bekerja sama dengan perguruan
tinggi yang ada di Indonesia (tidak gratis tentunya).
• Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan oleh lembaga di
suatu negara bagi konsumen yang berada di negara lain dengan mewajibkan
kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara tersebut.
Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi,
sehingga dapat masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat
membutuhkan kombinasi antara kemampuan otak yang mumpuni disertai
dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu kuncinya adalah
globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa
Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya
selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak dapat kita
pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di bawah
garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan
14. kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu
saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum
dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat
menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah
air diperlukan dana lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat
dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju
semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan
dan tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat
menyeret mereka dalam jurang kemiskinan. Masyarakat kelas atas
menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat masyarakat
golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar
menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu
kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas
pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam
masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak
diredam.
Selain itu ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bertaraf
internasional dan ketidaksiapan guru yang berkompeten dalam
menyelenggarakan pendidikan tersebut merupakan perpaduan yang klop
untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap pula berkompetisi di era
globalisasi ini alias lulusan yang kurang berkualitas. Seperti yang dilansir
KOMPAS.com tanggal 28 Oktober 2009 menyebutkan bahwa tiga hasil studi
internasional menyatakan, kemampuan siswa Indonesia untuk semua bidang
yang diukur secara signifikan ternyata berada di bawah rata-rata skor
internasional yang sebesar 500. Jika dibandingkan dengan siswa internasional,
siswa Indonesia hanya mampu menjawab soal dalam kategori rendah dan
sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada yang dapat menjawab soal yang
menuntut pemikiran tingkat tinggi. hasil tiga studi tersebut mengemuka dalam
seminar Mutu Pendidikan dan Menengah Hasil Penelitian Puspendik 2009 di
Gedung Depdiknas, Jakarta, Rabu (28/10). Masih dalam Kompas.com tanggal
28 Oktober 2009 menyebutkan salah satu penelitian yang mengungkap
lemahnya kemampuan siswa, dalam hal ini siswa kelas IV SD/MI, adalah
penelitian Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yaitu studi
internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia yg
disponsori oleh The International Association for the Evaluation Achievement.
Hasil studi menunjukkan bahwa rata-rata anak Indonesia berada pada urutan
keempat dari bawah dari 45 negara di dunia. Demikian hasil studi tersebut
dipaparkan dalam laporan penelitian “Studi Penilaian Kemampuan Guru
Melalui Video dengan Memanfaatkan Data PIRLS” oleh Prof Dr Suhardjono dari
Pusat Penelitian Pendidikan Depdiknas di Jakarta, Rabu (28/10). Dalam laporan
tersebut, Suhardjono menuturkan, muara dari lemahnya pembelajaran
membaca patut diduga karena kemampuan guru dan kondisi sekolah.
Dalam lansiran lain di Kompas.com tanggal 19 Juni 2009 Ir Hafilia R. Ismanto
MM., Direktur Bidang Akademik LBPP LIA, menyebutkan bahwa sampai saat ini
masih banyak guru belum berhasil untuk dijadikan role model sebagai
pengguna Bahasa Inggris yang baik, penyebab hal tersebut karena selama ini
pihak sekolah dan guru belum melakukan pendekatan integrasi antara content
atau mata pelajaran dan Bahasa Inggris. Tidak semua guru mata pelajaran bisa
diberdayakan untuk memberikan materi berbahasa Inggris, kecuali para guru
itu memang benar-benar siap.
Pendidikan di Indonesia sekarang membuat rakyat biasa sangat menderita.
Pendidikan menjadi sesuatu yang tak terjangkau rakyat kecil. Tidak ada
15. penggolongan orang miskin dan orang kaya. Lembaga pendidikan telah
dijadikan ladang bisnis dan dikomersialkan.
Kebijakan yang mahal ini memang sangat merisaukan karena akan mengubur
impian mobilitas kelas sosial bawah untuk memperbaiki status kelasnya.
Melalui sistem ini, maka yang bisa diserap dalam lingkungan pendidikan
adalah mereka yang memiliki modal yang cukup. Sekolah kian menjadi
lembaga elite dan bahkan menjadi kekuatan yang menghadang arus mobilitas
vertikal kelas sosial bawah. Dalam beberapa aktivitasnya bahkan sekolah ikut
terlibat melegitimasi tatanan yang timpang. Jika diusut penyebab ini semua,
tentu jawabannya adalah kebijakan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme
berangkat dari keyakinan akan kedigdayaan pasar serta pelumpuhan
kekuasaan negara. Sekolah tidak perlu menjadi tanggungan negara, cukup
diberikan pada mekanisme pasar. Biarlah pasar yang akan menyeleksi mana
sekolah yang patut dipertahankan dan mana yang harus gulung tikar. Di situ
pendidikan berangsur-angsur menjadi tempat eksklusif yang memberi
pelayanan hanya pada mereka yang kuat membayar.
Implikasinya, jutaan rakyat Indonesia belum memperoleh pendidikan yang
layak. Bahkan tidak sedikit pula yang masih berkategori masyarakat buta
huruf. Mereka belum bisa menikmati dunia pendidikan seperti anggota
masyarakat yang mampu “membeli” dan menikmati pendidikan. Masyarakat
demikian mencerminkan suatu kesenjangan yang serius karena di satu sisi ada
sebagian yang bisa membeli politik komoditi pendidikan secara mahal.
Sementara tidak sedikit anggota masyarakat yang tidak cukup punya
kemampuan ekonomi untuk bisa membebaskan diri dari buta huruf akibat
dunia pendidikan yang tidak berpihak secara manusiawi kepada dirinya. Biaya
pendidikan yang melangit ini terjadi di dunia pendidikan dasar, menengah
hingga pendidikan tinggi.
Tidak hanya itu implikasi dari makin mahalnya biaya pendidikan. Kualitas
mahasiswa yang masuk perguruan tinggi pun nantinya patut dipertanyakan
karena bukan tidak mungkin uang yang akan berbicara. Siapa yang lebih
banyak dia yang akan menang. Bisa jadi mereka yang memiliki kemampuan
intelektual pas-pasan bisa mengenyam pendidikan di jurusan dan universitas
favorit karena dia bisa membayar biaya yang cukup tinggi. Sementara itu,
mereka yang memiliki kemampuan lebih tidak bisa menyandang gelar
mahasiswa lantaran tidak memiliki kemampuan finansial.
Realitas menunjukkan, krisis yang menimpa dunia pendidikan di Indonesia,
khususnya kualitas pendidikan yang rendah, merupakan persoalan yang
sangat kompleks. Prasarana, sarana, dan fasilitas kurang memadai, anggaran
pendidikan nasional yang sangat minim, dan banyaknya guru yang mengajar
tidak sesuai dengan keahlian atau memang belum layak disebut guru
merupakan faktor yang ikut menyulitkan pengembangan kualitas pendidikan.
Selain itu telah muncul banyak pernyataan dan keluhan tentang rendahnya
kualitas sumber daya manusia Indonesia, yang tentu saja terkait dengan mutu
lulusan yang dihasilkan oleh sistem pendidikan. Padahal, anggaran negara
yang dialokasikan untuk pendidikan itu selalu bertambah dari tahun ke tahun.
Sungguh ironis memang, anggaran selalu naik tetapi kualitas lulusan tetap
rendah dan justru dirasakan semakin mahal. Mengapa hal seperti ini terjadi,
padahal kurikulum dan buku, entah sudah berapa kali diubah. Entah sudah
berapa macam metode mengajar yang ditatarkan kepada guru. Akankah
16. keadaan ini dibiarkan terus berlanjut? Jika tak menghasilkan lulusan yang
berkualitas dan dapat diandalkan, dapatkah pendidikan itu disebut sebuah
investasi untuk masa depan?
Namun seringkali masyarakat hanya dibuai oleh janji-janji anggaran atau
kebijakan bertemakan “alokasi”. Faktanya mimpi masyarakat ini sulit terkabul
dengan alas an-alasan yang politis. Pejabat belum sungguh-sungguh
menempatkan dunia pendidikan ini sebagai penyangga kemajuan bangsa.
Kenyataannya memang demikian. Subsidi pemerintah pemerintah perlahan
menyurut hingga tak lagi dapat mencukupi kebutuhan universitas. Namun di
balik itu semua ada hal yang terlewatkan oleh para pimpinan universitas
sebagai makin mahalnya biaya pendidikan. Yakni, kaum miskin hanya bisa
gigit jari karena tidak dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi.
Selain itu banyak penyelewengan-penyelewengan anggaran pendidikan yang
dilakukan oleh dilakukan aparat dinas pendidikan di daerah dan sekolah.
Peluang penyelewengan dana pendidikan itu terutama dalam alokasi dana
rehabilitasi dan pengadaan sarana prasarana sekolah serta dana operasional
sekolah. Temuan tersebut dipaparkan oleh Febri Hendri, Peneliti Senior
Indonesia Corruption Watch (ICW) saat menyoal Evaluasi Kinerja Departemen
Pendidikan Nasional Periode 2004 – 2009 di Jakarta, Rabu (9/9). Menurut Febri,
selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya terungkap 142 kasus korupsi di
sektor pendidikan. Kerugian negara mencapai Rp 243,3 miliar. (Kompas.com
tanggal 9 September 2009).
Padahal tujuan utama dari pengucuran dana pendidikan tersebut seperti dana
BOS adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menaikkan kualitas tenaga
pendidik supaya siswa Indonesia memiliki daya saing di tingkat internasional.
Namun apa yang terjadi selain penyelewengan seperti yang disebutkan di atas,
terjadi penggunaan dana BOS yang belum tepat seperti yang dimuat
Kompas.com tanggal 28 Oktober 2009 yang merupakan hasil penelitian bidang
pendidikan berkerja sama dengan Pusat Penelitian Depdiknas yang dibahas
dalam seminar bertajuk Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah yang
dipaparkan oleh Bahar Sinring, Dekan Fakultas Muslim Indonesia Makassar
menyebutkan bahwa Dari penggunaan dana BOS di tiap provinsi terlihat bahwa
pemanfaatan untuk gaji guru atau tenaga administrasi honorer mengambil
porsi yang cukup besar sekitar 20-40 persen. Akibatnya, dana BOS yang dapat
dinikmati siswa, termasuk untuk membantu siswa miskin, berkurang.
Berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan diketahui bahwa enam dari
sepuluh sekolah menyimpangkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Rata-rata penyimpangan itu senilai Rp 13,7 juta.
Menurut Ade (dalam Kompas.com 9 September 2009 kebocoran anggaran
ataupun dalam bentuk paling parah seperti korupsi pendidikan, ini
menyebabkan berkurangnya anggaran dan dana pendidikan, merusak mental
birokrasi pendidikan, meningkatkan beban biaya yang harus ditanggung
masyarakat, dan turunnya kualitas layanan pendidikan. Bahkan, dalam
beberapa kasus, korupsi pendidikan telah membahayakan nyawa peserta didik
dalam bentuk ambruknya gedung sekolah.
3. Kaitan Globalisasi Pendidikan dengan dunia Perpustakaan
Keberadaan Perpustakaan tidak bisa dipisahkan dengan dunia pendidikan,
Karena perpustakaan merupakan lembaga yang mampu menunjang proses
pendidikan dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.
17. Pada gilirannya dalam rangka membangun kehidupan masa depan yang maju
dan sejahtera.
Oleh karena itulah sesuai dengan perkembangan zaman terutama di era
globalisasi ini perpustakaan harus terus berbenah diri dan meningkatkan
kualitas layanan. Bahkan di perguruan tinggi perpustakaan sudah menjadi
tolok ukur kualitas lulusan yang dihasilkan seperti yang dipaparkan oleh
Hermawan dan Zen (2006) “Pentingnya perpustakaan perguruan tinggi telah
menjadi salah satu indikator mutu pendidikan di perguruan tinggi. Makin baik
perpustakaannya maka makin baik pula mutu luaran perguruan tinggi
tersebut”.
Dampak positif globalisasi pendidikan terhadap perpustakaan dapat dilihat dari
meningkatnya kualitas layanan yang ada di perpustakaan, misalnya dengan
diadakannya layanan-layanan yang sifatnya mengglobal seperti internet,
fasilitas wi-fi. Selain itu koleksi-koleksi perpustakaan juga mulai bervariasi dan
disesuaikan dengan internasionalisasi lembaga pendidikan yang
menaunginya, seperti jumlah dan kualitas koleksi buku berbahasa Inggris
semakin diperbanyak dan dilanggannya jurnal-jurnal yang standar
internasional. Penyelenggaraan yang standar internasional ini tentunya
membutuhkan biaya yang tidak murah, karena sudah diketahui oleh umum
bahwa harga buku –buku berbahasa Inggris harganya lebih mahal dibanding
buku berbahasa Indonesia, dan untuk melanggan satu jurnal internasional juga
harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Karena biaya yang tinggi tersebutlah, yang mampu menyelenggarakan
perpustakaan dengan layanan dan kualitas yang baik tentunya perpustkaaan
yang berada di lembaga pendidikan yang punya modal dan pimpinan yang
perhatian terhadap perkembangan dan pentingnya perpustakaan. Karena
banyak lembaga pendidikan yang punya modal besar perpustakaannya kurang
maju Karena pimpinannya yang tidak terlalu perhatian terhadap perpustakaan.
Hal yang lebih parah lagi tentunya dialami oleh perpustakaan yang berada di
lembaga-lembaga pendidikan yang modalnya kecil. Jangankan untuk
meningkatkan layanan dan koleksi yang bersifat internasional, untuk merawat
koleksi yang ada pun kadang masih terseok-seok. Sehingga dengan adanya
globalisasi ini perpustakaan tersebut semakin tertinggal.
Namun untuk perpustakaan yang sudah bisa mengadakan dan menyesuaikan
layanan dan koleksinya dengan standar internasional pun bukan berarti tanpa
masalah. Banyak terjadi perpustakaan sudah banyak mengeluarkan biaya
untuk menambah jumlah koleksi dan melanggan jurnal internasional dengan
harga mahal, namun tingkat pemakaian dari penggunanya masih sangat
rendah dibanding penggunaan koleksi atau jurnal-jurnal yang berbahasa
Indonesia. Ini artinya pengguna perpustakaan masih banyak yang belum siap
dengan standar internasional.
Untuk menjawab perkembangan di dunia pendidikan ini maka mulai dari
sekarang perpustakaan dan pustakawan harus mau dan mampu mengikuti
perkembangan tersebut. Pustakawan diharapkan mampu mengubah dan
mengembangkan dirinya seiring dengan tuntutan perubahan. Pengembangan
yang dimaksud adalah:
*. memahami peranannya atas dasar pola kemitraan bukan melayani
*. memberikan makna/kontribusi bagi lembaganya (dalam hal ini sekolah atau
perguruan tinggi) tidak sekedar fokus pada disiplin ilmu perpustakaan
18. *. integrasi
*. mampu mentransfer kemampuannya melalui pelatihan dan pembinaan,
sehingga penggunanya dapat memanfaatkan layanan-layanan yang ada di
perpustakaan secara optimal.
*. Inovasi
4. Solusi
Pemerintah sebagai pengemban amanat rakyat, dapat bergerak cepat
menemukan dan memperbaiki celah – celah yang dapat menyulut kesenjangan
dalam dunia pendidikan. Salah satunya dengan cara menjadikan pendidikan di
Indonesia semakin murah atau bahkan gratis tapi bukan pendidikan yang
murahan tanpa kualitas. Hal ini memang sudah dimulai di beberapa daerah di
Indonesia yang menyediakan sekolah unggulan berkualitas yang bebas biaya.
Namun hal tersebut baru berupa kebijakan regional di daerah tertentu.
Alangkah baiknya jika pemerintah pusat menerapkan kebijakan tersebut dalam
skala nasional . Untuk dapat mewujudkan hal tersebut pemerintah perlu
melakukan pembenahan terutama dalam bidang birokrasi. Korupsi mesti
segera diberantas, karena korupsi merupakan salah satu yang menghancurkan
bangsa ini.
Ide Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Moh. Nuh yang mengingatkan,
bahwa dalam dunia pendidikan tak boleh ada sikap diskriminatif yang
disebabkan adanya perbedaan kaya dengan miskin akibat faktor wilayah kota
dan desa sehingga seseorang kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan.
(Kompas.com tanggal 3 November 2009) Perlu diimplentasikan dan
dilaksanakan dengan segera, agar hak setiap warga negara untuk memperoleh
pendidikan yang layak dapat segera terwujud, dan dapat mendorong lembaga
pendidikan untuk mempertimbangkan kurikulum maupun metodologi yang
tidak banyak mengeluarkan biaya.
Selain itu membuat standar baru tentang kualitas pendidikan yang tidak saja
menyentuh kemampuan dan kreativitas siswa melainkan juga ongkos sekolah.
Kriteria yang mempersyaratkan kemampuan menampung siswa tidak mampu
sekaligus kemampuan untuk mensejahterakan guru. Sekolah tidak lagi diukur
dari kemampuannya mencetak siswa yang pintar melainkan bagaimana
mengajarkan siswa untuk saling bertanggung jawab dan mempunyai
solidaritas tinggi. Standar internasional tentang kemampuan intelektual tidak
akan bisa diraih dengan kondisi struktural yang masih mengalami persoalan
ketimpangan dan kesenjangan sosial.
Selain itu solusi-solusi lain yang dapat dilaksanakan adalah
• Meningkatkan mutu SDM terutama Guru dalam penguasaan Bahasa Inggris
dan Bahasa Asing lainnya
• Peningkatan Mutu Guru dalam penguasaan Teknologi Informasi dan
Komunikasi
• Peningkatan Mutu Manajemen sekolah dan Manajemen pelayanan pendidikan
• Peningkatan Mutu sarana dan Prasarana
• Penanaman nilai-nilai keteladanan
• Pengembangan budaya baca dan pembinaan perpustakaan
• Penelitian dan pengembangan pendidikan
5. Kesimpulan
• Globalisasi pendidikan di Indonesia ditandai dengan ambivalensi yang
apabila kita mengikuti arus globalisasi tersebut dapat meningkatkan kualitas
19. pendidikan di Indonesia setingkat dengan kualitas pendidikan Internasional,
tetapi pada kenyataannya Indonesia belum siap untuk mengikuti arus tersebut
sehingga kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal.
• Adanya kompetisi/persaingan didalam dunia pendidikan karena kemajuan
teknologi dan informasi. Bahkan sering terjadi kompetisi yang liar yang
disebabkan oleh
1. Adanya aturan tidak beres pada birokrasi pendidikan
2. Intervensi kepentingan modal raksasa
3. Sekolah kurang mendapat perhatian yang layak dari pemerintah
• Bagi instansi pendidikan yang mampu bersaing akan memperoleh hasil yang
baik dan diakui oleh dunia luar. Bagi instansi yang belum siap bersaing akan
mengalami tekanan dan banyak yang berjalan ditempat saja
• Globalisasi pendidikan juga membawa dampak adanya kesenjangan sosial
didalam dunia pendidikan, karena hanya orang-orang yang mempunyai modal
lebih besar saja yang dapat menikmati kualitas pendidikan dengan standar
internasional.
• Merosotnya kualitas pendidikan tak bisa dipisahkan dari kebijakan negara
pada sector pendidikan.Menyamakan lembaga pendidikan dengan lembaga
keuangan jelas merupakan keputusan yang keliru. Liberalisasi pendidikan
pada hakekatnya telah memasung akses siswa yang tidak mampu untuk
menikmati sekolah. Padahal sejak bangsa ini ditimpa krisis jumlah masyarakat
yang berada di garis kemiskinan makin membumbung.
• Perlu adanya perombakan pada kebijakan yang menyangkut masalah
pendidikan dengan menelurkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kaum
miskin. Komersialisasi pendidikan mutlak harus dihentikan karena hanya
memunculkan sekelompok orang yang menggunakan pendidikan sebagai alat
untuk mendapatkan keuntungan.
DAFTAR PUSTAKA
HERMAWAN S., Rachman & Zulfikar Zen. Etika kepustakawanan: suatu
pendekatan terhadap kode etik pustakawan Indonesia. Jakarta: Sagung Seto,
2006
JANUAR S. Indra. Globalisasi Pendidikan.
http://zag.7p.com/globalisasi_pendidikan.htm akses tanggal 28 Oktober 2009
http://edukasi.kompas.com akses tanggal 3 November 2009
OCTAVIANUS, Petrus. Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia
Adidaya (2030-2055) jilid I. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2005
____________________ Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia
Adidaya (2030-2055) jilid II. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2005
___________________. Menuju Indonesia Jaya (2005-2030) dan Indonesia
Adidaya (2030-2055) jilid III. Batu: Pdt. Dr. P. Octavianus , DD, Ph.D, 2007
PRASETYO, Eko. Orang miskin dilarang sekolah. Yogyakarta: Resist Book,
2005
SUTARNO NS. Tanggung jawab perpustakaan: dalam mengembangkan
masyarakat informasi. Jakarta: Panta Rei, 2005
TANJE, Sixtus. Globalisasi Pendidikan dan Ketidaksiapan Sekolah. http://re-
searchengines.com/sixtus0409.html akses tanggal 28 Oktober 2009